petrichorgreeny

➖ Pamit

Riuh para siswa di upacara kelulusan begitu semarak. Ada yang saling berfoto mengabadikan momen 'terakhir' masa SMA, ada yang saling bersenda gurau berbincang setelah ini mau melanjutkan kemana, ada yang saling bertukar kado sebagai hadiah kelulusan, dan masih banyak lagi.

Jimin kini melakukan itu semua. Dia tidak lagi hanya menonton keceriaan orang lain di hari kelulusan. Dia bagian dari keceriaan itu sekarang.

Hari itu Jimin merasa overwhelming. Dia lalu pergi ke rooftop tempat kesukaannya dulu. Sejenak dia menghindari keramaian. Ingin berpamitan.

Jimin telah sampai di rooftop. Angin semilir menghembus rambutnya. Dia berbalik melihat sudut rooftop terdapat seseorang dengan bermata sendu menatapnya dengan tatapan penuh kesedihan.

Kini kamu sudah bahagia ya?” Ucapnya.

“Iya.” Jawab Jimin.

Kamu sudah tidak memerlukan aku lagi?”

“Sepertinya begitu. Aku sekarang memiliki teman dan pacar.”

Senang sekali.” Ucapnya dengan kepala menunduk.

“Selamat tinggal ya, kamu yang selalu pemurung dan berwajah sendu. Kini aku sudah bahagia, mungkin kedepannya pasti ada saat dimana aku sendu kembali namun ku berharap ku tidak terjebak terlalu lama. Semoga kita tidak pernah bertemu lagi.” Ucap Jimin sambil tersenyum.

Si wajah sendu itu menatap nanar kepada Jimin. Lambat laun dia menepi dalam bayangan gudang rooftop.

“Jimin, bener kan kamu disini!” Suara yang tak asing bagi Jimin itu pun terdengar membuyarkan lamunan Jimin.

“Kamu lagi apa disini? Ayo kebawah, kita foto-foto dengan yang lain!” Ajak Taehyung. Ya, suara itu adalah suara Taehyung. Suara kesukaan Jimin. Suara yang telah membuat mata sendunya itu kini bercahaya.

“Iya.” Jimin menghampiri Taehyung, lalu menggenggam tangannya. Dia perlahan meninggalkan rooftop. Si wajah sendu itu sudah tidak ada lagi di sana.

“Kamu ngapain kesini?”

Berpamitan dengan masa lalu

Jimin menjawabnya dengan senyuman.

***

Unexpected counter attack

Motor Jungkook sudah sampai di depan rumah Yoongi, dia sudah menelpon Yoongi untuk langsung keluar ketika dia sudah di depan. Katanya biar ga terlalu malam pulangnya.

Yoongi sudah kedepan menemui Jungkook. Dia mengenakan kaos berwarna hitam dengan luaran kemeja kotak-kotak warna abu.

“Pakai baju kayak gini nanti kamu masuk angin.” Ucap Jungkook. “Nih!” Jungkook mengeluarkan jaket dari tas ranselnya. “Untung aku inisiatif bawa jaket tambahan.”

Yoongi membalas dengan senyuman tipis lalu menggunakan jaket itu. Jaketnya wangi vanilla. Khas wangi Jungkook.

Setelah Yoongi naik, Jungkook lalu menyalakan motornya dan melaju. Sepanjang perjalanan, tetap tidak ada obrolan. Sangat hening.

Perjalanan lumayan lama menempuh waktu 1 jam dari rumah Yoongi dan masih belum sampai. Tempatnya makin lama semakin menanjak dan dingin. Yoongi mulai bergidik dan tanpa sadar memegang pinggang Jungkook. Meski lebih tepatnya memegang dengan jari telunjuk dan jempolnya saja.

“Kalau mau pegangan boleh kok.” Ucap Jungkook. Sontak itu membuat Yoongi kaget dan langsung memukul helm Jungkook. “Ih, kenapa sih?” Dumel Jungkook.

Ragu-ragu Yoongi melakukannya. Dia akhirnya hanya menggenggam jaket Jungkook di bagian pinggang. Jungkook tersenyum tanpa diketahui Yoongi.

“Ini mau kemana? Jangan-jangan kamu mau nyulik aku ya?” Ucap Yoongi.

“Ngga kok, ini bentar lagi sampai.”

Setelah 15 menit dari Jungkook mengatakan hal itu, mereka akhirnya sampai. Tempatnya berupa bukit dengan hamparan yang luas. Dari atas bisa melihat indahnya lampu-lampu kota yang berbentuk seperti lautan berkerlap kerlip. Mereka pun seperti dekat dengan langit. Bintang-bintang yang selama ini tertutupi oleh cahaya gedung-gedung kini terlihat dengan jelas.

Setelah memparkirkan motornya, Jungkook membawa Yoongi ke sebuah cafe kecil sederhana. Cafe itu ada bagian dalam dan ada bagian luar dimana di bagian luar beratapkan langit dan bisa langsung memadang hamparan kerlap-kerlip lautan lampu kota.

Jungkook langsung mendekat ke kasir. Menunya terlihat di tulisan papan belakang kasir.

“Pesan dulu.”

Yoongi membaca satu persatu tulisan di papan itu.

Espresso panas.”

“Ada lagi?” Tanya Jungkook.

“Itu aja.”

“Okay. Espresso panas 1, hot chocolate 1, roti bakar coklat 1 ya.” Ucap Jungkook ke kasir. “Duduknya disana.” Jungkook langsung menunjuk tempat duduk pilihannya yang berada di luar.

Setelah selesai memesan dan membayar, Jungkook dan Yoongi duduk di tempat yang barusan di tunjuk oleh Jungkook.

“Maaf ya cuma bisa ajak kesini, belum bisa ajak makan di Skyline. Nanti kalau udah kerja mungkin bisa, hehe.” Ucap Jungkook sambil senyum melihatkan gigi kelincinya.

“Jungkook.” Panggil Yoongi. Jungkook memandang wajah Yoongi lekat dan memperhatikan dengan seksama. Menunggu apa yang akan Yoongi katakan.

“Aku ga masalah dengan naik motor dan ga masalah dengan diajak makan dimanapun. Asal bersih aja tempatnya.” Ucap Yoongi.

“Hah?”

“Dan sama kamu.” Tambah Yoongi.

“Hah? Gimana?”

Ditengah kebingungan Jungkook dengan perkataan Yoongi, minuman dan makanan mereka telah tiba.

Yoongi mengusap-usap tangannya ke cangkir espresso panasnya.

“Dingin ya?” Tanya Jungkook.

“Iya, tapi it's okay.”

“Kamu suka ga tempatnya?”

“Suka. Bisa lihat bintang dan seluruh kota dari sini. Kamu sering kesini?”

“Kadang, kalau butuh buat ngelamun, hehe.”

“Kamu suka ngelamun?”

“Ngga gitu juga sih, kayak favorite place aja.”

“Kesini sendiri?”

“Iya, aku ga pernah ngajak yang lain. Baru sekarang aja.”

So, I'm the first one?”

You are always the first one, Gi. First one who I bring to here, first one who makes me boiling, first one who makes me hard to sleep, and the first one who kissed me.” Ucap Jungkook sambil meminum hot chocolate-nya.

“Hm, sorry.” Yoongi menundukkan kepalanya. Rasa bersalah atas segala kejadian yang lalu menghinggapinya kembali teringat.

“Gi...” Panggil Jungkook. Yoongi lalu menengadahkan kepalanya.

“Didepan kamu ini siapa?” Tanya Jungkook.

Yoongi tidak mengerti pertanyaan Jungkook. Mengapa harus bertanya seperti itu padahal dengan jelas dihadapan dia adalah Jungkook.

“Aku masih sadar, Kook.”

“Jawab dulu. Didepan kamu ini siapa?”

“Jungkook.”

“Siapa didepan kamu?”

“Jungkook.”

“Siapa, Gi?”

“Jeon Jungkook. Kamu kenapa sih? Ya, Jungkook siapa lagi.”

Yoongi melontarkan kekesalan karena Jungkook terus mengulang pertanyaan yang sama. Namun, Yoongi tidak sadar bahwa kini tangan Jungkook telah memegang tangannya. Ada rasa hangat yang menjalar dari tangannya yang mulai merambat ke dadanya. Yoongi bergetar, dia mulai merasakan jantungnya berdebar cepat, namun bukan karena takut. Entah, berdebar ini sungguh aneh.

“Iya, aku Jungkook, Gi. Jeon Jungkook.” Dia mengucapkan dengan tersenyum. Manis sekali. Jungkook mengusap tangan Yoongi perlahan. “Kalau kamu takut dan ga nyaman, aku bisa lepaskan.”

Rasa takut itu seakan hilang. Yoongi merasa dirinya mematung dan membeku tapi bukan karena takut dan rasa 'itu' datang lagi. Ini rasa yang lain. Apakah kini dia benar bisa disentuh oleh selain Seokjin tanpa ada lagi bayangan masa lalu mengerikan itu? Keputusannya untuk kembali terapi rutin for dealing with this trauma kini menunjukkan hasil dan apakah karena ditambah Jungkook yang dari tadi meyakinkan Yoongi bahwa dia adalah Jungkook, bukan orang itu? Ya, bukan orang yang mengerikan itu tetapi Jungkook.

“A ... Aku ngga ... apa-apa.” Yoongi bersuara pelan. Dia berusaha merasakan secara mindfulness apa yang terjadi didirinya sekarang.

Good, then. Pelan-pelan aja, Yoongi.” Lagi-lagi Jungkook memberikan senyuman manis itu. Yoongi senang melihatnya namun ini begitu berbahaya. Cepat-cepat Yoongi mengalihkan pandangannya ke espresso-nya.

“Gi, aku udah ngobrol ke Hobi. We already defined feeling each other.” Ucap Jungkook. “As friend.”

