— KEHANGATAN

Jakarta, 13.00—

Narendra meremas bajunya tanpa sadar. Dia bahkan udah engga lagi nimbrung dalam obrolan Julian, Jeremy dan kekasihnya yang masih membahas tentang Melbourne.

Kegugupannya semakin menjadi-jadi waktu mereka sudah mulai memasuki gerbang komplek Akasia Permai, tempat sang kekasih tumbuh dari kecil sampai sekarang.

“Nih Mas, dulu aku besar disini.” Ujar Owen mulai menerangkan, “Ini rumah Juju, Bang Baim, aku, Bang Adnan, Bang Chan dan itu yang paling gede rumahnya Bang Kai.”

“Owen tuh terkenal banget Mas disini, pokoknya kalo gak ada dia gak rame deh. Biang rusuh!” Tambah Julian yang juga ingin mendistraksi Narendra dari khawatirnya.

Tentu saja yang lebih tua itu sangat amat menghargai usahanya, “Kita tuh nongkrongnya di Gazebo, coba Ju muterin Gazebo dulu.”

Dan Julian melakukannya, “Nih Mas, ini tiap Tahun di renovasi sama orang tua nya Bang Kai, pokoknya kita gak pernah berhenti nongkrong disini hampir setiap minggu. Ya kecuali si Owen nih.”

“Jeje disini juga tinggalnya?” Tanya Narendra yang akhirnya bisa merasa cukup tenang untuk berbicara, “Tadinya engga Mas. Tapi akan sih sekarang.”

“Hah, gimana sih maksudnya? Lo bukanya tinggal di apartemen sekarang?”

“Iya tapi kita baru beli rumah di Akper, Wen.” Jawab Julian yang membuat Owen lagi-lagi terkejut, “baru banget sih, bulan depan mau di rubuhin terus bangun dari nol.”

“Rumah yang mana?”

“Yang deket Gazebo.”

“Oh wow asing dong…” Owen tidak tau lagi harus merespon apa. Tentu saja ia kaget dan senang untuk temannya. Tapi ia terlalu takut untuk memberikan tanggapan lebih dari ini, gak enak sama Narendra.

Setelah itu mereka pun memutari Gazebo sebelum kembali ke rumah masa muda Owen.

“Gue ke rumah dulu ketemu bokap-bokap gue juga. Nanti kabarin aja kalo udah selesai, biar bisa kumpul di Gazebo kita.” Ujar Juju setelah mereka berdua turun.

“Oke.”

Dan setelah itu Owen serta Narendra pun berdiri di depan pagar rumah, siap-siap mau memencet bel bangunan yang sudah dirindukan sekian lama itu.

Ketika pintu rumah terbuka, Narendra yang sebelumnya bergandengan dengan Owen pun refleks melepaskan tangan dan berjalan mundur selangkah.

Yang lebih muda tentu saja sempat menatapnya bingung, namun terdistraksi ketika ibu dan bapaknya bergerak membukakan pintu lalu memeluknya, “OWEN! Kok gak bilang sih pulang hari ini?”

“Kan mau surprise hehe!” Kekeh Owen sambil menerima afeksi dari kedua orang tuanya dengan senang.

“Bapak kok kangen ya Wen sama kamu? Padahal kalo ketemy, ngeliat mukamu aja sebenernya kesel loh.”

“Ye si bapak bisa aja!” Ujar Owen sebelum akhirnya tersadar akan sosok yang sedari tadi diam saja.

“Pak, bu, kenalin ini Mas Naren!” Ujar Owen sambil menggandeng tangan Narendra dengan bangga, “Pacarnya Owen nih, cakep kan?”

Angel dan Adi pun menoleh ke sosok di samping anak mereka. Keduanya terdiam untuk bebedapa saat, tentu saja tidak perlu orang pintar untuk menebak reaksi pertama mereka dalam hati. Namun mereka juga sadar, kekasih anaknya ini gugup, menambahkan celetukan atau menunjukan sikap sesuai dengan apa yang ada di pikiran mereka bukanlah hal baik.

Untuk itu Angel pun bergegas membuang keterkejutannya jauh-jauh dan tersenyum, “Iya cakep, Wen. Kamu emang pinter ya milih pasangan.”

“Nurun dari siapa dulu dong!” Tambah Adi kemudian, tentu saja untuk mencairkan suasana. Akhirnya Narendra bisa menghela nafas lega. Ketakutannya yang semula mendominasi pun perlahan terkikis.

“Ayo sini-sini masuk, kita makan siang sama-sama.” ujar Angel yang langsung bergerak merangkul Narendra, “Ibu lagi masak rawon ini, Narendra suka rawon kah?”

“Suka Tant—” Belum selesai Narendra menyelesaikan perkataannya Angel sudah memberikan tatapan yang membuatnya mengulang, “Suka bu, tapi udah lama gak makan rawon.”

