petrichorgreeny

ADA apa nih video call?” tanya Alam saat Guntur meneleponnya ketika Alam hendak keluar dari unit apartemen barunya.

Surprise!!” teriak mereka di sana. Guntur, Evans, dan Daresh ternyata sedang bersama-sama di sebuah cafe.

“Astaga, kalian lagi nongkrong bertiga?” tanya Alam sambil terus berjalan dan menekan tombol lift.

“Yoi. Kangen lo, Al. Berasa ada yang kurang,” ucap Daresh mulai dramatis. Alam hanya menjawabnya dengan tersenyum.

“Mau kemana, Al?” tanya Evans penasaran. Hari itu Alam menggunakan kaos dan celana pendek warna hitam.

“Mau nge-gym,” jawabnya. “Sorry kalau sinyalnya rada-rada, gue lagi di lift,”

“Sehat banget, ya, hidup lo. Jadi AP pasti sibuk banget, tapi masih sempetin nge-gym.” ucap Guntur di ujung sana.

“Haruslah. Gue kan sekalian persiapan buat maraton,”

“Kemana lagi nih anak?” tanya Daresh. Yang lainnya sedang sibuk menerima makanan yang telah dipesan sebelumnya.

“Borobudur Marathon,” jawab Alam. Pintu lift pun terbuka. Alam telah berada di lantai 2 tempat ruang gym berada. Ia kemudian memindai akses card-nya dan masuk ke ruangan tersebut.

“Baru aja kemarin Bali Marathon, sekarang udah mau ikut yang Borobudur,” timpal Guntur.

“Kalau Borobudur, gue ikut deh,” Evans ikut nimbrung.

“Yang bener aja lo lari,” ucap Daresh tidak percaya.

“Ikut main doang. Maraton paling 5 – 7 jam, kan? Sisanya kita bisa traveling,” jawab Evans.

Alam pun merasa ide Evans tidak buruk. Justru bagus karena sekali dayung dua tiga pulau terlampaui olehnya. Ia bisa maraton sekaligus kumpul dengan Ad Hoc Team.

“Oke juga. Gue udah booking hotelnya sih, nanti gue kirimin ke grup. Kalian nginep di hotel itu aja. Yang bikin itinerary lo, Dar.” ucap Alam sambil mulai pemanasan. “Udah dulu, ya, lanjut nanti ngobrol di grup. Enjoy your night, guys.” pungkas Alam. Telepon pun dimatikan.

Alam lalu memasukkan earbuds miliknya ke tempatnya dan menaruhnya di sebuah dudukan di samping ponselnya. Setelah dirasa cukup dengan pemanasannya, Alam lalu mulai menyalakan alat treadmill-nya. Sebenarnya ia ingin lari di sekitar taman kota. Tetapi, hari ini ia pulang kantor malam hari. Jadi, memilih memakai fasilitas gym di apartemennya sebagai solusi. Sekalian jajal apakah gym di sini worth it atau tidak baginya.

Capt, udah, yuk!” suara seorang perempuan di belakang terdengar di telinga Alam. “Arraya, ayo, lo udah 3 jam di sini!”

Deg! Debar jantung Alam langsung berdetak cepat mendengar nama itu. Arraya. Sudah lama Alam tidak bertemu bahkan mendengar suaranya. Apakah itu Raya? Apakah itu Raya yang selama ini ia nantikan?

Alam lalu mem-pause alat treadmill-nya. Ia kemudian turun dan melihat seorang perempuan yang sedang menarik tangan seseorang yang sedang mengangkat barbel.

“Duluan aja,”

Tidak salah lagi. Itu suara Raya.

No! I will go to the restroom now. After I come back, you must finish it!

Perempuan itu lalu pergi meninggalkan orang itu yang masih dengan alat beratnya. Ragu. Namun, penasaran. Alam melangkahkan kakinya. Mencoba mendekati.

Orang itu memakai kaos lengan panjang berwarna putih dengan celana pendek warna hitam. Ia memakai topi warna hitam yang hampir menutupi matanya.

“Raya,” panggil Alam. Jantungnya makin berdetak cepat. Orang itu lalu menoleh. Dan benar. Itu adalah Raya.

“Hai!” sapa Alam senatural mungkin. Meski ia sedang gugup bukan main. Raya lalu berdiri kaget. “Saya Alam. Masih ingat?

Sebuah kalimat basa-basi yang sangat basi. Tetapi, Alam tak tahu harus membuka obrolan dengan bagaimana. “Apa kabar, Raya?” Saya kangen. Untuk kalimat kedua hanya Alam ucapkan dalam hatinya.

Raya terlihat lebih kurus. Di bawah matanya—meskipun terhalang topi—Alam bisa melihat kantung mata yang menghitam. Dari sana Alam tahu bahwa 3 bulan terakhir pasti begitu berat bagi Raya. Siapa yang tak patah hati jika kegagalan pernikahan terjadi padanya?

“Kenapa bisa di sini?” tanya Raya tidak menjawab pertanyaan Alam. Tapi, setidaknya Alam tahu bahwa Raya masih ingat kepada dirinya.

“Saya pindah homebase ke SG. Di mitra internasional Atmodjo Law Firm, Parker Smith & Co.” jawab Alam sambil menampilkan senyum terbaiknya.

Raya termenung. Dia belum merespon apa-apa dan hanya menatap Alam.

Capt, come on!

Perempuan itu datang kembali. Tatapannya lalu bersinggungan dengan Alam. Ia kemudian berbisik ke telinga Raya. Tetapi, tak mendapat respon dari Raya.

Come on, Honey. You need to take a rest!

Perempuan itu kemudian menggaet lengan Raya. Dan Raya pun mengikutinya tanpa berkata apapun kepada Alam.

Honey?!

[]

tw: heavy kiss, harsh words, self injury

BOHONG rasanya jika Raya merasa tidak terganggu dengan ucapan Gane yang mengatakan bahwa Tante Ayunda—Mamanya Gane—mengundang Raga untuk makan malam di rumahnya. Dia yang bersama Gane selama ini tidak pernah sama sekali diberi kesempatan untuk itu.

Raya menggenggam erat gelas wiskinya. Padahal baru kemarin ia ke sini, lebam di perutnya pun masih terasa, tetapi Raya sudah siap untuk menghabiskan beberapa gelas wiski kembali.

“Sialan!” Raya meneguk sekaligus. Semakin mendekati hari pernikahannya—yang tentu tanpa restu dari Tante Ayunda—semakin banyak hal yang merintanginya. Apa memang mereka tidak bisa untuk bersama? Apa mereka terlalu memaksakan?

“Kasihan dari kemarin minum sendiri,” Raya lalu melirik ke suara orang di sebelahnya. Shit!

“Kenapa kamu ke sini?” tanya Raya menunjukkan mimik tidak suka. Lawyer itu mengapa selalu ada ketika Raya membutuhkan distraksi.

“Ini tempat langganan saya. Mas Bartendernya aja udah kenal,” ucap Alam bangga. “Biasa,” ucapnya kepada Sang Bartender.

Raya mendengus. Dia hendak beranjak, namun tangannya ditahan oleh Alam. “Kenapa kamu selalu bersikap seperti ini kepada saya?”

“Bersikap bagaimana?” tanya Raya datar.

“Saya minta maaf atas sikap saya di mobil waktu itu,”

“Itu sudah case closed,” ucap Raya. Ia lalu melirik lengannya yang masih dipegang oleh Alam.

“Lalu, sekarang masalahnya apa? Kenapa kamu seolah sedang menjauhi saya?”

“Kita ini hanya terlibat di satu proyek. As a professional.”

“Kamu arsitek saya! Kita tidak hanya di satu proyek,”

“Saya batalkan,” ucap Raya melepaskan tangan Alam dan hendak menuju dance floor. Mungkin dengan sedikit menggerakkan badannya, Raya bisa mengusir rasa tak nyaman itu. Melupakan bahwa hatinya sedang panas sekarang.

“Nggak bisa sepihak begitu,” Alam ternyata mengikuti Raya. Ia kini berdiri di hadapannya.

Ketika yang lain sudah mulai mengikuti musik yang diputar oleh DJ, Raya dan Alam malah saling menatap dengan tajam. Seolah siap memakan satu sama lain.

“Kenapa, Raya—”

“Saya benci karena kamu selalu melihat saya!” ucap Raya sedikit berteriak karena suaranya berpacu dengan musik kelab yang keras.

“Jadi, saya harus tutup mata saat melihat kamu?”

You always see my crime scenes,”

You were a criminal?”

Shit!” Kepala Raya mulai pusing. Efek alkohol di tubuhnya sudah mulai bekerja.

