— PERTEMUAN PERTAMA

Seoul, 15.00—

“Navarro?”

“Iya, Otniel kan?”

“Betul, salam kenal.”

“Salam kenal juga.” Keduanya berjabat tangan dengan senyum tipis, “Ini kopernya. Maaf ya, kayaknya saya salah ngambil.”

“Gapapa, small mistake,” ujar Navarro lalu melanjutkan, “Mau sekalian ngopi gak? Disini view nya bagus, sayang kalo cuma selewat aja.”

“Boleh sih…”

“Eh tapi boleh gak drop formalities nya? Lebih santai aja gitu gue-lo. Kayaknya saya-kamu terlalu kaku.”

“Okay.”

Navarro ini mukanya gak asing, batin Otniel. Dia seperti pernah melihat sosok lelaki ini sebelumnya tapi entah dimana. Mungkin hanya mirip. Toh kalo memang mereka saling kenal pasti lelaki itu juga akan menyadarinya. Diamnya yang lebih pendek pun membuktikan bahwa tebakannya bisa saja meleset.

“Mau pesen apa Otniel?”

“Ice pumpkin latte nya aja satu, lo apa?”

“Ice Americano,” Navarro terkekeh, “Basic banget ya?”

“Iya sih,” Otniel juga ikut tertawa, “Disini semua orang kayaknya minum itu.”

“Berarti paling enak itu juga kan?”

“Engga juga.” Navarro mengangkat sebelah alisnya, “kok engga?”

“Enak itu relatif, kan? Dan menurut gue Ice Americano lebih ke aman dan efisien dibandingkan enak. Apalagi disini kan phase kehidupan mereka serba cepet, jadi wajar aja minuman yang sederhana gitu laku.”

Interesting. “Gue gak pernah mikir kesana sih sebelumnya, tapi iya lo bener juga.”

Koper mereka sudah diletakan di tempat aman yang gak jauh dari meja mereka. Jadi gak harus repot-repot menghalangi jalan. “Tau tempat ini dari mana?”

“Temen gue pernah kesini. Jadi sebelum pergi gue nanya dia. Bagus ga?”

“Bagus, eye pleasing dan gak rame juga.” Otniel menatap pemandangan didepannya yang menunjukan kota Seoul dan Namsan Tower, “Cocok buat kontemplasi.”

“Yeah? Lo sering?”

“Sering apa? Kontemplasi?” Navarro mengangguk sebagai respon pertanyaan Otniel, “Ya lumayan. Banyak yang harus dipikirin juga kan.”

“True, semakin bertambah umurnya semakin butuh tempat yang begini gak sih?”

“Bener.“ lalu obrolan mereka terhenti ketika ponsel Otniel berdering namun lelaki itu langsung menolak dan mematikan ponselnya.

“Kok gak diangkat?”

“Sengaja. Gue kesini emang niatnya mau sendirian dan gak mau diganggu.”

“Sama dong.” Sahut Navarro langsung, “Gue juga niatnya healing makanya sendirian aja pergi nya.”

Ironis bukan? Keduanya sama-sama mencari ketenangan namun malah berakhir bersama disini dan menghabiskan waktu dengan satu sama lain. “Maaf kalo lancang, tapi tadi gue liat lockscreen lo, suka Harry Potter juga?”

“Suka. Lo iya?” Dan ketika Navarro mengangguk kesenangan dia pun melanjutkan, “Asrama lo apa?”

“Tebak.” Dan Tanpa jeda Otniel langsung menjawab, “Slytherin.”

“Anjir kok bisa tau sih?”

“Keliatan. Gue ngerasa lo can pass as a Gryffindor though. But there’s something about you that just screams Slytherin.”

“Well I cannot argue with that.”

“Now guess mine.”

Hufflepuff. Not the typical bright and cheerful one, but Hufflepuff regardless.”

Otniel terkekeh sambil menganggukan kepalanya terkesan, “Iya bener gue Hufflepuff.”

“Baca novel nya?”

L“Baca dong. Malah dulu gue nulis fan-fiction nya.”

“Oh iya? Lo penulis?”

“Ya gitu deh, tapi amatiran.”

“Wow, that’s cool!”

“Thanks.”

Keduanya terdiam sebentar untuk meminum pesanan masing-masing. Tidak dapat dipungkiri bahwa kini mereka merasa nyaman. Sedari tadi alur pembicaraan mereka juga lancar-lancar aja.

Sebagai orang yang gak begitu bisa bawa pembicaraan, Otniel bersyukur bahwa dari tadi Navarro lah yang lebih banyak bicara. Namun laki-laki itu pun juga tidak menumbuhkan kesan bawel.

Yang jelas, baik Otniel maupun Navarro menanamkan kesan baik pada satu sama lain di pertemuan mereka kali ini.

“Lo udah ada rencana besok malem mau ngapain?”

“Belum sih. Kenapa emang?”

“Deket tempat gue tinggal sekarang ada pub sama restaurant tema Harry Potter gitu. Mau kesana?”

Dia ngajak ketemuan lagi? Otniel tau, seharusnya dia menolak. Karena tujuannya kali ini kan memang untuk menikmati kota sibuk di negeri ginseng itu sendirian. Tapi bukannya mengutarakan hal tersebut, Ia malah menjawab “Boleh.”