Paseafict

“He'em.”

Hyunsuk ngelirik pacarnya yang masih berdeham-deham karena lagi ngecek lapraknya yang baru aja selesai semalam.

“He'em. Ini udah bagus, tapi kenapa di pembahasan faktor ga ada jurnalnya?”

Hyunsuk berdecak kesal. Kenapa sih dia selalu kurang di matanya Mas Jihoon? Ralat. Maksudnya, kenapa sih lapraknya selalu kurang di matanya Mas Jihoon?

“Aku ga nemu jurnalnya, Mas.” Hyunsuk merengek.

“Coba diganti kata kuncinya. Ga mungkin ga ada. Aku aja ketemu kok kemarin.”

Hyunsuk cemberut, “Ga ada. Ga tau. Ga mau. Aku ga mau nambahin lagi. Pusing. Aku cape. Aku ga mau.”

Mas Jihoon jadi cekikikan karena melihat pacarnya yang merengek gemas, “Yaudah, aku cariin dulu jurnalku yang lama.”

Hyunsuk memang sangat pandai memanfaatkan keadaan. Ketika Mas Jihoon-nya itu duduk tegak untuk mengambil ponsel di dalam saku celana, Hyunsuk justru duduk di atasnya. Dia terkekeh panjang. “Tapi nanti aja carinya. Sekarang ciuman dulu.”

Mata Mas Jihoon hampir membulat sempurna. Hyunsuk ini kesambet apa? Kenapa dia tiba-tiba duduk di atasnya? Mas Jihoon hampir jantungan gara-gara dia. “Kamu kenapa, Hyunsuk?”

Hyunsuk cemberut, apalagi waktu Mas Jihoon coba lepas tangan Hyunsuk yang dikalungin ke lehernya. “Aku mau cium Mas Jihoon tau.”

Mas Jihoon jadi ketawa. Akhirnya dia mengecup singkat bibir Hyunsuk yang masih cemberut. “Hari ini kamu tetep keren. Semangat terus, ya, Sayang.”

Pelan-pelan senyum Hyunsuk mengembang semakin lebar. Dia balas kecupan itu dengan ciuman yang sangat panjang, bahkan sedikit liar sampai Mas Jihoon menjauhkan wajah mereka. Mas Jihoon ketawa pelan, “Kamu ini kenapa?”

“Kok kenapa, sih? Orang aku mau cium Mas Jihoon!”

Mas Jihoon jadi ketawa puas, “Kamu ini loh, belajar dari mana kayak gini, hm?”

Hyunsuk cengengesan, “Mas, kata Pak Yanto, makhluk hidup itu punya dua jenis perilaku. Innate behavior sama adaptive behavior. Innate behavior itu, perilaku yang ada sejak kita lahir, kalau adaptive behavior itu perilaku yang ada seiring kita belajar dari sekitar. Nah, innate behavior itu ada perilaku makhluk hidup dalam mencari makan, bertahan hidup dari predator, dan bereproduksi atau memperbanyak keturunan.”

Mas Jihoon hampir keselek karena denger penjelasan pacarnya itu. Wajah mereka sejajar, mungkin hanya berjarak 10 senti dari wajahnya. Jadi, wajah lucu Hyunsuk bisa dia lihat jelas dari sini.

“Jadi, kesimpulannya, aku ga belajar dari mana-mana, soalnya yang sekarang aku lakuin salah satu innate behavior.” Hyunsuk tertawa panjang setelahnya.

Jangan suruh Mas Jihoon untuk bersabar. Mana mungkin dia bisa sabar jika pacarnya semenggemaskan ini. Akhirnya, dia bangun dari duduknya, mengangkat Hyunsuk, dan merebahkan Hyunsuk di kasur.

“Jadi kita cuma ngelakuin innate behavior, ya?”

Hyunsuk menggigit bibir bawahnya, tidak ingin tawanya terlepas lagi. Dia mengangguk pelan. “Karena itu innate behavior, tandanya Mas Jihoon juga bisa, kan?”

Mas Jihoon ketawa sekali lagi. Tawanya kali ini lebih pelan, mungkin karena udah ga sanggup sama kelakuan pacarnya itu. Dia gelitikin leher Hyunsuk dengan hidungnya. Bahkan Mas Jihoon ga tau, harus muji Hyunsuk pinter atau justru marahin Hyunsuk karena bandel. Tapi terlepas bandel atau engga, Hyunsuk selalu gemes. Ga mungkin Mas Jihoon marah sama pacarnya yang gemes itu.

Buktinya sekarang, Mas Jihoon justru balas ciuman Hyunsuk yang bandel itu. Bukannya marah, Mas Jihoon malah kesenengan.

Laprak? Ah, itu bisa nanti. Pacarnya yang gemes ini harus diajarin salah satu contoh innate behavior.

Hyunsuk basah kuyup. Padahal dari sebelum sampai, Hyunsuk sudah bilang “Aku ga mau basah-basahan dulu!” Tapi Asahi yang lebih dulu didorong Jaehyuk, ikut menarik Hyunsuk masuk ke dalam air.

Pukul 5 sore, mereka kembali ke resort dengan mandiri. Angin semakin kencang dan udara jadi lebih dingin. Juga ombak yang semakin gila menggulung pasir-pasir pantai.

“Kamu duluan aja yang mandi, Hyunsuk.” Ucap Jihoon yang masih merapikan makanan di kulkas.

Hyunsuk hanya berdiri di belakangnya dan membiarkan air dari bajunya bercucuran. Jihoon menoleh, dia tertawa pelan. “Kenapa, Sayang?”

Hyunsuk menggeleng kecil, “Terus Mas Jihoon engga mandi?”

“Iya, kan abis kamu. Bajuku ga basah banget kok.”

Hyunsuk akhirnya mengangguk cepat dan berlari kecil menuju kamarnya dan Jihoon.

“Jangan lari-larian, Hyunsuk! Nanti jatoh!” Jihoon sampai balik kanan untuk melihat pacarnya yang berlari itu.

Pintu kamar yang sebelumnya sudah ditutup Hyunsuk, akhirnya terbuka lagi sedikit, menampakkan kepala Hyunsuk yang muncul dari dalam. “Iya, Mas Jihoon! Maaf!” Hyunsuk terkekeh pelan dan kembali menutup pintu.

Jaehyuk yang entah dari mana, datang dengan Asahi di gendongannya. “Siapa duluan yang mandi? Cung tangan.”

Asahi di belakang angkat tangan, “Aku dulu!”

“Mandi berdua aja gimana?”

Asahi tertawa girang, “Setuju!”

Jihoon hanya menggeleng kecil. Biarin lah, dunia punya mereka berdua sekarang. Akan ada masanya dunia jadi miliknya dan Hyunsuk. Kita hanya tidak tau kapan itu akan terjadi. Mungkin tidak dalam waktu dekat ini.

“Hyunsuk?”

Hyunsuk baru saja selesai memakai bajunya. “Iya, Mas? Aku udah selesai!”

Jihoon tersenyum lebar, “Aku mandi dulu, ya.”

Hyunsuk mengangguk, rambut hitamnya yang basah ikut bergoyang. “Nanti makan malemnya aku tunggu Mas Jihoon, ya.”

“Iya, dong.”

Jihoon mengambil handuk dan bajunya. Lantas masuk ke bilik yang ada di sudut ruangan. Di tengah-tengah aktivitasnya, dia mendengar sayup-sayup suara di balik tembok. Keningnya mengerut, dia mematikan shower untuk memastikan suara siapa itu.

“Jaehyuk sialan.” Jihoon menepuk keningnya pelan. Itu ternyata suara Asahi yang entah sedang diapakan Jaehyuk di kamar sebelah.

Jihoon menghela napas panjang. Dia menatap dirinya di balik cermin lamat-lamat. Kadang dia juga memikirkan, apa Hyunsuk juga menginginkan itu? Apa Hyunsuk tidak akan kesakitan jika Jihoon melakukan seperti itu juga? Apa semua itu akan berakhir baik untuk Hyunsuk, atau untuk mereka? Jihoon tidak ingin tenggelam di dalam nafsunya dan salah mengambil langkah. Dia tidak bisa kehilangan Hyunsuk lagi.

Jihoon keluar dari kamar mandi dengan pikiran yang berkecamuk. Jantungnya berdegup kencang. Dia tidak boleh bertingkah konyol malam ini, atau Hyunsuk akan kesakitan.

Hyunsuk justru kelabakan karena Jihoon selesai dengan cepat. Dia seperti menyembunyikan sesuatu di balik bantalnya. Dia tersenyum canggung, “Eh, Mas Jihoon udah selesai?”

Jihoon tersenyum tipis, duduk di sebelah Hyunsuk. Dia menyisir lembut rambut Hyunsuk yang sudah kering. Jihoon menangkap mata Hyunsuk yang memancarkan permohonan, permintaan, atau apapun yang tidak Jihoon ketahui.

Mata Jihoon perlahan turun menatap bibir Hyunsuk yang sedikit terbuka. Dia terduduk kaku ketika Hyunsuk justru mendekatkan wajahnya perlahan. Jihoon masih terdiam, bahkan ketika Hyunsuk melumat bibirnya.

Hyunsuk tersentak kaget karena Jihoon membuka mulutnya. Tidak membalas ciumannya. Tatapan matanya berubah sedih, Jihoon tau ada sedikit rasa kecewa di sana.

“Mas Jihoon ... kenapa?”

Jihoon mengigit bibir bawahnya. Dia menggeleng pelan, “Aku mau keluar sebentar.”