Ucapan terakhir Jungkook itu menyita perhatian Yoongi.

“Ternyata benar, aku cuma takut kehilangan teman. Ternyata suka aku bukan suka yang lebih dari sekedar teman. Dan aku juga baru tahu kalau kalian juga sudah defined feeling each other.” Jungkook berdelik ke Yoongi.

Then?

“Kamu itu benar-benar to the point banget ya?”

“Ya, buat apa banyak basa-basi.”

I think I'm fallin' in love with you.” Ucapan Jungkook yang tiba-tiba itu menimbulkan reaksi kaget dari Yoongi. Dia langsung menarik tangannya dari Jungkook.

“Eh, kenapa? Takut itu datang lagi ya? Sorry bikin kamu ngga nyaman.”

Yoongi meraih cangkir espresso-nya, dia meneguknya sampai habis. Iya ini pahit, tetapi ada rasa manis. Aneh. Jantungnya pun berdebar hebat. Yoongi merasa espresso-nya mungkin bereaksi sangat cepat.

“Aku cuma kaget.” Ucap Yoongi singkat. Dia harus mengatur ekspresinya dengan benar. Dia tidak ingin terlihat salah tingkah. Meskipun benar begitu.

So?”

“Apa?”

“Aku mau to the point juga biar sama kayak kamu.”

“Kamu mau aku jadi pacar kamu?” Tanya Yoongi berusaha dengan nada tegas meski sedikit bergetar.

“Iya, kalau kamu mau.”

“Kok kesannya jadi kalau aku yang mau, kan yang bilang itu kamu?”

“Bilang apa?”

I'm fallin' in love with you?”

Me too, Yoongi.” Ucap Jungkook dengan senyum kemenangan. Ya, dia merasa menang membuat Yoongi tak berkutik seperti ini. Pengalaman mengajarkan Jungkook bagaimana cara menghadapi dan 'membalas' Yoongi.

Sial! I'm on trap!

“Haha, lucu banget kagetnya kayak anak kucing.” Jungkook tetiba mengacak-acak rambut Yoongi perlahan.

“Jungkook!” Yoongi melotot. Bibirnya pout menunjukkan kekesalan.

“Jangan kayak gitu bibirnya, nanti bisa aku cium lho.” Goda Jungkook.

Gila! Dia sudah gila!

“Tenang, aku kalau mau cium kamu pasti bilang dulu kok, ngga akan langsung cium terus lari, hehe.” Ledek Jungkook.

Rasanya Yoongi mau pingsan saja.

Okay, let me talk properly.” Ekspresi Jungkook tampak serius. “Min Yoongi, I'm fallin' in love with you and you are also fallin' in love with me. So, do you wanna be my boyfriend? I can't promise you're always happy but let's walk together, each other, me and you.” Ucap Jungkook lekat-lekat.

This is the first ever for me jadi maaf kalau ga romantis atau gimana ya, duh tapi kamu paham kan?”

“Iya.”

“Hah?”

“Iya, Jungkook, iya. I wanna be your boyfriend.”

Fallin' in love with me ngga?”

“Aku yang duluan kali sebelum kamu.”

“Ciaaa... Mengakui suka aku duluan nih, ciaaaa!” Goda Jungkook.

Yoongi yang kesal terus digoda oleh Jungkook kini tertawa bersamanya. Gummy smile-nya terlihat. Sangat manis. Yoongi manis jika sudah tersenyum begitu.

Dengan disaksikan bintang-bintang yang berada di atas mereka dan dibawahnya hamparan lautan lampu kota, kini mereka sudah menentukan perasaan mereka masing-masing. Biarkan malam itu menjadi malam indah bagi mereka berdua.

***

Love you

Sudah tiga hari sejak kejadian itu dan Jimin belum juga siuman. Hasil rontgen menunjukkan tidak ada luka didalam. Taehyung resah dan bahkan meminta untuk melakukan pemeriksaan menyeluruh. Namun dokter berkata Jimin akan segera sadar. Mungkin faktor shock dan tubuh yang didera lelah akibat terlalu banyak luka yang menyebabkan Jimin belum sadarkan diri. Semuanya akan baik-baik saja.

Pulang sekolah, Taehyung pasti menjenguk Jimin. Dia bahkan membawa semua PR-nya ke rumah sakit dan menyalin catatan dua kali. Untuk Jimin satunya lagi.

“Taehyung, ini cupcake strawberry-nya.” Ucap Ibunda Jimin sambil menyimpannya diatas nakas sebelah ranjang Jimin.

“Ah ga perlu repot-repot, Tante.”

“Ngga repot kok, tadi dari toko terus lihat cupcake strawberry jadi ingat Taehyung. Jimin senang sekali membawa kue ini soalnya.”

“Duh, maaf ya, Tante, kalau Taehyung jadi ngabisin kuenya.”

“Ngga apa-apa, Taehyung, malah senang kalau Taehyung suka.” Ucap Ibunda Jimin. “Sejak dengan Taehyung, Jimin itu lebih ceria. Dia dulu anak yang pemurung dan pendiam sekali. Sekarang dia jadi bawel. Setiap pulang sekolah, dia cerita tentang Taehyung dan yang lainnya. Bahkan dia senang sekali katanya ikut kepanitiaan di sekolah.” Mata Ibunda Jimin mulai berkaca-kaca.

“Tante.” Taehyung menghampiri Ibunda Jimin dan mengusap pundaknya perlahan.

“Tante senang Jimin kenal dengan Taehyung.” Ibunda Jimin memegang tangan Taehyung dan mengusapnya. “Terimakasih ya, Taehyung.”

“Sama-sama, Tante. Jimin anak yang baik. Dia pantas disayangi.”

Ibunda Jimin membalas dengan senyuman. “Tante, ke depan dulu ya sebentar. Mau urus berkas-berkas rumah sakit.”

“Iya ga apa-apa, Tante, Jimin disini sama Taehyung.”

Ibunda Jimin lalu pergi. Taehyung kembali duduk disamping Jimin. Dia lalu memegang tangan kanan Jimin.

“Kamu suka ngomongin aku ke ibu kamu ya?” Tanya Taehyung. “Ngomongin apa? Pasti bilang aku galak dan bawel ya?”

“Hm.”

Suara kecil itu mengejutkan Taehyung. “Jimin? Itu suara kamu? Iya kan? Min? Aku hubungi dokter dulu.” Ketika Taehyung mulai beranjak tangannya dipegang oleh Jimin.

“Tae.” Suaranya parau dan kecil.

“Jimin!” Taehyung menggenggam tangan Jimin. Mengusap-usap ke pipinya. “Iya, ini aku Taehyung, Min.”

“Tae, nan..ti aku .. cerita ya ... soal .. semuanya, kamu ... jangan pergi!” Ucap Jimin. Suaranya masih terbata-bata. Dia mulai membuka matanya perlahan. “Tae, love, ke .. napa nangis? Ma..af aku belum.. sempat ce..rita semua..nya.” Jimin mencoba menyeka air mata Taehyung.

“Ngga kok, aku ngga akan pergi. Aku bakal disini sama kamu terus.” Taehyung mengusap pipinya. “Makasih, Min, makasih udah bangun. Aku minta maaf karena ga dengerin kamu, aku minta maaf karena selalu emosian, aku...”

“Love.” Jimin memotong ucapan Taehyung. “Peluk.” Taeyung lalu memeluk Jimin.

“Su ... sah, ya?” Ucap Jimin.

“Iya kamu masih berbaring.”

“Love,”

“Iya?”

“Love you.”

Taehyung lalu berdelik. “Kamu baru bangun ya udah gombal!”

Jimin membalasnya dengan senyuman. Taehyung pun akhirnya lega dan dapat tersenyum kembali. Kebahagiaan yang tidak ternilai bagi Taehyung hari ini.

***

➖ Pantas

Tw// bullying Tw// violence Tw// hit and run accident

Jimin tidak tahu salah dia dimana ketika seseorang bertubuh tinggi dan atletis yang merupakan atlet basket di sekolahnya selalu mengganggunya. Jimin pernah disiram oleh air bekas pel, katanya bilang tidak sengaja. Menyenggol mangkuk mie ayam sampai tumpah ke seragamnya. Dan menyembunyikan seragam olahraganya yang akhirnya dia temukan basah di wastafel. Ini sudah keterlaluan. Sungwoon bahkan berniat ingin melaporkan kejadian itu ke pihak sekolah tetapi selalu Jimin cegah. Alasannya adalah mereka tidak mempunyai bukti yang kuat dan orang tersebut adalah orang yang berprestasi di sekolahnya. Kim Jongin.

Puncaknya saat jam terakhir olahraga telah selesai. Jongin dengan sengaja melemparkan bola basketnya dan mengenai kepala Jimin. Tidak ada yang melihatnya. Di ruang olahraga itu cuma ada mereka berdua yang tengah piket membereskan ruangan.

Sorry ngga sengaja!” Ucapan itu tidak seperti ucapan minta maaf karena bernada ledekan.

“Kamu kenapa benci sama aku?” Jimin memberanikan diri bertanya meski nada bicaranya bergetar.

“Aku benci sama kamu? Kenal juga ngga, nama kamu siapa sih?” Ledek Jongin.

Jimin menghela nafasnya. Dia kembali membereskan bola-bola voli kedalam troli besar. “Kamu itu atlet kebanggaan sekolah harusnya bersikap membanggakan juga.” Ucap Jimin masih sibuk dengan bola-bolanya.

Jongin tampak marah mendengarnya dan lekas mendorong Jimin. “Ngomong apa kamu?!”

Jimin tersungkur, dia mulai berdiri kembali. “Aku tahu kamu yang selama ini gangguin aku.”

“Kamu punya bukti?” Tantang Jongin.

