— OH GITU?

Melbourne, 18.00—

“Wen duduk anjir, udah pucet muka lo.” Ujar Reyhan saat mereka semua sedang mengangkat beberapa barang yang ada di kantor.

Ternyata, selain ketemu sama klien, hari ini kantor ada renovasi yang lumayan besar. Jadi banyak yang diminta datang untuk bantuin. Tentu saja mereka akan digaji lebih, VIP gak sejahat itu.

Nah kebetulan yang lowong hari itu cuma mereka berempat, jadi lah Owen, Reyhan, Dirga sama Aryo kerja ekstra buat bantuin.

“Tanggung.”

“Ya lo jangan tanggung-tanggung lah, Istirahat dulu nanti gue bilangin ke yang lain.” Mendengar hal itu, dan didukung dengan kepalanya juga yang mulai keleyengan, Owen akhirnya duduk juga.

“Wen bantuin dong jangan malah duduk!” Seru sebuah suara yang membuat Reyhan dan Owen menoleh. Tentu saja siapa lagi kalau bukan Narendra?

Pria itu juga yang dari tadi ngasih Owen kerjaan gak berhenti-berhenti. Dari mulai ngangkut sofa, ngecat tembok, sampe install komputer baru juga sang anak bungsu yang diminta ngerjain.

“Buset Ren, udah kali dari tadi Owen mulu.” Tegur Taylor yang lewat sambil bawa bantal buat sofa di ruang santai.

“Biarin lah, kita bayar ekstra ini.” Jawab sang anak sulung galak.

Walaupun dengan hati yang super duper berat plus gondok, Owen akhirnya berdiri lagi. Tapi emang pada dasarnya udah gak enak badan dan pusing, tiba-tiba berdiri buat pria itu kehilangan keseimbangannya.

Waktu jatuh kepala Owen gak sengaja ngebentur meja kopi yang ada di depannya. Semua nya terjadi terlalu cepat, pokoknya beneran kaya sinetron remaja yang pake efek slow motion sampai akhirnya ia terjatuh dan pingsan.

“WEN!!” Reyhan, Dirga dan Aryo yang emang lagi dideket situ langsung lari ke temannya. Ten dan Taeyong yang juga ngeliat pun turut menghampiri Owen buat ngeliat keadaan pria itu.

“Angkut ke dalem aja.” Ujar Barbara karena sekarang mereka sedang berada di tengah kantor, “Yang ada sofa bed nya ruangan Naren, bawa kesana.”

Narendra sebenarnya mau protes, tapi sekarang dia udah dipelototin sama Ten dan Taeyong yang walaupun lebih kecil dari dia, tetep jauh lebih serem.

“Dia emang dari tadi pagi gak enak badan, Mba.” Jelas Aryo waktu ditanya sama Ryujin tentang keadaan Owen.

“Terus kenapa tetep dibiarin masuk? Kalo dibilangin sakit kan juga gak bakalan kita paksa.” Potong Narendra sebelum semuanya sempat ada yang ngerespond.

Hal ini membuat ketiga teman Owen saling bertatapan bingung mau jawab apa, sampai akhirnya Jamy masuk ruangan dan ngabarin kalo makan malam mereka udah dateng.

“Yaudah lo semua makan dulu gih, biar gue sama Naren yang ngurusin Owen disini,” ujar Ten lalu mereka semua menurut. Lagi-lagi Narendra yang sebelumnya ingin protes mendapat lirikan judes dari sahabatnya sehingga niatnya ia kurungkan, “Gak usah merengut. Lo juga salah disini.”

“Kok bisa jadi salah gue? Yang gak tau kemampuan dirinya sendiri kan dia.”

“Ya orang sehat kalo dikasih kerjaan bejibun tanpa ampun juga bakalan tumbang. Jangan lo pikir gue gak tau ya dari tadi lo nyiksa dia.”

“Nyiksa apaan sih? Gue cuma minta tolong, lagi pula dia juga kita bayar. Kalo emang kerjaan dia lebih banyak dari yang lain, gue tambahin deh nanti pake duit gue sendiri!”

“You don’t get it do you? It’s not about the money!”

“Ya terus apa?”

“IT’S ABOUT YOU FOR GOD SAKES!” Seru Ten frustasi, “Ini tentang lo dan pemikiran lo yang gak bisa bedain mana Arkano mana Owen!”

“Gue bisa bedain!”

