Permenanon2

Sagara Kertanegara dari mata seorang Prabu Rajasanagara.


Rajasa berumur enam tahun waktu ia sadar Sagara adalah pelindungnya.

Kejadiannya sederhana. Ia tidak sengaja menyenggol pajangan kaca milik sang ibu ketika berlari mengejar kakaknya. Rasa takut dan bayangan akan apa yang sang ibu lakukan langsung menyerang anak laki-laki berumur lima tahun itu secara brutal. Tanpa sadar air mata pun berkumpul di matanya hendak menyesak untuk keluar.

Walaupun umurnya baru enam tahun, Rajasa sudah familiar dengan ikat pinggang berwarna hitam yang menjadi senjata ampuh ibunya untuk menegakkan kedisiplinan itu. Dan ia tau, kejadian seperti ini akan membuat dirinya kembali bertegur sapa dengan beda tersebut.

“Apa itu yang pecah?” Sebuah suara dingin nan familiar itu membuat tubuhnya membeku. Bahkan ia tidak sadar kalau Sagara kini sudah ada di sampingnya, “Sagara? Rajasa?”

“P…paj—”

“Pajangan burung merak, bu.” Jawab Sagara cepat, memotong ucapan sang adik. Ia tau betul bahwa adiknya itu sedang menahan tangis.

“Laki-laki gak boleh nangis. Menangis itu hanya untuk orang lemah. Anak bapak gak ada yang lemah.” Ucapan sang bapak selalu terngiang di kepala keduanya. Dan kalau mereka ketahuan menunjukan kelemahan itu, hukumannya akan lebih parah. Itulah mengapa Sagara langsung menyelak. Biar Rajasa punya waktu untuk menutupi ketakutannya.

“Kenapa bisa jatuh?”

“Tadi Sagara gak sengaja nyenggol waktu lagi ngejar Rajasa. Maaf ibu.”

Rajasa yang mendengar perkataan kakaknya itu langsung mendongak terkejut. Bahkan Sagara kini tak menatapnya sama sekali. Pandangannya mengarah pada sang ibu, tidak ada ketakutan sama sekali di mata sang anak sulung.

Wanita yang keduanya panggil ibu itu mengangkat sebelah alisnya, jelas paham apa yang anak sulungnya sedang coba lakukan, “Sudah berapa kali ibu bilang untuk gak lari-larian di dalam rumah? Kalian ini bukan di hutan liar. Jangan berperilaku seolah-seolah tidak pernah diajarkan tata krama!”

“Iya bu, maaf.”

“Sagara ikut ibu.”

Mendengar perintah tersebut Rajasa pun panik, “Bu, Mas Sag—”

“Iya, Bu.” Potong Sagara cepat, kali ini ia baru menoleh kepada adiknya. Dari wajahnya, Rajasa tau sang kakak sedang menyuruhnya berhenti berbicara, “Tunggu Mas di kamar, nanti kita main lagi ya.”

“Mas—”

“Ke kamar, Rajasa. Nurut sama Mas.”

Menyerah, akhirnya Rajasa pun mengangguk. Tapi belum sempat beranjak, suara sang ibu memberhentikannya, “Tunggu. Rajasa ikut juga.”

“Bu, Rajasa gak salah. Ini Sagara yang—”

“Iya, tapi Rajasa juga harus lihat konsekuensi nya kalo gak dengerin ibu.”

Sang ibu tau persis sebenarnya kalau sang anak bungsu lah yang salah. Untuk itu secara tidak langsung ia juga menghukum Rasaja. Yuni paham, hal yang lebih menakutkan untuk sang anak bungsu selain hukuman darinya adalah melihat sang kakak menderita.


Rajasa berumur sebelas tahun waktu ia sadar bahwa Sagara tidak akan selamanya ada di sampingnya.

“Cuma satu tahun, Rajasa. Tahun depan kamu bisa ikut Mas ke Yavadvipa juga!”

“Tapi satu tahun itu lama, Mas. Kalau Mas Sagara lupa sama aku gimana?”

Sagara yang sedang memasukan barang terakhir ke dalam tasnya pun berhenti kemudian menatap adiknya sendu, “Gak mungkin. You’re the person I love the most in this world, Rajasa. It will always be you and me against the world.”

“You promise?”

Mereka udah bukan lagi anak kecil. Keduanya sudah sama-sama paham sedikit tentang dunia diluar tembok rumah megah yang mereka singgahi dari lahir.

Tapi di saat-saat seperti ini. Waktu hanya mereka berdua dan tidak ada siapa pun lagi, Sagara akan selalu menjadi sang pelindung untuk Rajasa. Dan Rajasa akan selalu jadi sosok yang mengingatkan Sagara kalau dunia tidak sejahat itu kepadanya.


Rajasa berumur dua belas tahun waktu ia sadar bahwa Sagara tidak selalu bisa memegang omongannya sendiri.

Kesadarannya datang pada suatu sore secara tidak sengaja waktu dirinya sedang duduk di perpustakaan.

Rajasa selalu suka bagian paling pojok sebelah kanan di lantai dua. Selain karena ada banyak bean bags yang nyaman, bagian ini juga terpencil dan jarang ada yang mengunjungi. Tentu saja sebelum Sagara mempunyai pemikiran untuk menarik sahabatnya kesini.

Namanya Januari. Laki-laki tampan yang hampir tidak pernah terlihat pergi dari sisi kakaknya semenjak mereka ditempatkan di satu asrama yang sama beberapa tahun lalu. Dimana ada Sagara disitu ada Januari.

Walaupun mereka punya dua teman lain, Pedro dan Rakai, namun semua juga tau bahwa Sagara dan Januari ini bagai pinang dibelah dua. Dua sisi dari satu koin yang sama.

Rajasa ada ditempat yang lumayan tertutup saat itu. Ia juga tidak bermaksud untuk menguping pembicaraan kakaknya. Tapi bukan Sagara namanya kalau tidak berisik. Keduanya sedang membahas tentang Rakai. Dari pembicaraan tersebut kecurigaan Rajasa tentang kakaknya yang memiliki perasaan pada sahabatnya sendiri pun terkonfirmasi.

“Do you think I have a chance with him?”

“Of course you do. You can have anyone you want, Sag. I mean look at yourself!”

“Lo cuma bilang itu karena lo temen gue, Jan.”

”Oh come on, Rakai bakalan jadi orang paling bodoh sedunia kalo dia gak bisa liat seberapa hebatnya lo, Sag. Dan kita tau Rakai jauh dari kata bodoh.”

“You mean that?”

“You know I do.”

Rajasa tidak perlu melihat keduanya untuk tau kalau sekarang mereka sedang berpelukan. Suasana hening untuk beberapa saat sebelum kakaknya pun kembali berbicara, “You’re the best! Do you know that? I don’t know what would I do without you.”

“I know. And you know the feeling is mutual right? You’re the brother I never had, Sag. Please know that I will always got your back. It’s you and me against the world, right?”

“You and me against the world.”

Ini bukan pertama kalinya Rajasa dikecewakan oleh orang-orang yang menyandang status keluarga. Namun ia tidak pernah menyangka kalau Sagara akan menjadi salah satu orang yang melakukannya.


Rajasa berumur empat belas tahun waktu ia sadar bahwa dirinya sudah kehilangan Sagara sepenuhnya.

“Kamu udah packing? Mas sebentar lagi selesai dan kita bisa langsung pergi.”

“Aku gak pernah bilang iya.”

Sagara yang sedang menutup kopernya pun berhenti untuk menatap sang adik, “Maksud kamu?”

“Aku gak pernah bilang kalau aku bakalan ikut. Mas Sagara aja yang asumsi.”

“Jadi kamu gak akan ikut Mas pergi?”

“Aku gak punya tujuan kalo aku pergi dari sini, Mas.”

“Kita bisa ke rumahnya Janu. Keluarga mereka baik, Raj. Mereka udah anggap Mas kaya anak mereka sendiri.”

“They are your family. Not mine.”

“They can be your family too.”

“No.”

“No?”

“Aku gak mau pergi dari rumah ini ke tempat gak jelas kaya gitu. Aku bahkan gak kenal mereka!”

“Jadi kamu lebih milih untuk tinggal di neraka kaya gini? Kamu lebih milih tinggal sama monster kaya mereka?”

“Mereka orang tua kita, Mas.”

“Mereka gak pantes dipanggil orang tua, Rajasa! Gak ada orang tua di dunia ini yang tega terus-terusan nyiksa anaknya!”

Rajasa tau di lubuk hatinya yang paling dalam bahwa kakanya ini benar. Namun tentu saja ia tidak bisa menyetujuinya. Oleh karena itu yang keluar dari mulutnya malah, “Mas pernah mikir gak sih kalo hukuman yang bapak dan ibu kasih itu karena kelakuan Mas sendiri? Kalo Mas gak membangkang mereka gak mungkin ngelakuin itu semua!”

“How can you say that?” Sagara berujar lirih. Wajah kakaknya itu kini terlihat sendu dan Rajasa membenci dirinya sendiri karena menjadi penyebab kesedihan pahlawannya itu, “How can you say that after seeing what they did to me with your own eyes? After what they did to you, Raj!”

Sagara tidak menunggu adiknya untuk merespond sebelum menambahkan, “They abuse us. Both physically and mentally. How can you stand there, look me in the eyes and defended them?”

“Just go,” ujar Rajasa pada akhirnya, “Pergi sekarang mumpung ibu sama bapak belum pulang.”

“Raj—”

“Pergi, Mas! Jangan buang-buang waktu. Kesempatan ini gak akan datang dua kali.” Rajasa kemudian berbalik untuk kembali ke kamarnya.