Bibir Hyunsuk melengkung ke bawah. Jihoon tau Hyunsuk tidak ingin dia keluar sekarang. Tapi Jihoon benar-benar berubah jadi pengecut. Dia bahkan tidak bisa menahan ombak yang menggulung di hatinya. Dia tidak bisa menatap bintang-bintang di balik mata Hyunsuk. Entah takut akan apa, tapi dia benar-benar tidak ingin kehilangan Hyunsuk lagi.

Jihoon akhirnya hanya bergeming di balkon resortnya yang mengarah ke pantai. Tangannya saling bertautan di atas penyangga balkon. Berkali-kali dia menghela napas berat. Dia takut Hyunsuk sakit, tapi tanpa ia sadari Hyunsuk sedang kesakitan sekarang.

Pintu kaca balkon terbuka. Jihoon menoleh, Jaehyuk yang datang.

“Loh, lo kenapa di sini? Hyunsuk mana?”

Jihoon menghela napas sekali lagi, “Di kamar.”

“Lah, katanya mau bakar-bakar. Jadi ga?”

Jihoon kembali menghela napas. Dia tidak menjawab pertanyaan Jaehyuk sedikitpun, bahkan dengan gelengan kecil sekalipun.

“Asahi mana?” Sekarang Jihoon yang bertanya.

Jaehyuk terkekeh, “Tidur bentar. Ntar kalo jadi bakar-bakar gue bangunin.”

Jihoon menghela napas lagi. Kali ini lebih panjang dan lebih berat.

“Kenapa, Ji?”

Jihoon akhirnya membalas pertanyaan Jaehyuk. Dia menggeleng kecil.

“Hyunsuk ga mau?”

Jihoon diam.

“Atau lo yang ga mau?”

Jihoon langsung menoleh ke arah Jaehyuk, seperti bisa membaca pikirannya. Dia semakin keheranan karena menatap Jaehyuk yang tersenyum tipis. Dia menghisap ujung rokoknya sebelum menghembuskan asapnya perlahan. Jihoon bergeming, seakan-akan menunggu Jaehyuk yang ingin mengucapkan sesuatu.

“Gue tau elo, Ji.”

“Apa?”

Jaehyuk menghisap rokoknya sebelum menjawab pertanyaan Jihoon. “Lo pasti bakalan stres sama semua pikiran lo itu. Lo orang yang selalu siaga sama semua hal, terutama sama perasaan orang yang lo sayang.”

Jihoon mengusap wajahnya kasar. Dia menyambar bungkusan rokok yang ada di tangan Jaehyuk.

“Eh?! Lo mau ngapain?”

“Ngerokok. Stres, perlu rokok.”

“Lo ga bisa ngerokok bego!” Jaehyuk menarik rokoknya lagi, “dan lo ga bisa nyium Hyunsuk kalo ngerokok!”

Jihoon mengacak-acak rambutnya, frustrasi.

“Sebenernya gue ga akan pernah paham sama semua isi kepala lo. Tapi coba lo samper Hyunsuk sekarang. Minimal lo ngobrol sama dia, jangan malah ditinggalin.”

Jihoon akhirnya melangkah gontai. Jaehyuk benar. Jika dia pergi, Hyunsuk justru salah paham. Hyunsuk akhirnya tidak memahami seluruh perdebatan di kepalanya.

Pintu kamarnya terbuka perlahan, dan hanya Hyunsuk yang membelakanginya yang terlihat. Hyunsuk bergelung di dalam selimut, terdiam kaku. Mungkin sedikit tersinggung dengan apa yang Jihoon lakukan.

“Hyunsuk?”

Hyunsuk masih diam.

“Aku boleh ngobrol, Suk?”

Hyunsuk akhirnya menjawabnya lirih, “Kenapa?”

“Aku minta maaf.”

“Maaf, kenapa? Kenapa Mas Jihoon minta maaf?”

Jihoon tercekat. Hyunsuk terdengar sangat marah. Dia lagi-lagi diam, menjadi paling pengecut yang pernah ia kenal.

“Aku tanya, kenapa Mas Jihoon minta maaf?” Sekarang Hyunsuk bangun dari tidurnya. Dia duduk dan menatap Jihoon sayu.

“Maaf aku keluar tiba-tiba tadi.”

Hyunsuk cemberut, sepertinya sebentar lagi air matanya akan jatuh. Jihoon akhirnya buru-buru memeluknya.

Benar saja, Hyunsuk sudah menangis sekarang. “Aku kesel.”

Sayang Kamu Juga

Cakra menatap wajahnya di balik cermin rias. Rambutnya masih basah, airnya menetes-netes ke baju lapangnya. Tapi bukan itu yang membuat wajahnya mengernyit, melainkan bercak kemerahan yang terlihat di leher hingga atas dadanya. “Ini semua gara-gara Mas Alam!”

Cakra akhirnya keluar dari kamar sambil menghentakkan kakinya. Dia mondar-mandir, menghangatkan bubur, membuat teh hangat, menyiapkan rambu ukur untuk mereka bawa nanti. Kemudian kembali mondar-mandir, kakinya semakin kencang terhentak. Dia kesal karena Alam tidak kunjung datang.

“Mas Alam!!!” Cakra akhirnya berteriak kencang ketika Alam datang.

“Udah siap, Cakra?”

Cakra mendengus kesal. Kekesalannya meningkat 176% karena melihat senyum lebar Alam. Masih sempat-sempatnya dia tertawa di atas penderitaan pacarnya?

Alam terlihat meletakkan sekantong plastik gorengan di atas meja makan. Dia berjalan lebar dengan kakinya yang panjang untuk menghampiri Cakra yang berkacak pinggang di ruang tengah. Cakra mendengus kesal sekali lagi karena mendengar kekehan Alam.

“Saya juga sayang kamu, Cakra.” Alam menyelipkan tangannya di antara tangan mungil Cakra yang masih bertengger di pinggangnya. Lantas mengangkatnya tinggi-tinggi.

Cakra langsung melotot. Tangannya kelabakan mencari tempat bertengger lain. Kakinya juga cepat-cepat mencapit pinggul Alam. “Udah basi!” Cakra masih cemberut karena mendengar balasan Alam setelah hampir satu jam dia menunggunya. Tapi tangannya masih erat memeluk leher Alam, entah takut jatuh atau karena dia memang menikmatinya.

“Gapapa. Tapi rasa sayang saya ga akan pernah basi. Saya sayang kamu, Cakra.”

Cakra mengigit bibir bawahnya kuat-kuat. Dia ga boleh salting. Ga boleh salting. Ga boleh salting. Dia akhirnya tertawa puas. Oke, Cakra salting. “Apaan? Jelek banget gombalnya.”

Alam membenarkan posisi gendongannya, dan mengeratkan genggamannya di pinggul Cakra. “Kenapa masih cemberut gitu, hm? Saya kan sayang kamu?”

“Mas Alam kenapa lama banget? Mas Alam kenapa ga langsung bales sayang aku di chat? Mas Alam kenapa ninggalin aku? Kenapa?” Cakra menghentak-hentakkan kakinya. Dia masih berada di gendongan Alam, jadi bukan hanya dia yang kehilangan keseimbangannya, tapi Alam juga.

Alam dengan sabar melangkah susah payah untuk duduk di sofa. Dia terkekeh pelan. Toh, adik tingkat yang sekarang sudah jadi pacarnya itu menggemaskan, buat apa dia kesal. Justru semakin cemberut, Cakra jadi semakin menggemaskan.

“Tadi saya abis ngobrol sama Pak Randi, kan. Beliau kasih masukan sedikit—”

“TAPI MAS ALAM LAMA!”

Alam tertawa, “Iya, agak banyak. Jadi, abis dari lokasi kita ngobrol sebentar di pos satpam. Saya dibawain gorengan tuh sekantong.”

Cakra semakin cemberut, “Jadi, Mas Alam lebih milih ngobrol sama Pak Randi ketimbang bales 'aku juga sayang kamu', gitu?” Cakra menatap Alam menyelidik, “Iya?” Tatapannya penuh mengintimidasi. Tapi Cakra tetap lucu.

Alam tertawa pelan, dia menyibak rambut pirang Cakra yang masih sedikit basah. Dia tersenyum tipis, “Kamu abis keramas, Cakra? Kenapa ga dikeringin dulu?”

Cakra menangkup kedua pipi Alam, “Mas Alam, fokus! Jawab pertanyaanku dulu!”

Alam tertawa lagi, dia menarik tangan Cakra untuk dia genggam. “Jawaban yang tadi cuma buat pertanyaan pertama, Cakra. Kalau jawaban yang kedua,” Alam sedikit memberi jeda. Dia menikmati setiap wajah penasaran Cakra yang disembunyikan di balik wajah galak-gemasnya itu.

“Jangan bilang 'aku sayang kamu' lewat chat lagi, ya, Cakra. Saya ga kuat harus kepikiran wajah lucu kamu setiap baca itu di layar hp saya.” Alam tersenyum tipis, dia mengusap punggung tangan Cakra sebelum mengecupnya lembut. “Saya sayang kamu.”

Cakra tidak bisa lagi menyembunyikan wajah saltingnya. Dia berteriak pelan di dalam dada Alam, salting.

“Kalo saya bilang, 'saya sayang kamu', kamu jawabnya apa?” Sekarang Alam yang meledek Cakra, meniru gaya bicaranya.

Cakra tidak kesal, dia justru cekikikan. “Aku juga sayang Mas Alam.” Wajahnya langsung berubah lagi, “Terus jawaban yang ketiga? Kenapa Mas Alam tinggalin aku?”

“Kan saya udah bilang di chat.” Alam tertawa pelan, “Saya ga tega liat kamu, keliatan kecapean banget. Jadi saya tinggal sebentar, maksudnya biar kamu istirahat dulu.”

