petrichorgreeny

➖ Kenyataan

Waktu yang dijanjikan adalah pukul 7. Taehyung sangat tidak ingin pergi kesana. Namun, Bundanya bersikeras memintanya untuk menemui Ayahnya. Ayah, kata itu terlalu mahal untuk Taehyung ucapkan.

Laki-laki yang akan ditemui Taehyung sekarang adalah seseorang yang paling melukainya. Seseorang yang dilabeli nama Ayah namun tak pernah mencerminkan sikap layaknya seorang Ayah. Bagi Taehyung seperti itu.

Taehyung masih berusia 11 tahun saat itu. Masih terlalu muda untuk mengetahui arti perpisahan orang tuanya. Jungwon bahkan masih sangat kecil. Perpisahan itu berdampak hebat bagi Taehyung. Bundanya menjadi kepala keluarga, pergi bekerja, hanya meninggalkan Taehyung bersama adeknya.

Layaknya anak remaja, Taehyung ingin pula dapat bermain dan bersenang-senang dengan teman-temannya. Namun, waktunya terbatas. Dia harus segera pulang mengurus pekerjaan rumah tangga dan mengurus adiknya. Bundanya tak pernah memintanya melakukan hal itu. Bunda telah berinisiatif untuk menyewa pembantu dan suster untuk menjaga Jungwon namun Taehyung selalu menolaknya. Dia masih mampu mengurus rumah dan Jungwon. Sayang uangnya. Ucap Taehyung.

Namun, rasa sabar manusia sering dibatasi oleh manusia itu sendiri. Kadang Taehyung lelah dengan semua ini dan kerap rasa ingin menyalahkan timbul di kepala Taehyung. Menyalahkan mengapa orang tuanya harus berpisah. Menyalahkan mengapa semua seakan dibebani kepada dirinya sebagai anak sulung. Menyalahkan ayahnya yang pergi begitu saja setelah perpisahan tanpa pernah meninggalkan uang sepersenpun untuk kehidupan dia dan adiknya. Dia benci, sangat benci kepada ayahnya. Keinginan Taehyung untuk memiliki keluarga yang lengkap dan normal hanya angan saja bahkan Taehyung tak berani untuk memimpikannya lagi.

Taehyung telah sampai di restoran yang dijanjikan untuk bertemu ayahnya. Wajah Taehyung sudah menampilkan wajah yang tak bersahabat. Saat ayahnya menginap di rumah, Taehyung lebih banyak bersama Jimin. Bahkan Taehyung seperti tidak menganggap ayahnya berada disana saat itu.

“Hai, Taehyung.” Ucap Ayah dengan senyum manis saat Taehyung tiba. Tidak dijawab oleh Taehyung, dia langsung duduk begitu saja.

“Mau pesan apa, Taehyung?” Tanya Ayah.

“Langsung aja.” Jawab Taehyung datar.

“Apa tidak pesan dulu? Kamu pasti belum makan, kan?” Tanya Ayahnya kembali.

“Tahu ngga kalau aku alergi seafood?” Tanya Taehyung.

Ayahnya kaget. Terpatri rasa bersalah di wajahnya. “Ayah tidak tahu. Kita pindah restoran atau kamu bisa pesan makanan yang tidak ada seafood-nya?”

“Dan setelah tidak tahu hal ini pun masih berani menyebut diri sendiri sebagai ayah?” Ucap Taehyung sinis.

“Tae, maaf Ayah tidak tahu. Ayah sudah mengirim lokasi ini ke Bundamu tetapi dia tidak berkata apa-apa.” Bela Ayah.

“Oh jadi nyalahin Bubun?” Balas Taehyung. “Bubun terlalu sibuk bekerja hingga kadang dia sering lupa cek ini itu. Harusnya paham sendiri, tapi kan memang ngga pernah paham.” Ucap Taehyung dengan nada sinis.

“Bundamu masih bekerja?”

“Ya, masihlah. Kalau tidak bekerja mau dapat uang dari mana untuk hidup?! Sebentar lagi aku lulus, kuliah, dan kerja jadi Bubun ngga perlu lagi kerja keras pergi pagi pulang malam.”

