poseidoonss

WARN! mentioning abortion.


Tok! Tok! Tok!

Seorang wanita paruh baya mengetuk pintu rawat inap dihadapannya perlahan sebelum menggeser benda persegi panjang tersebut guna menjadi jalan masuknya ke dalam tempat yang dituju.

Dari tempatnya berdiri, ia dapat melihat presensi sang anak tengah yang sedang membersihkan beberapa keperluan si pasien hingga tidak menyadari keberadaannya.

“Bang?” panggilnya setengah berbisik. 

Sosok yang lebih tinggi langsung saja mengalihkan pandangannya begitu ia tau siapa yang menjadi pengunjung di siang hari ini. “Bunda? Udah sampai?”

Sang bunda mengangguk, “baru aja. Gimana keadaan kian?”

Exel tersenyum tipis, “begini aja ndaa dari kemarin, belum ada perkembangan signifikan.”

Ivone yang mendengar jawaban lirih sang anak tanpa basa basi membuka kedua tangannya lebar-lebar untuk dipeluk oleh sang putra. Ia tahu exel sangat membutuhkan hal ini. Sebagai seorang ibu, Ivone bisa mengerti bagaimana perasaan anaknya yang begitu terpukul saat kekasihnya melakukan tindakan aborsi tanpa kesepakatan dari kedua belah pihak.

Walaupun belum diketahui penyebab utamanya adalah apa, namun kehilangan seorang bayi sebelum berhasil dilahirkan adalah sejatinya bencana bagi setiap calon orangtua baru.

Wanita cantik itu kemudian mengusap pundak lebar exel perlahan sambil terus berusaha menenangkan putra kedua nya, “abang yang sabar ya nak ... nggak semua hal harus ada penjelasannya kenapa. nggak semua tanya harus ada jawabnya. terkadang lebih baik kita nggak tahu sama sekali dan ngga memelihara benci, dari pada tahu, lalu semuanya makin nggak terkontrol.” jelasnya lembut kepada exel.

Exel yang berada dalam pelukan ibunya, hanya terus menyembunyikan wajah dari balik punggung sempit sosok yang sudah melahirkannya 23 tahun lalu.

“Bunda tau, abang pasti kecewa. Tapi coba abang pikir-pikir lagi. Kalau abang ada di posisi kian, kira-kira abang bakalan kayak gimana? It must be hard for him too, bang. Cuma bedanya kian nggak nunjukkin dengan jelas kalau dia lagi kesusahan.” lanjut bunda.

Ibu dari empat bersaudara itu kemudian melepaskan pelukan keduanya. Menangkup kedua pipi sang pangeran tampan yang telah ia lahirkan sambil mengusap pipi tirus itu perlahan, “abang harus kuat, harus sabar, ya? Kalau berat, coba buat maafin kian pelan-pelan. Nggak usah terburu-buru. Kalau memang buat abang semua terlalu sakit, coba diingat-ingat hari bahagia sama kian, coba ingat-ingat lagi abang semenjak kenal kian nggak pernah manja lagi lho ke bunda... selalu ke kian. Coba diingat-ingat siapa yang bilang ke bunda mau punya keluarga kecil sama kian? Jujur bang, bunda berterimakasih sama kian. Look at you, bang. Kamu jadi seperti sekarang karena support paling besar datang dari kian.” ucap bunda dengan nada gemetar.

Ivone masih ingat, dulu saat exel si anak remaja berusia 18 tahun mengatakan bahwa ia akan menjadi model, Ivone sangat tidak setuju. Ia lebih menginginkan Exel bersekolah dalam bidang kesehatan atau bidang pembangunan.

Namun ketika Exel bilang bahwa ia juga ingin menghidupi seseorang yang dikasihinya dengan menjadi model, maka Ivone tidak punya pilihan lain selain mengiyakan perintah exel. Hubungan mereka sempat renggang, sebelum akhirnya exel membawa seseorang yang ia katakan sebagai 'cinta pertama dan terakhirnya' karena exel bilang, dia hanya jatuh cinta kepada sosok tersebut, tidak ada yang lain.

Masih basah diingatannya, Kian yang begitu polos dan pemalu, datang bertamu di rumah mereka, menawarkan diri untuk membantunya bekerja tanpa menghiraukan exel yang terus menerus mengemis perhatian darinya. 

Ivone masih ingat, saat exel sakit parah karena jadwalnya yang padat, Kian adalah orang pertama yang Ivone temui sedang menjaga dan menyuapi putra tampannya.

Sejak saat itu, Ivone tau bahwa anaknya jatuh cinta kepada orang yang tepat.

Lamunan wanita berkepala empat itu pecah, ia hanya... tidak tahu harus merespon kejadian yang menimpa Kian seperti apa. Dengan tatapan sendu juga sapuan halus pada pucuk kepala sang anak, Ivone meminta satu hal, “kalau bunda boleh egois bang, kalau bunda boleh minta,  bunda mau abang dan kian saling percaya. Saling jatuh cinta seperti keadaan kalian yang semestinya, bunda mau  abang sama kian nggak pernah ninggalin satu sama lain. Bunda mau lihat dua anak bunda yang manis dan ganteng ini, bersatu di depan altar, sampai kakek-nenek. Abang janji sama bunda, nak?”

Tanpa bertele-tele, Exel mengiyakan permintaan bundanya dengan bulir bening yang masih setia menuruni pipi kurusnya, “exel janji, nda. Exel ngga mau kehilangan kian, bun. Dokter bilang, kalau Kian terlambat di bawa ke rumah sakit, bisa aja dia udah nggak disini sekarang. Karena resiko infeksi rahim itu bisa berujung kematian.”

Ivone memejamkan matanya, menelan saliva dengan susah payah. “Sssst, yang penting kian masih disini. Masih berusaha buat bangkit dan hidup lagi. Kian pasti sehat, pasti.”

Exel mengangguk, ia yakin walaupun membutuhkan waktu yang lama. Kian akan sembuh, Kian akan bangun untuknya. 

Lelaki taurus itu kemudian melepaskan genggaman tangan bundanya sebelum beralih mengecup dahi yang lebih tua, di ikuti dengan sang bunda yang turut melakukan hal serupa.

“Cepat sembuh, nak. Kian kuat, kian pasti bisa.” bisiknya lirih pada telinga sang kekasih hati dari putranya yang sudah ia anggap seperti anak kandungnya sendiri.

“Abang titip kian sebentar boleh nda? Abang mau keluar sebentar buat ambil selimut baru.”

Ivone mengangguk, “boleh dong, pergi aja bang.”


Selepas kepergian Exel, Ivone memutuskan untuk menata kembali pernak pernik yang sekiranya perlu dirapikan di ruangan inap milik si calon menantu.

Kadang-kadang ia tak lupa mengajak kian untuk berbicara walaupun tangannya sedang mengatur kembali bunga yang dibelikan exel beberapa hari lalu.

“Kamu tau ngga dek? Bunda baru sadar kalau ternyata si abang bucin banget sama kamu. Kamarnya di rumah penuh semua sama foto kamu.” ujarnya sambil tersenyum.

Ivone pernah tidak sengaja membersihkan kamar exel yang sudah lama tidak ditempati saat ia memutuskan untuk tinggal sendiri. Dan sebenarnya kalau dibilang terkejut, tidak juga. Namun Ivone tidak menyangka bahwa anaknya memang sudah menjadi pengnut budak cinta akut terhadap kian.

“Kalau diingat-ingat lucu juga. Abang bilang kamu dulu cueeeeeek banget sama dia. Katanya abang udah coba minta ID line kamu sepuluh kali tapi ditolak mulu, hahaha...”

“Maafin abang ya dek ... memang anaknya agak agresif. Kalau abang ada buat salah sama kamu, maafin abang ya dek. Kalian baik-baik terus ya? Bunda kangen diisengin kamu sama abang.” ungkap Ivone tulus.

Jemari lentiknya terlulur mengusap surai halus kian dari balik selang oksigen yang terpasang apik pada bagian wajahnya.

Ivone kemudian mendudukan tubuh kurusnya di samping ranjang kian, tepatnya pada kursi yang selalu ditempati oleh exel saat sedang menjaga kian. Tangannya mengambil salah satu tangan kian yang terbebas dari infus untuk digenggam sembari dikecup manis.

“Cepat sembuh, anak cantiknya bunda .. Pasti berat banget buat kamu ya dek? Sampai-sampai kamu memilih jalan terakhir yang bisa membahayakan diri kamu sendiri?”

Lagi. Matanya Ivone berkaca-kaca lagi saat mengajak kian berbicara. Entah mengapa hatinya terasa berat, tidak nyaman, saat tahu bahwa kemungkinan besar Kian menggugurkan kandungannya terlebih dahulu.

Namun Ivone yakin, pasti ada alasan kuat dibalik itu. Air matanya jatuh mengingat seberapa besar beban yang ditanggung oleh Kian sampai bisa ada di titik ini. Hatinya sebagai seorang ibu ikut terluka, entah mengapa.

Saat sedang sibuk dengan pemikirannya sendiri. Ivone sampai tidak sadar bahwa satu satunya pasien disana mulai membuka matanya secara perlahan. Jari jemarinya bergerak acak sebagai pertanda ia telah bangun dari tidur panjangnya selama kurang lebih empat hari dan tiga malam.

Acel....”

— adalah kata pertama yang meluncur dari bibirnya. Namun karena masih terlalu lemah untuk berbicara, suaranya tidak terdengar sama sekali oleh sosok yang sedang sibuk menangis disamping tempat tidurnya.

Dia — kian. Mencoba menggerakan jemarinya yang sedang digenggam oleh Ivone. Mengangkat jari telunjuknya agar Ivone peka bahwa ia telah sadar.

Ivone yang merasa bahwa ada gerakan tidak wajar dari seseorang yang sedang koma, akhirnya memberanikan diri untuk melihat apa yang terjadi.

Acel...”

Dan begitu Ivone mengadahkan kepalanya, wajah pucat kian dengan kedua mata telah terbuka walaupun sayu adalah hal pertama yang menyambutnya.

D-dek? Kamu bangun sayang?”

Karena tidak bisa menggerakan kepalanya karena pusing, akhirnya kian hanya mengedipkan kedua matanya.

“Sebentar, bunda panggilkan dokter.”

Dengan begitu, Ivone menekan alarm dokter di dekat nakas tempat tidur untuk memanggil para medis yang bertugas. Sambil menunggu dokter, wanita dengan senyum manis itu menutup mulutnya tidak percaya, kian sudah sadar. Suatu keajaiban besar, setelah ini ia harus menghubungi exel.

“Bunda kangen sayang, jangan sakit, hm?” ucapnya sambil mengecup punggung tangan kian. 


Sepuluh menit setelah pemeriksaan selesai dilakukan, Ivone berbicara sebentar dengan para dokter karena exel belum juga kembali. Ivone belum sempat menghubunginya karena sibuk mengikuti prosedur yang diberikan oleh para perawat untuk tetap berada disamping kian.

“Keadaannya sudah cukup stabil, hanya saja setelah ini pasien dilarang keras melakukan pekerjaan berat dan mengonsumsi alkohol atau tembakau yang bisa saja merusak kinerja rahimnya. Bakterinya sudah kami bersihkan lewat operasi darurat kemarin, mungkin bagian vitalnya akan terasa sakit untuk beberapa hari bahkan minggu kedepan. Tapi, kami sudah berikan antibiotik, jadi sebisa mungkin diselingi dengan gizi yang cukup karena pasien harus mengonsumsi antibiotik untuk waktu yang lama.”

Ivone mengangguk mendengar penjelasan dokter, “terimakasih, dok.”

“Sama-sama. Kalau begitu kami izin pamit, cepat sembuh untuk pasien kian.”

Ivone tersenyum, “terimakasih, dok.”

Sepeninggal pada dokter dan tim medis, Ivone langsung menyambangi kian yang masih terduduk lemas di ranjangnya, “jangan banyak gerak dulu, dek. Perutnya masih sakit?”

Kian mengangguk lemah. Ivone kemudian sebisa mungkin memberikan kenyamanan pada calon menantunya, wanita cantik itu membersihkan wajah kian dengan pembersih wajah, tak lupa memakaikan sedikit pelembab bibir agar si manis kesayangannya tidak terlihat terlalu pucat.

“Nanti ada ab—”

CKLEK!

Belum sempat Ivone menyelesaikan kata-katanya, seseorang membuka pintu ruang inap kian tergesa-gesa tanpa sepatah kata pun langsung berlari menuju ranjang pasien yang baru saja sadar satu jam yang lalu.

Grep.

Lelaki dominan yang baru saja datang itu menyambar pelukan kian dengan sangat erat. Bibirnya tidak henti mengucap syukur, matanya berkaca-kaca seakan tidak percaya bahwa seseorang yang ia tunggu selama ini sudah bangun dari tidur panjangnya. Ivone yang menyaksikan tindak impulsif anaknya menerbitkan senyum tulus, ah sudah lama rasanya, Ivone tidak melihat mereka berdua berpelukan semanis ini.

“Pelan-pelan aja dong bang, kian kaget tuh.” ucap sang Ibu jenaka.

Exel menggeleng dalam posisinya yang sedang memeluk kian. Bibirnya kemudian bergerak mengecup pucuk kepala sang terkasih, “i miss you, i miss you, i miss you.” ucapnya tiada henti.

Kian yang masih shock dengan apa yang terjadi, tangannya terangkat ragu-ragu saat ingin memeluk Exel, namun Ivone yang sedang memandang mereka berdua, mengangguk kepada kian seolah berkata, 'peluk balik abangnya.'

Mereka berdua — Exel dan Kian, mengesampingkan ego dan masalah yang terjadi mereka beberapa bulan belakangan ini mencoba meraih tubuh dan jiwa raga satu sama lain dalam dekapan hangat.

“Maaf...” ucap yang lebih tua dengan lirih.

Masih dalam kondisi saling berpelukan, Exel menggeleng dalam dekapan keduanya. Bibirnya tiada henti mengecup sisi kepala si manis pertanda ia bersyukur.

“Jangan ngomong apa apa dulu. Gue cuma mau lo sembuh. Let's throw our ego into the bin, hun. So that we could live happily as we should, hm?”

Dan ketika kian mengangguk, Exel melepaskan pelukan keduanya. Menangkup pipi tirus yang tadinya sangat berisi, sebelum mengecup dahi si aries dalam-dalam.

“Cepat sembuh, gue disini buat lo, gue sayang sama lo, hun.”

Attachment.png

WARN! mentioning miscarriage, blood, abortion, drunk, alcohol.


Exel menepati kata-katanya untuk menemui dave persis setelah pria yang menyandang status sebagai manajernya itu memberikan berita terkini mengenai kian.

Seharusnya, exel sudah tidak peduli. Seharusnya, exel sudah tidak menaruh hati pada apapun yang terjadi kepada kian. Namun apalah daya? yang namanya cinta memang tidak bisa berbohong. Ada sebagian dari dirinya yang menuntut untuk pergi.

Exel tidak dapat mengelak bahwa ya dan benar. Ia masih menyayangi kian sama besarnya seperti sembilan tahun lalu, saat mereka pertama kali bertemu di satu sekolah menengah pertama yang sama.


Jakarta, September 2014

Neo Primary School.

Seorang anak lelaki tampan dengan tubuh semampai sedang berusaha untuk memasukan bola basket pada ring yang tersedia di lapangan sekolah.

Wajahnya tampan, kulitnya putih, hidung nya mancung, giginya rapih dengan senyum memukau. Kemampuan akademis nya stabil, kepiawaiannya dalam bidang olahraga pun tidak perlu diragukan. Orang-orang menyebutnya 'face of the school.' 

Wajar, anak tampan ini memiliki segala hal yang diidam-idamkan oleh teman sebaya nya. Kepribadiannya ramah dan sopan, selalu bertegur sapa dengan siapapun yang ia temui.