Cakra masih cemberut, “Mas Alam jangan pergi tiba-tiba lagi kayak tadi, minimal Mas Alam harus bangunin aku. Kalo ga bangun, coba cium aku dulu, pasti aku kebangun deh.”

Alam tertawa pelan, “Iya, jadi kalau saya tidur bareng kamu, saya harus cium kamu dulu kan setiap pagi?”

“Iya!” Cakra mengangguk kegirangan, “setuju!”

Alam mencubit pipi Cakra gemas, “Yaudah, keringin rambut kamu dulu, yuk? Abis itu kita ke lokasi.”

Cakra cemberut lagi, “Ga jadi main sapi-sapi-an? Mas Alam sapinya.”

Alam terkekeh pelan, berpindah mencubit hidung Cakra hingga kemerahan. Nakal. “Nanti malem aja, ya? Mending kita cepet-cepet selesain lokasinya, biar besok pagi ga perlu buru-buru.”

Cakra masih cemberut. Cup! Akhirnya Alam mengecup bibirnya singkat, “Yuk, saya keringin dulu rambutnya.”

“Tapi abis itu cium lagi.”

Alam tertawa pelan, “Iya.”

“Ciumnya agak lama.”

“Iya.”

Ratusan tahun manusia hidup dengan ancaman pandemi virus mematikan. Bahkan karena melewati pandemi mengerikan itu, sekitar 30 juta populasi dunia meninggal. Kabarnya, virus mematikan itu menginfeksi manusia melalui kalelawar, karena terlalu tamak dan terlepas dari kendali alam. Nyatanya, manusia berbeda dengan kalelawar. Mereka jelas-jelas lebih hebat dari manusia yang selalu merasa makhluk paling unggul dari apapun.

Kalelawar memiliki mekanisme pertahanan tubuh yang luar biasa kuat. Bergerak diam-diam tengah malam, menyeberangi berbagai kawasan untuk membantu manusia mengatasi hama di lahan pertaniannya. Terbang dari satu pohon ke pohon lain, membantu penyerbukan setiap bunga yang ia hinggapi. Kelelawar tidak takut gelap, juga tidak takut dingin. Kalelawar bisa melihat dalam gelap dengan matanya sendiri. Kalelawar bisa memeluk tubuhnya sendiri dengan jubah lebar yang selalu melilit lengannya.

Baiklah, kelelawar memang lebih hebat dari manusia. Namun, manusia bisa melakukan apapun, seperti merubah dirinya menjadi kalelawar dan menjadi manusia sehebat kalelawar.

Cakra sekarang meluruskan kaki di sofa panjang. Dia memijat-mijat kakinya pelan sambil menghela napas panjang. Hari ini Alam, asdosnya itu, lebih banyak diam, bahkan terkesan jutek. Padahal ekspedisi minggu-minggu sebelumnya super duper menyenangkan, Alam bahkan hampir mengajak seluruh mahasiswa yang ikut serta di dalam proyek ini mabok semalaman. Kenapa sekarang justru segalak ini waktu mereka cuma berdua?

Alam itu sebenarnya kating tampan nan baik hati yang selalu ramah sama siapapun. Keterampilan dan kepandaiannya di atas rata-rata, makanya sebelum dia wisuda bulan kesepuluh tahun ini, Pak Jamal buru-buru ajak dia di banyak proyek dan angkat dia sebagai asistennya.

Cakra menghela napas panjang. Memang sih, baru kali ini Cakra “berduaan” sama Mas Alam, tapi dia yakin Mas Alam itu sebenarnya ga segalak ini. Tadi aja, sewaktu mereka baru sampai di vila, Mas Alam langsung pergi ke kamarnya. Entah bersih-bersih, entah menghindar dari emosi ketika harus berbincang dengan Cakra.

Kalau dipikir-pikir hari ini memang Cakra lebih banyak jatohnya, sih. Beberapa kali juga dia diteriaki Mas Alam karena kurang fokus. Apa karna Cakra ga fokus gara-gara berduaan sama Mas Alam, ya? Arrrgghh, pokoknya Cakra kesel sama Mas Alam itu.

Cakra menghela napas panjang lagi. Yah, setidaknya ekspedisi kali ini nyaman. Mereka tidak harus kedinginan di tengah hutan sambil memeluk sleeping bag. Lihat! Cakra bahkan sedang merebahkan diri di atas sofa empuk.

Wilayah yang sedang mereka petakan memang tidak jauh dari tempat wisata, jadi banyak vila dan kendaraan yang bisa disewa. Untungnya, prodi mereka sedang berbaik hati, dan mengizinkan mereka menyewa fasilitas itu semua. Proyek mereka memang termasuk proyek besar, bekerja sama dengan beberapa perusahaan, salah satunya kawasan wisata sekitar. Jadi, semua terasa mewah.

Alam keluar dari kamarnya. Cakra langsung duduk tegak, tiba-tiba merasa tegang. Padahal Alam keluar dari sana dengan santai, menggosok kepalanya yang basah, serta badannya yang hanya dibalut sehelai bathrobe.

Cakra langsung melotot. Apa?! Bathrobe?! Yang bener aja, mereka cuma berduaan loh di sini! Cakra berdeham pelan. Alam hanya melirik singkat sambil meneguk minuman dingin dari kulkas.

Padahal maksud dehaman itu, kayak 'minimal pake baju lah bang', atau di 'sini ada orang, tolong'. Tapi yang Cakra sindir justru melangkah mendekat. Jantungnya langsung berdetak kencang, bahkan hampir meledak. Apalagi sewaktu Alam justru duduk di sampingnya.

“Kamu bersih-bersih dulu, gih. Saya tunggu di ruang tamu, ya.”

Cakra langsung bangun, pergi dari sana sambil berlari kecil. Kalau boleh, mending ga usah ditunggu, Mas!

Anehnya. Cakra justru mandi dengan cepat, bersih-bersih juga dengan cepat. Lalu, keluar dari kamarnya juga dengan cepat. Dia menggeram, arrgghh kenapa Mas Alam masih ga pake baju sih?!

Cakra takut-takut duduk di samping Alam yang tengah membolak-balik buku lapang mereka. Dia sedikit corat-coret, mungkin menambahkan beberapa catatan penting untuk lokasi besok yang akan mereka kunjungi.

Alam berdeham pelan, “Besok mungkin kita usahain dulu buat cek titik yang ada di utara, timur, sama selatan. Biar minggu depan Pak Jamal bisa ikut cek lokasi.” Dia masih fokus tatap catatannya.

Cakra mengangguk pelan, sepertinya besok kakinya akan berubah jadi lego, bisa dibongkar-pasang. Gila aja, empat titik dicek berdua doang? Semoga Seninnya Cakra ga langsung tipes.

“Malem ini istirhat, ya. Saya takut kamu sakit.”

Cakra langsung menunduk dalam sambil menggigit pipi bagian dalamnya. Dia menahan senyum dan menahan salting. Aduh, kenapa orang yang seharian ini dingin entah karena apa, malah tiba-tiba khawatirin dia begini. Cakra kan bisa makin suka.

“Tapi saya boleh tanya satu hal lagi?”

Cakra mendongak. Wajah Alam yang sedikit mengerut akhirnya terlihat. Cakra tidak melihat wajah galak atau tegas seperti sebelumnya. “Ke-kenapa, Mas?”

“Kamu sama Argatha ... pacaran?”

Cakra melotot. Kenapa Mas Alam bisa mikir kayak gitu?! Jelas-jelas dia abis marah besar sama Argatha yang ga bisa ikut buat pemetaan minggu ini, padahal ini tugas dia juga. Kenapa Mas Alam malah mikir dia suka sama orang nyebelin itu?!

“Kamu keliatan kecewa banget waktu Argatha ga ikut. Dan keliatan kesel karena harus ekspedisi berdua sama saya.”

Cakra jadi merasa bersalah karena Alam menunduk sedih. “Gimana mau pacaran sama Gata, orang aku sukanya sama Mas Alam.”

“Eh?”

“EH?!” Cakra menutup mulutnya. Kayaknya dia udah ketempelan penunggu di sini. Kenapa tiba-tiba dia ngomong kayak gitu?!

“Kamu ... suka sama saya?”

Cakra geleng-geleng, “Bu-bukan! Aku emang suka sama Mas Alam, tapi—” Cakra melotot lagi, memukul dahinya pelan. “Aduh, bukan!”

Alam justru tertawa, “Tapi kenapa?”

“Tapi, Mas Alam galak ....”

Cakra bisa merasakan sentakan kaget orang di depannya.

“Padahal kalo sama yang lain Mas Alam baik-baik aja tuh. Giliran kita berdua, Mas Alam malah galak, diemin aku terus.” Cakra cemberut. Dia sudah tidak peduli, setan mana yang merasukinya. Dia justru senang karena setan itu bisa membantunya untuk mengutarakan itu.

“Maafin saya,” Alam diam beberapa saat. Cakra akhirnya mendongak karena tidak sabaran untuk mendengar apa yang ingin Alam ucapkan.

“Seharian ini saya mikirin ada apa antara kamu sama Argatha. Beberapa kali saya teriakin kamu buat fokus, padahal seharusnya saya yang diteriakin kayak gitu.”

Cakra masih mencerna ucapan Alam. Matanya mengerjap-ngerjap lucu, kepalanya sedikit miring karena kebingungan. Alam sampai menggigit bibir bawahnya karena pemandangan yang terlalu menggemaskan itu.

