— ESTRANGED.

Sagara Kertanegara dari mata seorang Prabu Rajasanagara.


Rajasa berumur enam tahun waktu ia sadar Sagara adalah pelindungnya.

Kejadiannya sederhana. Ia tidak sengaja menyenggol pajangan kaca milik sang ibu ketika berlari mengejar kakaknya. Rasa takut dan bayangan akan apa yang sang ibu lakukan langsung menyerang anak laki-laki berumur lima tahun itu secara brutal. Tanpa sadar air mata pun berkumpul di matanya hendak menyesak untuk keluar.

Walaupun umurnya baru enam tahun, Rajasa sudah familiar dengan ikat pinggang berwarna hitam yang menjadi senjata ampuh ibunya untuk menegakkan kedisiplinan itu. Dan ia tau, kejadian seperti ini akan membuat dirinya kembali bertegur sapa dengan beda tersebut.

“Apa itu yang pecah?” Sebuah suara dingin nan familiar itu membuat tubuhnya membeku. Bahkan ia tidak sadar kalau Sagara kini sudah ada di sampingnya, “Sagara? Rajasa?”

“P…paj—”

“Pajangan burung merak, bu.” Jawab Sagara cepat, memotong ucapan sang adik. Ia tau betul bahwa adiknya itu sedang menahan tangis.

“Laki-laki gak boleh nangis. Menangis itu hanya untuk orang lemah. Anak bapak gak ada yang lemah.” Ucapan sang bapak selalu terngiang di kepala keduanya. Dan kalau mereka ketahuan menunjukan kelemahan itu, hukumannya akan lebih parah. Itulah mengapa Sagara langsung menyelak. Biar Rajasa punya waktu untuk menutupi ketakutannya.

“Kenapa bisa jatuh?”

“Tadi Sagara gak sengaja nyenggol waktu lagi ngejar Rajasa. Maaf ibu.”

Rajasa yang mendengar perkataan kakaknya itu langsung mendongak terkejut. Bahkan Sagara kini tak menatapnya sama sekali. Pandangannya mengarah pada sang ibu, tidak ada ketakutan sama sekali di mata sang anak sulung.

Wanita yang keduanya panggil ibu itu mengangkat sebelah alisnya, jelas paham apa yang anak sulungnya sedang coba lakukan, “Sudah berapa kali ibu bilang untuk gak lari-larian di dalam rumah? Kalian ini bukan di hutan liar. Jangan berperilaku seolah-seolah tidak pernah diajarkan tata krama!”

“Iya bu, maaf.”

“Sagara ikut ibu.”

Mendengar perintah tersebut Rajasa pun panik, “Bu, Mas Sag—”

“Iya, Bu.” Potong Sagara cepat, kali ini ia baru menoleh kepada adiknya. Dari wajahnya, Rajasa tau sang kakak sedang menyuruhnya berhenti berbicara, “Tunggu Mas di kamar, nanti kita main lagi ya.”

“Mas—”

“Ke kamar, Rajasa. Nurut sama Mas.”

Menyerah, akhirnya Rajasa pun mengangguk. Tapi belum sempat beranjak, suara sang ibu memberhentikannya, “Tunggu. Rajasa ikut juga.”

“Bu, Rajasa gak salah. Ini Sagara yang—”

“Iya, tapi Rajasa juga harus lihat konsekuensi nya kalo gak dengerin ibu.”

Sang ibu tau persis sebenarnya kalau sang anak bungsu lah yang salah. Untuk itu secara tidak langsung ia juga menghukum Rasaja. Yuni paham, hal yang lebih menakutkan untuk sang anak bungsu selain hukuman darinya adalah melihat sang kakak menderita.


Rajasa berumur sebelas tahun waktu ia sadar bahwa Sagara tidak akan selamanya ada di sampingnya.

“Cuma satu tahun, Rajasa. Tahun depan kamu bisa ikut Mas ke Yavadvipa juga!”

“Tapi satu tahun itu lama, Mas. Kalau Mas Sagara lupa sama aku gimana?”

Sagara yang sedang memasukan barang terakhir ke dalam tasnya pun berhenti kemudian menatap adiknya sendu, “Gak mungkin. You’re the person I love the most in this world, Rajasa. It will always be you and me against the world.”

“You promise?”

Mereka udah bukan lagi anak kecil. Keduanya sudah sama-sama paham sedikit tentang dunia diluar tembok rumah megah yang mereka singgahi dari lahir.

Tapi di saat-saat seperti ini. Waktu hanya mereka berdua dan tidak ada siapa pun lagi, Sagara akan selalu menjadi sang pelindung untuk Rajasa. Dan Rajasa akan selalu jadi sosok yang mengingatkan Sagara kalau dunia tidak sejahat itu kepadanya.


Rajasa berumur dua belas tahun waktu ia sadar bahwa Sagara tidak selalu bisa memegang omongannya sendiri.

Kesadarannya datang pada suatu sore secara tidak sengaja waktu dirinya sedang duduk di perpustakaan.

Rajasa selalu suka bagian paling pojok sebelah kanan di lantai dua. Selain karena ada banyak bean bags yang nyaman, bagian ini juga terpencil dan jarang ada yang mengunjungi. Tentu saja sebelum Sagara mempunyai pemikiran untuk menarik sahabatnya kesini.

