— KENA LU

Jakarta, 08.00

“Bit, ini air nya taruh mana?”

“Oh di ruangan panitia aja, Sar. Terus tadi Erica udah bilang kalo lo berdua udah sampe suruh langsung ke lapangan.”

“Oke deh, abis taruh ini kita kesana.”

Kautsar dan Herjuno yang pagi itu bertugas membeli air mineral tambahan pun bergegas menaruh ke ruangan panitia lalu berjalan beriringan ke lapangan.

“Lo beneran gak tau Abas masuk sini, Sar?”

“Engga.”

“Kalian emang gak pernah ngobrol soal kuliah?”

“Engga.”

“Terus sekarang dia udah disini gimana?”

“Ya gak gimana-gimana, biarin aja dia mau kuliah disini.” Herjuno menghela nafasnya pasrah saat sadar belum ada perubahan sama sekali. Topik pembicaraan mengenai sahabat ajaib mereka itu tidak lagi dilanjutkan, namun dalam hati ia berharap semoga ini adalah pertanda baik untuk hubungan keduanya di masa depan.

Ketika mereka sampai, rangkaian acara baru saja ingin dimulai. Keduanya kemudian berdiri dengan beberapa teman-teman komdis yang lain.

“Tuh anaknya,” ujar Thomas ketika mereka sudah berdiri cukup dekat, “Yang di barisan kelompok 7 paling belakang.”

Ketika Kautsar dan Herjuno menoleh, lelaki yang sedang dibicarakan oleh ketiganya pun melambai.

“Kalian kenal?”

“Engga.” Jawab keduanya kompak lalu pura-pura tidak memperdulikan sahabat lama mereka. Iya mereka sengaja, selain biar adil sama yang lain, keduanya juga punya perjanjian tak tertulis mau ngusik Nabastala.

Setelah pembukaan dan pembacaan peraturan dilakukan, komdis diperintahkan untuk ambil alih acara. Berbeda dengan panitia yang lain, para anggota komdis diberi pita merah di lengan mereka sebagai penanda.

Satu persatu anggota pun mengenalkan diri mereka, waktu giliran Kautsar banyak pasang mata yang semula menunduk langsung duduk tegak. Tidak jarang ada yang saling berbisik pada sesama mahasiswa baru.

“GAK USAH PADA GENIT DISINI LO MAU OSPEK BUKAN CARI JODOH!” Teriak salah satu anggota komdis yang membuat bisikan itu perlahan berhenti.

“Sekarang mah pada demen, belom tau aja Kautsar kalo udah keluar taringnya gimana.” Ujar Herjuno yang membuat beberapa anggota di sekitar mereka tertawa.

Nabastala yang melihat semua kejadian itu tertawa pelan. Dia memang tau sahabatnya itu tampan, tapi tetep aja gak nyangka kalau Kautsar bakalan sebegini lakunya.

Tapi tawanya tidak lama-lama karena ia kemudian mendengar seruan lewat speaker, “Itu yang lagi ketawa-ketawa di belakang.” Semua orang kini sibuk mencari-cari sumbernya. Berbeda dengan Nabastala yang sadar kalau itu dirinya, “Iya lo yang di kelompok tujuh. Ada yang lucu emang?”

“Gak ada kak…”

“Terus? Kenapa ketawa?”

“Gapapa kak, maaf kak.”

Kautsar yang berdiri didepan Bisma, orang yang sedang menegur Nabastala, pun meminta ambil alih mic lalu kemudian berujar, “Kan lo kayaknya udah paham bgt nih makanya asik sendiri, boleh dong sebutin peraturan apa aja yang tadi dibacain?”

Anjing? Maki Nabastala dalam hati. Jantungnya berdegup kencang dan sekarang tubuhnya terasa lemas. Mati gue.

“Kok diem? Coba sebutin…”

“Gak hafal kak?”

“Gak kedengeran, lo ngomong apa?”

“GAK HAFAL KAK!” Seru Nabastala lebih kencang.

“Gitu?” Kautsar bahkan tidak berusaha untuk menutupi ketidaksukaan di suaranya, “Biasanya kalo ada satu yang salah sih yang kena satu angkatan. Gimana? Udah siap jadi alesan temen-temen satu angkatan lo dapet hukuman pertama mereka selama ospek ini?”

“Jangan kak.”

“Jangan? Emang gue ngasih lo kesempatan buat ngutamain pendapat?”

Entah naif atau bodoh, yang jelas Nabastala tidak mau menjadi musuh masyarakat di hari pertamanya sebagai mahasiswa sehingga iya kembali menjawab, “Saya rela ngelakuin apapun. Tapi tolong hukum saya aja, jangan teman-teman saya yang lain. Ini semua salah saya.”

“Oh pahlawan ceritanya?” Kautsar kemudian menoleh kearah teman-temannya, dan semuanya pun mengangguk seolah paham maksud sang anak tengah, “Ok. Kalo gitu berdiri sekarang.”

Nabastala pun segera menurut, “Muterin lapangan sampai rangkaian acara selesai.” Lanjut Kautrsar lagi, namun ketika Nabastala hendak memulai hukumannya ia menambahkan, “Jongkok.”