“Wah kalo gitu pas banget Ren, rawon nya ibu tuh rawon paling enak sedunia. Bahkan bapak juga mau nikah sama ibu waktu itu karena jatuh cinta pas nyobain rawonnya!”

“Loh bukannya waktu itu bapak bilang pas nyobain ayam kalasan?”

“Itumah akal-akalannya bapakmu doang, Wen. Makannya cuma diganti sesuai sama yang ibu masak hari itu aja kalo cerita!”

Adi pun terkekeh sambil mengecup pipi istrinya, “Itu tandanya kamu mau masak apa aja aku tetep jatuh cinta, bu.”

“Alah!” Dan mereka semua pun tertawa.

Hangat. Belum lama sang anak sulung sampai di rumah ini, tapi ia sudah merasa diterima dikeluarga sang kekasih.

“Mau keliling gak Mas? Aku kasih liat rumahku!”

“Eh? Boleh aja sih.”

“Nanti dulu lah, kalian duduk dulu di ruang tamu, istirahat. Nanti waktu selesai makan baru deh keliling.”

“Iyasih bener juga.”

Adi tidak langsung ikut anak dan istrinya ke ruang tamu atau dapur. Melainkan kearah dinding dan meja tempat mereka menaruh foto-foto keluarga, pernikahan Shandy dan Darian, foto wisuda, atau semua kenangan yang ada.

Matanya terpaku pada tiga foto dari momen yang berbeda namun terdapat satu sosok yang sama. Adi terdiam sebentar sebelum akhirnya mengambil bingkai tersebut sambil berujar, “maaf ya nang, ada hati baru yang harus bapak jaga.”

Bingkai tersebut kini hendak ia bawa ke ruang kerja, namun ditengah perjalannya ia bertemu dengan Narendra yang baru balik dari toilet, “Eh halo pak… mau kemana?”

“Mau ke ruang kerja bentar Ren, naruh ini abis itu baru bapak ke ruang tengah.”

Mata Narendra beralih pada benda yang dipegang ayah kekasihnya itu, “Mau dibantu kah Pak?”

“Eh engga usah, kamu duluan aja. Ini gak repot kok bapak.”

“Yaudah, Narendra duluan ya Pak. Kalo ada yang perlu dibantu nanti tinggal bilang aja.”

“Ah kamu kaku banget, Ren. Jangan kaya tamu gitu lah, anggap aja rumah sendiri!” Narendra berusaha untuk menahan rasa harunya. Gak mungkin kan dia menunjukannya depan orang tua kekasihnya itu.

Setelah Adi masuk ke ruang kerja, Narendra pun berjalan balik kearah ruang tamu tempat kekasihnha berada. Omong-omong, ia sadar apa yang dilakukan ayah kekasihnya itu tadi dan untuk kesekian kalinya dia dibuat terharu. Melihat hal sesimple itu aja ayah kekasihnya bisa paham, Narendra benar-benar ingat Owen. Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya.

Ketika makanan sudah jadi, mereka berempat duduk untuk mulai makan siang.

“Mikael, Dino sama Dina ikut ke Bali bu?”

“Engga, mereka dititipin dirumah nenek yang satunya sekarang. Dua hari lagi baru gantian mereka disini.”

“Jadi Naren kenal Owen dari mana?” Tanya Adi memulai topik pembicaraan.

“Ditempat kerja, Pak. Kebetulan Owen jadi freelance di kantor tempat Narendra kerja.”

“Oh iya? Kalian temen kerja gitu ya berarti?” KLi ini Angel yang bertanya dan mereka semua mengangguk, “Naren udah lama kerja di tempat kerjannya Owen?”

“Lama lah, orang itu kantor yang punya Mas Naren.” Jawab Owen dengan bangga.

“Maksudnya gimana? Naren tuh atasannya Owen?”

“Iya, Mas Naren sama temen-temennya yang diriin perusahan. Keren kan Pak, Bu, anak kalian pesonannya? Bos aja naksir!”

“Pesona-pesona,” Adi melempar gulungan tisu pada anaknya, “yang ada kamu tuh bikin stress Naren terus. Mana ngerepotin sih pasti!”

“Dih sotoy!”

“Ren, pokoknya kalo si Owen bikin kamu susah atau ngerepotin, tinggalin aja!” Ujar Adi meledek anaknya.

“Bu si bapak nih malah manas-manasin!”

“Diemin aja Wen, padahal dia aja sering ngerepotin ibu dan gak ibu tinggalin tuh.”

Muka Adi langsung berubah panik, “Emang aku sengerepotin itu yang?”

“HAHAHA RASAIN BAPAK OVERTHINKING KAN!”

Narendra tersenyum melihat interaksi mereka semua. Teman-temannya benar, yang ia takutkan tak akan terjadi.