petrichorgreeny

Lucu rasanya setiap kali Kalandra melintasi Jalan Kota Kasablanka. Di masa lalu, ia pernah balapan dengan manusia yang ia benci dan berakhir dengan berkelahi dengannya. Namun, lihatlah ia sekarang— sedang memeluk lelaki yang dulu paling ia benci itu di atas motor. Rasa benci itu seolah menguap tak bersisa sedikit. Ia bahkan jatuh berkali-kali pada laki-laki itu. Aneska Dewandaru. 

“Kala,” panggil Aneska sambil mengusap lembut tangan Kala yang melingkar di pinggangnya.

“Hm,” Kala berdehem sambil meletakkan dagunya di bahu Aneska, mencoba mendengar suara laki-laki itu lebih dekat. 

“Cuma manggil aja.” Bukan Aneska jika tidak jahil dan Kalandra langsung mencubit perut Aneska. 

“Ih ... KDRT!”

“Makanya jangan kebiasaan.“ 

Tak ada suara lagi. Kalandra malah semakin erat memeluk Aneska. Mencium wangi parfum vanilla yang ia pilihkan untuk Aneska. Wangi yang Kalandra suka, apalagi jika Aneska yang menggunakannya. Kalandra memang tidak seperti Aneska yang mencintainya secara ugal-ugalan, Kalandra lebih seperti menerima meskipun sejatinya ia justru lebih brutal dalam hal mencintai. Contohnya, ia bahkan—

“Kala cinta ngga sama Mas?”

Apalagi ini? Kalandra hanya bisa menghela nafas dalam. Laki-laki ini selalu ada-ada saja. 

“Jawab ih, Kala.” ucap Aneska merengek di atas motor sport-nya. Sungguh sebuah duality.

“Masih tanya hal yang begitu?” ucap Kalandra bertanya balik. Bukannya semua sudah sangat jelas?

“Mas butuh afirmasi.”

Hm, Kalandra mendengus sebal. 

“Kalau Mas suruh aku lompat dari motor sekarang—”

“Jangan pakai perumpamaan yang ekstrim begitu.” Aneska langsung cepat memotong ucapan Kalandra. 

“Apa sih kan belum selesai ngomongnya.” jawab Kalandra ikutan kesal. “Mana mau aku lompat dari motor, gila aja.” tambah Kalandra. Dan terlihat Aneska mengangkat bahunya cepat. Ia pasti sedang jengkel. Gantian makanya jangan usil.

“Oh, jadi segitu cinta Kalandra buat Mas?” ucap Aneska seakan tidak terima. Jika Kalandra bisa melihat wajah Aneska sekarang, sudah pasti laki-laki itu sedang memajukan bibirnya. 

“Udah fokus nyetir aja. Jangan ngomong yang aneh-aneh.”

“Pokoknya nanti pas konser, kita ciuman!”

Plak! Kalandra memukul helm yang Aneska kenakan. Sungguh luar biasa berpacaran dengan Aneska, menguras batin dan emosi Kalandra.

“Fokus nyetir sana. Dan ga ada yang kayak gitu!” Kalandra menutup perbincangan di atas motor dengan Aneska, sampai akhirnya mereka tiba di venue konser.

Suasana sudah mulai ramai oleh banyak orang. Kalandra melihat ke kiri dan ke kanan, siapa tahu ia bertemu dengan seseorang yang ia kenal.

“Biru sama Jingga udah masuk.” ucap Aneska seolah tahu maksud Kalandra. “Kita santai aja, ya. Ngga usah buru-buru dapat front row, yang penting didalem bisa ciuman pas lagu Himalaya. Aw … Kalandra ih KDRT terus.” Aneska langsung mengaduh di kalimat terakhir karena mendapatkan cubitan di perutnya. 

Mereka pun masuk sesuai section tiket yang sudah Aneska beli jauh-jauh hari. Dan dari awal masuk, tangan Aneska menggenggam erat tangan Kalandra. Seakan tak ingin jauh dari kekasih hatinya itu. 

“Kalandra sudah hapalkan semua lagunya?” tanya Aneska dengan mata yang berbinar. Ia sungguh sangat antusias. Aneska bahkan memberikan daftar lagu-lagu yang akan dibawakan di konser beserta dengan lirik lagunya. 

“Ngga semua.”

“Yaudah ga apa-apa yang penting nikmati saja, ya.”

Kalandra mengangguk. Dia memerhatikan dari samping. Mata Aneska berbinar. Senyumnya merekah. Itu semua membuat dada Kalandra menghangat. Aneska sangat bahagia hari itu. Dan semakin terpancar ketika konser dimulai. 

Kala~~ seperti apa yang selalu ku nantikan, aku inginkan. Kala~~ melihatku apa adanya. Seakan ku sempurna.“ 

Aneska mengganti lirik “dia” menjadi “Kala”. Sontak wajah Kalandra memerah bukan main. 

“Mas.” Aneska mengeratkan genggamannya dan membawa tangan Kalandra ke dadanya.

Dia bukakan pintu hatiku yang lama tak bisa percayakan cinta. Hingga dia di sini, memberi cinta ku harapan. Kala~~~“ 

Aneska meneriakkan kata Kala dengan keras dan membuat penonton lain memperhatikannya. Aneska tak peduli. Ia serasa menjadi pemeran utama dalam konser ini di mana Kalandra adalah cinta dari sang tokoh utama. 

“Mas, malu ih dilihat banyak orang.” Kalandra bersembunyi di balik punggung Aneska. Wajahnya sudah benar-benar merah padam.

“Ini tuh original soundtrack Mas buat Kala.” ucap Aneska. “Sini jangan sembunyi.“ 

Aneska lalu menarik tubuh Kalandra dan merangkulnya dari belakang. “Sayang banget sama Kala.” Dan kecupan singkat mendarat di pipinya. Kalandra rasanya ingin melebur.

Kalandra hanya sesekali melihat band di depannya. Fokusnya adalah kepada laki-laki di sampingnya itu. Yang tak henti bernyanyi dan bahkan mengajak Kala menari di saat lagunya up beat serta di setiap lirik— yang kata Aneska itu adalah curahan hatinya untuk Kalandra— ia pasti akan menyanyikannya langsung sambil memandang Kalandra dengan lekat.

Maukah kau 'tuk menjadi pilihanku, menjadi yang terakhir dalam hidupku? Maukah kau 'tuk menjadi yang pertama yang slalu ada di saat pagi ku membuka mata?“ 

Aneska menyanyikannya sambil memandang Kalandra. Bohong jika Kalandra mengatakan jika ia tidak salah tingkah. Ia telah kalah telak dari Aneska.

Jadilah yang terakhir, 'tuk jadi yang pertama, 'tuk jadi selamanya~~

Cup. Tangan Kalandra dikecup manis oleh Aneska. Sungguh. Sungguh Kalandra ingin pingsan. Habis dia hari ini. 

“Kala … Kala … Ini our national anthem!” ucap Aneska sangat antusias. Peristiwa barusan saja Kalandra belum sepenuhnya pulih, kini ia akan mendapatkan semburan cinta dari Aneska lewat lagu … Tentu saja Himalaya.

Coba khayalkan sejenak sepuluh tahun nanti hidupmu~

Kalandra terpana melihat Aneska.

Misalkan itu aku yang terakhir untukmu, untuk itu kan kupersembahkan …

Aneska.

Himalaya bahkan akan aku taklukkan~

I love you.

Kalandra mungkin sudah terbawa suasana. Kalandra mungkin sangat di tahap menggilai laki-laki yang usianya hanya berjarak 2 bulan darinya. Dan Kalandra mungkin sudah tak bisa lagi menahan diri.

Tangan Kalandra kini sudah melingkar di leher Aneska. Kakinya berjinjit agar ia mampu memberikan sebuah ciuman di bibir Aneska. Masa bodoh jika ia menjadi pusat perhatian saat itu. Kalandra … Kalandra hanya ingin meluapkan rasa cintanya kepada Aneska. Dan pagutan itu semakin lembut dan manis. Sangat manis.

“Kala …” ucap Aneska ketika pagutan itu terlepas. Bibirnya merah dan basah. Kalandra mengusapnya perlahan. 

“Mas, ayo kita nikah. Kala ingin selamanya sama Mas Anes.”

Kalandra langsung menghamburkan tubuhnya ke dada Aneska. Memeluk anak Dewandaru itu dengan erat. 

“Iya, Sayang. Kita akan menikah. Kita akan menikah sebentar lagi.”

Dan hari itu Kalandra dan Aneska serasa mencapai puncak tertinggi bersama tujuh warna pelangi. 

[]

Malu sebenarnya bagi Nino untuk banyak komentar ini itu setelah ia membuat gaduh dengan menjadikan waktu tempuh yang seharusnya bisa 7 jam– bahkan Erza dengan yakin bisa menempuhnya dalam waktu 5 jam menuju tempat KKN– menjadi 8 jam akibat dirinya dan his motion sickness. Nino sampai membuat rekan-rekannya berhenti 3 kali karena aktivitas mual dan muntahnya. Tapi, Nino gregetan sendiri. Ia benar-benar ingin mengutarakan first impression-nya atas desa KKN-nya ini.

Desa ini bernama Madang Raya. Warga sekitar menyembutnya Desa Mara. Jaraknya hanya bisa ditempuh lewat jalur darat. Jangan ditanya bagaimana jalan menuju desa tersebut. Rasanya cukup untuk membuat isi perut Nino meronta-ronta. Desa ini seperti desa pada umumnya. Begitu asri dan jauh dari polusi udara. Terdapat angkot yang bisa membawanya ke arah kota, namun itu pun harus naik ojek dulu ke jalan raya. Ya, desanya pelosok melewati hutan. Membuat Nino sudah memikirkan bagaimana jika ada yang menari atau menyinden di sana. Ia terlalu banyak menonton film horor lokal.

Mereka telah sampai di rumah Bu Nining. Kata Ales, ia adalah ketua kader Desa Mara. Mereka dijamu dengan ramah dan hangat khas warga pedesaan. Namun, Nino dan yang lainnya kurang bisa berkomunikasi dengan Bu Nining. Hanya Manik yang bisa menanggapi Bu Nining dan Ales yang sesekali menjawab, tetapi tidak begitu fasih seperti Manik.

“Bukannya Sawangan itu di Depok, ya?” bisik Nino kepada Erza. Merujuk rumah Erza yang berada di Sawangan. “Depok itu Jawa Barat, kok lho kagak bisa Bahasa Sunda kayak si Manik?”

“Depok itu Provinsi Jabodetabek.” jawab Erza asal. “Dari kecil gue kagak bisa ngomong sunda.”

“Diragukan ke-jawa barat-an lo.”

Nino pun kembali memperhatikan obrolan-obrolan pembuka antara Bu Nining dan Manik. Ia memperkenalkan mereka semua, menjelaskan tentang KKN, berapa lama mereka akan tinggal, dan program apa yang akan dilakukan di Desa Mara ini. Dan hal itu membuat Nino berpikir, kenapa ngga Manik aja ketuanya?

“Aduh, maaf … maaf … Ini teh karena keenakan ngobrol sama Aa Manik, jadi lupa pakai Bahasa Indonesia.” ucap Bu Nining yang akhirnya sadar bahwa dari tadi ia hanya menggunakan bahasa yang diketahui oleh Manik dan Ales saja.

“Oh … ngga apa-apa, Bu.” jawab Anis. “Kami ngerti kok sedikit-sedikit.” tambahnya. Bohong banget. Nino tahu bahwa Anis sama tidak mengertinya seperti dirinya.

“Mari sini Ibu anter ke rumah kalian.” ucap Bu Nining. Dan home tour pun dimulai.

