Cakra sekarang meluruskan kaki di sofa panjang. Dia memijat-mijat kakinya pelan sambil menghela napas panjang. Hari ini Alam, asdosnya itu, lebih banyak diam, bahkan terkesan jutek. Padahal ekspedisi minggu-minggu sebelumnya super duper menyenangkan, Alam bahkan hampir mengajak seluruh mahasiswa yang ikut serta di dalam proyek ini mabok semalaman. Kenapa sekarang justru segalak ini waktu mereka cuma berdua?
Alam itu sebenarnya kating tampan nan baik hati yang selalu ramah sama siapapun. Keterampilan dan kepandaiannya di atas rata-rata, makanya sebelum dia wisuda bulan kesepuluh tahun ini, Pak Jamal buru-buru ajak dia di banyak proyek dan angkat dia sebagai asistennya.
Cakra menghela napas panjang. Memang sih, baru kali ini Cakra “berduaan” sama Mas Alam, tapi dia yakin Mas Alam itu sebenarnya ga segalak ini. Tadi aja, sewaktu mereka baru sampai di vila, Mas Alam langsung pergi ke kamarnya. Entah bersih-bersih, entah menghindar dari emosi ketika harus berbincang dengan Cakra.
Kalau dipikir-pikir hari ini memang Cakra lebih banyak jatohnya, sih. Beberapa kali juga dia diteriaki Mas Alam karena kurang fokus. Apa karna Cakra ga fokus gara-gara berduaan sama Mas Alam, ya? Arrrgghh, pokoknya Cakra kesel sama Mas Alam itu.
Cakra menghela napas panjang lagi. Yah, setidaknya ekspedisi kali ini nyaman. Mereka tidak harus kedinginan di tengah hutan sambil memeluk sleeping bag. Lihat! Cakra bahkan sedang merebahkan diri di atas sofa empuk.
Wilayah yang sedang mereka petakan memang tidak jauh dari tempat wisata, jadi banyak vila dan kendaraan yang bisa disewa. Untungnya, prodi mereka sedang berbaik hati, dan mengizinkan mereka menyewa fasilitas itu semua. Proyek mereka memang termasuk proyek besar, bekerja sama dengan beberapa perusahaan, salah satunya kawasan wisata sekitar. Jadi, semua terasa mewah.
Alam keluar dari kamarnya. Cakra langsung duduk tegak, tiba-tiba merasa tegang. Padahal Alam keluar dari sana dengan santai, menggosok kepalanya yang basah, serta badannya yang hanya dibalut sehelai bathrobe.
Cakra langsung melotot. Apa?! Bathrobe?! Yang bener aja, mereka cuma berduaan loh di sini! Cakra berdeham pelan. Alam hanya melirik singkat sambil meneguk minuman dingin dari kulkas.
Padahal maksud dehaman itu, kayak 'minimal pake baju lah bang', atau di 'sini ada orang, tolong'. Tapi yang Cakra sindir justru melangkah mendekat. Jantungnya langsung berdetak kencang, bahkan hampir meledak. Apalagi sewaktu Alam justru duduk di sampingnya.
“Kamu bersih-bersih dulu, gih. Saya tunggu di ruang tamu, ya.”
Cakra langsung bangun, pergi dari sana sambil berlari kecil. Kalau boleh, mending ga usah ditunggu, Mas!
Anehnya. Cakra justru mandi dengan cepat, bersih-bersih juga dengan cepat. Lalu, keluar dari kamarnya juga dengan cepat. Dia menggeram, arrgghh kenapa Mas Alam masih ga pake baju sih?!
Cakra takut-takut duduk di samping Alam yang tengah membolak-balik buku lapang mereka. Dia sedikit corat-coret, mungkin menambahkan beberapa catatan penting untuk lokasi besok yang akan mereka kunjungi.
Alam berdeham pelan, “Besok mungkin kita usahain dulu buat cek titik yang ada di utara, timur, sama selatan. Biar minggu depan Pak Jamal bisa ikut cek lokasi.” Dia masih fokus tatap catatannya.
