— OWEN DAN SEMBUHNYA

Tentang sedih dan senangnya sang Pusaka Brawijaya.


“Sabar ya Wen, Raga udah tenang disana.”

Entah sudah berapa kali Owen mendengar kalimat itu terlontar dari banyaknya orang yang datang ke pemakaman kekasihnya. Raga sudah tenang, Raga sudah tidak sakit lagi, Raga pasti gak mau lo terlalu sedih dan segala tetek bengeknya.

Nyatanya, apakah mereka akan bisa sesabar itu? Setegar itu? Atau ikhlas secepat itu ketika mereka berada di posisi yang sama dengan dirinya?

Owen sudah berusaha. Untuk tenang, untuk menunjukan senyum tipisnya, untuk menjadi penopang Ibu dan adik dari Nuraga. Bahkan, dia tidak lagi menangis saat melihat cangkulan demi cangkulan tanah mengubur Nuraga di bawah sana, sambil memanjatkan doa pada Tuhan untuk menjaga serta menyambut juara bertahannya itu.

“Terima kasih ya Owen, sudah menjaga Nuraga selama ini. Senyumnya, tawanya dan bahagianya Nuraga belakangan ini itu pasti Owen penyebabnya. Mama bersyukur banget Nuraga punya orang kaya Owen di hidupnya.”

“Justru Owen yang berterima kasih sama Mama, sudah melahirkan orang sebaik Nuraga ke dunia. Bahagianya Owen juga Nuraga yang buat, Ma.”

Setelah proses pemakaman selesai, Owen kemudian memeluk Ibu dan Adik kekasihnya itu sebagai perpisahan. Tersenyum kearah keluarga dan sahabat-sahabatnya seolah meyakinkan dirinya baik-baik saja.

“Ditemenin ya Wen? “ Tawar Ibrahim saat mereka sampai ke apartemennya dan Nuraga, namun ia menggelengkan kepala sambil tersenyum tipis, “Biarin gue sendirian dulu ya Bang? Gue butuh waktu sendiri.”

Walaupun terlihat tidak rela, sahabat yang sudah ia anggap seperti saudara sendirinya itu pun hanya mengangguk pasrah. Membiarkan yang lebih muda untuk masuk sendirian.

Ketika sudah di dalam, Owen tidak menyalakan lampu seperti biasa. Bahkan, tenaganya hanya kuat untuk berjalan sampai ke sofa ruang tengah sebelum tangisnya pecah.

Anak bungsu itu meluapkan semua sedihnya, sakitnya, dan rasa rindunya pada sang kekasih yang sekarang sudah tidak bersamanya lagi. Apartemen yang tadinya dipenuhi oleh kehangatan, menjadi saksi ia tertawa bahagia bersama Juara Bertahannya itu kini terasa hampa dan hal itu menyiksa sang Pusaka Brawijaya.

“Ga… aku gatau harus apa sekarang…”

Pada akhirnya, ketika tubuhnya sudah tidak lagi sanggup untuk menangis,sang Pusaka Brawijaya berhasil terlelap diselimuti malam yang kelam.

Masih dengan nama Laksamana Nuraga di dalam kepala dan hatinya.


“Owen, bapak boleh masuk gak?”

Owen yang semula sedang menatap Akasia Permai dari jendela kamarnya pun menoleh kearah pintu, “Masuk aja, Pak. Kenapa?”

“Lagi ngapain bungsu bapak yang paling ganteng sedunia ini?”

Yang dipanggil bungsu itu pun terkekeh, menghargai usaha sang bapak untuk menghibur dirinya, “Halah halah, mentang-mentang Owen lagi begini aja bapak baru baik-baikin Owen.”

“Loh bapak mah baik terus,” Adi pun berjalan menghampiri kemudian merangkul anaknya itu, “Lagi bengong ya tadi? Hati-hati kesambet loh. Walaupun bapak juga ragu sih ada setan yang tertarik ngerasukin kamu.”

“Enak aja! Owen mah pasti laku di dimensi manapun.”

“Pede banget kamu!”

“Pede terus lah! Ajaran siapa dulu?”

“Adi Brawijaya yang paling ganteng sedunia dong!”

“Tuh kan langsung dibuktiin!” Lalu keduanya tertawa.

Ini bukan pertama kalinya Owen bisa tertawa lepas dibuat oleh sang bapak. Karena dirinya pun berusaha untuk tidak menunjukan kesedihan di depan orang-orang kesayangannya, walaupun tidak perlu ditunjukan pun mereka semua sudah tau yang sebenarnya.