“Jelasin! Kamu apa-apa kan harus jelas, makanya jelasin biar saya paham!”

I do not owe any explanation to you!”

Alam mendekatkan tubuhnya kepada Raya. Tetapi, Raya tak bisa kemana-mana. Dance floor ini sudah dipenuhi orang yang sedang clubbing, bukan berdebat seperti dirinya dan Alam.

“Kenapa kamu menjauhi saya, Mahanta Arraya?” ulang Alam. Kali ini lebih dekat, bahkan Alam telah memegang pinggang Raya.

Lampu dance floor berwarna merah dengan gradasi warna biru. Memperlihatkan wajah Raya yang sudah mulai memerah. Badannya memanas kembali. Teringat akan peristiwa di mobil itu.

One kiss is all it takes Falling in love with me Possibilities, I look like all you need

Sialan! Sialan!” ucap Raya dalam hatinya ketika lagu itu dimainkan oleh DJ malam ini.

You just can’t resist me, right?” bisik Alam ke telinga Raya.

Mereka sudah sangat dekat. Bahkan hembusan nafas Alam pun terasa di pipi Raya.

One kiss is all it takes, falling in love with me. Possibilities, I look like all you need!” Alam menyanyikan lagu itu tepat di telinga Raya. Membuat tubuh Raya meremang seketika. Otaknya mendadak berhenti berfungsi.

Raya, just accept that you want me, right? I look like all you need—”

Fuck!”

Raya merengkuh pipi Alam dan melumat bibirnya. Raya kembali kehilangan kendali akan dirinya. Ia butuh distraksi dan dia—tepat seperti Lawyer itu katakan—like all he needs. Raya mencium bibir Alam dengan tergesa, penuh amarah, dan gairah yang selama ini ia tahan. Matanya terpejam. Ia memainkan setiap lekuk mulut Alam. Dan Lawyer itu membiarkan Raya mengambil peran penuh. Kuasa ada di tangannya.

Tangan Raya yang semula ada di leher Alam, mulai turun dan menjelajahi leher, pinggang, dan entah bagaimana Raya berhasil menyentuh perut Alam dengan tangannya. Sejak kapan tangannya masuk ke dalam kemeja Alam, Raya tak menyadarinya. Hingga jarak tak ada lagi artinya. Mereka bergesekan.

“Ugh … Arraya …”

Tetapi Raya tak peduli akan lenguhan itu. Dia mencium Alam seakan tak ada hari esok.

Mahanta…

Raya lalu membuka matanya.

“Sialan!”

Raya melepaskan pagutan itu. Nafasnya dan Alam tersengal-sengal.

“Raya—” Alam hendak mengusap pipi Raya, namun Raya menepisnya.

Sorry … Sorry! Anggap yang barusan nggak pernah terjadi!”

Raya lalu pergi meninggalkan Alam di dance floor. Langkah Raya gontai. Ia berlari dan berharap Alam tak mengejarnya. Sinting! Raya merutuki dirinya berulang kali.

Raya segera menuju mobilnya. Tangannya gemetar. Dadanya sesak. Ia memegang setir mobilnya dengan erat.

Anjing!! Shit!” Raya membentur kepalanya ke setir mobil berulang kali. Ia kemudian memukul-mukul setir mobilnya dengan kepalan tangannya.

“Gane … Gane …” Raya seperti anak kecil yang sedang tersesat. Ia menyalakan mobilnya dan melajukan tanpa arah dan tujuan. Ia kemudian menekan angka 1 di ponselnya. Panggilan pun terhubung dan Raya tekan tombol loudspeaker di ponselnya.

Ta, aku … aku minta maaf. Aku udah bilang ke kamu bahwa aku nggak akan datang. Tapi, mama … mama bilang dia akan—”

“Gane … tolong, tolong aku!” teriak Raya tanpa mengindahkan penjelasan Gane yang tiba-tiba barusan.

Ta, kamu kenapa? Kamu di mana?”

“Gane … maaf! Ah, fuck!”

Raya kembali membenturkan kepalanya ke setir mobil.

Ta, kamu ngapain? Please, Ta, maaf … maaf … jangan marah. Jangan ngelukain diri kamu. Aku mohon. Kamu di mana? Aku ke sana, ya, aku kesana!”

“Gane, aku pantas mati. Dulu … harusnya kamu nggak nolong aku. Aku … bajingan! Mama kamu benar … aku … aku nggak pantes buat kamu.”

Please, berhenti bilang begitu. Aku ke kamu sekarang. Jangan ngomong yang aneh-aneh.”

Telepon pun terputus. Raya terus melajukan mobilnya dengan cepat. Ia menuju Apartemen Gane. Ia ingin segera sampai ke sana.

“Mahanta!”

Suara itu terdengar ketika Raya telah turun dari mobilnya dan berada di parkiran Apartemen Gane.

“Astaga, kamu kenapa? Tangan dan kening kamu …” Gane telah tiba di parkiran. Gane tahu Raya menuju ke mana karena ia memasang tracking di ponsel Raya.

“Gane, aku minta maaf. I'm a jerk. Aku brengsek. Aku …”

“Ta,”

Raya lalu memeluk Gane dengan erat. Sangat erat.

[]

MAAF banget datengnya telat,” ucap Alam yang baru datang dan langsung mencium pipi kiri dan kanan mamanya. “Ini hadiah buat yang paling cantik,” tambah Alam. Ia memberikan sebuket bunga mawar kepada mamanya.

“Mama suka banget. Makasih, ya, anak bungsu mama.” ucap Mama Ayunda. “Bi, tolong masukin ke vas bunga, ya.” panggilnya kepada Bi Tira, asisten rumah tangga. Bi Tira mengangguk dan membawa bunga itu ke dapur.

“Cuma anak bungsu aja yang bawa sesuatu. Yang lain, bawa diri aja,” sindir Mama Ayunda kepada dua anaknya yang lain. Banyu dan Rona telah datang lebih dulu dan telah duduk di kursi meja makan.

“Nggak sempet, Ma. Tadi mau beli brownies tapi takut telat datangnya,” jawab Rona. Sementara Banyu memilih tak bersuara.

“Yaudah, kita makan. Ini kesukaan anak bungsu mama, ini untuk anak tengah mama, dan …” ucapan Mama Ayunda terhenti ketika ia bertatapan dengan Banyu. Hal itu menimbulkan suasana tegang di meja makan. Alam dan Rona saling melempar tatapan. “Ayo, dimakan.”

Makan malam pun dimulai. Tak ada percakapan lagi. Mereka asyik dengan hidangan yang telah disiapkan Mama Ayunda yang dibantu oleh Bi Tira.

“Klinik kamu gimana?” tanya Mama Ayunda kepada Rona.

“Baik, Ma.”

“Apa nggak mau kerja di rumah sakit? Ambil sub spesialis, jadi konsulen—”

“Gini aja cukup, Ma.” jawab Rona.

Rona adalah seorang dermatologist—dokter spesialis dermatologi dan venereologi—atau dulu lebih dikenal dengan dokter spesialis kulit. Rona tidak ingin berkarir di rumah sakit, menjadi konsulen, atau sejenisnya. Ia lebih memilih untuk membuka klinik kecantikannya sendiri. Dan sampai jenjang spesialis 1 sudah rasa cukup untuknya. Karirnya bukan menjadi pendidik dan peneliti seperti mamanya.

“Kamu itu disuruh berkembang malah nggak mau,” dumel Mama Ayunda. “Kamu juga itu mau sampai kapan di sana?” sekarang beralih menuju Banyu. Pandangan Rona dan Alam kembali bertemu.

Syukur deh gue udah lolos,” ucap Rona tanpa suara kepada Alam.

“Memang harusnya aku dimana?” ucap Banyu sambil memotong steak ayam dan mengunyahnya dengan malas.

“Nggak ada satu pun penerus mama,” timpal Mama Ayunda.

Banyu adalah seorang internist. Kendati Banyu sudah mendapat rekomendasi untuk menjadi kepala departemen penyakit dalam, tetapi Mama Ayunda masih merasa itu bukan penerusnya. Kembali ke fakultas kedokteran, bekerja di rumah sakit pendidikan, dan menjadi pengajar serta peneliti adalah keinginan Mama Ayunda. Tetapi, tak ada yang mengikuti jejaknya, meskipun dua dari tiga anaknya seorang dokter.

“Gian bisa,” jawab Banyu sekenanya.

“Kok Gian? Dia itu malah beda—”

“Kenapa Gian boleh beda dan nggak disalahkan? Sementara aku dan Gisella sudah sesuai kehendak Mama, masih aja harus jadi penerus?” ucap Banyu datar tetapi sukses menyita perhatian semua orang di meja makan ini.