Rumah sementara untuk dirinya dan kelompok KKN-nya menginap lumayan dekat dengan rumah Bu Nining. Hanya terhalang 5 rumah dan rumah ini adalah rumah milik mertua Bu Nining yang memang sudah lama tidak ditempati karena mertuanya sudah meninggal. Mendengar itu rasanya Nino ingin menguap saja. Padahal rumahnya biasa saja. Seperti rumah di desa pada umumnya. Tetapi tiba-tiba skenario-skenario horor mulai masuk ke pikirannya. Terlebih lagi rumah ini memiliki sumur di belakangnya. Dan sumur mulai mengingatkan Nino akan film-film horor Jepang yang pernah ia tonton. Namun, sebenarnya ada lebih horor yaitu tak ada semacam pompa air atau semacamnya di rumah ini. Sehingga jika ingin mandi, BAK, atau BAB, mereka harus menimba dan mengisi air di bak dari sumur belakang. Workout yang sesungguhnya.

Belum apa-apa, Nino rasanya ingin walk out. Jangan tanya juga apakah ada laundry di sini? Jelas tidak mungkin ada. Yang artinya ia harus mencuci bajunya sendiri dan mengambil air dari sumur. Luar biasa.

“Oh, iya, di desa ini yang punya kamar mandi hanya 5 rumah saja.”

Dan semua tercengang.

“Rumah Ibu, rumah ini, rumah Bu Haji Kokom, rumah Pak Markum, sama rumah Pak Haji Yana.” jelas Bu Nining.

“Terus sisanya kalau mau kencing, BAB, atau mandi?” tanya Erza yang nampak penasaran.

“Kalau kamar mandi mah beberapa punya, maksudnya untuk mandi saja, ya. Cuma kalau pipis mah bisa tapi ya langsung ke selokan geuning airnya teh. Nah, kalau mau BAB ya ke sungai.”

Semuanya langsung tertegun.

“Jadi langsung dibuang ke selokan atau sungai?” tanya Erza kembali. Dia terlihat paling kaget di antara yang lain.

“Iya.”

“Ngga punya septictank?”

“Ngga, soalnya ngapain cenah ngumpulin yang mau dibuang.”

Sebuah percakapan yang sudah terlihat akan diapakan desa ini. Nino lalu melirik Manik yang sedari tadi mencatat di sebuah memo kecil. Mungkin ia menuliskan beberapa gambaran yang baru saja ia lihat dan dengar saat di sini.

“Jadi ga enak, ternyata rumahnya udah dibersihin sama ibunya.” ucap Anis memulai perbincangan setelah tinggal bertujuh di rumah ini. Bu Nining izin pamit karena ada rapat di rumah salah satu ibu kader yang lain.

“Baguslah, jadi ga perlu dilakuin taruhan konyol.” jawab Gian yang langsung mendapat delikan tajam dari Erza.

“Konyol?” ucap Erza tak terima.

“Udah … Udah … Sekarang kita bahas kegiatan hari ini dan besok, ya.” Ales membuka rapat yang seharusnya dilakukan di rest area, namun karena drama yang terjadi—diakibatkan oleh Nino— maka rapat baru bisa dilakukan sekarang. Sungguh Nino merasa bersalah karena hal itu.

“Kita istirahat bentar nanti sorean kita keliling, ya. Sekalian mengenal lingkungan desa ini. Jasmetnya dibawa kan?” tanya Ales. Dan semua mengangguk. Mereka harus mengenakan jasmet atau jas almamater selama KKN berlangsung sebagai identitas mereka di Desa Mara ini.

“Bu Nining udah ngasih tahu warga kalau akan ada yang KKN di sini, tapi kita tetep suwun aja ke mereka barangkali ada yang belum tahu. Sekalian kita bisa mulai cari tahu tentang masalah di desa ini. Tapi barusan yang kata ibunya bisa jadi gambaran proker kita sih.”

“Tapi itu lebih ke kesehatan.” ucap Gian sambil melirik ke arah Erza dan Manik.

“Emang kenapa kalau kesehatan? Pasti itu yang paling pentinglah.” jawab Erza. Terlihat tensi mereka berdua begitu panas. Nino sebenarnya malas kalau ada yang seperti ini di kelompok. Membuat suasana menjadi gerah dan tidak nyaman. Dan takutnya hal personal akan ikut terbawa-bawa ke kelompok.

“Kita ada proker utama dan proker lainnya. Jadi ga akan fokus di satu kegiatan. Seperti pembagian di awal. Gue sama Erza di kesehatan, Nino sama Gian bagian di pengabdian masyarakat. Poin utamanya itu.” jelas Manik.

“Tumben lo bersuara.” ledek Erza namun ditanggapi acuh oleh Manik.

Guys, gue harap kita bisa solid sampai akhir nanti, ya. Bahkan gue punya misi untuk Magenta ini.”

“Apa?” tanya Anis.

“Kita jadi kelompok terbaik di KKN tahun ini.”

“Gila. Bisa lulus aja udah syukur.” ucap Gian. “Realistis aja. Ga usah ambis.”

“Emang kita ga boleh punya ambisi setinggi-tingginya?” ucap Ales mulai ngotot.

Nino hanya bisa menghela nafasnya dengan dalam dan panjang. Persoalan couple yang mendadak menjadi sengit antara Gian dan Erza saja belum selesai, kini terlihat Gian sedang berhadapan dengan Ales. Gian vs everybody. Begitu menurut Nino. Tapi Nino memilih untuk menjadi medioker. Tak mau banyak harus terlibat, biarkan saja mereka yang merasa memiliki kemampuan dan keinginan untuk maju menampakkan diri. Dia hanya ingin kuliahnya selesai. Itu saja.

“Menurut lo gimana, Tam?” Gian langsung melemparkan pertanyaan kepada Tami yang dari tadi hanya diam saja. Nino bahkan hampir tidak menyadari keberadaan Tami jika tidak Gian yang bertanya kepadanya.

“Gue ikut aja.”

“Hm,” Gian berdehem. Ia lalu berdiri. Tangannya ia masukan kedalam jaketnya. “Lo tahu kalau mau jadi kelompok terbaik, minimal KKN ini harus diajukan ke dana hibah kampus? Dan lo tahu kalau sampai goal dana hibah, sampe lulus pun lo masih dikejar-kejar sama tugas ini!”

Manik menatap Gian seolah berkata kepadanya untuk tetap tenang dan kembali duduk. Gian pun lalu mendudukkan tubuhnya ke kursi. “Kalau gue sih ga mau. Tahun depan gue mau ada sesuatu.”

“Ha? Mau ada apa lo? Mau ke Inggris jadi pemain MU?” ucap Erza merespon dengan cepat. Gian tidak menggubris. Baru kali ini Nino melihat Gian acuh terhadap Erza. Benar-benar mereka sedang dalam perang dingin.

“Yaudah segitu dulu. Besok kita ketemu dengan para tokoh masyarakat desa ini di rumah Bu Nining. Belum pengenalan resmi sih, cuma mau ngobrol-ngobrol aja.” ungkap Ales mempercepat waktu rapatnya karena terlihat tidak akan kondusif jika dilanjutkan. “Dan untuk soal jadi kelompok terbaik, kita bicarain lagi setelah dapat tema utama untuk prokernya. Gue harap kita semua bisa ngasih yang terbaik dan all out di KKN ini.”

Selepas Ales menutup rapatnya, semua melanjutkan agenda masing-masing. Gian langsung keluar. Sedangkan, Tami melihat sekeliling rumah sambil menata barang-barang miliknya yang mungkin akan ditinggalkan disini. Dan Anis … Hm, ada satu hal yang sebenarnya tidak luput dari pandangan Nino yaitu Anis yang tak berhenti melihat Tami. Bahkan ingin membantu Tami mulai dari membawa tas miliknya dan memberi saran kepada Tami tentang tata letak barang miliknya. Anis sungguh sangat kentara kepada Tami. Dan hal itu entah kenapa membuat Nino tidak nyaman. Dia tidak suka dengan pemandangan tersebut.

“Gue egois, ya, Nik?” Terdengar suara Ales yang sedang terduduk sambil tangannya menarik-narik kecil karpet di lantai. Nino memperhatikan dari jarak yang tak terlalu jauh. Dan di sebelah Ales, tentu ada penjaganya, Manik.

“Ngga kok. Menurut gue itu ide yang keren.”

“Tapi ngebebanin yang lain.” Ales cemberut sambil sedikit menekuk wajahnya. Manik pun langsung duduk dihadapan Ales mengusap pipinya. Sontak adegan itu membuat Nino—sebagai sang penonton— menggigit pelan bibirnya. Rasanya ia ingin berteriak.

“Nanti coba obrolin ke satu-satu, ya. Ajakinnya persuasif tapi lo juga harus dengerin pendapat mereka.” Ucapan Manik itu mendapatkan respon puppy-kitty eyes dari Ales. “Okay?” Yang ditutup dengan usapan halus ke kepala Ales.

Nino lekas membalikkan tubuhnya. Ia tak sanggup melihat adegan itu lebih lama lagi. Dan saat berbalik, ia melihat Anis tengah berdiri di depannya.

“Kenapa muka lo merah?” tanya Anis.

“Masa barusan gue lihat Manik ngusap kepala Ales tapi malah gue yang salting.” jawab Nino. Ia memang selalu jujur jika dihadapan Anis— meskipun kadang banyak hal juga yang tak bisa langsung ia sampaikan ke sahabat yang ia kenal sejak masuk kuliah itu.

“Kayak gini?” Anis malah mempraktekkan hal yang barusan Nino katakan kepadanya. Ia mengusap kepala Nino yang sontak membuat Nino terdiam seketika.

“Lo bilang aja ke gue kalau mau digituin juga.” ucap Anis yang kemudian menghilang dari pandangan Nino. Sungguh perlakuan barusan membuat waktu Nino seakan berhenti. Dan Anis melakukannya seolah tak ada beban.

Kepala yang diusap, tapi hati yang porak-poranda. Anis sialan! Batin Nino meracau.

[]

Hari Jumat pun telah tiba. Waktu yang disepakati sebagai pertemuan perdana kelompok 7 KKN. Tami yang sudah selesai dengan kelasnya hari itu, segera menuju ke Warpas— tempat diadakannya agenda tersebut. Sebagai orang pertama yang tiba, Tami menjadi person in charge untuk memilih tempat duduk. Dan lantai 2 pun menjadi pilihannya.

Bagi Tami, proyek KKN ini menjadi sesuatu yang mendebarkan. Ia jarang terlibat dalam tugas kelompok. Upayanya selalu menarik diri. Mengerjakan secara mandiri, lalu memberikan hasilnya kepada kelompoknya sesuai dengan pembagian. Namun di KKN ini, Tami tidak bisa. Mau tidak mau, suka tidak suka, ia harus terlibat didalamnya.

Tami sekarang sedang duduk di meja yang sudah disiapkan. Ia sudah memesan teh manis sebagai teman menunggunya sekarang. Dia pun tiba-tiba tersenyum. Memikirkan bahwa 6 orang di kelompoknya itu sudah saling berteman satu sama lain: Ales dengan Manik, Gian dengan Erza, dan Anis dengan Nino. Dan Tami pun merasa ada sesuatu diantara mereka satu sama lain.

Sorry, ya, telat.” Yang berkata itu adalah Nino. Ia tersenyum sambil memperlihatkan lesung pipitnya kepada Tami. Pakaiannya senada dengan miliknya. Menyesuaikan dengan warna dresscode yang dipilih oleh Bapak Ketua Kelompoknya—Ales.

“Ngga kok. Gue aja yang kecepetan.” jawab Tami. Nino lalu duduk di sebelah Tami. Ia datang sendirian, kah? Sepertinya tidak mungkin.

