arunika

maybe as much as i could not tell him right away


kiwisplits · please don't be in love with someone else

Sanzu tidak tahu, mengapa malam itu seusai membeli satu loyang kue cokelat dan beberapa pastry untuk anak-anak lain, keduanya justru berakhir di sebuah taman kecil. Baik Rindou dan Sanzu kini terduduk di sebuah bangku taman panjang; yang menengahi keduanya adalah plastik berisi kotak kue yang baru saja mereka beli.

Rindou menilik singkat pada bungkus rokok milik Sanzu yang menyembul dari balik saku celananya. “Ngerokok aja kalau mau,” ucapnya singkat. “Lagian lagi gak ada anak-anak kan malem-malem gini.”

Sanzu melengos pelan disertai senyum tipis yang terpeta di wajahnya. “Enggak, gue gak kepengen ngerokok. Emang kebawa aja di saku,” ia berkelit pelan seraya memasukkan seluruh bungkus rokoknya ke dalam saku celana. “Lagian bakal serem juga kalo jam segini ada anak-anak. Udah jam berapa ini?”

Manik kecubung Rindou jatuh pada jam tangan yang melingkari pergelangan tangannya. “Sebelas.”

Seperti biasanya, yang senantiasa mengiringi mereka adalah kesunyian dari kedua insan yang terlampau kebingungan untuk memulai pembicaraan. Entah karena status mantan yang menggauli mereka atau seluruh kecanggungan ini murni lahir sebagai manifestasi dari satu setengah tahun yang mereka lalui tanpa berkabar kepada satu sama lain; atau mungkin keduanya? Namun yang pasti, seluruh pembicaraan yang mampu keduanya kuasai ketika bersama orang lain tiba-tiba sirna begitu saja. Menyisakan lidah yang kelu serta sepasang manik yang terpasung pada tiap-tiap sisi lain yang mengurungi mereka.

Selain siapa yang berada di sebelah mereka.

“Tadi... ngobrolin apa aja sama Chifuyu?” Sanzu bertanya selagi mengusap kedua pahanya sendiri. Sebab kesunyian yang sejak tadi merengkuh mereka kini mulai memekik masuk, membelai pada permukaan kulitnya serupa angin malam yang dingin.

“Gak banyak,” jawab Rindou singkat. “Cuman bilang kalau dia butuh apa-apa, dia boleh dateng ke gue.”

Sebait senyuman di belah bibir Sanzu merekah stagnan. Ia tahu Rindou tidak begitu pandai dalam bergaul. Anak itu kesulitan mencari teman sejak dulu—mungkin karena sifatnya yang lebih banyak diam dan tidak suka bercerita. Jadi mengetahui bahwa pemuda ini kini pelan-pelan mulai memiliki lebih banyak teman untuk ia rangkul seperti menghadirkan percikkan hangat yang menelisik masuk ke dalam relung dada Sanzu.

“Kayaknya gue sama Chifuyu punya banyak banget kesamaan,” Rindou bergurau pelan. Kini ia menengadahkan kepalanya, menatap hamparan langit jelaga yang hanya ditaburi beberapa titik gemintang. “Selain sama-sama pernah dirundung sama orang. Both of us grew up with single parent. Lo tau kan kalau Bunda gue udah meninggal lama?”

Sanzu menjilat bibirnya yang kering. “Iya, tau.” Mungkin, memang hanya itu yang dirinya tahu mengenai Rindou dan keluarganya. Sebab ketika keduanya masih menjalin kasih, jika tidak salah ingat, Rindou pernah mengajaknya ke makam sang Bunda sebanyak dua kali. Membiarkan Sanzu berdiri beberapa langkah di belakangnya sedangkan Rindou berjongkok seraya merapihkan makam yang masih nampak tertata dengan rapih.

Lalu pada saat itu lah Sanzu akan pura-pura menutup kedua telinganya, sengaja menghadirkan ruang tersendiri bagi Rindou untuk berbicara dengan sang Bunda. Meski tak dapat dipungkiri, ketika Rindou mengawali kalimatnya dengan, “Halo, Bunda. Rin dateng lagi. Tapi hari ini Rin ditemenin sama pacar Rin,” lantas seluruh wajah Sanzu ditelan oleh merah padam.

“Papanya Chifuyu meninggal dari Chifuyu masih umur empat tahun. Bunda gue meninggal dari gue SD. And the left parent... baik Mamanya Chifuyu sama Papa gue, dua-duanya sama-sama sibuk. Banting tulang buat biayain semuanya sendirian.” Rindou tersenyum pelan seraya menatap kedua kakinya yang dibalut oleh sepatu sneakers berwarna putih. “Dulu Bunda pernah bilang, gue cocok pake sepatu putih.”

“Emang cocok, kok.” Sanzu bergumam pelan, lantas mengundang Rindou yang kini menatap ke arahnya dengan lurus. “Maksudnya, Bunda lo bener.”

“Thanks.”

“Lo deket ya sama Bunda lo?” Sanzu bertanya hati-hati. Sebab ia selalu takut jika pertanyaannya akan menyinggung Rindou. Namun nampaknya pemuda di sebelahnya nampak tak menarik segaris senyuman di belah bibirnya, memasung lengkungan garis tersebut dengan apik dan cantik; merekah manis di bibirnya yang basah.

“Buat ukuran anak yang masih dua belas tahun, kayaknya wajar kalau mereka masih deket sama Bundanya,” Rindou menjawab dengan pendar yang kini mengarungi lautan di bola matanya yang bening. “Kadang gue mikir, kalau Bunda masih ada apa gue sama Bunda masih bisa deket kayak dulu. Karena gue takut, mungkin ada satu dua hal dari diri gue yang mungkin suatu saat bakal bikin gue sama Bunda malah gak deket lagi.”

“Pasti tetep deket sih menurut gue,” Sanzu mengangkat kedua tangannya dan ia gunakan sebagai sandaran pada kepala bagian belakang. “Maksudnya, lo pinter, lo sopan, lo gak pernah coba buat ngelakuin macem-macem. Lo selalu punya celah untuk ngelakuin apa yang mau, just saying, mukulin anak-anak yang jailin lo dulu. Tapi ternyata gak lo lakuin. I'm pretty sure bukan karena lo takut. Lo orang paling berani yang pernah gue liat. Lo cuman—”

“Enggak, gue emang penakut,” Rindou memotong ucapan Sanzu tanpa keraguan yang terbesit di kalimatnya. “Gue emang penakut. Makanya gue gak pernah ngelakuin itu semua. Yang lo omongin dulu bener. Gue takut gue kena point, gue takut gue di-skors, atau terparah harus sampe di-drop out. Gue takut kalau tindakan gue berujung gue gak bisa masuk ke PTN, gak bisa cari kerja, ujung-ujungnya ngerepotin Papa. Gue emang banyak takutnya, Zu.”

Pandangan Sanzu meredup pelan; memandangi bagaimana Rindou kini menandaskan kalimatnya dengan raut wajah yang biasa saja. Apa karena pemuda itu sudah terbiasa dengan seluruh rasa takutnya? Atau karena ia telah berdamai dengan keadaan? Atau justru... karena ia terlalu pandai menyembunyikan bulir-bulir keresahan tersebut? Apa yang benar-benar terjadi di dalam seisi kepalanya itu?

Mengingat apa yang diucapkan Kakuchou padanya mengenai kondisi Rindou membuat Sanzu merasa begitu gatal untuk menyadarkan pemuda itu betapa berani dirinya untuk tetap bertahan. Sebab seluruh ketakutannya pada sebatas point serta skorsing sepatutnya tak sebanding dengan seluruh ketakutannya mengenai hari esok yang selalu mampu ia hadapi. Bahwa pemuda itu pasti pernah tenggelam dalam lautan kecemasannya; barangkali berpikir bagaimana jika esok ia membuka mata dan terbangun dengan kabar bahwa abangnya sudah tak lagi ada.

Jadi, untuk menutupi seluruh urgensi untuk menenangkan Rindou tanpa perlu membawa kondisi keluarganya yang ia ketahui dari Kakuchou, Sanzu mengajukan sebuah gurauan. Dengan sedikit menanam harap lelucon jayusnya itu mampu menghangatkan suasana dan menyeka kesedihan yang diam-diam disimpan sendirian oleh Rindou.

“Tapi lo tuh keliatan berani banget, tau,” ujar Sanzu. “Kayak kemaren, lo bisa tuh berani mau nonjokkin orang-orang yang jahatin Chifuyu. Maksud gue— oke, lo penakut pas SMA. Tapi sekarang lo udah jadi orang yang berani.”

Ada jeda yang mengawani kalimat Sanzu yang telah usai—sebab Rindou tak langsung merespons, lantas membuat sang pemuda dengan surai merah muda itu sedikit mencuri pandang pada pemuda di sebelahnya. Apa lelucon yang tidak bisa disebut sebagai lelucon itu tidak terlalu lucu?

“Karena Kakuchou, sebenarnya,” gumam Rindou pelan. “Gue gak yakin kalo saat itu gak ada Kakuchou, apa gue bisa sekuat sama seberani sekarang.”

Ah.

Sanzu dengan sigap segera mengatupkan kedua belah bibirnya. Maniknya kini menatap atentif ke arah Rindou, mencoba memberi kesan seakan kini seluruh atensinya benar-benar terpatri pada diri pemuda itu. Walaupun tak dapat dibohongi, ada sedikit nyeri yang menyelami dadanya sesaat ketika mendengar nama itu disebutkan di tengah konversasi mereka.

Sesaat ketika menyadari bahwa benar pemuda itu yang senantiasa ada di samping Rindou ketika ia tengah butuh dikuatkan.

“Lo sayang banget sama dia?”

Ada sebuah anggukkan mantap yang Rindou berikan begitu saja. Tanpa ragu, tanpa jeda. Seakan jawaban tersebut begitu mutlak meski hanya berupa sebuah anggukkan tanpa vokal.

“Dia... baik banget,” Rindou kembali mengulas senyum ketika kini lidahnya bergerak mendeskripsikan sosok kekasihnya. “Dia gak pernah marah. Dia gak pernah nuntut apa-apa. He has always been kind. Beberapa tahun terakhir emang... lagi gak begitu gampang buat gue. Tapi dia selalu ada di samping gue. He has always been there.”

Mungkin, pemuda Haitani itu tak sadar jika ada sebercak nada antusias yang terjebak dalam intonasinya. Bahwa binar di kedua bola matanya telah begitu kentara menjelma menjadi spektrum cahaya yang terang dan berkilauan. Dan mungkin Rindou tak sadar jika seluruh antusiasmenya yang kecil justru seperti kembali memojokkan pemuda di sebelahnya.

“How much do you love him?”

“Maybe as much as I could not tell him right away.” ⠀ ⠀ ⠀ ⠀ ⠀


⠀ ⠀ ⠀ ⠀ ⠀ Rindou mengerucutkan bibirnya masam selagi mengeratkan jaket yang ia gunakan. Pandangannya terarah lurus pada sosok Sanzu yang kini berada di atas motornya, dengan anteng menunggu kehadiran Rindou di depan komplek.

“Kamu ngapain sih ngajak ketemuan jam sebelas malem?” Sanzu terbahak ringan ketika hal pertama yang menyambutnya adalah semburan amarah Rindou akibat pesan dadakan yang Sanzu kirim agar keduanya bertemu malam itu. Seperti biasa, di depan komplek rumah Rindou karena pemuda pirang itu enggan untuk memberi tahu rumahnya.

“Aku mau ngajak makan.”

Kening Rindou mengernyit pelan. “Makan? Jam segini? Makan apaan, sih?” Rindou bercerocos begitu saja dan Sanzu dengan gemas segera mencubit bibir basah Rindou. “Sumpah, jangan aneh-aneh. Papa lagi di rumah. Nanti aku dimarahin kalau ketauan keluar jam segini.”

“Niatnya tadi mau ngajak makan sate,” jawab Sanzu dengan cengiran lebar di wajahnya. “Cuman karena aku takut pacar aku dimarahin Papanya, jadi yaudah kita makan gultik aja biar cepet. Kalo makan sate kan harus nunggu satenya dibakar dulu.”

Seraya menerima helm yang diajukan oleh Sanzu, Rindou kembali menilik penuh keheranan pada pemuda tersebut. “Kamu beneran gak ada aneh-aneh kan tengah malem ngajak makan gultik gini?”

“Enggak, beneran,” ujar Sanzu sembari menepuk-nepuk jok belakang motornya. “Ayo naik, biar makin cepet.”

Masih dengan raut penuh kesangsian yang memenuhi wajahnya, Rindou segera naik ke motor Sanzu dan mengisi jok belakang yang kosong. “Aku tau ya kalau kamu lagi bohong, kamu pikir aku dungu, apa?”

Sambil menyalakan motornya dan membawa motor matic tersebut melaju membelah jalanan kota, Sanzu kembali terbahak dengan tawanya yang terdengar begitu renyah. “Iya, iya. Aku tuh tadi ketiduran jam tujuh malem kan. Terus jam setengah sebelas kebangun.”

Mencoba agar suaranya mampu didengar oleh Sanzu, Rindou memajukan tubuhnya dan menyandarkan dagunya pada pundak Sanzu. “Kebangun karena apa? Mimpi buruk lagi?”

Sanzu terkekeh. “Seratus poin.”

Perlahan, Rindou menyelipkan kedua tangannya untuk melingkar pada pinggang Sanzu. “Mimpi buruk apa lagi? Mau diceritain?”

“Aku mimpi kamu minta putus. Terus aku nangis-nangis kayak orang gila karena kamu udah keukeuh mau ngajak aku putus.”

Rindou tanpa sadar merotasikan kedua bola matanya malas. Ia tahu Sanzu memang kerap kali mendapatkan mimpi buruk—dan beberapa dari mimpi tersebut, Rindou berani mengatakan, cukup mengerikan. Namun jika mimpi buruk yang pemuda itu maksud adalah keduanya yang putus, rasanya Rindou jadi malas mendengar serentetan kisah konyol tersebut.

“Jangan bilang kepikiran karena berantem kemarin?”

“Bohong dong, kalo aku gak kepikiran!” Sanzu merengut dan Rindou menepuk pelan perut Sanzu dari belakang, meminta pemuda itu untuk tetap fokus membawa motornya menelusuri jalanan malam yang masih ramai. “Kamu tuh dari dulu tiap aku suruh ngomong 'Aku sayang kamu' ke aku aja gak pernah diturutin. Selama ini aku doang yang ngomong I love you kayak orang yang bertepuk sebelah tangan aja cintanya.”

Kali ini, tanpa disadari, justru malah Rindou yang terkekeh geli mendengar kekasihnya yang rewel. “Ya kan sering bilang, kadang malu.”

“Kan aku cuman minta ngomong sekaliii aja, gitu.”

“Emang harus ngomong 'I love you' dulu gitu baru kamu ngerasa aku sayang sama kamu?”

“Ya bukan gitu,” bisik Sanzu pelan. “Cuman sekali-kali kan aku pengen denger gitu loh, Rin.”

Mencoba untuk menghindari pertikaian lain, maka Rindou semakin mengeratkan kedua lengannya mendekap Sanzu dari belakang. Kini wajahnya sudah bersandar pada punggung hangat Sanzu, menghirup dalam-dalam aroma Sanzu yang sedikit bercampur dengan bau asap rokok.

“Iya, iya. Aku sayang kamu.”

“How much do you love me?”

“Maybe as much as I could not tell you right away.”


Sanzu berlari kecil, melangkah keluar dari kamar Chifuyu selagi manik hijau miliknya mengedari setiap sisi kosan. Ia butuh waktu beberapa saat sampai sepasang indra penglihatannya menangkap sosok Rindou—lengkap dengan hoodie hitam dan surai ungu yang ia kuncir asal, berjalan menuju gerbang.