“If you choose to stay, you’re dead to me,” ucapan Sagara itu membuat Rajasa menghentikan langkahnya sejenak, “Mas gak bisa liat kamu tumbuh jadi orang kaya bapak dan ibu.”

Hancur. Rajasa bisa merasakan sebagian dari hatinya hancur mendengar perkataan sang kakak. Namun ia paham bahwa Sagara tidak bisa tau yang sebenarnya. Untuk itu ia malah berujar, “Good thing you have Januari as a brother now then.”

It hurts. But it’s better this way.

What I like to think happened today, few years ago.


Nanon menatap pantulan wajahnya yang kini basah itu di cermin. Tarik nafas, buang. Batinnya sambil berusaha untuk mempraktikan hal tersebut pada dirinya sendiri.

“Non?” Sebuah suara membuyarkan sang anak sulung keluarga Kirdpan itu dari lamunannya, “10 menit lagi trailer kita diputer. Kita diminta ke belakang panggung sekarang.”

Ohm Pawat, sahabatnya, tersenyum sebelum melanjutkan, “gugup ya?”

Tentu saja Nanon tidak perlu menjawab, pria didepannya ini adalah salah satu sosok yang paling mengetahuinya luar dalam. Terbukti dari aksi sahabatnya itu yang langsung berjalan mendekat lalu memegang pundaknya, “You’ll do great, you always do.”

“Tapi gimana kalo mereka gak suka?” Nanon mulai membiarkan rasa panik itu menguasai dirinya, “what if I messed up? What if—”

“You are Nanon Korapat,” Ohm Pawat kini memegang kedua pipi sahabatnya itu dengan lembut, “If there is someone who can do anything, it’s you.”

Nanon yang masih terlihat kurang yakin dengan perkataan sahabatnya itu kembali membuka mulutnya ingin berbicara. Namun dirinya berhenti. Ia memejamkan mata untuk beberapa saat sambil mengatur nafasnya. You can do this, batinnya berkali-kali.

Ketika matanya terbuka, Nanon dan Ohm Pawat kini saling bertatapan dalam diam. Seolah berusaha untuk menguatkan satu sama lain.

“I will be with you, Non. We will do this together.”

“You promise?”

“I promise.”

Setelah mendengar sahabatnya itu berjanji, ketakutan Nanon perlahan-lahan hilang. Ia percaya dengan sahabatnya. Kalau ada yang paling mengerti lika-liku dunia entertainment Thailand dan segala fansnya, orang itu adalah Ohm Pawat. Dan Nanon mempercayai lelaki itu lebih dari apapun.

Ketika Ohm Pawat menuntunnya ke belakang panggung, rasa gugup itu masih ada. Tapi kini ia sudah bisa tersenyum ketika posisi mereka berhadapan sebelum naik ke atas panggung.

Apapun yang akan ia hadapi nanti, Nanon yakin ia bisa melewatinya. Ia tidak sendirian. Ada Ohm Pawat yang akan selalu berada di sampingnya.

They are in this together after all.

Tentang sedih dan senangnya sang Pusaka Brawijaya.


“Sabar ya Wen, Raga udah tenang disana.”

Entah sudah berapa kali Owen mendengar kalimat itu terlontar dari banyaknya orang yang datang ke pemakaman kekasihnya. Raga sudah tenang, Raga sudah tidak sakit lagi, Raga pasti gak mau lo terlalu sedih dan segala tetek bengeknya.

Nyatanya, apakah mereka akan bisa sesabar itu? Setegar itu? Atau ikhlas secepat itu ketika mereka berada di posisi yang sama dengan dirinya?

Owen sudah berusaha. Untuk tenang, untuk menunjukan senyum tipisnya, untuk menjadi penopang Ibu dan adik dari Nuraga. Bahkan, dia tidak lagi menangis saat melihat cangkulan demi cangkulan tanah mengubur Nuraga di bawah sana, sambil memanjatkan doa pada Tuhan untuk menjaga serta menyambut juara bertahannya itu.

“Terima kasih ya Owen, sudah menjaga Nuraga selama ini. Senyumnya, tawanya dan bahagianya Nuraga belakangan ini itu pasti Owen penyebabnya. Mama bersyukur banget Nuraga punya orang kaya Owen di hidupnya.”

“Justru Owen yang berterima kasih sama Mama, sudah melahirkan orang sebaik Nuraga ke dunia. Bahagianya Owen juga Nuraga yang buat, Ma.”

Setelah proses pemakaman selesai, Owen kemudian memeluk Ibu dan Adik kekasihnya itu sebagai perpisahan. Tersenyum kearah keluarga dan sahabat-sahabatnya seolah meyakinkan dirinya baik-baik saja.

“Ditemenin ya Wen? “ Tawar Ibrahim saat mereka sampai ke apartemennya dan Nuraga, namun ia menggelengkan kepala sambil tersenyum tipis, “Biarin gue sendirian dulu ya Bang? Gue butuh waktu sendiri.”

Walaupun terlihat tidak rela, sahabat yang sudah ia anggap seperti saudara sendirinya itu pun hanya mengangguk pasrah. Membiarkan yang lebih muda untuk masuk sendirian.

Ketika sudah di dalam, Owen tidak menyalakan lampu seperti biasa. Bahkan, tenaganya hanya kuat untuk berjalan sampai ke sofa ruang tengah sebelum tangisnya pecah.

Anak bungsu itu meluapkan semua sedihnya, sakitnya, dan rasa rindunya pada sang kekasih yang sekarang sudah tidak bersamanya lagi. Apartemen yang tadinya dipenuhi oleh kehangatan, menjadi saksi ia tertawa bahagia bersama Juara Bertahannya itu kini terasa hampa dan hal itu menyiksa sang Pusaka Brawijaya.

“Ga… aku gatau harus apa sekarang…”

Pada akhirnya, ketika tubuhnya sudah tidak lagi sanggup untuk menangis,sang Pusaka Brawijaya berhasil terlelap diselimuti malam yang kelam.

Masih dengan nama Laksamana Nuraga di dalam kepala dan hatinya.


“Owen, bapak boleh masuk gak?”

Owen yang semula sedang menatap Akasia Permai dari jendela kamarnya pun menoleh kearah pintu, “Masuk aja, Pak. Kenapa?”

“Lagi ngapain bungsu bapak yang paling ganteng sedunia ini?”

Yang dipanggil bungsu itu pun terkekeh, menghargai usaha sang bapak untuk menghibur dirinya, “Halah halah, mentang-mentang Owen lagi begini aja bapak baru baik-baikin Owen.”

“Loh bapak mah baik terus,” Adi pun berjalan menghampiri kemudian merangkul anaknya itu, “Lagi bengong ya tadi? Hati-hati kesambet loh. Walaupun bapak juga ragu sih ada setan yang tertarik ngerasukin kamu.”

“Enak aja! Owen mah pasti laku di dimensi manapun.”

“Pede banget kamu!”

“Pede terus lah! Ajaran siapa dulu?”

“Adi Brawijaya yang paling ganteng sedunia dong!”

“Tuh kan langsung dibuktiin!” Lalu keduanya tertawa.

Ini bukan pertama kalinya Owen bisa tertawa lepas dibuat oleh sang bapak. Karena dirinya pun berusaha untuk tidak menunjukan kesedihan di depan orang-orang kesayangannya, walaupun tidak perlu ditunjukan pun mereka semua sudah tau yang sebenarnya.

Ketika keduanya sudah kembali diam, Owen pun kembali menyenderkan kepala ke bahu sang Bapak, “Lagi mikirin apa, Cah Bagus? Cerita sini sama Bapak…”

“Kenapa bukan Owen aja ya Pak?”

“Maksudnya?”

“Yang pergi, yang ngerasain sakitnya. Kenapa harus Raga bukan Owen aja?”

“Hush, kok begitu sih ngomongnya?” Adi menatap anaknya beberapa saat sebelum mengeratkan pelukannya, “Ndak boleh ah ngomong begitu. Semua udah ada takdirnya masing-masing. Nuraga juga pasti gak mau kamu punya pemikiran begitu.”

“Abisnya Owen sedih banget Pak. Owen udah berusaha buat ikhlas dan coba untuk gak mikirin itu, tapi gak bisa.”

“Ikhlas itu proses, Wen. Gak semua orang bisa langsung ikhlas ketika ditinggal sama orang yang mereka sayang. Itu normal, tapi bukan berarti Owen gak bisa. Ayo jalan pelan-pelan. Bapak bakalan temenin susahnya, sedihnya, sepinya, kangennya, pokonya semua-muanya. Owen gak akan pernah sendirian.”

Malam itu, Owen terlelap diantara kedua orang tuanya seperti saat dirinya masih kecil. Sang Bapak menepati janji untuk terus menemaninya, bahkan saat dirinya terisak dalam kegelapan sampai dirinya lelah dan memejamkan mata.

Masih dengan nama Laksamana Nuraga di dalam kepala dan hatinya.


Owen menatap layar didepannya tidak percaya. Ucapan selamat atas keterimanya dia di universitas pilihannya untuk melanjutkan studinya terpampang nyata didepannya.

“Ibu sudah yakin sekali Owen pasti keterima! Selamat ya sayangnya Ibu. Ibu bangga sekali sama Owen!” Ujar Angel sambil memeluk sang anak bungsu dan mengecup dahinya.

“Hebat banget kamu, Wen. Anaknya siapa sih?”

“Anaknya Ibu Angel.” Jawab Owen sambil tersenyum miring saat sang bapak menatapnya kesal, “sama Bapak Adi Brawijaya yang paling keren sedunia juga.”

“Nah itu baru bener!” Lalu keduanya berpelukan dengan erat.