“Kamu itu dulu nggak pernah jawab mama seperti ini. Selalu iya dan dengerin kata-kata mama. Sekarang kamu jadi anak pembantah dan kurang ajar!”

PRANG!

Suara pisau dan garpu gemerentang mengenai piring. Banyu lalu mengelap mulutnya dengan serbet.

“Aku udah selesai makannya. Terima kasih untuk makan malamnya,” ucap Banyu sambil berdiri dan hendak beranjak dari kursinya.

“Duduk!” perintah Mama Ayunda.

“Ma,” Alam mencoba menenangkan mamanya, tetapi sepertinya usahanya sia-sia.

“Duduk, Ganendra!” tegasnya. “Sebegitu inginnya kamu lepas dari keluarga ini demi orang itu?!”

“Lepas dari keluarga ini?” ucap Banyu. Nadanya mulai bergetar. “Dari awal aku udah ngerasa bukan bagian dari keluarga ini. Aku ngerasa asing dan cuma robot yang ngikutin semua mau mama!”

“Ganendra!” Mama Ayunda ikut berdiri dan menatap wajah Banyu dengan mata berkaca-kaca. Alam pun ikut berdiri dan mengusap lengan Mama Ayunda, sementara Rona berusaha menenangkan Banyu. “Ganendra yang dulu anak baik, penurut, nggak neko-neko, dan bukan pembangkang seperti kamu yang sekarang!”

“Aku capek, Ma. Capek harus selalu jadi anak pertama yang bisa dicontoh adik-adik aku. Capek harus selalu sempurna. Capek harus menanggung beban yang nggak seharusnya aku pikul sendiri. Aku bahkan udah nggak kenal sama diri aku sendiri,” ucap Banyu. Air matanya telah mengalir deras ke pipinya.

“Tolong, lepasin aku, Ma. Mama masih punya Gisella dan Giandra. Itu udah cukup buat Mama. Aku mau raih kebahagiaan aku sendiri,” pungkas Banyu. Dia lalu mengambil tasnya dan melangkah pergi dari ruang makan.

“Kebahagiaan kamu nanti akan dibayar dengan pemakaman Mama, Ganendra!”

Tetapi ucapan itu tak membuat Banyu menghentikan langkahnya. Ia tetap pergi meninggalkan rumah ini.

[]

LO udah sampe mana?” tanya Alam melalui ponselnya kepada Rona.

“Masih di jalan, bentar lagi nyampe.”

“Buruan.”

“Lo udah sampe venue?”

“Udah. Banyu udah di dalem.”

“Terus lo di mana sekarang?”

“Gue nunggu lo di luar.”

“ALAM!!” teriak Rona di ujung telepon. Alam kaget dan menjauhkan ponselnya dari telinganya.

“Lo ngapain teriak, sih?”

“Lo ke dalem juga dong. Ajak ngobrol kek atau apa lah. Kayak anak kecil banget sih,” dumel Rona. “Lo bukan anak umur 10 tahun dan dia bukan remaja tanggung umur 13 tahun. Jadi, sana lo ngobrol duluan!”

“Rona,” rengek Alam.

“Pilih lo masuk duluan, apa gue nggak jadi dateng?” ancam Rona.

Alam tidak punya pilihan lain. Ia pun menuruti perintah kakak perempuannya. Setelah telepon ditutup, Alam menghela nafas dalam dan membawa peralatan golf-nya menuju tempat Banyu berada sekarang.

Sorry, telat. Jalanan tadi lumayan macet,” ucap Alam bohong dan menaruh peralatannya di samping milik Banyu. “Dari tadi?”

“Lumayan,” jawab Banyu singkat.

Dan setelah itu tak ada suara lagi. Semua hening dan sibuk dengan pikiran masing-masing. Alam benar-benar tak berkutik jika hanya berduaan dengan Banyu. Meskipun dia awalnya menginginkan rencana golf ini hanya berdua, tetapi ujung-ujungnya dia akan menarik Rona sebagai penengah.

“Apa kabar?” tanya Alam kikuk. Dia benar-benar tidak tahu harus bertanya apa.

“Gitu-gitu aja.” jawab Banyu. “Lo?”

“Ya, sama. Gitu-gitu aja, hehe.” jawab Alam sambil nyengir kuda. Ah, ini Rona sengaja dateng telat kayaknya. Alam mulai gusar. “Mulai aja deh, lama nunggu Rona.”

Okay.”

Jika diurutkan siapa yang paling jago dalam bermain golf, tentu Alam yang memimpin. Selanjutnya Rona, kemudian Banyu. Tetapi, karena sekarang hanya berdua, Alam tak bisa menampilkan kebolehannya bermain golf secara penuh. Dia sedang berusaha mengimbangi kemampuan Banyu.

“Lo sengaja?” ucap Banyu ketika Alam telah selesai dengan lemparannya dan meleset.

“Hah? Nggak kok. Emang lagi nggak bagus aja gue mainnya,” jawab Alam mencoba agar strateginya tidak diketahui.

“Papanya Raga sakit.” ucap Banyu tiba-tiba. Alam terdiam sejenak. “Lo tahu?” sambung Banyu.

“Nggak. Dia nggak bilang apa-apa.”

“Dia dirawat di Siloam.”

Alam mengeratkan pegangan stick golf-nya. “Raga juga udah nggak di KL lagi. Dia udah stay di Jakarta. Biar gampang nemenin Papanya yang sakit.”

“Bisa nggak buat nggak ngomongin itu?” ucap Alam pelan. Bahkan hampir tak terdengar oleh Banyu.

“Gimana?”

“Apa?”

“Lo ngomong apa barusan?” tanya Banyu.

“Gue nggak bilang apa-apa,” jawab Alam bohong.

“Tempat kerjanya Raga di SCBD sekarang, sama kayak—”

“Bisa nggak jangan ngomongin Gala?!” ucap Alam dengan nada yang datar sambil menatap tajam kepada Banyu. “Lo emang lebih tahu Gala.”

“Kalau gue nggak ngomongin Raga sama lo, terus apa yang mau kita omongin?”

“Ya, tentang lo atau keadaan lo. Apapun itu. Kenapa harus ngomongin Raga?” ucap Alam. Ia pun merasa kesal sendiri.

“Hai, hai!! Sorry banget nih gue baru datang …” suara Rona perlahan mulai menghilang ketika melihat Alam dan Banyu seperti orang yang hendak melemparkan bola api ke kubu masing-masing.

“Santai … santai! Kenapa tegang banget, sih?” ucap Rona sambil mengusap-usap lengan keduanya. “Ini gue bawain minuman dingin nih. Minum, minum!” tambah Rona sambil menempelkan botol minuman dingin itu ke pipi Alam dan Banyu.

“Apa sih? Dingin, tahu!” dumel Alam kesal. Ia lalu mengambil minuman itu dan membuka botolnya. “Rumah lo di Rangkasbitung? Lama amat nyampenya?” Alam lalu meneguk minuman dari Rona.

“Namanya juga macet. Kecuali gue naik pesawat terbang,” jawab Rona. Kemudian ia menatap ke arah Banyu. “Lo minum juga, Ban.”

“Gue mau ke toilet dulu.” ucap Banyu. Ia lalu menaruh botol minuman di atas kursi dan pergi meninggalkan Alam dan Rona.

“Kebiasaan!” Rona langsung mencubit lengan Alam setelah Banyu pergi. “Lo yang ngajak ketemuan, lo yang ngajak berantem!”

“Aw! Kenapa dicubit, sih?! Siapa yang ngajak berantem?”

“Lo! Gue denger, ya, lo yang ngegas duluan.”

“Dia itu selalu omongin Gala, Gala, dan Gala mulu kalau ketemu gue.”

“Emang lo nggak tahu kenapa dia selalu omongin Gala sama lo?”

“Apa?” tanya Alam tidak mengerti.

“Karena cuma ngomongin Gala, lo bisa antusias. Karena topik tentang Gala, lo baru bisa ngobrol sama Banyu.”

“Nggak juga,” bantah Alam.

“Nggak itu mungkin sekarang. Setelah lo ditolak sama Gala—”

“Gue nggak ditolak sama Gala,” kilah Alam cepat. “Dia cuma prefer kami tetep temenan.”

“Ya, whatever!” Rona lalu duduk di kursinya. Menatap lapangan golf yang luas di depannya. “Banyu cuma nggak tahu gimana caranya biar bisa deket sama lo, Alam. Dan sialnya, lo juga begitu ke dia.”