“Rin,” Sanzu memanggil pemuda itu; berharap bahwa setelahnya, Rindou akan menolehkan kepala dan menghentikan langkahnya. Tapi tidak. Pemuda itu terus melangkah menghampiri gerbang, membuat Sanzu mau tidak mau kembali membawa kedua tungkai kakinya berlari—mengejar entitas tersebut. “Rin, hey, Rindou— sorry, gue gak maksud.”

Sanzu dengan sigap mengucap maaf ketika tangannya secara reflek meraih pergelangan tangan Rindou, mencengkramnya pelan—mencoba menahan pergerakan pemuda itu. Namun kelima ruas jemarinya masih bersemayam di sana. Menuruti seluruh intuisinya jika pemuda itu akan melanjutkan langkah menuju destinasinya jika tidak segera ditahan.

Ada yang merambat hangat secara asing pada diri Sanzu ketika ia menyadari bahwa tak ada elakan yang Rindou lakukan. Bahwa entitas itu hanya tertegun sejenak dan membiarkan jari jemari Sanzu merengkuh erat pergelangan tangannya. Tanpa menyisakan celah baginya untuk pergi.

“Kenapa?”

“Lo mau kemana?”

Pertanyaan Sanzu membawa kedua netra milik Rindou menatap lurus ke arah Sanzu. Entah apa yang benar-benar singgah pada kontemplasinya yang cenderung riuh sedangkan kedua bibirnya masih terkatup rapat, seperti enggan menyuarakan jawaban yang sesungguhnya.

“Beli makan.”

Kening Sanzu mengernyit, kedua bola matanya menyipit begitu mendengar jawaban singkat dari Rindou. “Lo lagi gak bohong?”

“Lo gak percaya sama gue?”

'Iya.' Sanzu menjawab dalam hati sebelum ia turut menyoroti obsidian serupa lembayung senja milik mantan kekasihnya. Tak ada yang bisa dibohongi di sini bahwa, rasanya, ada segenap keraguan yang kerap kali timbul pada benak Sanzu setiap ia mendengar apapun yang keluar dari mulut Rindou. Bahwa nyatanya, ada hal-hal yang memang tak seharusnya segera ia percayai begitu saja karena seluruh kenyataan seperti terbendung di balik lidah Rindou.

“Lo gak bakal ngelakuin hal-hal aneh, kan?”

Sebelah alis Rindou terangkat secara skeptikal; seakan ia kini begitu buta arah pada kemana arah dari pertanyaan Sanzu. “Hal-hal aneh gimana? Atas dasar apa lo berasumsi gini? Apa makan udah kedengeran aneh buat lo?”

Tatapan Sanzu turun pada jemarinya yang masih lemat meremat pergelangan tangan Rindou. Tangannya mencoba memosisikan telapak tangan Rindou terbuka, menengadah ke atas—menampilkan luka basah di telapak tangannya akibat kuku yang tertancap terlalu dalam. Pandangan Sanzu menyendu sejenak. Pasti pemuda itu menahan seluruh emosinya sejak tadi dengan mati-matian mengepalkan tangannya sendiri terlalu kuat.

“Lo tau, Rin,” Sanzu mengangkat suara dengan rendah sedangkan irisnya masih jatuh mengamati luka pada telapak tangan Rindou. “Lo banyak diemnya. Dari dulu juga begitu. But it's so easy for you to get mad over something. Lo sensitif, temperamen, cerewet.”

“Lo ke sini cuman buat ngejekin gue?”

“Just to remind you to not doing something dumb.”

“Menurut lo gue mau ngapain?”

“Yang pasti bukan cari makan,” jawab Sanzu. Ia melepaskan pelan-pelan tangan Rindou dari genggamannya tatkala kembali membisikkan kata maaf jika barangkali tindakan menggenggam tangan kekasih orang dengan sepercik euforia yang bermekaran di permukaan kulitnya merupakan tindakan yang salah. “Gue tebak lo mau ngelakuin hal gila. Jam segini jalan ke kampus, cari pelakunya—padahal lo gak tau mereka siapa, mukanya kayak gimana, apa mereka punya back up orang-orang berpengaruh apa enggak.”

“Oh right, gue gak kepikiran ke sana,” Rindou berdecak singkat lalu menatap aspal yang kedua kakinya pijaki saat ini. “Mungkin yang bully Chifuyu anak rektor, anak DPR, anak pengusaha—orang-orang besar yang selalu bisa nutupin kejahatan mereka. Right. Lo bener, Zu,” pemuda itu menjelaskan sesegala hal yang sepatutnya mampu menghentikan langkahnya saat itu dengan intonasi suara yang begitu rendah. “Tapi bukan berarti gue gak bisa nonjok mereka.”

Dan perkiraan Sanzu memang benar. Dua menit. Rasanya bahkan kurang dari dua menit Sanzu melepaskan genggaman tangannya pada pergelangan Rindou; dan pemuda itu benar-benar sudah kembali membalikkan badannya dan mengambil langkah dengan teguh. Tidak semua orang memiliki reflek sebaik Sanzu; yang lantas kembali meraih tangan Rindou untuk kembali digenggamnya erat. Mengunci seluruh langkah pemuda itu, memasungnya dalam diam.

“Rin!” Sanzu meninggikan suaranya kali ini. Satu tangannya yang menganggur segera mencengkram bahu Rindou, memaksa pemuda itu agar kembali berdiri berhadapan dengannya. “Bukan berarti lo gak bisa nonjok mereka? Siapa yang mau lo tonjok? Lo mau nonjok mereka dimana? Kalau ternyata yang lo tonjok beneran pelakunya? Kalau lo salah sasaran?”

Hening panjang saat itu menengahi keduanya. Langit bahkan semakin gelap karena nampaknya matahari semakin letih bersinar seharian; dan yang mengisi tiap-tiap ruang di antara mereka hanyalah kepakan burung yang menginvasi langit oranye, berterbangan secara bersama-sama untuk kembali ke tempat mereka. Entah bagaimana, pandangan mereka kini terus terarah pada satu sama lain. Seakan tak ada kecanggungan yang mengalir di diri mereka, seakan keduanya melupakan kenyataan bahwa mereka pernah menjalin kasih.

“Gue tau lo bisa jauh lebih pikir panjang, Rin. Otak lo gak bekerja sependek otak gue. Kalo lo sampe salah sasaran, masalahnya bisa makin kusut. Gue takut lo kena masalah, gue takut lo di-drop out dari kampus.”

“Tapi gue gak takut.”

Sanzu mendesau kasar. Tidak menyangka jika dalam kondisi seperti ini dirinya perlu kembali melihat sisi keras kepala Rindou. “Iya. Lo gak takut. Tapi gimana keluarga lo? Menurut lo mereka bakal gimana?”

Perlahan, Sanzu dapat menyaksikan deru napas Rindou yang kini melantun lebih tenang dan tipis dibanding sebelumnya. Dadanya tak lagi naik turun secara kasar. Namun, kedua tangannya kini kembali mengepal erat. Seakan seluruh gelora emosi yang berdesir tanpa henti mengaliri tiap tetes darahnya kini ia akumulasikan pada kedua kepalan tangannya.

“No, oke. Lepasin,” satu tangan Sanzu yang sebelumnya bertengger di pundak Rindou kini turun pada salah satu tangan yang mengepal. “Berhenti ngepalin tangan lo kayak gini. Lo mau nusuk telapak tangan lo sampe gimana? Sampe nembus? Sampe darahnya merembes? Sampe busuk?” Rentetan pertanyaan itu hadir keluar seperti laju yang melesat dari stasiun; begitu cepatnya sehingga tak menyisakan barang sedetik bagi Rindou untuk memproses tiap-tiap pertanyaan untuk ia jawab. “What makes you even this mad... Gue tau Baji, Hanma, Mitsuya, atau Inupi bisa semarah itu karena mereka udah kenal lama sama Chifuyu. They are the most protective brothers. Tapi lo kenal Chifuyu sebulan aja belum. Lo bukan orang yang gampang emotionally attached sama orang baru.”

Rindou menatap nanar sepasang manik hijau milik Sanzu. “Chifuyu. Anak itu. Dia di-bully. Hampir satu semester dia diejek, dikatain cari atensi cuman karena dia aktif. Lo tau, Zu— gak ada yang lebih anjing ketika lo diejek cuma karena lo ngelakuin hal yang bener. Dia disiram pake air bekas ngepel. Dibanting. Tangannya disundut pake rokok. Menurut lo apa gue gak punya alasan buat gak marah?”

“Iya, iya. Gue tau. Ini posisinya gue juga marah, Rin. Cuman—”

“And most likely; Because I was there on his shoes.”

⠀ ⠀ ⠀ ⠀ ⠀


⠀ ⠀ ⠀ ⠀ ⠀ Rindou menatap lurus ke arah ransel hitamnya yang kini basah kuyup. Bau harum buah-buahan nampak menyeruak terlepas dari tetesan air yang mengalir dari ransel ke keramik berwarna sedikit keruh. Tidak ada yang dapat Rindou pikirkan saat itu selain segera membuka ranselnya dan mengeluarkan buku tulis beserta buku paketnya.

Persis seperti yang ia pikirkan, seluruh bukunya basah. Bahkan setelan olahraga yang akan dipakai pada jam terakhir turut terendam dalam air keruh tersebut. Namun apa yang menyentil amarah Rindou saat itu adalah ketika iris serupa batu kecubung miliknya menangkap buku tulis geografi miliknya yang sudah sobek menjadi potongan-potongan kertas yang lecak dan basah.

Rindou mengambil napas panjang sebelum dirinya mengedarkan pandangan dan menemukan segerombolan anak laki-laki yang menertawainya dari sudut belakang kelas.

Amarahnya seperti memuncak; menggema kian nyaring, meronta rewel agar segera dikeluarkan begitu saja. Namun ketika pikirannya terhenti di beberapa hal—termasuk perkara masa depan juga impian yang ingin ia capai; gempuran emosi itu perlahan menyurut, diwakilkan oleh kedua tangannya yang mengepal erat.

“Loh, gak ditonjok?”

Tiba-tiba sebuah suara menyentil gendang telinganya, membawa Rindou lantas menoleh pada sumber suara yang terdengar asing dan menemukan sosok pemuda dengan surai merah muda yang berdiri di sebelahnya. Kening Rindou mengernyit singkat. Bukankah pemuda ini anak kelas sebelah? Kenapa pula sekarang ia berada di kelasnya dan bertingkah sok akrab dengannya?

“Enggak. Males, yang satu anak guru yang satu anak orang TU.”

“Yaaah, kok gitu?” Ada desauan kecewa yang mengalir keluar dari belah bibir pemuda asing tersebut dan Rindou benar-benar tak paham kenapa pula remaja asing dengan tampang berandalan itu kini kecewa akan dirinya? Karena Rindou gagal memberikan tontonan seru dengan membogem gerombolan kutu brengsek yang merusak bukunya? “Padahal pas lo balik badan, gue kira lo mau nonjok mereka satu satu terus lo ludahin.”

Saat itu, posisinya Rindou benar-benar tidak paham mengapa pemuda di sampingnya ini benar-benar terus mengajaknya berbicara tanpa berhenti? Apakah seluruh abai yang Rindou berikan tidak membuatnya sadar bahwa kini Rindou benar-benar terlalu malas untuk membuka suara terlebih dengan kondisi perasaannya yang masih memburuk?

“Oh, gue tebak,” cowok itu kembali membuka suara dan Rindou kini benar-benar ingin menyumpal mulutnya dengan robekan buku tulis geografi miliknya. “Pasti karena lo takut masalahnya jadi bakal panjang. Lo muka-muka orang pinter sih. Emang gawat kalo lo nonjok orang, nanti lo kena poin, kena sp, kena skorsing, atau yang paling parah drop out sih.”

Kali ini, Rindou berdecak singkat. Ia menengadahkan kepalanya demi menatap lurus pemuda tersebut dan melipat kedua tangannya di depan dada. “Terus? Poin lo di sini buat apa? Ikut ngejekin gue kayak mereka?”

Pemuda itu mengedikkan bahunya singkat. “Enggak, tuh. Gue kesini soalnya penasaran aja kenapa lo gak ngelawan. Tapi ya makes sense deh kalo orang pinter males cari masalah,” pemuda itu perlahan membuka simpul dasi yang tadi mencengkram erat lehernya lalu menggulung lengan seragamnya yang sudah pendek. “Tapi untungnya gue gak takut sama yang kayak gitu.”

Rindou tak tahu apa yang baru saja terjadi—karena ia bersumpah, segalanya seperti berjalan seperti laju cahaya. Begitu cepat dan kilat, sehingga pemuda itu benar-benar tidak mampu memproses apapun yang terjadi. Hanya seingatnya, pemuda asing pemilik surai merah muda itu menitipkan dasinya pada Rindou sebelum ia berjalan menghampiri gerombolan pemuda yang sejak tadi menertawai Rindou dan menghajar muka mereka satu-satu.

Suasana kelas menjadi begitu riuh dan kacau; karena sang pemilik surai merah muda benar-benar menghajar gerombolan pemuda tersebut hingga keempat dari mereka terkapar di lantai dengan tulang hidung yang patah.

Sesaat setelahnya, tanpa sepersen rasa bersalah yang tercetak di wajahnya, pemuda itu kembali menghampiri Rindou dan meraih dasinya. “Makasih udah mau dititipin,” ia berucap seraya menyengir. “Lo sekarang belajar aja yang bener. Soal mereka nanti mau ngadu gimana ke orang tuanya atau ke bk, gue pastiin gak bakal bawa-bawa nama lo. Ya?”

Dan begitu saja, pemuda tersebut meninggalkan Rindou seusai menepuk pelan puncak kepalanya. Menyisakan presensi Haitani Rindou yang tercenung; terlepas dari kenyataan bahwa suasana di kelasnya tengah berlangsung kisruh. Ada sedikitnya beberapa hal yang tau-tau menggelitik permukaan perut Rindou dan menyalurkan hangat pada kedua pipinya saat itu juga. Bahwa relung hatinya yang kosong seperti tengah diisi oleh euforia letusan-letusan kembang api yang begitu ramai oleh sejumlah spektrum...

...akibat presensi dengan bet nama Sanzu Haruchiyo yang terpasang di seragamnya.


Sanzu berlari kecil, melangkah keluar dari kamar Chifuyu selagi manik hijau miliknya mengedari setiap sisi kosan. Ia butuh waktu beberapa saat sampai sepasang indra penglihatannya menangkap sosok Rindou—lengkap dengan hoodie hitam dan surai ungu yang ia kuncir asal, berjalan menuju gerbang.

“Rin,” Sanzu memanggil pemuda itu; berharap bahwa setelahnya, Rindou akan menolehkan kepala dan menghentikan langkahnya. Tapi tidak. Pemuda itu terus melangkah menghampiri gerbang, membuat Sanzu mau tidak mau kembali membawa kedua tungkai kakinya berlari—mengejar entitas tersebut. “Rin, hey, Rindou— sorry, gue gak maksud.”

Sanzu dengan sigap mengucap maaf ketika tangannya secara reflek meraih pergelangan tangan Rindou, mencengkramnya pelan—mencoba menahan pergerakan pemuda itu. Namun kelima ruas jemarinya masih bersemayam di sana. Menuruti seluruh intuisinya jika pemuda itu akan melanjutkan langkah menuju destinasinya jika tidak segera ditahan.