“Ngga.”

“Yaudah diem makanya!”

“Salah aku dimana?”

“Kamu itu sadar ga sih kenapa satu sekolah jauhin kamu? Itu bukan karena kita yang mau, tapi kamu yang merasa 'berbeda' dan menarik diri. Kamu selalu berlagak seperti korban dengan muka sendu kamu itu dan buat kami harus selalu 'yuk, gabung sini', 'ayolah main bareng', ribet banget ya tinggal ikut aja berbaur.”

“Kalau aku ikut gabung, kalian selalu membubarkan diri.”

“Kita udah kadung muak dengan sifat kamu itu! Sok ingin diperhatikan, sok sedih, kamu ngerasa paling sulit hidupnya?!”

“Aku ga ngerasa begitu.”

Jongin kesal dan mulai menarik seragam olahraga Jimin. “Bisa-bisanya jawab ya?! Dan sekarang kamu mulai berlagak karena ada Sungwoon yang mau temenan sama kamu!” Jongin melepaskan dengan kasar cengkraman tangannya dari seragam Jimin.

“Karena selalu berlagak jadi korban ya kenapa ngga sekalian dibuat beneran.” Cibir Jongin. “Di sekolah ini ga cuma aku aja yang ga suka sama kamu.”

“Tapi kenapa? Kalau kalian ngga suka ajak-ajak aku, ngga apa-apa kok, aku ga pernah minta. Kalian ga perlu merasa terbebani. Aku biasa sendiri. Dan maaf juga aku ga maksud ngerebut Sungwoon. Dia masih tetap teman kamu kok.”

“Diam!” Jongin memukul Jimin hingga ia tersungkul ke lantai. Sudut bibirnya berdarah. “Semakin kamu bicara, kamu itu semakin memuakkan! Sekarang ikut aku ke belakang sekolah, kalau kamu sampai kabur, kamu bisa terima hal yang lebih dari ini!” Ancam Jongin.

Jimin tahu mengikuti omongan Jongin sama halnya membunuh dirinya sendiri. Tetapi Jimin tidak mempunyai pilihan lain. Jongin terlalu dominan. Dia kalah tinggi, kalah atletis, kalah kuat. Sudah pasti Jimin hanya akan menjadi bulan-bulanan. Tahan, Jimin, tahan, hanya tinggal 6 bulan lagi. Setelah lulus, kamu ngga perlu bertemu dia lagi. Batin Jimin.

Tempat belakang sekolah ini biasa digunakan anak-anak untuk merokok atau bolos dari kelas. Singkatnya tempat ini dilabeli 'tempat anak nakal'. Meski dekat dengan sekolah namun mempunyai akses ke jalan raya, sehingga memudahkan untuk kabur. Makanya tempat ini disebut tempat 'strategis' bagi mereka.

Jimin kini sudah terpojok ke dinding tembok pagar. Disudutkan oleh Jongin. Benar, Jimin kalah tenaga. Dia hanya mengantarkan dirinya untuk dihabisi oleh Jongin saja. Lagi-lagi Jimin hanya bisa pasrah.

“Ayo sini lawan!” Tantang Jongin. “Aku dengar dari Sungwoon, kamu udah ikut kelas beladiri. Sini dong gunain, apa mau tetap pura-pura lemah kayak gini biar dikasihani?!” Ledekan Jongin itu membuat Jimin kesal. Dia lalu mendorong tubuh Jongin hingga tersungkur ke tanah.

Jongin menjadi beringas dan memukul pipi Jimin. Kini Jimin tidak tinggal diam, dia mulai membalas pukulan Jongin. Adegan saling pukul terjadi tetapi akhirnya tetap Jongin yang memegang kuasa. Dia sekarang berada di atas tubuh Jimin. Tubuh Jimin bahkan sudah tidak bergerak lagi. Wajahnya sama babak belur seperti Jongin namun Jimin lebih parah.

“Mau kayak gimana pun kamu akan kalah!” Ucap Jongin. Iya, benar. Jimin harus bertindak. Jika tidak dia akan semakin menjadi santapan Jongin. Jimin tak punya pilihan lain, seluruh tubuhnya dikungkung oleh Jongin kecuali satu, kepalanya.

Bug!

Jimin membenturkan kepalanya kepada kepala Jongin. Keras dan sakit sekali. Keduanya meringis namun setidaknya itu berhasil membuat Jimin lepas dari kungkungan Jongin.

“Sialan!” Jongin meraba keningnya yang membiru.

Jimin tak menunggu lama, dia langsung berlari. Lari adalah jalan terakhir yang bisa dia lakukan. Teriak minta tolong pun tidak akan ada yang mau menolongnya. Dia harus menyelamatkan dirinya sendiri.

Jimin berlari dengan cepat. Dia tahu Jongin mengejarnya juga. Hatinya semakin takut, dia harus kemana. Jimin hanya ingin segera kabur. Jimin tak melihat kiri kanan saat menyebrang jalan raya. Kepanikannya mengalahkan nalar bahwa dia tetap harus berhati-hati di jalan raya.

BRAKKKK!! BRUUUKK!!!

Suara itu keras sekali. Seperti suara terhantam sesuatu. Keras sekali. Jimin menghentikan langkahnya dan berbalik. Dia terkejut melihat Jongin telah terkapar di jalan raya. Kaki, tangan, dan kepalanya berdarah. Dia baru saja ditabrak lari. Jalanan raya itu memang sepi, hanya satu dua mobil yang berlalu-lalang maka tak jarang kendaraan melaju dengan cepat dan tidak waspada.

Jongin yang penuh luka dan darah melihat Jimin dari kejauhan. Dia melihat tangan Jongin ingin menggapai sesuatu.

Lari, Jimin, lari saja. Dia jahat sama kamu. Tidak perlu susah-susah kamu menolongnya. Dia telah mendapat balasannya.

Jimin menggelengkan kepalanya. Kakinya mulai melangkah mendekati Jongin.

Bodoh! Kamu ngapain? Lihat diri kamu sekarang! Lihat apa yang sudah dia lakukan! Lari, Bodoh! Kalau kamu yang terkapar begitu, apa dia mau menolong kamu?!

Langkah kaki Jimin terhenti. Jongin sudah hampir kehilangan kesadarannya. Darah yang keluar sudah begitu banyak. Nafasnya mulai tersengal-sengal.

Dan kali ini Jimin mendengarkan ceracau di pikirannya. Dia berbalik dan berlari meninggalkan Jongin.

Dia pantas mendapatkannya!

***

➖ Pantas

Tw// bullying Tw// violence Tw// hit and run accident

Jimin tidak tahu salah dia dimana ketika seseorang bertubuh tinggi dan atletis yang merupakan atlet basket di sekolahnya selalu mengganggunya. Jimin pernah disiram oleh air bekas pel, katanya bilang tidak sengaja. Menyenggol mangkuk mie ayam sampai tumpah ke seragamnya. Dan menyembunyikan seragam olahraganya yang akhirnya dia temukan basah di wastafel. Ini sudah keterlaluan. Sungwoon bahkan berniat ingin melaporkan kejadian itu ke pihak sekolah tetapi selalu Jimin cegah. Alasannya adalah mereka tidak mempunyai bukti yang kuat dan orang tersebut adalah orang yang berprestasi di sekolahnya. Kim Jongin.

Puncaknya saat jam terakhir olahraga telah selesai. Jongin dengan sengaja melemparkan bola basketnya dan mengenai kepala Jimin. Tidak ada yang melihatnya. Di ruang olahraga itu cuma ada mereka berdua yang tengah piket membereskan ruangan.

Sorry ngga sengaja!” Ucapan itu tidak seperti ucapan minta maaf karena bernada ledekan.

“Kamu kenapa benci sama aku?” Jimin memberanikan diri bertanya meski nada bicaranya bergetar.

“Aku benci sama kamu? Kenal juga ngga, nama kamu siapa sih?” Ledek Jongin.

Jimin menghela nafasnya. Dia kembali membereskan bola-bola voli kedalam troli besar. “Kamu itu atlet kebanggaan sekolah harusnya bersikap membanggakan juga.” Ucap Jimin masih sibuk dengan bola-bolanya.

Jongin tampak marah mendengarnya dan lekas mendorong Jimin. “Ngomong apa kamu?!”

Jimin tersungkur, dia mulai berdiri kembali. “Aku tahu kamu yang selama ini gangguin aku.”

“Kamu punya bukti?” Tantang Jongin.

“Ngga.”

“Yaudah diem makanya!”

“Salah aku dimana?”

“Kamu itu sadar ga sih kenapa satu sekolah jauhin kamu? Itu bukan karena kita yang mau, tapi kamu yang merasa 'berbeda' dan menarik diri. Kamu selalu berlagak seperti korban dengan muka sendu kamu itu dan buat kami harus selalu 'yuk, gabung sini', 'ayolah main bareng', ribet banget ya tinggal ikut aja berbaur.”

“Kalau aku ikut gabung, kalian selalu membubarkan diri.”

“Kita udah kadung muak dengan sifat kamu itu! Sok ingin diperhatikan, sok sedih, kamu ngerasa paling sulit hidupnya?!”

“Aku ga ngerasa begitu.”

Jongin kesal dan mulai menarik seragam olahraga Jimin. “Bisa-bisanya jawab ya?! Dan sekarang kamu mulai berlagak karena ada Sungwoon yang mau temenan sama kamu!” Jongin melepaskan dengan kasar cengkraman tangannya dari seragam Jimin.

“Karena selalu berlagak jadi korban ya kenapa ngga sekalian dibuat beneran.” Cibir Jongin. “Di sekolah ini ga cuma aku aja yang ga suka sama kamu.”