“Oh, Anis lagi dibawah. Dia mau pesen-pesen cemilan dulu.” ucap Nino seakan tahu apa yang ada di benak Tami.

“Hai, Tami. Gue Anis. Sorry, telat.” ucap Anis yang langsung duduk di samping Nino. Duduk yang seperti membantingkan diri sendiri hingga tubuhnya mengenai separuh badan Nino.

“Ngga apa-apa, Nis. Gue cepet aja datangnya.” jawab Tami mengulang jawabannya. Ia melihat Anis seperti sedang kelelahan. Dan kini bersandar di bahu Nino. Casually. Terlihat hal itu sangat lumrah. Nino pun tak terlihat kaget atau merasa keberatan dengan afeksi ... entahlah Tami tidak bisa mendeskripsikannya. Yang pasti mereka dekat. Bahkan sangat dekat.

“Gila emang tuh dosen.” ucap Anis tiba-tiba. Nino hanya berdehem sambil melihat ponselnya yang ia letakkan dalam bentuk landscape— sedang menonton sesuatu. “Pokoknya kalau gue ga lulus di matkul ini, kelar gue.”

“Jangan ngomong gitulah.” timpal Nino cepat. “Lo pasti lulus.”

“Ah, capek. Pengen healing kalau gini tuh.”

“Nanti pas KKN.”

“Mana ada.”

Tami hanya mendengarkan dua orang yang sedang mengobrol ini. Dia ingin masuk ke percakapan pun, belum ada hal yang mereka lalui bersama—selain KKN dan itu pun belum dimulai.

“Eh, sorry, Tam.” Anis menegakkan tubuhnya yang barusan bersandar di badan Nino. “Lo malah ga diajak ngobrol.”

“Santai aja.” jawab Tami. Ia tidak merasa terganggu.

“Ngobrol, Ninyo. Jangan streaming mulu. Sambil kenalan kek sama Tami.” perintah Anis yang langsung mengunci layar ponsel Nino.

“Ngga apa-apa kok. Kita belum mulai ini.” Tami tidak mau merasa seperti terganggu atau merasa tertinggal diantara mereka. Sebab ia tidak merasa begitu. Atau mungkin ia sudah terbiasa dengan situasi seperti ini.

Lalu, makanan yang dipesan Anis pun datang. Sungguh langsung dalam porsi bertujuh dan banyak. Tami kaget. Ia baru baca grup juga bahwa Anis sudah memesan untuk semuanya. Rata-rata default dan dengan variasi yang banyak sehingga memungkinkan makan dengan banyak pilihan.

“Ini nanti bayarnya—”

“Kalem.” jawab Anis cepat sebelum Tami menyelesaikan kalimatnya. Beneran dia anak orang kaya? Batin Tami bertanya.

“Hai ... Hai!” Suara lain pun datang. Ia adalah Erza. Tami tahu dari foto profil kontak dan sekarang orangnya sudah berdiri dihadapannya— yang diekori oleh Gian. Pasangan lainnya. “Maafin telat. Nih, nungguin dia lama banget.”

“Apaan lo aja datangnya telat?” timpal Gian.

Baru dateng udah berantem. Tapi Tami tidak merasa terganggu juga. Dia malah merasa bahwa kelompoknya ini terdiri dari orang-orang yang unik. Tami malah tersenyum melihat tingkah Erza dan Gian yang sudah beradu pendapat—meskipun tangan Gian melingkar ke tangan Erza. Afeksi apa lagi ini? Dan justru semakin menggelitik pikiran Tami. Ada sesuatu juga pada kedua orang ini seperti Nino dan Anis, namun mungkin dengan versi lain.

“Wih, makanannya udah siap aja nih.” ucap Erza antusias. “Makasih banget, Nis. Tahu aja lagi laper.”

“Tunggu dulu, jangan langsung nyomot lo!” ucap Gian sambil memukul lengan Erza yang sudah siap untuk menarik potongan pizza.

“Waduh, gimana nih Pak Ketunya telat.” ucap Erza. Tangannya pun ia urungkan untuk mengambil pizza.

“Maaf, guys.”

Panjang umur. Sang pemeran utama pun datang. Entahlah. Tami merasa sejak ia pertama kali berinteraksi dengan Ales di chat, Ales memiliki sesuatu yang tidak bisa dijelaskan. Ya, penarik semua atensi. Begitulah mungkin.

“Yang satu lagi mana?” tanya Gian saat melihat Ales datang sendiri dengan ngos-ngosan. Seakan berlari dari parkiran menuju lantai 2 ini.

“Manik ke kamar mandi dulu.” jawabnya. “Maaf ya, guys. Ngga maksud telat, tapi gue dipanggil dosbing dulu barusan tuh.”

“Wih, mantap nih yang mau tiga setengah tahun.” timpal Erza.

Dan penjaga pemeran utama datang juga. Manik. Laki-laki yang hanya muncul sesekali di grup. Kalau dipanggil itu juga. Jika dalam sebuah cerita ada seorang ksatria yang menaiki kuda putih bertugas menjaga pangeran, maka ksatria itu adalah Manik. Bayangkan dari percakapan-percakapan di grup chat saja, Tami sudah membuat jalan cerita seperti itu di pikirannya.

Tanpa ada kata-kata. Manik langsung duduk disamping Ales. Benar-benar hawa dingin khas ksatria yang terpancar. Dan hal itu mengundang tatapan bagi keempat orang yang sudah datang duluan.

“Lo nggak akan ngomong sesuatu gitu?” tanya Erza. Sepertinya dari semua orang di sini, Erza paling penasaran dengan Manik.

“Ngomong apa?” tanya Manik.

“Oh, jadi suara lo kayak gini kedengerannya.” ucap Erza. Manik lalu membuang mukanya. Tidak memberikan atensinya lagi kepada laki-laki jurusan keperawatan itu.

Okay, kita mulai aja, ya. Sambil makan boleh.” ucap Ales membuka acara hari ini. “Makasih lho, Nis, udah pesenin makanan. Nanti spilt bill aja, ya.”

“Ngga usah.” jawabnya sambil mencocol kentang ke saus.

“Lho kok ga usah?”

“Ngga usah, Les. Lanjut aja ini.” timpal Nino layaknya juru bicara Anis.

“Hm, okay, dibahas nanti. Sekarang kita tentuin nama kelompok, ya.”

“Kayaknya lo udah ide buat nama kelompok.” jawab Erza. Akhirnya ia bisa juga melahap potongan pizza incarannya.

Ales tersenyum menampilkan giginya. Tidak seperti Tami yang hanya mengikuti apa yang dipinta, Ales ini tipe konseptor. Tami mengetahuinya juga saat ia pertama kali mengirim pesan kepada Ales. Bagaimana Ales juga inisiatif untuk ikut membantu Tami menghubungi teman-teman yang lain. Namun, Tami menolak karena ia tipikal orang yang senang bekerja sendiri.

Tapi, sebelum membahas nama kelompok. Atau mendengarkan Ales mempresentasikan grand design proyek KKN kelompoknya. Tami membidik ada hal unik lainnya. Berbeda dengan dua pasangan sebelumnya. Untuk kasus Ales dan Manik ini malah justru sangat amat kentara.

“Ay, makan dulu.” ucap Manik dengan suara pelan namun terdengar. Manik baru saja menaruh piring di depan Ales. Piring berisi potongan pizza dan makanan lainnya yang ia sajikan di satu piring. Sederhananya, agar Ales hanya mengambil dari satu tempat. Dan tentu saja beserta dengan minumannya. Act of service. Mata Tami tak henti memandang dua orang ini.

“Iya, Beb.” jawab Ales dengan suara pelan juga. Sangat lembut.

“Jadi, nama kelompok kita ini gimana kalau ...” Ales memperlihat tab-nya kepada yang lainnya. Sudah seperti sedang mempresentasikan proposal start up didepan para investor. “Magenta.” tambah Ales.

“Kenapa Magenta?” tanya Erza.

“Magenta itu warna tahun ini lho. Viva Magenta.”

“Iyakah? Baru tahu gue.” jawab Anis.

“Iya. Color of the year.”

“Bener nih.” ucap Nino. Ia baru saja mengetik apa warna tahun ini di kolom pencarian. “Riset dulu, ya, lo?”

Ales terkekeh. “Joyous yet powerful. Gue harap kelompok kita juga begitu. Dapat ngasih kegembiraan, tapi juga kuat.”

Interesting.” Tami mengeluarkan kata-katanya sekarang. Setelah sebelumnya hanya tersimpan di pikirannya.

“Dan kalian tahu kalau nama-nama kita semua ini disingkat jadi MAGENTA?” ucap Ales dengan senyum yang membuat matanya menjadi segaris. “Manik, Ales, Gian, Erza, Nino, Tami, dan Anis. Disatukan M-A-G-E-N-T-A.”

“Wow!”

Daebak!”

Erza dan Nino menyuarakan suaranya lebih lantang sementara yang lain hanya manggut-manggut. More interesting.

“Gimana?” tanya Ales setelah dia memaparkan nama kelompok barusan.

“Ya, gimana. Lo udah prepare banget. Gue setuju aja. Keren.” jawab Gian.

“Yang lainnya?”

“Sepatu!”

“Bungkus!”

“Lanjutkan!”

“Udah gue catet, Les.” jawab Tami. Person in charge-nya sebagai sekretaris langsung membuat notulensi rapat.

“Makasih, ya, semuanya. So, we are Magenta. Jargonnya Viva Magenta!” ucap Ales antusias.

Dan dari semua hal yang barusan Ales paparkan, ada mata yang bahkan mungkin tak berkedip. Menopang dagunya dengan satu tangan sambil memerhatikan dengan seksama. Manik.

“Beb, mereka setuju.” bisik Ales.

You are great, Ay.”

“Berkat lo. Kan ini sebenarnya ide lo.”

“Gue cuma bikin desain aja.”

Tami memperhatikan dan mendengarkan. Dua orang ini. Ya, dua orang ini. Pangeran dan ksatria— menurut Tami. Padahal Tami hanya melihat, namun wajahnya merona sendiri. Pancaran pemeran utama begitu kata Tami.

“Viva Magenta!” teriak Erza tiba-tiba sambil berdiri.

“Lo ngapain sih?” Gian sudah siap untuk menghentikan Erza.

“Biar semangatlah. Ayo tos dulu. Gimana, Pak Ketu?”

“Ayo!”

Dan tujuh tangan pun menempel satu sama lain.

Okay, demi kesuksesan KKN kita. Viva!

“MAGENTAAAA!!!”

[]

*tw// suicide, drowning

“Kata kamu, jangan pernah perlihatkan wajah saya di hadapan Arunika, seharusnya … seharusnya saya mendengarkan itu. Seharusnya saya tak pernah kembali …”

Suara deburan ombak menghalau ucapan Nanta yang sayup Naya dengar. Naya berhasil menemukan Nanta, namun di sebuah tepi ujung antara kehidupan dan kematian. Mata Nanta begitu kosong, tak ada harapan didalamnya, tak ada gairah di dalamnya, yang ada hanya ia yang segera ingin menyatu dengan lautan.

“Nanta …” panggil Naya. “Ayah Nanta …” Naya memanggil dengan sebutan itu agar Nanta ingat bahwa ia adalah seorang ayah. Ayah dari Arunika.

“Matahari sudah terbenam, sudah gelap. Swastamita di sana.”

“Nanta, jangan .. Kembali, kembali ke sini. Kepada Arunika.”

“Dia sudah membenci saya.”

“Tidak .. Aru tidak seperti itu. Dia sangat sayang Ayah … sangat sayang Ayah Nanta.”