Ketika keduanya sudah kembali diam, Owen pun kembali menyenderkan kepala ke bahu sang Bapak, “Lagi mikirin apa, Cah Bagus? Cerita sini sama Bapak…”

“Kenapa bukan Owen aja ya Pak?”

“Maksudnya?”

“Yang pergi, yang ngerasain sakitnya. Kenapa harus Raga bukan Owen aja?”

“Hush, kok begitu sih ngomongnya?” Adi menatap anaknya beberapa saat sebelum mengeratkan pelukannya, “Ndak boleh ah ngomong begitu. Semua udah ada takdirnya masing-masing. Nuraga juga pasti gak mau kamu punya pemikiran begitu.”

“Abisnya Owen sedih banget Pak. Owen udah berusaha buat ikhlas dan coba untuk gak mikirin itu, tapi gak bisa.”

“Ikhlas itu proses, Wen. Gak semua orang bisa langsung ikhlas ketika ditinggal sama orang yang mereka sayang. Itu normal, tapi bukan berarti Owen gak bisa. Ayo jalan pelan-pelan. Bapak bakalan temenin susahnya, sedihnya, sepinya, kangennya, pokonya semua-muanya. Owen gak akan pernah sendirian.”

Malam itu, Owen terlelap diantara kedua orang tuanya seperti saat dirinya masih kecil. Sang Bapak menepati janji untuk terus menemaninya, bahkan saat dirinya terisak dalam kegelapan sampai dirinya lelah dan memejamkan mata.

Masih dengan nama Laksamana Nuraga di dalam kepala dan hatinya.


Owen menatap layar didepannya tidak percaya. Ucapan selamat atas keterimanya dia di universitas pilihannya untuk melanjutkan studinya terpampang nyata didepannya.

“Ibu sudah yakin sekali Owen pasti keterima! Selamat ya sayangnya Ibu. Ibu bangga sekali sama Owen!” Ujar Angel sambil memeluk sang anak bungsu dan mengecup dahinya.

“Hebat banget kamu, Wen. Anaknya siapa sih?”

“Anaknya Ibu Angel.” Jawab Owen sambil tersenyum miring saat sang bapak menatapnya kesal, “sama Bapak Adi Brawijaya yang paling keren sedunia juga.”

“Nah itu baru bener!” Lalu keduanya berpelukan dengan erat.

“Selamat ya adek kesayangan kita semua!” Ujar para abang-abangnya sambil memeluk bergantian.

Setelah memberi tau sahabat-sahabatnya yang lain dan mengundang mereka untuk makan di rumah untuk merayakan, Owen pun pergi ke makan sang mantan kekasih sambil ditemani oleh Julian dan Jeremy, kekasih sahabatnya.

“Ga, aku keterima.” Ujar Owen memulai ceritanya setelah memanjatkan doa, “Aku bakalan berangkat ke Melbourne ngewujudin mimpi kamu dulu.”

“Keren kan Ga sahabat gue? Dia malah sempet gak pede loh padahal udahbjago sekarang bahasa inggrisnya. Ya kan Yang?”

“Iya bener Ga,” tambah Jeremy sambil mengangguk antusias, “Nih coba kita tes, How are you today Mr. Owen?”

Owen dengan tengilnya berdeham terlebih dahulu sebelum menjawab, “I’m fine thank you, and you?” Lalu mereka bertiga pun tertawa.

Ketiganya kemudian lanjut mengobrol untuk beberapa saat sambil tidak lupa melibatkan Nuraga dan akhirnya pulang.

Malam itu Owen terlelap dengan perasaan senang. Masih dengan nama Laksamana Nuraga di dalam kepala dan hatinya. Yang kini tersenyum bangga dalam mimpinya.


“Ok fine, you’re hired.”

Owen berusaha untuk menahan diri agar tidak memeluk manusia didepannya. Bagaimana tidak? Atasannya ini mirip bukan main dengan sosok yang selama ini dirindukannya. Walaupun pria bernama Narendra itu kerap menatapnya ketus seolah-olah dirinya sudah melakukan kesalahan yang entah apa.

Hari itu ia pulang dengan perasaan campur aduk. Senang karena di terima apalagi mendapatkan ucapan selamat dari teman-temannya, namun juga terbebani rasa rindu setelah melihat Narendra.

