poseidoonss

Exel berbeda. Kian menyadari perilaku artis asuhannya itu tidak seperti biasanya saat mereka bertemu pada hari kerja atau bahkan jika mereka menghabiskan waktu bersama pada hari libur diluar jam kerja.

Jika biasanya Exel akan cerewet dengan segala keluh kesahnya tentang Kian — ntah itu, penampilan Kian yang terlalu cantik atau menurutnya pesona Kian yang dapat membuat siapa saja menyukai lelaki manis tersebut dapat membuat saingan si taurus itu bertambah untuk menjadikan Kian sebagai tambatan hati dan pilihan hidup, namun kali ini tidak, si tampan itu terlihat lebih diam dan tidak banyak merespon pertanyaan Kian.

Dan jelas Kian tidak bodoh untuk menyadari perubahan sikap Exel dari tadi, bahkan sebelum mereka berdua duduk dan makan, sampai sekarang saat mereka tiba dalam perjalanan pulang menuju rumah kediaman Kian.

Suasana hening di mobil sungguh tidak enak karena keduanya saling terdiam tanpa berbicara sepatah kata pun. Biasanya jika sudah seperti ini maka Exel akan secara spontan mengambil tangan mungil milik Kian untuk dikecup dengan penuh kasih sayang.

Tapi sayangnya, kali ini hal tersebut tidak berlaku bagi pasangan PA dan artis tersebut karena lelaki yang diakui sebagai artis asuhan Kian itu sedang sungkan untuk berinteraksi. 

Sedari tadi hanya mata dan tangan si taurus yang bergantian mengontrol lalu lintas sembari mengeratkan pegangannya pada setir mobil guna mengantar mereka ke tujuan terakhir perjalanan hari ini.

“Udah sampai. Gih, masuk. Lo harus istirahat, maaf gue ajak lo makan malam-malam begini. Good night hun, have a nice dream.” katanya tanpa melihat ke arah sang lawan bicara sama sekali. Dan tentu saja hal itu membuat Kian tersinggung karena ia merasa bahwa Exel sedang berbicara dengan benda mati saat ini.

Lima menit berlalu, tidak ada tanda-tanda Kian akan turun dari mobil sang empunya. Lelaki cantik itu justru menyandarkan tubuhnya pada kursi penumpang sembari melipat kedua tangannya di depan dada.

“Hun?“ 

Hening.

“Hun, lo—”

“Lo kenapa?”

Exel mengerutkan keningnya pertanda tidak mengerti dengan pertanyaan yang dilontarkan Kian kepadanya, “maksudnya, kenapa gimana?”

Kian memalingkan wajahnya ke samping sembari mendecih malas, “lo pikir gue ngga tau kalau sikap lo dari tadi aneh?”

“Hun —”

“Lo seakan ga nggangep gue ada. Lo bahkan ngga niat cerita sedikit pun. Sedari tadi cuma gue yang berusaha buka obrolan sampai keliatan kayak orang bego di restoran ramen tadi. Bahkan gue sampai bela-belain chat lo walaupun kita lagi depan-depanan karena gue tau lo lagi nggak mau ngomong.”

Pria mungil itu kemudian menghadapkan tubuhnya kepada si taurus sambil menyandarkan tubuhnya pada pintu mobil tempatnya menyamankan diri, “Sialnya lagi, gue nggak tau alasan lo kayak gini sebenarnya apa?”

“Hun, gue —”

“Lo pikir dunia ini cuma berputar di lo aja? Lo pikir semua orang harus bisa ngertiin lo bahkan di keadaan dimana mereka sendiri nggak tau kalau mereka sendiri sebenarnya salah apa?”

“Ki —”

“Dasar emang dari dulu tuh lo nggak pernah ngotak kalau bertingkah. Sifat lo yang kayak gini selalu jadi beban pikiran buat setiap orang yang deket sama lo karena sistem silent treatment lo yang bodoh ini, asal lo tau.”

Dan dengan begitu Exel hanya bisa terdiam mendengar semua tuduhan asal yang dikatakan oleh Kian kepada dirinya. Memangnya Exel bisa apa selain diam dan mendengar? Dirinya terlalu bodoh untuk sebatas mendebat Kian hanya karena rasa cintanya yang terlalu besar kepada lelaki aries itu melampaui perasaan marahnya sekalipun.

“Ki...”

Tidak ada jawaban.