Nanta membalikkan tubuhnya. Langkahnya semakin menjauh. Badannya sudah semakin tergenang.

“Naya … Naya …” Arsa berlari dari ujung menghampiri Naya. “Jangan biarkan–” Naya belum mendengar jelas ucapan Arsa, dia langsung berlari menggapai apa yang harus ia selamatkan.

“Nanta,”

Ombak semakin besar mendorong tubuh Naya. “Cinta, maafkan saya … maafkan saya … saya tidak bisa kehilangan lagi. Saya tidak mau kehilangan lagi. Pulang, Ayah. Pulang, ya, Arunika menunggu.”

Nanta memandang Naya sejenak dengan tatapan yang tak bisa Naya artikan. “Naya, jangan beritahu Arunika bahwa ia punya ayah pengecut seperti saya. Arunika harus kuat, harus hebat, anak kesayangan ayah.”

“NANTA!!” teriak Naya. Nanta hilang dalam pandangannya. Tak bisa. Tak bisa Naya biarkan. Ia memilih untuk egois. Meski hidup begitu sakit untuk Nanta sekarang, namun Naya tak mau akhir yang seperti ini.

Dan semua menjadi gelap. Naya masih menahan nafasnya. Tangannya berusaha mencari dan menggapai. Saya mohon. Saya mohon. Naya merapal itu dalam dan penuh pengharapan. Di tengah nafasnya yang terbatas, kepalanya mulai pening dan berat. Ia harus menggapainya. Ia harus menyelamatkannya.

“Kak,”

“Hm?’

“Kita nanti bisa lihat Arunika dan Swastamita tumbuh dewasa?”

“Bisa. Nanti kamu antar Mita ke Altar, saat ia menikah kelak.”

“Naya,”

“Hei, kenapa menangis? Cinta, maaf.”

“Aku terharu … Nanti kalau Arunika menikah–”

“Saya di sisi dia, atau mau kamu?”

“Kita akan menua bersama, Naya?”

“Iya. Kita gedong cucu kita nanti. Anak Aru dan anaknya Mita.”

“Nanti kalau Mita sama Aru lebih sayang sama pasangannya daripada aku, gimana?”

“Ayah Nanta cemburu.”

“Ketularan Papa Naya.”

“Saya tidak begitu.”

“Ayah … Papa …” Suara teriakan itu diiringi oleh hamburan pelukan.

“Arunika dan Swastamita Anak Ayah.”

“Anak Papa juga.”

“Tuh kan yang ngga mau kalah itu Papa Naya,”

Gelak tawa dan senyuman itu melintas terang dalam pikiran Naya sekarang. Nafasnya semakin habis. Naya ingin itu semua kembali lagi. Keluarganya yang utuh. Keluarganya yang hangat.

Beri satu kesempatan lagi, tolong beri satu kesempatan lagi.

Dan Naya merasa tangannya berhasil meraih. Tangan itu. Tangan yang ia selalu genggam. Tangan yang memeluknya dengan erat. Tangan yang kini bertautan dengannya di lautan yang dingin dan dalam.

Pulang, Ayah. Pulanglah kepada Matahari Terbit.

[]

“Jadi?” tanya Naya sesudah berada di kamar Nanta. Ia berdiri di depan ranjang Nanta, sementara yang mempunyai kamar sedang duduk di sana dengan wajah berpaling tak ingin menatap mata Naya secara langsung— jantungnya berdebar tak karuan.

“Saya ingin dengar langsung.” tambah Naya.

“Kan sudah didalam pesan.”

“Saya mau dengar langsung.”

Nanta menghela nafas dalam. “Iya.”

“Iya apa, Cinta?”

Dan jantung Nanta rasanya mau meledak. “Lihat sini, Ta.” pinta Naya. Nanta terus memalingkan wajahnya. Menatap Naya dalam keadaan seperti ini bisa menghilangkan akal sehatnya.

“Ya, kamu kenapa sih mesti harus dengar langsung—”

Ucapan Nanta terhenti ketika wajah Naya sudah sangat dekat dengan wajahnya. Bahkan nafas Naya terasa di pipi Nanta. Hanya terhalangi beberapa sentimeter saja. Sangat dekat dan teramat dekat.

“Ini kenapa dekat sekali?” Nanta ingin mengendalikan debaran jantungnya. Ia mencoba mendorong tubuh Naya, bermaksud agar Naya tak terlalu dekat posisinya dengan dia. Namun, alih-alih menjauh, Naya malah menangkap tangan Nanta dan membuat Nanta terkunci. Sedikit gerakan saja, Naya bisa membaringkan Nanta di ranjang dan berada di atasnya. Buru-buru Nanta mengusir pikiran itu.

“Susah sekali padahal tinggal berkata seperti itu.” dumel Naya. Bibirnya ia majukan dan membuat kepala Nanta menjadi tiba-tiba pusing. Ini terlalu canggung. Namun—

“Ta!” Naya kaget ketika Nanta membuat Naya duduk tepat di atas pangkuannya. Pinggangnya ditahan oleh kedua tangan Nanta. Sekarang Naya-lah yang tak bisa berkutik. “Nanta, ini—”

“Sayang,”

Benar. Sepertinya akal sehat Nanta sudah hilang sekarang.

“Saya sayang kamu, Nayanika.”

Kini, jantung Naya yang rasanya akan meledak.

“Sudah.” ucap Nanta yang langsung membuat Naya bangkit dari pangkuannya. “Kamu pulang, saya mau tidur.”

Naya masih tertegun. Belum bisa memproses apa yang barusan terjadi. “Bisa-bisanya suruh saya pulang setelah membuat dada saya rasanya mau meledak!” ucap Naya dengan bibir kembali cemberut.

“Lalu, kamu mau apa? Tidur dengan saya di sini?” Pertanyaan Nanta barusan malah seperti senjata makan tuan.

Naya tanpa babibu langsung bergerak ke arah berlawanan dari posisi Nanta. Ia sudah siap untuk menjatuhkan tubuhnya ke ranjang milik Nanta itu.

“Naya!” ucap Nanta. “Ada Aru di kamar sebelah.” Nanta mulai panik dan menarik Naya yang sudah duduk di ranjangnya.

“Lalu?” tanya Naya dengan wajah polos.

“Ya ... nanti gimana kalau kita sekamar?”

“Kan cuma tidur saja. Atau kamu mau lebih dari itu?”

“Nayanika!” Nanta sudah di titik menahan teriakannya. Ia takut Aru terbangun. “Pelan-pelan, Naya. Jangan menginjak gas seperti ini. Jangan terburu-buru. Kita tidak seperti dulu. Tidak seperti 12 tahun lalu.”

Ucapan Nanta barusan membuat Naya tertunduk. Ia memang selalu tak sabaran jika berhadapan dengan Nanta. Selalu ingin cepat dan terlaksana, tanpa pernah memikirkan bahwa Nanta perlu waktu.

“Maaf,” jawab Naya pelan. Ia kemudian berdiri dari duduknya. “Saya pulang.” Naya lalu berjalan kearah pintu.

Give me good night kiss before you go.”

Deg! Dada Naya kembali berdetak kencang. Ia kemudian menoleh ke arah Nanta yang sudah terbaring di ranjangnya. Naya lalu berbalik mendekati Nanta. Menarik selimut menutupi hingga dadanya. Kemudian, Naya redupkan lampu di atas nakas.

Good night, Cinta. Semoga kamu diberikan mimpi yang indah, tidur yang nyenyak, dan bangun dengan perasaan bahagia.” ucap Naya sambil mengusap pipi Nanta.

Cup. Naya mendaratkan kecupan ke kening Nanta.

“Saya pulang, ya. Terima kasih sudah memberikan kesempatan.”

Naya lalu berdiri setelah melihat Nanta terlelap. Bergerak perlahan menuju pintu kamar. Dari dulu ia dan Nanta selalu berada dalam suasana canggung. Namun, selalu berbalik mendekat. Seakan menjadi candu untuk tetap melihat satu sama lain.

[]

Bagas sudah sampai lebih awal di Ritz, tempat dirinya dan Naya bertemu. Hari itu Bagas memakai pakaian yang tak biasa ia kenakan— atau mungkin sudah lama ia tak lagi mengenakan pakaian dengan gaya seperti ini; kaos polos warna putih yang dibalut jaket kulit warna hitam dengan bawahan celana jeans. Dulu, style pakaian Bagas seperti ini. Dan kemudian menjadi berubah tanpa ia sadari. Kini, entah mengapa Bagas merasa ia kembali menjadi dirinya sendiri. Hari ini, saat ini.

“Maaf saya terlambat.” ucap Naya yang baru saja tiba. Sudah lama rasanya Bagas tidak bertemu Naya. Ia kini tampak lebih kurus dengan wajah yang letih. Mungkin karena bulan ini adalah Februari; bulan di mana segala kesenduan dan kesedihan yang Naya rasakan tertumpuk disana.

“Ngga kok, aku aja yang datangnya kecepetan.” jawab Bagas. “Ini buat kamu. Bunga Lily kesukaan kamu.” tambah Bagas sambil memberikan sebuket bunga kepada Naya.

Yang diberi hanya melihat saja, tersirat keraguan disana. “Ambil saja. For the last time.” ucap Bagas dengan senyum yang sedikit dipaksakan.

“Terima kasih. Maaf saya tidak bawa apa-apa.”

It's okay.”

Pertama kali Bagas bertemu Naya adalah sekitar 3 tahun lalu. Sebenarnya Bagas sudah tahu nama Naya sejak lama. Keluarganya dan keluarga Naya bergerak di bidang yang sama. Namun, mereka baru berkesempatan berbincang pada hari itu. Hari dimana mengubah segalanya pada diri Bagas.

“Nayanika Nareshwara, ya?” tanya Bagas ketika ia melihat Naya tengah berdiri di balkon. Menjauhi keramaian pesta bisnis orang kaya.

“Iya,” jawabnya.

“Saya Bagaskara Bramantya.” ucapnya sambil menjulurkan tangan. Naya pun membalasnya. “Kenapa ngga gabung disana?”

“Ramai,” jawab Naya. Ia lalu mengeluarkan sebungkus rokok dari sakunya dan menawari Bagas.

“Saya ngga merokok.”

Naya lalu menyalakan rokok dan menghisapnya sesaat. “Ngga suka tempat rame, ya?” Entahlah. Bagas biasanya tidak pernah senang berbasa-basi, namun kali ini ia rasanya ingin berbincang banyak dengan Nareshwara itu.

“Iya.” jawabnya. “Saya sudah memiliki anak.”

Bagas yang tidak sedang meminum apa-apa, tiba-tiba tersedak oleh air ludahnya sendiri ketika Naya mengatakan hal tersebut. Out of nowhere.

“Ya, terus?”

“Saya hanya ingin mengatakan itu.” jawab Naya sambil memandang ke depan. Rokoknya masih ia hisap, kali ini lebih dalam.

“Oh .. Okay.” Bagas sebenarnya tidak mengerti mengapa Naya tiba-tiba berkata demikian.

“Saya tidak suka buang-buang waktu.” Naya lalu melihat Bagas sekilas.

“Maksudnya kamu anggap saya mau pendekatan ke kamu gitu?” Bagas rasanya geli sendiri melihat orang dihadapannya itu terlihat percaya diri meskipun gaya bicaranya kaku.

“Tidak juga.”

“Ya, terus kenapa?” Bagas masih tidak mengerti. “Oh, kamu ga mau diganggu, ya? Okay, saya kesana lagi.”

“Tidak. Bukan begitu.” Bagas tak memberikan respon apa-apa. Ia menunggu Naya menyelesaikan kalimat. “Kamu disini saja.”