“Exel, nanti tolong bantu Miss bawakan kertas ulangan ini ke kelas IX-7 ya?”

Anak itu hanya tersenyum dengan mata juga bibirnya kamudian menjawab, “baik, Miss.” Lalu setelahnya mengambil sejumput kertas ulangan yang masih polos tanpa satu coretan pun menuju kelas yang dimaksud.

Tok! Tok!

Exel mengetuk pintu sebanyak dua kali, walaupun tidak ada yang membuka atau pun menjawab, ia tetap melaksanakan tugasnya yang telah di pintakan oleh Ms. Meilia. Bocah tampan itu kemudian membuka pintu kelas IX-7 yang disambut dengan teriakan heboh oleh beberapa orang, khususnya para murid perempuan,

“AAAAA, EXEL!!!!”

“EXEL, MINTA ID LINE NYA!!!”

“EXEL, EXEL, EXEL!”

“EXEL UDAH ADA PACAR BELUM?”

Yang dipanggil dan sibuk dielu-elukan justru terheran dengan sikap para siswi kelas IX-7 yang menurut exel sendiri, cukup rebel untuk seukuran anak sekolah menengah pertama.

“DIAM, SEMUANYA DIAM!” Jevier sebagai ketua kelas sekaligus teman seperjuangan exel dalam klub basket seketika mengambil ahli ketika melihat situasi dan kondisi para anggota kelas nya yang sudah tidak tertolong, dimana hal itu membuat temannya merasa risih. 

Jevier kemudian melangkah kedepan guna menyambut exel, “kenapa, Cel? maaf ribut, anak-anak kelas gue kayaknya kaget ngeliat cowok ganteng.”

Exel kemudian menggeleng sambil tersenyum yang justru membuat seisi kelas semakin ricuh, “Errrr, ini Jev, gue diminta Ms.Lia buat bawain ini ke kelas kalian.” ujar nya sambil menyerahkan kertas ulangan tadi kepada jevier. 

Setelah menerima kertas ulangan tersebut, Jevier mengangguk kemudian mengucapkan terimakasih, “thanks, Cel.”

Exel mengangguk, setelah urusan kertas ulangan selesai. Mereka berdua, Jevier dan Exel memutuskan untuk berbincang sebentar di dalam kelas mengenai kelanjutan club basket mereka, mengingat mereka sebentar lagi akan berpindah jenjang sekolah ke tingkat yang lebih tinggi.

“Kalau gue sih ngga masalah mau siapapun yang naik gantiin lo, selama bertanggungjawab ya — “

Tuk!

Saat sedang sibuk berbincang, keduanya dikejutkan oleh seorang siswa yang tidak sengaja sudah akan menjatuhkan ponsel nya dalam kondisi tertidur dengan kepalanya yang diletakkan di atas meja.

Exel yang melihat itu secara spontan menunduk di depan meja siswa tersebut dengan tangan terbuka, mencegah ponselnya agar tidak jatuh ke tanah. 

Syukurnya ponsel mahal tersebut tidak benar benar menyentuh dasar lantai karena tangan exel sudah menopangnya terlebih dahulu.

Tak!

Suara dari ponsel dan juga gesekan meja membuat sang empunya terbangun dari tidur panjangnya, iris rubahnya memandang sang lawan skeptis,

Hening.

Untuk sesaat ketika mata mereka bertemu, exel terpesona. Pria di hadapannya memiliki mata yang indah, netranya bersinar seperti bintang di malam hari. Pipinya chubby dan berisi, bibirnya tebal dengan susunan gigi yang rapih. 

Namun sang lawan justru tidak menunjukkan gerak gerik tertarik sama sekali, ia masih memandang exel curiga. Kenapa lelaki asing ini sempat untuk memegang ponselnya tadi?

Pandangan sinis itu terus diarahkan kepada exel namun tak mampu membuat si tampan tersadar dari lamunannya sampai satu tepukan di bahu dari Jevier membuat dirinya tersentak, 

“Cel? Lo ngapain ngeliatin kian?”

Keterkejutannya saat tertangkap basah memandangi teman sekelas jevier membuat exel terperanjat, “Hah, oh? ngga. Sorry, sorry. Tadi hp lo hampir jatuh soalnya. Gue ngga ada niat jahat sama hp lo.” jelasnya panik yang hanya dibalas dengan pandangan heran oleh sang lawan bicara.

Tak ada tanggapan, exel memaksakan senyum simpul sambil berdiri dari

posisi jongkoknya tadi. Bahkan jevier pun heran, bisa-bisanya exel memandangi teman sekelasnya yang tergolong pendiam dan penyendiri sampai se-intens itu tanpa menghiraukan panggilan darinya.

“By the way, kenalin nama gue Exel.” ujar Exel spontan kepada lelaki manis yang menurutnya memiliki manik seindah bintang di malam hari.

Bukannya menyambut uluran tangan sang pangeran sekolah, lelaki itu justru memalingkan wajahnya sambil meletakkan kembali kepalanya guna disembunyikan dibalik kedua tangan yang dilipat —  singkatnya, si manis justru memilih tidur dibanding berkenalan dengan sang pangeran sekolah.

Exel yang melihat tanggapan kurang baik dari teman sekelas jevier, menarik kembali uluran tangannya sambil tersenyum maklum. 

Sedangkan jevier yang melihat hal itu menertawakan tindakan exel yang dapat dikatakan terlalu impulsif, “Kian emang gitu, pendiam. Ngga suka ngomong anaknya.”

Exel mengangguk mendengar ucapan Jevier, 'jadi namanya Kian'. ujarnya dalam hati. 

“Manis kan? Imut banget anaknya, nada bicaranya juga lembut banget.” kata jevier sambil menyenggol bahu sang lawan bicara. 

Mendengar hal itu membuat exel tersenyum sendiri, 'nada bicaranya lembut ya?' mengingat perkataan jevier sama saja dengan membuatnya terus menerus tidak dapat melupakan wajah cantik Kian yang sedang berkembala ria di kepalanya. Exel suka seseorang dengan tutur kata yang lembut.

“Bisa aja lo, jev. Nanti ngobrolnya lanjut di court ya? Gue ada jadwal ulangan juga habis ini, mata pelajaran Mr.Smith.” Jevier mengangguk, “thanks, Cel.”

Exel hanya mengangkat tangannya sambil berjalan meninggalkan ruang kelas jevier dengan hati berbunga bunga, tau bahwa dia tertarik pada seseorang di kelas IX-7 di tahun terakhirnya menjadi seorang siswa sekolah menengah pertama membuat anak tampan itu semakin semangat bersekolah menjalani hari-hari terakhir nya menjadi anak lelaki yang sudah akan beranjak remaja.

'Kian. Namanya Kian, exel. Cantik banget tadi, bidadari kali ya?' ujarnya dalam hati.

Flashback end.

Exel melangkahkan kakinya menuju ruang inap kian, dirinya mendapati dave sedang terduduk dengan kepala menunduk.

“Bang?”

Mendengar suara yang menurutnya familiar, davido mengadahkan kepalanya guna melihat rupa si pemanggil. 

“Cel...”

Bukannya menundukan diri disamping dave exel justru menundukan tubuhnya dihadapan davido, menepuk pundak lebar pria itu yang sudah cukup banyak menanggung beban karena dirinya dan juga kian.

Hubungan mereka terlalu rumit karena di dasari dengan ego dan pengertian diri sendiri, itulah mengapa kedua makhluk adam ini tak kunjung mendapatkan jalan keluar yang pasti untuk hubungan mereka terhadap satu sama lain.

David menarik nafasnya perlahan, walaupun dengan kalimat yang tersendat nyaris putus karena bekas tangisannya namun dave berusaha sebisa mungkin menjelaskan keadaan kian saat dirinya menemukan lelaki manis itu tak sadarkan diri di apartemennya sendiri.

“G-gue sebenernya udah rencana mau minta tolong ke lo. Rencananya gue mau nelfon lo buat nanyain kata sandi apartemennya kian. Karena jujur, kian nggak pernah ngasih tau hal se-privacy itu ke gue.” Davido memainkan jari tangannya, guna mengusir perasaan gelisah yang kian menerpa. “Tapi gue tau, lo ngga mungkin mau ngebahas soal kian lagi. Akhirnya gue nekat buat coba buka sandi apartemennya sendiri — dan lo tau apa kata sandinya?”

Exel mengangguk, “Ulang tahun gue.”

Mustahil bila Exel tidak tau, apartemen kian sudah sepertinya rumah kedua baginya. Biar begitu exel agaknya terkejut karena setelah semua yang terjadi diantara mereka, kian tak kunjung mengubah kata sandi apartemennya sama sekali. 

Mendengar jawaban dari exel membuat davido tersenyum miris. “Gue masuk ke rumahnya dan lo tau apa yang gue temuin?”

Exel menggeleng pertanda tak tau.

“Pertama kali gue masuk, banyak banget bekas botol minuman keras, puntung rokok dimana mana, bungkus rokok juga dimana mana, lighter nya ada lebih dari lima. Piring bekas makan ngga dibersihin, baju baju kian berantakan, apartemennya tertutup ngga ada sirkulasi udara sama sekali.”

Exel melipat bibirnya ke dalam mendengar uraian penjelasan fakta dari dave. Antara percaya dan tidak. Jika diingat kembali, kata-kata kian tentang meninggalkan dan ditinggalkan sangat gampang untuk diucapkan. Namun apa yang terjadi hari ini sedikitnya merubah sisi pandang exel terhadap kian. 

Lelaki manis itu, keras kepala namun rapuh.

“Gue juga nemuin foto-foto lo sama kian yang dia coret pakai lipstik warna merah pekat. Bukan coretan kebencian, Cel. Kian ngegambarin hati disetiap foto kalian yang dia bingkai. Disetiap ujung fotonya setelah gue buka ada ucapan cinta dari dia sekaligus harapan yang nggak pernah bisa kian ungkapin secara langsung ke lo.”

Usai mengatakan hal tersebut rasanya memori david dipaksa memutar kembali ke beberapa jam lalu dimana ia menemukan foto dengan tulisan tangan kian yang menceritakan seberapa besar kekaguman lelaki manis itu kepada exel.

Perlahan, david mengangkat satu lembar foto usang yang ia bawa bersama dengannya tadi lalu memberikannya kepada Exel, “di belakangnya ada sesuatu, coba lo liat.”

Exel menerima foto itu dari david. Foto ini— foto pertamanya dengan Kian saat mereka berdua menjadi panitia acara tahunan sekolah menengah atas dulu tepatnya di bulan Juli 2015, delapan tahun lalu.

Exel ingat, foto ini diambil saat para panitia yang lain sedang sibuk mengatur bagian panggung sedangkan dirinya justru sibuk mengambil foto kian sebanyak mungkin karena anak itu akan menghindarinya saat exel hendak menghampirinya di kelas. 

Pada saat itu mereka hanyalah teman, teman dekat. Exel berusaha untuk mendekati kian dengan maksud dan tujuan lain namun sayangnya pria itu sangat sulit di dekati untuk tujuan romantis. Kian sangat keras kepala dan begitu jelas dalam memberikan penolakan. 

Exel yang tidak kehabisan cara untuk mengejar cintanya tentu saja memberikan berbagai penawaran agar kian tetap berada dekat dengannya, salah satu caranya adalah dengan menjadi teman. 

Exel mulai mempelajari hal-hal yang sekiranya kian sukai. Exel tidak menyukai biologi dan pelajaran non-numeric, namun ia mulai mempelajari nya agar kelak bisa mengambil kelas peminatan yang sama dengan kian saat ujian akhir.

Exel tidak menyukai musik, lebih menyukai olahraga. Namun ia belajar memainkan bass agar dapat bergabung dengan organisasi musik intra sekolah yang juga melibatkan kian sebagai vokalisnya.

Exel tidak suka berenang, lebih suka bersepeda. Namun ia mempelajari dasar-dasar berenang agar mampu menjadi perwakilan murid teladan selam bersama kian dari kelas lain.

Exel bisa menggambar, namun tidak se-mahir kian. Ia mulai mempelajari dasar-dasar visual art secara otodidak lewat berbagai platform agar bisa mengambil kelas ekstra seni melukis bersama kian.

Apa kian merasa risih? Tentu saja. Kian selalu menganggap exel tak lebih dari seorang laki-laki gila yang selalu mengikutinya kemana pun ia pergi. Awalnya kian takut, takut jika lelaki ini memiliki niatan buruk kepadanya.

Namun saat exel menjelaskan bahwa ia hanya ingin berteman, kian merubah sedikit impresinya tentang exel. Lelaki itu menurutnya pintar dan passionate dalam segala bidang yang sebenarnya, tanpa kian ketahui exel melakukan semua itu untuk mendapat atensi darinya.

Mengingat pejuangannya dahulu untuk mendapatkan perhatian dari kian membuat pria taurus itu menerbitkan seulas senyum miris. Semua usahanya sia-sia bahkan di sembilan tahun perjuangan nya, ungkapan cinta nya hanya dibalas kian dengan berbagai kalimat penolakan yang mampu meruntuhkan pertahanan nya dalam mengejar lelaki itu,

'gue ngga ada perasaan apapun sama lo.'

'I'm surely gonna talked to someone and that someone would never be you, exel.' 

'It feels uncomfortable around you, exel.' 

Namun dibanding rasa sakit hatinya, perasaan kemanusiaannya jauh lebih mendominasi sekarang. Exel menerima foto yang sedari tadi telah disodorkan oleh david. Membalikkan foto tersebut sehingga beberapa kalimat yang hampir hilang dimakan waktu terbaca oleh sorot matanya,

'I can never be just friends with you,

maybe because your eyes remind me,

of the nights we spent together.

I cant look in eyes i saw a future together in and pretend to see nothing.

I'm so sorry, I love you Exel, I love you, I need you, I love you. I desperately wanted you, my man, Exel.'

Exel memandang kata-kata tersebut dengan berbagai ungkapan miris di dalam hati. Benar firasat nya selama ini bahwa kian menyembunyikan lukanya sendiri. Padahal mereka bisa saja melalui semuanya bersama, namun sepertinya dalam hubungan mereka, ego mengalahkan cinta dan kasih sayang seolah tidak ada tempat untuk mendengar keluh kesah batin satu sama lain dari hati ke hati.

Lelaki itu kemudian menyimpan foto tersebut di dalam saku hoodie nya, “thanks, bang.”

Davido mengangguk, “sama – sama. Besok gue harus ke kantor, gue ngga bisa jagain kian. Jadi, g-gue...” davido hendak melanjutkan kata katanya namun sepertinya ia ragu, “lo kenapa?” penasaran yang lebih muda. “g-gue mau minta tolong, t-tolong —”

“Jagain kian?“ 

Exel memotong perkataan manajernya dengan cepat, ia tau dave masih takut untuk berbicara kepadanya terkait kian jadi sekalian saja.

“Tenang aja bang, gue udah cukup waras buat ngadepin ini semua. Setidaknya sampai disini gue ngerti kalau kian emang susah buat gue dapetin, bukan karena dia nggak punya perasaan yang sama, tapi karena dia belum sadar seberapa penting eksistensi gue dalam hidupnya dia. Everything's gonna be fine, makasih udah mau selalu direpotin sama gue dan kian bang. Lo kerja aja, biar kian jadi urusan gue.”

David menghela nafas lega, “syukurlah, kalau gitu gue pamit. Dokter masih di dalam buat meriksain Kian, kayaknya sebentar lagi keluar. Gue cabut dulu, Cel. Jangan lupa istirahat.” ujar dave.

Keduanya lalu berpelukan singkat sebelum davido benar benar meninggalkan lingkungan rumah sakit.


15 menit kemudian setelah dave membiarkan exel tenggelam dengan dunianya sendiri. Para medis akhirnya keluar dari ruang rawat yang diketahui milik kian.

“Wali dari Kian Est?”