Namanya Januari. Laki-laki tampan yang hampir tidak pernah terlihat pergi dari sisi kakaknya semenjak mereka ditempatkan di satu asrama yang sama beberapa tahun lalu. Dimana ada Sagara disitu ada Januari.

Walaupun mereka punya dua teman lain, Pedro dan Rakai, namun semua juga tau bahwa Sagara dan Januari ini bagai pinang dibelah dua. Dua sisi dari satu koin yang sama.

Rajasa ada ditempat yang lumayan tertutup saat itu. Ia juga tidak bermaksud untuk menguping pembicaraan kakaknya. Tapi bukan Sagara namanya kalau tidak berisik. Keduanya sedang membahas tentang Rakai. Dari pembicaraan tersebut kecurigaan Rajasa tentang kakaknya yang memiliki perasaan pada sahabatnya sendiri pun terkonfirmasi.

“Do you think I have a chance with him?”

“Of course you do. You can have anyone you want, Sag. I mean look at yourself!”

“Lo cuma bilang itu karena lo temen gue, Jan.”

”Oh come on, Rakai bakalan jadi orang paling bodoh sedunia kalo dia gak bisa liat seberapa hebatnya lo, Sag. Dan kita tau Rakai jauh dari kata bodoh.”

“You mean that?”

“You know I do.”

Rajasa tidak perlu melihat keduanya untuk tau kalau sekarang mereka sedang berpelukan. Suasana hening untuk beberapa saat sebelum kakaknya pun kembali berbicara, “You’re the best! Do you know that? I don’t know what would I do without you.”

“I know. And you know the feeling is mutual right? You’re the brother I never had, Sag. Please know that I will always got your back. It’s you and me against the world, right?”

“You and me against the world.”

Ini bukan pertama kalinya Rajasa dikecewakan oleh orang-orang yang menyandang status keluarga. Namun ia tidak pernah menyangka kalau Sagara akan menjadi salah satu orang yang melakukannya.


Rajasa berumur empat belas tahun waktu ia sadar bahwa dirinya sudah kehilangan Sagara sepenuhnya.

“Kamu udah packing? Mas sebentar lagi selesai dan kita bisa langsung pergi.”

“Aku gak pernah bilang iya.”

Sagara yang sedang menutup kopernya pun berhenti untuk menatap sang adik, “Maksud kamu?”

“Aku gak pernah bilang kalau aku bakalan ikut. Mas Sagara aja yang asumsi.”

“Jadi kamu gak akan ikut Mas pergi?”

“Aku gak punya tujuan kalo aku pergi dari sini, Mas.”

“Kita bisa ke rumahnya Janu. Keluarga mereka baik, Raj. Mereka udah anggap Mas kaya anak mereka sendiri.”

“They are your family. Not mine.”

“They can be your family too.”

“No.”

“No?”

“Aku gak mau pergi dari rumah ini ke tempat gak jelas kaya gitu. Aku bahkan gak kenal mereka!”

“Jadi kamu lebih milih untuk tinggal di neraka kaya gini? Kamu lebih milih tinggal sama monster kaya mereka?”

“Mereka orang tua kita, Mas.”

“Mereka gak pantes dipanggil orang tua, Rajasa! Gak ada orang tua di dunia ini yang tega terus-terusan nyiksa anaknya!”

Rajasa tau di lubuk hatinya yang paling dalam bahwa kakanya ini benar. Namun tentu saja ia tidak bisa menyetujuinya. Oleh karena itu yang keluar dari mulutnya malah, “Mas pernah mikir gak sih kalo hukuman yang bapak dan ibu kasih itu karena kelakuan Mas sendiri? Kalo Mas gak membangkang mereka gak mungkin ngelakuin itu semua!”

“How can you say that?” Sagara berujar lirih. Wajah kakaknya itu kini terlihat sendu dan Rajasa membenci dirinya sendiri karena menjadi penyebab kesedihan pahlawannya itu, “How can you say that after seeing what they did to me with your own eyes? After what they did to you, Raj!”

Sagara tidak menunggu adiknya untuk merespond sebelum menambahkan, “They abuse us. Both physically and mentally. How can you stand there, look me in the eyes and defended them?”

“Just go,” ujar Rajasa pada akhirnya, “Pergi sekarang mumpung ibu sama bapak belum pulang.”

“Raj—”

“Pergi, Mas! Jangan buang-buang waktu. Kesempatan ini gak akan datang dua kali.” Rajasa kemudian berbalik untuk kembali ke kamarnya.

“If you choose to stay, you’re dead to me,” ucapan Sagara itu membuat Rajasa menghentikan langkahnya sejenak, “Mas gak bisa liat kamu tumbuh jadi orang kaya bapak dan ibu.”

Hancur. Rajasa bisa merasakan sebagian dari hatinya hancur mendengar perkataan sang kakak. Namun ia paham bahwa Sagara tidak bisa tau yang sebenarnya. Untuk itu ia malah berujar, “Good thing you have Januari as a brother now then.”

It hurts. But it’s better this way.