Aneh. Itu first impression yang Bagas dapatkan ketika pertama kalinya berbicara dengan Naya.

“Kadang banyak yang tidak nyaman berbicara dengan saya.” ucap Naya yang lagi-lagi dilakukan secara tiba-tiba. Bagas pun lalu merasa tertarik untuk mendengar lebih jauh. “Ya, kamu tahu sendiri mungkin.”

Apa yang dimaksud oleh Naya adalah tentang stigma yang melekat pada Nareshwara? Bagas pernah mendengar selentingan bahwa keluarga itu adalah keluarga divorce. Selalu berakhir dengan perpisahan dan perceraian. Bukan family goals seperti halnya keluarga Adiwangsa atau Dewandaru— begitu pemikiran para koleganya.

“Ngga masalah.” jawab Bagas. “Lagipula itu cuma gosip.”

“Itu kenyataan.”

“Jadi, saya ngga boleh berbicara dengan orang yang sudah bercerai? Ya, malah baguslah artinya saya bisa melakukan pendekatan sama kamu karena kamu single.”

Dan sekarang malah Naya yang tersedak.

“Bagaimana kabar kamu, Naya?” tanya Bagas ketika makanan yang sudah ia pesan untuk dirinya dan Naya tiba.

“Kabar saya seperti biasa.” jawab Naya sekenanya.

“Kalau Aru gimana? Udah check up?”

Bagas tahu kalau bulan Februari sangat memberikan dampak besar bagi Naya. Aru selalu sakit di bulan itu. Sakit yang bahkan sampai harus dirawat di rumah sakit. Sakit yang selalu datang tahunan. Seakan sebuah pengingat.

“Kemarin sempat sakit, tapi sudah tidak apa-apa.” jawab Naya.

“Oh, syukurlah.”

Bagas lalu menatap Naya. Orang yang telah membuatnya jatuh berkali-kali. Orang yang sempat ia mimpikan akan bersanding dengannya. Namun, mimpi itu harus kandas.

“Naya ...” panggil Bagas. “Kalau Nanta gimana kabarnya?” Naya yang sedang memotong steak miliknya, langsung terhenti. Pegangannya menjadi erat. Seakan sedang menahan sesuatu.

“Dia mantan suami saya, eh ... aku.” jawab Naya. Bagas kurang suka jika Naya begitu formal kepadanya. Naya mengubahnya sedikit demi sedikit, meskipun belum terbiasa.

“Oh, baru lihat.” jawab Bagas.

“Dia baru kembali.”

“Kembali dari mana?”

“Tidak tahu.” ucap Naya sambil merapikan kertas sketsanya. “Dia hilang tiba-tiba.”

“Terus dia ngga ada sumbangsihnya gitu buat Aru?” tanya Bagas.

Sepengetahuan Bagas meski orang tua sudah bercerai, namun kebutuhan anak tetap harus dipenuhi oleh keduanya. Tetapi melihat mantan suami Naya yang baru kembali, Bagas berpikir memang hanya Naya yang membesarkan Aru sendirian.

“Dengan saya saja sudah cukup.” jawab Naya.

Pertama kalinya Bagas mengira bahwa perpisahan antara Naya dan Nanta— mantan suami Naya, tidak berakhir dengan baik-baik. Dan itu ternyata benar. Sampai akhirnya Bagas bertemu bulan Februari dan tahu bahwa hal besar sebelumnya pernah terjadi pada Naya.

“Naya ... Naya buka dulu pintunya!” Ketuk Bagas berkali-kali. “Ada apa? Jangan kayak gini aku ga tahu harus bagaimana?” Dan Naya tetap memilih bungkam. Hingga satu waktu Bagas membuntuti Naya dan mengetahui bahwa Naya pergi ke sebuah pemakaman. Menaruh bunga Lily di atas sebuah nisan bertuliskan Swastamita Nareshwara.

“Kamu tahu dari mana?” tanya Naya dengan wajah yang sangat marah. “Kamu tahu dari mana, Bagaskara?!”

“Aku cari tahu sendiri—”

“Kamu siapa?!”

Deg! Rasanya dada Bagas seperti baru saja dihantam. “Karena kamu ga pernah ngasih tahu apa-apa. Aku ini nol tahu tentang kamu, Naya.”

“Kamu ngga perlu tahu masa lalu aku seperti apa. Karena kamu ga berada di sana. Kamu itu di masa sekarangnya aku!” bentaknya. Bagas hanya bisa menunduk kala itu.

Nayanika. Sesuai dengan arti namanya, mata yang indah. Ia pun sangat indah. Sama seperti saat ketika ia menatap Bagas malam ini. Matanya indah, meskipun terlihat sayu.

“Kenapa, Bagas?” tanya Naya melanjutkan makan malamnya.

“Tidak apa-apa. You are still pretty as well, Nay.” jawab Bagas. Ia ingin melihat Naya lebih lama— sebab ini mungkin kali terakhir ia bisa makan malam berdua dengan Naya.

“Kamu nanti yang bahagia, ya, Nay.” lanjut Bagas. “Jangan galak-galak sama Aru. Dan ...” Bagas menghela nafas sesaat. “Baik-baik dengan Nanta. Berdamai dengan dia, Naya. Dengan masa lalu kamu juga.” tambah Bagas. Di satu sisi ia ingin segera mengakhiri makan malam ini. Rasa sakit itu masih ada di hatinya.

“Saya minta maaf, Bagas. Saya ... Saya terlalu banyak melukai kamu.” ucap Naya. Suaranya mulai bergetar. “Saya tak pernah bermaksud mengubah kamu menjadi siapapun, Bagas. You are still you. Apalagi hari ini. Kamu terlihat lebih bebas.”

Bagas tersenyum mendengarnya. Iya, benar. Hari ini ia melakukan hal yang ia inginkan. Memakai pakaian khas-nya. Tidak lagi harus meminum jus strawberry dan kembali dengan coffee latte favoritnya. Serasa bayangan itu terlepas dari dirinya.

“Yang harus bahagia adalah kamu, Bagas. Kamu orang baik. Kamu orang yang tulus. Kamu pantas mendapatkan yang lebih baik.” timpal Naya yang sedang menahan suaranya yang terus bergetar.

“Naya,” panggil Bagas. “Selama kita bersama waktu itu, do you ever love me?”

Naya tak langsung menjawab. Ia tertegun. Terdiam.

“Ngga usah dijawab, Naya.” ucap Bagas. “Aku pulang, ya. Kamu juga nanti hati-hati pulangnya. Terima kasih untuk hari ini. Terima kasih untuk semuanya, Naya.” Bagas lalu berdiri. Ia kemudian memberikan senyuman kepada Naya.

Goodbye, Nayanika.”

Bagas kemudian pergi. Ia tak ingin menoleh ke belakang. Sudah cukup semuanya. Perjuangannya telah selesai.

Sebab, pemilik hati Naya begitu terang sinarnya, membuat dirinya malah semakin gelap. Semakin bercahaya, maka akan semakin pekat bayangannya. Dan ia memilih untuk melepasnya. Ia tak mau lagi menjadi bayangan cahaya itu.

[]

Rasanya segala beban di pundak Nanta menghilang seketika. Hampir beberapa minggu ke belakang Nanta memikirkan tentang hari ini. Tentang bagaimana ia yang pemalu harus berjalan di atas cat walk dan di depan banyak orang. Bohong jika ia tidak gugup. Sangat amat gugup. Tetapi Nanta tak ingin mengecewakan Naya. Apalagi ini event pertama Naya. Ia begitu mempercayakannya kepada Nanta– yang sebelumnya hanya orang asing. Ya, sebelumnya. Hingga makin ke sini, semua makin terasa dekat dan Nanta menyukai keberadaan Naya di sisinya. Ditambah setelah beberapa insiden yang menyertainya, membuat Nanta yakin kepada Naya.

“Kak Naya,” panggil Nanta di depan pintu kamar mandi. Naya sudah lama di sana. Setelah acara selesai dan dilanjut dengan beberapa percakapan antara Naya dan temannya Argani serta Kamandaka–teman yang Argani bawa, Naya memutuskan untuk ke kamar. Ia mungkin lelah karena semalam sampai jam dua pagi dan sore hingga malam lanjut ke acara puncak.

“Kak,” panggil Nanta kembali. “Kak, baik-baik saja?” Nanta khawatir karena Naya begitu lama di sana. Lalu, pintu pun terbuka.

“Kak Naya!” Nanta tambah panik melihat keadaan Naya yang seperti habis menangis. “Kak, kenapa? Sakitkah?” Naya menggelengkan kepalanya. Ia kemudian duduk di ranjangnya disusul oleh Nanta.

“Terus kenapa?”

“Saya tidak apa-apa. Hanya …” Suara Naya bergetar. Ia seperti ingin menangis kembali.

“Kak Naya kalau mau menangis di sini saja.”

Naya lalu menunduk. “Malu,” ucapnya pelan.

“Kenapa malu?”

“Dilihat kamu.”

Nanta tertawa kecil. “Astaga, Kak. Ngga apa-apa. Sini!” Dan Nanta langsung membawa Naya ke dalam dekapannya, menenggelamkan ke dadanya.

You did well! Kak Naya keren banget.” Maka semakin pecahlah tangisan Naya. Nanta lalu mengusap punggung Naya secara perlahan.

“Sa–Saya tak pernah menyangka bisa memamerkan rancangan saya di sini, Nanta. Tak ada … Tak ada yang mendukung saya di sini kecuali …” Naya meremas pakaian Nanta di bagian pinggangnya. Ia kesulitan melanjutkan kata-kata itu.

“Ada aku di sini yang mendukung Kak Naya sekarang.”

Naya melepaskan pelukannya dari Nanta. Ia kemudian menatap Nanta dengan lekat. Nanta lalu mengusap basah di mata dan pipi Naya.

“Kak Naya ngga usah malu kalau mau nangis. Nangis aja di depan aku. Dan Kak Naya ngga sendiri lagi. Sekarang ada Nanta, yang selalu mendukung Kak Naya.” ucap Nanta sambil merapikan rambut Naya yang sedikit berantakan.

“Kak Naya,” panggil Nanta. Ia mencoba untuk memberanikan diri.

“Hm?”

Nanta mengambil nafas dalam dan panjang. “Nayanika,” panggilnya.

“Iya?”

“Aku …” Nanta mencoba mengatur nafas dan perkataannya. “Aku suka kamu. Mau jadi pacar aku?” ucap Nanta dalam sekali tarikan nafas.

Naya langsung kaget dan mendorong tubuh Nanta. Jelas Nanta pun makin kaget. “Kak, maaf … Maaf.” Nanta merasa benar-benar salah langkah. Maksudnya mengatakan itu karena ia terlanjur tak dapat menahan lagi. Segala perhatian dan afeksi yang Naya berikan padanya, seolah memberi sinyal bahwa Naya memiliki perasaan yang sama seperti dirinya.

“Kak, maaf … maaf kalau aku kurang ajar. Aku–”

“Kenapa kamu duluan sih?!”

“Ha?”

“Kenapa kamu duluan? Harusnya saya!” Naya membalikkan badannya. Ia memunggungi Nanta dan mengusak rambutnya ke belakang.

“Kak—”

Nanta baru saja berdiri dari duduknya, namun Naya sudah merengkuh pipi dan pinggang Nanta. Bibirnya menempel pada bibir Nanta. Sangat cepat. Tetapi rasanya lebih dahsyat dari good night kiss semalam. Nanta begitu dekat–sangat dekat dengan Naya. Hingga Naya semakin menekan Nanta, mendorong agar Nanta membuka bibirnya. Dan Nanta pun tersudut. Ia semakin tak berkutik.

