243
WARN! mentioning abortion.
Tok! Tok! Tok!
Seorang wanita paruh baya mengetuk pintu rawat inap dihadapannya perlahan sebelum menggeser benda persegi panjang tersebut guna menjadi jalan masuknya ke dalam tempat yang dituju.
Dari tempatnya berdiri, ia dapat melihat presensi sang anak tengah yang sedang membersihkan beberapa keperluan si pasien hingga tidak menyadari keberadaannya.
“Bang?” panggilnya setengah berbisik.
Sosok yang lebih tinggi langsung saja mengalihkan pandangannya begitu ia tau siapa yang menjadi pengunjung di siang hari ini. “Bunda? Udah sampai?”
Sang bunda mengangguk, “baru aja. Gimana keadaan kian?”
Exel tersenyum tipis, “begini aja ndaa dari kemarin, belum ada perkembangan signifikan.”
Ivone yang mendengar jawaban lirih sang anak tanpa basa basi membuka kedua tangannya lebar-lebar untuk dipeluk oleh sang putra. Ia tahu exel sangat membutuhkan hal ini. Sebagai seorang ibu, Ivone bisa mengerti bagaimana perasaan anaknya yang begitu terpukul saat kekasihnya melakukan tindakan aborsi tanpa kesepakatan dari kedua belah pihak.
Walaupun belum diketahui penyebab utamanya adalah apa, namun kehilangan seorang bayi sebelum berhasil dilahirkan adalah sejatinya bencana bagi setiap calon orangtua baru.
Wanita cantik itu kemudian mengusap pundak lebar exel perlahan sambil terus berusaha menenangkan putra kedua nya, “abang yang sabar ya nak ... nggak semua hal harus ada penjelasannya kenapa. nggak semua tanya harus ada jawabnya. terkadang lebih baik kita nggak tahu sama sekali dan ngga memelihara benci, dari pada tahu, lalu semuanya makin nggak terkontrol.” jelasnya lembut kepada exel.
Exel yang berada dalam pelukan ibunya, hanya terus menyembunyikan wajah dari balik punggung sempit sosok yang sudah melahirkannya 23 tahun lalu.
“Bunda tau, abang pasti kecewa. Tapi coba abang pikir-pikir lagi. Kalau abang ada di posisi kian, kira-kira abang bakalan kayak gimana? It must be hard for him too, bang. Cuma bedanya kian nggak nunjukkin dengan jelas kalau dia lagi kesusahan.” lanjut bunda.
Ibu dari empat bersaudara itu kemudian melepaskan pelukan keduanya. Menangkup kedua pipi sang pangeran tampan yang telah ia lahirkan sambil mengusap pipi tirus itu perlahan, “abang harus kuat, harus sabar, ya? Kalau berat, coba buat maafin kian pelan-pelan. Nggak usah terburu-buru. Kalau memang buat abang semua terlalu sakit, coba diingat-ingat hari bahagia sama kian, coba ingat-ingat lagi abang semenjak kenal kian nggak pernah manja lagi lho ke bunda... selalu ke kian. Coba diingat-ingat siapa yang bilang ke bunda mau punya keluarga kecil sama kian? Jujur bang, bunda berterimakasih sama kian. Look at you, bang. Kamu jadi seperti sekarang karena support paling besar datang dari kian.” ucap bunda dengan nada gemetar.
Ivone masih ingat, dulu saat exel si anak remaja berusia 18 tahun mengatakan bahwa ia akan menjadi model, Ivone sangat tidak setuju. Ia lebih menginginkan Exel bersekolah dalam bidang kesehatan atau bidang pembangunan.
Namun ketika Exel bilang bahwa ia juga ingin menghidupi seseorang yang dikasihinya dengan menjadi model, maka Ivone tidak punya pilihan lain selain mengiyakan perintah exel. Hubungan mereka sempat renggang, sebelum akhirnya exel membawa seseorang yang ia katakan sebagai 'cinta pertama dan terakhirnya' karena exel bilang, dia hanya jatuh cinta kepada sosok tersebut, tidak ada yang lain.
Masih basah diingatannya, Kian yang begitu polos dan pemalu, datang bertamu di rumah mereka, menawarkan diri untuk membantunya bekerja tanpa menghiraukan exel yang terus menerus mengemis perhatian darinya.
Ivone masih ingat, saat exel sakit parah karena jadwalnya yang padat, Kian adalah orang pertama yang Ivone temui sedang menjaga dan menyuapi putra tampannya.
Sejak saat itu, Ivone tau bahwa anaknya jatuh cinta kepada orang yang tepat.
Lamunan wanita berkepala empat itu pecah, ia hanya... tidak tahu harus merespon kejadian yang menimpa Kian seperti apa. Dengan tatapan sendu juga sapuan halus pada pucuk kepala sang anak, Ivone meminta satu hal, “kalau bunda boleh egois bang, kalau bunda boleh minta, bunda mau abang dan kian saling percaya. Saling jatuh cinta seperti keadaan kalian yang semestinya, bunda mau abang sama kian nggak pernah ninggalin satu sama lain. Bunda mau lihat dua anak bunda yang manis dan ganteng ini, bersatu di depan altar, sampai kakek-nenek. Abang janji sama bunda, nak?”