“Selamat ya adek kesayangan kita semua!” Ujar para abang-abangnya sambil memeluk bergantian.

Setelah memberi tau sahabat-sahabatnya yang lain dan mengundang mereka untuk makan di rumah untuk merayakan, Owen pun pergi ke makan sang mantan kekasih sambil ditemani oleh Julian dan Jeremy, kekasih sahabatnya.

“Ga, aku keterima.” Ujar Owen memulai ceritanya setelah memanjatkan doa, “Aku bakalan berangkat ke Melbourne ngewujudin mimpi kamu dulu.”

“Keren kan Ga sahabat gue? Dia malah sempet gak pede loh padahal udahbjago sekarang bahasa inggrisnya. Ya kan Yang?”

“Iya bener Ga,” tambah Jeremy sambil mengangguk antusias, “Nih coba kita tes, How are you today Mr. Owen?”

Owen dengan tengilnya berdeham terlebih dahulu sebelum menjawab, “I’m fine thank you, and you?” Lalu mereka bertiga pun tertawa.

Ketiganya kemudian lanjut mengobrol untuk beberapa saat sambil tidak lupa melibatkan Nuraga dan akhirnya pulang.

Malam itu Owen terlelap dengan perasaan senang. Masih dengan nama Laksamana Nuraga di dalam kepala dan hatinya. Yang kini tersenyum bangga dalam mimpinya.


“Ok fine, you’re hired.”

Owen berusaha untuk menahan diri agar tidak memeluk manusia didepannya. Bagaimana tidak? Atasannya ini mirip bukan main dengan sosok yang selama ini dirindukannya. Walaupun pria bernama Narendra itu kerap menatapnya ketus seolah-olah dirinya sudah melakukan kesalahan yang entah apa.

Hari itu ia pulang dengan perasaan campur aduk. Senang karena di terima apalagi mendapatkan ucapan selamat dari teman-temannya, namun juga terbebani rasa rindu setelah melihat Narendra.

Owen kemudian mengirimkan pesan kepada Nuraga seperti sebelum-sebelumnya ketika ia merasakan rindu. Sedikit berharap bahwa akan ada balasan dari mantan kekasihnya itu walaupun kerap kali dilanda kecewa karena tidak pernah terjadi.

“Mirip banget sama kamu, Ga.” Ujar Owen di balkon apartemennya sambil menatap langit, “Hampir aku peluk tadi…”

Hening, tidak ada balasan. Hanya suara kendaraan bersaut-sautan di tengah ramainya ibu kota.

“Aku kangen banget Ga, kamu baik-baik aja kan disana?” Walaupun tau tidak akan ada balasan Owen melanjutkan, “Mampir ke mimpiku ya nanti. Biar kita ngobrol disana.”

Malam itu Owen terlelap dengan perasaan rindunya. Masih dengan nama Laksamana Nuraga di dalam kepala dan hatinya. Yang kini mampir untuk berbicara dalam mimpinya.


Owen menutup ponselnya masih dengan emosi yang membara. Tadi ia curhat sambil memaki boss nya habis-habisan pada Julian.

Ini entah berapa kalinya Owen meraaa diperlakukan tidak baik oleh sang atasan. Apapun yang dirinya lakukan seolah-olah tidak ada yang benar. Dan kalaupun benar atau bagus, gak ada sama sekali pujian yang terlontar untuknya. Padahal, ia juga liat sendiri kalau perlakuan Narendra pada karyawan lain itu baik. Berkali-kali ia membatin, emang gue salah apa sih?

“Dia rese banget Ga, aku sebel banget!” curhat Owen sambil menyesap rokok di balkonnya, “Maaf ya udah pernah bandingin kamu sama dia.”

Malam itu Owen terlelap dengan perasaan kesalnya. Masih dengan nama Laksamana Nuraga di dalam hatinya, namun sosok itu kini berbabi posisi dengan orang lain untuk bagian isi kepalanya.


Sang anak bungsu keluarga Brawijaya itu kerap melirik kearah ponselnya penuh keraguan. Minta maaf apa engga ya?

Dirinya semakin merasa resah, namun juga sedikit kesal pada teman-temannya yang memberi tahu keadaan Narendra tadi. Tentu saja hal itu membuat Owen merasa semakin bersalah.

Akhirnya, setelah berkali-kali mengingatian diri dengan “Ayo Wen, lo diajarin untuk lebih baik dari ini. “

Akhirnya, Owen pun melancarkan aksi permintaan maafnya menggunakan sticker dari koleksi kebanggaannya.

Namun ternyata, permintaan maaf yang semula ia kira akan singkat pun menjadi obrolan yang lumayan panjang. Apalagi, ia dibuat terkejut dengan sosok Narendra yang bisa seru juga. Dan untuk pertama kalinya la merasa sangat terhibur oleh yang lebih tua.

“Anjir kocak banget sialan!” Ujarnya berkali-kali saat melihat balasan Narendra yang selalu membuatnya tertawa.

Malam itu, Owen terlelap tenang di kamarnya, dengan Narendra yang tanpa sengaja memenuhi isi kepalanya.


Jangan gitu lagi.

Owen memandang pesan yang dituliskan oleh Narendra yang membuatnya tersenyum. Aneh memang, padahal dia tau jelas atasannya itu sedang ngomel. Tapi membayangkan wajah cemberutnya saja sudah membuat Owen senang sendiri.

Mereka pun bertukar pesan beberapa saat, dan senyuman dari bibir sang anak bungsu pun tidak hilang-hilang.

Belakangan ini, Narendra dan Owen memang menjadi semakin akrab. Karena keduanya pun sadar kalau mereka itu sebenarnya sangat nyambung dalam banyak hal. Tidak hanya itu saja, mereka juga menemukan kenyamanan diantara satu sama lain.

Ternyata memang benar, Narendra itu pandai membuat orang-orang yang berada di sekitarnya merasa senang. Apalagi dengan sikapnya yang super peka dan perhatian. Sebagai anak bungsu yang memang dimanja sedari kecil, Owen tentu saja menyambut perlakuan itu dengan suka cita.

Malam itu, Owen terlelap dengan penuh ketenangan. Dengan pesan suara dari Narendra sebagai hal terakhir yang didengarnya.


Owen menatap sosok yang sedang tidur di sebrangnya dengan seksama. Dalam hati ia bernafas lega karena pria yang semalam suntuk ditemaninya itu akhirnya bisa memejamkan matanya. Narendra benar-benar terlihat sangat tenang sekarang. Sudah tidak ada lagi keresahan diwajahnya seperti tadi malam.

Pemandangan itu membuat Owen tersenyum. Kalau ditanya kenapa, ia pun tidak bisa menjawab. Yang jelas dirinya merasa lega, dan kalau boleh jujur, ini bisa menjadi salah satu sisi kesukaanya dari sang atasan.

“Udah bangun dari tadi Wen?” Tanya Ten sedikit mengejutkan dirinya, “Eh… iya bang…”

Sadar bahwa yang disampingnya terkejut karena sedang memperhatikan temannya, Ten pun tersenyum miring, “eh sorry ganggu, lagi asik merhatiin Naren ya?”

“Hah engga kok bang!” Sanggahnya cepat. Mungkin terlalu cepat sehingga kini senyum Ten semakin lebar.

“Kalo iya juga gapapa,” Ten pun kemudian berdiri, “Gue mau ngebangunin yang lain dulu. Itu nanti Taeyong sama Naren bangunin ya biar kita bisa pergi sarapan.”

“Eh bang, kalo Mas Naren gausah dibangunin gapapa ga?”

“Loh? Masa gak ikut sarapan?”

“Dia tidurnya pagi Bang, kasian kalo dibangunin. Belum cukup pasti tidurnya.”

Ten menatap Owen beberapa saat, ada keterkejutan yang jelas terpancar di wajahnya. Namun pria itu akhirnya mengangguk sambil kembali tersenyum. Bukan meledek seperti tadi, tapi benar-benar tersenyum tulus, “Oke. Makasih ya Wen.”

“Eh kok makasih Bang?”

“Gapapa, makasih aja udah jagain Naren.” Ujarnya lalu berjalan pergi sebelum Owen sempat untuk meminta kejelasan lebih.

***

Owen bersender di pintu apartemennya sambil tersenyum. Kejadian-kejadian selama road trip tadi berputar di kepalanya yang membuat senyumannya semakin lebar.

Narendra dengan keluh kesahnya, Narendra dengan wajah pulasnya, Narendra dengan perhatiannya, bahkan sampai kejadian sehabis mandi pun ikut muncul di kepalanya.

Narendra, Narendra dan Narendra.

Owen memang kadang-kadang bodoh, tapi soal ini, ia paham betul kemana pikiran dan hatinya mengarah. Dan entah kenapa ia dengan senang hati membiarkannya.

Namun saat sebelum matanya terpejam, ia baru teringat seseorang yang membuatnya berujar, “Ga, kira-kira boleh ga kalo aku coba?”

Malam itu, Owen tertidur dengan pikiran yang campur aduk, senang dan bersemangat tentang perasaan barunya, namun juga diselimuti perasaan tidak enak pada mantan kekasihnya.

Namun, seolah jawaban dari keresahannya, Nuraga benar-benar datang ke mimpinya dan tersenyum manis sambil berujar, “Gapapa Wen, emang udah waktunya. Aku bahagia kalau liat kamu bahagia.”


“Good night, Owen… semoga mimpi indah…”

“Good night, Mas Naren. Udah pasti mimpi indah walaupun gak seindah yang nemenin tidur.”

Narendra memukul tangan Owen yang sedang memeluknya pelan, “Berisik ah udah mau tidur masih sempet-sempetnya gombal!” Dan Owen hanya terkekeh sambil mengeratkan pelukannya.