“Tapi Ayah kini sudah memberikan uang bulanan untuk kalian, Tae? Apakah itu masih kurang?”

Ucapan Ayahnya itu seakan menghantam jantung Taehyung. Sakit sekali. Uang bulanan? Kurang? Dari mana? Omong kosong!

“Uang apa? Bahkan sejak kalian tidak bersama lagi memang kamu pernah kasih uang?”

“Tae, Ayah akui Ayah bersalah sekali. Bisnis Ayah gagal dan hubungan Ayah dengan Bundamu harus berakhir karena ketidakmampuan Ayah. Ayah merasa gagal maka dari itu Ayah lepaskan Bundamu. Bertahun-tahun Ayah mencoba bangkit dan sekarang bisnis Ayah sudah lumayan maju. Ayah ingin menebus itu semua, Ayah ingin memberikan apa yang seharusnya Ayah berikan kepada kamu, kepada Jungwon juga. Sekarang Ayah bisa memberikan uang bulanan untukmu dan Jungwon, sehingga Bundamu tidak harus bekerja keras. Dia kini sudah tidak lembur lagi kan? Dia bahkan akan berhenti kerja dan memulai bisnis di rumah agar bisa mengurus Jungwon dan kamu.” Jelas Ayah.

Deg!

Taehyung kaget dengan penjelasan panjang Ayahnya. Bundanya berhenti mengambil lembur. Sering pulang sore dan sudah mulai bisa mengurus rumah karena Bundanya kini mendapat uang dari Ayah, bukan karena tabungannya sudah cukup? Taehyung merasa dibodohi. Merasa dibohongi. Kini dia bisa bermain lepas pulang sekolah, didaftarkan tutor untuk semester depan persiapan kuliah, itu semua adalah hasil uang Ayahnya? Dan kini dia bahkan mendengar Bundanya akan berhenti bekerja? Hal itu bahkan tak pernah dia dengar sama sekali. Taehyung marah. Taehyung sedih. Taehyung sakit hati.

“Tae.”

Ayahnya mencoba menyadarkan ceracau yang dari tadi bergumul di pikiran Taehyung. Air matanya kini mulai menetes. Dia ingin pergi. Dia ingin lari. Menyalahkan dirinya yang tidak berdaya. Kalau saja dia sudah lebih dewasa, kalau saja dia sudah bekerja, maka Bundanya tak perlu menerima uang dari orang yang sudah menelantarkannya itu. Tidak hanya menelantarkan Bunda tetapi dirinya dan Jungwon juga.

Taehyung tidak tahan lagi dengan semua ini. Dia berdiri dan meninggalkan Ayahnya begitu saja. Tanpa sepatah kata pun. Dia berlari. Berlari dengan air matanya yang tak terbendung lagi.

***

➖ Kangen

Rasanya Jimin ingin mengutuk dirinya sendiri yang lupa membawa charger dan juga tidak mempunyai power bank. Lima hari dia mati-matian mencari sinyal dan changer yang sama dengan handphone-nya namun tak juga kunjung ditemukan. Membeli charger baru sama artinya dia harus pergi ke kota terdekat yang jaraknya sudah 4 jam dari tempat Jimin berada. Terlalu jauh dan terlalu lama. Acara keluarga besar Jimin ini pun sungguh padat bahkan meminta waktu 8 jam terhitung durasi pulang pergi hanya untuk membeli charger, tentu tak akan diizinkan oleh orang tuanya. Iya, Jimin ingin memarahi kebodohannya ini. Bisa-bisanya.

Dia belum menghubungi Taehyung selama kurun waktu 5 hari. Ini adalah waktu terlama bagi mereka tidak saling berkomunikasi. Bayangkan saja dari Senin-Jumat mereka bertemu dari pagi pukul 08.00 hingga 15.00. Lalu dilanjutkan dengan agenda pulang sekolah bersama. Hampir setiap hari pula Jimin bermain ke rumah Taehyung. Sabtu dan Minggu mereka gunakan untuk menonton series bersama atau sekedar keluar saling mengantar membeli kebutuhan rumah bagi Taehyung dan kebutuhan toko kuenya bagi Jimin.