Cakra mengangguk pelan, sepertinya besok kakinya akan berubah jadi lego, bisa dibongkar-pasang. Gila aja, empat titik dicek berdua doang? Semoga Seninnya Cakra ga langsung tipes.
“Malem ini istirhat, ya. Saya takut kamu sakit.”
Cakra langsung menunduk dalam sambil menggigit pipi bagian dalamnya. Dia menahan senyum dan menahan salting. Aduh, kenapa orang yang seharian ini dingin entah karena apa, malah tiba-tiba khawatirin dia begini. Cakra kan bisa makin suka.
“Tapi saya boleh tanya satu hal lagi?”
Cakra mendongak. Wajah Alam yang sedikit mengerut akhirnya terlihat. Cakra tidak melihat wajah galak atau tegas seperti sebelumnya. “Ke-kenapa, Mas?”
“Kamu sama Argatha ... pacaran?”
Cakra melotot. Kenapa Mas Alam bisa mikir kayak gitu?! Jelas-jelas dia abis marah besar sama Argatha yang ga bisa ikut buat pemetaan minggu ini, padahal ini tugas dia juga. Kenapa Mas Alam malah mikir dia suka sama orang nyebelin itu?!
“Kamu keliatan kecewa banget waktu Argatha ga ikut. Dan keliatan kesel karena harus ekspedisi berdua sama saya.”
Cakra jadi merasa bersalah karena Alam menunduk sedih. “Gimana mau pacaran sama Gata, orang aku sukanya sama Mas Alam.”
“Eh?”
“EH?!” Cakra menutup mulutnya. Kayaknya dia udah ketempelan penunggu di sini. Kenapa tiba-tiba dia ngomong kayak gitu?!
“Kamu ... suka sama saya?”
Cakra geleng-geleng, “Bu-bukan! Aku emang suka sama Mas Alam, tapi—” Cakra melotot lagi, memukul dahinya pelan. “Aduh, bukan!”
Alam justru tertawa, “Tapi kenapa?”
“Tapi, Mas Alam galak ....”
Cakra bisa merasakan sentakan kaget orang di depannya.
“Padahal kalo sama yang lain Mas Alam baik-baik aja tuh. Giliran kita berdua, Mas Alam malah galak, diemin aku terus.” Cakra cemberut. Dia sudah tidak peduli, setan mana yang merasukinya. Dia justru senang karena setan itu bisa membantunya untuk mengutarakan itu.
“Maafin saya,” Alam diam beberapa saat. Cakra akhirnya mendongak karena tidak sabaran untuk mendengar apa yang ingin Alam ucapkan.
“Seharian ini saya mikirin ada apa antara kamu sama Argatha. Beberapa kali saya teriakin kamu buat fokus, padahal seharusnya saya yang diteriakin kayak gitu.”
Cakra masih mencerna ucapan Alam. Matanya mengerjap-ngerjap lucu, kepalanya sedikit miring karena kebingungan. Alam sampai menggigit bibir bawahnya karena pemandangan yang terlalu menggemaskan itu.
“Kalo kamu sama Argatha ternyata ada sesuatu, saya bakalan patah hati banget. Makanya saya dari tadi jadi diem karena kepikiran itu terus.”
Eh? Patah hati? Satu detik. Dua detik. Tiga detik. Kenapa Mas Alam harus patah hati? Cakra masih berada di posisi seperti sebelumnya.
“Saya suka kamu, Cakra.”
Cakra melotot.
“Dari awal kamu jatoh di kantin dan numpahin es teh. Sampe akhirnya kamu selalu hati-hati setiap bawa es teh. Saya suka kamu.”
Cakra makin melotot. Numpahin es teh? Iya, dia emang sering jatoh, apalagi di kantin. Tapi yang dimaksud Mas Alam itu yang mana?!
