so how much do you love him?
maybe as much as i could not tell him right away
Sanzu tidak tahu, mengapa malam itu seusai membeli satu loyang kue cokelat dan beberapa pastry untuk anak-anak lain, keduanya justru berakhir di sebuah taman kecil. Baik Rindou dan Sanzu kini terduduk di sebuah bangku taman panjang; yang menengahi keduanya adalah plastik berisi kotak kue yang baru saja mereka beli.
Rindou menilik singkat pada bungkus rokok milik Sanzu yang menyembul dari balik saku celananya. “Ngerokok aja kalau mau,” ucapnya singkat. “Lagian lagi gak ada anak-anak kan malem-malem gini.”
Sanzu melengos pelan disertai senyum tipis yang terpeta di wajahnya. “Enggak, gue gak kepengen ngerokok. Emang kebawa aja di saku,” ia berkelit pelan seraya memasukkan seluruh bungkus rokoknya ke dalam saku celana. “Lagian bakal serem juga kalo jam segini ada anak-anak. Udah jam berapa ini?”
Manik kecubung Rindou jatuh pada jam tangan yang melingkari pergelangan tangannya. “Sebelas.”
Seperti biasanya, yang senantiasa mengiringi mereka adalah kesunyian dari kedua insan yang terlampau kebingungan untuk memulai pembicaraan. Entah karena status mantan yang menggauli mereka atau seluruh kecanggungan ini murni lahir sebagai manifestasi dari satu setengah tahun yang mereka lalui tanpa berkabar kepada satu sama lain; atau mungkin keduanya? Namun yang pasti, seluruh pembicaraan yang mampu keduanya kuasai ketika bersama orang lain tiba-tiba sirna begitu saja. Menyisakan lidah yang kelu serta sepasang manik yang terpasung pada tiap-tiap sisi lain yang mengurungi mereka.
Selain siapa yang berada di sebelah mereka.
“Tadi... ngobrolin apa aja sama Chifuyu?” Sanzu bertanya selagi mengusap kedua pahanya sendiri. Sebab kesunyian yang sejak tadi merengkuh mereka kini mulai memekik masuk, membelai pada permukaan kulitnya serupa angin malam yang dingin.
“Gak banyak,” jawab Rindou singkat. “Cuman bilang kalau dia butuh apa-apa, dia boleh dateng ke gue.”
Sebait senyuman di belah bibir Sanzu merekah stagnan. Ia tahu Rindou tidak begitu pandai dalam bergaul. Anak itu kesulitan mencari teman sejak dulu—mungkin karena sifatnya yang lebih banyak diam dan tidak suka bercerita. Jadi mengetahui bahwa pemuda ini kini pelan-pelan mulai memiliki lebih banyak teman untuk ia rangkul seperti menghadirkan percikkan hangat yang menelisik masuk ke dalam relung dada Sanzu.
“Kayaknya gue sama Chifuyu punya banyak banget kesamaan,” Rindou bergurau pelan. Kini ia menengadahkan kepalanya, menatap hamparan langit jelaga yang hanya ditaburi beberapa titik gemintang. “Selain sama-sama pernah dirundung sama orang. Both of us grew up with single parent. Lo tau kan kalau Bunda gue udah meninggal lama?”
Sanzu menjilat bibirnya yang kering. “Iya, tau.” Mungkin, memang hanya itu yang dirinya tahu mengenai Rindou dan keluarganya. Sebab ketika keduanya masih menjalin kasih, jika tidak salah ingat, Rindou pernah mengajaknya ke makam sang Bunda sebanyak dua kali. Membiarkan Sanzu berdiri beberapa langkah di belakangnya sedangkan Rindou berjongkok seraya merapihkan makam yang masih nampak tertata dengan rapih.