Bibir keduanya pun kini saling terpagut. Mata Nanta terpejam. Merasakan segala yang ingin Naya sampaikan melalui ciuman itu. Entah sudah berapa detik dan mungkin menit, Naya pun melepaskan ciuman itu dengan perlahan. Nafas Nanta tersengal-sengal. Seakan seluruh nafasnya telah ia curahkan. Bibirnya yang merah dan basah diusap lembut oleh Naya.

“Padahal mau saya yang berkata seperti itu, tetapi malah kamu duluan.” ucap Naya masih tak terima.

“Jadi?”

“Iya, saya juga mau berkata itu.”

“Itu apa?”

“Pa–Pacar.”

“Iya, kamu pacar aku sekarang.” ucap Nanta sambil tersenyum. “Aku yang bilang, Kak Naya yang cium aku. Impas, kan?” pungkas Nanta yang langsung memeluk Naya.

“Kalau sudah pacaran jangan panggil Kak.”

“Panggil apa?”

“Sayang.”

“Iya, Sayang.” ucap Nanta sambil tersenyum dalam pelukan Naya.

[]

Nanta menatap alat-alat lukis di hadapannya. Ia lalu melihat harga yang tertera di sana. Mahal. Bagi Nanta, itu sama saja dengan menyisihkan gaji satu bulannya sebagai penjaga toko mainan.

Huft. Nanta hanya bisa menghela nafas panjang. Ini adalah pilihan hidupnya. Nanta kini sedang meyakinkan dirinya sendiri.

Nanta masih berusia 18 tahun kala itu ketika memutuskan untuk kuliah di Jakarta. Tentu banyak pertimbangan dan pergolakan.

“Kalau mau kuliah seni, di Jogja juga ada. Kenapa jauh sekali ke Jakarta?” ucap Bapaknya saat itu. Nanta adalah anak satu-satunya, wajar bagi kedua orang tuanya ingin selalu dekat dengan Nanta. Tapi, Nanta sudah bulat akan tekadnya.

“Nanta ingin mandiri.”

“Memang di Jogja tidak mandiri?”

“Masih ada Bude dan Pakde di sana.”

Itu hanya alasan saja. Sebenarnya Nanta memilih Jakarta karena ia melihat bahwa Kota Metropolitan itu memiliki pesona tersendiri bagi anak yang lahir dan besar di desa sepertinya. Jakarta adalah impiannya.

“Sudah toh, Pak. Biarkan anakmu merantau.” ucap Ibu mencoba menenangkan Bapak. Meskipun ia sama khawatirnya. “Nanta sudah besar. Lagipula ndak gampang lho sekolah di Jakarta.”

Harus diakui memang tidak mudah. Nanta mengirimkan portofolio gambar dan lukisannya melalui pos dan melewati seleksi yang ketat. Nanta memang senang menggambar dan melukis. Sejak duduk di bangku sekolah dasar, ia beberapa kali menjuarai lomba lukis. Bakat seni ia dapat dari Ibunya yang merupakan guru seni budaya di SMA. Sementara Bapak dulunya pemain gamelan di Taman Budaya Provinsi, sebelum akhirnya memutuskan untuk berhenti karena ingin bertani dan beternak di kampung halamannya, Ngawi.

Nanta lalu keluar dari toko buku tempat ia melihat alat lukis itu. Nanti saja. Ia butuh pekerjaan lain agar bisa membeli alat-alat itu. Sebenarnya, Nanta bisa saja tidak perlu bekerja paruh waktu, namun ia sungkan untuk meminta lebih. Ia tahu bagaimana Ibu dan Bapaknya bekerja keras demi menghidupinya di Jakarta. Terkadang Nanta menyesal. Jika saja ia memilih di Jogja, mungkin Ibu dan Bapak tak perlu merogoh kocek yang dalam. Hidup di Jogja lebih murah daripada di Jakarta. Tetapi menyesal pun percuma. Tinggal 3 semester lagi Nanta akan selesai kuliahnya. Ia ingin cepat-cepat lulus dan bekerja, sehingga dapat membantu orang tuanya.

“Nanta!” Suara yang cukup familiar itu mendapat atensinya. Seorang perempuan yang ia hindari. “Kamu benar-benar ingin keluar?” Ia menghampiri Nanta.

“Maaf, Mbak. Saya—”

“Kamu sengaja, ya?”

Nanta terdiam. Dia memang kurang nyaman. Atau bisa dibilang sudah tidak nyaman. Di depannya sekarang ada Mbak Icha. Perempuan yang berusia hampir 30 tahun— yang menurut Arsa, menyukai Nanta. Ia adalah bos Nanta di toko mainan, tempat ia kerja paruh waktu.

“Saya sudah bilang ke Mas Adi, Mbak.”

“Nanta,” Mbak Icha meraih tangan Nanta. Jelas, Nanta kaget. Ia buru-buru melepasnya. Melirik kiri dan kanan seakan takut ada yang memergokinya.

“Mbak, maaf, tapi jangan seperti ini.” Nanta sudah berusaha untuk tetap sopan. “Saya minta maaf karena tidak bilang ke Mbak, tapi—”

“Saya sudah baik kepada kamu!” Bentaknya. Ia dan Nanta sedang berada di persimpangan jalan. Beberapa orang melihat percakapan itu dan menaruh atensi sebab perempuan itu bersuara dengan keras. “Saya selalu iyakan jika kamu buru-buru pergi kuliah. Saya masak untuk kamu. Saya bawakan bekal untuk kamu. Bahkan saya lebihkan gaji kamu. Ini balasan kamu?!”

Tetapi, Nanta tidak nyaman. Ia pernah seperti dilabrak oleh Mas Adi— suami Mbak Icha— karena kedekatan mereka. Nanta sudah menolak. Namun tetap saja selalu ada cara lain yang Mbak Icha lakukan.

“Maaf, Mbak. Saya … Saya izin ya, Mbak. Ada kelas. Nanti … Nanti saya ke toko untuk berpamitan lagi kepada Mas Adi dan Mbak Icha.” Nanta merasa seperti terintimidasi karena perempuan itu menatapnya dengan tajam.

“Kamu yang dekati saya duluan!”

Dan Nanta langsung membelalakkan matanya. Ia sungguh kaget bukan main.

“Kamu yang menggoda saya!”

Nanta sudah berkeringat dingin. Ia ingin lari dari situasi ini.

“Dan sekarang kamu mau pergi begitu saja?!” Suara perempuan itu makin meninggi dan sontak menyita banyak pasang mata. Nanta seolah dieksekusi untuk dimintai pertanggungjawaban atas tindakan yang tidak pernah ia lakukan.

“Maaf, Mbak, tapi saya tidak pernah begitu. Saya tidak pernah seperti yang Mbak maksud. Saya menghargai Mas Adi dan Mbak Icha yang sudah baik kepada saya, mau mempekerjakan saya. Tapi saya mohon, Mbak, jangan katakan hal yang tidak benar.”

“Tidak benar?!” Nadanya malah semakin meninggi. “Kamu itu cuma mau morotin saya saja, ya?! Kamu pikir—”

“Maaf, ini barang kamu ketinggalan.”

Nanta yang tengah dibentak langsung bingung ketika tiba-tiba ada seorang laki-laki yang memberikan alat-alat lukis yang barusan Nanta lihat di toko buku.

“Ha?” Hanya itu yang bisa Nanta ucapkan.

“Ini punya kamu, kan? Tadi ketinggalan di sana.” Tunjuk laki-laki itu.

“Oh … I—Iya.” Nanta tidak tahu harus bagaimana merespon situasi ini. Apakah ini tanda laki-laki itu sedang mencoba membebaskannya?

Okay.” Laki-laki itu lalu melirik sesaat kepada perempuan yang berada di depan Nanta. “Bisa bantu pilihkan sketchbook yang bagus? Saya bingung dari tadi milihnya.” ucapnya kepada Nanta yang membuat ia semakin yakin bahwa laki-laki ini sedang membantunya untuk melarikan diri dari perempuan itu.

“Boleh.”

“Terima kasih.”

Nanta pun langsung mengekor laki-laki itu. Meninggalkan perempuan itu yang tertegun karena diinterupsi oleh orang asing.

“Akhirnya,” celetuk Nanta dibalik rak buku. Ia kini sudah berada di dalam toko buku kembali. Pandangannya masih awas, takut jika perempuan itu mengejarnya. Ia kemudian beralih pandang pada laki-laki yang sekarang berada disampingnya. “Eh, maaf, Mas.” Nanta menyerahkan alat-alat lukis itu kepadanya.

“Kenapa dikembalikan?”

“Oh, ini bukan punya saya.”

“Memang.”

Nanta semakin bingung. Tapi ia tetap ingin mengucapkan terima kasih karena sudah dibebaskan.

“Saya belikan itu untuk kamu.” ucapnya. “Sebagai gantinya, kamu belikan saya sketchbook.”

Nanta perlu waktu untuk memproses ini semua. Apakah sketchbook dianggap sebagai balas jasa?

“Tolong, pilihkan!”

“Oh, I—Iya.” Nanta melihat deretan sketchbook di sana. Meskipun sebenarnya tak sebanding karena alat lukisnya jauh lebih mahal. Lalu, ditengah pencariannya, Nanta lupa bahwa ia ingin mengatakan sesuatu.

“Terima kasih.”

“Untuk?”

“Sudah.. hm,…” Nanta bingung sendiri mengatakannya. “Ya, terima kasih.”

“Tidak jelas.”

Entah kenapa jawaban acuh itu malah membuat Nanta tersenyum.

“Oh, iya, saya Nanta.”

“Lalu?” Sungguh jawaban tak terduga yang Nanta dapatkan.

“Nama kamu?”

“Untuk apa?”

“Mau tahu.”

Laki-laki itu menghela nafas. “Naya.”

“Baik, Naya, ini buku sketsanya. Mau yang ini—”

“Iya itu.” jawabnya langsung tanpa menunggu Nanta menyelesaikan kalimatnya. Laki-laki itu lalu menuju kasir. Memberikan kode kepada Nanta untuk membayarnya.

Hari ini Nanta berterima kasih atas penyelamatan yang telah dilakukan. Dan rasanya terlalu murah jika dibalas dengan satu sketchbook.

“Naya,” panggil Nanta setelah ia dan laki-laki itu ke luar dari toko buku. “Alat lukis ini tetap terlalu mahal. Saya mau menggantinya, tapi tidak sekarang. Jadi …” Ada ragu di dalam ucapan.

“Boleh minta nomor kontak kamu?” tambah Nanta.

[]

tw// suicide, intention to death, panic attack, kiss

“Saya pulang saja, Naya.” ucap Nanta di dalam mobil. Naya lalu melirik singkat pada Nanta. Mereka baru saja mengantarkan Aru untuk les ke tempat Miss Farah. “Saya sudah tidak apa-apa.”

Namun, Naya tidak mendengarnya. Ia tetap melajukan mobil menuju rumahnya. Naya butuh berdua dengan Nanta hari ini karena ada banyak hal yang ingin ia tanyakan dan pastikan.

“Naya,” panggil Nanta. Ia tak mendapatkan jawaban atas permintaannya.

“Saya ingin berbicara dengan kamu, Nanta.” ucap Naya. Pandangannya tetap lurus kepada kemudinya.

“Membicarakan apa?” tanya Nanta. Terdengar suaranya bergetar. Nanta seakan takut tentang tema yang akan dibicarakan bersama Naya.

“Mau di sini dulu?” Naya melirik ke arah Nanta sejenak. Nanta tengah menunduk sambil meremas tangannya. “Kenapa kamu gugup begitu?”