“Kalo kamu sama Argatha ternyata ada sesuatu, saya bakalan patah hati banget. Makanya saya dari tadi jadi diem karena kepikiran itu terus.”

Eh? Patah hati? Satu detik. Dua detik. Tiga detik. Kenapa Mas Alam harus patah hati? Cakra masih berada di posisi seperti sebelumnya.

“Saya suka kamu, Cakra.”

Cakra melotot.

“Dari awal kamu jatoh di kantin dan numpahin es teh. Sampe akhirnya kamu selalu hati-hati setiap bawa es teh. Saya suka kamu.”

Cakra makin melotot. Numpahin es teh? Iya, dia emang sering jatoh, apalagi di kantin. Tapi yang dimaksud Mas Alam itu yang mana?!

“Waktu itu saya lagi pusing-pusingnya ngurusin penelitian saya yang ketunda. Terus setiap saya makan siang, saya selalu ketemu kamu. 'oh, ini adek yang kemarin jatoh' atau 'oh, ini adek yang kemarin jatohin bakwannya' dan hal konyol lainnya yang bikin saya ketawa.” Alam sedikit tertawa. Tapi wajahnya berubah serius sekarang.

“Saya tanpa sadar selalu makan siang di jam kamu makan siang. Tanpa sadar, saya nungguin kamu yang selalu bikin ketawa. Sampe akhirnya kamu ikut seleksi buat proyek ini ... saya seneng banget. Ternyata selain lucu, kamu juga pinter dan bisa yakinin Pak Jamal kalo kamu layak di proyek ini.”

Cakra menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Wajahnya pasti sudah semerah kepiting yang direbus dan dibumbui saus asam manis. Dia bahkan sampai tidak bisa bernapas dengan benar. Aaaa! Kalau begini caranya, siapa yang ga salting?!

Cakra bisa mendengar kekehan Alam yang semakin dekat. Dia sampai tersentak kaget karena tangannya ditarik agar wajahnya terlihat. Wajah mereka mungkin hanya berjarak beberapa senti sekarang. Cakra bahkan sampai juling untuk melihat hidung mancung Mas Alam.

“Maaf, Cakra. Tapi boleh saya cium kamu?”

Cakra memejamkan matanya kuat sebagai jawabannya. Alam terkekeh pelan sebelum mengecup bibir Cakra yang mengatup rapat. Cakra sebenarnya bukan orang awam untuk hal ini. Tapi ... dia seketika lupa bagaimana caranya bergerak. Terlebih lagi ketika Alam justru membuka mulutnya perlahan.

Cakra merasakan setiap kecupan itu dengan hikmat. Bibirnya perlahan mengikuti alur permainan yang Alam mainkan. Dia mengalungkan tangannya di leher Alam yang jenjang. Dia tersenyum, menikmati setiap bibirnya yang basah karena kecupan yang ia rasakan. Dan ada sedikit perasaan kecewa ketika bibirnya tidak lagi merasakan hangat yang menyenangkan, karena sekarang Alam sudah menjauhkan bibirnya perlahan.

Dia membuka matanya pelan-pelan. Alam di depannya tersenyum simpul. Pinggulnya dipeluk oleh tangan kekar orang di depannya. Oke, Cakra benar-benar dirasuki penunggu yang ada di sana. Dia langsung bangun dan duduk di atas paha orang di hadapannya.

Dia sedikit menunduk, tangannya menuntun tangan Alam untuk memeluk pinggulnya lebih erat, sedangkan tangan lainnya meremas rambut kepala Alam yang baru saja kering.

“Mas,”

Alam diam saja. Mungkin terkejut dengan apa yang sudah orang menggemaskan ini lakukan.

“Kalo Mas Alam mau lanjut, aku gapapa kok.” Cakra berbisik. Entah menggoda atau justru malu-malu.

Alam terkekeh panjang. Dia langsung berdiri sambil menggendong Cakra menuju kasur empuk yang sudah mahal-mahal prodinya sewa untuk menjaga kenyamanan mereka. Cakra pasti akan sangat lelah jika mereka harus “melakukannya” di sofa.

Kedua bibir yang terus melontarkan kecupan hangat itu tidak pernah terlepas sedetik pun ketika mereka berpindah tempat. Mereka tertawa pelan sambil melepas pakaian masing-masing sebelum kembali mencumbu bibir yang ada di hadapannya.

Cakra bisa merasakan seluruh kehangatan yang Alam berikan di setiap kecupannya. Tapi anehnya, kehangatan itu seperti tidak ada habisnya. Bahkan malam terasa berakhir begitu saja, dan mentari datang saat malam masih gelap gulita. Sekeliling mereka menghangat, membuat pipi berubah merah, dan sudut bibir yang tidak mau berhenti terangkat.

Cakra terkekeh karena Alam yang mengecup telinganya. Hangat. Telinganya hangat. Dia kembali tertawa karena lehernya dikecup berkali-kali. Hangat lagi. Lehernya hangat sampai rasanya ia ingin tertawa sepanjang malam. Alam berpindah ke dada dan perutnya yang naik-turun. Lagi-lagi hangat. Sekujur tubuhnya hangat. Cakra tertawa lepas karenanya.

“Cakra,”

Cakra berhenti tertawa. “Kenapa, Mas?”

“Jangan ketawa atau nanti saya makin gemes sama kamu.”

Cakra justru tertawa puas. Dan semakin puas karena Alam mengecup lehernya bertubi-tubi.

Tawanya berhenti karena Alam berpindah ke tempat lain. Lebih spesifik. Tempat yang akan melepaskan kehangatan lebih besar. Cakra mengerang pelan karena Alam justru memilin dan melumat bagian itu.

“Ah!” Cakra berteriak tertahan. “Kok digigit sih, Mas?!”

Alam malah terkekeh pelan, “Maaf. Suara kamu lucu banget. Saya jadi gemes.”

Cakra cemberut.

“Sakit, ya?”

Cakra menggeleng patah-patah, “Sakit sedikit aja, sih, tapi aku kaget.”

Alam mengecup bagian yang sebelumnya ia gigit dengan lembut. “Maaf, ya. Ga saya ulangin lagi. Janji.”

Cakra jadi tersenyum lebar. Mas Alam itu memang kadang galak, apalagi kalau selama di lapang ada anak yang ga fokus. Tapi Mas Alam itu sebenernya lembut dan baik banget. Cakra jadi meleleh karena Mas Alam.

“Mas Alam,”

“Kenapa? Kamu mau berhenti? Gapapa, ga usah kita lanjut kalo kamu sakit.”

Cakra cekikikan, “Aku boleh di atas ga?”

Alam tersentak lagi. Kaget. Makhluk menggemaskan ini barusan meminta apa?

“Aku di atas, ya? Aku mau liat Mas Alam.”

Alam tidak perlu diminta sekali lagi. Dia langsung merubah posisi. Cakra sekarang di atasnya, dia melepas ikatan bathrobe yang masih melingkari perut Alam. Cakra tersenyum lebar, giginya sampai terlihat sangking lebarnya. Alam ikut tersenyum karena senyuman itu.

Cakra terkekeh, dia mengecup sekujur tubuh orang yang ada di bawahnya, dari atas sampai bawah, dari dalam sampai terluar. Tidak ada bagian yang tidak terjamah olehnya. Tangan kekar Alam menelusuk di antara rambut-rambut Cakra yang berwarna keemasan.

Cakra menjauhkan bibirnya dari tubuh Alam. Dia terkekeh pelan sambil menggenggam milik Alam yang lebih besar dari telapak tangannya itu. Tapi setelahnya, dia justru terdiam ketika Alam melenguh pelan sambil terpejam. Dia mengurungkan niatnya untuk memasukkan apa yang dia genggam ke dalamnya.

Cakra sedikit mundur. Alam tersentak karena miliknya justru masuk ke bagian lain di tubuh Cakra. Dia menggigit bibir bawahnya karena Cakra justru menaik-turunkan kepalanya. Seisi tubuhnya seperti berkumpul ke satu tempat yang sama dan siap untuk meledak. Di dalam pejamannya, dia seakan-akan bisa melihat bagaimana tata surya terbentuk.

“Cak—”

Cakra melepas lumatannya. Lagi-lagi Alam tersentak kaget. Dia sedikit bangun untuk melihat makhluk menggemaskan yang baru saja melepas lumatannya ketika dia hampir sampai pada pelepasannya.

Cakra terkekeh pelan, “Maaf, Mas. Aku cuma pengen cobain aja.” Dia tersenyum lebar. Gigi manisnya berderet rapi.

Alam kembali merebahkan tubuhnya dengan nyaman dan menunggu Cakra kembali duduk di atasnya. Dia menghela napas berat.

“Cakra, kamu jangan main-main lagi, atau ga saya izinin buat di atas.”

Cakra cemberut, “Mas Alam jangan galak-galak lagi, atau ga aku izinin buat suka aku.” Dia mengikuti gaya bicara Alam, meledek.

Alam tertawa pelan. Adik tingkat yang kerjaannya jatuh di kantin atau menjatuhkan makanannya di kantin itu ternyata multi talenta. Selain menggemaskan, dia juga sangat lihai dan pandai di lapang. Dia juga ... pintar bermain di atas ranjang.

Lihat! Alam sudah tidak karuan karena Cakra memutar pinggulnya secara acak, tapi juga memabukkan. “Cakra,” Alam ikut tersentak karena Cakra sedikit menyentakkan pinggulnya. “Kenapa kamu pinter sama semua hal, hm?”

Cakra terkekeh, tapi setelah itu dia melenguh panjang. Tubuhnya sedikit gemetar. Tangannya yang sebelumnya menegang ke belakang, bertumpu pada kaki Alam yang menekuk, sekarang terkulai lemas di atas perut Alam yang naik-turun tidak beraturan.