Exel menjeda ucapannya tanpa berani menatap netra sang lawan bicara hanya karena ia takut —

“Gue nggak suka.”

Kini giliran Kian yang mengerinyit heran, “maksud lo?” Exel mengetapkan bibir tipisnya sebelum mengemban senyum palsu, “Gue nggak suka waktu lo bilang, lo nggak mau nikah sama gue karena sifat gue yang kayak bocah nggak jelas, gue —”

Kian terkekeh hebat, lucu pikirnya. Lelaki manis itu kemudian menghela nafas singkat lalu meniupkan helai poninya yang sudah memanjang, sebelum melanjutkan perkataannya,

“Gue nggak peduli sama perasaan lo. Gue nggak akan pernah jatuh cinta sama sahabat sendiri walaupun lo udah berulang kali tidurin gue. Urusan ranjang, urusan kita berdua. Tapi soal perasaan, itu urusan lo sendiri. Karena gue, nggak akan pernah suka sama lo.”

ia takut — Exel takut, jawaban yang diberikan oleh lelaki pujaannya adalah jawaban yang paling menyakitkan yang tidak pernah ingin ia dengar sampai kapanpun.

warn : intermezzo – now!

background song : Run – Jo Yuri

Raid’s note : Please, kalian harus baca ini sambil dengerin lagu yang aku taruh di quote ya, biar lebih ngefeel!


Exel atau akrab dipanggil Acel oleh teman-teman semasa kecilnya adalah seorang model sekaligus aktor yang bisa dibilang terkenal karena kegigihannya dalam mengejar karir walaupun dapat di kategorikan sebagai pendatang baru dengan jenjang umur yang masih muda.

Pria 23 tahun itu sudah menjalani debut karirnya selama 3 tahun dibawah sebuah agensi besar yang melejit karena menaungi banyak artis besar di kancah internasional.

Namun sayangnya dengan paras yang tampan, karir dan pendapatan yang sempurna. Exel rupanya hanya seorang manusia yang tidak luput dari ketidaksempurnaan.

Kisah cinta lelaki taurus itu agaknya, tidak berjalan dengan baik sekalipun ia dikelilingi oleh ribuan bahkan jutaan wanita dan submissive cantik.

Exel hanya menginginkan seseorang yang telah ia tunggu sedari lama, —bahkan sejak ia masih duduk di bangku sekolah menengah pertama. Ia masih mengingat dengan jelas janji yang ia ucapkan kepada sosok tersebut jika kelak mereka bersama.

“I'll make us stick on together, all the time.”

—Dan itu nyata adanya. Exel hanya mempertahankan satu nama di hatinya meskipun ia telah sukses bergelimang harta dengan menjadi dambaan semua orang. Tapi bak punuk merindukan bulan, cinta yang sama tak kunjung datang. 

Sosok itu berada sangat dekat dengannya, bagaikan denyut nadi yang terus mengalir dalam tubuh. Namun, perasaan dan hatinya sangat sulit digapai. Exel berusaha, pria tampan itu tidak pernah lelah mencintai walaupun kerap ditolak.

Lagi, jika itu berbicara tentang sentuhan fisik, maka hubungan mereka sudah sangat jauh, terlalu jauh untuk ukuran seorang artis dengan personal assistant nya sendiri.

Terkadang Exel mempertanyakan berbagai pilihan dalam hidupnya. ‘Apakah jalan ini yang paling benar?’ atau, ‘Apa aku melakukannya dengan baik?’ Namun jika berbicara tentang seseorang yang ia cintai selama belasan tahun, membuatnya seolah kehilangan diri sendiri karena terus memberikan kasih tanpa berharap kasih itu akan kembali kepada dirinya dari sosok yang begitu ia inginikan hadir dan eksistensinya sekarang ini.

Beralih ke situasi sekarang, dimana seorang Exel Lewis sang aktor dan model ternama tengah berbusana seadanya lengkap dengan masker dan topi guna menghindari rumor yang beredar di kalangan fans maupun selebiriti. Lelaki tampan dengan tinggi 177 cm itu mendudukan dirinya pada salah satu bangku cafe yang terlihat sepi.

Katanya, cafe ini adalah tempat terakhir kali personal assistant nya bersama dengan sang manajer melakukan acara makan siang mereka. Exel ingin menyusul karena sungguh ia hanya ingin tau kenapa personal assistant nya yang merangkap sebagai sahabat sekaligus cinta bertepuk sebelah tangannya itu begitu sensitif hari ini.