Exel mengangkat tangannya saat mendengar panggilan dari dokter, “saya, dok.”

“Ikut saya sebentar, mari.”

Keduanya — exel dan sang dokter berjalan berdampingan menuju salah satu ruangan yang diprediksi sebagai ruangan pribadi milik sang dokter.

“Sebelum saya memberitahukan diagnosa pasien, saya hanya ingin memastikan, apa benar anda adalah suami dari pasien?”

Exel termenung. Bingung. Suami? Suami darimana nya? Apakah terlihat seperti itu? Ataukah memang ada hal pribadi yang ingin disampaikan sampai-sampai dokter ini mengira bahwa ia adalah suami dari kian? 

Mesi begitu, walaupun ragu exel tetap menjawab, “iya dok, saya suaminya.”

“Syukurlah, berita ini sangat personal, saya tidak mungkin memberitahukan diagnosa pasien kepada kerabat yang lain meskipun dekat karena ada kaitannya dengan kondisi rahim pasien.”

Lagi-lagi exel tersentak. Rahim? Maksudnya bagaimana? Kian sedang hamil atau?

“Maksudnya, dok? Kian sedang hamil atau?”

Dokter arthur tersenyum hangat, “oh tidak tidak, pasien tidak sedang hamil atau keguguran, tenang saja pak. Tapi, mungkin kondisi pasien ini dipengaruhi oleh faktor aborsi janin yang tidak dilakukan secara prosedural atau tidak mengikuti prosedur dari pihak medis. Ada sedikit infeksi pada rahimnya Kian, ini bisa saja disebabkan oleh bakteri yang memang belum dibersihkan secara menyeluruh dari tindak aborsi pada kehamilan sebelumnya.”

Exel? Jelas kaget. Matanya sedari tadi tidak mengedip sedikit pun kala mendengar penjelasan dari dokter. Janin? Infeksi? Aborsi?

Kalau tidak salah, exel sempat mendengar bahwa infeksi rahim yang dialami oleh kian sekarang penyebabnya adalah, karena kian sudah pernah melakukan tindak aborsi tidak terencana sebelumnya? Itu berarti kian pernah hamil, tanpa memberitahukan berita penting semacam ini kepadanya? Pantas saja lelaki itu sangat sensitif saat kemarin mereka membahas tentang kehamilan.

Kepalanya bak dihantam batu, exel jujur saja menolak semua fakta yang ia telan bulat bulat hari ini dari pernyataan dokter yang disampaikan kepadanya.

“Apalagi, pasien di duga mengonsumsi alkohol secara berlebihan yang dapat menyebabkan penurunan kinerja rahim jika tidak dicegah dengan cepat. Untuk sekarang pasien masih dalam keadaan tidak sadarkan diri, namun untuk pendarahannya sudah kami atasi. Tuan kian juga disarankan bedrest dan dilarang mengonsumsi alkohol dan rokok dalam jangka waktu yang lama. Itu saja yang hendak saya sampaikan. Ada yang ingin bapak tanyakan terkait kondisi kian?”

Sebenarnya tidak ada, tapi karena sudah kepalang penasaran. Exel tidak memiliki pilihan lain selain bertanya. Ia sudah lelah menerka sendiri, jadi lebih baik memastikan kebenarannya pada sumber terpercaya.

“Errr, begini dok. Kalau saya tidak salah dengar, tadi dokter sempat mengatakan bahwa kondisi yang dialami oleh kian disebabkan oleh tindakan aborsi sebelumnya, apa itu berarti kian pernah melakukan aborsi?”

Dokter itu menghela nafas berat, berusaha mengemban senyum untuk pihak wali dari sang pasien yang ia ketahui sebagai suami dari sosok yang sedang dirawat. Sebagai seorang dokter, Arthur mengerti bahwa pasangan muda ini mungkin belum cukup siap untuk menjadi orang tua, hingga satu satunya jalan yang ditempuh adalah aborsi non-prosedural.

“Benar, pak. Mungkin keguguran yang tidak disengaja karena konsumsi alkohol yang berlebihan, atau mungkin juga karena aborsi tanpa prosedur dari pihak medis, apalagi zaman sekarang banyak klinik yang melegalkan tindak aborsi pada Ibu muda.”

Exel memejamkan mata, berusaha menelan ludahnya dengan susah payah. Kenyataan ini mungkin adalah kenyataan paling pahit sepanjang sejarah kehidupannya, ini bahkan lebih sakit dari segala bentuk penolakan yang kian berikan kepadanya. 

Rasa sakit yang ini tidak tau harus dipulihkan dengan apa, penawarnya sulit. Mungkin sampai kapan pun lukanya tidak akan pernah kering.

Walaupun dengan rasa kecewa dan berat hati, exel tetap memaksakan senyuman kepada sang dokter tak lupa mengucap terimakasih,

“Terimakasih, dok. Saya permisi.” ujarnya seraya meninggalkan ruangan.

Dari ruangan sang dokter, exel beranjak menuju ruang rawat inap yang ditempati oleh kian.

Pria taurus itu menggeser pintu ruang rawat kian dengan perlahan, tubuhnya ia tempatkan tepat disebelah tubuh kian yang sedang terbaring lemah di ranjang pasien.

Exel benci melihat kian yang seperti ini, wajahnya pucat, bibirnya menghitam, seluruh tubuhnya memutih seolah tak ada aliran darah yang mengomposi nadi kehidupan untuk menopang kehidupan submissive nya.

Netranya memandang wajah kian yang walaupun sedang terlelap namun menampilkan raut wajah yang sangat lelah entah apa penyebabnya.

Model tampan asuhan FRG itu kemudian menundukkan tubuhnya tepat disamping kepala kian, mengecup dalam dalam dahi yang lebih tua tanpa sadar bahwa air mata nya sudah merebah mengaliri seluruh wajah pucat kian ketika ia berbisik di telinga sang empunya,

“Kenapa harus begini kian? Why do we living a life like this? We could be the happiest version of us, kian. Kenapa harus aborsi jalan keluarnya, hm?” ucapnya putus asa.

WARN! mentioning miscarriage, blood, abortion, drunk, alcohol.


Exel menepati kata-katanya untuk menemui dave persis setelah pria yang menyandang status sebagai manajernya itu memberikan berita terkini mengenai kian.

Seharusnya, exel sudah tidak peduli. Seharusnya, exel sudah tidak menaruh hati pada apapun yang terjadi kepada kian. Namun apalah daya? yang namanya cinta memang tidak bisa berbohong. Ada sebagian dari dirinya yang menuntut untuk pergi.

Exel tidak dapat mengelak bahwa ya dan benar. Ia masih menyayangi kian sama besarnya seperti sembilan tahun lalu, saat mereka pertama kali bertemu di satu sekolah menengah pertama yang sama.


Jakarta, September 2014

Neo Primary School.

Seorang anak lelaki tampan dengan tubuh semampai sedang berusaha untuk memasukan bola basket pada ring yang tersedia di lapangan sekolah.

Wajahnya tampan, kulitnya putih, hidung nya mancung, giginya rapih dengan senyum memukau. Kemampuan akademis nya stabil, kepiawaiannya dalam bidang olahraga pun tidak perlu diragukan. Orang-orang menyebutnya 'face of the school.' 

Wajar, anak tampan ini memiliki segala hal yang diidam-idamkan oleh teman sebaya nya. Kepribadiannya ramah dan sopan, selalu bertegur sapa dengan siapapun yang ia temui.

“Exel, nanti tolong bantu Miss bawakan kertas ulangan ini ke kelas IX-7 ya?”

Anak itu hanya tersenyum dengan mata juga bibirnya kamudian menjawab, “baik, Miss.” Lalu setelahnya mengambil sejumput kertas ulangan yang masih polos tanpa satu coretan pun menuju kelas yang dimaksud.

Tok! Tok!

Exel mengetuk pintu sebanyak dua kali, walaupun tidak ada yang membuka atau pun menjawab, ia tetap melaksanakan tugasnya yang telah di pintakan oleh Ms. Meilia. Bocah tampan itu kemudian membuka pintu kelas IX-7 yang disambut dengan teriakan heboh oleh beberapa orang, khususnya para murid perempuan,

“AAAAA, EXEL!!!!”

“EXEL, MINTA ID LINE NYA!!!”

“EXEL, EXEL, EXEL!”

“EXEL UDAH ADA PACAR BELUM?”

Yang dipanggil dan sibuk dielu-elukan justru terheran dengan sikap para siswi kelas IX-7 yang menurut exel sendiri, cukup rebel untuk seukuran anak sekolah menengah pertama.

“DIAM, SEMUANYA DIAM!” Jevier sebagai ketua kelas sekaligus teman seperjuangan exel dalam klub basket seketika mengambil ahli ketika melihat situasi dan kondisi para anggota kelas nya yang sudah tidak tertolong, dimana hal itu membuat temannya merasa risih. 

Jevier kemudian melangkah kedepan guna menyambut exel, “kenapa, Cel? maaf ribut, anak-anak kelas gue kayaknya kaget ngeliat cowok ganteng.”

Exel kemudian menggeleng sambil tersenyum yang justru membuat seisi kelas semakin ricuh, “Errrr, ini Jev, gue diminta Ms.Lia buat bawain ini ke kelas kalian.” ujar nya sambil menyerahkan kertas ulangan tadi kepada jevier. 

Setelah menerima kertas ulangan tersebut, Jevier mengangguk kemudian mengucapkan terimakasih, “thanks, Cel.”

Exel mengangguk, setelah urusan kertas ulangan selesai. Mereka berdua, Jevier dan Exel memutuskan untuk berbincang sebentar di dalam kelas mengenai kelanjutan club basket mereka, mengingat mereka sebentar lagi akan berpindah jenjang sekolah ke tingkat yang lebih tinggi.

“Kalau gue sih ngga masalah mau siapapun yang naik gantiin lo, selama bertanggungjawab ya — “

Tuk!

Saat sedang sibuk berbincang, keduanya dikejutkan oleh seorang siswa yang tidak sengaja sudah akan menjatuhkan ponsel nya dalam kondisi tertidur dengan kepalanya yang diletakkan di atas meja.

Exel yang melihat itu secara spontan menunduk di depan meja siswa tersebut dengan tangan terbuka, mencegah ponselnya agar tidak jatuh ke tanah. 

Syukurnya ponsel mahal tersebut tidak benar benar menyentuh dasar lantai karena tangan exel sudah menopangnya terlebih dahulu.

Tak!

Suara dari ponsel dan juga gesekan meja membuat sang empunya terbangun dari tidur panjangnya, iris rubahnya memandang sang lawan skeptis,

Hening.

Untuk sesaat ketika mata mereka bertemu, exel terpesona. Pria di hadapannya memiliki mata yang indah, netranya bersinar seperti bintang di malam hari. Pipinya chubby dan berisi, bibirnya tebal dengan susunan gigi yang rapih. 

Namun sang lawan justru tidak menunjukkan gerak gerik tertarik sama sekali, ia masih memandang exel curiga. Kenapa lelaki asing ini sempat untuk memegang ponselnya tadi?

Pandangan sinis itu terus diarahkan kepada exel namun tak mampu membuat si tampan tersadar dari lamunannya sampai satu tepukan di bahu dari Jevier membuat dirinya tersentak, 

“Cel? Lo ngapain ngeliatin kian?”

Keterkejutannya saat tertangkap basah memandangi teman sekelas jevier membuat exel terperanjat, “Hah, oh? ngga. Sorry, sorry. Tadi hp lo hampir jatuh soalnya. Gue ngga ada niat jahat sama hp lo.” jelasnya panik yang hanya dibalas dengan pandangan heran oleh sang lawan bicara.

Tak ada tanggapan, exel memaksakan senyum simpul sambil berdiri dari

posisi jongkoknya tadi. Bahkan jevier pun heran, bisa-bisanya exel memandangi teman sekelasnya yang tergolong pendiam dan penyendiri sampai se-intens itu tanpa menghiraukan panggilan darinya.

“By the way, kenalin nama gue Exel.” ujar Exel spontan kepada lelaki manis yang menurutnya memiliki manik seindah bintang di malam hari.

Bukannya menyambut uluran tangan sang pangeran sekolah, lelaki itu justru memalingkan wajahnya sambil meletakkan kembali kepalanya guna disembunyikan dibalik kedua tangan yang dilipat —  singkatnya, si manis justru memilih tidur dibanding berkenalan dengan sang pangeran sekolah.

Exel yang melihat tanggapan kurang baik dari teman sekelas jevier, menarik kembali uluran tangannya sambil tersenyum maklum. 

Sedangkan jevier yang melihat hal itu menertawakan tindakan exel yang dapat dikatakan terlalu impulsif, “Kian emang gitu, pendiam. Ngga suka ngomong anaknya.”

Exel mengangguk mendengar ucapan Jevier, 'jadi namanya Kian'. ujarnya dalam hati. 

“Manis kan? Imut banget anaknya, nada bicaranya juga lembut banget.” kata jevier sambil menyenggol bahu sang lawan bicara. 

Mendengar hal itu membuat exel tersenyum sendiri, 'nada bicaranya lembut ya?' mengingat perkataan jevier sama saja dengan membuatnya terus menerus tidak dapat melupakan wajah cantik Kian yang sedang berkembala ria di kepalanya. Exel suka seseorang dengan tutur kata yang lembut.

“Bisa aja lo, jev. Nanti ngobrolnya lanjut di court ya? Gue ada jadwal ulangan juga habis ini, mata pelajaran Mr.Smith.” Jevier mengangguk, “thanks, Cel.”

Exel hanya mengangkat tangannya sambil berjalan meninggalkan ruang kelas jevier dengan hati berbunga bunga, tau bahwa dia tertarik pada seseorang di kelas IX-7 di tahun terakhirnya menjadi seorang siswa sekolah menengah pertama membuat anak tampan itu semakin semangat bersekolah menjalani hari-hari terakhir nya menjadi anak lelaki yang sudah akan beranjak remaja.

'Kian. Namanya Kian, exel. Cantik banget tadi, bidadari kali ya?' ujarnya dalam hati.

Flashback end.

Exel melangkahkan kakinya menuju ruang inap kian, dirinya mendapati dave sedang terduduk dengan kepala menunduk.

“Bang?”

Mendengar suara yang menurutnya familiar, davido mengadahkan kepalanya guna melihat rupa si pemanggil. 

“Cel...”

Bukannya menundukan diri disamping dave exel justru menundukan tubuhnya dihadapan davido, menepuk pundak lebar pria itu yang sudah cukup banyak menanggung beban karena dirinya dan juga kian.

Hubungan mereka terlalu rumit karena di dasari dengan ego dan pengertian diri sendiri, itulah mengapa kedua makhluk adam ini tak kunjung mendapatkan jalan keluar yang pasti untuk hubungan mereka terhadap satu sama lain.

David menarik nafasnya perlahan, walaupun dengan kalimat yang tersendat nyaris putus karena bekas tangisannya namun dave berusaha sebisa mungkin menjelaskan keadaan kian saat dirinya menemukan lelaki manis itu tak sadarkan diri di apartemennya sendiri.

“G-gue sebenernya udah rencana mau minta tolong ke lo. Rencananya gue mau nelfon lo buat nanyain kata sandi apartemennya kian. Karena jujur, kian nggak pernah ngasih tau hal se-privacy itu ke gue.” Davido memainkan jari tangannya, guna mengusir perasaan gelisah yang kian menerpa. “Tapi gue tau, lo ngga mungkin mau ngebahas soal kian lagi. Akhirnya gue nekat buat coba buka sandi apartemennya sendiri — dan lo tau apa kata sandinya?”

Exel mengangguk, “Ulang tahun gue.”

Mustahil bila Exel tidak tau, apartemen kian sudah sepertinya rumah kedua baginya. Biar begitu exel agaknya terkejut karena setelah semua yang terjadi diantara mereka, kian tak kunjung mengubah kata sandi apartemennya sama sekali. 