24/7 hampir selalu bersama. Dan kini waktu seakan membunuh mereka berdua. Lima hari, 120 jam, tidak bertemu, tidak ada percakapan dalam telepon. Menyiksa. Sungguh.

Jimin kini sudah sampai dan sedang di mobil menuju kediamannya. Sebuah apartemen di kawasan kota yang berjarak 15 menit dari sekolahnya. Hujan deras serta suara petir menyertainya seakan pertanda ada hati yang sedih dan marah menunggu kabar. Jimin tahu itu. Hatinya sudah tidak karuan. Ingin segera sampai rumah dan memberikan daya pada handphone-nya.

Setelah sampai apartemen, hal pertama yang Jimin lakukan adalah berlari menuju kamarnya dan terlihat charger yang memuakkan itu berada di atas meja. Lekas dia isi handphone-nya. Tanpa menunggu lama, Jimin langsung menyalakannya. Notif masuk berbunyi saling sahut. Ada banyak chat yang masuk. Mata Jimin langsung terhenti di pesan yang dikirim berulang kali.

Jimin meninggalkan handphone-nya yang sedang diisi daya. Dia keluar kamar masih menggunakan pakaian yang dia gunakan saat pulang tadi.

“Jimin, mau kemana?” Ibunya bertanya melihat anak satu-satunya berlari seakan hendak mengejar sesuatu.

“Pergi dulu sebentar.” Ucap Jimin sambil memakai sepatu.

“Bawa payung, Nak. Di luar sedang hujan.” Ucap Ibunya. Namun kalimat itu tidak terdengar karena Jimin sudah pergi.

Unit tempat tinggal Jimin berada di lantai 13. Jimin berlari menuju lift. Memencet tombol turun. Lift mulai terbuka perlahan. Jimin semakin resah, perasaannya semakin tidak karuan.

Lift terbuka di lantai 5. Jimin mematung. Dihadapannya kini berdiri seseorang yang ingin cepat-cepat ia temui. Rambutnya sedikit basah. Masih memakai seragam meski sudah tampak tidak rapi. Yang dihadapan Jimin itu menatap nanar dengan mata yang berkaca-kaca. Lekas dia menubruk Jimin. Memeluknya dengan erat. Isak tangis mulai terdengar.

“Tae.” Ucap Jimin sambil mengusap-usap kepala Taehyung yang basah.

“Kamu itu bodoh apa gimana sih? Ngga ada sinyal disana? Ga bisa hubungi aku sama sekali, hah?!” Taehyung setengah berteriak meski suara mulai parah karena tangis yang ditahan. “Kamu itu nyebelin banget tahu! Aku benci banget! Kamu itu jahat! Nyebelin!” Taehyung memukul dada Jimin berulang kali. Jimin hanya bisa diam.

“Tae.” Ucap Jimin lirih.

“Diem kamu! Udah nyebelin banget, ga ada kabar! Aku benci sama kamu! Benci banget!” Taehyung terus memukul dada Jimin.

Lift sudah turun ke lantai dasar. Namun Jimin lekas memencet ke nomor 13. Lantai unitnya.

“Tae. Udah, Tae.”

Taehyung seakan tidak bisa dihentikan. Tangisnya. Isaknya. Dan beberapa kali pukulan dada yang Jimin terima. Jimin akhirnya memegang tangan Taehyung. Menariknya dan memeluknya dengan erat.

“Aku kangen kamu, Love.” Ucap Jimin berbisik lembut di telinga Taehyung. Dia seketika menghentikan gerakan tangannya yang tadi terus-terusan memukul Jimin.

“Aku kangen kamu. Kangen sekali. Maaf, ya. Aku udah disini sekarang.” Ucap Jimin sambil mengelus kepala Taehyung. Dibubuhkan kecupan di kepala Taehyung dan mengusapnya kembali untuk menenangkannya.

