— THE TALK

Jakarta, 23.00—

Kaesar mendengar suara pintu balkon bergeser, membuat dirinya menoleh beberapa saat sebelum kembali melanjutkan kegiatan melamunnya ketika melihat Dhifa berjalan menghampirinya.

Sekarang mereka sama-sama ada di balkon. Agak ngejauh dari suasana heboh kumpulan orang extovert dibawah sana yang masih asik ngobrol.

Sebenernya Dhifa tuh emang dari tadi nyari-nyari momen buat ngomong sama Kaesar berdua. Dan sepertinya inilah saatnya.

“So, you and Abas?”

“What? No!”

“Really?” Dhifa menatap Kaesar dengan satu alis terangkat sebelum kembali menatap danau yang ada di depan mereka, “That’s weird. Padahal tadi kayaknya gue ngeliat kalian berdua—”

Kaesar mengumpat dalam hati. Tadi memang waktu mereka kira lagi pada sibuk, keduanya sempet curi-curi kesempatan buat melakukan kegiatan yang biasa mereka lakukan. Tapi pas baru keluar dari kamar, mereka berdua berhadapan sama Dhifa yang udah nungguin di depan buat manggil mereka. Dia yakin temannya itu bukan orang bodoh buat langsung nebak, “It’s nothing.”

“It’s not nothing, Sar. Orang yang ngelakuin itu kalo gak pasangan ya fwb. Dan gak mungkin kan lo berdua—” Dhifa kembali menatap Kaesar dengan mata membelalak, “No way…”

Kaesar hanya mendengus, tapi memilih untuk tidak merespond pernyataan temannya itu.

“Goblok…” ujar Dhifa masih tidak percaya, “Kok bisa sih?”

“Ya bisa aja, kenapa engga?”

“Bukannya lo naksir dia?”

Kini gantian Kaesar yang menatap Dhifa tak percaya, “Ide dari mana lo?”

“Engga ya?” Jawab Dhifa namun dengan senyuman miring, “Gue salah berarti.”

“Kenapa bisa mikir kesana?”

“Sebenernya gue mikir begini udah dari kita SMA sih, Sar. Bahkan part of why gue gak pernah ngelirik Nabastala sama sekali karena gatau kenapa gue ada feeling lo suka sama dia.”

“Itu cuma feeling.”

“Mungkin,” Dhifa menyesap kopi yang tadi ia buat sebelum melanjutkan, “Tapi gue juga gak mikir itu tanpa sebab. Tingkah lo waktu itu kaya nunjukin lo punya perasaan lebih ke Abas.”

“Gue memperlakukan semua temen gue sama.”

“Engga sama Abas, Sar. Gue yakin semua juga setuju kalo Abas lebih spesial dari pada kita semua.”

“Itu cuma karena gue kenal dia dari lama.”

“Bisa jadi,” Dhifa kini tersenyum miring. Sebagian dari dirinya sebenernya merasa heran kenapa Kaesar sedifensif ini, padahal menurutnya semuanya sudah jelas, “Atau it happened without you even realizing it.”

“Gimana bisa gue gak sadar sama perasaan gue sendiri?”

“Ya bisa aja. Lo terlalu clouded with the fact that he’s your friend. I’ve seen you with him today, Sar. You guys are different.”

“But he IS my friend.”

“Oke gini deh Sar,” Dhifa sekarang memutar duduknya agar mereka saling berhadapan, “Kalo yang ngajak lo fwban itu Juno gimana?”

“Ya gak mau lah anjir!”

“Arshaq?”

“Gila kali? Dia udah ada Jesse!”

“Ya tapi kalo gak ada?”

“Ya tetep aja engga anjir!”

“Erica?”

“Gak, apaansih kok jadi suruh bayangin gituan? Engga banget.”

“Terus yang bikin Abas beda apa? Yang bikin lo mau sama Abas apa?”

“Ya kalo dia—” Kaesar terdiam karena tidak ada penjelasan logis yang muncul di otaknya sekarang. Justru, ia malah bertanya, apa yang membuat Nabastala beda? Kenapa dia bisa secepat itu setuju untuk berada di situasi ini dengan sahabat kecilnya itu?

“Atau gini deh, katanya kan kalian fwb-an nih. Diluar yang tadi. Kapan terakhir kali lo ngelakuin hal begitu sama dia? Atau sesering apa kalian lakuinnya?”

Sial, bener juga. Pasalnya bahkan mereka emang gak sesering itu ngelakuinnya semenjak membuat kesepakatan. Sisanya? Ya mereka ngelakuin hal bareng-bareng yang lebih membuat mereka terlihat seperti—

“Oh dan satu lagi, lo tau gak kenapa gue mikir lo punya perasaan sama Abas?”

“Kenapa?”

“Soal yang SMA waktu itu. Gue tau Abas salah, tapi kita semua tau lah, bahkan dianya sendiri, kalo soal demen sama orang dia bodoh. Tapi lo sadar gak, walaupun bukan cuma lo doang yang dia rugiin, tapi lo yang paling marah soal itu.”

“Ya itu karena dia emang salah, Dhif. Dia lebih prioritasin lo daripada kerjaan dia.”

“Iya, tapi itu hal yang seharusnya bisa lo berdua omongin waktu udah sama-sama kepala dingin kan? Gak perlu musuhan selama itu.”

“Ini lo ngebahasnya kemana sih?”

“Lo pernah mikir gak sih Sar, marahnya lo waktu itu juga sebagian besar karena lo sebenernya cemburu. Lo sebenernya pengen juga diperlakuin kaya gitu sama Abas. Dan sekarang ini lo bukan memulai sesuatu yang baru, tapi ngelanjutin perasaan lo ke dia yang udah lama lo pendam dibawah marah lo itu.”

Keduanya terdiam beberapa saat. Kaesar yang sibuk bergelut dengan hati dan pikirannya, sedangkan Dhifa memang diam untuk memberikan temannya waktu untuk berpikir.

Sampai akhirnya setelah kurang lebih lima menit kemudian, Dhifa pun kembali berujar, “Salah gak Sar?”

“Anjing lo Dhif.”