“Dari kecil aku sering menyatu dengan alam, jadi sekarang aku udah banyak belajar.”

Alam tertawa pelan. Cakra hanya perlu tertawa atau mengatakan kalimat sederhana sebelumnya untuk menjadi gemas di mata Alam. Bahkan Cakra yang terdiam saja sudah cukup menggemaskan untuk Alam.

Cakra masih berada di atas Alam, terdiam. Dia mengatur napasnya untuk beberapa saat. Senyumnya terus mengembang sejak tadi, bersama dengan suara-suara lembut yang saling bersahutan di langit-langit ruangan.

“Kenapa kamu ga lanjut?” Alam protes.

“Aku udah bilang, aku mau liat Mas Alam.”

Cakra kembali tersenyum. Dia tidak berbohong, soal sejak kecil dia menyukai alam. Dia bahkan sering berkeliling ke berbagai ekosistem sejak umurnya lima tahun. Alam selalu memberinya pemandangan dan kenangan indah yang hanya bisa ia kenang dari hatinya. Dan sekarang, dia tidak tau jika dia bisa kenang dan menikmati pemandangan alam dengan cara yang lain.

Alam terkekeh pelan karena Cakra mengecup dadanya dan naik ke lehernya.

Orang tua Cakra menjadi seorang pecinta alam. Bahkan, namanya, Cakrawala, datang karena ibunya melahirkannya tepat di depan matahari terbenam di kaki langit. Begitu juga Cakra sekarang, dia menjadi seorang pecinta Alam. Cakra jatuh cinta dengan keindahan yang alam punya, begitu pula dengan keindahan yang ada di bawahnya sekarang.

Alam tersenyum tipis. Dia merubah posisinya cepat, kali ini Cakra tidak lagi di atas. Alih-alih protes, Cakra justru memeluk Alam erat. Bahkan jauh lebih erat dari yang sebelumnya.

“Mas,” Cakra memanggil Alam di tengah-tengah desahannya. “Cium Cakra lagi dong.”

Alam seperti tidak ada puasnya terkejut. Dia kembali terkejut dengan apa yang Cakra lakukan. Memintanya berciuman, bermain dengan lidahnya, bahkan meremas pinggulnya yang bergerak tidak beraturan.

“Mas,” Cakra memanggil Alam lagi. Dia melenguh panjang. Rupanya dia sudah sampai pada pelepasannya. “Aku cape.”

Alam tidak mendengarkan. Tampaknya dia juga hampir sampai pada pelepasannya. Seluruh tubuhnya kembali merasakan hal sebelumnya. Di dalam pejamannya, dia bisa melihat seluruh dunia sekaligus. Rasanya tidak ada kenikmatan yang bisa menandingi ini di dunia.

Cakra terus merengek sambil meremas lembut punggung Alam. Pinggulnya masih terus gemetar, tidak kuasa menahan rasa nikmat yang sejak tadi Alam tumpahkan padanya. “Mas—”

Suara Cakra seperti sengatan listrik untuk Alam. Ada sesuatu yang mendesak di bawah sana. Alam menyentakkan pinggulnya sekali lagi. Menelusuk ke tubuh Cakra amat dalam.

Sekali lagi membuatnya tenggelam di dalam keindahan sang alam yang selalu menjadi favoritnya. Lagi-lagi membuat Cakra gemetaran, dan tidak kuasa membuka mata karena kenikmatan yang tidak tertandingi.

“Mas,” Cakra akhirnya bersuara setelah sengatan di tubuhnya perlahan hilang. Napasnya tersengal, tubuhnya lemas, seluruh sendinya seperti sulit digerakkan.

“Hm?” Alam masih menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Cakra. Dia mengeratkan pelukannya sembari menghirup aroma tubuh Cakra lamat-lamat.

“Gimana nih, Mas? Aku kayaknya makin suka Mas Alam.”

Alam terkekeh, “Bukannya bagus? Kan saya juga suka kamu.” Dia bangun dari posisinya untuk melihat wajah Cakra yang cemberut.

“Kalo rasa suka aku lebih besar gimana?”

“Bukannya itu bagus juga?” Alam merebahkan tubuhnya di sisi ranjang yang kosong.

Cakra mendelik, “Males, ah. Nanti Mas Alam cuma php lagi!”

Alam tertawa puas, “Engga, Cakra. Saya juga suka kamu. Jadi saya bakalan seneng banget kalau kamu mau terima saya sebagai pacar kamu.”

Cakra tersenyum lebar. Dia mengangguk dengan semangat. “Aku juga bakalan seneng banget kalau jadi pacarnya Mas Alam!”

Alam terkekeh pelan. Dia menarik Cakra untuk masuk ke dalam pelukannya. Dia mengecup singkat kening Cakra, lagi-lagi memberinya kehangatan.

“Tapi, Mas.”

Alam tersentak lagi. Dia tidak berhenti terkejut karena ulah Cakra. Kenapa sekarang dia malah ragu?

Cakra menghela napas pelan. Dia membalas pelukan Alam dan menenggelamkan wajah di dada bidangnya. Betul juga. Kenapa sekarang dia ragu?

“Tapi kita masih harus fokus buat proyek ini sampe akhir bulan, Mas.”

“Iya, terus kenapa? Apa jadi pacar saya bikin kamu kurang fokus?”

Cakra berdecak pelan, “Bukan gitu! Tapi kita harus profesional, ga boleh pacaran pas ekspedisi.”

Alam tertawa, “Ya, kita kan pacarannya malam, waktu istirahat.”

Cakra masih terlihat ragu. Dia berdeham panjang.

“Kenapa? Ada hal lain?”

Cakra menggeleng patah-patah, “Cuma ... boleh ga kalo sementara ini kita sembunyiin hubungan kita, Mas?”

“Sembunyiin dari siapa?”

Cakra jadi menggeram kesal, “Dari temen-temen lah! Khususnya Argatha nyebelin itu. Aku ga mau nanti selama ekspedisi dia malah ngeledekin aku. Apalagi ngeledekin Mas Alam.”

Alam tertawa pelan, “Jadi kamu maunya backstreet dulu gitu?”

Cakra sekarang memasah wajah paling menggemaskan, memohon. “Iya. Mas gapapa, kan?”

Alam tampak berpikir panjang, mencoba untuk meledek Cakra. “Saya gapapa, sih. Asal ...,”

“Asal?”

“Asal main di atas saya sekali lagi.”

“Ih, engga!” Cakra memukul dada Alam pelan, “Kalo aku ga bisa naik-naik bukit besok Mas Alam marah lagi!”

“Gapapa, kan bisa saya gendong.”

Cakra memukul-mukul dada Alam lagi, kali ini lebih keras dari sebelumnya. “Nyebelin! Nyebelin! Kalo kayak gitu mah aku mau!”

Cakra belum pernah membayangkan hal seperti ini sebelumnya. Ekspedisi hanya berdua dengan Mas Alam?! Selama menyusuri hutan belantara, Cakra terus mengumpati Gata yang terus mendoakan hal buruk padanya.

Oke. Cakra memang suka asdos tampan itu. Tuturnya sopan. Perawakannya rapi. Tubuhnya tegap dan gagah. Wajahnya juga tampan. Ekhem. Maksudnya, sangat tampan. Tapi Cakra selalu bertingkah konyol jika ada di dekat Mas Alam contohnya seperti ...

“Aduh!” Cakra terpelesek karena medan terjal di depannya.

Mas Alam melirik, lantas menjulurkan tangannya. “Fokus.”

Cakra merinding. Ya ... meskipun dengan segala kelebihan yang Mas Alam punya, Mas Alam tetap asdos pada umumnya. Galak.

Cakra yang berjalan di belakang, terus bergumam, manyun-manyun. Kenapa pula dia harus berduaan sama Mas Alam yang ganteng dan galak itu. Iya sih ganteng, tapi kalau galak begini juga Cakra males.

“Aduh!” Cakra jatuh lagi.

Kali ini Mas Alam tidak menjulurkan tangannya. Dia justru berkacang pinggang sambil satu kakinya naik ke akar besar yang mencuat ke tanah. “Berdiri!”

Cakra langsung berdiri. Dia sedikit menunduk karena Mas Alam membentaknya.

“Kenapa kamu ceroboh banget, sih?! Tadi saya udah jelasin ulang Job Safety Analysis-nya di jalan. Seharusnya kamu lebih fokus!”

“I-iya, Mas. Maaf.” Cakra masih menunduk.

Mas Alam di depannya diam beberapa saat, sebelum akhirnya mendengus kasar. “Pindah di depan. Inget, kita udah harus selesai pemetaan sebelum gelap kalau kamu ga mau tidur bareng macam di sini.”

Cakra langsung melanjutkan perjalannya. Kali ini tidak dilengkapi sumpah serapah, makian, atau umpatan untuk orang yang ada di belakangnya. Dia benar-benar fokus agar perjalanan ini cepat selesai.

Tiga puluh menit berlalu, mereka sampai di tujuan sore ini. Bukit cukup tinggi yang dapat memperlihatkan berbagai bentuk vegetasi di sekitarnya. “Pohon pinus di utara bisa kita jadiin titik patok pertama.”

Cakra buru-buru ambil buku lapangnya di dalam tas. Mas Alam terus berbicara tanpa memberi jeda untuk Cakra bernapas sedikit saja.

“Pohon yang cabang tiga di timur, titik kedua. Pohon mahoni itu titik ketiga. Sebelah barat—”

“Yang ketiga tadi di mana, Mas?” Cakra buru-buru memotong sebelum ketinggalan.