“Waktu itu saya lagi pusing-pusingnya ngurusin penelitian saya yang ketunda. Terus setiap saya makan siang, saya selalu ketemu kamu. 'oh, ini adek yang kemarin jatoh' atau 'oh, ini adek yang kemarin jatohin bakwannya' dan hal konyol lainnya yang bikin saya ketawa.” Alam sedikit tertawa. Tapi wajahnya berubah serius sekarang.
“Saya tanpa sadar selalu makan siang di jam kamu makan siang. Tanpa sadar, saya nungguin kamu yang selalu bikin ketawa. Sampe akhirnya kamu ikut seleksi buat proyek ini ... saya seneng banget. Ternyata selain lucu, kamu juga pinter dan bisa yakinin Pak Jamal kalo kamu layak di proyek ini.”
Cakra menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Wajahnya pasti sudah semerah kepiting yang direbus dan dibumbui saus asam manis. Dia bahkan sampai tidak bisa bernapas dengan benar. Aaaa! Kalau begini caranya, siapa yang ga salting?!
Cakra bisa mendengar kekehan Alam yang semakin dekat. Dia sampai tersentak kaget karena tangannya ditarik agar wajahnya terlihat. Wajah mereka mungkin hanya berjarak beberapa senti sekarang. Cakra bahkan sampai juling untuk melihat hidung mancung Mas Alam.
“Maaf, Cakra. Tapi boleh saya cium kamu?”
Cakra memejamkan matanya kuat sebagai jawabannya. Alam terkekeh pelan sebelum mengecup bibir Cakra yang mengatup rapat. Cakra sebenarnya bukan orang awam untuk hal ini. Tapi ... dia seketika lupa bagaimana caranya bergerak. Terlebih lagi ketika Alam justru membuka mulutnya perlahan.
Cakra merasakan setiap kecupan itu dengan hikmat. Bibirnya perlahan mengikuti alur permainan yang Alam mainkan. Dia mengalungkan tangannya di leher Alam yang jenjang. Dia tersenyum, menikmati setiap bibirnya yang basah karena kecupan yang ia rasakan. Dan ada sedikit perasaan kecewa ketika bibirnya tidak lagi merasakan hangat yang menyenangkan, karena sekarang Alam sudah menjauhkan bibirnya perlahan.
Dia membuka matanya pelan-pelan. Alam di depannya tersenyum simpul. Pinggulnya dipeluk oleh tangan kekar orang di depannya. Oke, Cakra benar-benar dirasuki penunggu yang ada di sana. Dia langsung bangun dan duduk di atas paha orang di hadapannya.
Dia sedikit menunduk, tangannya menuntun tangan Alam untuk memeluk pinggulnya lebih erat, sedangkan tangan lainnya meremas rambut kepala Alam yang baru saja kering.
“Mas,”
Alam diam saja. Mungkin terkejut dengan apa yang sudah orang menggemaskan ini lakukan.
“Kalo Mas Alam mau lanjut, aku gapapa kok.” Cakra berbisik. Entah menggoda atau justru malu-malu.
Alam terkekeh panjang. Dia langsung berdiri sambil menggendong Cakra menuju kasur empuk yang sudah mahal-mahal prodinya sewa untuk menjaga kenyamanan mereka. Cakra pasti akan sangat lelah jika mereka harus “melakukannya” di sofa.
Kedua bibir yang terus melontarkan kecupan hangat itu tidak pernah terlepas sedetik pun ketika mereka berpindah tempat. Mereka tertawa pelan sambil melepas pakaian masing-masing sebelum kembali mencumbu bibir yang ada di hadapannya.
Cakra bisa merasakan seluruh kehangatan yang Alam berikan di setiap kecupannya. Tapi anehnya, kehangatan itu seperti tidak ada habisnya. Bahkan malam terasa berakhir begitu saja, dan mentari datang saat malam masih gelap gulita. Sekeliling mereka menghangat, membuat pipi berubah merah, dan sudut bibir yang tidak mau berhenti terangkat.