Ada yang merambat hangat secara asing pada diri Sanzu ketika ia menyadari bahwa tak ada elakan yang Rindou lakukan. Bahwa entitas itu hanya tertegun sejenak dan membiarkan jari jemari Sanzu merengkuh erat pergelangan tangannya. Tanpa menyisakan celah baginya untuk pergi.

“Kenapa?”

“Lo mau kemana?”

Pertanyaan Sanzu membawa kedua netra milik Rindou menatap lurus ke arah Sanzu. Entah apa yang benar-benar singgah pada kontemplasinya yang cenderung riuh sedangkan kedua bibirnya masih terkatup rapat, seperti enggan menyuarakan jawaban yang sesungguhnya.

“Beli makan.”

Kening Sanzu mengernyit, kedua bola matanya menyipit begitu mendengar jawaban singkat dari Rindou. “Lo lagi gak bohong?”

“Lo gak percaya sama gue?”

'Iya.' Sanzu menjawab dalam hati sebelum ia turut menyoroti obsidian serupa lembayung senja milik mantan kekasihnya. Tak ada yang bisa dibohongi di sini bahwa, rasanya, ada segenap keraguan yang kerap kali timbul pada benak Sanzu setiap ia mendengar apapun yang keluar dari mulut Rindou. Bahwa nyatanya, ada hal-hal yang memang tak seharusnya segera ia percayai begitu saja karena seluruh kenyataan seperti terbendung di balik lidah Rindou.

“Lo gak bakal ngelakuin hal-hal aneh, kan?”

Sebelah alis Rindou terangkat secara skeptikal; seakan ia kini begitu buta arah pada kemana arah dari pertanyaan Sanzu. “Hal-hal aneh gimana? Atas dasar apa lo berasumsi gini? Apa makan udah kedengeran aneh buat lo?”

Tatapan Sanzu turun pada jemarinya yang masih lemat meremat pergelangan tangan Rindou. Tangannya mencoba memosisikan telapak tangan Rindou terbuka, menengadah ke atas—menampilkan luka basah di telapak tangannya akibat kuku yang tertancap terlalu dalam. Pandangan Sanzu menyendu sejenak. Pasti pemuda itu menahan seluruh emosinya sejak tadi dengan mati-matian mengepalkan tangannya sendiri terlalu kuat.

“Lo tau, Rin,” Sanzu mengangkat suara dengan rendah sedangkan irisnya masih jatuh mengamati luka pada telapak tangan Rindou. “Lo banyak diemnya. Dari dulu juga begitu. But it's so easy for you to get mad over something. Lo sensitif, temperamen, cerewet.”

“Lo ke sini cuman buat ngejekin gue?”

“Just to remind you to not doing something dumb.”

“Menurut lo gue mau ngapain?”

“Yang pasti bukan cari makan,” jawab Sanzu. Ia melepaskan pelan-pelan tangan Rindou dari genggamannya tatkala kembali membisikkan kata maaf jika barangkali tindakan menggenggam tangan kekasih orang dengan sepercik euforia yang bermekaran di permukaan kulitnya merupakan tindakan yang salah. “Gue tebak lo mau ngelakuin hal gila. Jam segini jalan ke kampus, cari pelakunya—padahal lo gak tau mereka siapa, mukanya kayak gimana, apa mereka punya back up orang-orang berpengaruh apa enggak.”

“Oh right, gue gak kepikiran ke sana,” Rindou berdecak singkat lalu menatap aspal yang kedua kakinya pijaki saat ini. “Mungkin yang bully Chifuyu anak rektor, anak DPR, anak pengusaha—orang-orang besar yang selalu bisa nutupin kejahatan mereka. Right. Lo bener, Zu,” pemuda itu menjelaskan sesegala hal yang sepatutnya mampu menghentikan langkahnya saat itu dengan intonasi suara yang begitu rendah. “Tapi bukan berarti gue gak bisa nonjok mereka.”

Dan perkiraan Sanzu memang benar. Dua menit. Rasanya bahkan kurang dari dua menit Sanzu melepaskan genggaman tangannya pada pergelangan Rindou; dan pemuda itu benar-benar sudah kembali membalikkan badannya dan mengambil langkah dengan teguh. Tidak semua orang memiliki reflek sebaik Sanzu; yang lantas kembali meraih tangan Rindou untuk kembali digenggamnya erat. Mengunci seluruh langkah pemuda itu, memasungnya dalam diam.

“Rin!” Sanzu meninggikan suaranya kali ini. Satu tangannya yang menganggur segera mencengkram bahu Rindou, memaksa pemuda itu agar kembali berdiri berhadapan dengannya. “Bukan berarti lo gak bisa nonjok mereka? Siapa yang mau lo tonjok? Lo mau nonjok mereka dimana? Kalau ternyata yang lo tonjok beneran pelakunya? Kalau lo salah sasaran?”

Hening panjang saat itu menengahi keduanya. Langit bahkan semakin gelap karena nampaknya matahari semakin letih bersinar seharian; dan yang mengisi tiap-tiap ruang di antara mereka hanyalah kepakan burung yang menginvasi langit oranye, berterbangan secara bersama-sama untuk kembali ke tempat mereka. Entah bagaimana, pandangan mereka kini terus terarah pada satu sama lain. Seakan tak ada kecanggungan yang mengalir di diri mereka, seakan keduanya melupakan kenyataan bahwa mereka pernah menjalin kasih.

“Gue tau lo bisa jauh lebih pikir panjang, Rin. Otak lo gak bekerja sependek otak gue. Kalo lo sampe salah sasaran, masalahnya bisa makin kusut. Gue takut lo kena masalah, gue takut lo di-drop out dari kampus.”

“Tapi gue gak takut.”

Sanzu mendesau kasar. Tidak menyangka jika dalam kondisi seperti ini dirinya perlu kembali melihat sisi keras kepala Rindou. “Iya. Lo gak takut. Tapi gimana keluarga lo? Menurut lo mereka bakal gimana?”

Perlahan, Sanzu dapat menyaksikan deru napas Rindou yang kini melantun lebih tenang dan tipis dibanding sebelumnya. Dadanya tak lagi naik turun secara kasar. Namun, kedua tangannya kini kembali mengepal erat. Seakan seluruh gelora emosi yang berdesir tanpa henti mengaliri tiap tetes darahnya kini ia akumulasikan pada kedua kepalan tangannya.

“No, oke. Lepasin,” satu tangan Sanzu yang sebelumnya bertengger di pundak Rindou kini turun pada salah satu tangan yang mengepal. “Berhenti ngepalin tangan lo kayak gini. Lo mau nusuk telapak tangan lo sampe gimana? Sampe nembus? Sampe darahnya merembes? Sampe busuk?” Rentetan pertanyaan itu hadir keluar seperti laju yang melesat dari stasiun; begitu cepatnya sehingga tak menyisakan barang sedetik bagi Rindou untuk memproses tiap-tiap pertanyaan untuk ia jawab. “What makes you even this mad... Gue tau Baji, Hanma, Mitsuya, atau Inupi bisa semarah itu karena mereka udah kenal lama sama Chifuyu. They are the most protective brothers. Tapi lo kenal Chifuyu sebulan aja belum. Lo bukan orang yang gampang emotionally attached sama orang baru.”

Rindou menatap nanar sepasang manik hijau milik Sanzu. “Chifuyu. Anak itu. Dia di-bully. Hampir satu semester dia diejek, dikatain cari atensi cuman karena dia aktif. Lo tau, Zu— gak ada yang lebih anjing ketika lo diejek cuma karena lo ngelakuin hal yang bener. Dia disiram pake air bekas ngepel. Dibanting. Tangannya disundut pake rokok. Menurut lo apa gue gak punya alasan buat gak marah?”

“Iya, iya. Gue tau. Ini posisinya gue juga marah, Rin. Cuman—”

“And most likely; Because I was there on his shoes.”

⠀ ⠀ ⠀ ⠀ ⠀


⠀ ⠀ ⠀ ⠀ ⠀ Rindou menatap lurus ke arah ransel hitamnya yang kini basah kuyup. Bau harum buah-buahan nampak menyeruak terlepas dari tetesan air yang mengalir dari ransel ke keramik berwarna sedikit keruh. Tidak ada yang dapat Rindou pikirkan saat itu selain segera membuka ranselnya dan mengeluarkan buku tulis beserta buku paketnya.

Persis seperti yang ia pikirkan, seluruh bukunya basah. Bahkan setelan olahraga yang akan dipakai pada jam terakhir turut terendam dalam air keruh tersebut. Namun apa yang menyentil amarah Rindou saat itu adalah ketika iris serupa batu kecubung miliknya menangkap buku tulis geografi miliknya yang sudah sobek menjadi potongan-potongan kertas yang lecak dan basah.

Rindou mengambil napas panjang sebelum dirinya mengedarkan pandangan dan menemukan segerombolan anak laki-laki yang menertawainya dari sudut belakang kelas.

Amarahnya seperti memuncak; menggema kian nyaring, meronta rewel agar segera dikeluarkan begitu saja. Namun ketika pikirannya terhenti di beberapa hal—termasuk perkara masa depan juga impian yang ingin ia capai; gempuran emosi itu perlahan menyurut, diwakilkan oleh kedua tangannya yang mengepal erat.

“Loh, gak ditonjok?”

Tiba-tiba sebuah suara menyentil gendang telinganya, membawa Rindou lantas menoleh pada sumber suara yang terdengar asing dan menemukan sosok pemuda dengan surai merah muda yang berdiri di sebelahnya. Kening Rindou mengernyit singkat. Bukankah pemuda ini anak kelas sebelah? Kenapa pula sekarang ia berada di kelasnya dan bertingkah sok akrab dengannya?

“Enggak. Males, yang satu anak guru yang satu anak orang TU.”

“Yaaah, kok gitu?” Ada desauan kecewa yang mengalir keluar dari belah bibir pemuda asing tersebut dan Rindou benar-benar tak paham kenapa pula remaja asing dengan tampang berandalan itu kini kecewa akan dirinya? Karena Rindou gagal memberikan tontonan seru dengan membogem gerombolan kutu brengsek yang merusak bukunya? “Padahal pas lo balik badan, gue kira lo mau nonjok mereka satu satu terus lo ludahin.”

Saat itu, posisinya Rindou benar-benar tidak paham mengapa pemuda di sampingnya ini benar-benar terus mengajaknya berbicara tanpa berhenti? Apakah seluruh abai yang Rindou berikan tidak membuatnya sadar bahwa kini Rindou benar-benar terlalu malas untuk membuka suara terlebih dengan kondisi perasaannya yang masih memburuk?

“Oh, gue tebak,” cowok itu kembali membuka suara dan Rindou kini benar-benar ingin menyumpal mulutnya dengan robekan buku tulis geografi miliknya. “Pasti karena lo takut masalahnya jadi bakal panjang. Lo muka-muka orang pinter sih. Emang gawat kalo lo nonjok orang, nanti lo kena poin, kena sp, kena skorsing, atau yang paling parah drop out sih.”

Kali ini, Rindou berdecak singkat. Ia menengadahkan kepalanya demi menatap lurus pemuda tersebut dan melipat kedua tangannya di depan dada. “Terus? Poin lo di sini buat apa? Ikut ngejekin gue kayak mereka?”

Pemuda itu mengedikkan bahunya singkat. “Enggak, tuh. Gue kesini soalnya penasaran aja kenapa lo gak ngelawan. Tapi ya makes sense deh kalo orang pinter males cari masalah,” pemuda itu perlahan membuka simpul dasi yang tadi mencengkram erat lehernya lalu menggulung lengan seragamnya yang sudah pendek. “Tapi untungnya gue gak takut sama yang kayak gitu.”

Rindou tak tahu apa yang baru saja terjadi—karena ia bersumpah, segalanya seperti berjalan seperti laju cahaya. Begitu cepat dan kilat, sehingga pemuda itu benar-benar tidak mampu memproses apapun yang terjadi. Hanya seingatnya, pemuda asing pemilik surai merah muda itu menitipkan dasinya pada Rindou sebelum ia berjalan menghampiri gerombolan pemuda yang sejak tadi menertawai Rindou dan menghajar muka mereka satu-satu.

Suasana kelas menjadi begitu riuh dan kacau; karena sang pemilik surai merah muda benar-benar menghajar gerombolan pemuda tersebut hingga keempat dari mereka terkapar di lantai dengan tulang hidung yang patah.

Sesaat setelahnya, tanpa sepersen rasa bersalah yang tercetak di wajahnya, pemuda itu kembali menghampiri Rindou dan meraih dasinya. “Makasih udah mau dititipin,” ia berucap seraya menyengir. “Lo sekarang belajar aja yang bener. Soal mereka nanti mau ngadu gimana ke orang tuanya atau ke bk, gue pastiin gak bakal bawa-bawa nama lo. Ya?”

Dan begitu saja, pemuda tersebut meninggalkan Rindou seusai menepuk pelan puncak kepalanya. Menyisakan presensi Haitani Rindou yang tercenung; terlepas dari kenyataan bahwa suasana di kelasnya tengah berlangsung kisruh. Ada sedikitnya beberapa hal yang tau-tau menggelitik permukaan perut Rindou dan menyalurkan hangat pada kedua pipinya saat itu juga. Bahwa relung hatinya yang kosong seperti tengah diisi oleh euforia letusan-letusan kembang api yang begitu ramai oleh sejumlah spektrum...

...akibat presensi dengan bet nama Sanzu Haruchiyo yang terpasang di seragamnya.


Sanzu memandang kosong ke arah kerumunan di hadapannya; bagaimana pekarangan kosan malam itu cukup ramai dan riuh. Mitsuya dan Chifuyu sedang sibuk mempersiapkan makanan—menusukkan bakso, sosis, dan daging pada tusuk bambu; sedangkan Baji sibuk mengipaskan arang pada panggangan, mencoba memastikan apinya tetap menyala selagi menunggu seluruh persiapan matang.

Sanzu memijat pelipisnya pelan. Sifat Manjirou yang tahu-tahu berubah menjadi dingin dan penuh teka-teki berhasil mengumpan pening yang merata di sekujur kepalanya. Sudah sejak sore tadi Sanzu sibuk memilah kepingan-kepingan yang masih bersisa di memoarnya—barang kali ada perlakuannya yang menorehkan luka pada hati pemuda kecil itu tanpa ia sadari.

Apa? Apa yang membuat Manjirou berubah begitu drastis? Apa ketika keduanya bertemu kemarin lusa, Sanzu terlalu banyak melamun sehingga mengabaikan presensi Manjirou? Atau ada banyolan jayusnya yang kurang berkenan bagi pemuda itu?

Kenapa pula Manjirou mendadak mempertanyakan keseriusannya? Apa ia terlihat seperti sedang bermain-main? Pun jika ia tidak serius, mengapa pula ia selalu menempel pada Manjirou? Mengikuti kemana pun pemuda itu berada dengan senang hati kecuali pada okasi tertentu (seperti ketika Manjirou tengah rapat atau mengurus tugas-tugasnya). Mengapa kini Manjirou justru meragukan seluruh hal yang sudah ia kerahkan secara jelas pada pemuda itu seakan-akan—

“Orang lain sibuk nyiapin noh sampe si Baji udah lengkap banget jadi tukang sate, pake sarung sama peci. Lo di sini malah duduk doang kayak yang punya acara.”

Seluruh kontemplasi gaduh yang mengisi kepala Sanzu lantas luruh begitu saja ketika presensi Hanma datang dengan batang sigaret yang terselip di sela-sela bibirnya, segera mengisi kursi kosong di sebelah Sanzu. “Rokok?” Ia bertanya singkat, mengarahkan sebungkus rokok dengan isi tiga batang yang bersisa. Dengan lugas, Sanzu menggelengkan kepalanya.

“Gue udah abis empat hari ini.”

