Himalaya
Lucu rasanya setiap kali Kalandra melintasi Jalan Kota Kasablanka. Di masa lalu, ia pernah balapan dengan manusia yang ia benci dan berakhir dengan berkelahi dengannya. Namun, lihatlah ia sekarang— sedang memeluk lelaki yang dulu paling ia benci itu di atas motor. Rasa benci itu seolah menguap tak bersisa sedikit. Ia bahkan jatuh berkali-kali pada laki-laki itu. Aneska Dewandaru.
“Kala,” panggil Aneska sambil mengusap lembut tangan Kala yang melingkar di pinggangnya.
“Hm,” Kala berdehem sambil meletakkan dagunya di bahu Aneska, mencoba mendengar suara laki-laki itu lebih dekat.
“Cuma manggil aja.” Bukan Aneska jika tidak jahil dan Kalandra langsung mencubit perut Aneska.
“Ih ... KDRT!”
“Makanya jangan kebiasaan.“
Tak ada suara lagi. Kalandra malah semakin erat memeluk Aneska. Mencium wangi parfum vanilla yang ia pilihkan untuk Aneska. Wangi yang Kalandra suka, apalagi jika Aneska yang menggunakannya. Kalandra memang tidak seperti Aneska yang mencintainya secara ugal-ugalan, Kalandra lebih seperti menerima meskipun sejatinya ia justru lebih brutal dalam hal mencintai. Contohnya, ia bahkan—
“Kala cinta ngga sama Mas?”
Apalagi ini? Kalandra hanya bisa menghela nafas dalam. Laki-laki ini selalu ada-ada saja.
“Jawab ih, Kala.” ucap Aneska merengek di atas motor sport-nya. Sungguh sebuah duality.
“Masih tanya hal yang begitu?” ucap Kalandra bertanya balik. Bukannya semua sudah sangat jelas?
“Mas butuh afirmasi.”
Hm, Kalandra mendengus sebal.
“Kalau Mas suruh aku lompat dari motor sekarang—”
“Jangan pakai perumpamaan yang ekstrim begitu.” Aneska langsung cepat memotong ucapan Kalandra.
“Apa sih kan belum selesai ngomongnya.” jawab Kalandra ikutan kesal. “Mana mau aku lompat dari motor, gila aja.” tambah Kalandra. Dan terlihat Aneska mengangkat bahunya cepat. Ia pasti sedang jengkel. Gantian makanya jangan usil.
“Oh, jadi segitu cinta Kalandra buat Mas?” ucap Aneska seakan tidak terima. Jika Kalandra bisa melihat wajah Aneska sekarang, sudah pasti laki-laki itu sedang memajukan bibirnya.
“Udah fokus nyetir aja. Jangan ngomong yang aneh-aneh.”
“Pokoknya nanti pas konser, kita ciuman!”
Plak! Kalandra memukul helm yang Aneska kenakan. Sungguh luar biasa berpacaran dengan Aneska, menguras batin dan emosi Kalandra.
“Fokus nyetir sana. Dan ga ada yang kayak gitu!” Kalandra menutup perbincangan di atas motor dengan Aneska, sampai akhirnya mereka tiba di venue konser.
Suasana sudah mulai ramai oleh banyak orang. Kalandra melihat ke kiri dan ke kanan, siapa tahu ia bertemu dengan seseorang yang ia kenal.
“Biru sama Jingga udah masuk.” ucap Aneska seolah tahu maksud Kalandra. “Kita santai aja, ya. Ngga usah buru-buru dapat front row, yang penting didalem bisa ciuman pas lagu Himalaya. Aw … Kalandra ih KDRT terus.” Aneska langsung mengaduh di kalimat terakhir karena mendapatkan cubitan di perutnya.
Mereka pun masuk sesuai section tiket yang sudah Aneska beli jauh-jauh hari. Dan dari awal masuk, tangan Aneska menggenggam erat tangan Kalandra. Seakan tak ingin jauh dari kekasih hatinya itu.
“Kalandra sudah hapalkan semua lagunya?” tanya Aneska dengan mata yang berbinar. Ia sungguh sangat antusias. Aneska bahkan memberikan daftar lagu-lagu yang akan dibawakan di konser beserta dengan lirik lagunya.
“Ngga semua.”
“Yaudah ga apa-apa yang penting nikmati saja, ya.”