Cakra terkekeh karena Alam yang mengecup telinganya. Hangat. Telinganya hangat. Dia kembali tertawa karena lehernya dikecup berkali-kali. Hangat lagi. Lehernya hangat sampai rasanya ia ingin tertawa sepanjang malam. Alam berpindah ke dada dan perutnya yang naik-turun. Lagi-lagi hangat. Sekujur tubuhnya hangat. Cakra tertawa lepas karenanya.
“Cakra,”
Cakra berhenti tertawa. “Kenapa, Mas?”
“Jangan ketawa atau nanti saya makin gemes sama kamu.”
Cakra justru tertawa puas. Dan semakin puas karena Alam mengecup lehernya bertubi-tubi.
Tawanya berhenti karena Alam berpindah ke tempat lain. Lebih spesifik. Tempat yang akan melepaskan kehangatan lebih besar. Cakra mengerang pelan karena Alam justru memilin dan melumat bagian itu.
“Ah!” Cakra berteriak tertahan. “Kok digigit sih, Mas?!”
Alam malah terkekeh pelan, “Maaf. Suara kamu lucu banget. Saya jadi gemes.”
Cakra cemberut.
“Sakit, ya?”
Cakra menggeleng patah-patah, “Sakit sedikit aja, sih, tapi aku kaget.”
Alam mengecup bagian yang sebelumnya ia gigit dengan lembut. “Maaf, ya. Ga saya ulangin lagi. Janji.”
Cakra jadi tersenyum lebar. Mas Alam itu memang kadang galak, apalagi kalau selama di lapang ada anak yang ga fokus. Tapi Mas Alam itu sebenernya lembut dan baik banget. Cakra jadi meleleh karena Mas Alam.
“Mas Alam,”
“Kenapa? Kamu mau berhenti? Gapapa, ga usah kita lanjut kalo kamu sakit.”
Cakra cekikikan, “Aku boleh di atas ga?”
Alam tersentak lagi. Kaget. Makhluk menggemaskan ini barusan meminta apa?
“Aku di atas, ya? Aku mau liat Mas Alam.”
Alam tidak perlu diminta sekali lagi. Dia langsung merubah posisi. Cakra sekarang di atasnya, dia melepas ikatan bathrobe yang masih melingkari perut Alam. Cakra tersenyum lebar, giginya sampai terlihat sangking lebarnya. Alam ikut tersenyum karena senyuman itu.
Cakra terkekeh, dia mengecup sekujur tubuh orang yang ada di bawahnya, dari atas sampai bawah, dari dalam sampai terluar. Tidak ada bagian yang tidak terjamah olehnya. Tangan kekar Alam menelusuk di antara rambut-rambut Cakra yang berwarna keemasan.
Cakra menjauhkan bibirnya dari tubuh Alam. Dia terkekeh pelan sambil menggenggam milik Alam yang lebih besar dari telapak tangannya itu. Tapi setelahnya, dia justru terdiam ketika Alam melenguh pelan sambil terpejam. Dia mengurungkan niatnya untuk memasukkan apa yang dia genggam ke dalamnya.
Cakra sedikit mundur. Alam tersentak karena miliknya justru masuk ke bagian lain di tubuh Cakra. Dia menggigit bibir bawahnya karena Cakra justru menaik-turunkan kepalanya. Seisi tubuhnya seperti berkumpul ke satu tempat yang sama dan siap untuk meledak. Di dalam pejamannya, dia seakan-akan bisa melihat bagaimana tata surya terbentuk.
“Cak—”
Cakra melepas lumatannya. Lagi-lagi Alam tersentak kaget. Dia sedikit bangun untuk melihat makhluk menggemaskan yang baru saja melepas lumatannya ketika dia hampir sampai pada pelepasannya.
Cakra terkekeh pelan, “Maaf, Mas. Aku cuma pengen cobain aja.” Dia tersenyum lebar. Gigi manisnya berderet rapi.
Alam kembali merebahkan tubuhnya dengan nyaman dan menunggu Cakra kembali duduk di atasnya. Dia menghela napas berat.