Lalu pada saat itu lah Sanzu akan pura-pura menutup kedua telinganya, sengaja menghadirkan ruang tersendiri bagi Rindou untuk berbicara dengan sang Bunda. Meski tak dapat dipungkiri, ketika Rindou mengawali kalimatnya dengan, “Halo, Bunda. Rin dateng lagi. Tapi hari ini Rin ditemenin sama pacar Rin,” lantas seluruh wajah Sanzu ditelan oleh merah padam.
“Papanya Chifuyu meninggal dari Chifuyu masih umur empat tahun. Bunda gue meninggal dari gue SD. And the left parent... baik Mamanya Chifuyu sama Papa gue, dua-duanya sama-sama sibuk. Banting tulang buat biayain semuanya sendirian.” Rindou tersenyum pelan seraya menatap kedua kakinya yang dibalut oleh sepatu sneakers berwarna putih. “Dulu Bunda pernah bilang, gue cocok pake sepatu putih.”
“Emang cocok, kok.” Sanzu bergumam pelan, lantas mengundang Rindou yang kini menatap ke arahnya dengan lurus. “Maksudnya, Bunda lo bener.”
“Thanks.”
“Lo deket ya sama Bunda lo?” Sanzu bertanya hati-hati. Sebab ia selalu takut jika pertanyaannya akan menyinggung Rindou. Namun nampaknya pemuda di sebelahnya nampak tak menarik segaris senyuman di belah bibirnya, memasung lengkungan garis tersebut dengan apik dan cantik; merekah manis di bibirnya yang basah.
“Buat ukuran anak yang masih dua belas tahun, kayaknya wajar kalau mereka masih deket sama Bundanya,” Rindou menjawab dengan pendar yang kini mengarungi lautan di bola matanya yang bening. “Kadang gue mikir, kalau Bunda masih ada apa gue sama Bunda masih bisa deket kayak dulu. Karena gue takut, mungkin ada satu dua hal dari diri gue yang mungkin suatu saat bakal bikin gue sama Bunda malah gak deket lagi.”
“Pasti tetep deket sih menurut gue,” Sanzu mengangkat kedua tangannya dan ia gunakan sebagai sandaran pada kepala bagian belakang. “Maksudnya, lo pinter, lo sopan, lo gak pernah coba buat ngelakuin macem-macem. Lo selalu punya celah untuk ngelakuin apa yang mau, just saying, mukulin anak-anak yang jailin lo dulu. Tapi ternyata gak lo lakuin. I'm pretty sure bukan karena lo takut. Lo orang paling berani yang pernah gue liat. Lo cuman—”
“Enggak, gue emang penakut,” Rindou memotong ucapan Sanzu tanpa keraguan yang terbesit di kalimatnya. “Gue emang penakut. Makanya gue gak pernah ngelakuin itu semua. Yang lo omongin dulu bener. Gue takut gue kena point, gue takut gue di-skors, atau terparah harus sampe di-drop out. Gue takut kalau tindakan gue berujung gue gak bisa masuk ke PTN, gak bisa cari kerja, ujung-ujungnya ngerepotin Papa. Gue emang banyak takutnya, Zu.”
Pandangan Sanzu meredup pelan; memandangi bagaimana Rindou kini menandaskan kalimatnya dengan raut wajah yang biasa saja. Apa karena pemuda itu sudah terbiasa dengan seluruh rasa takutnya? Atau karena ia telah berdamai dengan keadaan? Atau justru... karena ia terlalu pandai menyembunyikan bulir-bulir keresahan tersebut? Apa yang benar-benar terjadi di dalam seisi kepalanya itu?
Mengingat apa yang diucapkan Kakuchou padanya mengenai kondisi Rindou membuat Sanzu merasa begitu gatal untuk menyadarkan pemuda itu betapa berani dirinya untuk tetap bertahan. Sebab seluruh ketakutannya pada sebatas point serta skorsing sepatutnya tak sebanding dengan seluruh ketakutannya mengenai hari esok yang selalu mampu ia hadapi. Bahwa pemuda itu pasti pernah tenggelam dalam lautan kecemasannya; barangkali berpikir bagaimana jika esok ia membuka mata dan terbangun dengan kabar bahwa abangnya sudah tak lagi ada.