Mas Alam menatap Cakra galak, “Yang itu.”

Jihoon buru-buru menuju kelas yang sebelumnya dia datangi. Kelasnya lumayan jauh, ada di lantai tiga dan berada di ujung koridor. Jihoon berlarian, menghindari orang yang berlalu-lalang. Dia khawatir dengan kondisi fisik dan mental, kesehatan jasmani dan rohani pacarnya itu.

Hari Rabu memang selalu menjadi hari yang mematikan, tidak terkecuali untuk anak-anak Semester 4 seperti pacarnya.

Jihoon belok kanan, masuk ke koridor yang berisi kelas-kelas. Di kursi panjang berwarna hijau yang berada di ujung koridor, terdapat dua mahasiswa yang duduk bersisian. Itu Hyunsuk dan Asahi.

“Udah, Suk. Jangan nangis. Kan lu dah tau itu si Udin bercanda doang.”

Hyunsuk di sampingnya masih tergugu, “Ta-hiks-pi kalo-hiks-Mas Ji-hiks-hoon bene-hiks-ran udah ga sa-hiks-yang gue gi-hiks-mana? HUAAA!”

Mata Jihoon dan Asahi bertemu. “Tugas gue selesai sampai sini.”

Hyunsuk jadi mendongak.

“Udah, ya. Gue pengen makan bareng Mas Jae.”

Hyunsuk menoleh ke arah Jihoon yang sekarang menatapnya tajam. “Kenapa ga dimakan?” Hyunsuk akhirnya menunduk lagi.

“Nungguin Mas Jihoon.” Cicit Hyunsuk.

Jihoon akhirnya duduk di samping Hyunsuk, membuka bungkusan makanannya. Satu porsi nasi katsu yang sudah dingin akhirnya terlihat. “Kenapa harus nunggu aku? Kan kamu udah laper sampe ngelantur gitu.”

“Mas Jihoon masih sayang aku, kan?”

Jihoon terkekeh pelan, “Itu pertanyaan yang ga perlu dijawab, Hyunsuk.”

Hyunsuk cemberut, “Tapi tadi Udin bilang gitu!”

Jihoon mengangkat alisnya. Dia menyendok sesuap nasi katsu untuk Hyunsuk. “Kan aku udah bilang Dino bohong. Kamu lebih percaya Dino gitu?”

Hyunsuk membuka mulutnya lebar, menyantap makanan yang Jihoon belikan. “Tapi—tapi—”

“Dikunyah dulu.”

Hyunsuk akhirnya melanjutkan ucapannya setelah berhasil menelan makanan pertamanya sejak kemarin. “Tapi kata Udin, Mas Jihoon ga sayang lagi kalo aku ga makan.”

Jihoon tertawa. Itu alasan terkonyol untuk berhenti menyayangi pacarnya yang gemas ini.

“Terus, terus, Udin bilang tadi Mas Jihoon ngasihnya marah.” Hyunsuk menunduk, dia memainkan kancing kemejanya. “Aku kira Mas Jihoon beneran.”

Jihoon mengusap rambut hitam Hyunsuk lembut, “Aku emang marah karna kamu ga makan. Tapi aku marah bukan berarti ga sayang kamu lagi lah!”

“Jadi Mas Jihoon masih sayang aku, kan?”

Jihoon terkekeh, “Aku malah tambah sayang sama kamu.”

Hyunsuk justru menangis sama kejarnya seperti sebelumnya. Untungnya tidak ada orang yang berlalu-lalang di ujung koridor itu selain orang yang ingin masuk dan keluar kelas. Jihoon taro makanannya sebentar untuk menarik Hyunsuk ke dalam pelukannya. Hyunsuk ini pasti bukan hanya menangis karena alasan konyol itu, pasti ada hal lain.

“Capek, ya, Sayang?”

Kepala Hyunsuk naik-turun selagi bahunya masih gemetar karena menangis. “Nilai kuisku hari ini kayaknya jelek, Mas.” Hyunsuk makin kejar menangis, “Kalo aku ngulang kelas gimana?”

Jihoon menghela napas berat, “Engga akan. Emangnya setiap kuis atau setiap ujian kamu jelek? Engga, kan?”

Jihoon sekarang menangkup kedua pipi Hyunsuk. Matanya bengkak, hidungnya memerah, pipinya penuh sama air mata. Jihoon tersenyum tulus, menenangkan pacarnya dari pikiran buruk.

“Ga usah pikirin hal yang bikin kamu pusing kayak gini, Sayang. Masih banyak hal dan tugas yang harus kamu pikirin. Kamu bisa pikirin hal-hal itu aja. Biarin yang ini jadi pembelajaran, ya?”

Hyunsuk mengangguk pelan.

“Nah, sekarang kan kamu udah tau. Makan itu hal yang penting. Sebanyak apapun tugas kamu, jangan sampe ga makan. Kan selain sakit juga, kamu jadi ga fokus ngapa-ngapain. Besok-besok laprak jangan dikerjain H-1, ya?”

Hyunsuk mengangguk lagi. Dia buru-buru membuka mulutnya lebar, “mau disuapin lagi.” Minta makan, sebelum Jihoon berubah marah-marah.

Jihoon ketawa pelan. Hyunsuk emang paling pinter ngehibur Jihoon dengan segala tingkah lucunya ini. Bahkan sekedar minta suapin lagi aja gemes banget. Gimana Jihoon bisa berenti sayang sama pacarnya yang gemes ini?

“Abis ini Mas Jihoon ada kelas lagi, kah?”

Jihoon menggeleng, “Ga ada. Hari Rabu aku cuma satu matkul.” Dia terkekeh, karena melihat ekspresi wajah Hyunsuk yang iri.

“Cih, enak banget. Aku malah praktikum dua kali. Pretest dua kali. Ngumpulin laprak dua kali. Tinggal mati aja.”

“Hush! Ngomongnya.”

Hyunsuk cengengesan, “Maaf, Mas Jihoon. Aku bercanda doang kok, ril!”

“Bercandanya ga lucu.”

Hyunsuk cemberut, “Abis ini aku mau tidur dulu boleh engga?”

Jihoon menyendok suapan terakhir untuk Hyunsuk, “Boleh. Nanti aku temenin, biar kamu ga kebablasan.”

Hyunsuk sampai berdiri kesenengan. “Yeay!” Dia langsung memeluk Jihoon erat. “Makasih, ya, Mas!”

Jihoon jadi tertawa pelan. Liat, kan? Pacarnya selalu gemes.

“Aku kalo tidur di sela-sela jam praktikum selalu mimpi buruk. Terakhir aku tidur siang, aku mimpi telat bangun jam 13.45. Padahal aku harus udah di kampus jam 13.40. Bangun-bangun ternyata masih jam 12.20?!” Hyunsuk cerita panjang lebar. Dia cemberut, menghayati ceritanya.

“Bangun-bangun aku langsung kaget! Hampir nangis karena kirain telat beneran! Dari situ, aku ga mau tidur siang lagi.”

Jihoon tertawa puas. “Yaudah, sekarang kan aku temenin. Nanti kamu mau dibangunin jam berapa, hm?”

“Beneran Mas Jihoon temenin?”

“Hu'um.”

“Tidur bareng Mas Jihoon gitu?”

“Hu'um.”

“Dipeluk Mas Jihoon juga gitu?”

“Kalo kamu mau dipeluk, aku peluk kenceng banget pokoknya.”

Hyunsuk kesenengan. Dia bahkan loncat-locat kecil sangking senengnya. Dia menangkup kedua pipi Mas Pacar-nya yang masih duduk di kursi, sedangkan dia berdiri dengan satu lutut yang bertumpu di sela-sela kaki pacarnya. Dia menoleh ke kiri dan ke kanan, memastikan tidak ada siapa-siapa di sana.

Cup!

Hyunsuk mengecup bibir Jihoon pelan sebelum lari kecil ke dalam kelas, mengambil tas dan barang-barangnya, lantas bergegas menyapa kasur dan tidur siang di dalam pelukan Mas Pacar-nya.

Kring! Lonceng kecil di atas kafe terdengar.

“Maaf, kami belum bu—” Hamdan berhenti ketika melihat siapa yang datang. Dia menghela napas panjang.

“Belom buka. Ngapain ke sini?”

“Lo masih belum mau putus dari Jion?”

Hamdan memutar matanya malas, melanjutkan aktivitasnya, dan tidak memedulikan pertanyaan orang yang baru saja datang dengan piyama yang dilapisi hoodie abu-abu itu.

“Apa yang udah dia kasih sih sampe lo kayak gini?” Orang itu mengikuti Hamdan yang bolak-balik ke dapur.

“Gue udah bilang, Dan. Jion itu brengsek, dan yang baik buat lo cuma gue!”

Hamdan akhirnya balik kanan. Dia sedikit mendongak untuk melihat Arka yang jauh lebih tinggi darinya berdiri tepat di hadapannya.

Hamdan menghela napas panjang. Dia tau, Jion brengsek dengan semua yang dia lakukan. Tapi dia juga tau yang terbaik untuknya hanya Jion.

“Tinggalin Jion, dan tinggal bareng gue, ya, Dan?”

Hamdan menggeleng, kembali menuju dapur, dan membiarkan Arka menjadi buntutnya ke manapun dia pergi.

“Apa sih yang lo liat dari dia, Dan?”

“Ka,” Hamdan akhirnya bersuara. “Kalo gue harus ninggalin Jion dan tinggal bareng orang lain, bukan lo orangnya.”

“Maaf, permisi mengganggu waktu berantemnya.” Joshua datang, memberi jarak antara Arka dan Hamdan sebelum perdebatan mereka lebih panjang.