“Cakra, kamu jangan main-main lagi, atau ga saya izinin buat di atas.”
Cakra cemberut, “Mas Alam jangan galak-galak lagi, atau ga aku izinin buat suka aku.” Dia mengikuti gaya bicara Alam, meledek.
Alam tertawa pelan. Adik tingkat yang kerjaannya jatuh di kantin atau menjatuhkan makanannya di kantin itu ternyata multi talenta. Selain menggemaskan, dia juga sangat lihai dan pandai di lapang. Dia juga ... pintar bermain di atas ranjang.
Lihat! Alam sudah tidak karuan karena Cakra memutar pinggulnya secara acak, tapi juga memabukkan. “Cakra,” Alam ikut tersentak karena Cakra sedikit menyentakkan pinggulnya. “Kenapa kamu pinter sama semua hal, hm?”
Cakra terkekeh, tapi setelah itu dia melenguh panjang. Tubuhnya sedikit gemetar. Tangannya yang sebelumnya menegang ke belakang, bertumpu pada kaki Alam yang menekuk, sekarang terkulai lemas di atas perut Alam yang naik-turun tidak beraturan.
“Dari kecil aku sering menyatu dengan alam, jadi sekarang aku udah banyak belajar.”
Alam tertawa pelan. Cakra hanya perlu tertawa atau mengatakan kalimat sederhana sebelumnya untuk menjadi gemas di mata Alam. Bahkan Cakra yang terdiam saja sudah cukup menggemaskan untuk Alam.
Cakra masih berada di atas Alam, terdiam. Dia mengatur napasnya untuk beberapa saat. Senyumnya terus mengembang sejak tadi, bersama dengan suara-suara lembut yang saling bersahutan di langit-langit ruangan.
“Kenapa kamu ga lanjut?” Alam protes.
“Aku udah bilang, aku mau liat Mas Alam.”
Cakra kembali tersenyum. Dia tidak berbohong, soal sejak kecil dia menyukai alam. Dia bahkan sering berkeliling ke berbagai ekosistem sejak umurnya lima tahun. Alam selalu memberinya pemandangan dan kenangan indah yang hanya bisa ia kenang dari hatinya. Dan sekarang, dia tidak tau jika dia bisa kenang dan menikmati pemandangan alam dengan cara yang lain.
Alam terkekeh pelan karena Cakra mengecup dadanya dan naik ke lehernya.
Orang tua Cakra menjadi seorang pecinta alam. Bahkan, namanya, Cakrawala, datang karena ibunya melahirkannya tepat di depan matahari terbenam di kaki langit. Begitu juga Cakra sekarang, dia menjadi seorang pecinta Alam. Cakra jatuh cinta dengan keindahan yang alam punya, begitu pula dengan keindahan yang ada di bawahnya sekarang.
Alam tersenyum tipis. Dia merubah posisinya cepat, kali ini Cakra tidak lagi di atas. Alih-alih protes, Cakra justru memeluk Alam erat. Bahkan jauh lebih erat dari yang sebelumnya.
“Mas,” Cakra memanggil Alam di tengah-tengah desahannya. “Cium Cakra lagi dong.”
Alam seperti tidak ada puasnya terkejut. Dia kembali terkejut dengan apa yang Cakra lakukan. Memintanya berciuman, bermain dengan lidahnya, bahkan meremas pinggulnya yang bergerak tidak beraturan.
“Mas,” Cakra memanggil Alam lagi. Dia melenguh panjang. Rupanya dia sudah sampai pada pelepasannya. “Aku cape.”
Alam tidak mendengarkan. Tampaknya dia juga hampir sampai pada pelepasannya. Seluruh tubuhnya kembali merasakan hal sebelumnya. Di dalam pejamannya, dia bisa melihat seluruh dunia sekaligus. Rasanya tidak ada kenikmatan yang bisa menandingi ini di dunia.