***

➖ Nonton

Sudah jadi agenda rutinan Jimin ke rumah Taehyung untuk nonton film atau series bersama. Namun pilihan selalu berada di tangan Taehyung. Jimin sebenarnya tidak masalah asalkan jangan film horor dan berdarah-darah tetapi lagi-lagi dia mengalah. Sebab, kekuatan cinta lebih bisa mengalahkan rasa takut apapun. Terkadang.

“Hari ini kita nonton The Notebook aja, ya?” Tanya Taehyung sambil memindah-mindahkan saluran di TV Smart-nya.

“Hah?” Jimin kaget. The Notebook? Sebentar-sebentar, Jimin kira dia mungkin bermimpi.

“Iya nonton The Notebook aja.”

Jimin merasa tidak enak. Seperti Taehyung tampak setengah hati ketika mengetik judul film itu di search bar.

“Nonton The Curse of La Llorona aja ya, kemarin kan itu kelewat pas kita binge-watching Conjuring Universe.” Tawar Jimin. Dia tahu ini blunder dan menyiksa dirinya namun tak sampai hati dia harus membiarkan Taehyung menonton yang tidak dia sukai.

“Boleh?” Mata Taehyung mulai berbinar. Mana sanggup Jimin menolaknya.

“Iya.”

Taehyung lalu mulai memutar film tersebut. Jimin sudah siap untuk senam jantung.

“Apa aku ikut kaget aja, ya? Jadi pas nonton, Jimin merasa ditemani rasa takutnya.” Batin Taehyung.

Film sudah berjalan. Jimin terlihat begitu tegang sambil memegang mangkuk berisi popcorn caramel yang sudah Taehyung buatkan sebelumnya. Sementara Taehyung santai seperti biasa sambil sesekali melihat kearah Jimin.

Bagian yang menegangkan mulai terasa. Jimin sudah semakin kuat memegang mangkuk popcorn-nya.

“AAAAAAAAAAAA!!” Taehyung berteriak dan membuat Jimin kaget setengah mati hingga popcorn dan mangkuknya terlempar.

Taehyung melihatnya entah ingin tertawa atau merasa bersalah. Semuanya bercampur.

“Tae .. Kenapa teriak?” Ucap Jimin dengan nada yang masih gemetar.

“Karena aku takut.”

“Hah?” Jimin terkejut sekaligus kebingungan.

Lalu, Jimin mulai mengambil popcorn yang berhamburan di lantai. Taehyung menghentikan filmnya.

“Kita ganti film-nya aja.” Ucap Taehyung.

“Ngga apa-apa dilanjut aja, Tae, biar aku beresin ini. Sorry ya, popcorn-nya jadi jatuh begini.”

“Kamu kalau ngga suka atau keberatan itu ya bilang sama aku.” Taehyung meletakkan remote TV dan mulai membantu Jimin membereskan popcorn yang berserakan. “Ngga semua hal yang aku mau harus dituruti. Aku juga mau kok ikut yang kamu mau.”

“Tae.”

“Bilang. Harus bilang. Bucin boleh tapi jangan korbanin diri sendiri.” Taehyung berhadapan dengan Jimin, memegang mangkuk popcorn yang tengah Jimin pegang.

“Tae.”

“Udah beres nih, kita nonton The Notebook aja.” Ucap Taehyung. Dia menyimpan mangkuk popcorn di atas meja.

Jimin menatap Taehyung yang tengah mencari film The Notebook di search bar.

“Kita saling, ya.”

Film pun mulai berputar. Jimin tersenyum merona. Kini di bahunya bersandar kepala Taehyung yang tengah asyik sambil memakan popcorn. Ya, popcorn yang berserakan tadi. Ngga apa-apa belum 5 menit ini, batinnya.

***

➖ Cermin

“Prang!!”

Suara kaca pecah terdengar jelas dari luar kamar mandi. Jungkook yang saat itu hendak ke kamar mandi segera berlari ke sumber suara. Disana terlihat seseorang sedang menunduk dengan tangan yang mulai berceceran darah. Kaca depan wastafel telah pecah sebagian masih terpatri di dinding, sebagian jatuh pecah tersebar di lantai. Dia memukul kaca itu.