Jadi, untuk menutupi seluruh urgensi untuk menenangkan Rindou tanpa perlu membawa kondisi keluarganya yang ia ketahui dari Kakuchou, Sanzu mengajukan sebuah gurauan. Dengan sedikit menanam harap lelucon jayusnya itu mampu menghangatkan suasana dan menyeka kesedihan yang diam-diam disimpan sendirian oleh Rindou.
“Tapi lo tuh keliatan berani banget, tau,” ujar Sanzu. “Kayak kemaren, lo bisa tuh berani mau nonjokkin orang-orang yang jahatin Chifuyu. Maksud gue— oke, lo penakut pas SMA. Tapi sekarang lo udah jadi orang yang berani.”
Ada jeda yang mengawani kalimat Sanzu yang telah usai—sebab Rindou tak langsung merespons, lantas membuat sang pemuda dengan surai merah muda itu sedikit mencuri pandang pada pemuda di sebelahnya. Apa lelucon yang tidak bisa disebut sebagai lelucon itu tidak terlalu lucu?
“Karena Kakuchou, sebenarnya,” gumam Rindou pelan. “Gue gak yakin kalo saat itu gak ada Kakuchou, apa gue bisa sekuat sama seberani sekarang.”
Ah.
Sanzu dengan sigap segera mengatupkan kedua belah bibirnya. Maniknya kini menatap atentif ke arah Rindou, mencoba memberi kesan seakan kini seluruh atensinya benar-benar terpatri pada diri pemuda itu. Walaupun tak dapat dibohongi, ada sedikit nyeri yang menyelami dadanya sesaat ketika mendengar nama itu disebutkan di tengah konversasi mereka.
Sesaat ketika menyadari bahwa benar pemuda itu yang senantiasa ada di samping Rindou ketika ia tengah butuh dikuatkan.
“Lo sayang banget sama dia?”
Ada sebuah anggukkan mantap yang Rindou berikan begitu saja. Tanpa ragu, tanpa jeda. Seakan jawaban tersebut begitu mutlak meski hanya berupa sebuah anggukkan tanpa vokal.
“Dia... baik banget,” Rindou kembali mengulas senyum ketika kini lidahnya bergerak mendeskripsikan sosok kekasihnya. “Dia gak pernah marah. Dia gak pernah nuntut apa-apa. He has always been kind. Beberapa tahun terakhir emang... lagi gak begitu gampang buat gue. Tapi dia selalu ada di samping gue. He has always been there.”
Mungkin, pemuda Haitani itu tak sadar jika ada sebercak nada antusias yang terjebak dalam intonasinya. Bahwa binar di kedua bola matanya telah begitu kentara menjelma menjadi spektrum cahaya yang terang dan berkilauan. Dan mungkin Rindou tak sadar jika seluruh antusiasmenya yang kecil justru seperti kembali memojokkan pemuda di sebelahnya.
“How much do you love him?”
“Maybe as much as I could not tell him right away.” ⠀ ⠀ ⠀ ⠀ ⠀
⠀ ⠀ ⠀ ⠀ ⠀ Rindou mengerucutkan bibirnya masam selagi mengeratkan jaket yang ia gunakan. Pandangannya terarah lurus pada sosok Sanzu yang kini berada di atas motornya, dengan anteng menunggu kehadiran Rindou di depan komplek.
“Kamu ngapain sih ngajak ketemuan jam sebelas malem?” Sanzu terbahak ringan ketika hal pertama yang menyambutnya adalah semburan amarah Rindou akibat pesan dadakan yang Sanzu kirim agar keduanya bertemu malam itu. Seperti biasa, di depan komplek rumah Rindou karena pemuda pirang itu enggan untuk memberi tahu rumahnya.
“Aku mau ngajak makan.”