“Tapi kenapa? Kalau kalian ngga suka ajak-ajak aku, ngga apa-apa kok, aku ga pernah minta. Kalian ga perlu merasa terbebani. Aku biasa sendiri. Dan maaf juga aku ga maksud ngerebut Sungwoon. Dia masih tetap teman kamu kok.”

“Diam!” Jongin memukul Jimin hingga ia tersungkul ke lantai. Sudut bibirnya berdarah. “Semakin kamu bicara, kamu itu semakin memuakkan! Sekarang ikut aku ke belakang sekolah, kalau kamu sampai kabur, kamu bisa terima hal yang lebih dari ini!” Ancam Jongin.

Jimin tahu mengikuti omongan Jongin sama halnya membunuh dirinya sendiri. Tetapi Jimin tidak mempunyai pilihan lain. Jongin terlalu dominan. Dia kalah tinggi, kalah atletis, kalah kuat. Sudah pasti Jimin hanya akan menjadi bulan-bulanan. Tahan, Jimin, tahan, hanya tinggal 6 bulan lagi. Setelah lulus, kamu ngga perlu bertemu dia lagi. Batin Jimin.

Tempat belakang sekolah ini biasa digunakan anak-anak untuk merokok atau bolos dari kelas. Singkatnya tempat ini dilabeli 'tempat anak nakal'. Meski dekat dengan sekolah namun mempunyai akses ke jalan raya, sehingga memudahkan untuk kabur. Makanya tempat ini disebut tempat 'strategis' bagi mereka.

Jimin kini sudah terpojok ke dinding tembok pagar. Disudutkan oleh Jongin. Benar, Jimin kalah tenaga. Dia hanya mengantarkan dirinya untuk dihabisi oleh Jongin saja. Lagi-lagi Jimin hanya bisa pasrah.

“Ayo sini lawan!” Tantang Jongin. “Aku dengar dari Sungwoon, kamu udah ikut kelas beladiri. Sini dong gunain, apa mau tetap pura-pura lemah kayak gini biar dikasihani?!” Ledekan Jongin itu membuat Jimin kesal. Dia lalu mendorong tubuh Jongin hingga tersungkur ke tanah.

Jongin menjadi beringas dan memukul pipi Jimin. Kini Jimin tidak tinggal diam, dia mulai membalas pukulan Jongin. Adegan saling pukul terjadi tetapi akhirnya tetap Jongin yang memegang kuasa. Dia sekarang berada di atas tubuh Jimin. Tubuh Jimin bahkan sudah tidak bergerak lagi. Wajahnya sama babak belur seperti Jongin namun Jimin lebih parah.

“Mau kayak gimana pun kamu akan kalah!” Ucap Jongin. Iya, benar. Jimin harus bertindak. Jika tidak dia akan semakin menjadi santapan Jongin. Jimin tak punya pilihan lain, seluruh tubuhnya dikungkung oleh Jongin kecuali satu, kepalanya.

Bug!

Jimin membenturkan kepalanya kepada kepala Jongin. Keras dan sakit sekali. Keduanya meringis namun setidaknya itu berhasil membuat Jimin lepas dari kungkungan Jongin.

“Sialan!” Jongin meraba keningnya yang membiru.

Jimin tak menunggu lama, dia langsung berlari. Lari adalah jalan terakhir yang bisa dia lakukan. Teriak minta tolong pun tidak akan ada yang mau menolongnya. Dia harus menyelamatkan dirinya sendiri.

Jimin berlari dengan cepat. Dia tahu Jongin mengejarnya juga. Hatinya semakin takut, dia harus kemana. Jimin hanya ingin segera kabur. Jimin tak melihat kiri kanan saat menyebrang jalan raya. Kepanikannya mengalahkan nalar bahwa dia tetap harus berhati-hati di jalan raya.

BRAKKKK!! BRUUUKK!!!

Suara itu keras sekali. Seperti suara terhantam sesuatu. Keras sekali. Jimin menghentikan langkahnya dan berbalik. Dia terkejut melihat Jongin telah terkapar di jalan raya. Kaki, tangan, dan kepalanya berdarah. Dia baru saja ditabrak lari. Jalanan raya itu memang sepi, hanya satu dua mobil yang berlalu-lalang maka tak jarang kendaraan melaju dengan cepat dan tidak waspada.

Jongin yang penuh luka dan darah melihat Jimin dari kejauhan. Dia melihat tangan Jongin ingin menggapai sesuatu.

Lari, Jimin, lari saja. Dia jahat sama kamu. Tidak perlu susah-susah kamu menolongnya. Dia telah mendapat balasannya.

Jimin menggelengkan kepalanya. Kakinya mulai melangkah mendekati Jongin.

Bodoh! Kamu ngapain? Lihat diri kamu sekarang! Lihat apa yang sudah dia lakukan! Lari, Bodoh! Kalau kamu yang terkapar begitu, apa dia mau menolong kamu?!

Langkah kaki Jimin terhenti. Jongin sudah hampir kehilangan kesadarannya. Darah yang keluar sudah begitu banyak. Nafasnya mulai tersengal-sengal.

Dan kali ini Jimin mendengarkan ceracau di pikirannya. Dia berbalik dan berlari meninggalkan Jongin.

Dia pantas mendapatkannya!

***

➖Terbiasa

Jika ditanya sejak kapan Jungkook memiliki perasaan 'lain' terhadap Hobi, Jungkook sendiri tidak tahu jawabannya. Semua ini terasa terlalu familiar hingga mengalir begitu saja. Yang Jungkook tahu adalah dia mulai tidak menyukai ketika Hobi 'terlalu' ke Taehyung padahal kondisinya mereka berteman bertiga.

Teman. Kata klise yang selalu menjadi tameng bagi Jungkook untuk menutupi perasaannya yang lain itu. Dia ingin juga diperhatikan lebih oleh Hobi seperti dia memperhatikan Taehyung namun akhirnya Jungkook selalu menjadi kelas dua.

Lalu semua yang Jungkook yakini tentang perasaan 'lain' itu terpatahkan ketika sosok menyebalkan menurut Jungkook, hadir di kehidupannya, yaitu Min Yoongi. Ya, laki-laki yang memiliki gummy smile namun jarang tersenyum itu telah sukses memporak-porandakan pondasi yang Jungkook bangun selama ini.

Sial!

Apa memang perasaan lain itu hadir karena Jungkook sebenarnya tidak suka merasa left out pada pertemanan ini? Jungkook hanya ingin Hobi selalu mengiyakan ketika dia mengajaknya bermain PES, mengiyakan untuk menginap sambil nonton film-film di Marvel Universe atau apapun itu asal bersama Hobi. Tetapi jika ditanya apakah ini perasaan cinta namanya, Jungkook tidak bisa menjawab.

Berulang kali Jungkook selalu memperhatikan Taehyung dan Jimin. Ya, love birds di kelas mereka. Melihat apakah rasa ini sama seperti Taehyung ke Jimin, rasa ingin memiliki, menjaga, melindungi, bahkan yang Jungkook baca di mesin pencari bahwa perasaan romantic itu ada sexual tension didalamnya. Rumit. Cinta-cintaan ini rumit bagi Jungkook.

Semua ini menjadi gamang karena ini baru pertama kalinya Jungkook merasakan ini. Dia tidak punya pengalaman sebelumnya. Pengalaman yang dia dapat adalah bersitegang dengan Yoongi tentang romantic dan platonic yang beberapa kali dia debatkan bersama Jungkook. Min Yoongi, laki-laki teraneh yang Jungkook pernah temui.

Sore ini rencana Jungkook untuk menghabiskan waktu bersama Hobi. Berdua saja. Dia butuh untuk 'menyelesaikan' perasaannya kepada Hobi. Awalnya dia sama sekali tak ingin membahas ini namun semua tak akan pernah selesai jika tidak pernah mencoba untuk menyelesaikannya.

Tak ada yang spesial sebenarnya dengan agenda jajan bareng ini. Karena ya, terbiasa. Mereka terbiasa melakukan ini berdua. Jajan dan jalan bersama, membicarakan ini dan itu, menertawakan hal-hal receh, dan lainnya. Namun, ini menjadi berbeda karena Jungkook memiliki agenda lain.

“Hobi, ini ngga jadi dimakan?” Tanya Jungkook saat melihat porsi mie ramen Hobi masih banyak.

“Ngga, udah kenyang banget. Aku kan udah makan donburi juga.” Ucap Hobi sambil mengusap-usap perutnya. “Kamu habisin gih.”

Tak perlu berapa lama, Jungkook langsung memulai menghabiskan mie ramen milik Hobi. Ya, porsi makan Jungkook memang lebih besar dari yang lainnya.

“Bi, gimana sama Yoongi?” Tanya Jungkook di sela memakan mie-nya.

“Ngga gimana-gimana.”

“Semua juga tahu, Bi, kalau Yoongi punya something sama kamu.”

“Lha bukannya sama kamu ya?” Tanya Hobi, sontak hal itu membuat Jungkook tersedak. Dia buru-buru meminum es teh manis yang sudah dipesan. “Sabar kali, Kook, ngga akan diminta lagi mie-nya kok.” Ucap Hobi sambil tertawa melihat Jungkook yang tersedak.

“Kok bisa sama aku?” Tanya Jungkook balik.

“Ya, ga tahu. Kalian kan deket.”

“Emang kamu ga ada perasaan apa-apa sama Yoongi?”

“Perasaan kayak gimana?”

“Ya, pe-ra-sa-an.” Ucap Jungkook menekan setiap penggalan suku katanya.

“Yoongi baik, dia itu meskipun kelihatan dingin dari luar, tapi dia orang yang hangat.”

“Terus?”

“Ngga ada terusnya, sudah sekian. We are just friend.”

Wow!

“Yoongi tahu kamu cuma anggap dia teman?” Tanya Jungkook.