[]

KOK kamu cuma beli dua kopi? Saya nggak dibeliin?” tanya Pak Hari, atasan Alam sekaligus penanggung jawab untuk aspek legal Proyek Nawasena dari Atmodjo Law Firm—tempat Alam bekerja.

“Iya, emang dia niatnya mau modus, Pak.” timpal Guntur. Mata Alam langsung melotot ke arahnya.

“Wah, ngemodusin siapa? Sekretaris Pak Irawan?” tanya Pak Hari. Pak Irawan adalah CEO dari Nawasena Group—penanggung jawab Proyek Nawasena Real Estate.

“Bukan, Pak. Tapi, yang dari biro arsitekturnya,” ucap Guntur seolah ia adalah juru bicara Alam.

Mereka akhirnya tiba di ruang rapat Nawasena dan langsung disapa oleh Dhea—Sekretaris Pak Irawan.

“Wah, Atmodjo Law Firm tiba lebih awal. Pak Hari sepertinya sangat bersemangat untuk hari ini,” sapa Dhea ramah dan mempersilakan mereka untuk masuk dan duduk pada tempat yang telah disediakan di ruang rapat.

“Yang semangat Mas Alam nih, Mbak Dhea.” ucap Pak Hari dengan gaya guyonnya. Pak Hari memang bukan tipikal orang yang kaku. Dia bisa diajak bercanda untuk keseharian dan serius untuk urusan pekerjaan.

“Mas Alam memang semangat kenapa?” tanya Dhea sambil meletakkan botol minuman di atas meja untuk konsumsi rapat.

“Nggak, Mbak Dhea. Itu cuma candaan Pak Hari saja.” jawab Alam santai.

“Lo sih kompor!” bisik Alam kepada Guntur saat mereka sudah duduk. Guntur pun mengangkat bahunya. Pura-pura tidak peduli.

“Semua sudah siap, Alam?” tanya Pak Hari sambil membuka catatannya.

“Siap, Pak. Timeline dan outline sudah rampung.”

“Bagus!” ucap Pak Hari sambil menganggukkan kepalanya. “Proyek Nawasena ini bisa sebagai ajang promosi kamu untuk menjadi Associate Partner (AP), Alam.”

“Seriusan, Pak?” tanya Alam antusias. Ia sebenarnya sudah mengetahui tentang gosip dirinya akan menjadi AP. Tetapi, itu baru rumor di kantor. Alam tak ingin besar kepala atau senang terlebih dahulu. Sampai ia dengar langsung dari Pak Hari, atasannya.

“Iya. Maka kerja dengan benar, ya?” ucap Pak Hari sambil menepuk bahu Alam.

“Berarti nanti saya pindah, ya, Pak?” tanya Alam. Menjadi AP itu artinya ia akan pindah ke mitra internasional Atmodjo Law Firm yaitu Parker Smith & Co.

“Iya, dong. Tapi belum tahu akan di homebase yang di SG atau UK.”

“SG aja, Pak.” ucap Alam dengan senyuman khasnya.

“Ya, tergantung hasil Nawasena, Alam. Kalau pihak Nawasena puas dengan kinerja kita, ya, kamu bisa bebas memilih homebase. Tapi, kenapa nggak ke UK saja? Di sana lebih luas lagi jangkauannya dan pusatnya Parker Smith & Co.”

Alam pun tak tahu. Tetapi, SG lebih dekat ke Jakarta. Ia bisa lebih sering pulang dan tidak membuat Mamanya khawatir. Pikir Alam demikian.

“Selamat datang, Terrace Studio.” ucap Dhea dari luar ruangan.

“Tuh arsitek lo udah datang!” bisik Guntur sambil menyikut perut Alam.

Buru-buru Alam membenarkan jas dan dasi miliknya. Alam juga tak tahu mengapa ia bersikap demikian. Kopi yang sudah ia belikan pun sudah ia siapkan. Ya, itu untuk Raya.

“Dari Atmodjo Law Firm, PWG (konsultan di bidang keuangan), dan perwakilan kontraktor sudah hadir juga,” ucap Dhea kepada rombongan Terrace Studio.

“Maaf kami datang paling terakhir,” ucap seseorang dari Terrace Studio. Tetapi, bukan suara Raya.

“Oh, tidak kok. Masih 10 menit lagi.”

Pak Hari pun berdiri untuk menyapa diikuti Alam dan Guntur. Dan saat itu Alam pun melihat Raya. Ia mengenakan kemeja berwarna putih dengan dua kancing atas yang dibiarkan tak bertaut dan dipadukan dengan blazer dan celana berwarna biru tua.

“Kamu—” ucap Raya yang langsung terhenti ketika orang-orang mulai memandanginya.

“Kita bertemu lagi,” ucap Alam ramah sambil tersenyum khasnya.

“Oh, ini yang buat Mas Alam cepet-cepet datang rapat, ya?” celoteh Dhea yang membuat suasana ruang rapat dipenuhi tawa.

“Jadi, kamu ngincer arsitek itu rupanya,” bisik Pak Hari kepada Alam setelah mereka berjabat tangan dan saling memperkenalkan diri. “Saya nggak masalah asal kamu tetap profesional. Saya juga pernah muda seperti kamu,” ucap Pak Hari.

Alam pun hanya tersenyum kecil. Seperti baru saja ia diberi restu.

“Untuk kamu,” ucap Alam pelan sambil menyodorkan minuman yang ia beli sebelum pergi rapat. “Terima saja.” tambahnya saat melihat Raya hendak menolaknya.

Orang yang berada di samping Raya langsung membisikkan sesuatu kepada Raya. Siapa tadi namanya? Ah, iya, Dewa. Barusan mereka berkenalan.

“Yang di sebelah Raya—”

“Sebenarnya lo, kan, yang mau modus?” ucap Alam ketika Guntur mulai membicarakan Dewa.

“Gue baru mau ngomong.”

“Gue dengerin.”

“Dia itu … bentar …” Guntur melihat brief rapat yang berisi siapa saja yang hadir beserta jabatannya. “Dia civil engineer ternyata.”

“Hati-hati lo dicor sama dia,” goda Alam yang langsung mendapatkan sikutan dari Guntur.

“Nggak jadi deh.” ucap Guntur setelah membuka Linkedin milik Dewa.

“Kenapa?”

“Namanya M. Dewa Danar Yudha,”

“Ya, terus kenapa?”

“M dia bukan Muhammad tapi Made.”

“Ahhh …” Alam langsung mengangguk paham. “Sabar, ya, Bro. Baru mau mulai udah dihadapkan dengan tembok yang tinggi.” ucap Alam sambil menepuk bahu temannya itu.

“Emang lo sama arsitek itu sama?”

“Belum sampe sana. Nanti gue tanya dulu,”

“Nggak sekalian lo minta KTP dia?”

“Bener juga lo. Lumayan buat pinjol.”

“Kagak bener lo, dasar anak kambing!”

Rapat pun segera dimulai setelah Pak Irawan memasuki ruangan. Pandangan Alam masih terpusat pada sosok arsitek itu. Yang entah mengapa sedikit demi sedikit mulai menarik perhatian Alam.

[]

BAGI Alam, maraton bukan hanya sekadar olahraga. Melainkan sebuah ajang untuk melepaskan penat dan distraksi. Alam memulai turnamen maratonnya sejak ia kuliah S1 di National University of Singapore (NUS).

Awalnya Alam hanya suka berlari. Entah itu lari pagi, lari sore, atau lari saat mata pelajaran olahraga waktu duduk di bangku sekolah dasar dan menengah. Mulai dari 5K, 10K, hingga akhirnya ia memberanikan diri untuk mengikuti Half Marathon (dengan jarak tempuh setengah dari turnamen maraton yaitu 21.0975 kilometer). Dan berujung ketagihan dengan maraton. Hampir setiap tahun pasti Alam akan mengikuti turnamen maraton. Baik di dalam maupun luar negeri. Semuanya selalu berakhir dengan mendapatkan medali.

Maraton memiliki Cut off Point (COP) dan Cut off Time (COT). COP adalah titik di mana setiap peserta maraton harus cek kehadiran semacam pos jika dalam kegiatan jurit malam pramuka. Selanjutnya yaitu COT yaitu waktu maksimal yang ditempuh dalam sebuah turnamen maraton. Ada 7 jam, 5 jam, tergantung kebijakan setiap penyelenggara acara. Jika pelari bisa menempuh maraton kurang dari COT maka ia akan mendapatkan medali. Dan hampir semua turnamen maraton yang Alam ikuti, ia selalu mendapatkan medali. Waktu terbaiknya tentu masih kalah jauh dibandingkan atlet maraton lainnya, Alam tidak pernah membuat maraton seserius ia akan menjadi atlet seperti kata Guntur. Alam hanya ketagihan dengan olahraga ini.