Mendengar jawaban dari exel membuat davido tersenyum miris. “Gue masuk ke rumahnya dan lo tau apa yang gue temuin?”

Exel menggeleng pertanda tak tau.

“Pertama kali gue masuk, banyak banget bekas botol minuman keras, puntung rokok dimana mana, bungkus rokok juga dimana mana, lighter nya ada lebih dari lima. Piring bekas makan ngga dibersihin, baju baju kian berantakan, apartemennya tertutup ngga ada sirkulasi udara sama sekali.”

Exel melipat bibirnya ke dalam mendengar uraian penjelasan fakta dari dave. Antara percaya dan tidak. Jika diingat kembali, kata-kata kian tentang meninggalkan dan ditinggalkan sangat gampang untuk diucapkan. Namun apa yang terjadi hari ini sedikitnya merubah sisi pandang exel terhadap kian. 

Lelaki manis itu, keras kepala namun rapuh.

“Gue juga nemuin foto-foto lo sama kian yang dia coret pakai lipstik warna merah pekat. Bukan coretan kebencian, Cel. Kian ngegambarin hati disetiap foto kalian yang dia bingkai. Disetiap ujung fotonya setelah gue buka ada ucapan cinta dari dia sekaligus harapan yang nggak pernah bisa kian ungkapin secara langsung ke lo.”

Usai mengatakan hal tersebut rasanya memori david dipaksa memutar kembali ke beberapa jam lalu dimana ia menemukan foto dengan tulisan tangan kian yang menceritakan seberapa besar kekaguman lelaki manis itu kepada exel.

Perlahan, david mengangkat satu lembar foto usang yang ia bawa bersama dengannya tadi lalu memberikannya kepada Exel, “di belakangnya ada sesuatu, coba lo liat.”

Exel menerima foto itu dari david. Foto ini— foto pertamanya dengan Kian saat mereka berdua menjadi panitia acara tahunan sekolah menengah atas dulu tepatnya di bulan Juli 2015, delapan tahun lalu.

Exel ingat, foto ini diambil saat para panitia yang lain sedang sibuk mengatur bagian panggung sedangkan dirinya justru sibuk mengambil foto kian sebanyak mungkin karena anak itu akan menghindarinya saat exel hendak menghampirinya di kelas. 

Pada saat itu mereka hanyalah teman, teman dekat. Exel berusaha untuk mendekati kian dengan maksud dan tujuan lain namun sayangnya pria itu sangat sulit di dekati untuk tujuan romantis. Kian sangat keras kepala dan begitu jelas dalam memberikan penolakan. 

Exel yang tidak kehabisan cara untuk mengejar cintanya tentu saja memberikan berbagai penawaran agar kian tetap berada dekat dengannya, salah satu caranya adalah dengan menjadi teman. 

Exel mulai mempelajari hal-hal yang sekiranya kian sukai. Exel tidak menyukai biologi dan pelajaran non-numeric, namun ia mulai mempelajari nya agar kelak bisa mengambil kelas peminatan yang sama dengan kian saat ujian akhir.

Exel tidak menyukai musik, lebih menyukai olahraga. Namun ia belajar memainkan bass agar dapat bergabung dengan organisasi musik intra sekolah yang juga melibatkan kian sebagai vokalisnya.

Exel tidak suka berenang, lebih suka bersepeda. Namun ia mempelajari dasar-dasar berenang agar mampu menjadi perwakilan murid teladan selam bersama kian dari kelas lain.

Exel bisa menggambar, namun tidak se-mahir kian. Ia mulai mempelajari dasar-dasar visual art secara otodidak lewat berbagai platform agar bisa mengambil kelas ekstra seni melukis bersama kian.

Apa kian merasa risih? Tentu saja. Kian selalu menganggap exel tak lebih dari seorang laki-laki gila yang selalu mengikutinya kemana pun ia pergi. Awalnya kian takut, takut jika lelaki ini memiliki niatan buruk kepadanya.

Namun saat exel menjelaskan bahwa ia hanya ingin berteman, kian merubah sedikit impresinya tentang exel. Lelaki itu menurutnya pintar dan passionate dalam segala bidang yang sebenarnya, tanpa kian ketahui exel melakukan semua itu untuk mendapat atensi darinya.

Mengingat pejuangannya dahulu untuk mendapatkan perhatian dari kian membuat pria taurus itu menerbitkan seulas senyum miris. Semua usahanya sia-sia bahkan di sembilan tahun perjuangan nya, ungkapan cinta nya hanya dibalas kian dengan berbagai kalimat penolakan yang mampu meruntuhkan pertahanan nya dalam mengejar lelaki itu,

'gue ngga ada perasaan apapun sama lo.'

'I'm surely gonna talked to someone and that someone would never be you, exel.' 

'It feels uncomfortable around you, exel.' 

Namun dibanding rasa sakit hatinya, perasaan kemanusiaannya jauh lebih mendominasi sekarang. Exel menerima foto yang sedari tadi telah disodorkan oleh david. Membalikkan foto tersebut sehingga beberapa kalimat yang hampir hilang dimakan waktu terbaca oleh sorot matanya,

'I can never just friends with you,

maybe because your eyes remind me,

of the nights we spent together.

I cant look in eyes i saw a future together in

and pretend to see nothing. I'm so sorry, I love you Exel, I love you, I need you, I love you. I desperately wanted you, my man, Exel.'

Exel memandang kata-kata tersebut dengan berbagai ungkapan miris di dalam hati. Benar firasat nya selama ini bahwa kian menyembunyikan lukanya sendiri. Padahal mereka bisa saja melalui semuanya bersama, namun sepertinya dalam hubungan mereka, ego mengalahkan cinta dan kasih sayang seolah tidak ada tempat untuk mendengar keluh kesah batin satu sama lain dari hati ke hati.

Lelaki itu kemudian menyimpan foto tersebut di dalam saku hoodie nya, “thanks, bang.”

Davido mengangguk, “sama – sama. Besok gue harus ke kantor, gue ngga bisa jagain kian. Jadi, g-gue...” davido hendak melanjutkan kata katanya namun sepertinya ia ragu, “lo kenapa?” penasaran yang lebih muda. “g-gue mau minta tolong, t-tolong —”

“Jagain kian?“ 

Exel memotong perkataan manajernya dengan cepat, ia tau dave masih takut untuk berbicara kepadanya terkait kian jadi sekalian saja.

“Tenang aja bang, gue udah cukup waras buat ngadepin ini semua. Setidaknya sampai disini gue ngerti kalau kian emang susah buat gue dapetin, bukan karena dia nggak punya perasaan yang sama, tapi karena dia belum sadar seberapa penting eksistensi gue dalam hidupnya dia. Everything's gonna be fine, makasih udah mau selalu direpotin sama gue dan kian bang. Lo kerja aja, biar kian jadi urusan gue.”

David menghela nafas lega, “syukurlah, kalau gitu gue pamit. Dokter masih di dalam buat meriksain Kian, kayaknya sebentar lagi keluar. Gue cabut dulu, Cel. Jangan lupa istirahat.” ujar dave.

Keduanya lalu berpelukan singkat sebelum davido benar benar meninggalkan lingkungan rumah sakit.


15 menit kemudian setelah dave membiarkan exel tenggelam dengan dunianya sendiri. Para medis akhirnya keluar dari ruang rawat yang diketahui milik kian.

“Wali dari Kian Est?”

Exel mengangkat tangannya saat mendengar panggilan dari dokter, “saya, dok.”

“Ikut saya sebentar, mari.”

Keduanya — exel dan sang dokter berjalan berdampingan menuju salah satu ruangan yang diprediksi sebagai ruangan pribadi milik sang dokter.

“Sebelum saya memberitahukan diagnosa pasien, saya hanya ingin memastikan, apa benar anda adalah suami dari pasien?”

Exel termenung. Bingung. Suami? Suami darimana nya? Apakah terlihat seperti itu? Ataukah memang ada hal pribadi yang ingin disampaikan sampai-sampai dokter ini mengira bahwa ia adalah suami dari kian? 

Mesi begitu, walaupun ragu exel tetap menjawab, “iya dok, saya suaminya.”

“Syukurlah, berita ini sangat personal, saya tidak mungkin memberitahukan diagnosa pasien kepada kerabat yang lain meskipun dekat karena ada kaitannya dengan kondisi rahim pasien.”

Lagi-lagi exel tersentak. Rahim? Maksudnya bagaimana? Kian sedang hamil atau?

“Maksudnya, dok? Kian sedang hamil atau?”

Dokter arthur tersenyum hangat, “oh tidak tidak, pasien tidak sedang hamil atau keguguran, tenang saja pak. Tapi, mungkin kondisi pasien ini dipengaruhi oleh faktor aborsi janin yang tidak dilakukan secara prosedural atau tidak mengikuti prosedur dari pihak medis. Ada sedikit infeksi pada rahimnya Kian, ini bisa saja disebabkan oleh bakteri yang memang belum dibersihkan secara menyeluruh dari tindak aborsi pada kehamilan sebelumnya.”

Exel? Jelas kaget. Matanya sedari tadi tidak mengedip sedikit pun kala mendengar penjelasan dari dokter. Janin? Infeksi? Aborsi?

Kalau tidak salah, exel sempat mendengar bahwa infeksi rahim yang dialami oleh kian sekarang penyebabnya adalah, karena kian sudah pernah melakukan tindak aborsi tidak terencana sebelumnya? Itu berarti kian pernah hamil, tanpa memberitahukan berita penting semacam ini kepadanya? Pantas saja lelaki itu sangat sensitif saat kemarin mereka membahas tentang kehamilan.

Kepalanya bak dihantam batu, exel jujur saja menolak semua fakta yang ia telan bulat bulat hari ini dari pernyataan dokter yang disampaikan kepadanya.

“Apalagi, pasien di duga mengonsumsi alkohol secara berlebihan yang dapat menyebabkan penurunan kinerja rahim jika tidak dicegah dengan cepat. Untuk sekarang pasien masih dalam keadaan tidak sadarkan diri, namun untuk pendarahannya sudah kami atasi. Tuan kian juga disarankan bedrest dan dilarang mengonsumsi alkohol dan rokok dalam jangka waktu yang lama. Itu saja yang hendak saya sampaikan. Ada yang ingin bapak tanyakan terkait kondisi kian?”

Sebenarnya tidak ada, tapi karena sudah kepalang penasaran. Exel tidak memiliki pilihan lain selain bertanya. Ia sudah lelah menerka sendiri, jadi lebih baik memastikan kebenarannya pada sumber terpercaya.

“Errr, begini dok. Kalau saya tidak salah dengar, tadi dokter sempat mengatakan bahwa kondisi yang dialami oleh kian disebabkan oleh tindakan aborsi sebelumnya, apa itu berarti kian pernah melakukan aborsi?”

Dokter itu menghela nafas berat, berusaha mengemban senyum untuk pihak wali dari sang pasien yang ia ketahui sebagai suami dari sosok yang sedang dirawat. Sebagai seorang dokter, Arthur mengerti bahwa pasangan muda ini mungkin belum cukup siap untuk menjadi orang tua, hingga satu satunya jalan yang ditempuh adalah aborsi non-prosedural.

“Benar, pak. Mungkin keguguran yang tidak disengaja karena konsumsi alkohol yang berlebihan, atau mungkin juga karena aborsi tanpa prosedur dari pihak medis, apalagi zaman sekarang banyak klinik yang melegalkan tindak aborsi pada Ibu muda.”

Exel memejamkan mata, berusaha menelan ludahnya dengan susah payah. Kenyataan ini mungkin adalah kenyataan paling pahit sepanjang sejarah kehidupannya, ini bahkan lebih sakit dari segala bentuk penolakan yang kian berikan kepadanya. 

Rasa sakit yang ini tidak tau harus dipulihkan dengan apa, penawarnya sulit. Mungkin sampai kapan pun lukanya tidak akan pernah kering.

Walaupun dengan rasa kecewa dan berat hati, exel tetap memaksakan senyuman kepada sang dokter tak lupa mengucap terimakasih,

“Terimakasih, dok. Saya permisi.” ujarnya seraya meninggalkan ruangan.

Dari ruangan sang dokter, exel beranjak menuju ruang rawat inap yang ditempati oleh kian.

Pria taurus itu menggeser pintu ruang rawat kian dengan perlahan, tubuhnya ia tempatkan tepat disebelah tubuh kian yang sedang terbaring lemah di ranjang pasien.

Exel benci melihat kian yang seperti ini, wajahnya pucat, bibirnya menghitam, seluruh tubuhnya memutih seolah tak ada aliran darah yang mengomposi nadi kehidupan untuk menopang kehidupan submissive nya.

Netranya memandang wajah kian yang walaupun sedang terlelap namun menampilkan raut wajah yang sangat lelah entah apa penyebabnya.

Model tampan asuhan FRG itu kemudian menundukkan tubuhnya tepat disamping kepala kian, mengecup dalam dalam dahi yang lebih tua tanpa sadar bahwa air mata nya sudah merebah mengaliri seluruh wajah pucat kian ketika ia berbisik di telinga sang empunya,

“Kenapa harus begini kian? Why do we living a life like this? We could be the happiest version of us, kian. Kenapa harus aborsi jalan keluarnya, hm?” ucapnya putus asa.

Attachment.png

WARN! Mentioning drunk, alcohol, testpack, blood.


Awalnya dave sudah sangat putus asa, lelaki kelahiran banjarmasain itu sudah akan menghubungi exel guna menanyakan berapa sekiranya kata sandi yang digunakan kian untuk memproteksi unit kecil tempat tinggalnya.

Tapi dave tau, exel mungkin tidak akan mau.  Mengingat exel seperti baru saja mendapatkan kehidupan keduanya seminggu belakangan ini ketika mereka tidak membahas kian sama sekali. 

Dave juga tidak bisa mengelak, ada seberkas rasa cemas di hatinya. Kian itu keras kepala, tidak biasanya saat exel bersikap begini, kian lantas melunak dan terluka, biasanya lelaki manis itu akan melawan dan terus memberontak.

“Haaah, gue harus gimana jing?!” Dave mengusak surai halusnya kasar saat tak kunjung mendapat jalan keluar. Lelaki itu menandang layar intercom di hadapannya dengan tatapan lesu. Dave kemudian mengalihakan pandangannya tepat pada ruang chat nya bersama kian yang tentunya tidak respon sama sekali oleh pihak di seberang entah apa yang sedang di lakukan.

“Anjirrrrr, kira-kira berapa ya kata sandinya?”

Dave menggigit jari telunjuknya sambil menerka kira-kira angka berapa yang harus ia prediksi untuk membuka kunci apartemen kian.

“Huffft, oke. Gue coba aja satu-satu.”

Walaupun dengan nada tidak yakin dan putus asa, davido tetap mencoba. Percobaan pertama, tanggal lahir kian, 

23/03/00.

Tit! Tit! Tit!

Alarm pintunya berbunyi dengan interval pendek secara berulang yang menandakan bahwa kata sandi yang diinput sepenuhnya salah.

“Oke, bukan tanggal lahir kian. Terus apa jir? Limitnya cuma tiga kali.”

Davido menghela napas panjang, mencoba menetralkan detak jantungnya yang entah mengapa berdetak cepat. 

“Tanggal lahir exel bukan ya?”

Ragu. Tapi davido tetap mencoba, sebelum memasukan angka-angka yang tertera satu persatu pada sandi pintu, manajer exel itu memejamkan mata perlahan, 

23/04/00

TIIIIIIIIIT! 

INPUT SUCCES ✅

Walaaaaa! Pintu itu terbuka otomatis dengan sensor lampu yang menyala terang. Davido mengusap dadanya dengan perasaan lega.

“Anjir tau begini gue trobos dari awal nggak usah minta approvement ke management dulu.”