“Tahu kok.” Mendengar itu Jungkook kembali tersedak. “Duh, kamu itu mau punya adek ya, udah dua kali tersedak gini?” Ledek Hobi sambil mengusap leher Jungkook. Wajahnya memerah karena tersedak ramen pedas memang luar biasa pedih ke hidung dan tenggorokannya.

“Yoongi beneran tahu?” Jungkook bertanya lagi untuk meminta jawaban yang pasti.

“Tahu kok, waktu kapan aku sama dia ke tempat calon sponsor itu kita ngobrol-ngobrol dan yaudah gitu.”

“Kamu masih punya rasa ke Taehyung, ya, Bi?”

Pertanyaan itu menimbulkan raut wajah yang berbeda dari wajah Hobi yang sebelumnya. “Hm,” Ada jeda dalam dalam ucapannya. “Iya, Kook.”

Wow!

“Kayak ngga semudah itu aja gitu buat hilangnya. Jadi ya jalani aja seperti sekarang.” Ucap Hobi sambil mengaduk-aduk minumannya dengan sedotan.

“Sesuka itu ya, Bi, kamu sama Tae?”

Hobi tertawa kecil saat mendengarnya. “Pernah kepikiran sama Yoongi ngga?” Tanya Jungkook lagi.

“Pernah, tapi kayaknya itu bakal nyakitin hati Yoongi kalau aku ternyata masih punya perasaan ke orang lain. Makanya lebih baik kalau kami ya temenan aja.” Hobi menyeruput minumannya sampai habis. “Kamu nanya gini buat secure posisi kamu kan ke Yoongi? Haha, tenang, Kook, Yoongi itu kayaknya punya perasaan sama kok ke kamu, cuma emang kayaknya dia itu rada hati-hati aja. Tapi wajar sih yang namanya perasaan kan ga bisa langsung sat set sat set, emangnya lagi dribble bola, haha.”

Jungkook semakin tidak habis pikir dengan apa yang sedang dia dengar sekarang. Terlintas ingatan percakapan dia dengan Jimin. Jungkook kesal mengapa semua orang malah menganggap dia memiliki rasa terhadap Yoongi padahal rasa 'lain' itu dia tujukan kepada Hobi. Dan Jimin berkata bahwa mungkin karena sebenarnya perasaan 'lain' itu ditunjukannya kepada Yoongi. Ditunjukkan bukan ditujukan. Jungkook tahu bahwa dia sama sekali tidak melakukan usaha apapun jika memang berkeinginan mengubah perasaan 'lain' itu menjadi status yang 'lain', yang dia lakukan adalah hal-hal yang terbiasa dari dulu selalu dia lakukan dengan Hobi.

“Nah sekarang giliran kamu nih yang cerita gimana sama Yoongi?” Tanya Hobi.

Mie ramen telah habis. Jungkook mulai menegakkan badannya dan mulai mengaduk-aduk es teh manis dengan sedotannya.

We already kissed, Hobi”

“OH MY GOD!!” Hobi hampir berteriak lalu segera menutup mulutnya. “Jeon Jungkook, are you serious? Wow, merinding ga sih aku, haha. Gilak.. pantesan mau jadi abang, ya, emang luar biasa sekali pergerakannya.” Hobi menepuk-nepuk bahu Jungkook.

“Bi, kamu ngerasa ngga kalau aku itu suka sama kamu?” Pertanyaan Jungkook barusan membuat ekspresi Hobi yang asalnya sumringah mendadak terdiam.

“Kook.”

“Ya, aku juga bingung ini suka kayak gimana, apa kayak Taehyung ke Jimin atau apa? Sampai akhirnya Yoongi sukses buat aku yang otaknya yang ga sepintar Taehyung jadi berpikir keras.”

Jungkook berusaha menenangkan kembali nafasnya yang mulai naik turun tak beraturan. “Kita bertiga sama Taehyung pernah ngobrol bareng kan soal perasaan left out yang aku rasain? Mungkin aja perasaan ini karena aku ga suka kalau jadi kelas dua, aku mau diperhatikan, makanya aku kayak cemburu ke Tae. Padahal harusnya ngga begitu apalagi kita berteman. Lalu setelah kalian berdua define feeling masing-masing, aku pikir mungkin setidaknya kamu bakal fokus ke aku karena Taehyung kan ada Jimin, tapi malah ada Yoongi.”

“Kook, sekarang perasaan kamu yang sebenarnya seperti apa?”

“Aku ga tahu, Bi, aku sama kamu tuh dengan kita main PES dan makan berdua begini sudah seneng. Makanya aku ngga pernah bergerak untuk melakukan apapun.”

“Bisa aja mungkin suka kamu itu karena ga suka merasa tertinggal?”

Kenapa kan sama banget sama si Min Yoongi nyebelin itu ngomongnya?!

“Ga tahu, Bi.”

“Adanya Yoongi mungkin sebenarnya buat menyadarkan kita berdua ngga sih?”

“Hah, gimana?”

“Menyadarkan bahwa kamu ngga sesuka itu sama aku dan menyadarkan aku bahwa aku ngga seharusnya memulai yang baru jika masih ada rasa yang tertinggal untuk orang lain.”

Damn!

Jungkook dan Hobi mulai melepaskan pundaknya yang menegang. Sahutan helaan nafas yang berat seakan menurunkan semua yang selama ini bergumul di pikiran masing-masing.

“Aku juga suka sama kamu, Kook, but in friend's way.” Hal ini terasa familiar bagi Hobi ketika Taehyung menolaknya dengan ungkapan, 'I love you too but not in that way'.

“Dan mungkin kamu juga begitu.” Tambah Hobi. “Maaf ya aku selalu buat kamu merasa left out, aku pun sedang berusaha untuk meringankan sedikit perasaan ini ke Tae tapi semua butuh waktu.”

“Iya, Bi, semua memang perlu waktu.”

“Demikian juga dengan kamu, Kook, kalau iya kamu memiliki rasa ke Yoongi, go get him! Make a move, make a step! tapi pastiin dulu rasa seperti apa. If you wanna protect him, wanna makes him smile, wanna makes him happy, he always runs in your head, if you don't see him, you feel missing him so much, then maybe you love him, i guess. So, find your happiness, Kook.

“Kamu juga, Bi, cepet move on!

“Haha, sial!”

“Bi, thank ya, terima kasih banyak udah mau jadi teman aku.”

“Haha, jadi ga akan abang-adek mode on lagi, nih? Mau sama Yoongi abang-adeknya?” Goda Hobi. Jungkook memerah wajahnya digoda Hobi habis-habisan. “Aku ngga janjiin apa-apa sih, cuma jika emang ngerasa left out bilang, Kook. Kamu harus bisa ngungkapin apa yang ada di pikiran kamu. Ngga apa-apa belibet sedikit, aku kadang udah paham kok bahasa kamu yang begitu.”

Jungkook meninju pelan perut Hobi. “Rese banget ih!”

Segala hal yang mungkin ingin Jungkook dengar dan dia bisa setidaknya katakan sudah semua dia lakukan. Kini, ada satu hal lagi yang menunggu dia selesaikan. Perasaannya sendiri kepada yang dia janjikan untuk membicarakannya ketika seluruh rangkaian acara Sport and Art Week usai nanti.

***

➖ Pengakuan

Setelah perdebatan yang cukup panjang dengan dirinya sendiri, Jungkook akhirnya tiba di rumah Yoongi. Satpam langsung mengarahkan Jungkook ke garasi rumah Yoongi, mungkin sebelumnya sudah diberi arahan oleh tuan mudanya.

Disana sudah ada Yoongi. Dia terlihat fluffy dengan sweater warna hijau dan celana jeans warna coklat. Sedang Jungkook seperti emo boy dengan atasan hingga bawahan berwarna hitam. Sangat kontras.

Yoongi memberikan kunci mobilnya tanpa ada sapaan kepada Jungkook. Sungguh to the point. Ciri khas Min Yoongi. Lalu, Jungkook masuk ke mobil disusul oleh Yoongi.

Seokjin bilang mobilnya jarang dipakai namun ini sungguh bersih dan wangi seperti baru selesai dari tempat pencucian mobil. Tak ada kata lagi, Jungkook lalu melajukan mobil. Suasana ini terlalu hening. Terlalu dingin. Dan Jungkook lupa memakai jaket.

“Aku boleh menyalakan radio?” Tanya Jungkook memecahkan suasana.

“Boleh.”

Suara musik tidak membuat suasana mencair. Yoongi fokus menatap jalanan dari sudut sampingnya. Sementara Jungkook fokus menyetir.

Jungkook sudah mempunyai daftar apa saja yang harus dibeli dan tahu di mana tempat untuk membelinya. Langganan selalu menjadi tim kesehatan di setiap kegiatan sekolah, membuat dia familiar dengan tugas ini.

Selama agenda yang katanya “menemani” Jungkook, hanya ada tiga kata yang Jungkook hari ini dengar dari Yoongi: ya, okay, dan boleh. Tiga kata itu saja. Ini lebih tepatnya kalau Jungkook pinjam mobil Yoongi dan sudah saja Yoongi tidak perlu ikut. Kata menemani hanya kiasan saja.

“Mau makan dulu?” Tanya Jungkook. Hari sudah menjadi malam dan Jungkook tahu bahwa ini saatnya mereka untuk makan malam.

Drive thru aja.”

Akhirnya tidak hanya tiga kata itu lagi yang keluar dari mulut Yoongi.

Mereka lalu memesan McD dan Jungkook langsung menyimpannya di tengah jok duduk keduanya.

“Makan dulu.” Ucap Jungkook. Tidak ada jawaban dari Yoongi, dia langsung membuka burgernya. Mulai memakannya meski hanya dengan gigitan kecil.

“Kamu ga makan?” Tanya Yoongi. Baik, ini adalah kalimat terpanjang yang Yoongi katakan sekarang.