Berbeda dengan Narendra, anak bungsu keluarga Brawijaya itu tidak langsung tidur. Ia menelaah isi kepala dan hatinya yang kini benar-benar dipenuhi oleh sosok yang berada dalam pelukannya.

Ini bukan kali pertama ia merasa seperti ini. Pun Narendra bukan orang pertama yang memenuhi hati dan pikirannya. Tapi kalau boleh jujur, semua terasa sangat tepat sekarang.

It feels like everything finally falls into place.

Narendra bukan yang pertama, itu fakta. Owen tidak akan pernah berharap hal tersebut berubah. Namun kini, sang Pusaka Brawijaya itu menyadari sesuatu…

Ia ingin Narendra jadi selamanya.

Iya. Owen sudah benar-benar jatuh cinta.

Owen mencintai Narendra dengan segala kelebihan dan kekurangan yang ia punya. Ia mencintai Narendra dan semua hal tentang pria yang sekarang sedang tertidur disampingnya.

Malam itu, Owen terlelap dengan hati bahagia dan perasaan lega. Bersama Narendra di pelukannya, orang yang dicintainya sekarang dan selamanya.

Jakarta, 21.00—

“Yoriko, truth or dare?”

“Truth.”

“Gue punya pertanyaan!” Seru Jesse yang membuat semua kini melirik kearahnya, “boleh ya gue yang nanya?”

“Silahkan.”

“Pas kita sma, selain Dhifa tuh lo sebenernya pernah naksir orang ga? Yang kira-kira kalo gak sama Dhifa lo tuh maunya dia aja.”

Yoriko kemudian menoleh kearah pacarnya, “Gapapa Babe kalo aku jawab?” Yang dibalas dengan senyum perhatian dari sang pacar, “Ya gapapa lah, udah masa lalu juga.”

Mata perempuan cantik itu pun lekas menatap kearah teman satu kontrakannya, “Jujur Kaesar…”

Yang disebut pun membelalakan matanya, “Hah serius?”

“Iyaa… apalagi waktu lo jadi ketua sih… itu gue naksir banget, jaman-jamannya lo mimpin kita pokoknya.”

Semuanya kini mulai satu persatu meledek, “aduh no offense buat Dhifa tapi kalo waktu itu kalian jadi pecah sih.”

“Setuju! Gue justru malah ngira Yoriko dulu bakalan end game nya sama Kaesar.”

Dan berbagai ledekan lainnya yang membuat Nabastala merengut kesal di bangkunya.

Tenang aja, ini gak beneran kok. Emang bagian dari rencana Cairo yang diomongin sorenya.

“Pokoknya pas awal kita buat salah satunya naik pitam,” ucap Cairo pada seluruh teman-teman yang memang dilibatkan, “dan saran gue yang kita pancing itu Abas, karena tuh anak paling gampang dipancing. Setuju gak?”

“Setuju!” Jawab semuanya serempak.

Kini semua diam-diam melirik kearah Nabastala yang mukanya mulai memerah. Kelihatan banget keselnya, apalagi waktu mulai pada ngeledekin.

Rencana pertama, berhasil.

Kini satu persatu pun mendapat giliran, sampai akhirnya pas banget sisa Nabastala dan Kaesar yang belum dapat giliran. Tentu saja karena siasat dari mereka semua.

“Eh ini yang terakhir barengin aja ya. Kalian pilih truth or dare?”

“Dare aja lah ya.”

“Tau, yakali milih jujur. Gak asik banget.”

“Iya nih, masa jujur.”

“EH GUE AJA BELOM MILIH YA BANGSAT?” Ujar Nabastala emosi sedangkan Kaesar hanya menggelengkan kepala sambil terkekeh.

“Yaudah Dare kan?”

Keduanya saling bertatapan beberapa saat sebelum akhirnya berujar, “Iya…”

“Oke lo berdua berdiri deh,” dan keduanya pun menuruti perintah Cairo, “ikut gue.”

Nabastala dan Kaesar berpandangan bingung namun tetap ikut teman mereka itu. Sesampainya mereka di kamar mandi bawah tangga, Cairo meminta keduanya masuk ke dalam sana.

Mereka berdua lagi-lagi menurut walaupun bingung setengah mati. Waktu sudah berada di dalam, lampu pun dinyalain tapi pintu ditutup dari depan.

Sadar apa yang dilakukan oleh sahabatnya, Nabastala pun mulai menggedor pintu kamar mandi, “Eh apaansih kok kita dikunciin?”

“Sar, Abas tuh naksir sama lo. Bas, Kaesar juga naksir. Jadi dare lo berdua adalah ngobrolin masalah itu. Kalo belom jadian gak bakalan kita bukain pintu.” Ujar Cairo lalu berjalan pergi.

Yang didalam kamar mandi pun sekarang saling bertatapan terkejut. Jantung mereka berdegup bukan main. Tidak menyangka akan apa yang dikatakan sahabat mereka tadi.

Hening. Keduanya sama-sama terlalu fokus pada pikiran masing-masing. Rasa malu, senang, kaget, dan tidak percaya berkumpul menjadi satu.

“Jadi…” keduanya berucap bersamaan lalu kembali melengos malu.

“Lo duluan aja Bas…”

“Lo duluan aja Sar…”

“EH CEPETAN ANJIR JANGAN KEBANYAKAN CINGCONG!” ujar seruan dari luar yang mereka kenali sebagai milik Herjuno si tidak sabaran.

“JANGAN NGUPING BANGSAT!” Seru Nabastala balik tidak kalah kencang, “Eh sorry Sar…”

“Iya gapapa…”

Diam lagi.

Dalam hati, Kaesar lagi coba menyusun kata-kata. Ia benar-benar merasa bodoh sekarang. Karena kalau ditinjau ulang lagi, perilaku Nabastala belakangan ini memang sedikit obvious. Hanya saja ia terlalu terlalut dalam pemikiran sendiri untuk melihatnya.

Kalau Nabastala kini diam untuk mengumpulkan keberanian, tau kalau dia harus menjadi yang pertama ngomong. Gak akan lagi dia biarin ada kesempatan terlewat apalagi ngebayangin omongan teman-temannya soal Kaesar dan orang lain yang cocok selain sama dirinya itu kejadian.

“Cairo bener Sar…”

“Eh?”

“Gue emang sayang sama lo. Udah lama bahkan, dari sebelum kita mutusin buat fwb-an.” Ujar Nabastala memulai, “tapi gue gapernah tau gimana cara ngomongnya, karena gue juga sadar diri kalo gue gak pantes buat lo kan. Makanya gue ngajakin fwb waktu itu.”

“Kok bisa ada kepikiran begitu sih Bas?”

“Sar… look at you…” Nabastala menatap Kaesar dari atas sampai bawah, “You’re one of the most perfect human being I’ve ever known. Lo tuh sempurna, Sar. Rokok aja kalah sempurna.”

“Sampoerna, Bas.”

“EH GOBLOK BISA-BISANYA MASIH BERCANDA LO ANJING!” Seruan dari depan pun mulai kembali terdengar, kali ini giliran Kaesar yang berseru frustasi, “DIEM BANGSAT!”

“Eh itu Kaesar gak sih yang ngomong?”

“Iya anjir beneran diem dah.”

Bisikan-bisikan itu pun perlahan menghilang dan akhirnya keduanya kembali melanjutkan.

“Ya initinya gitu, Sar…”

“Padahal ya Bas, gue juga udah naksir lo dari lama. Bahkan kayaknya dari kita SMA…”

“Hah? Serius?”

“Iya…” Kaesar pun mengangguk sampai tersenyum tipis, “Lo selalu jadi yang paling spesial diantara yang lain. Dan mungkin itu juga salah satu faktor pendorong kenapa gue marah banget waktu itu.”

“Lo…cemburu?”

“Kind of?” Nabastala dapat melihat pipi Kaesar memerah. Anjing gemes banget.

“Astaga…”

“Yeah…”

“Tapi kok gue bisa gak sadar ya Sar?”

“Oh ya?”

“Iya. Karena jujur aja… setelah kita fwb-an pun gue tetep gak sadar. I mean… kita aja bahkan gak pernah ciuman…” ujar Nabastala sambil tanpa sadar memanyunkan bibirnya.

Melihat hal ini Kaesar pun berusaha menahan tawa, “kenapa tiba-tiba ngebahas ciuman?”

“Ya karena…” Nabastala terdiam sebentar sebelum melanjutkan, “karena lewat ciuman lo bisa bener-bener tau dan ngerasain perasaan orang itu sama lo. Lo bisa tau nanti lo bak—”

Omongan Nabastala pun terputus saat Kaesar bergerak untuk mengecup bibirnya, “Masih belum sadar?”

“Belum…”

“Hah? Serius?”

“Iya soalnya kurang lama…”

“Astaga…” ujar Kaesar namun akhirnya tetap memenuhi permintan Nabastala dan menarik lelaki itu mendekat untuk menciumnya.

Ciuman keduanya tenang. Karena kali ini kegiatan itu menjadi luapan segala perasaan yang tertahan selama ini. Tangan keduanya pun bergerak untuk merengkuh satu sama lain agar lebih dekat.

“And now?” Ujar Nabastala saat keduanya sedikit menjauh untuk berbicara.

“Jadi pacar aku ya…”

“Ini kamu nanya?”

“Engga, aku ngasih tau. Mulai sekarang Abas jadi pacar aku ya…” ujar Kaesar sambil kembali melanjutkan kegiatan yang sempat terputus.

Namun ditengah sedang bercumbu, sebuah suara menghentikan keduanya, “UDAH BELOM? KOK TIBA-TIBA HENING?”