“Ah ... Tidak. Sa—Saya tidak gugup.” Sebuah kontradiksi karena suaranya terbata-bata.

Calm down, Ta.” ucap Naya. Tangannya menyentuh tangan Nanta. Mengusapnya sebentar. “Kita memang sangat buruk dalam komunikasi. Saya mau berbicara dengan kamu pun, rasanya sulit.”

“Bukan seperti itu, Naya.” jawab Nanta cepat. “Yasudah, kamu mau bicara tentang apa?”

Naya menghela nafas dalam. Ia pun dilema. Jika ia bertanya, apakah ia siap mendengar jawabannya? Namun, jika ia terus membiarkannya, semua hanya akan menumpuk. Tak pernah bisa terselesaikan.

“Ta,” Ada jeda di sana. Naya masih merangkai kalimat yang tepat untuk ditanyakan kepada Nanta. “Lima tahun itu, kamu kemana?”

Naya langsung menatap ke arah Nanta. Dan benar. Pertanyaan itu malah membuat Nanta semakin gugup. “Kalau kamu keberatan, kamu berhak untuk tidak menjawab—”

“Saya dirawat.” jawab Nanta singkat.

“Sakit apa? Asma kamu semakin parah, kah?”

“Saya hanya menuruti keinginan kamu, Naya.”

“Keinginan saya?” tanya Naya. Ia bingung dengan jawaban Nanta.

“Waktu itu kamu menginginkan saya untuk ...” Nada suara Nanta semakin bergetar.

“Tidak perlu diteruskan, Nanta.” Mobil pun berhenti di lampu merah. Naya lalu mengambil air mineral di belakang jok kemudinya. Ia kemudian membuka botolnya dan memberikannya kepada Nanta.

“Maaf, Nanta.” ucap Naya sambil mengusap punggung Nanta. Ia telah meminum minumannya.

Lampu merah telah berubah menjadi hijau. Naya melajukan kembali mobilnya. Tak ada lagi percakapannya. Naya mengeratkan pegangan kemudinya. Ia kesal pada dirinya sendiri karena salah memberikan pertanyaan. Naya melirik Nanta yang sedang menatap samping jalan. Tak ada percakapan. Semua larut akan pikirannya masing-masing.

“Bisa jalannya?” tanya Naya. Mereka telah sampai di rumah Naya.

“Bisa.” jawab Nanta. Ia berjalan dengan sedikit tertatih. Tetapi Nanta bersikeras tidak ingin dipapah— apalagi digendong .

Nanta pun dibawa ke kamar Naya yang berada di lantai 2. Nanta sempat menolak, namun Naya tetap bersikeras.

“Bi Mira kemana?” tanya Nanta sambil duduk di atas ranjang Naya. Ia sebenarnya merasa canggung jika hanya berdua di rumah bersama Naya.

“Ke supermarket.” jawab Naya sambil mencari beberapa pakaian di lemarinya. “Ini sepertinya cukup di kamu.”

“Naya ... Sepertinya tidak usah.”

“Tidak nyaman, ya?”

Nanta menunduk.

“Ya sudah luruskan kakinya.” ucap Naya. Ia lalu mengambil sebuah handuk dan botol kecil dari nakas samping tempat tidurnya. “First Aid Kit di sekolah tidak begitu lengkap. Saya bawa kamu ke sini karena saya punya minyak gosok ini.” Naya lalu membalur minyak dari botol itu ke kaki Nanta.

“Iya, tahu.” jawab Nanta. “Kenapa kamu masih punya? Dulu kamu punya karena untuk saya kalau pegal dan sakit kakinya setelah acara fashion.”

Naya terdiam. Dulu. Berbicara tentang dulu tak pernah ada habisnya bagi mereka. Terlalu banyak hal dulu yang telah mereka lakukan bersama-sama.

“Kebiasaan.”

“Naya, kebiasaan itu sudah seharusnya berhenti sejak kita pisah. Kenapa masih dilakukan?”

“Kalau kata Argani, hal itu sudah menjadi auto pilot bagi saya.” Naya yang asalnya menunduk karena tengah memijat kaki Nanta, menengadahkan kepalanya. Ia menatap wajah Nanta dengan lekat. Dulu, setiap lekuk yang ada di sana adalah miliknya; yang Naya sukai, yang Naya cintai, dan yang Naya sayangi.

“Jangan seperti ini, Naya. Kamu membuat saya bingung. Dan kamu sudah dengan Bagas. Tak pantas kita seperti ini, Naya.”

“Saya tahu.” Naya menunduk kembali. “Tetapi, saya tidak bisa menahannya Nanta. Semakin saya menumpuknya dengan kebencian, saya ... saya malah semakin menginginkan kamu ... lagi.”

Naya telah selesai memijit kaki Nanta. Ia lalu membersihkan sisa minyak dengan handuk. Kemudian ia bangkit dari duduknya. Rasanya menyesakkan.

“Saya dirawat di rumah sakit, Naya. Selama 3 tahun. Di ...” Naya yang hendak pergi, menghentikan langkahnya. “RSJ.” Dan Naya pun membalikkan tubuhnya, menatap Nanta yang tengah menunduk.

“Saat itu ... Setiap harinya saya ingin mati, Naya. Saya ingin pergi dari hidup ini. Seperti ... Seperti keinginan kamu. Karena ... Karena mungkin hanya dengan itu saya bisa menebus semuanya.”

Air mata langsung turun begitu mendengar perkataan Nanta barusan. Tidak hanya tubuh Nanta yang bergetar, tetapi tubuhnya juga.

“Saya ... sudah melakukan semua cara, Naya. Meminum racun, melukai diri, menabrakkan diri, loncat—”

Naya langsung mendekap tubuh Nanta dengan erat. “Sudah ... Sudah. Jangan ... Jangan dilanjutkan lagi.” Keduanya bergetar hebat. Nanta telah menangis dan wajahnya tenggelam ke leher Naya.

Selama ini Naya selalu berpikir bahwa hidupnyalah yang paling berat. Ia yang paling sakit dan menderita. Tetapi, hari ini, saat ini, ia merasa sangat kecil. Ia tak pernah tahu apa yang terjadi pada Nanta selepas mereka bercerai. Nanta bagaikan hilang ditelan bumi. Dan baru kembali ketika Aru masuk sekolah menengah pertama.

“Nanta ... Nanta ...” ucap Naya lirih. Ia mengusap punggung Nanta secara perlahan. Mencoba menenangkannya.

“Saya lihat Ibu setiap hari menangis waktu itu. Ibu selalu mengingatkan saya bahwa saya masih memiliki Arunika. Ibu meyakinkan saya bahwa saya masih bisa menjadi Ayah yang baik.”

“Maaf, Nanta ... Maafkan saya. Maaf ...” Naya mengeratkan pelukannya. “Saya sudah jahat kepada kamu. Saya sudah sangat menyakiti kamu. Saya selalu menyalahkan kamu. Padahal ... Padahal kamu pun sama terlukanya, bahkan lebih terluka daripada saya.”

Dan mereka pun menangis bersama-sama. Saling mendekap. Saling mengeluarkan kesedihan yang dulu hanya dipendam masing-masing. Sampai keduanya mereda. Sampai tangis itu terhenti. Naya lalu melepaskan pelukannya. Ia menyeka sisa basah di mata dan pipi Nanta.

“Saya ambilkan minum, ya.” Naya hendak berdiri namun tangannya ditahan oleh Nanta. “Sebentar. Saya akan kesini lagi.” Tangan itu pun dilepaskan. Naya lalu ke luar kamarnya. Dia kemudian menuruni tangga menuju dapur untuk mengambil minum untuk Nanta.

Dan tiba-tiba bayangan itu menyergap. Dada Naya rasanya sakit. Perutnya meringis. Ia mual dan ingin memuntahkan isi perutnya. Tangannya pun gemetar hebat. Sama. Sama seperti di rumah Nanta waktu itu. Naya lalu berpegangan erat pada pegangan tangga di lantai bawah rumahnya.

“Berhenti ... Saya mohon berhenti.” ucap Naya berusaha mengusir memori itu. “Bukan ... Bukan salahnya. Ini ...”

“Naya,” Tubuh Naya langsung dibalik seketika. Ia didekap dengan erat. “Naya, ini Nanta.”

“Nanta ... Nanta, lepas. Saya ingin—”

“Kamu juga sakit. Saya ... Saya tidak lebih sakit dari kamu. Kita ... Kita sama-sama sakit, Naya.” ucap Nanta. Mereka seakan bergantian kambuh dan kini mencoba saling menenangkan satu sama lain. “Ayo ... Ayo, Naya. Kita harus sembuh. Kita harus sama-sama sembuh demi Arunika.”

Tubuh Naya yang tadi bergetar dan menegang, perlahan mulai mereda. Nafasnya yang tersengal-sengal, kini mulai kembali teratur. Pelukan itu Nanta lepaskan, ia lalu memandang Naya yang masih mengatur nafasnya.

“Nanta,” panggil Naya. “Maafkan saya ... Maaf untuk segalanya.”

“Maafkan saya juga, Naya. Maafkan saya gagal menjadi Ayah yang baik untuk anak kita.”

No, you're the best. Kalau ... Kalau saya ada di posisi kamu saat itu, mungkin saya sudah kehilangan semuanya. Saya pasti sudah akan menyerah sejak dulu. Saya pasti—”

Ucapan Naya terhenti ketika bibir Nanta menutupi bibir Naya. Wajah Naya direngkuh. Pagutan itu begitu dalam Nanta berikan kepada Naya. Mata mereka pun terpejam. Saling merasakan— namun kali ini secara sadar— satu sama lain; manisnya, pahitnya, sedihnya, lukanya, dan bahkan sakitnya. Mereka bagi bersama.

Rasa sedih pun terganti oleh gairah yang selama ini mereka tahan. Kini, mereka tak lagi bisa mengurungnya. Naya yang selama ini tak pernah bisa disentuh oleh siapapun dan Nanta yang selalu tertuju pada satu orang. Dan makin lama ciuman itu semakin dalam. Nanta yang memulai, namun sekarang Naya yang menguasai. Tangannya sudah masuk kedalam pakaian Nanta. Menyentuh kulitnya secara langsung. Tanpa sadar, tangan itu terus naik. Dari punggung, perut, dan kini menyentuh dada— bagian sensitif bagi Nanta.

“Naya ...” Nanta melengguh pelan. Naya pun melepaskan bibirnya dari bibir Nanta, tetapi jari jemarinya masih bermain di dada Nanta.

“Hm?”

“Tadi ... ah,” Nanta kesulitan melanjutkan kalimatnya.

“Apa?”

“Mau ... ambil minum.”

“Haus?”

“Hm ...” Nanta menggenggam erat bahu Naya.

“Saya ambilkan.” Naya pun melepaskan tangannya dari dada Nanta. Setidaknya Nanta bisa bernafas dengan lega. Meski untuk sejenak.

Naya telah kembali dengan membawa sebuah botol air minum yang telah dibuka. Ia lalu memberikan kepada Nanta. Naya memandangi Nanta yang sedang meminum air. Memasukkan rambut Nanta yang menutupi matanya ke belakang telinganya.

“Sudah.” ucap Nanta. Seolah itu aba-aba bagi Naya. Ia menerimanya, kemudian menyimpannya di meja.

“Kenapa bisa turun tangga?” tanya Naya. “Kakinya sedang sakit.”

“Sudah tidak sakit.” Naya masih terdiam, seolah menunggu Nanta melanjutkan ucapannya. “Kamu lama, saya khawatir kamu ... Naya!” teriak Nanta di ujung kalimatnya.