Tensi obrolan diantara mereka sungguh buruk. Jika biasanya Kian akan menyiapkan keperluan nya setelah mereka tidur bersama — jangan kaget tentang ini karena mereka melakukannya berdasarkan persetujuan bersama tanpa ada pemaksaan di dalamnya. 

Semuanya terjadi begitu saja saat Exel terbiasa pulang dalam keadaan mabuk dan tidak sadar bertindak diluar batas kepada Kian yang awalnya ditolak mentah-mentah hingga terjadi perang dingin diantara mereka.

Namun setelah perjuangan yang melelahkan dari seorang Exel Lewis, akhirnya Kian mau berbicara lagi kepadanya walaupun dengan suasana hati yang selalu buruk. Mereka tidak bisa meninggalkan satu sama lain karena telah berjanji untuk menggenapi apa yang menjadi cita-cita mereka bersama kedepannya, obrolan-obrolan seperti ;

“Kalau gue jadi artis, lo harus jadi asistennya sih.”

“Ogah!”

“Lah? Katanya pengen kerja sama artis?”

“Ya, tapi bukan sama lo juga!”

“Liat aja nanti, lo bakal jadi istri sekaligus personal assistant gue.”

“Gue sih ogah.”

— Merupakan sedikit dari gambaran obrolan keduanya saat mereka masih duduk di bangku kelas tiga SMA, dimana semuanya masih dianggap biasa saja dan hanya sebatas candaan yang tak patut dianggap serius.

Namun lihat? Sang dominan sepertinya jatuh terlalu dalam hingga tak mampu untuk bangkit, sedangkan lelaki pilihannya tidak terihat terusik sama sekali dan justru nyaman-nyaman saja dengan keadaan mereka yang sekarang. 

Memikirkan hal-hal tersebut membuat sang priayi kembali tersenyum namun kali ini dengan penuh kepahitan mengingat sepertinya ia benar-benar ditinggalkan di cafe sepi ini sendirian sambil bernostalgia tentang begitu inginnya seorang Exel Lewis untuk membawa cinta pertamanya menjadi cinta terakhir untuknya juga.

Tak sanggup dengan pikirannya yang semakin ditarik ke belakang, Exel kemudian bangkit dari tempat duduknya sambil menghela napas pelan. Memasang kembali masker juga topi sebagai alat penyamarannya. Lalu hendak melangkah keluar dari sana, sebelum —

'Hai, it might be to late. Tapi, gue cuma mau bilang, selamat untuk pencapaiannya selama dua puluh dua tahun ini. Semoga terus menjadi seseorang yang senantiasa menaruh kasih pada orang lain, termasuk gue sendiri. Lo pasti terlalu capek dan sibuk untuk ini, tapi – Selamat panjang umur, acel, Maaf seharian ini bikin lo bingung dan murung, itu cuma bercanda by the way! Happy getting better, my one and only E!'

 Ada sebuah suara yang berasal dari salah satu sudut kafe tersebut yang di lengkapi dengan temaramnya cahaya lampu yang menemani beribu lembar foto yang berputar pada endoskopi ruangan tempatnya berpijak. 

Tepat setelah rekaman itu berakhir, Exel menemukan seseorang yang menjadi sumber kalang kabutnya seharian ini sedang berdiri menampilkan presensi cantiknya yang tidak pernah berubah dari dulu sambil memegang sebuah kue berbentuk hati yang bertuliskan 'happy getting better, cheers to 23!' diantaranya.

Di belakang sosok lelaki yang dicintainya ada Dave sang manajer yang melihat keduanya dengan tatapan manis penuh puja. Paling tidak, lelaki matang berusia 27 tahun itu paham bahwa kedua anak adam itu sedang di mabuk cinta, hanya saja sulit untuk mengungkapkannya saat mereka sudah terjebak dalam status persahabatan.

Kembali kepada Kian dan Exel, keduanya sibuk berpandangan dengan binar kagum yang dilemparkan kepada satu sama lain. Yang lebih muda pinggang yang lebih tua untuk ia rengkuh dalam peluk hangatnya tak lupa mengistirahatkan kepalanya pada pucuk kepala sang submissive,

“I... thought that you were mad at me. I was so scared, hun. Please don't be like that, hm?” ujarnya lembut sambil mengusap pinggang si lawan bicara. 