“Tanggung lagi nyetir.”

“Jangan langsung pulang ke rumah.”

Ucapan Yoongi itu menarik perhatian Jungkook yang sedari tadi fokus menghadap ke depan. Kini dia menatap Yoongi yang masih dengan burger di tangannya.

“Keliling-keliling dulu aja.” Tambahnya.

Baik, ini mungkin saatnya berbicara. Batin Jungkook.

“Yoongi.” Jungkook tidak mau lagi berlama-lama. Seperti apa yang dia katakan ke Taehyung sebelumnya, dia butuh penjelasan untuk kejadian waktu itu.

“Cerita yang aku katakan saat kita bolos waktu itu.” Yoongi mulai membuka suaranya. “Itu bukan temanku, tetapi aku sendiri.”

Jungkook melakukan rem mendadak. Yoongi kaget. Dia langsung menatap Jungkook, dia ingin marah atas tindakan dadakan dan berbahaya yang Jungkook lakukan. Beruntung jalanan sepi sehingga tidak terjadi hal yang tidak diinginkan.

Sorry banget. Kamu ga apa-apa kan?” Tanya Jungkook memastikan keadaan Yoongi. Dia pun sama kaget. Namun dia kaget dengan ucapan Yoongi.

Jungkook bukan melajukan mobil untuk pergi, dia malah meminggirkan mobilnya.

“Kenapa?”

“Aku ga bisa konsen, ke pinggir dulu sebentar.” Jawab Jungkook.

Jungkook mulai mengatur nafasnya. “Yoongi, maafin aku. Seharusnya aku peka bahwa itu adalah cerita kamu bukannya melupakan itu semua. Aku harusnya sadar ketika aku pegang kamu dan kamu menjadi takut, tetapi aku terlalu bodoh. Padahal kamu sudah berani menceritakannya padaku yang hanya orang asing ini.”

“Kamu bukan orang asing, Kook.” Kini Yoongi yang coba mengatur nafasnya. “Aku ga tahu, tapi aku ngerasa kamu itu seperti aku. Melihat kamu, aku seperti sedang bercermin. Tetapi sifat kita berkebalikan. Posisi kita sama baik di pertemanan maupun di sesuatu yang sedang kita hadapi sekarang yang kamu sebut itu 'persaingan'. Hal itu membuat aku tertarik, aku malah ingin jauh lebih tahu tentang kamu, aku senang melihat reaksi kamu setiap aku mempertanyakan setiap apa yang sudah kamu lakukan.” Jelas Yoongi.

“Yang terakhir itu nyebelin banget. Kamu itu buat aku pusing. Kamu itu bahaya banget dan sering menggiring opini!” Timpal Jungkook.

“Disini aku memang yang salah, Kook. Dan untuk kejadian itu ...” Ada jeda dalam perkataan Yoongi. “Aku hanya impulsif.”

Oh, shit!

Kejadian yang membuat Jungkook tak enak makan, tak enak tidur, membuat dia gamang sepanjang hari, kejadian yang Jungkook inginkan menjadi hal romantis yang dia lakukan dengan orang yang dia sayangi, namun semua itu sirna karena keinginan impulsif saja. Dia merasa dipermainkan.

“Kamu jahat banget, Gi.” Ucap Jungkook dengan nada yang getir.

“Iya aku akui itu.” Yoongi coba mengatur nafasnya. “Tetapi entah mengapa aku ingin melakukannya dengan kamu. Aku ingin melepaskan rasa itu. Aku ingin mencoba untuk tidak terjebak lagi di ruang gelap itu, dan aku melihat kamu sebagai tempat aku untuk melarikan diri, untuk bisa bebas dari belenggu ini.”

“Kenapa dengan aku? Bukannya kamu menyukai Hobi? Kamu itu membuat semuanya menjadi bingung dan rumit.”

“Karena tadi, Kook, aku melihat kamu seperti diriku sendiri tetapi kamu lebih bercahaya dan lebih hangat.” Yoongi menahan tangannya yang sudah mulai gemetar. Menggigit bibirnya juga untuk menahan tangis yang sedari tadi ingin meluncur dari matanya.

“Saat aku mengatakan aku menyukai kamu, itu benar, Kook, aku ga bermaksud mempermainkan kamu. Maaf aku bikin kamu bingung.”

“Lalu, dengan Hobi, aku merasa tersanjung karena ada seseorang menganggap aku sebagai Yoongi tanpa ada embel-embel lain. Lalu, melihat Hobi yang selalu ceria tetapi selalu memiliki mata sendu membuat aku penasaran, namun aku tahu bahwa mata sendunya akan berubah menjadi secerah dan seceria senyumnya saat dia menatap Taehyung.”

Air mata itu tak bisa lagi Yoongi bendung, dia mulai meneteskannya. Yoongi menahan sedemikian rupa agar tidak terisak.

“Aku selalu bilang sama kamu untuk define feeling bahkan mempertanyakan kamu yang ga sesuka itu sama Hobi, sebenarnya kalimat itu pantasnya ditujukan buat aku bukan buat kamu. Dan aku telah dengan jahat membawa kamu kacau dan bingung dengan sikap aku ini. Aku belum selesai dengan urusan aku sendiri, I'm still dealing with this trauma but I already messed up with you, making you confused and I hurt you so much, you don't deserve for this shit, Kook. Sorry for stealing your first kiss, I'm such a brat, you can hate me, you can pretend that we never know each other, it's okay I will accept it, I deserve for it.

Jungkook mengambil tisu diatas dashbord mobil dan memberikannya kepada Yoongi.

“Aku antar kamu pulang.”

Dari 'pengakuan' panjang yang Yoongi lontarkan, Jungkook membalas begitu singkat. Terlalu banyak informasi yang butuh untuk Jungkook serap. Dia butuh waktu itu semua.

Sepanjang perjalanan tak ada lagi percakapan. Hanya sesekali terdengar isak Yoongi yang masih tersisa.

“Barangnya nanti aku bawa besok ke sekolah.” Ucap Yoongi saat Jungkook memberikan kunci mobilnya. Jungkook menjawabnya dengan anggukan.

“Yoongi, aku perlu waktu. Aku perlu waktu buat dealing my own stuffs and you too, right? Nanti, nanti setelah Sport and Art Week selesai, kita bicarakan ini lagi.”

Jungkook lalu pamit meninggalkan rumah Yoongi. Masih banyak hal yang kalut dipikirannya. Jungkook butuh memikirkan apa yang sebenarnya terjadi, tentang define feeling, tentang segalanya.

Kamu memang menyebalkan, Min Yoongi!

***

➖ Pelan-pelan saja

Banyak sekali ceracau dipikiran Taehyung ketika dia melangkahkan kakinya menuju rumah. Dia sekarang telah berdiri didepan pintu namun masih ada ragu dan gemuruh yang terus berisik di kepalanya. Akankah semua gemuruh itu hilang? Taehyung tidak tahu tapi setidaknya dia harus mencobanya. Semua yang terjadi pasti ada alasannya. Taehyung mencoba memahami dari sisi Bundanya sekarang.

Kakinya masuk ke rumah. Bundanya langsung menyambut seakan Taehyung sudah lama tidak pulang padahal dia hanya pergi sehari saja. Mungkin masalah dan kekacauan yang timbul membuat semua terasa lama.

Taehyung baru saja mengganti seragamnya dengan kaus dan celana santai ketika Bundanya memintanya untuk makan dahulu. Bunda sudah menyiapkan masakan kesukaan Taehyung. Kini, dia telah duduk di meja makan.

“Jungwon main ke rumah Sunghoon?” Tanya Taehyung sambil menunggu Bundanya menyiapkan lauk dan nasi ke piringnya.

“Iya, sayang.” Piring yang sudah terisi itu sudah didepan Taehyung. Dengan tatapan senang, Taehyung mulai menyantapnya. Enak, apalagi dihadapannya ada Bundanya, orang yang paling dia sayangi.

“Tae sayangnya Bubun.” Panggilan itu adalah panggilan yang paling Tae sukai. Dia senang dipanggil itu, dia seperti dicintai, sangat dicintai.

“Soal Ayah kamu,”

Oh, shit here we go again! Mau tidak mau, suka tidak suka memang ini yang akan dibahas di meja makan ini.

“Bubun meminta maaf karena belum bercerita. Bubun tidak berbohong tetapi memang belum sempat bercerita.” Bunda menatap Taehyung dengan hangat, dia mengusap-usap kepala Taehyung yang sudah selesai dengan makanannya.

“Persoalan Bubun dengan Ayah kamu sudah selesai sejak kita memutuskan berpisah. Tetapi bagaimanapun dia tetap Ayahmu, Sayang. Ada darah dia yang mengalir di tubuh kamu. Ayah kamu sebenarnya masih selalu ingin menafkahi kalian namun selalu Bunda tolak. Hidup Ayahmu belum bisa dikatakan siap untuk menanggung kalian waktu itu. Bisnisnya belum semaju sekarang, untuk hidup sendirinya pun dia susah. Namun Ayah kamu tetap bertekad dan perlu waktu 6 tahun hingga usahanya sekarang membuahkan hasil. Dia ingin menjadi Ayah yang baik untuk kamu dan Jungwon. Maka dari itu sekarang Bubun izinkan. Uang dari Ayah kamu hanya untuk kamu dan Jungwon, sementara Bubun punya penghasilan sendiri untuk hidup Bubun dan kalian berdua juga.” Jelas Bunda.

“Bubun sudah punya rencana berhenti bekerja sejak lama dan ingin memulai usaha di rumah sebab ingin fokus merawat kamu dan Jungwon, bukan karena dibiayain oleh Ayah kamu. Bubun jujur merasa terbantu sekarang dengan Ayah kamu. Sehingga keinginan Bubun untuk berhenti bekerja semakin kuat.”