“Gokil,” komentar Hanma sembari kembali menyesap rokoknya. “Padahal lagi liburan. Biasanya lo ngerokok kalo lagi nongkrong doang.”

“Banyak pikiran.”

Hanma menilik singkat. Maniknya mencuri pandang ke arah Sanzu yang kini kembali terjun ke dalam dunianya sendiri; memandangi hamparan langit gelap yang beberapa kali diterangi oleh bunga api dan tercenung dengan pandangan serba kosong.

“Soal Mai?”

Sanzu mengembuskan napasnya pelan. “Lo beneran ikut-ikutan jadi intel ya kayak Mitsuya?” Pemuda itu memandang ke arah Hanma dengan tatapan tak percaya. “Kok kayaknya tau aja soal masalah gue.”

Pemuda yang lebih tinggi hanya mengedikkan bahunya singkat. Bibirnya yang kering kembali menyesap cerutunya, membiarkan percikkan api menghabiskan batang tembakau tersebut dan menyulapnya menjadi serpihan abu yang terbang dibawa angin.

“Kazutora lagi ya yang ngasih tau?”

“Setengah bener,” jawab Hanma. “Lagian harusnya itu anak bisa ke sini. Cuman emang rada batu, bilangnya bakal dateng kalo Mai dateng. Tapi si Mai malah lagi ada masalah sama lo, anjiiiing, anjing. Beneran kena imbas dah gue padahal masalah gue juga bukan.”

“Ya abis gue gak tau, tai, si Mai kenapa,” Sanzu mengusak surai merah muda miliknya dengan kasar. Membiarkan beberapa helai yang disimpul asal pada sebuah ikatan karet gelang terhelai jatuh dengan kondisi setengah kusut. “Gue dari tadi nyoba mikir gue ada salah apaan ya kok tau-tau dia ngambek gini sama gue. Apa gue ada nyinggung perasaan dia apa gimana.”

“Lo tuh emang beneran setolol ini, ya, Zu?”

Sanzu mendelik singkat. “Itu ofensif ya, bangsat. Gue tau gue emang tolol, tapi jangan diperjelas gini.”

Rasanya, seperti tidak ada kalimat yang mampu menggambarkan betapa gatal diri Hanma malam itu melihat Sanzu yang bertingkah seakan tidak ada yang benar-benar ganjil dari amarah Manjirou.

“Dompet lo yang gue kasih kemarin pagi. Menurut lo kenapa ada di gue?”

Sanzu mengangkat sebelah alisnya skeptis. “Kan lo yang bilang Mai yang kasih ke lo malemnya?”

“Lo beneran mau gue sundut ya dua biji mata lo pake rokok?” Hanma mendesau kacau seraya mengangkat sela-sela jemarinya yang kini mengenggam rokok. “Lo sama Mai tuh deket. Lo terang-terangan bilang suka ke dia, dia udah mau buka hati ke lo. Menurut lo aja dari segala opsi yang bisa dia pake buat ngasih dompet lo langsung ke lo, kenapa dia milih buat ngasihnya lewat gue?”

“Karena dia gak ngeliat gue?”

“Karena dia liat lo, tolol,” Hanma mati-matian mencoba untuk menahan dirinya agar tidak menendang bokong pemuda tersebut. “Kamar lo sebelahan sama kamar Rindou. Kalo dia mau ke kamar lo, dia harus lewatin kamar Rindou dulu. Menurut otak lo yang gak seberapa ini, lo ngapain tai sama Rindou kemaren malem? At least, kalo mau meluk orang lain, tutup pintu.”

Seluruh penjelasan Hanma yang serba terburu-buru itu berhasil membuat Sanzu lantas bungkam dengan mulut yang terbuka. Benar. Kenapa ia sampai tidak terpikirkan ke arah sana? Ia pikir Manjirou mengantarkan dompetnya ketika waktu sudah terlampau larut—kala Sanzu dengan segala kepeningannya lusa itu sudah memutuskan untuk terlelap dengan pakaian lengkap dan sepatu yang masih terpasang pada kakinya.

“Ma, seriusan, gue gak kepikiran ke sana. Gue—”

“Gak, gak. Lo bukan gak kepikiran ke arah sana,” Hanma lantas memotong racauan Sanzu dengan lugas. “Lo emang lagi gak punya waktu buat mikirin soal Mai, Zu. Pikiran lo semuanya kedistraksi sama Rindou.”

Seharusnya, pada posisi ini, Sanzu bisa mengelak ucapan Hanma. Tapi pernyataan yang keluar begitu saja dari tenggorokan pemuda itu justru berhasil mengundang sunyi pada diri Sanzu; menjadi majik mantra yang menyulap saraf-sarafnya agar malfungsi, menyisakan sekujur tubuhnya terpekur tanpa mampu bergerak.

Benarkah begitu? Apa ia benar-benar tidak memiliki waktu cukup untuk memikirkan Manjirou dan segala perasaannya karena akhir-akhir ini kehadiran Rindou justru menjadi seluruh sentral dari malamnya yang panjang?

“It's obvious, isn't it?” Hanma bertanya dan Sanzu masih stagnan di tempatnya—dengan seluruh pikiran dan perasaannya yang luruh lantah menjadi satu, bergemuruh hebat pada relung hatinya. “Lo sibuk sendiri nanya harus gimana waktu dia pindah ke sini, lo masih inget semua detail tentang dia, kadang lo tau-tau nyoba buat narik perhatian dia, you felt offended when he just introduced you as a friend and not an ex. Terus lo tau apa yang lebih lucu, Zu? Lo sadar gak semenjak Rindou pindah ke sini, setiap lo mau ke kamar lo, lo suka bengong sendiri dulu di depan kamar dia? Gue gak tau apakah orang lain juga kayak gini ke mantannya kalau mereka emang udah ngerasa beneran selesai. Because if I were you, Zu, kalau gue emang udah beneran selesai sama mantan gue, gue gak akan ngelakuin apa yang lo lakuin.”

Sanzu menghela napasnya frustrasi. Ia benar-benar tidak memiliki celah untuk menampik seluruh ucapan Hanma sebab tiap-tiap kalimatnya benar dan Sanzu tak tahu apakah ada sebercak kebohongan yang dapat ia tepis.

Hanma tidak salah. Seluruh pikirannya seakan begitu lurus diarahkan pada sosok Rindou semenjak pemuda itu kembali hadir di hadapannya. Dan Sanzu tak mampu menghabiskan barang sepersekon dari malamnya untuk tidak memikirkan mengenai pemuda itu. Apakah ia baik-baik saja? Bagaimana dengan ujian masuk universitasnya saat itu? Apakah ia berkendala? Apakah ada yang mengganggu pikirannya? Apakah kekasihnya saat ini menjaganya dengan baik?

Apakah Rindou pernah bermimpi soal Sanzu seperti bagaimana Sanzu yang beberapa kali memimpikan Rindou?

Dan kenyataan yang dipaparkan oleh Kakuchou beberapa hari lalu benar-benar mampu memojokkan setiap dari perpotongan diri Sanzu pada sisa-sisa malam yang begitu sulit. Perasaan bersalah itu melingkupi dirinya kian hebat. Mengapa ia tak bisa ada di sebelah Rindou saat itu? Mengapa ia tidak mampu menjaga Rindou? Mengapa ia memutuskan untuk meninggalkan Rindou sendirian ketika pemuda itu tengah berada di titik terendahnya?

Mengapa ia tidak bisa menjaga orang yang pernah begitu ia kasihi?

Setiap rasa bersalah itu menjelma menjadi titik-titik hujan yang lantas jatuh membasahi wajah Sanzu. Menjadi akumulasi dari perasaan menyesal serta nelangsa yang tak kunjung reda.

“Lo gak bisa egois, Zu,” Hanma berdehem singkat sebelum ia bangkit dari kursinya setelah menekan ujung rokoknya pada asbak; memadamkan api yang sejak tadi turut mengisi hangat di tengah malam yang semakin dingin. “Kalo lo emang ngerasa belum bisa selesai dari masa lalu lo, mendingan lo urusin dulu. Lo gak pernah bisa jadiin orang lain sebagai pelarian. Take the consequences. Pilih satu, soalnya lo gak bisa egois. Lo masih mau berkabung soal masa lalu lo tapi putus hubungan sama Mai. Atau lo lanjut sama Mai, tapi lo harus bisa selesai dari Rindou.”

Sanzu menghela napasnya singkat. “Ma, gue—”

“Sori, Zu, gue bukannya mau egois atau gimana,” pemuda dengan tinggi menjulang itu kembali memotong ucapan Sanzu. “Tapi lo tau, gue naksir sama temennya Mai. Dan dari kejadian hari ini lo bisa paham kan, gue jadi korban ketiga dari masalah lo sama Mai. Gue gak mau ujung-ujungnya nanti malah gue gak bisa bareng sama Kazutora gara-gara masalah lo yang sebenernya gak ada sangkut pautnya sama gue. Jadi kalo bisa lo cepet-cepet selesain masalah lo sama Mai. Take it or leave it, terserah lo.”

Begitu saja. Setelah itu, Hanma memilih untuk melangkahkan kakinya menjauh dan berbaur dengan teman-temannya yang masih sibuk mempersiapkan banyak hal untuk perayaan tahun baru. Kehadiran pemuda itu lantas mengundang rusuh disertai tawa oleh mereka. Bagaimana Chifuyu yang menjerit ketika Hanma menggendong pemuda kecil itu dengan gemas, Baji yang berteriak sebal akibat sarungnya yang ditarik ke bawah, Seishu yang berkali-kali diejek karena raut masamnya, dan Mitsuya yang hanya mampu menggelengkan kepala akibat seluruh kegaduhan yang dihadirkan oleh Hanma.

Suasana di depan sana begitu ramai dan penuh kebahagiaan. Rentetan tawa renyah seperti tak kunjung berhenti dan terus hadir di setiap detiknya, disusul oleh antusias kebahagiaan mereka dalam menyambut tahun baru. Semuanya nampak berada pada kulminasi euforia mereka.

Fraksi-fraksi kebahagiaan itu hanya berjarak beberapa langkah dari Sanzu. Namun pemuda itu nampak tersesat di segala liang pikirnya yang kian dalam dan tak berujung. ⠀ ⠀ ⠀ ⠀ ⠀


⠀ ⠀ ⠀ ⠀ ⠀ Sanzu berdecak malas memandang kerumunan ramai di sebuah tongkrongan. Kepalanya sibuk memandang ke sana dan kemari; mencoba mencari presensi Hanma yang menarik pemuda itu ke sini. Sanzu tidak akan benar-benar melupakan bagaimana si jangkung brengsek itu memaksanya untuk ikut hadir dalam gerombolan orang-orang yang tak dikenalnya (dengan alasan agar Sanzu lebih produktif dan tidak hanya menghabiskan waktu sendirian di kamar kosan) dan justru kini ia hilang begitu saja.

Ketika maniknya sibuk menelusuri satu per satu entitas di sana—tentu saja seraya mengumpat, sebab bagaimana bisa seseorang dengan tinggi badan tidak normal itu justru kini begitu sulit dicari di tengah gerombolan orang—obsidian hijau pemuda itu tau-tau jatuh pada sosok dengan surai pirang.

Pemuda itu kini tengah tampak duduk membelakanginya; sibuk berbincang dengan teman-temannya. Suasana yang begitu rusuh membuat Sanzu tak tahu pasti apa yang mereka bicarakan. Namun, termutlaknya, surai pirang itu berhasil membuat Sanzu tercenung singkat di tempatnya.

Ada sensasi asing yang tau-tau menyerang permukaan kulitnya; mencekik pelan kerongkongan pemuda itu hingga kini jalur pernapasannya menyempit, menyisakan sesak yang berkumpul pada dadanya.

Di luar kendalinya, Sanzu tiba-tiba bangkit begitu saja dari kursinya dan mengambil langkah mendekat pada sosok yang sejak tadi mencuri penuh atensinya. Pelan sekali, dengan penuh hati-hati, tangannya menyentuh pundak pemuda itu. Sedangkan nuraninya sibuk merapal doa, mengucapkan sejumlah harapan kecil, barang kali sosok tersebut merupakan siapa yang ia harapkan.

“Rin—”

Belum selesai Sanzu menyelesaikan ucapannya, pemuda dengan surai pirang itu sudah terlebih dahulu membalikkan tubuh. Refleknya terlampau bagus sehingga kini kedua pasang netra milik mereka saling terpasung pada satu sama lain.

Sanzu gelagapan. Ia mencoba untuk segera meminta maaf namun sekujur tubuhnya kaku. Satu-satunya hal yang mampu ia lakukan adalah menelan paksa liurnya sebagai manifestasi dari kegugupannya.

“Oh, hai, lo temennya Hanma ya? Yang baru dia bawa hari ini? Soalnya gue belum pernah liat muka lo,” mengabaikan Sanzu yang kini tengah sibuk mengutuk dirinya, pemuda pirang itu justru bangkit begitu saja dari kursinya dan menyambut hangat kehadiran Sanzu di tengah mereka. “Gue Manjirou. Sano Manjirou. Biasa dipanggil Mikey sama anak-anak. Tapi lo bebas sih mau manggil gue apa. Nama lo siapa?”

Namanya Sano Manjirou.

Dan ia bukan Haitani Rindou seperti apa yang Sanzu harapkan beberapa saat lalu.


Sanzu butuh waktu beberapa menit untuk memberanikan dirinya kini berdiri di hadapan pintu kamar Rindou. Beberapa kali pemuda itu memandang arlojinya; menatap berapa lama waktu yang telah ia habiskan untuk sekedar memantapkan diri. Tangannya beberapa kali beranjak untuk mengetuk pintu kamar Rindou—namun segera luruh begitu saja seluruh niatannya, lenyap ditelan keraguan yang menguasai pikirannya.

Ia hanya perlu mengetuk pintu, 'kan? Ia hanya perlu mengetuk pintu kamar Rindou; mengatakan kepada pemuda itu bahwa ia di sini untuk meminjam obeng. Persis seperti apa yang sudah keduanya perbincangkan sebelum Sanzu kembali.

Benar. Sanzu punya alasan dan tidak sepatutnya ia tenggelam ditelan mentah-mentah oleh segala rasa bersalah yang bergejolak di hatinya.

Maka di sepersekon setelahnya, tangan kanan Sanzu kembali terangkat—memosisikan tepat di hadapan pintu kamar Rindou, mencoba mengetuknya pelan.

Pada ketukan pertama dan kedua, tidak ada jawaban apa-apa. Sebelum tangan Sanzu kembali bergerak, menyuarakan ketukan ketiga—pintu kamar sudah terlebih dahulu terbuka. Di hadapan Sanzu, berdiri presensi Rindou dengan surai ungunya yang dikuncir sembarangan. Ada kacamata yang bertengger di hidung; sedangkan tubuhnya dibalut oleh kaus merah dan celana training berwarna abu-abu.

“Hai,” Sanzu menyapa canggung. Ia memaksakan sebuah senyum tipis untuk timbul pada belah bibirnya—berharap sesimpul garis tersebut mampu meluruhkan kekikukan yang masih begitu kental melingkupi keduanya. “Err, gue— obeng. Mau pinjem obeng. Lo udah selesai pake kan?”

“Oh, iya,” Rindou membalikkan tubuhnya, nampak baru tersadar mengenai alasan di balik kehadiran Sanzu malam itu di depan pintu kamarnya. “Sebentar. Gue ambil dulu.” Rindou segera membalikkan tubuhnya. Kedua tungkai kaki itu membawa tubuhnya berlari kecil, mengambil barang yang dimaksud dan segera kembali untuk mengajukannya pada Sanzu.