“UDAH ANJING! UDAH PACARAN!” Seru Nabastala dari dalam.

“TERUS KOK HENING?”

“LAGI CIUMAN MAKANYA JANGAN GANGGU!”

“OHHHHHHH…” seru semuanya kompak sebelum akhirnya mereka baru sadar, “WOY MEREKA UDAH PACARAN ANJIR!”

“AKHIRNYA!!”

“FINALLY JADIAN JUGA!”

“NAH GITU KEK ANJING!”

Dan macam-macam reaksi lainnya.

Nabastala dan Kaesar pun saling berpandang sesaat sebelum akhirnya tertawa. Akhirnya setelah pintunya dibuka, keduanya pun berjalan kearah teman-teman mereka yang sudah menunggu untuk menyelamati keduanya.

Dan ketika suasana sudah mulai menenang dan mereka kini kembali berjalan kearah taman belakang, Kaesar mendekat dan berbisik, “Ada yang aku belum jujur ke kamu.”

“Apa tuh?”

“yang dulu ngelempar petasan banting ps kamu boker itu aku.”

Mendengar hal itu Nabastala langsung menatap kekasih barunya tak percaya lalu mulai memukulinya, “ANJING LO KAESAR PERKASA!”

“Ampun Bas! Aduh! Ampun aku khilaf!”

Jakarta, 23.00—

Kaesar mendengar suara pintu balkon bergeser, membuat dirinya menoleh beberapa saat sebelum kembali melanjutkan kegiatan melamunnya ketika melihat Dhifa berjalan menghampirinya.

Sekarang mereka sama-sama ada di balkon. Agak ngejauh dari suasana heboh kumpulan orang extovert dibawah sana yang masih asik ngobrol.

Sebenernya Dhifa tuh emang dari tadi nyari-nyari momen buat ngomong sama Kaesar berdua. Dan sepertinya inilah saatnya.

“So, you and Abas?”

“What? No!”

“Really?” Dhifa menatap Kaesar dengan satu alis terangkat sebelum kembali menatap danau yang ada di depan mereka, “That’s weird. Padahal tadi kayaknya gue ngeliat kalian berdua—”

Kaesar mengumpat dalam hati. Tadi memang waktu mereka kira lagi pada sibuk, keduanya sempet curi-curi kesempatan buat melakukan kegiatan yang biasa mereka lakukan. Tapi pas baru keluar dari kamar, mereka berdua berhadapan sama Dhifa yang udah nungguin di depan buat manggil mereka. Dia yakin temannya itu bukan orang bodoh buat langsung nebak, “It’s nothing.”

“It’s not nothing, Sar. Orang yang ngelakuin itu kalo gak pasangan ya fwb. Dan gak mungkin kan lo berdua—” Dhifa kembali menatap Kaesar dengan mata membelalak, “No way…”

Kaesar hanya mendengus, tapi memilih untuk tidak merespond pernyataan temannya itu.

“Goblok…” ujar Dhifa masih tidak percaya, “Kok bisa sih?”

“Ya bisa aja, kenapa engga?”

“Bukannya lo naksir dia?”

Kini gantian Kaesar yang menatap Dhifa tak percaya, “Ide dari mana lo?”

“Engga ya?” Jawab Dhifa namun dengan senyuman miring, “Gue salah berarti.”

“Kenapa bisa mikir kesana?”

“Sebenernya gue mikir begini udah dari kita SMA sih, Sar. Bahkan part of why gue gak pernah ngelirik Nabastala sama sekali karena gatau kenapa gue ada feeling lo suka sama dia.”

“Itu cuma feeling.”

“Mungkin,” Dhifa menyesap kopi yang tadi ia buat sebelum melanjutkan, “Tapi gue juga gak mikir itu tanpa sebab. Tingkah lo waktu itu kaya nunjukin lo punya perasaan lebih ke Abas.”

“Gue memperlakukan semua temen gue sama.”

“Engga sama Abas, Sar. Gue yakin semua juga setuju kalo Abas lebih spesial dari pada kita semua.”

“Itu cuma karena gue kenal dia dari lama.”

“Bisa jadi,” Dhifa kini tersenyum miring. Sebagian dari dirinya sebenernya merasa heran kenapa Kaesar sedifensif ini, padahal menurutnya semuanya sudah jelas, “Atau it happened without you even realizing it.”

“Gimana bisa gue gak sadar sama perasaan gue sendiri?”

“Ya bisa aja. Lo terlalu clouded with the fact that he’s your friend. I’ve seen you with him today, Sar. You guys are different.”

“But he IS my friend.”

“Oke gini deh Sar,” Dhifa sekarang memutar duduknya agar mereka saling berhadapan, “Kalo yang ngajak lo fwban itu Juno gimana?”

“Ya gak mau lah anjir!”

“Arshaq?”

“Gila kali? Dia udah ada Jesse!”

“Ya tapi kalo gak ada?”

“Ya tetep aja engga anjir!”

“Erica?”

“Gak, apaansih kok jadi suruh bayangin gituan? Engga banget.”

“Terus yang bikin Abas beda apa? Yang bikin lo mau sama Abas apa?”

“Ya kalo dia—” Kaesar terdiam karena tidak ada penjelasan logis yang muncul di otaknya sekarang. Justru, ia malah bertanya, apa yang membuat Nabastala beda? Kenapa dia bisa secepat itu setuju untuk berada di situasi ini dengan sahabat kecilnya itu?

“Atau gini deh, katanya kan kalian fwb-an nih. Diluar yang tadi. Kapan terakhir kali lo ngelakuin hal begitu sama dia? Atau sesering apa kalian lakuinnya?”

Sial, bener juga. Pasalnya bahkan mereka emang gak sesering itu ngelakuinnya semenjak membuat kesepakatan. Sisanya? Ya mereka ngelakuin hal bareng-bareng yang lebih membuat mereka terlihat seperti—

“Oh dan satu lagi, lo tau gak kenapa gue mikir lo punya perasaan sama Abas?”

“Kenapa?”

“Soal yang SMA waktu itu. Gue tau Abas salah, tapi kita semua tau lah, bahkan dianya sendiri, kalo soal demen sama orang dia bodoh. Tapi lo sadar gak, walaupun bukan cuma lo doang yang dia rugiin, tapi lo yang paling marah soal itu.”

“Ya itu karena dia emang salah, Dhif. Dia lebih prioritasin lo daripada kerjaan dia.”

“Iya, tapi itu hal yang seharusnya bisa lo berdua omongin waktu udah sama-sama kepala dingin kan? Gak perlu musuhan selama itu.”

“Ini lo ngebahasnya kemana sih?”

“Lo pernah mikir gak sih Sar, marahnya lo waktu itu juga sebagian besar karena lo sebenernya cemburu. Lo sebenernya pengen juga diperlakuin kaya gitu sama Abas. Dan sekarang ini lo bukan memulai sesuatu yang baru, tapi ngelanjutin perasaan lo ke dia yang udah lama lo pendam dibawah marah lo itu.”

Keduanya terdiam beberapa saat. Kaesar yang sibuk bergelut dengan hati dan pikirannya, sedangkan Dhifa memang diam untuk memberikan temannya waktu untuk berpikir.

Sampai akhirnya setelah kurang lebih lima menit kemudian, Dhifa pun kembali berujar, “Salah gak Sar?”

“Anjing lo Dhif.”

Jakarta, 17.00—

Acara sudah selesai. Banyak peserta sudah pulang dan menyisakan mereka yang biasanya kenal secara personal dengan penyelenggara acara. Saat ini, Joanna baru saja selesai memberikan pengaharan tentang evaluasi acara yang bisa dibilang sukses itu.

Setelah selesai, mereka diperintahkan untuk evaluasi dengan divisi masing-masing. Disinilah dimana Nabastala harus memperhatikan benar-benar perkataan milik ketiga atasannya, termasuk Teressia yang dari tadi senyum sumringah. Nyebelin banget setan. Batin Nabastala dalam hati.

Ia tau, sekarang kakak tingkatnya itu lagi seneng banget karena sedari tadi banyak yang nanya tentang hubungannya dengan Kaesar karena foto tadi. Bukannya menjawab, Teressia juga malah senyum-senyum penuh arti seolah suruh mereka asumsi sendiri. Tentu saja asumsi nya salah besar.

Nyenyenye pathetic dasar! Gumam Nabastala sendirian tanpa mendengarkan perkataan Teressia sama sekali. Nih orang suaranya aja udah annoying banget.

“Bas, kesini naik apa?” Tanya si kembar saat mereka sudah bubaran, “Bawa mobil?”

“Iya, mau nebeng?”

“Engga, gue kira lo malah mau dianterin.”

“Ohh gak usah gapapa, lo pada abis ini kemana?”

“Mau makan siang sama keluarga, nenek ulang tahun hari ini.”

“Ok deh, tiati ya lo berdua!”

“Lo juga!”

Dan setelah berpisah dengan kedua temannya, Nabastala pun berjalan kearah parkiran sebelum suara lain menanggilnya.

“ABAS! Sini Bas!” Itu tadi Yoriko, dia lagi ngumpul sama teman-teman dan pacarnya. Iya Dhifa, yang kalo sekarang Nabastala ngeliat masih ada sungkan-sungkan dikit keinget masa lalu kelamnya itu, “Mau balik?”

“Iya nih Yor.”

“Nah dari pada balik mending ikut kita makan!” Ujar Bisma yang kemudian merangkul pundaknya, “Abis ini gak ada acara kan lo?”

“Gak ada sih,” kemudian matanya bertemu dengan milik Kaesar beberapa saat. Sebenernya dia itu lagi gondok banget males ngeliatin muka teman tapi mengambil keuntungannya itu, tapi dia gak enak nolaknya, “Mau makan dimana?”