“Oh yeah? Musuhin Owen dari pertama kali dia dateng, ngasih dia banyak kerjaan yang sebenernya bisa dikerjain sama orang lain, jutekin dan perlakuin dia beda dari lo perlakuin yang lain, and now? You fucking torture him when he’s sick and you don’t even feel sorry about it? While he did nothing but nice thing for you and the rest of us. Itu yang lo bilang bisa bedain mereka berdua?”

Narendra tertegun. Ia tidak bisa menjawab pertanyaan Ten karena kini sadar memang yang bersalah sekarang. Dimana dirinya yang sabar dan dewasa dulu? Harusnya ia sadar, Pernah disakiti dua kali bukan berarti dia bisa berperilaku brengsek terhadap orang lain yang tidak bersalah seperti ini.

Keduanya sampai tidak tau sedari tadi ada sosok lain yang kini sudah sadar dan bisa mendengar semuanya.

“Owen bukan mantan lo yang brengsek itu, Ren. Lo masih boleh ngecam Arkano atau Baskara, kita pasti tetep dengerin. Lo boleh tai-taiin mereka atau bahkan ngehajar mereka sekalipun, kita tetep bantuin. Perasaan lo valid, sakit hati lo valid. Tapi itu semua gak bikin lo punya hak buat nyiksa orang lain apalagi cuma karena dia mirip sama mantan lo.“

“Okay, I’m sorry, Ten. I know it’s not—”

“So this is what it’s all about?” suara baru yang tiba-tiba terdengar membuat Ten dan Narendra menoleh ke sumbernya. Kini Owen sudah sepenuhnya sadar dan mendengar semua perkataan kedua atasannya itu.

“You fucking despise me because I look like your fucking ex that I don’t even know?” suara Owen meninggi. Tidak peduli dengan sakit di kepalanya, tidak peduli dengan siapa ia berhadapan sekarang. Anak bungsu itu marah, dan ia sudah tidak lagi berminat untuk mengontrol ucapannya.

Sadar akan kemungkinan yang akan terjadi, Ten pun berniat untuk mencegah, “Wen…”

Tapi tentu saja Owen belum selesai, karena pria itu langsung memotong, “Maaf nih bang, selama ini gue udah sabar-sabarin karena emang sadar I might make a mistake several times. Eh tapi ternyata alasannya kekanakan gini? Lo gak malu apa Mas ama umur? Gak bisa bedain yang mana orangnya beneran yang mana mirip doang? Sadar Mas, gue juga gak mau sama orang gak jelas kaya lo.”

“Wen, udah anjir!”

“Bentar Bang gue belom selesai,” Owen melirik Ten sekilas. Masa bodo kalau habis ini ia akan dipecat, karena emosinya sudah di ubun-ubun, “Kalo begini mah gue juga bisa liat kenapa pacarnya Mas Naren mutusin Mas, I would do the exact same thing to if I were him. I’m pretty sure you don’t deserve him. Lagian siapa juga yang tahan sama orang kekanakan, nyebelin, dan pemar—”

“OWEN UDAH, DIEM ANJING! DIEM. DENGER GUE GAK LO?”

Owen sudah tidak lagi berbicara, namun dirinya tak berusaha mengalihkan pandangan dari mata Narendra. Kini ia menatap pria itu penuh dengan amarah. He meant every single one of it, and he doesn’t feel sorry.

“Ren…”

“No, it’s okay. I deserve it.” Sang anak sulung tersenyum kearah sahabatnya sebelum berpaling kearah Owen, “Gue minta maaf udah memperlakukan lo kaya gini, it’s very wrong and unprofessional of me. Gue harap ini semua gak buat lo mau ninggalin VIP, kita semua disini butuh lo. Sekali lagi gue minta maaf, abis ini gue janji lo gak akan berurusan sama gue lagi. Get well soon Owen.”

Dan Narendra pun pergi dari ruangannya meninggalkan Owen berdua dengan Ten yang menatap kepergiannya dengan sendu.

“Gue tau lo marah,” ujar Ten pada akhirnya sambil menoleh ke arah Owen, “Gue juga tau Narendra yang salah disini. Tapi jangan pernah lo ngomong hal sampah ke sahabat gue kaya tadi, paham?”

Owen terdiam. Emang sejahat itu ya perkatannya tadi? Dia cuma ngomongin fakta yang kemungkinan besar juga disadarin sama mantan pacar atasan yang menurutnya kaya jelmaan mak lampir itu.

“Denger gue gak, Wen?” Ok suara Ten udah sedingin itu jadi dia emang ada salahnya disini. Jadi meskipun Owen gak sepenuhnya merasa menyesal dengan perkataannya, dia tetap menjawab, “Iya bang, maaf.”