Ada satu sampai dua hal yang perlu dikutuk dan disumpah serapahi oleh Sanzu malam itu. Perihal kedua matanya yang teramat lihat menangkap lecet di tangan Rindou. Dan juga syaraf tubuhnya yang bergerak sigap meraih tangan Rindou. Sebab kedua manik itu begitu lemat memandangi tangan yang dipenuhi beberapa luka; baik yang masih basah maupun kering, terpeta jelas di kulit tangannya yang serupa karamel. Pandangan Sanzu meredup.

“Kenapa?”

“Kebeset ujung rak. Gapapa, cuman lecet.”

“Sakit gak?”

Rindou mencoba untuk menarik tangannya dari genggaman Sanzu. Namun, pemuda itu kini mencengkram tangannya erat, seolah enggan melepaskannya tanpa ada penjelasan lebih lanjut dari Rindou—lantas membuat sang empu meringis pelan. “Enggak, Zu. Cuman lecet.”

“Beneran gak sakit?”

“Enggak, Zu. Cuman—”

Dan seluruh kelakarnya dibiarkan mengawan begitu saja, diembuskan oleh sederet angin malam yang menyelip masuk melalui sela-sela pintu yang terbuka. Sanzu memberikan sepenuhnya abai pada seluruh jawaban yang Rindou berikan; menarik dirinya masuk ke dalam kamar, meminta Rindou untuk duduk pada pinggiran ranjang.

“Kemarin udah beli obat-obatan belum sama pacar lo? Beli hansaplast juga? Obat merah?”

Rentetan pertanyaan ini dibiarkan dijawab melalui diam. Sanzu sudah terlebih dahulu menemukan kotak P3K di atas meja Rindou; lantas menyambarnya dan membiarkan sang pemilik kamar tetap terpatri manis di pinggiran ranjang.

“Kemari,” Sanzu bertitah pelan dan Rindou dengan patuh memberikan tangannya yang terluka. Sang pemilik surai merah muda segera menggenggam tangan Rindou; kali ini lebih lembut dan penuh hati-hati, sedangkan di mulutnya kini terselip plester yang ia apit dengan bibir. “Lo tau gak, lo punya banyak temen sekarang,” Sanzu bergumam seraya menyobek bungkus plaster dengan giginya. “Kalo emang sakit, bilang. Kalo emang lagi susah, bilang. Jangan semuanya disimpen sendirian.”

Sejak tadi, Rindou seperti ditimpa dengan reruntuhan kebingungan yang tak kunjung berhenti menghujaninya. Karena ia tahu, Sanzu bukan tipikal orang yang akan berkenan untuk menceramahi seseorang—memberikan kuliah singkat mengenai kehidupan, ketika ada kalanya, Sanzu merasa bahwa dirinya bukan orang yang tepat untuk menjadi sang pemberi ilmu.

Dan sejatinya tak ada yang cukup mampu menjawab seluruh kebingungan Rindou karena Sanzu bahkan masih berkutat dengan bulir-bulir resahnya yang kian menjadi. Bagaimana pemuda itu kini seakan tengah menjelma menjadi sosok Ayah yang begitu protektif pada anak tunggalnya; menegur sifat buruk Rindou yang cenderung menyimpan segalanya dan tak membiarkan satu pun orang tahu mengenai beban yang tengah dipikulnya.

“Lo aneh,” Rindou bergemam dengan suaranya yang tipis-tipis tepat ketika Sanzu telah usai menutupi lukanya dengan plester. “Tiba-tiba ceramahin gue, khawatir sama gue kayak gini. Kayak gue lagi kenapa aja.”

Sanzu memandang sedu ke arah Rindou. Maniknya lurus terarah pada entitas yang tengah sibuk memperhatikan tangannya sendiri. Rautnya yang begitu inosen seperti memayungi seluruh kesedihannya. Seakan dirinya patut untuk merasa kebingungan atas seluruh kegelisahan Sanzu padanya.

Seakan dirinya tak benar-benar pantas untuk dikhawatirkan.

Dan Rindou rasa, waktu saat itu benar-benar berhenti berputar. Detak jam dinding yang sejak tadi turut mengiringi kecanggungan mereka justru lenyap menjadi senyap. Seakan bumi berhenti berotasi dan segalanya disebabkan oleh kedua tangan lebar Sanzu yang kini menangkup wajahnya penuh hati-hati—sebab ada semesta yang Sanzu genggam di sana.

“Gue boleh nanya sekali lagi ya, Rin?” Sanzu bertanya dengan intonasi suaranya yang rendah. “Lo beneran gapapa? Lo beneran baik-baik aja? Selama satu setengah tahun ini? Selama kita masih... pacaran? Lo baik-baik aja?”

'Iya, gue baik-baik aja.'

Seharusnya jawaban itu bisa keluar. Semestinya klausa tersebut dapat menjawab pertanyaan Sanzu—persis seperti jawaban-jawabannya pada pertanyaan yang serupa. Tapi kalimat tersebut tersendat di pangkal tenggorokannya yang kini terasa tercekik. Karena bahkan kini segalanya terasa begitu sulit bahkan untuk sekedar bernapas.

Ada sesuatu yang menyebar hangat pada kulitnya kala Sanzu masih begitu setia menangkup wajahnya. Ada sesuatu yang membuat Rindou ingin menyandarkan dirinya untuk malam itu.

Dan Sanzu membuka tangannya lebar-lebar.

Ia merentangkan lengannya, membuka kesempatan bagi Rindou untuk mengistirahatkan segala hal yang memberatkan pundak pemuda itu. Membiarkan Rindou kini menyandarkan kepalanya pada pundak Sanzu.

Rasanya lucu karena meski satu setengah tahun telah berlalu, Sanzu masih terasa begitu sama seperti dulu. Ada aroma woody bercampur mentol yang menyeruak dari diri Sanzu, disertai dengan seberkas aroma asap rokok yang ditutup dengan aroma kayu manis dari parfum yang disemprot sembarangan. Sanzu masih beraroma sama seperti satu setengah tahun yang lalu.

“You okay?”

Dan malam itu, final dari jawaban Rindou adalah sebuah gelengan. Ia tidak baik-baik saja. Ia tidak pernah baik-baik saja.

Sanzu menarik tubuh Rindou mendekat, mendekapnya erat. “Maafin gue,” ia berbisik rendah. “Maafinguemaafinguemaafingue—”

Dan Sanzu tidak tahu harus sampai berapa kali ia mengucapkan kata maaf tersebut. Karena akumulasi dari seluruh perasaan bersalahnya kini bergejolak kian tak terbendung; bayangan yang menorehkan luka di hatinya, menyadari bahwa ia pernah begitu egois meninggalkan Rindou tanpa mengetahui bahwa pemuda itu terseok-seok melanjutkan hidupnya sendirian.

“Maafin gue,” ia berbisik sekali lagi. “I'm sorry that you have to go through everything alone. Sendirian. Gak ada gue. Maafin gue.”

Dekapan itu semakin erat—menjadi puncak dari segala perasaan yang tak pernah mampu dimanifestasikan secara alfabetis. Perasaan rindu, bersalah, letih—

Semuanya bercampur menjadi satu gumpalan emosi yang mendekatkan keduanya pada sebuah dekapan tanpa jarak. ⠀ ⠀ ⠀ ⠀ ⠀


⠀ ⠀ ⠀ ⠀ ⠀ “Kenapa lagi?” Sanzu menengadahkan kepalanya dan menemukan sosok Rindou yang kini berdiri tepat di hadapannya. Pemuda itu menunjukkan sebuah cengiran singkat sebelum ia meringis pelan—menyadari bahwa sudut bibirnya sobek, meninggalkan perih yang begitu kentara kala ia menarik sesimpul senyum.

“Abis jatuh dari motor tadi.”

Rindou berjongkok, mencoba menyamakan posisinya dengan Sanzu. “Bohong,” ia menekan pelan luka basah pada sudut bibir Sanzu, mengundang kekasihnya yang mengaduh nyaring. “Berantem? Sama siapa?”

“Sama temen,” Sanzu mengerucutkan bibirnya masam, masih menyimpan dongkol begitu memorinya diajak untuk kembali pada kejadian beberapa saat lalu. “Dia ngatain aku gara-gara pacaran sama kamu. Awalnya aku biasa aja gara-gara dia cuman ngatain aku pake pelet sampe bisa macarin kamu. Terus makin ke sana dia malah ngatain kamu buta. Aku gak terima, jadi aku tonjok dia. Eh malah ditonjok balik.”

Rindou mendengarkan dengan penuh atensi; melayangkan seluruh perhatiannya pada cerita Sanzu, seperti seorang Ayah yang begitu penuh perhatian mendengar cerita anak tunggalnya. Maka, sambil mendengarkan Sanzu melanjutkan sumpah serapahnya, Rindou meraih sebuah plester di saku seragamnya dan membukanya. Tepat ketika plester tersebut ia pasang dengan teramat hati-hati, barulah ocehan Sanzu terhenti.

“Kamu dapet plester dari mana?”

Rindou mengedikkan bahunya singkat. “Sisa aja, terus keselip di seragam.”

“Aku kayaknya jadi gak punya temen sekarang,” Sanzu meracau lagi. Dan Rindou bahkan tak keberatan untuk kembali menampungmnya. “Semua temen aku yang ngejekin kamu udah pada aku tonjokin, jadinya malah aku gak punya temen sekarang. Kamu gapapa pacaran sama orang yang gak punya temen?”

“Emang kenapa kalo gak punya temen?” Rindou bertanya singkat seraya memandang ke arah langit yang mulai mendung. “Kamu masih punya aku. Kalo kamu lagi sakit, bilang aja ke aku. Kalo lagi susah, bilang ke aku.”

Sanzu tergelak pelan. “Iya, ya. Kayaknya aku gak butuh temen, deh. Punya kamu aja juga udah cukup.”

Gelak tawa tersebut hanya dihadiahi oleh gumaman singkat. Rindou kembali mengatupkan kedua belah bibirnya, kembali menghadirkan diam di sela-sela pertemuan keduanya.

“Maaf ya.” Dan segala keheningan itu justru disusul oleh permintaan maaf yang keluar dari mulut Rindou—mengundang tanda tanya pada sisi Sanzu tatkala pemuda itu segera mengernyitkan keningnya tak paham.

“Minta maaf buat apa? Emang kamu ada salah sama aku? Gak ada kali, Rin. Lagian kalo kamu tuh ada salah sama aku juga udah keburu aku maafin.”

Rindou menggeleng singkat. “Aku... cuman mau minta maaf aja. Soalnya kamu dipukulin sendirian. Gak ada aku. Maaf soalnya aku gak bisa nolongin kamu. Maafin aku.”

Pengakuan tersebut berhasil membuat Sanzu terpekur. Pemuda itu menatap lurus ke arah Rindou yang kini sudah menunduk, mengarahkan pandangannya pada konblok yang tengah keduanya pijaki. Empat detik. Sanzu hanya butuh empat detik untuk menyadari bahwa Rindou kini tengah menggigit bibir bawahnya; mencoba mati-matian untuk menahan tangisnya.

“Rin? Kamu nangis?”

Rindou menggelengkan kepalanya pelan. Tapi satu isak tangis yang lolos begitu saja menjawab seluruh pertanyaan Sanzu. “Maafin aku,” sekali lagi ia berbisik dengan napas yang terputus-putus. “Maafinakumaafinakumaafinaku—”

Dengan sigap, Sanzu segera menarik tubuh Rindou dan mendekapnya erat.

Siang itu, untuk kali pertama, Sanzu melihat Rindou menangis karena telah membiarkan Sanzu sendirian. ⠀ ⠀ ⠀ ⠀ ⠀


⠀ ⠀ ⠀ ⠀ ⠀ “Loh, Mai, lo ngapain? Kok belum pulang?”

Manjirou tersadar sejenak dari lamunannya, lantas memandang sosok Hanma yang kini tengah melangkah mendekat ke arahnya. “Oh— ini, dompetnya Sanzu ketinggalan di tas gue. Jadi gue balik lagi ke sini.”

Sebelah alis Hanma terangkat skeptis. “Terus si Sanzu kemana?”

Dengan cepat, Manjirou menggelengkan kepalanya. “Gak tau, gak ada di kamar tadi gue liat, lagi di kamar mandi kali,” buru-buru, Manjirou mengarahkan sebuah dompet kulit berwarna cokelat ke arah Hanma. “Ini punya Sanzu, gue nitip ya. Udah kemaleman kayaknya, takut dicariin abang gue.”

Tanpa membiarkan Hanma mengucap sepatah kata, Manjirou melangkah begitu saja dan segera membawa motornya keluar dari pekarangan kosan. Sedangkan Hanma masih begitu stagnan pada raut kebingungan—

...sebelum pandangannya kini jatuh pada pintu kamar Rindou yang terbuka.

Hanma mengembuskan napasnya kasar.

Segalanya akan benar-benar berjalan kian rumit ke depannya.


Sanzu tersenyum kikuk ketika ia melangkah keluar dari kamarnya dan menemukan sosok Kakuchou Hitto tengah terduduk di kursi depan. Menyadari ada kehadiran lain yang mengiringinya, Kakuchou segera mengalihkan pandang pada sumber derap suara. Tubuh tinggi itu secara refleks bangkit dari kursi, mengambil langkah mendekat demi mengikis sisa-sisa ruang yang menengahi dirinya dan Sanzu.

“Eh, syukur lo ada di sini,” Sanzu tak tahu apa yang seharusnya ia lakukan ketika Kakuchou menarik tubuhnya; memberikan pelukan singkat disertai tepukan pada bahu. “Gue ada temen ngobrol lah paling enggak sambil nungguin Rindou bersih-bersih dulu. Maklum, rada lama dia kalo mandi.”

Sanzu tahu. Ia sudah tahu. Rindou memang cenderung menghabiskan waktu lebih panjang di kamar mandi. Katanya dulu, “Aku kadang emang suka bengong aja di kamar mandi. Apa lagi kalo sambil ngeguyur kepala. Sambil gosok badan, sambil mikirin ini itu. Makanya lama.”

Rasanya, kehadiran Rindou sejak beberapa hari lalu lantas menarik satu per satu pecahan memoarnya yang tertimbun. Menyatukan masing-masing dari mereka seumpama kepingan puzzle yang terpecah-belah.

“Ngapain sampe nungguin emang?” Sanzu menggaruk tengkuk belakangnya. Ia ragu-ragu menerima uluran segelas es kopi susu yang diajukan oleh Kakuchou. Gelas plastik itu dibanjiri oleh bulir-bulir keringat es yang sudah mencair, lantas berpadu dengan peluh yang menyeruak keluar dari kulit telapak tangan Sanzu sejak tadi. “Mau lanjut jalan-jalan lagi nanti? Semacam nge-date gitu?”

Kakuchou tertawa singkat seraya kembali menghempaskan bokongnya pada salah satu kursi. Sanzu pelan-pelan menyusul, ikut mendudukkan dirinya pada kursi di sebelah Kakuchou. “Kalo nge-date mah curi-curi aja kalo ada waktu luang. Gak asik kalo cuman jalan tiga puluh menit,” ujar pemuda itu sembari menyeruput es kopi miliknya. “Ini mau nganterin Rindou ke tempat abangnya. Tapi anaknya mau bersih-bersih dulu gara-gara ada kelas dari pagi, gerah kata dia.”

Penjelasan Kakuchou saat itu berhasil menghentikan sebagian besar kerja sel-sel tubuh Sanzu—menyisakan pemuda dengan surai merah muda itu tercenung dalam bibir yang terkatup rapat. “Rindou... punya abang?”