Owen kemudian mengirimkan pesan kepada Nuraga seperti sebelum-sebelumnya ketika ia merasakan rindu. Sedikit berharap bahwa akan ada balasan dari mantan kekasihnya itu walaupun kerap kali dilanda kecewa karena tidak pernah terjadi.

“Mirip banget sama kamu, Ga.” Ujar Owen di balkon apartemennya sambil menatap langit, “Hampir aku peluk tadi…”

Hening, tidak ada balasan. Hanya suara kendaraan bersaut-sautan di tengah ramainya ibu kota.

“Aku kangen banget Ga, kamu baik-baik aja kan disana?” Walaupun tau tidak akan ada balasan Owen melanjutkan, “Mampir ke mimpiku ya nanti. Biar kita ngobrol disana.”

Malam itu Owen terlelap dengan perasaan rindunya. Masih dengan nama Laksamana Nuraga di dalam kepala dan hatinya. Yang kini mampir untuk berbicara dalam mimpinya.


Owen menutup ponselnya masih dengan emosi yang membara. Tadi ia curhat sambil memaki boss nya habis-habisan pada Julian.

Ini entah berapa kalinya Owen meraaa diperlakukan tidak baik oleh sang atasan. Apapun yang dirinya lakukan seolah-olah tidak ada yang benar. Dan kalaupun benar atau bagus, gak ada sama sekali pujian yang terlontar untuknya. Padahal, ia juga liat sendiri kalau perlakuan Narendra pada karyawan lain itu baik. Berkali-kali ia membatin, emang gue salah apa sih?

“Dia rese banget Ga, aku sebel banget!” curhat Owen sambil menyesap rokok di balkonnya, “Maaf ya udah pernah bandingin kamu sama dia.”

Malam itu Owen terlelap dengan perasaan kesalnya. Masih dengan nama Laksamana Nuraga di dalam hatinya, namun sosok itu kini berbabi posisi dengan orang lain untuk bagian isi kepalanya.


Sang anak bungsu keluarga Brawijaya itu kerap melirik kearah ponselnya penuh keraguan. Minta maaf apa engga ya?

Dirinya semakin merasa resah, namun juga sedikit kesal pada teman-temannya yang memberi tahu keadaan Narendra tadi. Tentu saja hal itu membuat Owen merasa semakin bersalah.

Akhirnya, setelah berkali-kali mengingatian diri dengan “Ayo Wen, lo diajarin untuk lebih baik dari ini. “

Akhirnya, Owen pun melancarkan aksi permintaan maafnya menggunakan sticker dari koleksi kebanggaannya.

Namun ternyata, permintaan maaf yang semula ia kira akan singkat pun menjadi obrolan yang lumayan panjang. Apalagi, ia dibuat terkejut dengan sosok Narendra yang bisa seru juga. Dan untuk pertama kalinya la merasa sangat terhibur oleh yang lebih tua.

“Anjir kocak banget sialan!” Ujarnya berkali-kali saat melihat balasan Narendra yang selalu membuatnya tertawa.

Malam itu, Owen terlelap tenang di kamarnya, dengan Narendra yang tanpa sengaja memenuhi isi kepalanya.


Jangan gitu lagi.

Owen memandang pesan yang dituliskan oleh Narendra yang membuatnya tersenyum. Aneh memang, padahal dia tau jelas atasannya itu sedang ngomel. Tapi membayangkan wajah cemberutnya saja sudah membuat Owen senang sendiri.

Mereka pun bertukar pesan beberapa saat, dan senyuman dari bibir sang anak bungsu pun tidak hilang-hilang.

Belakangan ini, Narendra dan Owen memang menjadi semakin akrab. Karena keduanya pun sadar kalau mereka itu sebenarnya sangat nyambung dalam banyak hal. Tidak hanya itu saja, mereka juga menemukan kenyamanan diantara satu sama lain.

Ternyata memang benar, Narendra itu pandai membuat orang-orang yang berada di sekitarnya merasa senang. Apalagi dengan sikapnya yang super peka dan perhatian. Sebagai anak bungsu yang memang dimanja sedari kecil, Owen tentu saja menyambut perlakuan itu dengan suka cita.

Malam itu, Owen terlelap dengan penuh ketenangan. Dengan pesan suara dari Narendra sebagai hal terakhir yang didengarnya.


Owen menatap sosok yang sedang tidur di sebrangnya dengan seksama. Dalam hati ia bernafas lega karena pria yang semalam suntuk ditemaninya itu akhirnya bisa memejamkan matanya. Narendra benar-benar terlihat sangat tenang sekarang. Sudah tidak ada lagi keresahan diwajahnya seperti tadi malam.