Tokyo Marathon akan dimulai dengan upacara pembukaan pada pukul 08.59 pagi waktu setempat. Alam sudah berada di area sejak pukul 7 pagi. Tokyo sedang berada di suhu 9 derajat celsius. Alam sebisa mungkin menahan diri dan menyesuaikan dengan alam Tokyo. Sebab biasanya, Jakarta selalu berada di atas 30 derajat celsius. It's really cold right now in Tokyo.

Dalam Tokyo Marathon tidak perlu berlama-lama upacara pembukaan. Mungkin jika di negaranya, upacara pembukaan bisa menghabiskan waktu minimal 2 jam. Sambutan ini itu mulai dari jabatan paling tinggi dan seterusnya. Ada nyanyian atau semacam tarian pembuka. Namun untuk di sini, hanya 10 menit untuk pembukaan. Pukul 09.10, maraton sudah dimulai.

COT untuk Tokyo Marathon adalah 5 jam 30 menit. Alam sudah memiliki ancang-ancang bahwa dalam 5 jam—maksimal, ia harus sudah mencapai garis finish yaitu yang bertempat di Stasiun Tokyo.

Saat race sudah mencapai 10 kilometer—berdasarkan yang tertera di smart watch miliknya—Alam seperti melihat seseorang yang tak asing baginya. Entah pernah melihatnya di suatu tempat atau di media sosial. Alam lalu menyamakan kecepatan larinya dan ia curiga akan satu hal; ada sesuatu yang tidak beres pada orang itu.

Hei, are you okay?” tanya Alam setelah mereka berlari bersisian. Orang tersebut tampak kaget. “Your sholder seems like—”

I'm fine,”

Tuh kan kayaknya gue pernah lihat deh.

“Orang Indonesia, ya?” tanya Alam dan terlihat orang yang ditanyanya itu menampilkan wajah kurang senang. Ya, wajar sih. Sedang mengikuti maraton tetiba out of nowhere ada yang mengajak berbicara. Guntur selalu mengatakan bahwa sikap SKSD (Sok Kenal Sok Dekat) yang sering Alam lakukan pada orang asing—tentu tanpa ia sadari—kadang bisa jadi membuat orang jengkel.

Orang itu tidak merespon. Tetapi Alam semakin yakin kalau bahu kiri orang itu sedikit bermasalah.

“Kayaknya kram deh itu,” tak mendapat respon, Alam malah mengajukan praduganya.

“Nggak.”

“Tuh kan orang Indonesia!” Alam langsung menunjuk orang itu, seolah sudah lama mengenalnya. Terkadang ketika bertemu sesama orang Indonesia di luar negeri, sifat ramah tamah dan kekeluargaan tiba-tiba muncul.

“Jangan dipaksain nanti malah makin cedera,” ucap Alam khawatir.

“Aw!”

Baru saja Alam mengatakan hal tersebut, orang itu mengaduh dan memegang bahu kirinya. Alam lalu pergi ke sisi sebelah kanan orang itu dan membawanya ke pinggir.

“Kamu mau apa?!” orang itu sudah dalam tahap marah atas sikap Alam barusan.

“Bahu kamu cedera.”

“Jangan sok tahu. Jika kamu bersikap seperti ini, kita akan kehilangan banyak waktu.”

“Kamu nggak akan sampai finish dengan keadaan seperti ini.”

Orang itu lalu menyugar rambutnya ke belakang. Kesal sepertinya sudah mencapai ubun-ubunnya.

“Ah, iya, akhirnya saya ingat! Kamu adalah arsitek terkenal itu, kan? Yang membuat mall megah di Singapura. Hm, Mahanta ... Mahanta Arraya. Am I right?” ucap Alam dengan semangat. Akhirnya ia ingat. Alam memang menyukai arsitektur meskipun background dia adalah hukum. Beberapa kali Alam pergi ke pameran arsitektur dan nama Mahanta Arraya tidaklah asing di bidang itu.

“Akhirnya saya bertemu dengan arsitek idola—”

Belum selesai Alam berbicara, orang tersebut langsung meninggalkan Alam dan kembali berlari. Alam lalu mengejarnya dan berlari bersisian dengannya.

You must go back or go to checkpoint! I'm serious, Mas Raya.”

Don't call me Mas!”

Okay, padahal gue niatnya mau sopan.

“Raya,”

“Apakah kita seakrab itu sampai kamu panggil saya begitu?”

Ini jadi maunya gimana??

“Kan nggak mungkin manggil kamu Beb atau Sayang. Saya kurang ajar itu namanya,” ucap Alam membela diri.

“Dengan kamu barusan menarik saya ke pinggir, kamu sudah kurang ajar!”

Alam menghela nafas dalam.

“Baik, kalau begitu saya duluan. Saya nggak akan ganggu kamu lagi. Saya minta maaf atas sikap saya barusan. Saya hanya berniat membantu.” Alam menyerah. Ternyata benar kata Guntur, sikapnya yang seperti ini ke orang asing, bisa membuat jengkel.

Alam lalu menyusul Raya. Dia kemudian menghadap Raya namun sambil tetap berlari.

Take care. Saya harap saya bisa lihat kamu di garis finish, Mr. Architect!” ucap Alam sambil melambaikan tangan dan pergi meninggalkan Raya di belakangnya.

[]

RAYA tengah sibuk dengan Surface miliknya sambil menunggu seseorang di dalam mobil. Ia harus menyelesaikan pekerjaannya yang sempat ia tinggalkan beberapa jam karena harus flight mendadak dari Singapura ke Jakarta. Lalu, pandangannya beralih menuju lobby rumah sakit. Seseorang yang sedang ia tunggu sudah berada di sana, tetapi tidak sendiri. Bersama seseorang. Seseorang yang sedikit mengusik Raya.

Sorry, nunggu lama,” ucap Gane masuk ke dalam mobilnya dengan tas ransel warna hitam sambil memegang satu cup minuman di tangan kanannya.

No problem,” Raya lalu meraih tas Gane dan menyimpannya ke jok belakang. Ia kemudian melirik sekilas cup yang dipegang oleh Gane.

“Oh, ini barusan aku ketemu Raga dan dia ngasih hot choco …” ucapan Gane terhenti sejenak, seolah ia telah salah berucap. Sementara Raya tak menunjukkan ekspresi yang berarti. Ia lalu menjalankan mobilnya dan ke luar dari kawasan rumah sakit.

“Papanya Raga dirawat di Siloam, kami nggak sengaja ketemu. Dan dia nawarin beli minuman di cafe, aku udah nolak karena tahu kamu udah bawain aku hot chocolate. Tapi, Raga—”

I know,” ucap Raya sambil mengusap puncak kepala Gane. “Diminum yang dari aku.”

Gane kemudian menukar cup minuman di tangannya dengan minuman yang sudah ada di dekat presneling.

“Masih hangat minumannya?” tanya Raya.

Gane mengangguk.

“Kamu nggak capek? Mau aku aja yang nyetir?” tanya Gane mengusulkan setelah beberapa saat tidak ada yang berbicara.

“Aku nggak capek kok,” jawab Raya meski suaranya mengindikasikan serak karena beberapa hari kurang tidur demi mengejar tenggat waktu pekerjaannya.

“Okay. Kamu kapan ke Tokyo?”

“Besok malam dari SG.”

“Ta,” suara Gane ikut menjadi serak. “Distraksi apa lagi sekarang? Karena aku? Karena aku bikin kamu makin pusing?” tanya Gane dengan nada sedikit meninggi.

“Kebetulan ada event dan aku ikut. That’s it.”

“Kamu nggak maraton karena ada event, Ta. I know you so well,” ucap Gane. Ia lalu menyimpan cup minuman di dekat pintu mobil sampingnya.

You know me so well?” tanya Raya dengan nada datar.

“Iya, aku lupa. Aku nggak tahu apa-apa tentang kamu. Bahkan yang kita jalani sekarang hanya sekadar menjalankan sesuatu aja.”

“Ga, aku ke sini untuk kita bicara. Agar kita bisa sama-sama tenang,” ucap Raya. Mobil pun berhenti karena kemacetan ruas jalan.

“Aku nggak bisa menetap di SG, Ta. Aku ditawari untuk menjadi kepala departemen. Lagipula nggak semudah itu juga untuk bisa praktek di luar negeri,” ucap Gane dalam satu helaan nafas. Seakan hal tersebut sudah ia tahan sejak tadi. “It’s my final answer!” pungkasnya.