Sanzu kira, sepatutnya ia yang merasa paling terkejut di sini. Hampir dua tahun keduanya bersama sebagai sepasang kekasih; dan selama dua tahun itu pula, ia tidak pernah mengetahui jika mantan kekasihnya memiliki saudara lain. Mengetahui fakta bahwa... Kakuchou kini mengetahui satu hal mengenai Rindou yang tak pernah Sanzu ketahui lantas mengundang sepercik ngilu yang merekah sempit di dadanya.

“Loh, Rindou gak pernah cerita emang?”

Tapi nyatanya, Kakuchou justru terlihat sepuluh kali jauh lebih terkejut. Seolah perkara tersebut bukanlah rahasia umum. Dan raut terkejut itu jelas saja meninggalkan perih yang menyebar kian sporadis di relung Sanzu.

“Enggak, sori. Rindou gak pernah cerita soalnya. Jadi gue gak tau kalau dia punya abang.”

“Oalah, ada abang dia, tujuh tahun lebih tua,” Kakuchou menjelaskan dengan santai. Seakan kenyataan tersebut sudah terukir dengan pena permanen di kepalanya. Seakan dirinya mengenali sosok Rindou dengan begitu baik. “Namanya Ran, biasa dipanggil bang Ran sama gue atau sama Rindou. Orangnya asik, baik, kocak banget. Beda ya ama Rindou yang agak kaku sama dingin.”

Sanzu tidak tahu harus bagaimana dirinya membayangkan sosok Ran tersebut. Apakah wajahnya terlihat mirip dengan Rindou? Rindou versi lebih hangat? Rindou dengan versi yang lebih banyak bicara dan tidak kaku? Bagaimana dengan gaya rambutnya? Pendek klimis, gondrong sebahu, atau justru seperti boneka annabelle yang panjang dan dikepang dua? Oke, mungkin yang terakhir sedikit berlebihan. Sanzu diam-diam menampar pipinya sendiri.

“Deket ya berarti mereka,” Sanzu menarik kesimpulan. “Sampe mau main ke rumah abangnya. Abangnya udah nikah berarti? Kan beda tujuh tahun, tuh. Jauh juga. Udah ada istri sama anak lagi?”

Rentetan pertanyaan itu hanya dibalas dengan diam. Diam yang begitu panjang sehingga kini justru Sanzu yang dilimpahkan oleh tanda tanya di kepala serta benaknya. Apa pertanyaannya terlalu banyak sehingga Kakuchou kesulitan untuk menjawab seluruhnya? Atau pertanyaannya justru terlalu—

“Rindou mau nemuin abangnya ke rumah sakit.”

“Hah?”

“Abangnya Rindou sakit,” Kakuchou menjawab final dari seluruh teka-teki yang tiba-tiba menghampiri diri Sanzu. “Dari 2019, seinget gue. Awalnya cuman benigna gitu. Tumor jinak di liver. Udah sempet ada pengangkatan tumor sama perawatan. Katanya sih udah bersih, jadi abangnya bisa balik berkegiatan kayak biasa. Tapi di awal 2020 tau-tau pas diperiksa lagi, ternyata malah tumbuh lagi terus berubah jadi maligna.”

Kening Sanzu mengernyit kecil. Berapa banyak lagi hal yang telah Rindou sembunyikan darinya? Berapa banyak lagi hal yang tak ia ketahui mengenai kondisi Rindou? Mengapa kini ia justru merasa terpojokkan oleh pikirannya sendiri, menyadari bahwa dirinya justru tak pernah mengetahui apapun mengenai diri Rindou? Terlebih, dua rentang waktu yang disebutkan oleh Kakuchou—2019 dan awal 2020. Keduanya masih bersama saat itu. Mereka masih bersama, masih menyandang status sebagai seorang kekasih, keduanya masih—

Ah.

Awal 2020, ya.

Hubungan keduanya merenggang pada bulan Januari 2020.

Hubungan keduanya jadi dipenuhi oleh begitu banyak jarak semenjak Rindou jadi sering berkelakar untuk menolak ajakan pulang bersama dari Sanzu. Sebab entah bagaimana, pemuda itu tiba-tiba kehabisan waktu untuk dihabiskan bersama Sanzu. Tidak ada lagi kencan singkat seusai pulang sekolah, tidak ada lagi sesi belajar bersama di hari pekan, tidak ada lagi kegiatan diam-diam bertemu pada pukul sepuluh malam di depan komplek rumah Rindou untuk sekedar berpelukan atau membawakan martabak.

Karena tiba-tiba Rindou jadi begitu sulit untuk dihubungi dan Sanzu muak dengan segala kekosongan yang mengisi hari-hari mereka.

Sanzu pikir, Rindou terlalu sibuk menyiapkan diri untuk ujian masuk ke universitas. Dan ia tahu, orang seserius Rindou yang serba matang dalam merencanakan masa depannya tidak akan pernah bisa cocok dengan orang serba berantakan seperti Sanzu yang bahkan tak pernah tahu ke mana titik temu dari segala perjalanan hidupnya.

Jadi malam itu, tujuh Februari 2020, pukul sebelas malam; Sanzu memilih untuk mengakhiri hubungan keduanya melalui pesan gawai.

Sanzu tidak pernah tahu kalau Rindou memiliki alasan besar di balik segala hal yang membuat dirinya serba kebingungan saat itu.

“Sebenernya gue sedih banget setiap ngeliat Rindou ngejenguk abangnya,” Kakuchou melanjutkan ceritanya dan Sanzu mencoba mendengarkan secara atentif. “Keluarga gue udah kenal sama keluarga Haitani dari gue sama Rindou masih kecil. Gue tau gimana deketnya Rindou sama abangnya. Bang Ran ini masuk jurusan hukum dan Rindou juga sama-sama pengen masuk hukum. Dia belajar terus biar nilai dia tinggi, biar bisa keterima SNMPTN. Tapi dia gak lupa nyicil buat ujian masuk universitas juga. Tapi semenjak bang Ran ketauan punya tumor ganas, dia sampe lupa belajar. Kalo diajak ngobrol juga jadi suka gak fokus sendiri. Terus ya gitu— hasilnya dia gak keterima di pilihan pertama, hukum. Biar dia bilang gapapa masuk kesos, tapi tiap dia lewat fakultas hukum, kadang dia suka berhenti sendiri dulu.”

Sanzu memijat pelipisnya perlahan. Seluruh penjelasan itu. Seluruh penjelasan itu berhasil menimbulkan migrain yang luar biasa di kepalanya. Bagaimana pemuda itu kemarin malam menjelaskan bahwa dirinya baik-baik saja... kini terasa seperti sebuah kebohongan besar. Rindou tidak pernah baik-baik saja. Tahun itu, tahun 2020—tahun tersebut berjalan seperti neraka yang mengurungnya tanpa pernah memberikan celah untuk kabur.

Dan Sanzu justru hadir hanya untuk semakin merekahkan luka yang masih basah. Membubuhinya dengan garam agar perihnya semakin abadi.

Rasanya tidak adil karena Sanzu berhasil menjalani satu setengah tahun hidupnya tanpa Rindou hanya dengan sebatas patah hati atas cerita cinta yang selesai. Sedangkan Rindou menjalani harinya dengan segala beban yang enggan untuk memberikannya barang satu menit untuk mengambil napas.

Mungkin ini memang salahnya sejak awal.

Ketika Sanzu hendak mengangkat suara, perbincangan keduanya perlu teralihkan oleh pintu kamar Rindou yang terbuka. Menghadirkan pemuda pemilik surai ungu yang kini memandangi kedua entitas di depan kamarnya dengan tote bag yang menggantung di lengan kiri. Rambutnya masih basah dan lepek, membuat tetesan air mengalir membasahi leher, pundak, bahkan hingga jatuh membasahi keramik.

“Udah selesai mandinya, sayang?” Kakuchou dengan begitu sigap bangkit dari kursinya dan menghampiri Rindou. “Ini kok rambutnya masih basah banget? Gak dikeringin dulu? Pada netes ke baju tuh, nanti malah sakit kamunya.”

Jawaban yang diberikan Rindou hanya gelengan pelan. “Gak keburu kalo dikeringin. Takut kemaleman.”

Sanzu mengalihkan pandangannya singkat, menatap objek apapun yang mampu ia pandangi—apapun itu, asal bukan sinematik kala Kakuchou melepaskan jaketnya dan meletakannya di kepala Rindou.

“Yaudah, Zu, gue sama Rindou mau pergi dulu. Thanks banget ya udah nemenin gue di sini,” Kakuchou menepuk pelan pundak Sanzu dengan senyum sumringah yang terpeta di wajahnya. “Ayo, sayang. Udah mau jam tujuh.”

Kakuchou melingkarkan jemarinya pada pergelangan tangan Rindou, menuntun pemuda itu untuk melangkah keluar. Namun ada sesuatu yang menahan langkah Rindou. Membuat pemuda dengan surai ungu itu kini stagnan di hadapan Sanzu tanpa mengucap kata. Manik serupa lembayung senjanya terarah pada segelas kopi yang masih tecengkram erat pada ruas jemari Sanzu.

Lalu di sepersekon setelahnya, Rindou segera merogoh tote bag-nya; mengeluarkan satu kotak susu pisang yang ia letakkan begitu saja di atas pangkuan Sanzu sebelum melangkah keluar bersama Kakuchou.

Sebelum presensinya lenyap dimakan oleh jarak dan ruang. ⠀ ⠀ ⠀ ⠀ ⠀ ⠀ ⠀ ⠀ ⠀ ⠀


⠀ ⠀ ⠀ ⠀ ⠀ ⠀ ⠀ ⠀ ⠀ “Kamu kenapa suka minum kopi mulu?”

Rindou menilik singkat ke arah Sanzu yang tengah menyandarkan kepalanya pada permukaan meja. Nampak tidak tertarik dengan tumpukan buku soal yang terbuka dan sejumlah buku catatan Rindou yang seharusnya ia salin.

Tak ada jawaban langsung yang keluar dari belah bibir Rindou. Pemuda itu hanya kembali mengarahkan fokusnya pada tugasnya, menyalin beberapa jawaban dari buku paket.

“Rin? Kok aku gak dijawab?”

“Berisik, ah. Lagi di perpustakaan juga,” Rindou menggerutu singkat. Obsidiannya mencuri arah pada sosok Sanzu yang kini mulai memasang wajah masam. Ada helaan singkat yang mengalir keluar setelahnya. “Biar gak ngantuk. Makanya minum kopi. Kenapa?”

“Aku gak suka minum kopi tau,” Sanzu berceloteh singkat meski tak ada yang benar-benar ingin tahu mengenai fakta tersebut. Coret, Rindou. Pemuda itu tak bertanya banyak. Namun di tengah kesibukannya, sepasang telinga milik Rindou begitu penuh perhatian menangkap seluruh racauan Sanzu. “Soalnya pait. Ada kopi susu sih yang gak pait-pait amat. Tapi tetep aja, kalau abis minum kopi perut aku suka mules.”

“Kalau susu pisang gimana?”

“Kalau susu pisang bisa, laaah. Aku bukan semacam lactose-intolerant juga, jadi kalo minum susu sampe dua galon juga bisa.”

“Lebay banget.”

Sanzu merengut singkat. Semestinya setelah beberapa bulan keduanya berpacaran, Sanzu bisa terbiasa dengan jawaban singkat dan pedas yang Rindou berikan. Namun tetap saja, ada kalanya reaksi Rindou yang terlalu datar membuat wajahnya lantas berubah menjadi masam.

Menyadari perubahan ekspresi kekasihnya untuk yang kesekian kalinya, Rindou mendesau berat seraya mengambil ransel hitam miliknya. Pemuda itu merogoh sesuatu; berhasil membuat Sanzu kini mengangkat kepala dari permukaan meja, seakan ia turut penasaran akan apa yang kini kekasihnya tengah coba ambil.

Raut penasaran tersebut kian mengernyit penuh tanya ketika Rindou berhasil mengeluarkan satu kotak susu pisang dari ranselnya. Kotak susu tersebut diarahkan begitu saja di hadapan Sanzu.

“Buat aku?”

“Aku beli di kantin tadi. Tapi lupa gak keminum. Takut mubazir.”

Pada akhirnya, satu kotak susu pisang tersebut dihabiskan bersama oleh Sanzu dan Rindou melalui sedotan yang sama.


Baik Rindou dan Sanzu tahu apabila keduanya kembali dipertemukan, hal pertama yang menyapa mereka hanyalah kepingan sunyi yang meluruh dari sela-sela ruang. Sanzu tidak benar-benar tahu apa yang sepatutnya ia tunjukkan sebagai respons kala kakinya melangkah masuk ke arah dapur dan menemukan Rindou yang sudah berada di sana. Terduduk di satu kursi dengan kedua kakinya yang mengetuk pelan sisi keramik yang dingin.

Kedua pasang iris mereka sempat bertubrukan; menyulam tatap selama beberapa detik sebelum Sanzu menjadi sosok pertama yang memutus benang tersebut. Disusul oleh deheman singkat seraya mengusap tengkuk belakangnya dengan gaya paling canggung yang pernah ia terapkan.

Singkat, manik milik Sanzu melirik ke arah tumpukkan cucian piring beserta sampah yang menggunung. “Kita bagi tugas aja?”

Rindou mengangguk. “Lo mau cuci piring?”

“Lo aja,” Sanzu menggigit pipi dalamnya. “Gue buangin sampah sama pasang plastik. Is it okay? Lo keberatan gak?”

Untuk kali kedua, gelengan itu hadir sebagai jawaban. Rindou bangkit dari kursinya dan melangkah menuju wastafel dapur, tak lagi mengacuhkan sosok Sanzu yang masih berdiri di perbatasan dapur.

Kini, satu-satunya suara yang menengahi mereka hanyalah suara air yang mengalir keluar dari keran. Rindou mengatupkan bibirnya penuh seakan diam adalah naluriahnya; sehingga mungkin, barang kali, seluruh kecanggungan yang memenuhi dirinya dan Sanzu bukanlah perkara besar yang mengusiknya.

Tapi Sanzu tidak merasa demikian. Mungkin egonya terlampau tinggi sehingga sulit untuk dileburkan begitu saja. Segala kesunyian ini membuatnya tenggelam dalam kefrustrasian yang entah sejak kapan sudah membludak tinggi. Karena Sanzu sudah punya serentetan kalimat yang hendak ia keluarkan begitu saja dari ujung lidahnya yang kini digerbangi oleh mulut yang terkunci. Dan semuanya perlu ditahan semata-mata karena status keduanya sebagai mantan.

Sambil memunguti sampah yang berserakan di atas meja makan, diam-diam Sanzu mencuri pandang pada punggung Rindou. Pemuda itu banyak berubah, tentu saja. Satu setengah tahun bukan waktu yang singkat. Mustahil jika Sanzu mengharapkan entitas itu kembali hadir dengan penampilan sama persis kala keduanya masih menjadi murid SMA; surai pirang dengan kacamata bulat yang kerap kali bertengger di tulang hidungnya yang tinggi.

Namun, dengan segala perubahan tersebut, Sanzu pikir sepatutnya ia adalah kebingungan dengan sosok asing yang tiba-tiba menghampirinya beberapa hari lalu. Tapi tidak. Manik Sanzu saat itu bergerak cepat menangkap presensi dengan surai ungu sebahunya; dan pecahan memorinya yang tertimbun saat itu kembali merekahkan ruang. Menyadari bahwa pecahan-pecahan itu mengenali dan merindukan sosok tersebut.

“Lo gimana kabarnya?”

Sanzu meyakini bahwa bertanya mengenai kabar merupakan konsep pembuka topik yang paling klise. Atau lebih seperti basa-basi yang benar-benar basi? Opsi kedua terdengar lebih masuk akal untuk kali ini.