Tanpa bertele-tele, Exel mengiyakan permintaan bundanya dengan bulir bening yang masih setia menuruni pipi kurusnya, “exel janji, nda. Exel ngga mau kehilangan kian, bun. Dokter bilang, kalau Kian terlambat di bawa ke rumah sakit, bisa aja dia udah nggak disini sekarang. Karena resiko infeksi rahim itu bisa berujung kematian.”
Ivone memejamkan matanya, menelan saliva dengan susah payah. “Sssst, yang penting kian masih disini. Masih berusaha buat bangkit dan hidup lagi. Kian pasti sehat, pasti.”
Exel mengangguk, ia yakin walaupun membutuhkan waktu yang lama. Kian akan sembuh, Kian akan bangun untuknya.
Lelaki taurus itu kemudian melepaskan genggaman tangan bundanya sebelum beralih mengecup dahi yang lebih tua, di ikuti dengan sang bunda yang turut melakukan hal serupa.
“Cepat sembuh, nak. Kian kuat, kian pasti bisa.” bisiknya lirih pada telinga sang kekasih hati dari putranya yang sudah ia anggap seperti anak kandungnya sendiri.
“Abang titip kian sebentar boleh nda? Abang mau keluar sebentar buat ambil selimut baru.”
Ivone mengangguk, “boleh dong, pergi aja bang.”
Selepas kepergian Exel, Ivone memutuskan untuk menata kembali pernak pernik yang sekiranya perlu dirapikan di ruangan inap milik si calon menantu.
Kadang-kadang ia tak lupa mengajak kian untuk berbicara walaupun tangannya sedang mengatur kembali bunga yang dibelikan exel beberapa hari lalu.
“Kamu tau ngga dek? Bunda baru sadar kalau ternyata si abang bucin banget sama kamu. Kamarnya di rumah penuh semua sama foto kamu.” ujarnya sambil tersenyum.
Ivone pernah tidak sengaja membersihkan kamar exel yang sudah lama tidak ditempati saat ia memutuskan untuk tinggal sendiri. Dan sebenarnya kalau dibilang terkejut, tidak juga. Namun Ivone tidak menyangka bahwa anaknya memang sudah menjadi pengnut budak cinta akut terhadap kian.
“Kalau diingat-ingat lucu juga. Abang bilang kamu dulu cueeeeeek banget sama dia. Katanya abang udah coba minta ID line kamu sepuluh kali tapi ditolak mulu, hahaha...”
“Maafin abang ya dek ... memang anaknya agak agresif. Kalau abang ada buat salah sama kamu, maafin abang ya dek. Kalian baik-baik terus ya? Bunda kangen diisengin kamu sama abang.” ungkap Ivone tulus.
Jemari lentiknya terlulur mengusap surai halus kian dari balik selang oksigen yang terpasang apik pada bagian wajahnya.
Ivone kemudian mendudukan tubuh kurusnya di samping ranjang kian, tepatnya pada kursi yang selalu ditempati oleh exel saat sedang menjaga kian. Tangannya mengambil salah satu tangan kian yang terbebas dari infus untuk digenggam sembari dikecup manis.
“Cepat sembuh, anak cantiknya bunda .. Pasti berat banget buat kamu ya dek? Sampai-sampai kamu memilih jalan terakhir yang bisa membahayakan diri kamu sendiri?”
Lagi. Matanya Ivone berkaca-kaca lagi saat mengajak kian berbicara. Entah mengapa hatinya terasa berat, tidak nyaman, saat tahu bahwa kemungkinan besar Kian menggugurkan kandungannya terlebih dahulu.
Namun Ivone yakin, pasti ada alasan kuat dibalik itu. Air matanya jatuh mengingat seberapa besar beban yang ditanggung oleh Kian sampai bisa ada di titik ini. Hatinya sebagai seorang ibu ikut terluka, entah mengapa.
Saat sedang sibuk dengan pemikirannya sendiri. Ivone sampai tidak sadar bahwa satu satunya pasien disana mulai membuka matanya secara perlahan. Jari jemarinya bergerak acak sebagai pertanda ia telah bangun dari tidur panjangnya selama kurang lebih empat hari dan tiga malam.
“Acel....”
— adalah kata pertama yang meluncur dari bibirnya. Namun karena masih terlalu lemah untuk berbicara, suaranya tidak terdengar sama sekali oleh sosok yang sedang sibuk menangis disamping tempat tidurnya.
Dia — kian. Mencoba menggerakan jemarinya yang sedang digenggam oleh Ivone. Mengangkat jari telunjuknya agar Ivone peka bahwa ia telah sadar.