Kalandra mengangguk. Dia memerhatikan dari samping. Mata Aneska berbinar. Senyumnya merekah. Itu semua membuat dada Kalandra menghangat. Aneska sangat bahagia hari itu. Dan semakin terpancar ketika konser dimulai.
“Kala~~ seperti apa yang selalu ku nantikan, aku inginkan. Kala~~ melihatku apa adanya. Seakan ku sempurna.“
Aneska mengganti lirik “dia” menjadi “Kala”. Sontak wajah Kalandra memerah bukan main.
“Mas.” Aneska mengeratkan genggamannya dan membawa tangan Kalandra ke dadanya.
“Dia bukakan pintu hatiku yang lama tak bisa percayakan cinta. Hingga dia di sini, memberi cinta ku harapan. Kala~~~“
Aneska meneriakkan kata Kala dengan keras dan membuat penonton lain memperhatikannya. Aneska tak peduli. Ia serasa menjadi pemeran utama dalam konser ini di mana Kalandra adalah cinta dari sang tokoh utama.
“Mas, malu ih dilihat banyak orang.” Kalandra bersembunyi di balik punggung Aneska. Wajahnya sudah benar-benar merah padam.
“Ini tuh original soundtrack Mas buat Kala.” ucap Aneska. “Sini jangan sembunyi.“
Aneska lalu menarik tubuh Kalandra dan merangkulnya dari belakang. “Sayang banget sama Kala.” Dan kecupan singkat mendarat di pipinya. Kalandra rasanya ingin melebur.
Kalandra hanya sesekali melihat band di depannya. Fokusnya adalah kepada laki-laki di sampingnya itu. Yang tak henti bernyanyi dan bahkan mengajak Kala menari di saat lagunya up beat serta di setiap lirik— yang kata Aneska itu adalah curahan hatinya untuk Kalandra— ia pasti akan menyanyikannya langsung sambil memandang Kalandra dengan lekat.
“Maukah kau 'tuk menjadi pilihanku, menjadi yang terakhir dalam hidupku? Maukah kau 'tuk menjadi yang pertama yang slalu ada di saat pagi ku membuka mata?“
Aneska menyanyikannya sambil memandang Kalandra. Bohong jika Kalandra mengatakan jika ia tidak salah tingkah. Ia telah kalah telak dari Aneska.
“Jadilah yang terakhir, 'tuk jadi yang pertama, 'tuk jadi selamanya~~“
Cup. Tangan Kalandra dikecup manis oleh Aneska. Sungguh. Sungguh Kalandra ingin pingsan. Habis dia hari ini.
“Kala … Kala … Ini our national anthem!” ucap Aneska sangat antusias. Peristiwa barusan saja Kalandra belum sepenuhnya pulih, kini ia akan mendapatkan semburan cinta dari Aneska lewat lagu … Tentu saja Himalaya.
“Coba khayalkan sejenak sepuluh tahun nanti hidupmu~“
Kalandra terpana melihat Aneska.
“Misalkan itu aku yang terakhir untukmu, untuk itu kan kupersembahkan …“
Aneska.
“Himalaya bahkan akan aku taklukkan~“
I love you.
Kalandra mungkin sudah terbawa suasana. Kalandra mungkin sangat di tahap menggilai laki-laki yang usianya hanya berjarak 2 bulan darinya. Dan Kalandra mungkin sudah tak bisa lagi menahan diri.
Tangan Kalandra kini sudah melingkar di leher Aneska. Kakinya berjinjit agar ia mampu memberikan sebuah ciuman di bibir Aneska. Masa bodoh jika ia menjadi pusat perhatian saat itu. Kalandra … Kalandra hanya ingin meluapkan rasa cintanya kepada Aneska. Dan pagutan itu semakin lembut dan manis. Sangat manis.
“Kala …” ucap Aneska ketika pagutan itu terlepas. Bibirnya merah dan basah. Kalandra mengusapnya perlahan.
“Mas, ayo kita nikah. Kala ingin selamanya sama Mas Anes.”
Kalandra langsung menghamburkan tubuhnya ke dada Aneska. Memeluk anak Dewandaru itu dengan erat.
“Iya, Sayang. Kita akan menikah. Kita akan menikah sebentar lagi.”
Dan hari itu Kalandra dan Aneska serasa mencapai puncak tertinggi bersama tujuh warna pelangi.
[]