Si pemilik senyum semanis kelinci, kemudian masuk menyusuri apartemen kian yang sialnya membuat dave seketika menutup hidungnya begitu aroma alkohol dan rokok merengsek masuk saat ia menyambangi ruang kecil dekat televisi.

Bermacam-macam botol minuman keras dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi tergeletak disana dalam kondisi kosong. Bungkus serta puntung rokok berserakan dimana dimana tak lupa disertai dengan korek api yang jumlahnya lebih dari lima.

Semua bilik ruangan terbuka, baju kian berserakan kesana kemari, semua jendela tertutup rapih dengan gorden otomatis, foto foto kian bersama exel menyebar dimana mana dengan coretan hati yang di duga digoreskan dengan lipstik berwarna merah pekat.

“Kian?”

“Kian?”

“Lo dimana?”

“Kian?”

Davido menyusuri ruangan tengah utama namun tidak menemukan keberadaan kian sama sekali, lelaki itu kemudian beralih ke dapur namun nihil, tidak ada apapun disana selain beberapa bungkus mie dan alat bekas penggorengan yang sudah dilingkari oleh para lalat yang bertebangan.

“Lo, sehancur ini tanpa Exel?” lirihnya entah kepada siapa.

Air mata dave perlahan luruh, tidak disangka kisah cinta kedua temannya ternyata lebih rumit daripada yang dibayangkan.

Masih dengan air mata yang mengalir, davido melanjutkan pencariannya di kamar sang pemilik apartemen.

“Kian?”

Suaranya menggema, namun tidak ada jawaban.

“Kian? Lo dimana?“ 

Kakinya masih terus mencari, langkah dave terhenti ketika ia menemukan beberapa jejak darah menuju kamar mandi di dalam kamar kian dengan beberapa alat tes kehamilan yang tak jelas juga apa keterangannya. Alat pipih itu sudah mengabur terkena air, sudah cukup lama sepertinya.

“K-kian?”

Arah langkah kakinya semakin mendekat, namun bau amis darah kering kian menghampiri indera penciumannya.

“K-kian? A-are you t-there?” ujarnya takut.

Makin dekat, semakin jauh dave mengikuti jejak darah itu, semakin cepat pula —

“ASTAGA! KIAN!!!”

— Ia menemukan sahabatnya dalam kondisi tidak sadarkan diri dengan keadaan darah kering yang memenuhi sepanjangan area selangkangannya sampai ke kaki.

WARN : nsfw content, unprotected sex, anal sex.


Sejak masuk ke dalam mobil entah kenapa suasana menjadi hening. Ricci bertanya sendiri kepada dirinya apakah dia melakukan kesalahan fatal hingga di diami seperti ini oleh lelaki pujaannya.

Namun tidak, Lelaki kecil itu merasa tidak melakukan kesalahan apapun ya karena memang ia tak melakukan apapun—kencan dengan lelaki lain misalnya?

Ricci bersumpah semenjak dirinya memutuskan untuk menyukai Arkan, dia tak pernah merayu lelaki manapun even his closest friend.

Jadi ya bolehkah dia merasa Arkan egois disini?

Tiba-tiba mendiami dirinya tanpa alasan begini, bukankah tindakan yang kekanakan? Sumpah Ricci lebih baik dicaci maki daripada harus diberikan silent treatment seperti ini.

Arkan itu tipe lelaki pendiam nan tenang in mean time dia bisa menjadi lelaki paling dingin yang Ricci tau, lalu sekarang? Silent treatment?

Apakah dalam hubungan ini harus Ricci saja yang mengerti lelaki dewasa itu?

“Pak, saya ada salah ya sama bapak?”

“Kok diem?”

“Jawab pak.”

Hening...

“Aku ada salah apalagi sama kamu mas?”

Ya, jika sedang berdua saja atau dalam keadaan serius Ricci akan memanggil Arkan dengan sebutan ‘Mas’ dibanding ‘Pak’ yang terkesan terlalu formal.

“Kamu bisu? Diemin aku seharian begini gak akan selesein masalah.”

Merasa muak dengan semua pertanyaan yang seolah memojokkan dirinya, lelaki dominan itu menepikan mobil sehingga mereka dapat berbicara dengan serius tanpa embel2 ‘tidak bisa fokus karena sedang menyetir’

“Kemarin kamu jalan sama siapa?”

“Aku?”

Arkan mengangguk,

“Iya, kamu”

“Aku udah izin lho mas, sama kamu”

“Setelahnya.”

Ricci terlihat bingung dengan pertanyaan yang dilontarkan oleng sang lawan, setelahnya? Setelahnya apa? Seingatnya setelah berpergian dengan bintang, ia kembali ke apartment diantarkan oleh—

Ah! Dia ingat sekarang!

'Astaga? Apa mas liat ya aku sama mas jerry?'

“Jawab.”

“Kenapa? Kamu tidak bisa menjelaskan alasan  mengapa kamu ada bersama dengan sahabat saya?”

Ricci paham sekarang lelakinya ini salah paham menyerempet cemburu.

“Mas, kamu harus denger penjelasanku dulu.”

“Saya daritadi nunggu kamu jelasin.”

Yang lebih kecil menghela napas pelan sebelum mulai menjelaskan.

“Aku sama mas jerry gak sengaja ketemu, katanya dia baru selesai ketemu klien di tempat yang sama.”

“Gak lama waktu aku lagi nunggu bintang sama mas jerry, bintang bilang kalo motornya mogok dan dia harus ke bengkel dulu.”

“Tahu kan kalo dia ke bengkel berarti makan waktu? Meanwhile kamu udah nyepam aku nyuruh pulang, mas jerry paham se posesif apa kamu ke aku makanya dia nawarin diri buat nganterin aku.”

Selesai menjelaskan Ricci merasa lega, setidaknya dia tidak merasakan beban apapun lagi atau bahkan merasa bersalah kepada lelaki disebelah nya ini.

“Mas? Masih marah ya?”

Ricci membalikkan badannya meyamping hingga ia bisa melihat langsung wajah tanpa ekspresi Arkan.

Tangan kecilnya terayun menangkup sisi wajah Arkan yang dapat dia jangkau dari tempat ia duduk.

“Yaudah kalo mas masih marah aku minta maaf, aku bener-bener gak ada niatan apapun sama mas jerry, aku sama dia—“

Cup

Ricci cukup terkejut saat merasa sesuatu yang empuk nan basah mengecupi telapak tangannya, telapak tangan yang Arkan yakini selalu dirawat oleh sang empunya itu, ia bawa untuk sekedar digenggam dan dikecupi hingga lawannya tersentuh.

“Aku itu gak marah atau apa, aku cuma gak mau kalo kamu di cap engga engga sama client jerry atau teman sekantor kami.”

Ujarnya sambil mangusap telapak tangan ricci,

“Mas jangan marah-marah sama aku ya?”

“Kenapa?”

“Nanti aku gak bisa modusin mas lagi.”

Mendengar itu arkan dengan sigap menarik tengkuk Ricci dikecupnya belah bibir semanis cherry milik sang submissive.

Bibirnya dengan lihai melumat serta menjilat bibir ricci.

Yang lebih kecil tentu tak mau kalah, ia mengalungkan tangannya pada leher sang dominan sambil sesekali meremas surai hitam legam tersebut.

Nghhh~

Sejenak pagutan itu terlepas, Arkan mengusap ranum cherry itu perlahan menghilangkan bekas saliva yang menempel disana.

“How about car sex?”

“Why not, I'm always ready, mas.”

Dalam sekejap mata , badan ramping itu telah berpindah posisi diatas pangkuan sang dominan.

Uke on top sounds good.

Kali ini Ricci memulai lebih dulu.

Pria mungil itu dengan cekatan melingkarkan kedua lengannya pada leher sang dominan sambil mengelus belakang kepalanya dengan lembut.

Awalnya sebatas elusan sebelum berubah menjadi jambakan kecil ketika yang lebih tua mulai mengelus paha bagian dalam Ricci perlahan dengan sensual.

Tautan bibirnya tidak terlepas, bagian atas bibir ricci melahap habis bagian bawah bibir Arkan hingga rasanya ranum lelaki itu agak membengkak nan merona.

Tangan Arkan tak tinggal diam, dimulai dari paha elusan itu kemudian naik menghampiri pinggang ramping Ricci, maklum calon model harus pintar menjaga bentuk badan.

“Emhhh~”

“Take off your pants baby.”

Ricci hanya mengangguk, setelahnya pria mungil itu mulai menurunkan resleting celananya hingga hanya pantiesnya yang tersisa.

“Uh wow, I didn’t plan to see this panties on you so soon babe.”

“U-uh, ya?”

Kilah ricci dengan pelan, sungguh ia malu. Rencanya panties itu akan ia kenakan saat mereka berada di Hotel namun apa daya jika sudah begini yasudah sekalian saja.

“Mau langsung? atau foreplay dulu?”

“Langsung aja mas, tempatnya sempit aku gak mungkin blowjob disini.”

“You’re not going to rimming me in here don’t you?”

Arkan hanya mengangguk,

“Bilang kalau sakit, cakar punggung aku. Jangan ditahan”

“Iya mas, cerewet deh”

“Aku gak mau kamu kesakitan, besok masih ada kelas kan?”

Ricci mengangguk sembari menyingkirkan helaian rambut yang nyaris menutupi mata sang terkasih.

Membubuhkan kecupan seringan kapas pada kening yang lebih tua, tak lupa berterimakasih karena sudah diperlakukan sebegini pantasnya.

“Thankyou for understanding me a lot, mas.”

“Let’s start the game baby”

Seiring dengan perkataan yang keluar dari bibirnya, saat itu juga Arkan telah bersiap untul menancapkan kejantanannya pada lubang hangat si mungil.

“Ready?”

Ricci mengangguk,

Arkan mengangkat pinggul ricci perlahan sebelum mengocok kejantanannya cepat sebagai pelumas.

“Aaah...Ahhh”

Ricci merintih pelan saat merasa kepala penis tersebut menggelitik permukaan lubang analnya.

Menggesek pelan namun pasti, kejantanan Arkan hampir masuk sempurna sebelum Ricci berteriak kesakitan karena untuk pertama kalinya melakukan hal ini tanpa penetrasi yang lumayan lama.

“A-aaah pelan uuh mas.”

“I'm in baby, cakar punggung aku kalo sakit,”

Ricci memejamkan matanya—

JLEB

“Ahhhh...”

Sesudah rasa sakit sementara itu menghantam lubangnya yang serasa dirobek oleh penis besar si ‘mas’

“Jangan gerak dulu, uhh mashh.”

Tangannya meremat pelan bahu sang dominan, menandakan bahwa ia benar-benar kesakitan. Arkan tidak buta ia peka bahwa submissivenya kesakitan maka dengan segala rasa bersalah yang ada ia merengkuh ricci kedalam pelukan hangatnya sembari mengelus pelan pinggang si mungil yang sedang terisak pelan.

“Does it hurt?”

“Nggak mas, aku cuma kaget aja.” ujarnya sambil tersenyum kepayahan.

“Aku udah bisa gerak?”

“Aku aja yang gerak. Kamu diem aja, oke?

Setelah mendapat persetujuan dari Arkan, Ricci dengan perlahan mengangkat pinggulnya sebelum menancapkan penis besar itu dalam lubangnya dengan sekali hentakan.

Tubuh sexy nan ramping itu bergerak turun naik dengan semangat membuat lawan bercintanya kepayahan.

Terkadang pria mungil dengan tubuh mulus bak porselen itu menggerakkan pinggulnya ke kiri dan ke kanan agar bisa merasakan tegangnya penis sang kekasih dalam lubang hangatnya.

“Feels good?”

Ricci bertanya dengan nada sensual, menuntun kepala Arkan untuk kembali beradu dalam ciuman panas.

“Aaah...ahh..ah mas.”

“You taste so good, always.”

Sibuk dengan kegiatan keduanya tak lama kemudian ricci merasa penis lelakinya semakin membesar di dalam lubangnya menandakan Arkan akan segera orgasme.

“Arghhhh, faster baby.”

Ricci mempercepat gerakannya dengan posisi diatas Arkan, sedangkan yang lebih tua ikut menggerakan tubuhnya dari bawah sembari tangannya memegang pinggul si manis, mempercepat gerakan sang lawan.

“Ah...ah...ahhh.”

“Fuckk, ahhh so good,”

“Cumhh...ahh.”

Beberapa tusukkan setelahnya lelaki yang lebih tua menjemput putihnya, sedangkan Ricci sendiri terengah-engah diatas Arkan, lelaki mungil itu memeluk leher sang dominan dengan erat.

Arkan yang merasakan ricci melemas hanya meggerakan kedua tangan besarnya untuk mengelus pundak si mungil.

“Thankyou, it’s great.”

“Sama sama mas, udah kewajiban aku.”

Setelah itu ricci benar-benar tertidur diatas badan Arkan tanpa mengingat hal penting bahwa—

Arkan didn’t use any condoms.

Attachment.png

TW // Mentioning abortion, MPREG.


Usai menerima pesan singkat dari Exel yang menyatakan bahwa ia ingin bertemu, Kian langsung saja bergegas mempersiapkan diri tanpa berpikir panjang terlebih dahulu.

Apa yang sekiranya akan dibicarakan? Bagaimana reaksi Exel? Apakah lelaki itu masih marah? Bagaimana caranya ia menghadapi Exel setelah kurang lebih dua minggu tidak menjalin hubungan kerjasama? Apakah suasana dan kondisinya akan berubah?

Tidak, Kian tidak memikirkan semua itu, yang ia tau hanyalah Exel sudah ingin bertemu dan berbicara empat mata dengannya. Tentang resiko, hal itu sebaiknya tidak dipermasalahkan sekarang.

Maka dari itu dengan sisa keberanian diri yang lelaki manis tersebut miliki, Kian melangkahkan kakinya menuju ground floor tempat dimana ia akan bertemu dengan Exel. Bisa dibilang ini adalah kali pertama mereka bertemu lagi setelah kejadian di studio beberapa waktu lalu.

Kian menyandarkan tubuhnya pada salah satu mobil disana sambil menundukkan kepala. Pria cantik itu memainkan kuku jarinya yang kian memendek karena sering sekali ia mainkan kala merasa cemas.

Exel belum juga datang, balasan si taurus kepadanya via direct message tadi cukup menggambarkan suasana hati sang dominan yang bisa dikatakan sedikit terpaksa untuk bertemu dirinya di siang hari ini.

Tapi untuk alasan apapun itu, Kian tidak ingin lagi menebak apa yang akan terjadi dengan hubungan mereka, biarlah semua berjalan sesuai dengan semestinya. Karena Kian tau semakin ia berharap, semakin besar kemungkinan sakit hati yang akan ia terima.

Sekali lagi, Kian mengeratkan pelukannya pada diri sendiri, ia hanya bisa berharap semoga percakapannya dengan Exel kali ini berjalan mulus tanpa kesalahpahaman yang berkepanjangan. Sedikit banyaknya, Kian juga lelah karena terus menjadi pihak yang terus disalahkan, ia benci mengakui bahwa ya dan benar, ia mencintai Exel namun tak cukup mampu untuk merealisasikan hubungan mereka ke jenjang yang lebih serius.

Memikirkan semua kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi membuat Kian menerbitkan seberkas senyum palsu pada ranum merah mudanya, berharap semuanya akan berlalu dengan cepat.

Terlalu sibuk melamun dengan berbagai pikiran abstraknya, pria kelahiran china itu sampai tidak sadar bahwa seseorang dengan proporsi tubuh yang tinggi nan kekar sedang memandang siluetnya dari balik salah satu bilik parkiran mobil disana.

Sosok bertubuh tinggi itu kemudian melangkah semakin dekat menuju seseorang yang dituju sehingga mampu membuat seseorang tersebut menolehkan kepalanya ke asal suara langkah kaki yang dirasa kian mengecil.

Ehm.