“Tadi mama nya Erica kan ikut lari. Terus kita diajakin makan di rumahnya.” Jawab Thomas yang kemudian membuat Nabastala melirik kearah Erica, “emang gapapa Mba Er, kalo gue ikut?”

“Ya gapapa lah. Ikut aja! The more the merrier!”

“Okeh Mba, nanti shareloc aja ya, gue bawa mobil soalnya.”

Kali ini Kaesar yang sedari tadi diam pun bersuara, “lo sama gue aja. Gue yang setirin nanti.” Ujar Kaesar langsung dan akhirnya mereka semua pun mulai berjalan ke kendaraan masing-masing. Meninggalkan mereka berdua yang kini berjalan kearah mobil Nabastala dalam diam.

Walaupun gak punya mobil, Kaesar yang sehari-harinya sering disuruh jadi supir dadakan teman-temannya pun mau gak mau belajar. Malah sekarang dia lebih bagus dan aman nyetirnya dari semua orang yang tinggal bersamanya.

“Karcis parkirnya dimana Bas?”

“Itu diatas, makanya cari dulu baru nanya.” Kaesar milirik sesaat ketika mendengar jawaban judes Nabastala. Dugaan nya benar, lelaki disampingnya itu sedang kesal kepadanya dan gak perlu orang pintar untuk tau kenapa.

“E-money nya dimana?”

“Gak pake E-money, pakenya Flazz.”

Kaesar tersenyum tipis kemudian bertanya dengan lembut, “Yaudah, Flazz nya dimana Bas?”

“Di samping kanan, liat dulu makanya ih!” Sebenernya kalo boleh jujur Nabastala udah salting dikit, tapi dia tetep gamau luluh dan pertahanin kejutekannya.

Jalanan ibu kota sore itu ramai cenderung padat. Hal ini tentu saja merupakan keuntungan untuk Kaesar dan kerugian untuk Nabastala. Karena mau tidak mau mereka harus berbicara sekarang.

“Postingannya gak gue like loh, interact sama itu aja engga.” Ujar Kaesar membuka pembicaraan, “Waktu orang-orang pada nanya juga gue bilang gak ada apa-apa kok, langsung gue sanggah.”

“Terus urusannya sama gue apa?” Tanya Nabastala seolah gak peduli, padahal jantungnya sih udah gak karuan denger ucapan pujaan hatinya itu.

“All I’m saying is,” tangan Kaesar terulur untuk mengacak rambut Nabastala, “Yang sekarang lagi sama gue tuh lo. Yang lagi gue coba ajak ngomong karena sadar lagi marah juga lo. No one get the same attention from me like you do. You don’t need to be jealous about it.”

Mati gue. Batin Nabastala dalam hati saat merasakan jantungnya terasa seolah jatuh ke perut.

Jakarta, 23.00—

CW : Alcohol and slight🔞🔞


Nabastala memperhatikan sosok yang berdiri tidak jauh darinya dalam diam. Semenjak kedatangan sosok itu, fokusnya sudah tidak lagi berada pada acara. Melainkan pada Kautsar Perkasa Gautama yang kini sedang berbincang dengan beberapa tamu yang datang.

Lelaki itu terlihat sepuluh kali lebih hot dan seksi dari biasanya. Iya kalian gak salah baca. Sosok yang biasanya Nabastala asosiasikan dengan tampan, berwibawa, dan kata-kata pujian dengan konotasi baik lainnya itu berganti rupa.

Selama sadar kalau dirinya kini memiliki perasaan pada sang sahabat lama, baru kali ini Nabastala merasakan hal selain kekaguman dan rasa suka yang begitu dalam.

Malam itu, sang anak bungsu terpancing nafsunya. Karena bukan hanya wajah serta gerak-geriknya saja yang ia perhatikan. Namun lekuk tubuh sang sahabat lama, dan bagaimana baju serta celana pas badan yang dipakai Kautsar itu memperjelas tubuh indah lelaki pujaanya itu.

Mau pegang. Itu hal yang dari tadi terputar pada kepala Nabastala. Bagian mana? Udah gak usah ditanya. Dia sendiri malu ngakuinnya.

“Hai Bas, kok diem aja sih? Biasanya heboh!” Nabastala mendongak ketika mendengar suara familiar menyapanya. Yoriko, yang entah bagaimana masih terlihat cantik dalam balutan gaun rumah sakit jiwanya.

“Iya lagi istirahat…” jawab Nabastala yang tentu saja penuh kebohongan, “Lo sendiri kenapa disini?”

“Sama sih mau istirahat juga.”

“Cowok lo?”

“Si Dhifa lagi diajakin main beer pong. Gak kelar-kelar jadi males gue nontoninnya.”

Nabastala mengangangguk-angguk mengerti. Sebenernya dia ingin kembali memperhatikan Kautsar, namun karena Yoriko kini mengajaknya bicara jadi niat tersebut ia urungkan.

“Kayaknya Thomas juga udah ngaco deh, soalnya tadi— eh itu Cia ngapain deh?” Pandangan mata yang semula menatap teman lamanya itu pun beralih mengikuti arah pandang sang gadis didepannya.

Kini matanya menangkap sosok wakil ketua departemennya itu bergelendotan manja di tubuh sang buah hati, “Ngapain deh itu gelendotan?”

“Oalah paling pura-pura mabok,” ujar Yoriko sambil menyesap minumannya dengan santai, “kebaca banget itu gerak geriknya.”

“Itu Kautsar nya kok diem aja?”

“Ya mungkin dia kira Cia beneran mabok kali? Gue juga—”omongan Yoriko terpotong saat gadis itu membaca notifikasi pesan pada ponselnya, “Eh sorry Bas, kata Juno laki gue mulai ngaco nih. Gue samperin dulu ya?”

“Oh iya silahkan…” ditinggal sendiri membuat emosi Nabastala yang semulanya coba ia tahan pun membuncah. Sialan nih cewek deket-deket sama punya gue!

Entah karena bodoh, nekat, cemburu atau ketiganya. Ia pun kini beranjak dari kursi untuk menghampiri Kautsar dan Teressia. Tidak lupa jalannya ia pura-pura bikin sempoyongan seolah dirinya mabuk.

Sampai didekat keduanya, Nabastala pun mulai melancarkan aksi dengan pura-pura tersandung. Benar saja, Kautsar yang sempat melihat hal tersebut pun refleks menahan tubuhnya, “Eh bas bas, lo gapapa?”

Nabastala menyipitkan mata seolah-olah tidak sadar siapa yang menahannya, “Eh Kautsar, sorry Sar gue pusing banget nih makanya agak linglung.”

“Lo minum banyak banget ya pasti?”

Kini ia memajang wajah cengengesan seolah tertangkap basah, “Dikit kok…”

“Alah,” Kautsar berdecak, “Lo mau kemana sih emang?”

“Ke toilet Sar, gue kayaknya mau mun—” ia pun pura-pura sedang menahan muntah yang ingin keluar, membuat lelaki didepannya itu semakin panik, “Eh eh jangan disini, ayo gue anterin ke toilet…” Kautsar pun pamit pada Teressia yang terlihat kesal dan menuntun Nabastala ke toilet.

Eh bangsat orang gue gamau muntah, ini gimana dong? Asikin aja kali ya?

“Ayo Bas, kalo mau muntah disini aja gapapa, tapi buka dulu itu onsie nya biar gak ribet…”

Ia pun mengikuti perintah untuk mencopot onsie lalu menunduk untuk pura-pura muntah sampai akhirnya malah memeletkan lidah sambil tertawa meledek, “huwleee kamu ketipu aku gamau muntah.”

“Hah?”

“Bercanda doang gue gak beneran mau muntah… hehe…”

“Anjing?” Kautsar menatapnya bingung, “Terus lo ngapain begitu?”

“Mau nyelamatin lo dari Cia aja. Tadi dia kan lagi modus.”

“Astaga…” Kautsar menggeleng-gelengkan kepala tak habis pikir, “Bisa-bisanya lo…”

Keduanya kemudian tertawa untuk beberapa saat sebelum akhirnya kembali hening.

Kini di pencahayaan yang bagus dan jarak yang tidak begitu jauh, Nabastala dapat melihat Kautsar dengan jelas. Tapi tentu saja hal itu lebih membahayakan kesehatan jangungnya.

Yang semulanya hanya di wajah, pandangannya pun kini bergerak ke bagian bawah milik sang sahabat lama yang benar-benar ia bisa lihat lekukannya.

Anjir, gede banget itu kayaknya…

“Bas? Hey?”

Teguran itu membuat Nabastala tersadar dari lamunannya. Kini matanya bertemu dengan milik Kautsar yang sedang menampilkan ekspresi bingung, “ya?”

“Lo tiba-tiba ngelamun, kenapa?”

“Gue…”anjir ngomong apa ya? Masa gue jujur gue ngeliatin tititnya?

“Lo?”

“Gue…” tapi ya kan kapan lagi ngeliat dia begini? Terus dari jarak yang sedeket ini lagi.

“Iya lo kenapa?” Tanya Kautsar yang mulai terlihat khawatir.

Lagi-lagi gak tau bodoh atau nekat, Nabastala mendapat keberanian yang datang entah dari mana. You know what? Fuck it. Go big or go home, “Sar, lo mau gue sepong gak?”

Jakarta, 16.00—

“Yang baru datang tolong cari divisi masing-masing terus duduk di barisan itu ya. Ada tulisannya kok.”

