— TEMPUR

Jakarta, 19.00—

Nabastala tau dia dalam masalah besar sekarang. Dirinya bulak balik duduk, berdiri lalu berjalan mondar mandir ditempat yang keduanya janjikan.

Ketika batang hidung sahabatnya itu sudah terlihat, ia pun segera berjalan menghampiri sambil berujar, “Sar, gue minta maaf banget ya? Gue tau lo marah banget sama gue sekarang. Gue—”

“Tadi kemana?”

“Tadi gue lagi patroli, Sar. Emang pas banget waktu hp gue di charge terus—”

“Sama Dhifa?”

“Hah? Kok jadi—”

“Sama Dhifa gak?”

“Iya… tapi gue serius Sar tadi kelilingnya tuh sekalian patroli nengok yang lain.” Jawaban Nabastala itu harusnya gak bikin kaget. Tapi entah kenapa Kautsar gak nyangka kalau penyebab ketidakhadiran sahabatnya itu masih sama seperti yang lalu-lalu.

“Udah berapa kali deh Bas lo ngelakuin kesalahan, terus minta maaf lagi, terus ngelakuin lagi?”

“Iya Sar, gue paham banget lo pasti muak dengernya. Lo boleh hajar gue sekarang, mau lo tabok lah tonjok lah gue—”

“Lo pikir kekerasan bisa nyelesaiin masalah? Terus kalo lo gue udah tonjok apa? Lo expect semua selesai gitu kita damai terus balik haha hihi dan lo bisa ngegampangin gue dan Bumantara Cup lagi?”

“Sar, gue gak ngegampangin sumpah!”

“Omongan lo jauh beda Bas sama kenyataanya. Dengan lo cabut-cabutan, ngedahuluin urusan pribadi dan kesenangan lo sampe lupa tugas, ngebiarin Decha selesaiin masalah sendiri yang harusnya bisa barengan, itu yang lo bilang gak ngegampangin? Dan lo ngelakuinnya lebih dari sekali!”

Nabastala bahkan tidak dapat memandang sahabatnya itu sekarang, ia sepenuhnya sadar kalau omongan Kautsar benar adanya, “Lo udah janji, Bas. Segampang itu lo ngingkarin janji sendiri?”

“Maaf Sar… Maafin gue banget.”

“Sekarang gue tanya sekali lagi,” Kautsar menatap Nabastala dalam tanda bahwa ia meminta sahabatnya itu untuk jujur, “Lo tadi beneran lagi patroli, apa ke distraksi sama Dhifa?”

Mendengar hal itu Nabastala pun mendongak,“Dhifa gak salah, Sar. Jangan bawa-bawa—”

“Gak ada yang bilang dia salah. Gue sadar kok kalo ini semua salah lo,” potong Kautsar sekali lagi, “Gue bawa dia ke dalam pembicaraan ini ya karena emang dia kan alesan lo? Gue sama anak-anak harus ngertiin karena lo nih lagi berjuang keras buat dapetin dia.”

“Lo tau Sar seberapa gue suka sama dia. Lo tau seberapa susah gue buat deketin dia, itu makanya gue gak pernah buang-buang kesempatan—”

“Gue gak masalah Bas, lo mau kejar dia sampe keujung dunia pun itu urusan lo. Gue udah berusaha sabar, diemin awal-awal karena gue harap lo bisa sadar ngerti sendiri. Tapi ternyata engga jadi akhirnya gue tegur, taunya lo cuma iya-iya aja. Gue udah coba ngertiin Bas, but please give me a fucking break. Stop being so fucking childish dan cuma pengen jadi yang dingertiin doang!”

Idealnya, mungkin seharusnya Nabastala diam aja sambil terus meminta maaf dan Kautsar pun harusnya berhenti di fakta bahwa sahabatnya itu lalai dalam bekerja. Setelah itu keduanya akan saling berdamai dan terus berteman, menjadikan masalah ini sebagai pelajaran agar tidak terulang lagi di kemudian hari. Itu idealnya.

Nyatanya, perlu kita ingat lagi bahwa mereka berdua tidak lebih dari remaja labil dengan emosi yang belum terkontrol serta ego yang masih amat tinggi. Jadi bukannya diam Nabastala malah menjawab, “Ini bukan cuma tentang cup kan?”

“Hah?”

“Masalah lo sama gue tuh bukan cuma tentang cup kan?”

“Gak usah kemana-mana mikirinya!”

“Ya kebukti sendiri kok dari omongan lo, dari kapan Sar lo mikir gini? Dari kapan lo capek temenan sama gue?”

Kautsar mengertutkan dahinya bingung, “lo ngomong apa sih?” Apa omongannya keterlaluan makanya Nabastala bisa berpikir seperti itu?

“Dari tadi itu udah termasuk unek-unek lo selama ini kan? Sorry deh ya Sar kalo misalkan gue egois atau kekanak-kanakan. Sorry kalo emang gue selalu mikirin diri sendiri, karena kebetulan gak kaya lo, gue gak pernah dapet perhatian dari siapa-siapa!”

“Bentar-bentar, kaya gue tuh maksudnya gimana ya?”

“Ya hidup tentram dengan keluarga harmonis penuh kasih sayang kaya lo. Disukain semua orang, pinter, dipuji kanan kiri. Pokoknya si paling sempurna dan kesayangan semua orang!” Jelas Nabastala, “Jadi maaf kalo emang gue bukan tipe teman ideal untuk Mr. Perfect kaya lo. Maaf kalo ternyata gue gak cukup baik untuk temenan sama the almighty Kautsar.”

Kautsar terdiam untuk beberapa saat, mencerna semua perkataan Nabastala dan perasaan sahabatnya itu terhadap dirinya. Amarah yang semula mendominasi kini perlahan sulut, digantikan dengan kesedihan serta kekecewaan yang mendalam.

“Awalnya, gue kesini cuma buat ngomongin cup. Buat numpahin rasa marah dan kesel gue sama lo,” ujar Kautsar pada akhirnya. Kini nadanya sudah tenang, namun tersimpan beribu kekecewaan didalamnya, “Tapi ternyata gue malah dibuat sadar, kita tuh segak saling mengenal itu ya?”

“Hah…”

“Gue baru sadar, ternyata lo gak sekenal itu sama gue. Lo gak tau apa yang gue rasain dan apa aja yang terjadi di hidup gue. Dan mungkin gue juga gitu ke lo.”

“I told you everything, Sar…”

“Well, I don’t. And that leads to a bigger problem, no? Dari apa yang lo bilang tentang gue barusan, gue sadar kalo you know nothing about me or my life.”

“Kautsar…”

“Dan kalo emang bener dari tadi kita ngungkapin apa yang kita rasain ke satu sama lain selama ini, I think it’s an enough reason for us to stop, no?”

“Maksud lo berhenti temenan?”

“Berhenti bikin satu sama lain gak nyaman.” Sela Kautsar, “dan kalo caranya dengan kita stop temenan, then so be it.”

“Lo gila ya, Sar?”

“Gak tau Bas, yang jelas we’re done for tonight. And maybe it’s best if we stay away from each other for a while.”