Deheman singkat itu cukup membuat Kian bangkit dari alam bawah sadarnya guna melihat siapa yang sedang ia hadapi sekarang.

Sosok yang telah ia tunggu – tunggu sedari tadi, Exel.

“E-exel?” sapanya gugup.

Masih dengan tatapan datar dan tidak terbaca, Exel menjawab sapaan kian hanya dengan kedua alisnya yang terangkat spontan seakan hendak bertanya, ‘kenapa?’

Hening untuk beberapa saat. Keduanya sama sekali tidak membuka ruang obrolan apapun. Sangat berbeda dari mereka biasanya. Jika sebelumnya mereka akan saling memeluk bahkan mengecup satu sama lain, kali ini tidak.

Totally silence.

Keduanya benar-benar terdiam. Exel hanya menunggu kata selanjutnya yang akan keluar dari belah bibir Kian. Sang dominan tau banyak yang hal hendak pria itu sampaikan, hanya saja keinginannya terhalang situasi mereka yang sudah berubah.

Tidak jauh berbeda dengan Exel, Kian yang hanya melihat respon pasif dari Exel tidak berniat membuka pembicaraan lebih lanjut karena bisa saja Exel tidak se-bersedia itu untuk menanggapi pertanyaan maupun sapaan darinya. Namun apa boleh buat? Kian yang sudah membuat semuanya makin runyam maka dirinya juga yang bertanggungjawab untuk mengembalikan semuanya seperti semula karena sejauh ini Exel sudah terlalu banyak berjuang.

“Apa kabar, Cel?” — adalah kalimat pertama yang Kian tanyakan kepada Exel. Namun agaknya ia mulai menyesal karena mengapa hal sampah seperti itu yang justru keluar dari mulutnya.

Exel mengerinyitkan dahi begitu mendengar pertanyaan sang lawan bicara, kabarnya? katanya.

“Baik.”

Hening.

Kian tersenyum masam mendengar nada bicara Exel yang semakin hari semakin dingin seakan tidak berselera saat berbicara dengannya, ‘miris’ batinnya. Lelaki manis itu kemudian mengangguk paham atas jawaban Exel, “kenapa cel?” ujarnya spontan untuk yang kedua kali.

Exel kembali menampakkan wajah bertanya nya, dan Kian paham Exel tidak ingin berbasa-basi mengingat situasi dan kondisi hubungan mereka yang sudah terlanjur retak.

“Kenapa tiba-tiba pengen ketemu?” jelas yang lebih tua melihat Exel tidak ingin menjawab pertanyaan ambigu sebelumnya.

Bukannya menjawab pertanyaan dari pria dihadapannya, Exel justru mengeluarkan benda berbentuk pipih yang kemarin ia temukan di kamar mandi pihak terkait, lelaki itu menjejerkan beda sensitif tersebut tepat di depan lawan bicaranya hingga membuat si manis membulatkan matanya serentak,

“E-exel, d-darimana lo dapetin semua itu?”

Kian tidak bodoh untuk mengetahui bahwa benda itu adalah miliknya, ada beberapa yang sudah pernah ia gunakan namun malah berakhir menyimpan dan bukan membuangnya. Bahkan pada alat tes kehamilan tersebut tertulis dengan jelas inisialnya yang sempat ia tulis beberapa bulan lalu saat melakukan tes urine rutin setelah selesai bercinta dengan Exel selang beberapa minggu.

Exel masih diam dan tidak ingin menjawab, lelaki taurus itu hanya terkekeh seakan mengejek Kian, “apa yang lo sembunyiin dari gue?”

“C-cel, g-gue bisa jelasin—”

“Jelasin apa? Jelasin kalau lo ngelakuin semua ini karena lo setakut itu buat hamil anak gue?”

“Cel —”

“Oh, atau lo emang sengaja udah punya planning tersendiri?” sindirnya halus.

“Maksud lo?”

“Lo sengaja tes rutin biar tau kapan lo bisa gugurin —”

PLAK!

tidak sampai pada ujung kalimat terakhir, yang memancing perkara secara spontan mendapatkan satu tamparan kuat dari lelaki yang sempat dicintainya selama kurang lebih delapan tahun waktu berjalan.

Namun bukannya marah atau jengkel, Exel justru terkekeh sinis.

“Jaga omongan lo, Cel. Gue bukan tipe orang kayak gitu sekalipun gue udah jahat sama banyak orang.” ujar yang lebih tua dengan nada suara yang bergetar.

Kian tidak menyangka Exel akan menilainya serendah itu hanya karena temuan beberapa testpack negatif yang ia temukan di sudut kecil tempat tinggalnya?

“Lo kenapa sebenarnya, Acel?”

“Gue?” Exel menunjuk dirinya sendiri yang hany dibalas tatapan sendu oleh Kian.

“Gue cuma mau ngebuktiin kalau lo emang lebih jahat dari yang gue pikirin. Gue cuma mau ngebuktiin kalau lo,” kakinya maju beberapa langkah kedepan agar dirinya mampu menatap Kian tepat di matanya, tatapan tajam itu tepat sasaran. Kian bahkan tidak mengenali siapa sosok dihadapannya kini, Exel tidak pernah menilainya serendah pria ini menilainya. Namun, bak tidak peduli dengan keadaan mental seseorang yang lain, Exel menekan jemari telunjuknya tepat pada sudut dada yang lebih kecil, “gue cuma mau ngebuktiin kalau lo memang nggak pantes buat gue bahkan untuk siapapun.”

Mendengar perkataan Exel yang begitu menusuk, bulir bening yang kian tergenang pada pelupuk mata Kian akhirnya luruh jua, pria manis itu tersenyum manis, masih berusaha untuk menatap Exel tepat dimatanya, “after all the love confessions you said to me, sekarang lo nilai gue serendah itu cuma karena beberapa alat tes kehamilan yang lo ambil tanpa seizin gue di rumah gue sendiri?” ucapnya terbata.

Exel yang seakan tidak peduli hanya menyugar rambutnya ke belakang, menunggu kalimat selanjutnya yang akan disampaikan oleh si aries. Perkataan Kian baginya sekarang hanya sebatas angin lalu yang bahkan tak mampu membuatnya goyah walau hanya sebentar.

“Gue harus gimana, Cel? Gue harus gimana untuk jelasin semuany—”

“Nggak perlu.”

“Cel —”

“Gue cuma mau tanya alasan kenapa ada banyak barang kayak gini di rumah lo?”

Hening.

Kian tidak kunjung menjawab, tidak mungkin ia menjawab bahwa benar alasan utama ia rutin melakukan tes kehamilan adalah untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, dalam hal ini, tebakan Exel benar. Kian rutin melakukan tes tersebut untuk mencegah kehamilannya semakin membesar jika suatu saat ia dan Exel ceroboh dalam melakukan hubungan intim.

“Kenapa diam? Nggak bisa jawab?” tantang sang dominan. Exel hanya bisa memandang lelaki yang sedang menunduk dihadapannya dengan tatapan kecewa — nyaris tidak percaya.

“Jadi? Bener?”

Kian menggelengkan kepalanya pelan, “Acel, nggak gitu…”

“Terus?”

Bukannya menjawab, Kian justru merasa tertekan dengan tatapan intimidasi Exel yang membuatnya seperti kumbang kecil sekarang. Lelaki manis itu mengencangkan suara tangisannya yang dimana membuat Exel kian jenuh karena tidak mendapat jawaban atas pertanyaan besarnya.

“Jangan nangis, jawab pertanyaan gue Kian!”

Hiks! Hiks! Hiks!

Tangisan sang submissive yang semakin tak terkontrol bukannya membuat Exel merasa iba melainkan membuat lelaki tinggi itu semakin marah. Karena tidak ingin berbuat hal diluar batas di lingkungan kerja, Exel akhirnya menarik surai lebatnya ke belakang lalu menghela nafas dalam-dalam guna meredakan emosi yang menjalar pada setiap denyut nadinya.

Tanpa memedulikan Kian yang masih menangis meraung-raung, Exel pun hendak beranjak meninggalkan tempat pertemuan mereka namun sebelum lelaki itu berhasil melangkah, ia merasakan ada sebuah beban yang bertumpu pada pundak lebarnya tak lupa kedua lengan yang lebih kecil merengkuh pinggang sempitnya,

Kian memeluknya dari belakang. Dapat Exel rasakan bagian belakang bajunya terasa sedikit hangat karena air mata si cantik yang terus menerus mengalir tiada henti, Kian memeluknya dengan erat, nada suaranya bergetar namun kedengarannya lelaki itu memaksakan diri untuk menjelaskan semuanya.

“You were right, hiks! I-iya gue rajin cek urine biar tau lagi hamil atau engga, hiks!”

Penjelasannya terhenti sebentar, lelaki manis itu masih sesegukkan di belakang tubuhnya, “and hiks! you were right too, kalau gue tau gue hamil, gue bakal secapatnya gugurin —”

“Cukup, Kian.”

Awalnya Exel masih setia mendengar, mungkin dugaannya dan Dave bisa jadi salah. Namun memang memercayai Kian adalah hal terbodoh yang pernah ia lakukan semasa hidupnya. Exel jadi mempertanyakan diri sendiri, mengapa ia bisa menyukai lelaki ini?

Exel melepaskan pelukan Kian dengan kasar membuat yang dihempas terjatuh tepat dihadapannya, tidak sampai disitu saja Kian bahkan menahan kedua kakinya sembari memohon dan menjelaskan, “g-gue lakuin semua itu karena gue nggak mau karir dan reputasi lo hancur Cel, please sayang, I beg you. Iya gue salah, hiks! T-tapi sumpah demi apapun, gue cuma mikirin masa depan lo hiks! Itu aja.”

Tidak tertarik, Exel memandang Kian yang masih mengemis dibawah kakinya dengan tatapan remeh sekali lagi kedua tangannya melepaskan kaitan tangan Kian pada kedua kakinya yang membuat pria manis itu semakin tersungkur dibawah lututnya sendiri, “bullshit. Go and eat your karma Kian. Gue muak sama manusia kayak lo.” ujarnya dingin sambil berjalan meninggalkan ground floor tak lupa menghempaskan beberapa alat tes kehamilan yang sempat ia bawa tepat disamping pemiliknya.

“Exel, no! Exel! Please, hiks! Jangan tinggalin gue, hiks.” tangisnya putus asa namun sayangnya itu tidak cukup untuk membuat Exel tetap tinggal dan sudi memandangnya seperti sedia kala.

Pip! Pip! Pip!

Bunyi pintu apartemen yang terbuka mendominasi keheningan di dalam kubikel yang cukup luas tersebut.

Disini Exel berada, apartmen Kian. Iya, Exel memutuskan untuk mengiyakan permintaan Dave seperti yang disampaikan lewat pesan whatsapp. Begini-begini walaupun kecewa, Exel masih mempunyai hati nurani untuk menolong mantan asistennya.

Tubuh tinggi dan kekar itu memapah tubuh ramping kian yang begitu pas dalam dekapannya. Exel hendak membawa masuk Kian ke dalam kamarnya. Namun, pria mungil itu kelihatan tidak sepenuhnya mabuk.

Buktinya, lelaki cantik itu masih sibuk meracau beberapa kalimat yang tidak jelas daritadi sesampainya mereka di dalam ruang tamu miliknya.

“Eitssss, lo siapa? hik! Lo mirip cowok gue, masa hehehehehe.” ujar nya sembarang disertai senyum yang lebar, pipinya bahkan memerah mungkin karena terlalu banyak minum.

Exel yang mendengar racauan tak jelas itu mulai mengerinyitkan dahinya, sejak kapan Kian mempunyai sosok lelaki di belakangnya? Keningnya mengkerut tanda tak suka, “siapa emang cowok lo? kayak gue kenal aja.” ucap Exel menanggapi Kian dengan sama sembrono nya.

Pria bertubuh kecil yang biasa dipanggil ‘hun’ oleh sang model papan atas itu melepaskan rangkulannya begitu mendengar pertanyaan sarkastik dari si lawan bicara, “maksud lo, hik! apa? jelas gue punya cowok, namanya hik, Exel.”

Dengan sebelah mata tertutup disertai dengan kesadaran yang sudah tidak mumpuni Kian menatap lelaki di depannya dengan sayu, “kenapa? hik? kaget?”

Sang dominan yang hampir tersenyum ketika mendengar jawaban yang lebih tua kembali mengendurkan bibirnya, menahan perasaan hati agar tidak mudah membucah seperti sedia kala. “Exel siapa?” pancing nya dengan postur tegap tak lupa melipat kedua tangannya di depan dada.

“Yaaaa, Exel hik! Lewis lah. Siapa hik! lagi? T-tapi Exel hik! Kayaknya marah sama gue, hik! Doi tadi marah-marah sama gue, hueeeeeee, Exel jahat!” katanya sambil memukul dada bidang pria di hadapan walaupun dalam ingatannya tidak jelas sebenarnya siapa lelaki yang sedang bersamanya kini.

Exel menyeringai mendengar jawaban Kian, si taurus lalu menahan tangan kurus milik lelakinya yang masih setia meracau kalimat yang rancu. Ternyata begitu. Ternyata lelaki ini diam-diam menyimpan perasaannya sendiri, terlalu termakan gengsi, eh? Apakah harus dibuat mabuk terlebih dahulu agar mau mengaku?

Pria kelahiran Incheon itu mengusap dagunya perlahan, melihat Kian terduduk dengan keadaan mabuk begini membuatnya tidak tega, apalagi dengan pengakuan tidak terduga barusan. Exel tidak menyangka bahwa Kian akan jadi seperti ini tanpa dirinya, yang ia tau Kian baik-baik saja karena dialah yang paling bersikeras untuk menghilangkan perasaannya. Mereka sudah sepakat untuk mengakhiri semuanya kemarin, lalu ini?

Tak ingin mengundang berbagai persepsi yang lain dalam kondisi Kian yang sedang mabuk, Exel memilih untuk merawat si aries. Dengan telaten dominan tampan itu membawa Kian masuk ke dalam kamar lelaki manis tersebut. Menggantikan bajunya dengan baju tidur yang lebih nyaman, serta tak lupa membasuh kedua kaki dan juga tangannya menggunakan baskom berisi air hangat.

Begitu melihat Kian sudah terlelap, Exel memutuskan untuk meninggalkan pria itu sendiri setelah semuanya selesai. Namun sayangnya saat ia ingin meletakkan kembali handuk basah di dalam kamar mandi milik sang empunya, Exel tidak sengaja menemukan beberapa benda pipih yang berbentuk seperti stik ice cream dengan berbagai macam merek.

“What the hell is this? Testpacks?” ujarnya tak yakin.

Ya. Jelaga hitam miliknya tidak sengaja menangkap beberapa alat tes kehamilan yang di duga milik Kian dalam lemari kecilnya. Ada beberapa yang sudah digunakan namun ada juga yang masih utuh di dalam bungkusannya masing-masing.

Tak butuh waktu lama, Exel langsung saja mengambil gambar alat tersebut, menutup kembali laci kecil milik Kian sebelum berlalu dari tempat kediaman Kian dengan seribu pertanyaan di dalam kepalanya.

Mereka berdua — Ia dan Kian perlu bicara. Mereka perlu menyelesaikan semua ini. Sebenarnya ada apa? Kenapa ada banyak sekali benda seperti itu di tempat tinggal pria ini? Juga, sebenarnya apa yang sedang Kian sembunyikan darinya?

Mereka berdua perlu waktu untuk membicarakan ini saat Kian sadar nanti, ya, harus.

background song : The Heart Wants What It Wants – Selena Gomez.


Kian melebarkan langkah kakinya begitu ia sampai di tempat tujuannya kali ini, agensi tempat pria aries itu sendiri bekerja.

Usai menempelkan kartu tanda pegawai nya pada akses menuju lantai atas dimana studio pemotoretan berada, kian menyandarkan tubuhnya sejenak. Berusaha mengais udara sebanyak mungkin dikarenakan kepalanya yang sedang panas, berperang hebat tentang pernasalahannya dengan exel.