Cakra terus merengek sambil meremas lembut punggung Alam. Pinggulnya masih terus gemetar, tidak kuasa menahan rasa nikmat yang sejak tadi Alam tumpahkan padanya. “Mas—”
Suara Cakra seperti sengatan listrik untuk Alam. Ada sesuatu yang mendesak di bawah sana. Alam menyentakkan pinggulnya sekali lagi. Menelusuk ke tubuh Cakra amat dalam.
Sekali lagi membuatnya tenggelam di dalam keindahan sang alam yang selalu menjadi favoritnya. Lagi-lagi membuat Cakra gemetaran, dan tidak kuasa membuka mata karena kenikmatan yang tidak tertandingi.
“Mas,” Cakra akhirnya bersuara setelah sengatan di tubuhnya perlahan hilang. Napasnya tersengal, tubuhnya lemas, seluruh sendinya seperti sulit digerakkan.
“Hm?” Alam masih menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Cakra. Dia mengeratkan pelukannya sembari menghirup aroma tubuh Cakra lamat-lamat.
“Gimana nih, Mas? Aku kayaknya makin suka Mas Alam.”
Alam terkekeh, “Bukannya bagus? Kan saya juga suka kamu.” Dia bangun dari posisinya untuk melihat wajah Cakra yang cemberut.
“Kalo rasa suka aku lebih besar gimana?”
“Bukannya itu bagus juga?” Alam merebahkan tubuhnya di sisi ranjang yang kosong.
Cakra mendelik, “Males, ah. Nanti Mas Alam cuma php lagi!”
Alam tertawa puas, “Engga, Cakra. Saya juga suka kamu. Jadi saya bakalan seneng banget kalau kamu mau terima saya sebagai pacar kamu.”
Cakra tersenyum lebar. Dia mengangguk dengan semangat. “Aku juga bakalan seneng banget kalau jadi pacarnya Mas Alam!”
Alam terkekeh pelan. Dia menarik Cakra untuk masuk ke dalam pelukannya. Dia mengecup singkat kening Cakra, lagi-lagi memberinya kehangatan.
“Tapi, Mas.”
Alam tersentak lagi. Dia tidak berhenti terkejut karena ulah Cakra. Kenapa sekarang dia malah ragu?
Cakra menghela napas pelan. Dia membalas pelukan Alam dan menenggelamkan wajah di dada bidangnya. Betul juga. Kenapa sekarang dia ragu?
“Tapi kita masih harus fokus buat proyek ini sampe akhir bulan, Mas.”
“Iya, terus kenapa? Apa jadi pacar saya bikin kamu kurang fokus?”
Cakra berdecak pelan, “Bukan gitu! Tapi kita harus profesional, ga boleh pacaran pas ekspedisi.”
Alam tertawa, “Ya, kita kan pacarannya malam, waktu istirahat.”
Cakra masih terlihat ragu. Dia berdeham panjang.
“Kenapa? Ada hal lain?”
Cakra menggeleng patah-patah, “Cuma ... boleh ga kalo sementara ini kita sembunyiin hubungan kita, Mas?”
“Sembunyiin dari siapa?”
Cakra jadi menggeram kesal, “Dari temen-temen lah! Khususnya Argatha nyebelin itu. Aku ga mau nanti selama ekspedisi dia malah ngeledekin aku. Apalagi ngeledekin Mas Alam.”
Alam tertawa pelan, “Jadi kamu maunya backstreet dulu gitu?”
Cakra sekarang memasah wajah paling menggemaskan, memohon. “Iya. Mas gapapa, kan?”
Alam tampak berpikir panjang, mencoba untuk meledek Cakra. “Saya gapapa, sih. Asal ...,”
“Asal?”
“Asal main di atas saya sekali lagi.”
“Ih, engga!” Cakra memukul dada Alam pelan, “Kalo aku ga bisa naik-naik bukit besok Mas Alam marah lagi!”
“Gapapa, kan bisa saya gendong.”
Cakra memukul-mukul dada Alam lagi, kali ini lebih keras dari sebelumnya. “Nyebelin! Nyebelin! Kalo kayak gitu mah aku mau!”