“Aku aja yang gantiin, Kak Dan. Di depan udah ada Kak Sean sama Kak Jevan.” Ucap Joshua sambil mengikat apronnya ke belakang.

“Kamu lanjutin yang di belakang aja, Jo. Tinggal dikit lagi.”

“Oke, siap, Kak.”

Hamdan menahan langkah Joshua, “Oh iya, sama minta tolong buat yang ga berkepentingan bisa di luar aja.”

Joshua menatap Hamdan dan Arka bergantian. Lantas mendorong Arka pelan untuk keluar dari dapur.

Kafe memang selalu ramai ketika hari libur. Hamdan juga tidak mengerti, kenapa banyak anak muda yang memilih kafe yang tidak begitu besar ini untuk “nongkrong”. Kecuali tiga anak muda yang sudah tidak bisa dibilang muda lagi yang ada di meja paling ujung sekaligus meja paling besar. Mereka selalu jadi pelanggan pertama di kafe ini, apalagi ketika ada banyak pertanyaan yang ingin mereka ajukan untuk Hamdan.

Hamdan akhirnya menghampiri mereka ketika pengunjung sudah tidak begitu ramai. Dia berkacak pinggang, “Udah abis dua gelas, kalian mau sampe kapan di sini?”

Sean melirik singkat, lantas mengangkat bahu malas. “Sampe lo putus dari Jion.”

“Jadi kalian ke sini cuma pengen nyuruh gue putus dari Jion?”

“Iyalah! Mau ngapain—”

“Engga, engga.” Jevan buru-buru memotong ucapan Arka. Dia menarik Hamdan untuk duduk di antara mereka. “Kita tau lo cuma lagi butuh dukungan. Makanya kita dateng.”

Hamdan mendengus kasar. Dia melipat tangannya di depan dada. Masih menatap tiga temannya itu dengan tajam bergantian.

“Pertama, coba lo jelasin dulu. Alesan lo ga mau putus kenapa?”

Hamdan sudah membuka mulutnya. Siap-siap untuk menjawab pertanyaan Jevan.

“Salah! Kamu kalo nanya gitu mah dijawabnya gue sayang Jion.” Sean meledek sambil memutar matanya malas.

Jevan menghela napas panjang, “Yaudah, gue ganti pertanyaannya. Jion ngapain aja emang sampe bisa punya anak kayak gitu?”

“Ya, selingkuh lah. Emang ada alesan lain?” Sekarang justru Arka yang menjawabnya.

Hamdan menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Semua pertanyaan itu hampir tidak perlu dia jawab, semua teman-temannya juga sudah tau jawabannya.

“Jion dijebak.” Hamdan akhirnya menjawabnya. Dia menunduk, tidak ingin menatap mata teman-temannya ketika berbohong. “Jion lagi mabok dan ...”

“Ga usah naif lah, Dan. Lo pikir mabok dan ngelakuin itu sekali dua kali bisa jadi anak?” Sean menatap Hamdan tidak percaya.

“Tapi nyatanya emang kayak gitu, Yan. Jion dijebak sama anak atasannya yang udah ngejar-ngejar Jion sejak hari pertama Jion kerja di sana.”

Arka menggeram, “Lo percaya sama omongan kayak tai gitu, Dan?”

Hamdan menutup matanya rapat-rapat. Dia tidak ingin menangis sekarang. Bukan. Dia tidak boleh menangis di depan teman-temannya. “Cuma itu yang bisa gue lakuin. Gue sayang Jion dan gue cuma mau percaya dia.”

Huek!” Sean pura-pura muntah, “Udah enek gue denger omongan lo soal Jion, Dan, serius.”

Arka bangkit dari kursi. Dia mengacak-acak rambutnya dan pergi tanpa berpamitan. Kursi di samping Hamdan akhirnya kosong, Jevan pindah untuk mengisi kursi kosong itu.

“Dan, lo salah kalo lo mikir cuma punya Jion. Lo punya kita, temen-temen lo. Jadi lo ga perlu khawatir, lo ga akan sendirian lagi.”

Sean ikut berdiri, “Lo berhak bahagia, Dan. Lo ga seharusnya terjebak di dalam Jion yang bisa bikin lo lebih sakit dari ini.”

Hamdan mendongak, menatap Sean yang melangkah pergi. Jevan di sampingnya juga berdiri, “Semua keputusan akhirnya ada di lo, Dan. Putus atau ga putus dari Jion, kita semua masih temenan, oke?”

Hamdan mengangguk pelan. Dia tersenyum tipis karena merasakan usapan lembut di pundaknya.

“Gue duluan, ya.”

Tepat setelah pintu tertutup, Hamdan menangis. Dia berlari ke arah dapur, dan tidak memedulikan semua mata pengunjung yang melihat ke arahnya.

Cinta memang sudah membuatnya buta dan tidak bisa melihat dunia dengan benar. Hamdan memang membenci Jion, perlakuannya tidak pernah bisa dimaafkan. Tapi ... ada banyak hal baik yang Jion korbankan untuk Hamdan. Ada banyak hal yang akhirnya membuat Hamdan jatuh cinta pada Jion. Apa seribu cintanya bisa hilang hanya karena sepersekian rasa kecewa? Tentu saja tidak, Hamdan masih mencintai Jion.

“Kak Dan?”

Hamdan buru-buru mengusap air matanya. Hamdan terduduk di sudut dapur, memeluk lututnya. Dia mendongak, memaksakan senyumnya pada karyawan part time-nya yang sudah berlangsung hampir sepuluh bulan.

“Kenapa, Jo? Ada yang dateng lagi?”

Joshua menggeleng pelan. Dia sedikit menimbang-nimbang kata yang ingin ia ucapkan. Sebelum itu, dia berjongkok dengan satu kakinya. “Kak Dan, maaf tadi aku denger sedikit pembicaraan Kak Dan sama temen-temennya Kak Dan.”

Hamdan mengangguk, “Ga masalah, Jo. Maaf, ya, kita ngobrol berisik banget.” Hamdan masih memaksakan senyumnya.

“Um, tapi aku dukung semua keputusan Kak Dan. Soalnya ga akan ada yang tau gimana kita bahagia kalo bukan diri kita sendiri. Jadi,” Joshua tersenyum lebar, “yang tau kebahagiaan Kak Dan cuma Kak Dan sendiri.”

Hamdan kembali menangis. Joshua jadi kelabakan, “Ma-maaf kalo aku salah ngomong, Kak Dan.”

Hamdan menggeleng pelan. Bahunya gemetar karena isakannya. Joshua akhirnya menarik Hamdan ke dalam pelukannya. “Ma-maaf lagi, Kak Dan. Aku izin peluk Kak Dan, ya? Ga baik nangis sendirian, nanti dadanya Kak Dan sakit.”

Hamdan jadi tertawa pelan mendengarnya. Dia mengangguk di dalam pelukan Joshua. “Makasih, ya, Jo.”

Malam itu, malam ulang tahun Jion. Hamdan sudah berisik sejak pagi, meneleponnya. “Malem ini pokoknya jangan pulang malem-malem! Aku bakalan masak di apart kamu.”

Malam itu, Jion juga datang tepat waktu, menepati janjinya untuk tidak pulang larut malam. Tepat Hamdan meletakkan piring terakhir di atas meja makan, Jion datang dan memeluknya erat.

Hamdan tertawa renyah. Jion seperti anak kecil yang bertemu boneka panda raksasa, sangat erat dan tidak ada tanda-tanda ingin melepasnya. “Peluknya erat banget?”

Jion terkekeh, “Aku kangen tau.”

Hamdan memukul lengan Jion pelan. “Udah ah, aku laper. Belum makan.”

Jion tidak mendengarkan. Dia justru menangkup pipi Hamdan dengan kedua tangannya. Mereka bertatapan seperti dua orang yang belum bertemu selama puluhan abad.

Hamdan jadi cekikikan, “Kenapa, sih?” Dia mengelus tangan Jion yang masih ada di pipinya.

Cup!

Jion mengecup bibir Hamdan cepat.

“Kamu kenap—”

Cup!

Jion mengecup bibir Hamdan lagi.

“Jion!” Hamdan protes sebelum Jion mengecup bibirnya lagi. “Nanti makanannya keburu dingin!”

Jion terkekeh, “Iya, iya, maaf.”

Mereka makan dengan lahap. Sambil dihiasi dengan perbincangan hangat tentang hari ini.

“Kayaknya aku mau cari karyawan buat di kafe, Ji. Menurut kamu gimana?”

Jion mengangkat alisnya, “Kenapa gitu?”

“Iya, soalnya udah mulai rame. Kayaknya susah kalo sendirian.”

Jion mengangguk pelan, “Menurutku gapapa. Justru bagus, kamu jadi ga kecapean.”

Hamdan berhenti dari makannya. “Tapi buat perbulannya kayaknya ga besar, Ji. Aku takut malah ngeberatin orang lain.”

Jion justru melahap makanannya dengan santai, “Kan kamu bicarain dulu, terus buat kesepakatan. Kalo itu mah ga usah dibawa pusing. Ga ada salahnya coba buka lowongan dulu.”

Hamdan mengangguk-angguk. Betul, tidak ada salahnya. Mungkin penawaran dia justru diminati banyak orang. “Kalo kamu?”

Jion mendongak.

“Ada cerita apa hari ini?” Hamdan tersenyum senang. “Kamu kayaknya bahagia banget hari ini.”

Jion tersenyum semakin lebar. “Aku ada dapet kerjaan bagus, Dan.” Jion menarik tangan Hamdan, “Pokoknya kalo berjalan lancar, kita bukan cuma bisa nikah, tapi kita bisa beli rumah juga.”