“Gue baik,” Rindou menjawab. “Lo udah nanya gini kan kemarin lewat chat?”

“Yeah,” skakmat besar, Sanzu tahu. “Cuman... mau denger langsung aja dari mulut lo,” kilahnya singkat. “Sama... mau tau aja kabar lo gimana semenjak— semenjak lulus SMA. Lo ngerasa salah jurusan atau enggak, masuk organisasi apa, kabar orang tua lo. Maksud gue... begitu.”

Tidak ada jawaban langsung yang diberi oleh Rindou—dan Sanzu mungkin terlalu takut untuk kembali menatap pemuda itu; menyadari bahwa apa yang baru saja diucapkannya mungkin mengarah terlalu personal untuk... mereka yang bukan lagi siapa-siapa bagi satu sama lain.

“Sori, kalo pertanyaan gue bikin lo gak nyaman atau nyinggung privasi lo, gapapa gak usah dijawab—”

“Gue baik,” Rindou menyela ucapan Sanzu begitu saja. “Orang tua juga baik. It was a little bit hard for me at first, karena— tau lah, dulu gue pengen banget masuk hukum. Tapi kesos gak seburuk itu juga.”

Sanzu pikir mungkin ini alasan paling muluk yang membuatnya mampu tersenyum di depan tumpukkan sampah yang menyeruakkan aroma tidak sedap. Entah bagaimana, sensasi beton berat yang menimpa dadanya sejak kemarin tiba-tiba hilang begitu saja. Meninggalkan lega yang teramat luas di relung hatinya; menyadari bahwa Rindou benar-benar menjalani hari yang baik selama satu setengah tahun tanpa Sanzu.

“Kakuchou pasti nemenin lo terus ya?”

“He does,” Rindou menjawab singkat. “Lo sendiri gimana? Sama Mikey?”

“Baik juga,” Sanzu menatap singkat langit-langit dapur. “Dia banyak bantuin gue selama kuliah. Kalau gue lagi ada masalah juga ditolong terus, haha. Lo tau kan gue sering bikin masalah dari dulu?”

“Dia baik ya?”

Kening Sanzu mengernyit singkat. “Siapa?”

“Mikey.”

”...Iya? Dia baik.”

“Berarti harus lo jaga baik-baik,” bersamaan dengan itu, Rindou nampak telah usai dengan kegiatan mencuci piringnya. Keran dimatikan, menghentikan aliran air yang sejak tadi turut menemani mereka. Rindou mengusap pelan kedua tangannya yang basah pada bagian belakang kausnya. “Dia baik, dia punya waktu buat lo, dia selalu ada buat lo, jagain lo terus. You got no reason to let him go, Zu.”

Rasanya aneh, karena setelah beberapa hari menetap di bawah atap yang sama, malam itu adalah kali pertama Sanzu menyaksikan Rindou mengulas senyum ke arahnya. Sebelum pemuda itu berpamitan untuk kembali ke kamar, meninggalkan Sanzu tercenung sendirian di dapur.

Rindou benar. Manjirou baik.

Ia baik, selalu memiliki sepenuh waktunya untuk Sanzu, selalu ada di manapun ketika Sanzu membutuhkan uluran tangan, dan selalu menjaganya dengan sebaik mungkin.

Rindou benar. Sanzu tidak punya alasan untuk melepaskan Manjirou.

⠀ ⠀ ⠀ ⠀ ⠀ ⠀ ⠀ ⠀ ⠀ Sanzu tidak punya alasan untuk melepaskan Manjirou seperti bagaimana dirinya melepaskan Rindou satu setengah tahun lalu.


Sanzu memandang sumringah ke arah Manjirou yang kini memarkirkan motornya ke dalam halaman kosan mereka. A man of his word, indeed. Pemuda yang hanya berjarak satu tahun di atasnya itu benar-benar datang, mengendarai motor yang nampak lebih besar dari tubuhnya.

“Asik, obat pusing gue dateng,” Sanzu tidak butuh waktu banyak untuk segera bangkit dan menghampiri Manjirou. Tubuh kecil itu lantas ia dekap dengan erat; menghirup aroman sitrus segar yang menyeruak dari surai pirangnya. “Kangen banget ya lo, kak, sama gue? Sampe rela datengin gini?”

“Lebay,” Manjirou meninju pelan dada Sanzu dan segera disahuti oleh aduhan yang sengaja dilebih-lebihkan. “Gue cuman mau ngecek lo aja. Jarang-jarang sampe ngeluh pusing gini. Beneran gak kenapa-napa, kan?”

“Kagak, elah,” ada tawa renyah yang mengalun dari belah bibirnya seusai mendengar pertanyaan Manjirou. Pun, meski ia benar-benar sempat merasakan secercah pening yang menyergap kepalanya; nyeri yang mengisi seisi kepalanya benar-benar lenyap menjadi fraksi debu yang terbang terembus angin malam. Begitu saja. Semuanya akibat presensi Manjirou yang tiba-tiba hadir mengusir keluh kesah Sanzu malam itu. “Beneran guenya gak kenapa-napa, kak. Nih, mau cek?”

Pemuda pemilik surai merah muda itu hendak mengarahkan punggung tangan Manjirou pada keningnya. Namun, pemuda yang lebih pendek itu sudah terlebih dahulu menarik kerah kaus Sanzu—membawa kepala yang lebih muda merunduk, mengikis sisa-sisa ruang yang menengahi mereka; membawa kening keduanya saling bertubrukkan dalam jarak setipis sehelai tisu.

Sanzu merasakan setengah dari napasnya raup begitu saja; sebab distansi yang mengisi atmosfer di antara mereka benar-benar tiris dan tak bersisa. Dan dari jarak sedekat itu, Sanzu mampu menyoroti gemintang langit yang bersorak-sorai di manik kelam Manjirou yang begitu teduh. Dari jarak sedekat itu, oniks milik Sanzu mampu menangkap tiap-tiap detail dari pahatan wajah Manjirou—tulang hidungnya yang tinggi, kedua pipinya yang bersuam merah akibat dingin malam yang merengkuh mereka, serta sepasang belah bibir yang nampak basah. Sanzu seakan mampu menangkap seluruh hal-hal miskroskopis yang terpeta di sana—hingga barang kali dirinya lupa bernapas dan menyebabkan kantung paru-parunya terasa tercekik karena dirinya terlampau terpukau.

“Sebenernya badan lo rada anget,” Manjirou berbisik rendah. Jarak mereka yang dekat menuntutnya untuk berbicara dengan volume tipis-tipis; karena meski ia hanya berbisik, Manjirou yakin Sanzu dapat mendengar seluruh ucapannya dengan jelas. “Tapi kalo lo bilang lo gak sakit, gue bakal tetep percaya,” Manjirou melanjutkan pembicaraannya, masih dengan suara yang begitu lembut menggelitik masuk ke dalam gendang telinga Sanzu. “Tapi sekali lagi gue tanya, Zu. Apapun itu. Lo beneran gak kenapa-napa, kan, hari ini?”

Sanzu tidak tahu harus bereaksi apa selain mengulas senyum tipis. Karena meski raut wajah Manjirou kini terasa begitu keras, Sanzu menyadari bahwa ada perasaan khawatir yang tersirat di sana. Dan menyadari hal tersebut tentu saja membawa gelenyar asing yang kini mengalir di sekujur pembuluh darahnya, menghadirkan spektrum-spektrum menggelitik yang terasa sedang mengecupi permukaan kulitnya.

Entah sudah berapa lama keduanya stagnan di posisi seperti itu—dan entah siapa saja yang telah menyaksikan keduanya; sebab sepertinya baik Sanzu dan Manjirou menolak untuk mengalihkan pandangan mereka pada sekitar. Radius dekat yang menengahi mereka dijadikan sebagai satu-satunya alasan untuk saling memandang lurus pada satu sama lain. Dalam waktu yang begitu panjang; dengan begitu dalam dan penuh makna yang abstraktis. Makna-makna tersebut diinterprestasikan melalui sorotan mata yang sunyi, sebab keduanya meyakini tak ada rangkaian alfabetis manapus yang mampu mewakili perasaan masing-masing dari mereka malam itu.

Napas keduanya saling bersahutan seperti deru musim gugur; saling menyapu permukaan wajah satu sama lain bagaikan lembaran daun yang telah menguning, terbang terembus angin, dan menyapa setiap bagian bumi dengan senyumnya yang abadi.

Dan mungkin, satu-satunya hal yang mampu memecah fokus mereka hanyalah suara aduhan yang tiba-tiba mengejutkan keduanya. Baik Sanzu dan Manjirou lantas mengalihkan pandangan mereka pada sumber suara—menemukan entitas dengan surai ungu sebahu yang kini sibuk mengaduh pelan karena tersandung, akibat dari sendal jepitnya yang terlalu besar ukurannya.

Surai sebahunya dikuncir asal dengan karet gelang. Tubuhnya dibalut oleh kaus hitam dan jaket abu-abu yang diritsleting setengahnya. Dan nampaknya ia tidak begitu menyadari kehadiran Sanzu dan Manjirou karena masih sibuk mencoba memandangi kakinya yang sempat terseret aspal.

“Rin?” Sanzu memanggil pelan. Dan panggilan tersebut samar-samar berhasil menarik perhatian pemuda itu; kini menatap sepasang presensi di hadapannya melalui lensa kacamata yang bertengger di hidung.

“Oh, sori,” Rindou berucap seraya membungkuk singkat, baik kepada Sanzu maupun Manjirou. “Gue cuman mau ambil makanan sebentar ke luar. Terus tadi gak sengaja kesandung sendal sendiri.”

Sanzu sejatinya tak mampu membayangkan bahwa ketiganya baru saja ditempatkan pada posisi yang sama canggungnya seperti beberapa jam lalu. Hanya saja, kini sosok Kakuchou digantikan oleh Manjirou—dan jika Rindou benar-benar memperhatikan, mungkin pemuda itu sepatutnya menyadari kehadiran Sanzu dan Manjirou yang sejak tadi berada di sana. Dengan posisi yang begitu dekat dan setengah intim. Membuat siapapun yang melihat keduanya, meski hanya sekilas, pasti akan menyadari bahwa mereka adalah sepasang anak Adam yang sedang jatuh cinta.

Namun segala kecanggungan itu bahkan berakhir kurang dari beberapa detik. Sebab Rindou sudah melengang begitu saja dengan tak acuh, melangkah keluar dari gerbang kosan, meninggalkan Sanzu dan Manjirou tanpa sepatah kata. Meninggalkan kedua insan tersebut dalam senyap yang masih membendungi keduanya dalam jangka waktu yang begitu panjang.

Dan Sanzu benar-benar hilang arah. Untuk kali kedua, ia dibuat begitu bingung oleh segala hal yang hadir di hidupnya hari ini. Pandangannya masih memandang nanar ke arah gerbang; menatap renyap-renyap suara Rindou yang kini tengah berbincang dengan seseorang. Dan tak lama kemudian, pemuda Haitani itu kembali dengan kantung plastik berisi makanan di tangannya.

Dan Rindou melangkah begitu saja.

Tanpa sepatah kata, tanpa sepucuk sapaan, tanpa sebait senyum. Ia mengabaikan penuh presensi Sanzu dan Manjirou di sana—seakan keduanya bukanlah hal besar yang perlu ia perhatikan, bahkan untuk sekedar disapa dan dibubuhi senyuman sebagai bentuk formalitas.

Pemuda itu kini benar-benar hilang di balik pintu kamarnya. Sedangkan Sanzu masih tercenung pada seluruh isi kepalanya yang tiba-tiba begitu berisik.

Mengapa Rindou bertingkah seakan keduanya tidak saling mengenal?

Mengapa Rindou bertingkah seakan tidak pernah ada apa-apa di antara keduanya?

Mengapa... hanya Sanzu yang merasa begitu canggung dan kebingungan atas segala rencana semesta dalam mempertemukan keduanya secara tiba-tiba?

Mengapa hanya Sanzu yang terpekur sendirian di ruang pikirnya yang begitu luas dan... Rindou tidak turut serta di sana?

Mengapa?


Sanzu terpekur menatap buku di tangannya. Sepasang maniknya mengerjap, lalu ia seka dengan kuat—memastikan bahwa tak ada yang salah dari apa yang baru saja ditangkap oleh indra penglihatnya.

Haitani Rindou.

Nama itu terukir dengan rapih di selembar post-it berwarna kuning. Disusul oleh serangkaian kalimat di bawah—barang kali sang empu suatu hari kehilangan buku tersebut dan penemunya bersedia untuk mengembalikan melalui kontak yang tertulis di sana. Agaknya, yang memahami betapa berantakan perasaan pemuda itu kini hanyalah layar ponsel yang menampilkan sebuah profil instagram seseorang. Dengan wajah yang begitu familiar terpajang di sana.

Satu setengah tahun, jika Sanzu tidak salah ingat. Sudah hampir satu setengah tahun keduanya tidak bertemu; dan kini, setelah bentangan waktu kosong yang panjang menginvasi jarak di antara mereka, kedua insan itu seperti dipertemukan dengan cara yang paling konyol. Sanzu memijat pelipisnya pelan; karena tiba-tiba segalanya terdengar begitu konyol baginya.

Bagaimana bisa ia diminta untuk membantu memindahkan barang penghuni baru di kamar sebelahnya ketika penghuni tersebut ternyata adalah mantan kekasihnya ketika SMA dulu?

“Zu...?”

Napas Sanzu tercekat begitu saja ketika sebuah suara memanggil namanya samar-samar. Suara yang pernah begitu lekat menelusuri gendang telinganya kini menyisakan sunyi yang riuh rendah di sekujur tubuh Sanzu. Sebab kini, pemuda itu bahkan tak sanggup untuk menggerakkan setiap perpotongan tubuhnya, bahkan untuk sekedar mengalihkan pandangan dan menyoroti desibel yang menggemakan namanya.

“Ini bener Sanzu Haruchiyo, 'kan?”

Suara itu kembali hadir, kini dengan volume yang lebih rendah, terselipkan ragu yang menyeimbanginya. Mungkin sedikit rasa takut terpeta di sana. Karena Sanzu kini berada dalam posisi jongkok dengan kepala yang merunduk, masih menatapi buku di genggamannya seraya tercenung.

Pemuda itu tidak tahu, sisa-sisa keberanian siapakah yang berhasil ia akumulasikan hingga dirinya kini mampu berdiri dengan tegak; memandang lurus ke arah sumber suara tersebut.

Dan benar.

Seluruh dugaannya benar.

Di sana berdiri dua anak Adam yang memandanginya dengan sedikit resah yang timbul di raut mereka. Salah satunya terlihat asing di mata Sanzu. Tapi yang di sebelahnya, dalam sekejap, berhasil mengundang buram pada sorot hijau milik Sanzu. Pemuda dengan surai berwarna ungu yang terhelai panjang dan iris yang memendarkan spektrum serupa.

Haitani Rindou.

Sanzu tidak tahu berapa lama waktu yang ia butuhkan agar sensasi tercekat yang mencekik pangkal tenggorokannya itu bisa hilang. Namun, selagi ia mencoba untuk membawa desiran asing yang mengalir di sekujur tubuhnya untuk mereda, pandangannya tak mampu tiris memandangi pemuda itu. Tepat dari atas hingga bawah; bagaimana kedua tangan itu kini membawa setumpuk buku dan pinggangnya yang direngkuh erat oleh sebuah tangan.

“Kamu kenal dia, sayang?”

Ah.