“Ayah kamu tidak pernah berniat menelantarkan kamu dan Jungwon, sama sekali tidak. Dia berjuang untuk hidupnya agar bisa layak dikatakan sebagai Ayah. Meski perlu waktu lama, Tae.” Tambah Bunda.

“Bubun kenapa pisah dengan Ayah?” Tanya Taehyung. Pertanyaan itu sontak membuat Bunda kaget. Taehyung waktu itu terlalu kecil untuk mengetahui arti perpisahan Bunda dan Ayahnya. “Apa karena kalian sudah tidak saling mencintai?”

“Tae sayangnya Bubun, perasaan Bubun ke Ayah kamu masih dan akan selalu sama tetapi ada beberapa hal yang tidak bisa lagi disatukan. Kami terlalu banyak perbedaan. Ayah kamu dulu idealis dengan bisnis yang dia geluti dan lebih memilih merintis dari bawah meski sudah sering ditipu berkali-kali. Ayah kamu merasa gagal dan tidak berguna bahkan menatap kamu dan Jungwon yang masih bayi waktu itu, dia tidak sanggup. Kegagalan yang dia alami begitu berat hingga akhirnya kami berpisah, Tae. Sebab terkadang perasaan sayang dan cinta saja tidak cukup untuk hidup bersama.” Bunda masih mengusap kepala Taehyung, mata Bunda mulai berkaca-kaca.

“Maaf ya, kami gagal memberikan keluarga yang normal dan lengkap seperti yang kamu inginkan. Maaf karena kamu harus melalui hal seperti ini sejak kecil. Tapi perlu kamu ketahui, Tae, bahwa kami sangat menyayangi kamu dan Jungwon meskipun kami sudah tidak bersama.” Air mata kini mulai menetes dari mata Bunda. Taehyung lirih melihatnya mulai mengusap pipi Bundanya yang basah.

“Tae sayang, jika kamu masih belum bisa menerima Ayah kamu, tidak apa-apa, semua perlu waktu tapi mohon jangan terlalu membencinya. Dia perlu waktu dan belajar untuk menjadi Ayah yang baik. Bubun juga sama. Bubun masih perlu belajar jadi Bunda yang baik.”

“Bubun sudah menjadi yang terbaik kok.” Taehyung pun mulai meneteskan air mata. Suasana berubah menjadi sendu. Kini, ganti Bunda yang mengusap pipi Taehyung yang basah.

“Taehyung juga masih perlu belajar jadi anak yang baik. Taehyung masih sering kabur-kaburan, emosian, dan ga pernah berpikir panjang hingga akhirnya bikin Bubun sedih.”

Bunda mulai mendekatkan kursinya dan memeluk Taehyung. Punggung Taehyung diusap-usap. Ini membuat Taehyung makin menangis.

“Tae sayangnya Bubun, kita-kita sama belajar ya. Manusia memang tempatnya belajar dan bertumbuh. Kita sama-sama lebih baik, kamu, Bubun, Jungwon, dan juga Ayah.” Bunda menatap Taehyung yang mulai tersedu.

“Tae coba ya, Bun, buat belajar menerima dia.” Ucap Taehyung.

Bunda tersenyum dan merapikan poni rambut Taehyung. “Tidak usah buru-buru ya, Sayang, pelan-pelan saja.” Mereka lalu saling berpelukan kembali.

***

➖ Unexpected Action

Tw// slight panic attack

Jungkook beberapa kali mempertanyakan dirinya ketika sedang menyetir motornya ke tempat Yoongi berada sekarang. Mengapa dia harus menuruti keinginan Yoongi? Sudah seperti tukang antar jemput saja.

Beberapa saat kemudian, Jungkook tiba di tempat Yoongi sekarang. Dia sedang terduduk di sebuah halte sambil menggosok-gosok tangannya. Melihat Jungkook, Yoongi lalu menghampirinya.

“Ini pakai jaket dulu.” Jungkook memberikan Yoongi sebuah jaket yang sudah dia siapkan sebelumnya. Yoongi memandang jaket itu tampak aneh dengan matanya yang berdelik. “Bersih kok ini. Baju kamu tipis nanti tuan muda masuk angin.” Ledek Jungkook. Iya hari itu Yoongi hanya memakai kemeja panjang berwarna biru dan celana jeans hitam.

Yoongi naik ke atas motor setelah helm terpasang di kepalanya.

“Sorry ya jemputnya pakai motor.” Ucap Jungkook lalu men-starter motornya.

“Emangnya harusnya jemput pakai apa?” Tanya Yoongi.

“Pakai helikopter.” Jungkook tertawa renyah. Yoongi tersenyum mendengarnya. Motor pun kemudian melaju.

Di sepanjang perjalanan tidak ada obrolan. Jungkook fokus menyetir sementara Yoongi larut akan lamunannya sendiri.

“Ini beneran jadi ke rumah aku?” Tanya Jungkook melepaskan keheningan.

“Iya.” Jawab Yoongi.

“Beneran mau sambil dipangku main PES-nya?” Tanyanya lagi. Yoongi langsung memukul helm Jungkook.

“Aduh! Kok dipukul sih? Itu kan ide kamu!” Timpal Jungkook.

Setelah itu tidak ada lagi percakapan hingga mereka tiba di rumah Jungkook. Rumahnya Jungkook berlantai dua dengan pekarangan yang penuh dengan tanaman dan bunga-bunga.

“Maaf ya rumahnya kecil, kalau dibanding rumah kamu ini sih cuma halaman depannya aja.” Kekeh Jungkook. Yoongi lalu melemparkan jaket Jungkook yang tadi dia pakai ke wajah Jungkook.

“Ih kamu ketularan Tae ya jadi beringas begini?” Ucap Jungkook sebal.

Tak berapa lama, Yoongi sudah masuk ke rumah Jungkook. Dia langsung dibawa ke lantai 2.

“Orang tua kamu mana?” Tanya Yoongi.

“Ibu lagi arisan keluarga. Ayah lagi mancing sama temannya. Kakak, ah ga tahu ga jelas dia pacaran kali.” Jawab Jungkook sambil mengeluarkan PES dari dalam lemari bawah TV.

“Jadi cuma kita berdua di rumah ini?” Tanya Yoongi lagi.

“Iya, kenapa? Jadi kan kamu ga usah sungkan kalau nanti main PES-nya dipangku.” Ledek Jungkook.

Ucapan itu mendapatkan balasan lemparan bantal sofa oleh Yoongi.

“Hadeuh, terus aja gitu!” Ucap Jungkook kesal.

Peralatan PES miliknya kini sudah terpasang. Jungkook mulai menyalakannya.

“Eh iya, lupa belum ambil minum. Bentar ya.” Jungkook turun ke bawah menyisakan Yoongi yang kini sedang duduk sendirian di ruang tengah lantai 2.

Jungkook lalu datang dengan membawa 1 botol soda dengan dua gelas dan dua toples cemilan. Ya dia membawanya dengan kedua tangannya dan mengepit toples di dada.

“Silahkan di minum nih, Tuan Muda, maaf ya seadanya.”

Yoongi berdecih sebal.

“Nih udah nyala, kamu mau main tim apa?”

“Aku ga paham.”

“Lha gimana sih? Jangan bilang ini cuma alasan aja?”

“Memang cuma alasan.”

“MIN YOONGI!!” Teriak Jungkook sambil berusaha menahan diri untuk tidak melumat Yoongi saat itu juga.

“Tapi kalau kamu mau main, ya main aja sendiri. Aku liatin.” Jawab Yoongi datar. Dia membuka tutup botol soda dan menuangkan ke gelasnya. Dia lalu meminum soda itu perlahan. “Kenapa?” Tanya Yoongi saat melihat Jungkook memerhatikan dia lekat-lekat.

“Sungguh menyebalkan.” Ucap Jungkook sambil menggelengkan kepalanya.

“Kamar kamu dimana?” Tanya Yoongi.

“Tuh!” Ucap Jungkook menunjuknya dengan dagunya sementara matanya tetap tertuju ke layar.

“Jadi di lantai ini cuma ada kamar kamu dan ruangan ini?”

“Iya, secara teknis sih lantai ini ya kamar aku. Semua selain aku, kamarnya ada di bawah.”

Yoongi menganggukkan kepalanya. Melihat Jungkook yang mulai asyik memainkan PES, Yoongi lalu mengeluarkan tablet dari tasnya.

“Lagi apa?” Tanya Jungkook setelah sekilas melihat Yoongi.

“Baca berita.”

“Dih, gabut banget.”

Jungkook kembali fokus pada gim yang sedang dimainkannya. Yoongi pun bosan karena tidak ada yang menarik dari berita yang dia baca di portal daring.

“Sini main PES aja kalau bosen.” Ajak Jungkook.

“Ngga bisa.”

“Ya, sini aku ajarin.” Tanpa mendengar jawaban dari Yoongi lagi, Jungkook mulai memberikan satu stick lagi. Tangan Yoongi diraihnya. Hal itu membuatnya kaget dan tubuhnya mulai menegang. “Santai aja sih, kemarin juga aku pegang tangannya pas ngobatin luka, ngga setegang ini.”

Iya benar. Bukan kali pertama Jungkook memegang tangan Yoongi. Namun, kali ini Yoongi begitu kaku. Keringat dingin mulai menjalar di badannya. Apakah karena waktu itu ada distraksi lain yaitu sakit ditangannya sehingga membuat dia teralihkan? Kini tak ada distraksi apa-apa. Tangannya baik-baik saja. Namun sentuhan Jungkook membuatnya seperti tersengat listrik.