Mendengar pengumuman itu Nabastala, Gian dan Gino yang baru datang pun segera mencari barisan mereka. Untungnya barisan Humas dan Medker bersebelahan, jadi memudahkan dua dari tiga orang itu untuk duduk bersama.

Nabastala bertukar tatap dengan Herjuno yang langsung melirik kearah jam tangannya, “Gak telat kan?” Tanyanya tanpa suara, dan sahabatnya itu mengangguk, ada raut terkesan di wajahnya.

Tidak jauh dari Herjuno, berdiri lah Kautsar yang sedang mengobrol dengan ketua dan wakil BEM fakultas mereka. Namun ia tersadar, bukan hanya dirinya yang melakukan hal serupa. Tapi hampir setengah pasang mata di ruangan tersebut.

“Sumpah liat deh itu head lo, cakep banget anjir gue iri!” Ujar perempuan yang duduk didepannya pada perempuan lain di depan Gino.

“Iyalah, makanya humas!”

“Gue juga pengennya gitu, tapi kan dioper kesini.”

“Tapi emang persaingannya gila-gilaan anjir, gue hoki aja bisa kepilih.”

Bukan hanya dua orang itu saja. Tapi Nabastala juga mendengar ada beberapa pembicaraan yang tidak jauh-jauh dari penampilan Kautsar hari ini.

“Genit banget.” celetuknya pelan, dan kebetulan yang mendengar hanya Gino, “siapa?”

“Siapa kek yang ngerasa.”

“Gak jelas lo tiba-tiba ngomel!”

Tidak lama kemudian, meeting pun dimulai. Para kepala departemen berpencar mencari tempat duduk setelah selesai memeriksa kelengkapan staf masing-masing.

Herjuno dan Kautsar pun duduk dibelakang anggota mereka.

Awalnya Nabastala gak sadar, tapi waktu dia geser-geser ke Gino mau ngegossip, ada suara dehaman serta teguran di belakangnya, “Dengerin.” Yang membuat tubuh anak kedua itu langsung tegap. Iyalah, siapa yang gak takut kalau ditegur Kautsar?

Setelah ketua, wakil, serta jajaran pengurus inti sudah selesai memperkenalkan diri, para ketua departemen beserta wakil mereka pun dikenalkan. Memangsih semua dapat tepuk tangan, namun ketika nama Kautsar dipanggil, suaranya paling kencang dan banyak juga yang bersorak.

“Ketua gue tuh Bas!” Pamer Gino sambil tersenyum bangga.

“Bacot!”

Setelah perkenalan dan pembahasan tentang acara latihan dasar kepempinan yang akan segera dilaksanakan, mereka semua diperintahkan untuk duduk melingkar untuk berkenalan dengan departemen masing-masing.

Untuk menghemat tempat, ada beberapa departemen yang digabung lingkarannya, salah satunya Medkre dan Humas.

“Gue tau kalian pada seneng digabung sama humas, tapi tolong inget ya ketua kalian anak-anak Medkre masih gue,” ujar Herjuno sebagai pembukaan yang membuat mereka semua tertawa, “walaupun tadi udah, biar lebih official lagi kita ulang ya perkenalannya. Gue Juno, kepala departemen media kreatif. Gue tahun kedua disini, jurusan Hubungan Internasional.”

Disamping Herjuno, perempuan yang Nabastala tau bernama Teressia itu pun ikut menyahut, “Namaku Teressia, panggil aja Cia. Aku wakil kepala departemen bagian kreatif. Sama kaya Juno, aku juga tahun kedua di jurusan Hubungan Internasional. Salam kenal semuanya!”

Selain Teressia, ada satu lagi perempuan yang juga merupakan wakil Herjuno, “Lula, Antropologi Sosial tahun kedua, wakil bagian publikasi.”

“Wah singkat padat dan jelas ya mba Lula…” ledek Herjuno sambil mencolek dagu temannya yang langsung mendapat toyoran.

Kini gantian Kautsar, Yoriko serta Thomas yang memperkenalkan diri. Bedanya dua wakil itu lebih dulu baru ketuanya lah yang terakhir? Kenapa? Karena Thomas bilang save the best for the last

“Ada pertanyaan ga tentang kita-kita? Jangan nanya nomer, nanti save sendiri aja. Jangan nanya yang menujurus gombal juga ke Kautsar, gak bakalan mempan soalnya dia aslinya cuek banget.”

“Gue lagi…” Kautsar menatap Thomas kesal, “Gak usah didengerin, yang mau tanya boleh angkat tangan.” Dan seketika itu hampir semua yang dilingkaran angakat tangan.

“Astaga guys, sabar jangan berebut. Kautsar nya gak akan kabur kok. Iya kan Sar?” Teressia berujar sambil menyenggol Kautsar sambil tersenyum (yang menurut Nabastala senyum genit).

Apaansih sok asik banget! batin sang bungsu.

Setelah sesi tanya jawab berlangsung, mereka pun melakukan pengenalan setiap staf nya. Ketika dibagian Nabastala, Thomas pun nyeletuk, “Gue denger-denger lo jago pantun ya katanya? Perkenalannya pake pantun dong!”

Belum sempat menyangkal, Herjuno pun ikut mengangguk, “Iya gue juga denger sih. Lo juga kan Sar?”

Nabastala kira, Kautsar yang serius itu gak akan mau ikut-ikutan, tapi lagi-lagi ia dibuat terkejut saat sahabat lamanya itu ikut menambahkan, “Iya denger. Coba dong pantun!”

Yah udah dah, belum apa-apa udah rusak reputasi gue. Mau gak mau, Nabastala pun akhirnya menghela nafas dan menuruti mau para kakak tingkat yang entah denger dari mana rumor bakatnya itu, “Pergi ke pasar membeli Pala…”

“CAKEP!”

“Perginya pake motor bareng sama si Alif!”

“CAKEP!”

“Perkenalkan nama saya Nabastala.”

“CAKEP!”

“Saya bangga jadi staf Media Kreatif!” Lingkaran mereka pun bertepuk tangan dengan rusuh. Sukses membuat departemen lain menoleh penasaran.

Herjuno pun menepuk-nepuk pundak temennya itu bangga, “Ini baru staf gue! Punya gak lo?” Ujarnya pada Kautsar, Thomas dan Yoriko, “Buat apa good looking kalo kaga seru woo!”

Dan ketika Nabastala melihat Kautsar tertawa pertama kali, karena hal yang secara tidak langsung berkaitan dengan dirinya, senyumnya pun makin lebar. Amih… Kautsar ketawa karena Abas Mih…

Jakarta, 19.00—

“Ini matkul nya lo sama siapa Bas?”

“Pak Yunus, Er. Tau kan?”

“Oh iya gue juga sama Pak Yunus dulu. Dia nyuruhnya berapa lembar?”

“Maksimal 2 lembar, tapi kayaknya gue lebih deh.”

Bisma yang duduk di samping kirinya menoleh kearah laptop milik Nabastala, “Pak Yunus kalo minta 2 lembar kasihnya jangan lebih jangan kurang. Pasti nanti nilainya di minus.”

Kini Nabastala memang duduk diantara Erica dan Bisma. Kedua kating sekaligus teman barunya itu memang sengaja menempati tempat tersebut untuk membantu dirinya.

“Serius?”

“Iya. Dia nganggepnya lo gak dengerin dia pasti.”

“Oh pantesan dia berkali ngomong harus inget kalo kita cuma disuruh 2 lembar.”

“Nah iya,” Bisma kemudian menunjuk beberapa bagian di layar Nabastala, “Yang ini gak perlu lo masukin. Karena sebenernya udah lo jelasin di paragraf atasnya.”

Space nya juga jadiin 1.5 aja Bas, font nya jangan lupa size 12 terus Times New Roman.” Tambah Erica yang langsung diikuti oleh Nabastala, “Nanti lo mau di proof read gak?”

“Ah gak usah, Er. Ngerepotin banget itu mah.”

“Yaelah santai aja kali, mumpung masih awal-awal, masih gampang lah buat diliat.”

“Kalo gitu boleh deh,” Nabastala terkekeh sedangkan Erica memutar matanya, “Terima kasih Mba Er.”

Sambil menunggu miliknya di periksa, Nabastala pun mengobrol dengan teman-teman barunya yang lain. Walaupun bukan bagian dari kelompok pertemanan mereka, tidak sekali pun dirinya merasa di asingkan.

“Terus itu bagi kamarnya gimana, Yor?”

“Waktu itu kita main pake stick gitu Bas. Karena kamarnya kan ada 5. Satu kamar itu ada yang kasurnya dua, jadi biar adil kita tulis nomer kamar abis itu ngundi.”

“Yang dapet kamar berdua siapa?”

“Thomas sama Herjuno. Makanya tuh rusuh banget mereka, untung gue sama Kautsar dibawah. Jadi yang keberisikan banget paling anak-anak lantai dua.”

“Yang dilantai dua sisanya ya?”

“Iya,” Bisma ikutan menyahut, “gue sama Erica yang kena imbas. Sengsara banget kita, apalagi kalo mereka lagi ngalong.”

“Gak usah lebay!” Herjuno yang gak terima ngelempar pilus yang sedang ia makan. Untung saja kenanya masih ke badan Bisma sehingga lelaki itu bisa tetep makan biar gak berantakan.

Sekarang memang mereka hanya berlima, karena dua orang lagi dapat kebagian untuk beli makan malam. Engga sih, sebenernya emang Kautsar nawarin diri aja, terus karena Thomas duduk disebelahnya, ia jadi orang pertama yang diajakin. Karena udah Kautsar yang ngajak, temannya yang pecicilan itu gak enak buat nolak makanya langsung ikut.

Kurang lebih setengah jam setelah mereka pergi, dua orang itu balik sambil menenteng masing-masing satu plastik yang berisi empat sama tiga bungkus nasi goreng.