Sebenarnya kian bisa saja menganggap hal ini sebagai suatu hal yang sepele, kemudian setelahnya ia bisa langsung bekerja tanpa mempertimbangkan apapun.

Namun kali ini sungguh tidak bisa. Kian menganggap bahwa exel sudah terlalu egois dengan mengedepankan perasaan pribadinya kepada kian tanpa berdiskusi dengan kian terlebih dahulu mengenai perpindahan tupoksinya.

Jika itu hanya tentang pekerjaan, maka kian biasa saja. Tapi ini? Urusan perasaan mereka belum benar-benar selesai dan exel sudah memulai tanda peperangan yang baru.

Mengingat hal itu, kian sesekali memejamkan mata sambil memijit kepalanya yang sedikit berdenyut nyeri, ia tidak dapat terlelap dengan nyenyak tadi malam.

Tanpa memperhatikan pergerakan lift, kian sampai tidak sadar bahwa kini ia telah sampai pada lantai yang dituju.

Ting!

Begitu pintu lift terbuka, kian melanjutkan perjanannya menuju studio dimana exel sedang melakukan pemotretan yang sedang tertunda.

Ketika kian sampai tepat di depan ruangan yang dimaksud, palang bertuliskan 'in used' dengan portal hijau menandakan bahwa pemotretan masih berjalan.

Kian melirik ke arah jamnya, waktu menunjukkan pukul dua belas dimana harusnya para pegawai dan artis sedang beristirahat sekarang.

Namun lelaki manis itu masih ragu, ia takut bahwa semua pegawai masih berkumpul dengan formasi lengkap di dalam sana.

Cklek!

Lamunan kian tersamarkan sementara dengan suara yang berasal dari pintu studio di hadapannya. Seorang junior yang ia kenal lebih muda darinya baru saja akan keluar, tak lupa menyapa para seniornya dari dalam termasuk kian yang di dapatinya sedang melamun, 

“Permisi, senior.” ucapnya sopan. 

Mendengar itu, kian hanya membalas sapaan lelaki muda tersebut dengan senyuman singkat. Namun kalau mata kian tidak salah menangkap, nama yang tertera pada kartu pegawai juniornya terlihat familiar, siapa namanya?

Caleb? Calet? Callen?

Ah! Kian menjetikkan jarinya tiba-tiba saat mengingat nama pria itu ternyata adalah nama personal assistant exel yang baru, yang david pilihkan untuk lelaki taurus tersebut, calen kalau tidak salah.

Kian mengusak surai hitamnya kasar saat menyadari bahwa ia telah melewatkan kesempatan untuk menanyakan keberadaan exel kepada personal assistantnya yang baru.

“Kian?”

Sibuk dengan berbaik penyesalan sesaatnya yang tidak akan merubah kondisi apapun, kian baru bisa tersadar saat mendengar suara familiar yang memanggil berasal dari belakang tubuhnya. Dan benar saja, saat kian menoleh ia lantas merotasikan bola matanya malas saat mengetahui bahwa pelaku pemanggil tadi adalah david.

“Ngapain lo?”

“Menurut lo?” tanya nya dengan nada tidak bersahabat.

David mengedikkan bahu, pertanda tidak tau, dan tidak mau tau juga sebenarnya, “kalau lo nyari exel, anaknya masih pemotretan di dalam, tunggu aja.” ucap david serentak kemudian setelahnya berlalu dari hadapan kian. 

Merasa lagi-lagi bahwa ini bukan merupakan waktu yang tepat, kian menyandarkan tubuh lelahnya pada dinding bagian depan studio sambil memejamkan mata dengan kedua tangan yang dibawa untuk mengusap masing masing sisi tubuhnya.

Sesekali pria aries itu akan mengerutkan jemari kakinya di dalam sepatu yang ia kenakan guna mengusir kebosanan yang menghampiri.

Lima belas menit berteman sepi juga sesekali suara nyamuk yang kian berisik, kian menundukkan kepalanya sambil berharap bahwa personal assistant exel —

Cklek!

— Belum selesai mengutarakan keinginannya di dalam hati, satu-satunya pintu studio di hadapan kian terbuka dengan lumayan keras dengan suara bariton yang terdengar familiar menyapanya, dan pelakunya adalah...

“Ngapain kesini?“ 

-

-

-

“Exel?”

Yang dipanggil namanya hanya diam tak bergerak. Si model tampan hanya menampilkan tatapan datar kepada lelaki yang kata david sudah menunggunya selama kurang lebih satu jam di depan sini entah untuk keperluan apa.

Bermenit-menit kedua anak adam itu hanya terdiam tanpa berniat untuk membuka pembicaraan. Melihat tatapan datar tanpa minat exel kepadanya membuat nyali kian seketika ciut walaupun hanya ingin berbicara santai.

Keduanya saling beradu pandang, exel menaikkan salah satu alisnya seakan akan bertanya apa yang hendak disampaikan oleh sang lawan bicara.

Kian yang sadar bahwa exel sedang menunggu penjelasannya pun hanya mampu meneguk ludah dengan susah payah, si manis yang sempat disayangi oleh sosok model ternama itu memejamkan mata sebentar hingga akhirnya memutuskan untuk menyampaikan maksud dan tujuannya kemari,

Nothing. Just .... soal pergantian PA, I still don't get it why do you change it without my permission? don't you think, you have to told me first about it cause I was involved too, right? gue minta maaf kalau perkataan gue beberapa hari lalu nyakitin lo cel dan itu mungkin penyebab lo jadi kayak gini, but I just wanted you to know about my feelings. I don't want you to get hurt even more so I said everyting that I feel about you selama beberapa tahun ini, after you confessed your feelings to me two years ago.” ujarnya dengan susah payah. 

Berusaha menelan pil pahit disini bahwa exel bukanlah sosok yang sama dengan exel beberapa hari lalu yang masih menjadi sosok yang hangat dan penyayang kepada dirinya. 

Exel yang mendengar segala bentuk penjelasan dari mantan personal assistant nya hanya melipat kedua tangannya di depan dada tanpa berniat memotong atau berargumen seperti biasa, karena pada akhirnya exel sadar bahwa esensi dari semua tindakannya adalah percuma.

Merasa tidak ada jawaban dari lelaki di depannya kian memutuskan untuk memanggil nama lelaki itu sekali lagi,

“Exel, I'm —”

“I don't care anymore kian, whatever you said it’s all up to you. I don't wanna know.” Sebelum lelaki manis itu sempat menyelesaikan kata-katanya, exel sudah memotongnya terlebih dahulu.

“Cel — “

“Dan gue ngga peduli, mau lo marah karena keputusan gue atau apa. Karena setelah semua yang gue lakuin buat lo dan demi lo, pada akhirnya gue sadar kalau gue ngorbanin perasaan dan diri sendiri terlalu banyak selama ini. I just think of you and not me.” ucap si taurus tanpa memindahkan pandangannya sedikitpun dari objek di depan.

Pria tampan itu mengatur langkahnya tepat di depan kian, merapatkan jarak mereka, memastikan bahwa kian mendengar seluruh perkataannya dengan baik tanpa ada satu kata pun yang dilewati, exel juga tidak melepaskan tatapannya dari mata berbinar kian yang begitu terlihat lelah mungkin karena kurang beristirahat.

Tapi, itu bukan urusannya lagi sekarang. Karena mulai sekarang, exel hanya akan fokus kepada keluarga dan dirinya sendiri, mulai sekarang ia berharap dapat dijauhkan dari orang-orang yang membuat hatinya sakit. Dengan begitu, exel hanya menipiskan bibir sesaat sebelum melanjutkan kata katanya.

“—And then I realized one thing after you said, I deserve someone better and that someone would NEVER be you. It's true, cause you were never deserved me at all. Gue udah bebasin lo, jadi jangan datang ke kehidupan gue lagi, makasih. Dan oh ya, jangan takut karena gue nggak pernah menyesal pernah kerja sama lo.” ucapnya tegas dengan tatapan mata yang tajam, cukup tajam untuk membuat kian sadar bahwa exel sudah bukan lagi seorang dominan manis yang masih dengan sukarela mengejar cintanya.

Pria manis itu menahan rasa sakit di hatinya juga air mata yang hendak turun dari binar indahnya saat melihat tidak ada perubahan pada tatapan exel kepadanya, masih dingin dan tidak terbaca.

Padahal, exel used to looked at him with such an adore staring, as he thinks kian is the most beautiful human being that he — exel, ever met. Iya, dulu.

Setelah perkataan terakhir yang dilontarkan oleh exel, si taurus yang pernah kian kenal sebagai sahabatnya itu berjalan meninggalkan nya begitu saja dengan keadaan pikiran yang kacau balau tanpa berniat untuk menanyakan pendapatnya kembali.

Background song : Illicit affairs — Taylor Swift


Kian menuruti kata hatinya untuk menemui Freya, adik Exel tepat di sekolahnya. Bukan semata-mata karena Kian terobsesi terkait pertemuannya dengan yang lebih muda melainkan lelaki cantik itu ingin mendapat sebuah gambaran besar sekaligus jawaban atas pertanyaannya selama ini yang ditujukkan kepada Exel.

Kian tidak mengerti, mengapa setiap kali Exel memiliki masalah, si taurus tidak pernah memiliki keinginan untuk menceritakan hal-hal crucial tersebut kepada dirinya. Memang, masa-masa awal dimana Exel menyatakan perasaannya kepada Kian adalah waktu-waktu tersulit bagi mereka karena Kian harus menyesuaikan diri dengan keegoisan Exel yang tidak kalah besarnya.

Namun lagi-lagi, Kian berhutang budi kepada Exel mengingat pria tampan itu sudah bersedia menjadi temannya disaat yang lain bahkan tidak peduli karena menganggap Kian terlalu apatis dan mementingkan diri sendiri. Namun, berbeda dengan Exel, bukannya menjauh, Exel justru semakin mendekat, semakin ingin tau sampai akhirnya jatuh cinta sendiri, hanya ia dan dirinya sendiri karena Kian tidak pernah menaruh hati kepadanya walau sedikit, waktu itu.

Bukan hal yang baik jika suatu persahabatan dibumbui perasaan cinta sepihak karena faktanya menyakitkan bahwa seseorang yang kau sukai bahkan tidak pernah menaruh intensi dalam hal romansa dalam perjalanan kisah kalian berdua.

Lalu, apa Exel peduli? Tentu tidak. Ia sudah berjanji kepada dirinya sendiri bahkan kepada Kian bahwa ia akan membahagiakan si aries dengan caranya sendiri. Exel akan memiliki Kian untuk dirinya sendiri, lelaki itu terlalu egois dengan hanya menginginkan Kian hanya untuk dirinya dan bukan orang lain. 

Exel juga sempat berkata bahwa, beban yang dipikul olehnya adalah murni beban pribadinya dan bukan untuk dibagi bersama dengan Kian mengingat lelaki itu hanya menganggap bonding mereka sebagai partner kerja dan sahabat. Exel hanya tidak ingin membebani Kian dengan rasa sedihnya, karena si model tampan kebanggan FRG itu tau bahwa Kian sudah cukup terbebani dengan perasaan cintanya kepada pria mungil tersebut.

Kembali ke Kian,

Setelah menempuh perjalanan kurang lebih lima belas menit, personal assistant kebanggaan Exel itu kini telah tiba di salah satu sekolah menengah atas dengan kategori elit yang diketahui sebagai tempat Freya mengenyam pendidikan.

Lelaki mungil itu memutuskan untuk memarkirkan mobilnya di seberang gedung berlantai empat tersebut sebelum melangkahkan kakinya menuju area sekolah. Namun saat hendak mengunci pintu mobil, jelaga hitamnya menangkap siluet yang begitu familiar,

“Freya sama … Exel?” ujarnya tak yakin.

Kian menyipitkan matanya sejenak, memastikan bahwa ia tidak salah lihat. Setelah memastikan dugaannya benar, si aries segera menyembunyikan dirinya di balik mobil, takut-takut jika di antara Exel dan Freya ada yang menyadari keberadaannya. 

Pria manis itu membuka kembali pintu mobilnya, memutuskan untuk memantau sepasang kakak-beradik tersebut dari dalam kendaraan roda empat yang dikendarainya.

Sedangkan di seberang jalan, Exel dan Freya terlihat memasuki mobil yang tidak Kian kenali sama sekali. Sepertinya itu bukan mobil milik Exel karena mobil tersebut memiliki nomor identitas kendaraan yang berbeda dengan mobil pribadi milik Exel yang biasanya lelaki itu gunakan baik dalam urusan pribadi maupun urusan pekerjaan.

Mobil mereka – Exel dan Freya bergerak meninggalkan area sekolah dengan kecepatan sedang. Tanpa basa-basi Kian segera memacu kembali gas nya membuntuti kedua orang tersebut.

“Ini arahnya kemana deh? Bukan ke rumah kayaknya?” tanyanya entah kepada siapa.

Dan benar saja, mobil di depannya melaju menuju salah satu rumah sakit swasta di Ibu kota.

“Jadi disini? Jauh banget berarti dari apartemen Exel, pantes dia absen.”

Kian lalu menundukkan dirinya di bawah dashboard mobil dengan alasan yang sama – takut bila ia ketahuan mengikuti Exel dan Freya dari salah satu diantara mereka. Begitu ia mengangkat sedikit kepalanya, Kian melihat sepasang adik-kakak itu sudah berjalan cukup jauh di depannya.

Begitu dirasa aman, Kian segera menegakkan sandaran kursi mobil sebelum keluar dan akhirnya bergegas mengikuti Exel dan Freya sebelum ia kehilangan jejak mereka berdua.

Langkahnya ia bawa dengan penuh kehati-hatian disambangi dengan tubuh yang sesekali bersembunyi dibalik tembok putih rumah sakit elit tempat dimana adik sahabatnya sendiri dirawat.

Sepuluh menit berjalan dengan menyusuri berbagai lorong akhirnya mereka sampai tepat di kawasan ICU dimana para pasien gawat darurat ditangani, tentunya kunjungan di ruangan tersebut juga terbatas. Setelah Exel dan Freya masuk, Kian memutuskan untuk menunggu dari balik pintu kaca yang menjadi pembatas antara ruang inap biasa dan ICU

Lelaki kelahiran china itu mengeratkan cardigan yang ia kenakan pada tubuh kecilnya, sembari beberapa kali memeluk dirinya sendiri karena terkena paparan dinginnya udara yang berasal dari alat pendingin ruangan yang terdapat disekitar tempatnya berdiri.

Dari pembatas ruangan ini, Kian dapat melihat wajah lesu semua anggota keluarga Exel dengan jelas. Ayah Danu dengan wajah lelah bersama jas hitam masih terpasang apik tubuhnya begitupun dengan Miko, lalu terdapat Bunda Tatjana yang dengan setia menatap ruangan dimana putrinya dirawat dengan tatapan sendu juga kuyu bersama Freya dalam pelukannya. 

Hanya Exel yang tidak ada disana, berarti hanya Exel yang diperbolehkan masuk. Kian juga tidak tahu mengapa namun berdasarkan penglihatannya, dapat disimpulkan bahwa Tiki dan Exel sangat dekat.

Tak beberapa lama, Kian melihat beberapa tenaga medis keluar dari ruangan tersebut dengan atribut lengkap seperti masker dan penutup kepala. Kian mengernyitkan dahinya bingung, ‘kenapa ya?’ – batinnya saat melihat para anggota medis berkumpul begitupun dengan keluarga Exel. Setelahnya ada beberapa perawat yang mendorong brankar rumah sakit dengan seorang perempuan cantik yang terbaring lemah di atasnya dengan berbagai peralatan rumah sakit yang menempel pada wajah cantiknya.