Mobil pun melaju meskipun sedikit demi sedikit karena jalanan masih padat merayap. Raya belum merespon. Pandangannya masih tertuju ke depan. Memandangi jalanan Jakarta yang selalu macet apalagi jam pulang kantor.

“Memang harus ada yang mengalah kalau kita mau bersama, Ta. Dan …” Gane meremas tangannya, menghela nafas dalam. “Maaf aku nggak bisa melepas ini.”

“Melepas posisi kamu sebagai calon kepala departemen atau …” Raya lalu memandang Gane di sampingnya. Kalimatnya menggantung di udara. Pandangannya kemudian kembali lurus ke depan. “Nanti aku saja yang pindah ke sini.”

Seriously, Ta?”

“Iya.”

Wajah Gane yang menegang dari tadi, perlahan mulai menampakkan semburat senyuman.

“Kamu pindah kantor atau pindah homebase?”

Homebase,” jawab Raya. Dan senyuman Gane pun kian mengembang.

“Makasih, Ta.”

“Tapi ada satu syarat,”

“Apa?”

Raya lalu menatap Gane dengan lekat. “Aku ingin kita menikah bulan depan.”

“Mahanta!” Gane kaget dengan permintaan Raya yang begitu tiba-tiba.

Mereka sudah sering membahas tentang pernikahan dan rencananya akan diadakan pada tahun ini. Tetapi, untuk menikah bulan depan sangatlah terlalu cepat dan mendadak.

“Aku belum bilang apa-apa sama Mama.”

“Bisa bicara besok.”

“Ta, nggak segampang itu bicara sama Mama. Kamu tahu sendiri, kan? Hubungan aku sama Mama juga lagi nggak bagus sekarang-sekarang ini.”

“Perbaiki.”

“Kenapa semua seakan mudah untuk kamu?”

“Mudah?” Raya menaikkan satu alisnya. “Pindah homebase nggak mudah, Ga.”

Gane semakin kuat meremas tangannya. Berbicara dengan Raya memang selalu tidak mudah. Senyumnya yang barusan mengembang, sekarang telah menguap entah kemana.

“Kita sama-sama mengalah, Gane. Jika aku mengalah dalam urusan karir dan pekerjaan, maka kamu mengalah untuk urusan itu.”

Mobil pun telah sampai di Apartemen Gandaria. Gane mengambil tasnya di jok belakang dan cup minumannya yang berada di pintu samping mobil.

“Terima kasih. Safe flight untuk besok,” ucap Gane tanpa melihat Raya dan bahkan tak menunggu respon dari Raya. Ia langsung ke luar dari mobil dan menuju lobby apartemennya.

Pembicaraan yang tak pernah menemui titik tengah.

Setelah Gane menghilang dari pandangannya, Raya kemudian melirik cup minuman di dekat persneling mobilnya. Ia lalu mengambil cup itu kemudian berjalan ke luar dan membuangnya ke tempat sampah.

[]

pov: jimin

“perkenalkan nama saya taehyung. saya data analyst baru di sini. mohon bimbingannya.”

gue hanya acuh menanggapi senyum dan perkenalan anak baru itu. dia mungkin ga akan bertahan lama. sama seperti yang udah-udah. dan juga mungkin akan memberikan kekesalan kepada gue. beberapa bulan yang lalu, gue berkata seperti itu.

dan tahu lucunya apa? sekarang anak baru itu sedang duduk di samping gue. mengenalkan dengan lantang kepada ibu dan bapaknya bahwa gue adalah pacarnya. dunia memang mengejutkan.

beberapa bulan lalu, ga pernah sedikit pun terbersit di pikiran gue untuk berhubungan secara personal dengan siapapun. apalagi rekan sekantor. gue pun hanya berpikir statis bahwa hidup gue cuma diisi dengan pekerjaan. ketika gue bosen, gue bisa cari the one night, lalu setelahnya kembali dengan rutinitas yang memuakkan: living in the dark night.

gue dulu hanya menganggap cinta itu cuma bualan. cerita fiksi yang selalu dibuat ideal oleh para penulisnya. gue pernah begitu dalamnya pada seseorang, lantas ditinggal pada hari dimana itu seharusnya menjadi hari paling bahagia dalam hidup gue. sial. naas. sampai pada satu titik gue benci pada diri gue sendiri. apa sebegitu ga pantesnya gue buat bahagia?

hingga tiba suatu malam.

saat itu gue benar-benar marah. butuh distraksi pekat yang bisa menghilangkan sakit di kepala dan sesak di dada gue.

lalu, dia datang. menyelamatkan gue yang sudah siap untuk terjun bebas ke jurang.

yang, dance with me.”

sebuah kalimat paling aneh yang pernah gue denger. anak baru di kantor gue itu tiba-tiba datang—tanpa diundang, tanpa dipersilakan— meluluhlantakkan tembok pertahanan gue.

“mau gimana?”

kiss me. the whole of my body.”

gue yang saat itu dipengaruhi oleh banyak alkohol dalam tubuh gue, memintanya menjelajahi tubuh gue. dan gue menangis di tengah sesi bercinta itu.

“kenapa?” tanyanya dengan mata yang nanar. “did i hurt you?”

no! no! you're fucking good, but i—

gue frustasi. gue sedih. dan juga mengasihani diri gue yang ternyata begitu rapuh. hanya sebuah sentuh lembut bisa memporak-porandakan gue. dan semua itu karena dia.

taehyung ... please,”

segitu merananya gue mendamba cinta. gue yang selalu bersikap dingin dan acuh, ternyata semua hanya tameng. gue ingin disayang. dan dia telak membuat gue merasa gila-segilanya.

jadi kesimpulannya, i'm in love with him. so much.

udah ga bisa mikir lagi. gue cuma mau ketemu dia, mau lihat muka dia, mau pegang tangannya, mau dipeluk dia, dan menginginkan segalanya darinya.

apa masa-masa malam yang gelap itu akan segera berakhir?

sebab, gue merasa hangat.

“mi, kamu ga apa-apa?” tanya dia selepas makan siang bersama keluarganya. dia mengajak gue ke kamarnya. gue rasanya mau menangis sekarang. “maaf, ya.”

ngga. ngga. lo ga salah apa-apa, ta. gue ingin mengatakan itu, tetapi mata gue hanya bisa menunduk. dada gue terlalu sesak.

“makan yang banyak, ya. ini ibu sudah buatkan telor ceplok.” ucap ibunya taehyung saat itu. gue cuma memandangi piring di depan gue yang sudah diisi nasi, sayur, tempe, dan telor ceplok. seperti inikah meja makan keluarga? gue ga pernah memilikinya. gue ga pernah merasakannya sebelumnya.

lalu, dia pun memeluk gue. usapannya begitu lembut di punggung gue. dia yang selalu bisa menenangkan gue. tanpa ada tanya lagi.

kenapa gue baru ketemu dia sekarang? kenapa ga dari 20 tahun lalu? kenapa ga dari awal? tanya itu membumbung dalam pikiran gue. namun, setelahnya gue sadar bahwa ga ada yang terlalu cepat, pun ga ada yang terlambat. semua sudah ada garis waktunya. seperti gue yang menemukan taehyung, my daylight.

“mi,” dia melepaskan pelukannya. menatap gue—dengan penuh cinta. gue sangat suka. apalagi setelahnya, ia merengkuh pipi gue.

it's golden now. i'm no longer living the dark night.

i love you.” ucapnya. dan dia langsung mencium bibir gue. mata gue terpejam. gue ingin menikmatinya. setiap lumatan. setiap pergerakan lidahnya yang telah menguasai mulut gue. taehyung memang magis. dia sukses membuat pikiran gue penuh akan dirinya. dan itu semakin membuat gue menginginkan hal yang lebih.

badan gue mulai menegang. tangan taehyung sudah masuk kedalam pakaian gue. meraba apa yang ada di sana. gue ingin dia.

“ta ... gue—”

“taehyung jimin, ini pisang gorengnya!”

BRAKK!

gue terdorong ke ranjang dengan wajah yang langsung tertutupi bantal. DAMN!

“ibu, kenapa ga ngetuk dulu sih?”

“ibu udah ketuk beberapa kali, kamu budeg!”

gue rasanya ingin pergi saja. namun, tidak memiliki energi bahkan untuk bangkit.

“itu jimin kenapa?”

“tidur.” jawab dia sekenanya. “udah ibu kesana.”

“ya, kamu ngapain disini kalau jiminnya tidur?”

gue ga tahu harus gimana. kalau gue bangun, maka suasana akan lebih canggung. dan gue malah pura-pura tidur. memalukan

“iya, nanti keluar.”

tak ada suara lagi sampai gue mendengar pintu tertutup. gue pun mengintip sedikit dari tumpukan bantal.