Jungkook lalu mencuci tangannya dengan sabun di pinggir wastafel sebelahnya hingga bersih. Orang tersebut masih menunduk dan belum bergeming. Nafasnya tidak teratur. Jungkook lalu melihat orang itu. Yoongi. Ya, Min Yoongi, 12 IPS 1.

Setelah selesai mencuci tangannya, Jungkook mengambil tangan Yoongi yang masih berlumuran darah. Yoongi masih diam tidak bergeming. Jungkook mengeluarkan sapu tangan dari celana seragamnya.

“Taehyung suka ngeledekin kenapa aku kemana-mana bawa sapu tangan kayak orang tua, ternyata sekarang ada gunanya.” Ucap Jungkook. Dia tahu dia hanya akan berbicara sendiri.

Jungkook dengan telaten membalut luka Yoongi dengan sapu tangan untuk menahan agar darahnya lekas berhenti. Dia lalu mengangkat tangan Yoongi dan menariknya untuk ikut dengannya.

Yoongi bagaikan orang yang tak ada energi bahkan untuk berjalan dia terseok mengikuti arah kemana Jungkook akan membawanya. Sepanjang jalan tak ada yang berbicara. Yoongi hanya memandang lengannya yang kini dipegang oleh Jungkook.

Jungkook membawa Yoongi ke ruang kesehatan. Disana tidak ada siapa-siapa. Seakan tahu segala isi di ruang itu, Jungkook mengeluarkan isi kotak P3K satu persatu.

Yoongi duduk di atas ranjang ruang kesehatan. Sementara Jungkook mulai melepaskan sapu tangan yang membelit luka Yoongi, dia kemudian membersihkan luka Yoongi, mengoleskan salep antibiotik, dan mulai membalut lukanya dengan kasa.

“Eh, kamu ga ada alergi kan? Kalau nanti salepnya bikin tangan kamu merah-merah dan ada reaksi, bilang ya, kita ke klinik.” Ucap Jungkook sambil masih membalut luka.

“Aku pikir kamu dingin karena auranya aja, ternyata lagi luka begini mukanya masih datar. Ngga sakit dan pedih sama sekali?” Tanya Jungkook yang kini mulai memandang Yoongi.

“Sedikit.” Jawab Yoongi.

“Nah, gitu jawab. Dari tadi aku pikir apa aku lagi balut luka hantu apa gimana, haha.” Jungkook mencoba tertawa untuk mencairkan suasana.

“Selesai, deh!” Luka Yoongi kini sudah terbalut sempurna. “Kamu jangan skeptis dulu, aku ini anak PMR lho. Jadi aku tahu cara merawat luka.” Ucap Jungkook dengan bangga.

“Aku tahu.” Ucap Yoongi pelan.

“Oh iya?”

“Ya, waktu kelas 10, kamu pernah gotong aku karena pingsan saat upacara. Kelas 11, kamu pernah gendong aku karena aku jatuh saat olahraga gabungan. Kamu balut lutut aku yang berdarah.” Ucap Yoongi.

“Aku baru tahu lho kamu bisa ngomong sepanjang ini.” Jungkook terkesima dengan mata berbinar-binar. Yoongi menatapnya dengan ketus.

“Haha, becanda. Oh iya? Aku bahkan ngga inget lho. Berarti kita kenal udah lama, ya?”

“Yang ditolong biasanya akan lebih ingat daripada yang nolong.”

“Jadi sekarang kamu bakal ingat aku?” Tanya Jungkook.

“Aku ngga pernah lupa.”

Suasana kembali hening. Jungkook tidak tahu harus merespon apa. Bel masuk sudah berbunyi. Namun tidak ada pergerakan dari Yoongi.

“Kamu ngga akan kelas?” Tanya Jungkook.

“Ngga. Kamu kalau mau ke kelas duluan aja, aku mau disini.” Ucap Yoongi. “Dan, hm .. Makasih ya.”

“Santai, hehe.” Jawab Jungkook. “Disini suntuk, makan ice cream kayaknya enak.”

Yoongi tidak menduga dengan jawaban Jungkook. Dia lalu beranjak dan menarik tangan Yoongi.