Hamdan tertawa renyah. Dia mengangguk cepat, rambut hitamnya naik turun karena anggukan penuh semangat itu. “Aku tunggu, ya, Jion.”

Jion selesai makan lebih cepat. Dia beranjak dari meja makan cepat sebelum menghabiskan hidangan penutup. Hamdan hampir mengoceh, tapi Jion kembali lagi dengan paper bag di tangannya. Hamdan mengurungkan ocehannya, dan menatap Jion bingung.

“Itu apa?”

“Coba buka.”

Hamdan semakin keheranan. Bukannya ini ulang tahun Jion? Kenapa dia yang justru mendapatkan kejutan?

Hamdan menutup mulutnya yang menganga lebar. “Ji?”

“Cantik, ga?” Jion benar-benar bahagia. Terlihat dari caranya ia tersenyum.

“Kemarin aku ga sengaja liat itu pas lagi beli kemeja baru. Aku keinget kamu.” Jion tersenyum semakin lebar.

“Jion.” Bukannya tersenyum bahagia, Hamdan justru hampir menangis.

“L-loh? Kamu kenapa nangis?”

Hamdan menggeleng cepat, “Aku ga nangis! Aku terharu.” Tapi sedetik kemudian dia menangis.

Jion sampai berjongkok dengan satu kakunya di hadapan Hamdan. Lantas mengusap air matanya pelan. “Lucu banget sayangnya aku terharu.” Jion terkekeh.

“Kita–hiks–harus na–hiks–bung tau!”

Jion tersenyum simpul. Dia menyisir lembut rambut Hamdan dengan jemarinya, menyapu lembut anak rambut Hamdan yang memanjang hingga ke belakang telinga. Dia berdiri sedikit dan mengecup kening Hamdan yang terbebas dari rambut yang mengganggu. “Ga masalah, Dan. Aku harus kasih hadiah buat hadiah aku yang ga ternilai harganya. Aku pakein, ya?”

Hamdan mengangguk cepat. Rambutnya kembali bergoyang dan menutupi keningnya yang masih tersisa bekas kecupan Jion sebelumnya. Dia membiarkan Jion mengambil liontin di dalam kotak, dan membetulkan posisi duduknya agar Jion mudah memakaikannya.

Jion membuka pengait liontinnya, lalu mengalungkannya di leher Hamdan yang seputih susu. Dia mengecup ceruk leher Hamdan sebelum kembali ke posisi semula.

Hamdan menunduk sambil memainkan liontinnya. Bibirnya mengerucut, dagunya jadi sedikit membentuk lesung yang lucu.

Jion mencolek dagu Hamdan, “Kok malah cemberut? Ga suka, ya?”

“Suka! Cuma,”

“Cuma?”

“Cuma, kenapa kamu yang ngasih aku hadiah? Aku ga nyiapin hadiah apa-apa buat kamu.” Lesung di dagu Hamdan semakin dalam.

Jion terkekeh, dia akhirnya mengecup bibir Hamdan singkat agar dia tidak lagi cemberut.

“Loh? Emang kamu ga ada nyiapin aku hadiah?”

Wajah Hamdan mengerut lagi, “Engga!”

“Yang setiap malem kamu siapin buat aku apa dong?”

Hamdan mendelik, kebingungan. “Tiap malem apa?”

Jion tersenyum jahil, “Tuh!” Dia menunjuk ke arah bawah dengan matanya. Lebih tepatnya ke arah bagian bawah perut Hamdan.

“IH! Dasar jelek!” Hamdan memukul lengan Jion agak kuat.

Jion sedikit meringis, tapi dia tidak berhenti meledek. “Tiap hari kamu kasih hadiah loh ke aku. Bikin aku kesenengan, keenak—”

“DASAR! Orang jelek mesum!”

Jion tertawa puas. Hamdan sangat lucu ketika kesal. Meskipun terkadang Jion benci lesung di dagunya karena cemberut, tapi itu tetap lucu di matanya. Hamdan memang selalu lucu.

Tawanya terpotong oleh dering ponsel Hamdan. Jio menatap Hamdan khawatir karena bukannya buru-buru mengangkat, Hamdan justru menutup ponselnya cepat-cepat. “Kenapa?” Tanya Jion.

Hamdan kelabakan, “Gapapa.”

“Itu siapa?”

Hamdan menggeleng patah-patah, “Orang iseng doang paling.”

“Dan? Aku tau setiap kamu bohong gimana.”

Hamdan menghela napas pelan. “Itu kayaknya orang suruhannya mama. Udah beberapa hari ini telfonin aku terus.”

“Sejak kapan?”

Hamdan menjawab dengan isakannya. Jion buru-buru menarik Hamdan ke dalam pelukannya.

“Aku takut.” Hamdan terisak, “aku takut mama dateng lagi.”

Jion mengusap pucuk kepala Hamdan lembut, “Jangan takut. Ada aku. Kalo mama dateng bawa orang kayak waktu itu lagi, atau mungkin lebih banyak, aku bakalan selalu ada di depan kamu, Dan.”

“Tapi aku takut. Kali ini mama ancem aku, Ji.”

Jion melepas pelukan mereka. Dia mengusap pipi Hamdan dengan ibu jarinya, lantas mengecup keningnya. Dia diam di tempatnya cukup lama, agar Hamdan tenang dan mengerti bahwa Jion tidak akan ke mana-mana.

“Tunggu sebentar lagi, ya, Dan? Sebentar lagi, kita bakalan bener-bener hidup berdua. Dan kamu bakalan jadi tanggung jawab aku sepenuhnya. Mama ataupun papa kamu ga akan punya hak lagi soal kamu. Tunggu aku, ya?”

“Dan?”

Hamdan menoleh. Dia tersadar dari lamunannya karena Jion yang keluar dari kamar memanggilnya.

“Eh? Kok bangun?”

Jion mengehela napas pelan. “Kamu kok ga tidur?”

Hamdan melirik jam dinding.

02.14

Hamdan menunduk lagi. Bagaimana dia bisa tidur jika di kepalanya terus berputar dan bercampur antara pertanyaan dan sumpah serapah itu.

“Kamu ...,” Hamdan berhenti. Dia ragu-ragu melanjutkan ucapannya.

Jion mendekat, seperti mendesak Hamdan untuk mengatakannya tanpa ragu.

“Kamu ga berniat cerita soal apa yang terjadi sama kamu?” Tanya Hamdan tanpa menatap mata Jion sedikitpun.

Jion akhirnya bersimpuh di hadapan Hamdan yang sejak dua jam yang lalu hanya terduduk di sofa ruang tamu. Dia menarik kedua tangan Hamdan untuk dia genggam. “Kamu tetep mau denger meskipun itu salah aku?” Jion mendongak, menatap Hamdan yang masih menunduk.

Hamdan bergeming.

“Kamu tetep mau denger meskipun kamu bakalan anggep aku cowo bajingan?” Suara Jion bergetar.

Hamdan mengangguk pelan. Yang terpenting, dia tenang malam ini, tidak dihantui oleh seluruh pertanyaan dan pikiran buruk yang membuatnya gila. Urusan dia akan membenci atau menganggap Jion bajingan itu urusan belakangan.

Jion menelan ludahnya lamat-lamat. Dia mengusap lembut punggung tangan Hamdan dengan ibu jarinya. Dia menunduk, sambil tersenyum, menahan air matanya.

“Cewe itu, anak atasan aku.”

Kalimat pertama saja, mampu membuat Hamdan terisak. Bagaimana dengan kalimat selanjutnya? Tapi Jion memilih untuk melanjutkan kalimatnya.

“Kamu inget waktu aku dapet kerjaan yang bagus itu?” Jion mendongak, tersenyum miris dengan isakan Hamdan.

Bahu Hamdan bergetar. Dia tidak bisa menjawabnya, dengan gelengan ataupun anggukan.

“Aku emang ngelakuin itu sama dia.” Jion menggigit bibir bawahnya ketika mendengar isakan Hamdan yang semakin kencang.

Jion menghela napas panjang, “Maafin aku, Hamdan. Atasanku janjiin project itu ke aku. Dan aku terlalu tergiur sama semua benefit yang bisa aku dapet.”

Hamdan mendorong Jion untuk menjauh. Dia bangkit dan bergegas keluar dari tempat yang tidak ingin ia datangi lagi.

Jion menahan langkah Hamdan. Dia memeluk Hamdan dari belakang, membasahi baju Hamdan dengan tangisan dan penyesalannya. “Maafin aku, Dan. Aku cuma mau cepet-cepet nikahin kamu dan hidup berdua. Aku cuma mau kamu ga perlu lagi harus kabur setiap dicariin orang tua kamu.”

Hamdan menggeleng, “Dari semua cara yang bisa kamu perjuangin, kenapa harus cara itu, Jion?!”

Jion tidak menjawabnya, karena dia memang tidak mengetahui alasan mengapa dirinya sebodoh itu.

“Kenapa dari sekian banyak cara buat bikin aku bahagia, kamu justru sekingkuh, Jion?” Hamdan balik kanan, menatap Jion dengan matanya yang sembab.

Jion terisak. Tidak sanggup menjawab alasan bodoh lain yang siap ia gunakan untuk menahan langkah Hamdan.

“Aku kecewa sama kamu.”

Hanya tersisa satu cara agar Jion kembali menjadi pria bajingan, yaitu menangis dan memohon agar Hamdan tidak pergi. Dan betul saja. Bodoh memang sudah menjadi nama belakang yang cocok untuk Hamdan.