“ta,”

“gue mau nangis.”

sekarang malah giliran dia yang mau menangis.

“malu banget, astaga.”

sama. gue juga, ta.

dan aktivitas selanjutnya sudah jelas tak mungkin dilanjutkan.

“aku keluar, ya.” ucapnya.

i love you, ta.” balas gue ketika dia akan membuka pintu.

taehyung pun menoleh ke gue. ia tersenyum manis. sangat manis.

i know.” balasnya sambil mengecup kening gue.

sekarang gue berani mengatakan bahwa, gue adalah orang paling bahagia sedunia.

sebab, ada taehyung di sisi gue.

[]

Taehyung sekarang sudah berdiri di depan pintu unit apartemen milik Jimin. Di tangannya sudah menggantung tote bag yang berisi satu buah lunch box. Setelah mendapatkan informasi dari Yoongi mengenai keadaan Jimin, Taehyung buru-buru membuatkan bubur. Plain. Tidak ada topping. Setidaknya agar perut Jimin terisi makanan yang mudah untuk mencernanya.

Dia seakan lupa bahwa beberapa jam lalu, mereka berantem–untuk pertama kalinya dan dengan tensi yang tinggi–selama fase pendekatan ini. Namun, Taehyung menyingkirkan fakta tersebut. Yang terpenting sekarang adalah menengok Jimin dulu.

Ting tong.

Bel pun berbunyi. Taehyung cemas sambil menggigiti kukunya. Bagaimana kalau Jimin sedang kesakitan di dalam? Bagaimana kalau dia pingsan sehingga tidak bisa membukakan pintu untuknya? Dan berbagai pemikiran-pemikiran lain memenuhi Taehyung sekarang.

Ceklek.

Pintu terbuka perlahan. Taehyung memusatkan pandangannya. Terlihat Jimin sendiri yang membukakan pintu. Postur tubuhnya sedikit membungkuk. Wajahnya pucat dengan bibir yang kering. Dan punggung tangannya tertempel plester. Persis seperti orang yang baru saja kabur dari rumah sakit.

“Ta,” panggil Jimin dengan suara parau. Taehyung hanya bisa menatap dengan matanya yang telah berkaca-kaca. Ia sedih. Ia tak suka melihat Jimin seperti ini. “Masih ma—”

Jimin belum melanjutkan kata-katanya sebab Taehyung sudah masuk ke apartemen Jimin. Tanpa kata. Dan benar kata Yoongi, Jimin mungkin saja sedang bekerja. Hal ini terlihat bahwa laptop miliknya menyala di atas meja kerjanya.

“Lo masih kerja dengan keadaan begini?” ucap Taehyung sambil membuka lunch box di atas meja makan.

“Gue ngga apa—”

“Diem!” Taehyung marah dan kesal. Bisa-bisanya tangan masih bekas suntikan sudah digunakan untuk mengetik di laptop. Once workaholic, always workaholic.

“Barusan … ada yang harus …” Jimin terhenti ucapannya. Pandangan Taehyung langsung mengarah kepada Jimin yang sedang menumpu tubuhnya dengan satu tangannya di sofa. Sementara satu tangannya lagi memegang perut atasnya di sebelah kiri.

Gue ngga apa-apa.” ucap Taehyung dengan nada meledek. “Lo udah kayak buronan yang baru keluar dari rumah sakit.” Taehyung langsung menghampiri Jimin. Kemudian mengangkat tubuhnya ala bridal yang tentu saja membuat Jimin kaget.

“Kalau sakit tuh tidur, bukan kerja.” Dan Taehyung membawa Jimin ke ranjangnya lalu membaringkannya. Setelah itu, tanpa melihat respon Jimin, Taehyung kembali ke meja makan. Ia menempatkan mangkuk bubur, sendok, botol air mineral, sedotan, dan obat-obatan yang tersimpan di meja kerja Jimin dalam satu nampan. Kemudian membawanya ke kamar Jimin.

“Ta …” panggil Jimin yang sedang bersandar di dinding ranjang.

“Makan dulu sedikit, udah itu minum obat, terus tidur.”

“Taehyung,”

“Buka mulutnya.” Taehyung seakan tak memberikan kesempatan Jimin untuk berbicara. Jimin hanya bisa menurut. Membuka mulutnya perlahan. Dan satu sendok bubur sudah masuk ke dalam mulutnya.

“Buka lagi mulutnya.”

“Masih ada.”

Taehyung lalu menghela nafas dalam. Jimin sudah seperti balita yang senang mengemut makanan. “Cepet ditelen. Jangan didiemin lama di mulut.”

“Kenyang, Ta.”

“Astaga.” Taehyung kembali menghela nafas dalam. “Satu suap lagi, ya.”

“Diusap …”

“Hm?”

“Pipinya diusap baru mau.”

Taehyung memejamkan matanya sebentar. Ia menarik nafas dalam. Jimin dan segala sikapnya yang dapat berubah-ubah. Taehyung menjuluki Jimin sebagai Bunglon. Memang iya demikian. Jimin sangat galak dan perfectionist as boss, bisa menjadi manis dan lembut ketika mereka berkencan, dan juga dapat begitu menggemaskan nan manja ketika makan dan sakit seperti ini.

Ia pun menuruti keinginan Product Manager-nya itu. Taehyung usap pipi Jimin. Badannya hangat. Dan bisa-bisanya ia masih bekerja dalam kondisi seperti itu. Ia menjadi kesal kembali.

Lalu, tangan Taehyung digenggam oleh Jimin, kemudian ia kecup.

“Maaf, Ta …”

Taehyung lekas menarik tangannya. Afeksi yang Jimin berikan barusan, langsung menimbulkan reaksi kepada dirinya. Ritme jantungnya berdetak tak beraturan.

“Satu suap lagi.”

Jimin tak langsung membuka mulutnya. Ia menatap Taehyung dengan tatapan yang semakin membuat Taehyung hilang fokus. Tetapi, ia tak mau kalah. Ia tak ingin terlena.

“Mi, buka mulutnya.”

Jimin pun akhirnya membuka mulutnya. Mengunyah pelan buburnya. Taehyung lalu membuka botol dan menaruh sedotan di sana. “Minum dulu.” Jimin menurutinya. “Udah ini minum obat.”

“Ta … gue mau ngomong.”

“Nanti aja.”

Taehyung tahu apa yang akan Jimin katakan. Tetapi, dengan kondisi begini, lebih baik Jimin istirahat dulu. Pembicaraannya dapat dilakukan setelah ia pulih. Namun, bukanlah Jimin jika tidak keras kepala.

“Mau sekarang.”

“Yaudah, tapi minum obat dulu.” Taehyung lalu memberikan Jimin obat-obatan yang Yoongi instruksikan sebelumnya. Ia tegak dalam sekali minum.

“Sudah boleh ngomong?”

“Ya.”

“Lihat sini, Ta.”

Taehyung sebenarnya enggan. Sebab, kelemahannya adalah mata Jimin. Tatapannya selalu membuat Taehyung tak bisa menolak. Dan semakin menginginkannya.

“Iya, Ta. Undangan itu adalah undangan pernikahan gue.”

Dada Taehyung kembali nyeri. Ia masih ingat ketika ia menemukan undangan itu di tumpukan berkas di meja Hoseok, dadanya seperti dihantam palu gada. Sakit. Dan nyaris patah.

“Tapi, dia tidak datang.”

Taehyung langsung menatap ke arah Jimin yang tengah menunduk sambil memegang perutnya. “Semua sudah dibayar, tetapi pihak hotel datang dan mengatakan bahwa biayanya baru dibayarkan setengahnya. Dia bawa segalanya. Tetapi ninggalin gue.”

“Mi …”

“Katanya … gue terlalu egois. Terlalu kerja bekerja sampe ga bisa ngurusin pernikahan. Dia bawa semuanya karena itu … itu …”

“Udah, Mi, nanti aja jelasinnya.”

“Gue bahkan merasa kenapa dunia selalu jahat sama gue. Apa gue ga boleh buat bahagia? I once believed love would be black and white. I once believed love would be burnin' red. Until I met you.”

“Jimin …” Dada Taehyung perlahan menghangat.

“Gue memang bukan orang baik. Gue brengsek, Ta. After that, I didn’t believe love. Gue cuma main-main. Semalam. Lalu, pergi. Karena … karena gue takut gue yang ditinggalin duluan, makanya gue yang pergi lebih dulu.”