Pemandangan itu membuat Owen tersenyum. Kalau ditanya kenapa, ia pun tidak bisa menjawab. Yang jelas dirinya merasa lega, dan kalau boleh jujur, ini bisa menjadi salah satu sisi kesukaanya dari sang atasan.

“Udah bangun dari tadi Wen?” Tanya Ten sedikit mengejutkan dirinya, “Eh… iya bang…”

Sadar bahwa yang disampingnya terkejut karena sedang memperhatikan temannya, Ten pun tersenyum miring, “eh sorry ganggu, lagi asik merhatiin Naren ya?”

“Hah engga kok bang!” Sanggahnya cepat. Mungkin terlalu cepat sehingga kini senyum Ten semakin lebar.

“Kalo iya juga gapapa,” Ten pun kemudian berdiri, “Gue mau ngebangunin yang lain dulu. Itu nanti Taeyong sama Naren bangunin ya biar kita bisa pergi sarapan.”

“Eh bang, kalo Mas Naren gausah dibangunin gapapa ga?”

“Loh? Masa gak ikut sarapan?”

“Dia tidurnya pagi Bang, kasian kalo dibangunin. Belum cukup pasti tidurnya.”

Ten menatap Owen beberapa saat, ada keterkejutan yang jelas terpancar di wajahnya. Namun pria itu akhirnya mengangguk sambil kembali tersenyum. Bukan meledek seperti tadi, tapi benar-benar tersenyum tulus, “Oke. Makasih ya Wen.”

“Eh kok makasih Bang?”

“Gapapa, makasih aja udah jagain Naren.” Ujarnya lalu berjalan pergi sebelum Owen sempat untuk meminta kejelasan lebih.

***

Owen bersender di pintu apartemennya sambil tersenyum. Kejadian-kejadian selama road trip tadi berputar di kepalanya yang membuat senyumannya semakin lebar.

Narendra dengan keluh kesahnya, Narendra dengan wajah pulasnya, Narendra dengan perhatiannya, bahkan sampai kejadian sehabis mandi pun ikut muncul di kepalanya.

Narendra, Narendra dan Narendra.

Owen memang kadang-kadang bodoh, tapi soal ini, ia paham betul kemana pikiran dan hatinya mengarah. Dan entah kenapa ia dengan senang hati membiarkannya.

Namun saat sebelum matanya terpejam, ia baru teringat seseorang yang membuatnya berujar, “Ga, kira-kira boleh ga kalo aku coba?”

Malam itu, Owen tertidur dengan pikiran yang campur aduk, senang dan bersemangat tentang perasaan barunya, namun juga diselimuti perasaan tidak enak pada mantan kekasihnya.

Namun, seolah jawaban dari keresahannya, Nuraga benar-benar datang ke mimpinya dan tersenyum manis sambil berujar, “Gapapa Wen, emang udah waktunya. Aku bahagia kalau liat kamu bahagia.”


“Good night, Owen… semoga mimpi indah…”

“Good night, Mas Naren. Udah pasti mimpi indah walaupun gak seindah yang nemenin tidur.”

Narendra memukul tangan Owen yang sedang memeluknya pelan, “Berisik ah udah mau tidur masih sempet-sempetnya gombal!” Dan Owen hanya terkekeh sambil mengeratkan pelukannya.

Berbeda dengan Narendra, anak bungsu keluarga Brawijaya itu tidak langsung tidur. Ia menelaah isi kepala dan hatinya yang kini benar-benar dipenuhi oleh sosok yang berada dalam pelukannya.

Ini bukan kali pertama ia merasa seperti ini. Pun Narendra bukan orang pertama yang memenuhi hati dan pikirannya. Tapi kalau boleh jujur, semua terasa sangat tepat sekarang.

It feels like everything finally falls into place.

Narendra bukan yang pertama, itu fakta. Owen tidak akan pernah berharap hal tersebut berubah. Namun kini, sang Pusaka Brawijaya itu menyadari sesuatu…

Ia ingin Narendra jadi selamanya.

Iya. Owen sudah benar-benar jatuh cinta.

Owen mencintai Narendra dengan segala kelebihan dan kekurangan yang ia punya. Ia mencintai Narendra dan semua hal tentang pria yang sekarang sedang tertidur disampingnya.

Malam itu, Owen terlelap dengan hati bahagia dan perasaan lega. Bersama Narendra di pelukannya, orang yang dicintainya sekarang dan selamanya.