Tepat ketika Sanzu berhasil menggerakkan saraf-saraf tubuhnya yang sempat malfungsi—maka hal pertama yang pemuda itu lakukan hanya mengulum singkat bibir bawahnya. Mendengar panggilan penuh afeksi itu diarahkan pada sang pemilik surai ungu. Hal kecil tersebut dengan begitu tegas berhasil membawa Sanzu menyelami masa lalunya dalam sekejap.

Panggilan itu juga pernah hadir dari belah bibir Sanzu tepat satu setengah tahun yang lalu.

Pada pemuda yang sama.

“Oh— temen SMA.” Rindou tersenyum singkat seraya memandang pemuda yang masih merengkuh pinggangnya. “Kenalin, Zu, ini Kakuchou.”

Seharusnya. Seharusnya Sanzu melarikan diri sejak awal dirinya menyadari bahwa Rindou yang akan menjadi penghuni kamar di sebelahnya. Seharusnya Sanzu tidak mengacuhkan Rindou yang memanggil namanya dan mengangkat kaki begitu saja. Seharusnya Sanzu menolak untuk berjabat tangan dengan pemuda bernama Kakuchou itu.

Seharusnya seperti itu.

Tapi semuanya berlangsung secara berketerbalikan. Sanzu tak memahami bagaimana kini tangannya bergerak sendiri untuk menyambut jabatan tangan Kakuchou; mendengar bagaimana pemuda itu memperkenalkan dirinya secara singkat, “Kakuchou. Hitto Kakuchou, pacarnya Rindou.”

Sanzu tersenyum kikuk. “Sanzu. Sanzu Haruchiyo, temen satu sekolahnya Rin dulu pas SMA.” ada tawa canggung yang setelahnya mengalun begitu saja dari kerongkongan Sanzu.

Mungkin segalanya semakin buruk ketika Rindou menyadari bahwa Sanzu kini masih menggenggam bukunya. “Itu... buku gue, bukan, Zu?”

“Oh?” Sanzu menatap singkat ke arah buku tersebut. “Iya, buku lo. Sori, soalnya tadi abang-abang pick up-nya malah naro beberapa barang lo di depan kamar gue.” Sanzu menunjuk sejumlah barang yang tercecer di depan sebuah kamar yang terbuka. Kamarnya—yang berada tepat di sebelah kamar Rindou.

Tak ada kata-kata lagi yang berhasil hadir menengahi ketiga entitas tersebut selain tangan Kakuchou yang tiba-tiba terulur, meminta buku tersebut untuk dikembalikan. Patuh, Sanzu memberikan buku tersebut sembari menggumamkan kata maaf yang terlampau samar untuk ditangkap oleh gendang telinga siapapun.

“Sori jadi ngerepotin gini,” Rindou berdehem singkat—mencoba memecahkan kesunyian yang melingkupi mereka. “Gue— nanti gue beresin barang yang ada di depan kamar lo. Gue masukin ini dulu ke kamar gue.” Rindou mengangkat pelan tumpukkan modul di tangannya tatkala tersenyum kecil. “Ayo, Cho.”

Yang membalas ucapan tersebut hanyalah kedua sudut bibir Sanzu yang turut terangkat tipis—membalas dengan sebuah senyuman sebagai formalitas singkat. Baik Rindou dan Kakuchou kini sudah melengang masuk ke dalam kamar, beberapa kali derap langkah mereka terdengar, memindahkan barang-barang yang masih berada di luar.

Sedangkan Sanzu? Pemuda itu masih diam tercenung di tempatnya; membeku dengan segala bising yang sibuk beradu kata di dalam kepalanya. Hingga segala hiruk pikuk itu menyisakan sosok Sanzu yang tak berkutik. Sebab entah mengapa, segala sesuatu yang terjadi hari ini berlangsung terlampau cepat. Dan otak Sanzu bahkan tak sanggup untuk mendiktekan satu per satu dari tiap-tiap kekalutan yang membalut dirinya.

“Sanzu, lo masih di sini?” Satu-satunya hal yang mampu memendarkan pelan lamunan tersebut adalah sebuah suara yang kembali menyapanya. Lantas membawa pemuda itu berbalik, menatap sosok Kakuchou yang kini melangkah mendekat ke arahnya. “Sori, sori. Susah masuk ya gara-gara barang Rindou masih di depan kamar lo?” Kakuchou pelan-pelan menunduk untuk mengambil beberapa barang yang masih bertempat di kamarnya. “Btw lo boleh pergi, kok. Biar sisanya gue sama Rindou aja yang beresin.”

Sanzu memang sudah seharusnya pergi sejak tadi.


“Lo tau gak sih, kalau diumpamain, gue ke lo tuh kayak bola yang gagal masuk gawang?”

Rindou menghela napasnya lelah. Ia bersumpah, kali ini, hanya tersisa satu jurnal lagi. Satu jurnal lagi untuk diresume, satu jurnal lagi dan tugasnya selesai malam itu juga. Namun alih-alih membiarkannya mengerjakan tugas dengan tenang, Sanzu memilih untuk berceloteh di sepanjang waktu. Terkadang ia merajuk sebab Rindou memilih untuk tak acuh—namun kemudian kembali tenang, menyadari bahwa presensi lain di ruang kamar itu sedang menjelma menjadi mahasiswa gila.

“Zu.”

“Tanya dulu gimana. Abis itu gue diem.”

“Gimana?”

“SAYANG SEKALI PEMIRSAAAA!” Sanzu terkekeh geli selepas bangkit dari ranjang Rindou. Manik hijaunya jatuh pada entitas yang masih terbelenggu di atas meja belajar, membelakanginya dengan wajah menghadap laptop. Di sepersekon setelahnya, Rindou memutuskan untuk berdiri dari kursi dan menghampiri Sanzu. Kedua tangannya mengepal, buku-buku jarinya memutih—mungkin akibat ditekan terlalu kencang, perihal emosinya yang sedikit menyudut di puncak.

Tubuh Sanzu yang terduduk di pinggiran ranjang didorong, membuat pemuda itu kini justru berakhir kembali berbaring di atas ranjang dengan tubuh Rindou yang merangkak pelan di atasnya. “Bisa gak diem dulu?” Rindou berucap lirih. “Diem sebentar dulu. Biarin gue kerjain tugas gue sampe selesai. Dikit lagi, Zu. Demi Tuhan. Gue cuman tinggal nulis kelebihan sama kekurangan.”

Bola mata Sanzu jatuh pada sosok Rindou di depannya, menyoroti dengan lemat dalam sehelai benang yang menjembatani keduanya. Tidak ada jawaban yang diberi, hanya sunyi yang masih mengawani ruang kamar tersebut; seakan rengkuhannya erat di tengah emosi salah satu insan yang hampir berserakan. Panjang jarum jam yang mengindikasi ke menit kedua semenjak sunyi tersebut masih berbuahkan senyap. Seakan bincang-bincang jangkrik menjadi satu suara paling nyaring di tengah kebisuan yang lebih kencang.

Di menit ketiga, yang menyuarakan jawaban adalah telapak tangan Sanzu di pinggang Rindou. Pelan tanpa sua menuntun tubuh pemuda itu untuk duduk dengan rileks di atas perutnya.

“Zu.”

“Istirahat. Sebentar,” satu tangannya yang lain beranjak menyugar pelan surai pirang milik Rindou—menyingkirkan beberapa helainya yang menutupi kening, memastikan pandangannya mampu melahap penuh wajah letih itu. “Lo semalem abis begadang. Terus sekarang ngejar resume 10 jurnal. Istirahat sebentar. Jangan sampe mati muda.”

Rindou mungkin lupa bagaimana pastinya beristirahat. Sejak kecil, doktrin Ayahnya kuat; Istirahat diperuntukkan bagi mereka yang siap mencicipi kegagalan. Orang-orang yang ditempa sukses harus berani mengambil risiko hidup tanpa rehat. Hingga tanpa sadar, ia menggandeng letih di sepanjang hidupnya. Barangkali ia ingin berteriak, namun ternyata belah bibirnya seperti dipasung bungkam.

Jika diperintahkan untuk mendiktekan hal-hal yang melekat abadi, mungkin selain perihal keyakinan yang jawabannya enggan Rindou sebut—hal kedua yang hadir di isi kepalanya adalah tatapan Sanzu. Bola matanya masih teduh terarah pada Rindou, memandangnya seumpama semesta yang patut dicintai.

“Lo mau denger gue bilang makasih ke lo, gak?”

Dalam suara Sanzu melesak masuk ke gendang telinga Rindou. Sedikit sengau dan parau, menghadirkan retoris yang entah mengapa dianalogikan seperti menuntut jawaban dari mulut sang lawan bicara.

“Bilang makasih buat?”

“Kesempatannya,” bisik Sanzu. “Karena udah kasih gue kesempatan buat ngulang semua lagi dari awal.”

Rindou berdecih pelan. Sorotnya beralih ke sisi lain, enggan terus menatap ke arah Sanzu. Darahnya berdesir hangat, naik ke sepasang daun telinga hingga ke wajahnya. Entah mengapa, cengkraman tangan Sanzu di pinggangnya justru semakin lekat dan erat, tak memberi seinchi ruang kosong yang menengahi dua anak Adam tersebut.

“Lo bukan tipe orang yang biasa ngomong kayak gitu.”

Sanzu terbahak mengiyakan. Rindou benar. Bermulut manis bukan caranya dalam jatuh cinta. Pembendaharaan katanya buruk, kosakatanya lebih banyak diisi diksi-diksi tak etis. Ia lebih sering mendiktekan deretan daftar binatang di penangkaran satwa liar dibandingkan mengagungkan seseorang melalui frasa-frasanya yang berantakan. Tapi tubuhnya lebih jujur dari janji-janji ilusi yang kerap kali ia terima. Bahasanya dalam mencintai dilukis dari gerak tubuhnya yang tak pernah mampu berdusta meski surga hadiahnya.

Bola matanya yang bening tak pernah berhenti menjadikan presensi Rindou sebagai bahtera dari luapan jatuh cintanya yang kacau. Yang sedikit tak beraturan, yang berlebihan, yang tak terhingga. Seperti lautan yang tak menjanjikan dasar, perasaannya pada Rindou menghilir hingga ke ujung. Tanpa ada titik henti, terus merangkak meski sudah diberikan lampu merah.

Ia mencintai Rindou dengan begitu payah. Dengan sisa-sisa kemanusiaannya yang dituntun untuk tetap hidup dan nyata, berharap agar barangkali suatu saat dirinya dapat kembali menjadi utuh. Meski terkadang ia berusaha menjadi kosong, Rindou seperti hadir untuk mengisi penuh kepingan-kepingan diri Sanzu yang sudah terlebih dahulu lebur. Ia membenahi tiap friksinya yang hancur dan berantakan, dengan kedua tangannya yang telanjang, Rindou mengutuhkan diri Sanzu yang pernah hilang dan lenyap.

Rindou menapaki satu alasan bagi Sanzu untuk bertahan ketika ia tengah menyelami ketidakmampuannya dalam mengobati sakit yang enggan untuk sembuh.

“Zu, jangan dilepas lagi.”

Kalimat yang keluar dari mulut Rindou terdengar seperti rintihan lirih yang terdengar absolut dan mutlak. Sunyi di tengah keduanya diisi oleh hiruk pikuk degup jantung dan seisi pikiran yang berlarian ke sana kemari; sebab entah mengapa, atmosfer yang mencekik mereka kini jauh lebih intens dari yang mereka kira.

Dinding kamar menyaksikan malu-malu; sebab siapa yang mampu bertahan dengan posisi canggung seperti itu di atas ranjang selama lima belas menit? Selain dua manusia Tuhan yang sedang jatuh cinta, menostalgiakan masa lalu persis seperti menilik ke bawah dari puncak anak tangga yang sudah sampai di ujung. Hingga kini empat sisi tembok itu mencoba memahami. Mengunci bising yang sebenarnya sunyi sebab hanya diisi oleh buncahan yang meletup-letup.

Tapi sekali lagi, sunyi itu lebih nyaring. Dan tak ada yang lebih mersik dari teriakan orang yang jatuh cinta sebab mereka melengking hingga mereka berhasil menjadi suaranya sendiri.

“Gak dilepas lagi. Cukup sekali aja. Gak ada yang kedua kali.”

Saat itu, dinding kembali mengunci; bukan bising, melainkan janji. Membiarkan ruang petak itu menjadi saksi bisu pada janji masa depan yang entah akan dibawa ke mana arahnya. Mereka mencoba untuk tidak tahu. Yang menentukan adalah dua anak Adam itu. Mereka hanya benda penyekat yang tugasnya menyaksikan tanpa menghakimi, meski sedikit mencaci sebab berpikir, 'Ah, anjing juga ternyata menjadi mati dan tak bernyawa.' Dinding-dinding itu dengki. Tentu saja.

“Lo tau,” Sanzu pikir mungkin ia sedang tidak cukup waras untuk malam itu. “Koko bilang harusnya kata ciuman itu gak ada di kamus pdkt,” itu memang apa yang dikatakan Koko. Sebab apa yang melintas di kepalanya justru berlawanan; belum lagi dengan posisi keduanya saat itu. “Tapi gue dulu nyium lo pertama kali pas kita lagi pdkt.”

Rindou menggeleng pelan. “Kita belum pdkt waktu itu,” Ia mengoreksi dengan ingatannya yang lebih tajam. “Cuman baru sadar kalau kita sama-sama suka.”

“Bangsat,” Sanzu menertawai dirinya sendiri. Ia tak mampu memikirkan kata lain selain patetis dan memprihatinkan; memikirkan betapa ia begitu jatuh hati hingga sebagian besar dari dirinya hampir lepas kendali. Sebab malam itu, di bawah remang-remang lampu kamar yang redup, mata Sanzu begitu cukup melucuti paras molek pemuda yang masih duduk di atas perutnya. Ia secantik bidadara yang pernah melukis hadir di mimpinya. Haitani Rindou selalu indah. Seperti larik sajak yang puitis dan agung. “Gue sayang banget, anjing, Rin sama lo. Gimana ya.”

Jawaban atas pertanyaan linglung itu adalah tubuh Rindou yang mencondong maju. Mengikis pelan-pelan tiap ruang di antara keduanya, sebelum satu-satunya yang menyekati mereka hanya sorotan tak berjarak dan ujung hidung yang sudah terlebih dahulu saling bersentuhan.

Deru napas mereka saling bersautan, menyapu hangat perpotongan kulit wajah keduanya seraya menghadirkan percik spektrum yang menyetrum. Rindou perlu mengais begitu banyak keberanian untuk mengumpulkannya menjadi satu. Ia perlu menepikan puncak rasionalitasnya sebelum memberanikan diri mencuri langkah yang tak pernah ia ambil sebelumnya.

Mereka bercumbu. Dan dinding-dinding itu sekali lagi harus menjadi saksi atas peleburan dua belah bibir anak muda yang sudah hilang akal. Bagaimana bibir Sanzu yang selalu kering dan pahit bertemu dengan bibir Rindou yang basah dan dingin. Namun perpaduan itu selalu memuarakan manis meski cara mereka bercumbu tak pernah rapih dan cenderung semrawutan.

Entah sudah kali keberapa bibir mereka bersua, setiap ciuman yang keduanya lakukan selalu terasa seperti ciuman pertama. Yang mendebarkan dan penuh napas berat. Yang berantakan namun selalu berhasil menghentikan semesta untuk kembali berotasi. Yang sehangat mentari dan seharum bunga musim semi. Selalu terasa sama, karena mereka Sanzu dan Rindou seperti dibawa untuk kembali jatuh cinta—lagi dan lagi, lalu lagi.

Kalimat di sajak puisi itu nyata.

Cinta adalah perihal keyakinan kita pada perkara-perkara yang selalu mampu memasihkan yang pernah.