“Kita bolos aja.”

*

Jungkook dan Yoongi sekarang sedang menatap sungai dengan memegang ice cream dan beberapa minuman serta cemilan dalam kresek.

“Aku baru sekarang lho bolos, haha.” Ucap Jungkook.

“Kenapa?”

“Ngga tahu, kayaknya pas aja gitu sekarang momennya buat bolos hehe.”

“Hm, kamu ngga akan tanya apa-apa?” Tanya Yoongi.

“Oh, jadi kamu ingin ditanya?” Jungkook balik bertanya sambil memakan ice cream cup-nya.

“Ngga.” Jawab Yoongi pendek.

“Yeee ... Aneh!” Cibir Jungkook. “Biasanya orang yang kenal aku tuh pasti bilangnya, 'Oh ... Jungkook temannya Taehyung itu' atau 'Jungkook yang selalu bareng Taehyung itu lho', tapi aku seneng kamu tahu aku ini Jungkook, si anak PMR, hihi.”

Deg!

Rasanya dada Yoongi terasa dihantam hebat. Ucapan Jungkook barusan sangat familiar baginya. Sangat erat dengan dirinya. Ternyata dia berada di posisi yang sama.

“Bukan berarti aku ngga suka temenan sama Taehyung, ngga sama sekali. Aku seneng temenan sama dia. Dia baik, pinter, ganteng, god's favorite deh, aku beruntung bisa jadi temen dia. Tetapi, aku juga kadang ingin dilihat seperti Jungkook yang ya udah Jungkook, ngga perlu pakai embel-embel orang lain.”

Jungkook mulai membuka cemilannya yang lain. Ice cream-nya kini telah habis.

“Eh, aku kebanyakan ngomong ya, hehe. Sorry. Biasanya aku suka susah buat bilang apa yang ada dipikiran aku, eh tapi kali ini kok tumben lancar banget, hehe.”

Deg!

Sial!

Kenapa sih dengan orang ini? Seakan kini Yoongi sedang bercermin namun sosok dihadapannya lebih berwarna, lebih santai, terbuka, dan ceria.

“Mungkin kita sama.” Jawab Yoongi.

“Hah?” Jungkook tidak mengerti.

“Kamu suka dengan Hobi?” Pertanyaan Yoongi yang tetiba itu membuat Jungkook tersedak.

“Buset, pakai aba-aba dulu kek nanyanya.” Kilah Jungkook.

“Berarti iya.”

“Jangan main langsung ambil kesimpulan gitu dong?”

“Oh, jadi enggak?”

“Ih... kamu nyebelin. Beneran mentang-mentang anak debat jago banget deh kasih counter attack huhu.”

“Kamu tahu aku anak debat?”

“Ya tahulah, kamu itu juga part of god's favorite. Nih, kamu sama Taehyung itu satu koloni.”

“Kenapa ngga sama Seokjin?”

“Apanya?”

“Taehyung dan Seokjin.”

“Seokjin itu hm ... dia apa sih? eh, dia ikutan apa? Setahu aku dia cuma bendahara umum, pacarnya ketos, udah deh. Ganteng sih, kaya juga, tapi ya dia cuma segitu aja.” Jungkook merasa ucapannya barusan itu blunder. “Astaga!! Aku lupa kamu temennya Seokjin, duh ... Sorry ngga maksud ya ini cuma based on my humble opinion, huhu.”

“It's okay.”

“Aku ngga akan banyak ngomong lagi ah, takut blunder, huhu.”

“Ngga apa-apa, aku seneng kok dengernya.” Ucap Yoongi.

“Bagian mana yang kamu seneng dengernya?” Tanya Jungkook.

“Jadi kamu suka ngga sama Hobi?” Tanya Yoongi mengalihkan topik.

“Kalau suka gimana, kalau ngga suka gimana?”

“Kalau kamu suka, aku ngga peduli. Kalau kamu ngga suka juga, aku tetap ngga peduli.”

“Ngga jelas, ya ngapain juga nanya.”

“Kamu mau dengar cerita aku ngga?” Tanya Yoongi.

***