“Mi …”

Taehyung langsung memeluk Jimin. Mengusap punggungnya perlahan. Jimin kini tengah menangis di pundaknya. Dan Taehyung seakan dapat merasakan begitu pelik dan sakitnya hidup Jimin sebelumnya. Hatinya ikut sakit.

“Gue … gue ngga akan begitu ke lo, Ta. Jika … jika lo izinkan, gue mau … gue mau menetap. Gue hanya mau dengan lo.”

Taehyung mengeratkan pelukannya. Sebab, ia pun inginkan hal yang sama.

I don't wanna look at anything else now that I saw you, Ta.” ucap Jimin dengan suara yang semakin pelan. “I don't wanna think of anything else now that I thought of you.”

Pegangan Jimin pun sama eratnya. Ia tenggelam dalam ceruk leher Taehyung.

I like you, Taehyung. So much.”

Dan suara dengkuran kecil terdengar. Jimin tertidur dalam pelukan Taehyung. Obatnya sudah bereaksi. Membuat Jimin terlelap dengan tenang.

Me too.” jawab Taehyung sambil mengecup kening Jimin.

[]

pov: taehyung

pokoknya salahin seokjin. apapun itu yang akan terjadi kedepannya di kehidupan gue, semua ini salah seokjin.

breath in and out.

gue ini pada dasarnya memegang suatu prinsip yang diambil dari lirik lagu d'masiv, aku hidup di dunia ingin tenang baik-baik saja. that's it! tapi kayaknya ngga akan begitu lagi. semua berubah sejak gue kerja di perusahaan yang sekarang. huft!

bayangin coba jadi gue? waktu kerja di kontrak, setahu gue sih mulainya jam 9 pagi sampai jam 5 sore. ya, emang ada istilah lembur dengan term and condition. tapi bagi gue, lembur itu udah jadi ordinary life alias saban hari lembur. ada aja kerjaan yang mesti gue kerjain— ditambah gue di bawah supervisi seorang product manager bernama park jimin. makin-makin aja rasanya.

YES, THAT'S GUY!

orang yang udah buat kehidupan gue isinya kerja, kerja, dan kerja. udah mirip sama kabinet bapak presiden. gue sampai lupa rasanya menikmati hidup karena kehidupan gue sekarang isinya cuma laptop, data, report, dan wajah ganteng si product manager. iya, dia emang ganteng. sebagai lelaki dewasa, gue bahkan pernah memikirkan jika suatu hari nanti, gue bisa buat si PM itu tergila-gila ke gue. karma is my boyfriend. saking gue keselnya tiap hari dikerjain oleh dia; dikasih kerjaan seabreg dengan tenggat waktu yang ga logis. mbak roro jonggrang kasih deadline ke mas bandung bondowoso itu sehari semalam, sementara gue kadang harus selesai dalam hitungan jam dan itu ia mandorin alias duduk di sebelah gue. sungguh luar biasa.

“gue sumpahin lo bakal sukak sama gue!”

itu awalnya sekadar kalimat impulsif gue doang. tetapi temen gue, si seokjin, malah ngasih ide-ide lain yang bikin pikiran gue tambah liar. contohnya yang terjadi sekarang.

sekali lagi gue tekankan bahwa semua ini salah seokjin.

malam ini gue cuma ingin having fun dan ajojing ditemani lagu-lagu yang DJ favorit gue aka DJ Johnny mainkan di club. meskipun gue tahu ini weekday dan besok tetep ngantor tapi bodo amat gue terobos aja, sebab dunia gue udah terlalu sesak akan sosok park jimin. namun, sialnya ... huft, gue malah ketemu dia di club. dia yang lagi digangguin sama cowok yang jelas lebih ganteng gue kemana-mana. gue beneran deh mau pura-pura ga lihat. terserahlah dia mau digangguin, digodain, atau setelahnya ga tahu mau diapain sama stranger itu, jelas bukan urusan gue. tetapi si seokjin sok ngide buat gue nolong bapak PM tercinta itu.

ah, sial!

gue yang memegang prinsip hidup tenang dan baik-baik saja, langsung berjalan nyamperin dan narik tangan beliau sambil ngomong, “yuk, yang, dance with me.” sumpah demi tuhan, gue rasanya mual sama ke-cringe-an gue ini. yang? ya ampun, tae, lame. this is so fcking lame! mau nangis gue rasanya, tapi karena gue udah setengah mabok saat itu, jadi yaudah deh. yang penting intinya sih gue bisa bawa kabur jimin dari si cowok itu.

dan jiminnya mau. tanpa penolakan. seolah dia mengiyakan ajakan dan panggilan yang untuk dirinya.

gue ga lihat ekspresi si cowok asing itu setelahnya, gue hanya bawa jimin ke lantai dansa karena DJ Johnny udah make some noise dari tadi dan fokus gue bukannya ajojing dengan lagu yang lagi diputar oleh si DJ, malah natap awas takutnya si cowok aneh itu ngikutin.

“lo ngapain?”

suara jimin barusan menyadarkan tatapan awas gue dari lingkungan sekitar. dan gue baru ngeh karena jimin udah sedekat ini sama gue. mana gue—tanpa sadar— megang pinggangnya lagi. my life is on danger right now.

“gue jauhin lo dari cowok itu.”

“gue bisa atasinnya sendiri.”

dih. malesin. kenapa ya gue sok heroik sih? gue mencaci diri gue sendiri. bos angkuh, galak, workaholic, kayak bunglon, bengis, macam dia, seharusnya ga usah gue tolongin. bagusnya gue pura-pura ga lihat aja. tapi, gue punya moral dan diajarkan oleh ibu gue bahwa gue harus berbuat baik, meski orang kadang anjing juga. huft, gue menghela nafas dalam.

“yaudah, sana.” ucap gue. kesel.

tapi, jimin bukannya pergi dan mundur, ia malah semakin mendekatkan tubuhnya ke gue. tangannya meremas kecil jaket gue di bagian pinggang. matanya langsung nunduk dan tubuhnya gemetar. gue auto paniklah.

“kenapa?”

jimin ngga jawab.

“dia nyamperin kesini?”

gue langsung spontan puter balik tubuh jimin dan sekarang di penglihatan gue ada itu cowok aneh yang bener-bener udah tinggal beberapa langkah mau ngedeket ke arah gue dan jimin. fix, dia cowok gila.

cup!

sinting. gue sinting banget. salahin seokjin, ingat! dan juga salahin alkohol yang udah ada di badan gue— yang memengaruhi keputusan gue hari itu. tapi gue ga nyesel, sungguh.

gue melekatkan bibir gue ke bibir sang product manager. gila kan gue? emang! dan gue langsung memejamkan mata gue. kenyal.

duh, kenapa sih dari sekian banyak kosa kata, gue malah milih kata kenyal? ck, tapi iya sih. ah, ga tahu, gue rasanya udah hilang kewarasan karena gue ga ingin cuma nempel doang.

gue lalu memajukan wajah gue, merengkuh wajahnya, dan membuka bibirnya yang kenyal itu dengan bibir gue.

manis. sangat manis.

gue melumatnya. tangan gue yang satu lagi udah turun ke pinggangnya dan ngusap perlahan. gue terlalu terbawa suasana. atau dia juga sama. karena ga ada perlawanan. ga ada tamparan, tendangan, atau makian yang gue terima dari ciuman dadakan itu. sampai gue lepas ciuman itu, gue hanya lihat wajahnya memerah dengan bibir yang basah karena ulah gue. dan cowok aneh itu pun udah hilang dari pandangan.

mata jimin pun terbuka perlahan. bibirnya masih belum mengatup, masih terbuka sedikit. nafasnya tersengal sama seperti nafas gue. okay, jika setelah ini gue dihajar oleh dia, gue cuma bisa pasrah.

“udah?”

“ha?”

“segitu aja?”

“HA?”

gue kaget. mata gue udah melotot. gue padahal udah siap dengan segala konsekuensi atas perbuatan tanpa consent yang gue lakuin barusan, tapi dia malah jawab begitu seakan ... ah, stop! gue ga mau berasumsi lebih.

“maksudnya?”

i want it more.”

SINTING! ini yang hilang bukan hanya kewarasan gue, tapi kewarasan dia juga.

“di mana?”

duh, pokoknya salahin seokjin. salahin kenapa gue mabok juga.

“di apartemen gue.”

dan sekarang tangan gue digenggam oleh dia. gue dibawa pergi dari lantai dansa club. gue beneran udah lupa niat awal gue datang ke club ini untuk apa.

udahlah gue pasrahkan kepada langit bahwa nanti jika besok gue ga ngantor, ya bukan salah gue sepenuhnya.

[]