“Akhirnya, gue udah laper banget. Makan dulu yuk!” Ajak Bisma yang membuat semuanya berhenti mengerjakan pekerjaan mereka.

Thomas membagi isi plastiknya ke dua orang terdekat yaitu Yoriko dan Herjuno, sedangkan Kautsar sisanya.

“Nih,” Kautsar menyodorkan bungkus milik Nabastala serta sendok plastik nya, “Itu ada kacang polongnya kita lupa bilang. Nanti lo pinggirin aja biar gue yang makan.”

Bilang Nabastala lebay, terserah. Yang jelas disitu badannya tiba-tiba kaku dan otaknya nge-bug sebentar sambil natap sahabat lamanya itu. Dia gak nyangka sama sekali Kautsar bakalan ngomong, apalagi isi pembicaraannya tersemat ingatan perkara apa yang dirinya gak suka.

“Bas?”

“Eh iya, Sar. Sorry gue kaget…” Kautsar menaikan satu alisnya, kebingungan terlihat jelas diwajahnya, “gue gak nyangka lo masih inget.”

“Kita lebih lama temenan daripada diem-dieman, Bas. Gak mungkin gue lupa tentang lo gitu aja.”

Jakarta, 18.00—

“BUNDAAA!”

“Eh anak-anak Bunda, sini masuk-masuk. Baru aja selesai masak nih.” Wanita paruh baya cantik yang dipanggil Bunda itu tersenyum sambil menyalami satu persatu sahabat anak keduanya.

Walaupun baru hampir dua tahun kenal, kelima sahabat Kautsar ini sudah beberapa kali main ke rumahnya dan akrab dengan keluarganya terutama sang bunda yang sering ngirim makanan ke rumah kontrakan mereka.

“Bunda masak apa bun?” Tanya Erica yang menjadi orang terakhir untuk masuk, “Baunya enak banget.”

“Masak daging balado sama kangkung balacan. Terus bunda juga gorengin tempe buat kalian.”

“Wah dengernya aja Juno udah ngiler bun, Bunda the best deh pokoknya!”

Bunda Kautsar pun tersenyum senang, “Belum juga di cobain.”

“Gak usah dicobain juga Yori sama yang lain yakin ini enak, Bun. Restoran aja kalah!”

“Alah alah bisa banget kalian tuh, biar dimasakin terus ya?”

Kali ini Thomas yang menyahut sambil cengengesan, “Bunda tau aja!”

Setelah teman-temannya duduk, Kautsar baru menghampiri sang ibunda dan merangkulnya, “Makasih ya, Bun. Maaf ngerepotin Bunda.”

“Ah engga, Kakak kan tau Bunda suka banget masak-masakin begini. Sering-sering dong Kak Kocal pulang, Bunda kangen nih.”

“Iya bun…” ujar Kautsar lalu duduk di kursi kosong ketika Bunda nya pergi ke ruang tamu, “Iyain aja dulu. Bener atau engganya belakangan.” Yang sedang makan pun saling lirik-lirikan mendengar celetukan Kautsar.

“Ngomong aja ngomong gak usah lirik-lirikan gitu.”

Semua anak huru-hara itu paham sama keadaan rumah Kautsar yang sebenarnya. Dulu, waktu awal-awal memutuskan untuk ngontrak rumah bareng, pernah ada malam dimana mereka jujur-jujuran alesan ingin pergi dari rumah.

Mulai dari Yoriko yang emang mau tinggal sendiri biar lebih bebas, Erica yang gak betah dirumah karena kesepian, Bisma yang memang ngerantau dari Bandung, Thomas yang ngerantau dari Surabaya, dan Herjuno yang emang pengen aja ikutan ngekos biar gak fomo.

Kautsar itu yang paling terakhir cerita. Karena pada dasarnya emang gak terbiasa untuk terbuka tentang perasaanya. Tapi karena teman-temannya itu ngeyakinin dan dia sadar kalau mereka itu pendengar yang baik, akhirnya sang anak tengah pun cerita.

Hal itu membuat semuanya jadi sedih. Karena mereka gak pernah ngira kalau sosok kalem yang selalu terlihat baik-baik aja tuh mendem masalah seberat itu. Tapi karena cerita itu juga semua ngerti kenapa Kautsar jadi orang yang punya sifat people pleaser, dan gak jarang bersikap seolah rem nya biar sahabat mereka itu gak terlalu baik sama orang.

“Ya kita bingung aja kalo lo udah mengarah kesitu respon nya harus apa…”

“Yaelah itu celetukan doang, gak usah dipikirin.”

Topik pembicaraan pun berganti, dari mulai kuliah, urusan rumah, organisasi, sampai gossip kampus.

“Tapi katanya dia emang suka celap celup anjir!” Seru Thomas yang menjadi sumber gossip dengan semangat.

“Oreo kali celap celup!” Sahut Herjuno sambil melempar tisu bekas pada sahabatnya, “Lagian biarin aja sih, ngapain ngurusin masalah selangkangan orang.”

“Selangkangan sendiri gak ada yang ngurusin soalnya.” Tambah Bisma dan semuanya tertawa.

Ditengah perbincangan mereka, Kamya yang baru pulang sekolah pun berjalan mendekat kearah meja makan, “Loh rame ya?”

“Hai Kamya, baru pulang?” Sapa Erica diikuti oleh yang lain.

“Iya kak, tadi abis eskul.”

“Makan sini Kamya, kita udah selesai kok…” Bisma hendak berdiri dari tempat duduknya namun adik sahbatnya itu menggeleng, “Gak usah kak gapapa, tadi ada konsumsi soalnya temenku ulang tahun. Aku cuma mau ngambil paket aja kok.”

“Itu yang di meja tadi paket kamu? Kakak pindahin ke rak situ.” Tanya Kaustar sambil menunjuk rak dekat meja makan. Saat Kamya mengangguk ia pun kembali bertanya, “Beli apa?”

“Album NCT. Aku ikut pre-order terus baru sampe.”

“Oh adekku juga demen tuh, aku pengen beliin buat dia deh, itu berapaan ya Kamya?”

Kamya yang lupa harganya pun berpikir keras. Pasalnya, ini benar-benar dipesan dan dibayar oleh Nabastala. Ia hanya numpang nama dan alamat aja, “ehm… kurang tau sih kak, ini aku dibeliin soalnya…”

“Cie dibeliin siapa tuh,” ledek Herjuno sambil senyum menggoda, “Pacar ya?”

“Engga kok kak, bukan pacar…”

Kautsar pun tersadar siapa yang kemungkinan memberikan hadiah itu pada sang adik, “Itu sogokan dari Abas?”

Kamya yang terkejut kakaknya tau pun membelalakan mata, “Eh bukan kok…”

“Yakin mau bohong lagi? Kamya udah bohong sama Kakak soal tanda tangan itu loh. Kakak tau…”

Kamya pun tersenyum malu karena sudah ketawan, “ehehe iya kak… maaf ya…”

“Kamu dapet apa aja?”

“Album sama photo card kak.”

“Photo card apa?”

“Jisung yang yearbook.”

Sebagai penikmat musik korea juga, tentu saja Kautsar tau apa yang dibicarakan adiknya. Dan walaupun gak terjun ke dalam dunia perkertasan dia juga tau kalau harga jual pc NCT itu memang cukup menguras dompet.

“Seneng kamu?”

“SENENG BANGET!” Melihat kakaknya itu tidak menunjukan tanda-tanda ingin marah ia pun tersenyum, “Ini paketnya berat banget, kayaknya Kak Abas beliin semua versi nya deh.”

“Anjir niat banget itu si Kebas!” Thomas pun ikut nimbrung, “satunya 300an lebih kan?”

“Anjir tanda tangan lo harganya jutaan, Sar. Artis lo?” Ujar Herjuno makin ikut kompor.

“Berisik!” Kautsar menatap teman-temannya sebal untuk sesaat lalu beralih pada adiknya, “Bilang makasih sama Abas.”

“Iya udah kok.”

“Bilang lagi kan sekarang barangnya udah sampe.”

“Oke Kak Kocal, aku taruh ini ke kamar dulu ya. Kakak-kakak aku duluan ya.”

Setelah mengucapkan perpisahan dan kepergian Kamya, semua perhatian kini berpusat pada Kautsar, “Apa?”

“Itu si Kebas beneran se-all out itu?”

“ABAS!” Seru semuanya bersamaan, membuat Thomas kaget, “Iya iya astaga…”

“Tapi Abas emang begitu gak sih dari dulu?” Yoriko kini nimbrung, “Kalo sama temen royal. Apalagi sama Kautsar!”

“Itu gue setuju sih. Lo liat aja effortnya, udah bukan nyenengin lo lagi tapi keluarga lo.”

“Itu buat keuntungannya dia sendiri.”

“Lo pikir dia butuh ngelakuin itu buat bikin Kamya bantu dia?” Tanya Herjuno lagi, “Gue yakin adek lo udah nolak tapi dia maksa.”

Kautsar lagi-lagi sebal ketika Herjuno dan mulut ceplas ceplos nya benar. Kalau boleh jujur, pemikiran tersebut sudah ada dikepalanya sedari tadi, tapi ia hanya tidak mengutarakannya.

Yoriko yang duduk di dekat Kautsar menepuk bahu sahabatnya itu, “Gue gatau sih apa yang buat lo gak temenan lagi sama Abas, karena gue yakin cuma bukan permasalah BC waktu itu doang. Tapi apapaun itu, apa lo yakin Abas yang dulu sama sekarang itu masih sama? Apa lo serius gak kepikiran buat ngasih dia kesempatan lagi?”