Ivone yang merasa bahwa ada gerakan tidak wajar dari seseorang yang sedang koma, akhirnya memberanikan diri untuk melihat apa yang terjadi.
“Acel...”
Dan begitu Ivone mengadahkan kepalanya, wajah pucat kian dengan kedua mata telah terbuka walaupun sayu adalah hal pertama yang menyambutnya.
“D-dek? Kamu bangun sayang?”
Karena tidak bisa menggerakan kepalanya karena pusing, akhirnya kian hanya mengedipkan kedua matanya.
“Sebentar, bunda panggilkan dokter.”
Dengan begitu, Ivone menekan alarm dokter di dekat nakas tempat tidur untuk memanggil para medis yang bertugas. Sambil menunggu dokter, wanita dengan senyum manis itu menutup mulutnya tidak percaya, kian sudah sadar. Suatu keajaiban besar, setelah ini ia harus menghubungi exel.
“Bunda kangen sayang, jangan sakit, hm?” ucapnya sambil mengecup punggung tangan kian.
Sepuluh menit setelah pemeriksaan selesai dilakukan, Ivone berbicara sebentar dengan para dokter karena exel belum juga kembali. Ivone belum sempat menghubunginya karena sibuk mengikuti prosedur yang diberikan oleh para perawat untuk tetap berada disamping kian.
“Keadaannya sudah cukup stabil, hanya saja setelah ini pasien dilarang keras melakukan pekerjaan berat dan mengonsumsi alkohol atau tembakau yang bisa saja merusak kinerja rahimnya. Bakterinya sudah kami bersihkan lewat operasi darurat kemarin, mungkin bagian vitalnya akan terasa sakit untuk beberapa hari bahkan minggu kedepan. Tapi, kami sudah berikan antibiotik, jadi sebisa mungkin diselingi dengan gizi yang cukup karena pasien harus mengonsumsi antibiotik untuk waktu yang lama.”
Ivone mengangguk mendengar penjelasan dokter, “terimakasih, dok.”
“Sama-sama. Kalau begitu kami izin pamit, cepat sembuh untuk pasien kian.”
Ivone tersenyum, “terimakasih, dok.”
Sepeninggal pada dokter dan tim medis, Ivone langsung menyambangi kian yang masih terduduk lemas di ranjangnya, “jangan banyak gerak dulu, dek. Perutnya masih sakit?”
Kian mengangguk lemah. Ivone kemudian sebisa mungkin memberikan kenyamanan pada calon menantunya, wanita cantik itu membersihkan wajah kian dengan pembersih wajah, tak lupa memakaikan sedikit pelembab bibir agar si manis kesayangannya tidak terlihat terlalu pucat.
“Nanti ada ab—”
CKLEK!
Belum sempat Ivone menyelesaikan kata-katanya, seseorang membuka pintu ruang inap kian tergesa-gesa tanpa sepatah kata pun langsung berlari menuju ranjang pasien yang baru saja sadar satu jam yang lalu.
Grep.
Lelaki dominan yang baru saja datang itu menyambar pelukan kian dengan sangat erat. Bibirnya tidak henti mengucap syukur, matanya berkaca-kaca seakan tidak percaya bahwa seseorang yang ia tunggu selama ini sudah bangun dari tidur panjangnya. Ivone yang menyaksikan tindak impulsif anaknya menerbitkan senyum tulus, ah sudah lama rasanya, Ivone tidak melihat mereka berdua berpelukan semanis ini.
“Pelan-pelan aja dong bang, kian kaget tuh.” ucap sang Ibu jenaka.
Exel menggeleng dalam posisinya yang sedang memeluk kian. Bibirnya kemudian bergerak mengecup pucuk kepala sang terkasih, “i miss you, i miss you, i miss you.” ucapnya tiada henti.
Kian yang masih shock dengan apa yang terjadi, tangannya terangkat ragu-ragu saat ingin memeluk Exel, namun Ivone yang sedang memandang mereka berdua, mengangguk kepada kian seolah berkata, 'peluk balik abangnya.'
Mereka berdua — Exel dan Kian, mengesampingkan ego dan masalah yang terjadi mereka beberapa bulan belakangan ini mencoba meraih tubuh dan jiwa raga satu sama lain dalam dekapan hangat.
“Maaf...” ucap yang lebih tua dengan lirih.
Masih dalam kondisi saling berpelukan, Exel menggeleng dalam dekapan keduanya. Bibirnya tiada henti mengecup sisi kepala si manis pertanda ia bersyukur.
“Jangan ngomong apa apa dulu. Gue cuma mau lo sembuh. Let's throw our ego into the bin, hun. So that we could live happily as we should, hm?”
Dan ketika kian mengangguk, Exel melepaskan pelukan keduanya. Menangkup pipi tirus yang tadinya sangat berisi, sebelum mengecup dahi si aries dalam-dalam.
“Cepat sembuh, gue disini buat lo, gue sayang sama lo, hun.”