Jungkook menjelaskan bagian-bagian dalam stick PES dan bagaimana menjalankannya. Namun Yoongi sama sekali tidak bisa mendengarnya dengan baik. Telinganya berdengung, bulu-bulu halus di tubuhnya berdiri tegang, keringat dingin semakin bercucuran dari tubuhnya. Sengatan ingatan lampau tiba-tiba masuk kedalam pikiran Yoongi. Trauma yang membuatnya bahkan menutup diri beberapa tahun dan hanya bisa didekati oleh Seokjin saja. Rasa takut dan cemas menguasai Yoongi sekarang.

“Tangan kamu dingin banget. Are you okay?” Tanya Jungkook. Wajah Yoongi sudah pucat sekali. Jungkook lalu menaruh tangannya di kening Yoongi. “Kamu dingin banget, Gi, kamu sakit? Padahal tadi baik-baik aja kok.” Tangan Jungkook ditepis oleh Yoongi. Dia lalu mendorong Jungkook seketika dari sofa sehingga membuat dia terjungkal. Jungkook kaget dengan perubahan sikap Yoongi. Dia tahu Yoongi selalu menyebalkan dan dingin tetapi ini diluar prediksinya.

Yoongi memasukkan tab ke tasnya dan pergi berbalik tanpa berkata apapun. Jungkook lekas berlari mengejar Yoongi yang berlari begitu cepat. Untungnya langkah Jungkook lebih cepat dari Yoongi. Dia berhasil mencegat Yoongi yang baru sampai teras rumahnya.

“Gi, kamu kenapa? Aku ada salah?” Tanya Jungkook heran.

“Ng .. Ngga. Aku yang … salah!” Yoongi terbata-bata. Tangannya masih gemetaran.

“Gi, breathe well. Yuk, ikutin aku yuk, tarik nafas 1 2 3. Tahan, hembuskan 1 2 3.” Jungkook mengulangkan itu kepada Yoongi beberapa kali. Jungkook lalu mendudukkan Yoongi di kursi teras. “Yuk, ulang lagi.” Jungkook setengah berlutut dihadapan Yoongi membantu dia untuk mengatur nafasnya dengan baik. Tangan Yoongi kini mulai tidak gemetaran. Nafasnya mulai teratur.

“Maaf ya, Gi.” Ucap Jungkook lirih.

Yoongi tidak menjawab apa-apa. Dia masih menunduk tak ingin melihat wajah Jungkook. Lalu tanpa sadar air mata Yoongi menetes. Membasahi celana jeans hitamnya.

“Hei, Yoongi, kenapa?” Jungkook panik melihat Yoongi menangis. “Aku minta maaf, Gi, maaf banget.”

“Shit!” Yoongi menyeka air matanya seketika. Dia mulai menegakkan kepalanya. “Aku ngga mau kalah. Aku harus bisa melawannya. Sorry, Kook.”

Ucapan Yoongi itu sama sekali tidak Jungkook mengerti. Yoongi lalu memegang bahu Jungkook dan dengan gerakan sangat cepat bibir Yoongi menyentuh bibir Jungkook. Mata Jungkook membelalak hebat. Dia membeku. Ini terlalu cepat dan tidak bisa dihindari. Yoongi lalu menarik kepalanya. Hal itu sangat singkat dan hanya sentuhan beberapa detik saja. Tanpa tahu apa yang terjadi setelahnya Yoongi pergi meninggalkan Jungkook yang terduduk melamun di teras. Tak ada energi Jungkook untuk berdiri mengejar Yoongi. Seakan waktu berhenti begitu saja. Jungkook memegang dadanya, ya jantungnya berdetak hebat.

***

➖ Terancam

Akhir-akhir ini Jimin merasa hatinya tidak tenang. Dia selalu gusar dan takut bahwa apa yang kini menjadi miliknya bisa tiba-tiba hilang atau pergi begitu saja. Rasa itu terus menghantuinya. Mungkinkah ia seharusnya tak terlalu bahagia? Mungkinkah kebahagiaan yang dia dapatkan selama ini hanya ilusi? Jika memang iya, Jimin berharap untuk terjebak di ilusi ini selamanya.

Hidupnya yang tenang saat ini seperti sedang menunggu waktu untuk berakhir. Jimin sudah kepalang nyaman dengan ini semua. Hal yang tak pernah diimpikan sebelumnya. Teman. Pacar. Semuanya ingin Jimin pertahankan sedemikian rupa. Namun, seperti pasir, bukankah jika terlalu menggenggam erat maka dia akan lebih banyak tumpah dan jatuh ke bawah?

Sesudah memperoleh informasi dari Jungkook, Jimin lekas mendatangi tempat tersebut. Sebuah taman dekat kompleks rumah Hobi. Tempat itu familiar juga bagi Jimin. Dia pernah mendengarkan curhatan Hobi pasca ditolak Taehyung dan terjadi insiden baku hantam mereka berdua. Haruskah kini terulang lagi?

Benar saja, di sana terlihat Taehyung sedang duduk di ayunan. Namun tidak ada Hobi.

“Tae.” Panggil Jimin.

Taehyung tidak bisa dibilang terlihat baik-baik saja. Matanya seperti sudah menangis. Wajahnya pucat.

“Tae, pulang, yuk. Bubun udah nungguin.” Ajak Jimin. Tangannya menggapai Taehyung namun Taehyung tepis.

“Ngga mau, Min. Aku ga mau ketemu Bubun dulu. Dia udah bohongi aku.” Tolak Taehyung. Air matanya yang sudah mengering mulai membasahi lagi. “Kali ini aja, Min, tolong biarkan aku.” Mohon Taehyung.

“Bubun di rumah nangis, Tae. Jungwon juga ikut nangis liat Bubun sedih. Yuk pulang dulu, nanti diobrolin di rumah ya.” Ajak Jimin lagi.

“Terus apa kamu ga lihat aku juga nangis? Aku sakit hati, sedih, kamu ga lihat?!” Bentak Taehyung. “Kamu itu harusnya ada di sisi aku sekarang bukannya bela mereka! Kamu mau jadi anak mereka? Silahkan sana!”

“Taehyung!!” Bentak Jimin. Ini pertama kalinya Jimin membentak sebegitu keras kepada Taehyung hingga membuat Taehyung kaget.

“Coba kali ini kamu yang dengerin aku! Selama ini aku selalu nurutin kamu, dengerin kamu, tapi kamu pernah ga nurut sama aku?! Mereka itu orang tua kamu, mau sebagaimanapun mereka, yang membuat kamu sebesar ini adalah mereka! Kalau kamu sakit hati dan sedih itu boleh, perasaan kamu valid, tapi tidak dengan kabur begini. Ke rumah dulu, entah nanti kamu mau langsung ngomong atau ngga setidaknya kamu kesana kabari mereka terutama Bubun. Mereka pasti punya alasan untuk semua ini, Tae.” Ucap Jimin panjang lebar. Nafasnya naik turun tak beraturan.

Tak ada respon dari Taehyung selain terdiam mematung dengan air mata yang kian menetes. Jimin mulai mengambil sikap dengan menarik tangan Taehyung. Segera membawanya pergi dari sini.

“Aku ga mau pulang, Min!” Taehyung memberontak dengan mencoba melepaskan cengkraman tangan Jimin.

Jimin seakan tak mendengar ucapan Taehyung, dia terus menarik tangan Taehyung.

“Dia udah bilang ngga mau, Jim!” Hobi tiba-tiba datang mencoba melepaskan cengkraman tangan Jimin.

“Hobi, udah aku bilang kan?” Jimin menatap sinis Hobi. Matanya melihat Hobi dari atas ke bawah. Dia melihat tangan Hobi satunya membawakan susu strawberry dan beberapa cemilan manis di dalam satu plastik.

Damn, dia terlewat! Dia melewati hal ini!

“Bisa lepasin ngga?!” Pinta Hobi.

Tak ada respon dari Jimin hingga akhirnya Hobi melepaskan tangan Jimin dari tangan Taehyung.

“Kalau dibilang cross the line, kamu juga cross the line, Jim! Aku emang ga tahu ceritanya Taehyung tapi setidaknya hormati keputusan dia. Bukan berarti kamu pacarnya lantas bisa menentukan dia harus ini dan itu?! He has his own life!” Ucap Hobi. Taehyung gemetar berdiri di belakang Hobi. Beberapa kali Hobi menepuk-nepuk tangan Taehyung mencoba menenangkan dari depan.

Jimin semakin melewatkan banyak hal. Melewatkan fakta Taehyung sedang bersedih dan dia membutuhkan sesuatu yang manis. Melewatkan bahwa Taehyung terluka dan keputusannya tidak ada yang mau mendengar. Dan melewatkan bahwa ini semua alasan kenapa Taehyung memilih menghubungi Hobi daripada dirinya. Namun dia terlanjur butuh mengamankan posisinya. Dia butuh Taehyung menuruti kata-katanya. Dia butuh Taehyung berada disisinya.

“Kamu ga usah ikut campur!” Jimin bergerak maju dan mencoba menarik tangan Taehyung. Dia kaget dan ketakutan sambil berlindung di belakang badan Hobi.

“Tae, kamu jangan gini!” Bentak Jimin lagi.

“Jimin, kamu kenapa sih?!” Hobi melemparkan plastik di genggamannya ke tanah dan langsung meninju pipi Jimin.

Jimin tersungkur, Taehyung kaget dengan situasi barusan.

“Aku tahu kok aku bakal kalah kalau berantem sama kamu tapi seenggaknya kamu perlu ditonjok biar sadar!” Ucap Hobi.

Hobi mengambil kembali plastiknya dan membawa Taehyung pergi bersamanya. Taehyung melihat Jimin yang sedang tersungkur di tanah. Tak ada gerakan Taehyung untuk menghampiri Jimin, langkahnya mengikuti langkah Hobi.

Jimin meraba sudut pipinya yang berdarah. Perasaan terancamnya malah semakin membuat dia jauh. Dia kalah telak hari ini.

***