Naya mengangkat tubuh Nanta ala bridal seperti saat di sekolah Aru tadi. Nanta tentu kaget. Namun, tak lama. Nanta lalu melingkarkan tangannya di leher Naya. Knowing the place and snuggling, begitu kalau kata Argani.

“Kita kembali ke kamar, ya.” ucap Naya.

Jika Naya memiliki auto pilot untuk Nanta, maka Nanta adalah kebiasaan yang di luar kendali Naya.

[]

Nanta tengah berdiri di depan cermin. Memandangi tubuhnya yang telah terbalut pakaian yang didesain oleh Naya. Sudah lama rasanya. Dulu, hampir semua pakaian yang Nanta kenakan adalah mahakarya Naya. Nanta hampir tidak pernah membeli pakaian, semua dari Naya— hasil rancangannya.

Pakaian itu sangat cocok berada di tubuh Nanta. Seolah sang perancang tahu setiap lekuk tubuh Nanta dan bahkan sangat paham mengenai warna kesukaannya.

Ponsel Nanta tiba-tiba berbunyi. Dari Naya. Ia telah membuka block-nya sehingga Naya bisa menghubunginya kembali.

“Ya?”

Saya di depan.”

Nanta kaget. “Di depan mana?”

Depan gang kontrakan kamu.” jawab Naya di seberang sana.

“Tidak perlu dijemput.”

Aru yang minta. Di sini saya dengan Aru.

Nanta menghela nafas dalam. “Baik, saya ke sana.” Telepon pun berakhir. Nanta lalu memakai sepatu. Merapikan kemeja dan rambutnya.

“Ayah!!” teriak Aru dengan semangat. Ia telah duduk di belakang. “Ayah duduk di depan. Di samping Papa.” Nanta tertegun sejenak. Ia lalu memandang kursi kemudi. Ada Naya di sana. “Ayo, Ayah!” Dan ucapan Aru barusan menyadarkan lamunan Nanta.

“Ayah … Ayah ganteng banget!” ucap Aru setelah Nanta masuk ke mobil dan memakai seatbelt.

“Aru juga ganteng banget.” balas Nanta.

“Kalau saya?” Pertanyaan mengejutkan itu ke luar dari mulut Naya yang kini sedang menyetir. Pandangan Naya tetap lurus ke jalan. Nanta terdiam. Pertanyaan yang tidak disangka. Ia pun langsung memandang Naya. Bohong jika Naya tidak tampan hari ini. Ia begitu rapi dengan pakaian yang senada dengan dirinya. Dan juga wangi— khas Nayanika.

“Ganteng.” jawab Nanta pelan.

“Ih … kok lama jawabnya?” ucap Aru. “Padahal Papa tadi sebelum Ayah datang bilang gini, 'kalau kata Ayah, Papa bagus tidak hari ini?' Papa nungguin respon Ayah, tahu …”

“Aru!” Naya berdelik tajam dari kaca spion.

“Aru ga bohong, Yah. Bener deh Papa bilang gitu.”

Nanta tak bisa menyembunyikan senyumnya. Ia bahagia saat ini. Seolah ini adalah perjalanan keluarga. Pergi bersama-sama. Namun, senyuman Nanta terhenti tiba-tiba saat Naya meliriknya. Ia menjadi canggung.

“Oh … iya, Ayah lupa tidak bawa pakaian ganti. Katanya mau ada permainan, ya?” tanya Nanta memecah kekikukannya.

“Tenang, Ayah. Sudah dibawakan.” jawab Aru. “Papa juga buat baju training untuk kita. Kompak juga warnanya.”

Nanta kaget. Sebegitunya persiapan yang mereka lakukan— terutama Naya.

“Hebat Papanya Aru designer. Kalau bikin-bikin baju, gampang deh. Ayah sama Papa jadi kayak lagi pake baju couple.”

Jika Nanta sedang minum, mungkin dia akan tersedak. Rasanya ini malah membuatnya semakin canggung [baca: salah tingkah]. Nanta lalu menaikkan AC ke angka 3. Tubuhnya memanas tiba-tiba.

“Kepanasan?” tanya Naya.

“I—Iya.” jawab Nanta. Ya, dia benar-benar telah salah tingkah.

Tak ada lagi percakapan sampai tiba di sekolah Aru. Setelah sampai di parkiran, Naya segera turun lebih dulu. Ia langsung membuka pintu Nanta, lalu setelahnya pintu Aru di belakang. Nanta kembali kaget.

“Padahal ngga perlu dibukakan.” ucap Nanta.

“Kebiasaan.”

Kebiasaan? Itu sudah bertahun-tahun yang lalu.

Nanta tidak mengerti. Dan tubuhnya malah semakin memanas. Pipinya sudah memerah.

“Ayah mukanya merah banget. Ciee.” Ucapan Aru barusan sontak membuat Nanta semakin tidak karuan.

“Aru.” Naya menatap anaknya itu. Dan Aru hanya tersenyum sambil melirik Ayahnya.

“Ayo, Ayah dan Papa.” Aru lalu menggenggam tangan Nanta dan Naya. Ia berada di tengah, diapit sambil berpegangan tangan menuju aula sekolah— tempat Parents' Day diadakan.

“Wih, couple of the year nih datang!” Suara nyaring dari Arga membuat orang-orang yang sudah berada di aula, memandang kehadiran Nanta, Naya, dan Aru.

Naya hanya mendelik tajam kepada Arga. Sementara Nanta tersenyum kikuk. Ia tahu Arga— sahabat Naya. Beberapa kali mereka pernah bertemu. Terutama saat Nanta dan Naya masih pacaran dulu.

“Ara, Babanya belum datang?” tanya Aru melihat bahwa baru ada Arga dan Ara di kursinya.

“Katanya telat.” jawab Ara seadaanya.

Mereka semua lalu duduk. Arga yang kursinya berada tepat di depan Naya, langsung melirik ke belakang.

“Perlu gue ciein ngga?” bisik Arga. Bisikan yang terdengar juga di telinga Nanta.

BUG! Naya memukul lengan Arga dengan cepat. Nanta langsung melihatnya. “Lihat ke depan.” perintah Naya kepada Arga.

“Galak.” dumel Arga.

“Ari!!” panggil Aru kepada Ari yang duduknya di samping. Hanya terhalang baris kosong yang digunakan sebagai jalan menuju kursi masing-masing keluarga yang sudah disediakan.

Di samping Ari, tentu ada orang tuanya. Nanta tersenyum kepada Gentala. Pernah ia bertemu dengan Gentala. Dulu. Dan memberikan senyum kepada Nirwana—suami Gentala, namun tak dibalas. Nirwana malah membuang muka. Nanta merasa aneh sendiri.

“Nanta, kamu ga usah senyum sama dia. Emang gitu kelakuannya.” cibir Arga yang lagi-lagi menengok ke belakang.

“Arga!” Delikan tajam langsung Naya lontarkan kepadanya.

Nanta kembali fokus ke depan. Sesekali ia melihat ke sekeliling. Bangku-bangku diatur berjajar menyesuaikan dengan jumlah murid dan orang tua murid. Di depan ada semacam panggung kecil dan diatasnya terdapat tulisan “Parents' Day 8D”.

“Ayah … Ayah … Kita harus jadi Best Family. Kali ini Aru mau ambis soalnya biasanya Ari yang dapat gelar itu. Sekarang Aru ngga mau kalah.” ucap Aru menggebu-gebu. “Baju kita udah samaan begini, kita yang paling kompak, Yah.”

“Iya, Sayang.” ucap Nanta. Dadanya menghangat. Aru begitu bersemangat di acara ini. Baru kali ini semua lengkap. Biasanya hanya Nanta saja yang datang atau Naya saja. Sekarang mereka berdua datang bersama. Pantas Aru sangat senang dan antusias.

“Ayah terus yang diajak berbicara, padahal di sini ada Papa.” ucap Naya. Pandangannya tetap lurus ke depan.

“Aru kan sering ngomong sama Papa di rumah. Kalau sama Ayah jarang. Ini juga baru ketemu lagi kan Ayah baru pulang dari Rumah Eyang.”

“Hm,” Naya hanya merespon singkat.

“Aru, nanti bicaranya ke tengah aja. Biar Papa bisa dengar juga.”

“Saya merasa left out kalau kalian sudah berdua.” timpal Naya.

Nanta melirik ke arah Naya. Ia mengatakannya dengan tenang. Namun, terdengar seperti sedang cemburu.

“Papa cemburu ke Ayah atau cemburu ke Aru? Papa mau ngomong sama Ayah, ya?”

Skakmat!

Naya langsung menatap Aru. Wajahnya mulai memerah. Kini terlihat Naya yang salah tingkah.

“Aduh … lupa!” Nanta tiba-tiba teringat sesuatu.

“Apa?” tanya Naya.

“Ada oleh-oleh untuk Aru, tapi ketinggalan.”

“Oh, untuk Aru saja?”

Fix deh ini Papa cemburu ke Aru, soalnya Ayah lebih inget Aru daripada Papa.” ledek Aru. Telak sudah.

“Apa sih?!” Naya kembali menatap ke depan.

“Sepaket kok oleh-olehnya. Buat Aru dan Papa juga.”

“Tuh, Papa. Ngga usah senewen begitu. Ayah bawa juga kok buat Papa.” Habis sudah Naya digoda oleh Aru. Nanta pun tersenyum melihatnya. Interaksi Aru dan Naya memang selalu lucu. Mereka adalah dua orang dengan sifat dan sikap yang sangat berkebalikan satu sama lain. Berbeda dengan Nanta, Aru lebih mirip dengannya baik dari sifat maupun sikap.

“Tes 1 2 3.” Di depan sudah berdiri Arsa. Nanta memberikan respon bahwa dirinya hadir kepada Arsa yang tengah berada di atas panggung. Ia sudah siap untuk memulai acara.

“Selamat pagi, Bapak dan Ibu sekalian. Sebelum memulai acara, saya lihat daftar kehadiran masih ada yang belum hadir, ya.” Arsa melihat-lihat lembaran kertas yang dia bawa. “Pak Kamandaka belum hadir, ya? Baswara?” tanya Arsa.

“Sudah di parkiran, Pak.” jawab Arga. “Sebentar lagi sampai ke sini.”

“Baik, kalau begitu, kita mulai dulu saja, ya, acaranya.” ucap Arsa. “Selamat pagi, Bapak dan Ibu semua. Selamat datang di Parents' Day 8D!” Suara tepukan pun riuh terdengar.

“Dari Kendal ke Padang, pulangnya mampir ke Merbabu. Tak kenal maka tak sayang, perkenalkan saya Arsa wali kelas baru.”

Perkenalan barusan mengundang tawa dan tepukan dari para murid dan orang tua murid. Tentu saja bagi Nanta juga. Arsa— temannya yang ia kenal sejak duduk di bangku kuliah, memang aktif dan sering menjadi pembawa acara sejak kuliah. Ia memang lebih talkative dibandingkan Nanta.

Dan senyuman Nanta barusan menjadi fokus perhatian dari seseorang. Nanta melirik ke samping. Naya tengah melihat dan memperhatikannya. Nanta kira, Naya akan tersentak dan membuang wajahnya ketika Nanta memergokinya sedang melihatnya, tetapi ternyata tidak. Naya malah tersenyum balik kepadanya.

“Kamu lucu.” Tak diucapkan dengan lantang, namun mulut Naya mengatakan seperti itu. Nanta langsung membuang muka. Dia menyentuh pipinya yang mulai memerah dan menghangat.

“Ayah … Ayah, kenapa?” tanya Aru.

“Dia sedang salah tingkah.” jawab Naya datar. Wajahnya kembali menatap ke depan. Sementara Nanta sedang berusaha menutupi bahwa jantungnya kini tengah berdebar-debar.

[]