Melihat mereka semua berjalan menuju kearah pembatas pintu tempat dimana dirinya berdiri, Kian dengan segera menyingkirkan tubuhnya di balik tembok penghubung ICU dan lorong rumah sakit.

Setelah memastikan keluarga Exel telah berlalu dari sana, Kian lalu keluar dari tempat persembunyiannya,

“Mereka mau kem–”

“Kian?”

“Na– Exel?!”

– Namun sayangnya Kian salah memperkirakan bahwa semuanya telah benar-benar berjalan tanpa meninggalkan salah seorang pun di belakang sana. Tubuhnya berjengit kaget mendengar suara bariton yang berasal dari arah belakang. Begitu ia membalikkan tubuhnya, ia kembali dikejutkan dengan kehadiran sosok yang selama beberapa hari ini selalu sulit untuk ditemui dan sosok yang menjadi alasan utamanya kemari – Exel.

Keduanya memaku netra satu sama lain cukup lama sampai salah satu diantara mereka memutuskan untuk membuka topik pembicaraan, “lo…ngapain di depan ruangan Tiki?” adalah pertanyaan pertama sekaligus paling inti yang hendak Exel tanyakan kepada lawan bicaranya saat ini.

Si taurus bertanya dengan nada pelan. Cukup terkejut melihat sahabatnya sendiri berdiri di depan ruangan tempat dimana sang adik dirawat. Wajah Exel pun tak kalah kusutnya dengan wajah sang Ibunda, dapat dipastikan mereka berdua lah yang berjaga semalaman.

“A-anu, gue…”

Kian tergagap, agaknya ragu jika harus menjawab dengan alasan sebenarnya kenapa ia berada disini, ketahuan pula.

“G-gue…” 

Exel menatap Kian dengan tatapan kosong, ia sangat lelah karena tidak tidur seharian. Malam kemarin ia harus menjaga adiknya yang kembali tantrum hingga memuntahkan cairan cukup banyak dari dalam tubuhnya, membersihkan bekas muntahan tersebut sambil memantau perkembangan kondisi adiknya hingga fajar menjemput.

“Iya? Lo kenapa?”

Mendengar nada suara Exel yang tidak se-tegas biasanya, Kian memutuskan untuk menatap lelaki itu tepat di matanya dan,

DEG.

Hatinya mencelos begitu saja kala melihat gurat kelelahan di wajah Exel. Lelaki manis itu kemudian menggelengkan kepala – mengurungkan niatnya untuk mengatakan niat sebenarnya ia berkunjung kemari, “Nggak, nggak ada apa-apa. Gue… cuma pengen pastiin lo dalam keadaan baik.” katanya sambil tersenyum tulus. Ia tau diri, Exel sedang lelah. Kian tidak ingin menambahkan beban lelaki itu dengan kedatangannya kesini yang tidak direncanakan sama sekali tanpa melalui pembicaraan diantara keduanya. 

Exel balas senyuman manis itu dengan seberkas senyum simpul. Ia sudah tidak memiliki tenaga, pria taurus itu hanya ingin tidur untuk sekarang, “Gue baik. Makasih udah khawatir sama gue.” ujarnya pelan yang dibalas oleh anggukan singkat oleh Kian. “Cel –”

Abang!

Begitu Kian ingin melanjutkan kata-katanya guna memberikan semangat kepada yang bersangkutan, Exel sudah dipanggil oleh Ibunya. Lelaki itu menoleh ke arah si pemanggil lalu setelahnya mengangguk. 

“Cel, kenap –”

Namun sebelum Kian mampu menyelesaikan kalimat yang ingin dikatakan, Exel sudah memotongnya terlebih dahulu – “Ki, kayaknya Tiki udah sadar. Gue kesana dulu ya? Makasih banyak sekali lagi udah khawatirin kondisi gue, gue baik-baik aja. Tapi, yang sakit adik gue, bukan gue. Kalau lo udah nggak ada keperluan lagi, gue duluan, have a nice day, hun.” kata yang lebih muda sambil membawa langkahnya menjauh dari hadapan Kian, membuat lelaki manis itu menghela nafasnya dalam dalam sambil mengacak surainya kasar.

Damn it.” 

background song : hold me while you wait – lewis capaldi.


Kian menepati janjinya untuk menemui Exel di apartment lelaki taurus tersebut, persis setelah ia mengirimkan puluhan pesan yang tidak pernah di jawab oleh sang priayi — Exel.

Tubuh kurusnya ia dudukan tepat di depan unit yang Exel tinggali, guna menunggu artis asuhannya yang telah bekerja keras selama ini untuk pulang dan menemui dirinya.

Sesekali Kian mengadahkan kepalanya sambil menghidu sesaknya udara yang timbulkan karena pikirannya yang sedang risau.

Sedikitnya, lelaki manis itu menyesal karena ia tidak pernah mengenal Exel sebaik si taurus mengenalnya. Entah mengapa ada perasaan marah yang memuncak kala mengingat bahwa mungkin Exel tidak se-percaya itu padanya setelah sepuluh tahun mereka lewati sebagai sepasang sahabat.

Tentang perasaan, Kian tidak pernah menganggap hal tersebut serius. Lagi pula sejak kapan artis diperbolehkan untuk jatuh cinta kepada personal assistant nya sendiri?

Derajat mereka bagaikan langit dan bumi. Exel seperti berada jauh beribu-ribu jengkal dari permukaan tanah yang Kian pijaki. Walaupun sebenarnya ada secercah perasan nyaman dan bahagia yang dirasakan oleh Kian saat mereka melakukan hubungan intim atau menghabiskan waktu berdua, tapi hal itu tidak membuatnya semata-mata lalu melupakan siapa dirinya untuk Exel.

—Hanya seorang personal assistant yang dibayar fantastis untuk menjaga kehidupan artisnya agar tetap teratur dan sesuai dengan keinginan agensi tempat mereka bekerja.

Mengenang hal tersebut di dalam batin kecilnya sambil mengela nafas pelan membuat lelaki aries itu setidaknya lebih tenang dari sebelumnya. Kian harus tetap memegang teguh prinsipnya untuk tidak jatuh cinta kepada sahabatnya sendiri.

“Haaaah.” Pria manis itu mengusak surainya kasar sebelum lengannya ditahan oleh seseorang yang begitu Kian kenali wangi dan perawakannya.

Merasakan genggaman orang tersebut pada tangannya semakin mengencang, Kian memutuskan untuk mengadahkan kepala mungilnya guna melihat siapa yang berdiri dihadapan nya sekarang.

“Acel?”

Sang empunya nama tersenyum dengan sisa tenaganya yang telah tersedot habis karena menjaga sang adik di rumah sakit sejak dua hari lalu.

“Kenapa disini? dingin.” Katanya sembari memasangkan jaketnya ke tubuh yang lebih kecil.

“Darimana?”

Exel tidak menjawab. Lelaki taurus itu justru menggengam tangan sang lawan bicara untuk masuk kedalam apartment nya, karena ia tidak ingin menjadi perhatian publik jika mereka berbicara di ruang terbuka seperti ini.

Klek!

Begitu pintu apartment tertutup rapat, Exel tanpa basa-basi segera membanting tubuhnya pada salah satu sofa disana sambil memijit kening pelan. Ia lelah.

Lelaki taurus itu bahkan dalam dua malam ini hanya makan satu kali sebelum memutuskan untuk pulang. Ia masih harus kembali ke rumah sakit selama seminggu kedepan. 

Namun rasanya, untuk makan saja ia sudah tidak nafsu apalagi memikirkan keadaan adiknya yang sedang terbaring lemah karena kelainan yang di milikinya sejak kecil.

Raut wajah sang model begitu kusut. Layu seperti tak pernah mencumbu angin segar, tubuhnya terlihat tidak bertenaga terbukti dari seberapa lemah tangan itu tergeletak di samping tubuhnya sendiri. 

Bahkan Kian yang hanya melihat saja dapat mengatakan bahwa Exel memang sedang tidak baik-baik saja.

Mereka berdua duduk saling berhadapan dalam keadaan hening dengan pencahayaan seadanya dari tiny lamp yang diletakkan oleh Exel di nakas dekat tv.

Tadinya, Kian ingin bertanya, bagaiman hari lelaki itu? apakah menyenangkan karena dapat bertemu dengan keluarganya, atau? 

Namun sepertinya, tanpa bertanya pun

Kian sudah tau jawabannya.

Kini, lelaki manis itu hanya bisa terdiam membisu tanpa mengatakan apapun melihat Exel sedang tidak dalam keadaan baik untuk dimintai penjelasan, sesingkat apapun penjelasan yang hendak disampaikan.

Kian memainkan jari-jari kukunya yang dirawat dengan sebaik mungkin. Mencari momen yang tepat, kapan ia harus berbicara. Karena jujur, selama bekerja menjadi personal assistant seorang Exel Lewis, Kian baru pertama kali melihat Exel se-tidak berdaya ini.

Biasanya walaupun lelaki itu lelah dan sibuk. Ia akan selalu menyempatkan diri untuk tersenyum dan bercanda bersamanya. Mereka akan meneguk segelas anggur di akhir hari yang cukup melelahkan untuk mengusir penat yang sempat hinggap walaupun tidak lama.

Pemandangan di depannya yang menampilkan sang artis tertidur dengan menutupi kepala dengan satu tangannya sungguh suatu hal baru yang tidak pernah Kian imajinasikan sebelumnya.

Exel itu sangat tertutup, ia tidak akan pernah mengeluh lelah sekalipun tengah berdarah-darah dalam menghadapi badai kehidupan.

Lelaki itu merupakan tipikal orang yang sangat sulit mengekspresikan emosinya hingga semua rasa marah dan ego lenyap begitu saja tanpa pernah menerima maaf dari siapapun penyebab sakit hatinya.

Lama termenung dengan pikiran masing-masing. Baik Exel, maupun Kian tidak ada yang berani membuka pembicaraan. 

Exel hanya ingin ditemani tanpa di tanyai ini dan itu, sedangkan Kian, ia butuh penjelasan. Ia butuh penjelasan, perasaan sakit macam apa yang sedang Exel rasakan sekarang, biar setidaknya ia tau apa yang harus dilakukan untuk membuat perasaan lelaki itu menjadi lebih baik.

Ehm, cel ...”

“—Kemarin ... setelah gue pulang nganterin lo. Bunda nelfon, katanya penyakit adik pertama gue kambuh sampai dia udah ngigo dan ngomong hal-hal diluar batas pemikiran manusia.”

— Sebelum Kian berniat membuka percakapan diantara mereka. Exel sudah memotongnya terlebih dahulu, karena ia tahu tujuan Kian kemari adalah untuk memuaskan rasa penasarannya kenapa ia tidak melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya selama dua hari kemarin.

“Waktu bunda telfon, gue denger ada suara muntahan yang gede banget dan dari suaranya aja gue udah bisa tebak kalau itu suara adik perempuan gue.”

Sang bintang kamera melanjutkan cerita tanpa berniat mengubah posisi berbaringnya untuk sekedar duduk atau bersandar pada bantalan sofa, dengan posisi salah satu tangannya yang masih menutupi wajah, Exel melanjutkan ceritanya,

“Gue ... nggak pernah takut hal apapun dimuka bumi ini, selain kehilangan. Karena rasa sakit yang nggak pernah bisa di obati, adalah rasa sakit karena kehilangan.“ 

Suaranya memelan di akhir walaupun lelaki itu masih lebih dari sekedar kuat untuk melanjutkan ceritanya, namun jika Exel harus mengingat kembali rasa sakit yang dirasakan oleh adiknya beberapa hari ini sepertinya ia tak akan sanggup.

“Tiki itu spesial, Ki. Gue nggak peduli mau berapa banyak orang di muka bumi ini yang bilang kalau ayah dan bunda itu sial karena udah melahirkan Tiki. Tapi menurut gue, Tiki itu berkat paling besar yang pernah Tuhan percayakan untuk keluarga gue.”

“Gue bersedia bayar berapapun dengan apapun asalkan semesta mau berbaik hati untuk nggak berbuat jahat sama Tiki.”

Lelaki tampan kelahiran Surabaya itu kemudian membuka matanya perlahan sambil menerawang jauh keatas, membayangkan sebahagia apa keluarganya dulu hingga sekarang walaupun sering dikutuk karena membesarkan seseorang yang tidak sempurna sedari kecil, si tampan lalu tersenyum kecil tanpa mengalihkan pandangannya ke arah lawan bicara,

“Maaf kalau gue kekanakan. Main pergi itu aja tanpa kasih tau lo dan bang Dave kalau gue ada kepentingan keluarga. Gue cuma mau kalian tau satu hal dari gue Ki. Buat gue, kalau suatu saat gue kehilangan apa yang menjadi impian gue dari kecil, itu masalah biasa. Uang dan pekerjaan masih bisa gue cari lagi. Tapi, kalau gue harus kehilangan orang yang gue sayang, mau cari dimana lagi yang kayak mereka?”

Kian yang sedari tadi hanya mendengar ungkapan hati pria yang telah menyukai nya selama kurang lebih delapan tahun itu, tidak mampu mengatakan apapun, yang bisa ia lakukan hanyalah memusatkan atensinya kepada Exel, agar lelaki itu tidak merasa sendiri.

Matanya turut berkaca-kaca mendengar penuturuan Exel tentang keluarganya. Kian adalah seorang anak tunggal dari keluarga yang bisa dibilang cukup harmonis walaupun ayah dan ibunya sudah lama berpisah. Setidaknya Kian bisa paham walaupun tidak banyak tentang bagaimana sakitnya kehilangan seseorang yang kita sayangi.

Sedangkan Exel, lelaki itu memanjangkan tangannya menuju nakas di samping sofa guna meraih sebuah bingkai kecil yang selalu ia letakkan disitu, fotonya bersama Tiki ketika mereka masih sangat kecil.

Dirinya baru berumur empat tahun, dan tiki berusia dua tahun saat foto itu diambil. Exel menatapnya dengan kebahagiaan hati yang membuncah saat lelaki itu menyadari bahwa ia rela memberikan seluruh dunianya kepada sang adik. Exel rela, sungguh.

Sambil mengusap foto tersebut dalam posisi duduk, Exel melanjutkan penjelasannya yang sempat terhenti tadi kepada Kian,

“Gue ... cuma nggak mau kehilangan. Itu aja, Ki. Sisanya gue serahkan ke yang maha kuasa. Dan, oh iya soal pembahasan kita kemarin malam —”

“Cel —” 

Kian hendak menghentikan topik pembicaraan yang diungkit oleh Exel sendiri, namun sepertinya Exel lebih memilih untuk menuntaskan semuanya saat ini juga. Ia sedang lelah, dan tidak ingin membuat semuanya menjadi lebih rumit. Jadi, guna mengatasi hal tersebut, Exel menampakkan senyum terbaiknya walaupun sedang dalam suasana hati yang buruk, tak lupa menatap dalam-dalam netra sosok lelaki yang telah ia cintai sedari dulu dengan tatapan yang menyiratkan raut kelelahan bukan main sambil berucap,

“Untuk perasaan gue, maaf Ki. Maaf karena gue belum mau menyerah. Gue mau perasaan cinta gue ke lo, memang benar-benar habis di orang yang bersangkutan, supaya nantinya di masa depan nggak akan pernah ada Exel yang sama lagi. Gue mau, gue harus bahagia di masa depan walaupun nggak sama lo. Gue nggak mau bohongi diri sendiri, Ki. Kalau suka, gue bakal nunjukkin terang-terangan kalau emang suka. Kalau nggak, ya nggak. Gue nggak mau nantinya perasaan yang nggak pernah selesai di orang yang tepat, justru jadi bom kehidupan buat gue kedepannya sama orang baru. Jadi, gue mohon Ki. Gue mohon, izinin gue buat habisin semua rasa suka selama sembilan tahun ini, sebelum akhirnya gue memutuskan untuk mencari jalan bahagia yang lain, ya?”