Kening Rindou mengernyit pelan. “Makan? Jam segini? Makan apaan, sih?” Rindou bercerocos begitu saja dan Sanzu dengan gemas segera mencubit bibir basah Rindou. “Sumpah, jangan aneh-aneh. Papa lagi di rumah. Nanti aku dimarahin kalau ketauan keluar jam segini.”
“Niatnya tadi mau ngajak makan sate,” jawab Sanzu dengan cengiran lebar di wajahnya. “Cuman karena aku takut pacar aku dimarahin Papanya, jadi yaudah kita makan gultik aja biar cepet. Kalo makan sate kan harus nunggu satenya dibakar dulu.”
Seraya menerima helm yang diajukan oleh Sanzu, Rindou kembali menilik penuh keheranan pada pemuda tersebut. “Kamu beneran gak ada aneh-aneh kan tengah malem ngajak makan gultik gini?”
“Enggak, beneran,” ujar Sanzu sembari menepuk-nepuk jok belakang motornya. “Ayo naik, biar makin cepet.”
Masih dengan raut penuh kesangsian yang memenuhi wajahnya, Rindou segera naik ke motor Sanzu dan mengisi jok belakang yang kosong. “Aku tau ya kalau kamu lagi bohong, kamu pikir aku dungu, apa?”
Sambil menyalakan motornya dan membawa motor matic tersebut melaju membelah jalanan kota, Sanzu kembali terbahak dengan tawanya yang terdengar begitu renyah. “Iya, iya. Aku tuh tadi ketiduran jam tujuh malem kan. Terus jam setengah sebelas kebangun.”
Mencoba agar suaranya mampu didengar oleh Sanzu, Rindou memajukan tubuhnya dan menyandarkan dagunya pada pundak Sanzu. “Kebangun karena apa? Mimpi buruk lagi?”
Sanzu terkekeh. “Seratus poin.”
Perlahan, Rindou menyelipkan kedua tangannya untuk melingkar pada pinggang Sanzu. “Mimpi buruk apa lagi? Mau diceritain?”
“Aku mimpi kamu minta putus. Terus aku nangis-nangis kayak orang gila karena kamu udah keukeuh mau ngajak aku putus.”
Rindou tanpa sadar merotasikan kedua bola matanya malas. Ia tahu Sanzu memang kerap kali mendapatkan mimpi buruk—dan beberapa dari mimpi tersebut, Rindou berani mengatakan, cukup mengerikan. Namun jika mimpi buruk yang pemuda itu maksud adalah keduanya yang putus, rasanya Rindou jadi malas mendengar serentetan kisah konyol tersebut.
“Jangan bilang kepikiran karena berantem kemarin?”
“Bohong dong, kalo aku gak kepikiran!” Sanzu merengut dan Rindou menepuk pelan perut Sanzu dari belakang, meminta pemuda itu untuk tetap fokus membawa motornya menelusuri jalanan malam yang masih ramai. “Kamu tuh dari dulu tiap aku suruh ngomong 'Aku sayang kamu' ke aku aja gak pernah diturutin. Selama ini aku doang yang ngomong I love you kayak orang yang bertepuk sebelah tangan aja cintanya.”
Kali ini, tanpa disadari, justru malah Rindou yang terkekeh geli mendengar kekasihnya yang rewel. “Ya kan sering bilang, kadang malu.”
“Kan aku cuman minta ngomong sekaliii aja, gitu.”
“Emang harus ngomong 'I love you' dulu gitu baru kamu ngerasa aku sayang sama kamu?”
“Ya bukan gitu,” bisik Sanzu pelan. “Cuman sekali-kali kan aku pengen denger gitu loh, Rin.”
Mencoba untuk menghindari pertikaian lain, maka Rindou semakin mengeratkan kedua lengannya mendekap Sanzu dari belakang. Kini wajahnya sudah bersandar pada punggung hangat Sanzu, menghirup dalam-dalam aroma Sanzu yang sedikit bercampur dengan bau asap rokok.
“Iya, iya. Aku sayang kamu.”
“How much do you love me?”
“Maybe as much as I could not tell you right away.”