Kian menggangguk dalam pelukan keduanya, pria mungil itu membebaskan salah satu tangannya guna mengusap pundak lebar sang dominan, “I'm sorry. Itu idenya dave, hehe. Sekarang, ayo tiup lilinnya! Happy 23rd, Acel.“ 

Mendengar jawaban menggemaskan dari yang terkasih, si taurus juga turut mengganggukan kepalanya pertanda mengerti. Pria yang akrab dipanggil Acel itu kemudian melepaskan pelukan mereka berdua sebelum beralih meniup lilin sesuai instruksi,

Fyuhh!

Begitu lilin tersebut padam, dominan tampan itu kemudian merengkuh kedua pipi tembam di hadapannya guna ia puja dengan segenap jiwa raga.

Begitu cantik dan indah. Exel akan menjadikan wajah ini menjadi satu satunya figur yang akan pertama kali ia lihat saat terbangun, dan figur terakhir yang ia kecupi saat hendak memasuki alam bawa sadarnya.

Jemari panjangnya terulur menyingkirkan kumpulan rambut halus disekitar dahi milik Kian sebelum beralih mengecup kedua keningnya dengan penuh kasih.

“Thankyou, hun.” ucapnya tulus.

warn! vagina sex, rimming, contain A LOT of local porn words, misgendering, mpreg, mentioning normal labour, sorry for typos.


Klik!

Kenneth membuka pintu apartment miliknya dengan sang kekasih dengan tidak sabaran, terkesan kasar dan menuntut.

Lelaki 31 tahun itu meletakkan segala perlengkapan kantor yang sempat ia bawa tadi keatas meja, sebelum beralih melangkah menuju kamar si pemilik hati.

Begitu masuk, pemandangan yang kenneth dapati adalah seorang lelaki muda yang selalu menghiasi hari-hari nya satu tahun ke belakang, siapa lagi kalau bukan sang pacar?

Pria matang itu menyambangi kekasih hatinya yang sedang mengenakan jubah tidur yang melapisi tubuh langsingnya dari belakang.

Lengan kekarnya terulur dengan apik memeluk  presensi langsing di hadapan. Walaupun sudah pernah melahirkan satu orang anak, namun tubuh itu masih terlihat raping dan semakin menggoda.

“Mas?“ 

Sapa yang lebih muda kala bangirnya menghidu wangi cheddar wood yang sangat ia kenali dari balik bahu kurusnya.

Binar bintang sang submissive mengintip malu, wajah tampan kekasih dudanya dari kaca rias yang mematut bayangan mereka berdua. 

Tangan yang lebih tua bergerak apik mengelus perut rata sang pemilik tubuh diiringi dengan kecupan manis segaris rahang dan tulang wajah yang kian menggoda.

“Mas ngeliatin kamu dari belakang aja udah sange. Badan kamu ini emang dasarnya di ciptain buat ngelacur makanya kayak gini.”

Mendengar perkataan hina kekasihnya tak lantas membuat gazza sakit hati, submissive 19 tahun tersebut justru tersenyum sinis sambil menggigit bibir bawahnya, “Hm? Emang iya kan? Aku kan emang sukanya ngelonte, sama kamu apalagi. Nggak liat hasil perbuatan bejat kamu sama aku lagi tidur diatas kasur?” ujarnya sambil mengusap tangan sang dominan yang kini menjalar mengelusi bagian intimnya yang dilapisi celana pendek satin berwarna hitam.

“Udah basah belom? Kalau belom mas pengen liat kamu colmek. Suka liat kamu usekin itil.”

“Cek aja sendiri.”

Mendengar perintah yang lebih muda, kenneth langsung saja membuka jas kerjanya sebelum berlutut dihadapan sang kekasih yang membuat gazza secara reflek mengelus surai hitam pekat nya yang diturunkan kepada gian.

Jemari panjangnya menyingkirkan kain berbentuk segitiga yang menghalangi pandangan terhadap bagian paling intim dari sang kekasih. Labia tembam itu begitu bersih tanpa sehelai bulu, gundul dan berwarna pink kontras dengan kulit gazza yang begitu bening  berwarna putih cerah.

“Udah basah sayang, kamu apain?”

Gazza menggeleng, “nggak aku apa-apain, cuma emang dari pas kamu ngechat kayak gitu, udah mulai kedut-kedut minta dikontolin.”

Jawaban dari yang lebih muda membuat Kenneth tersenyum miring, “mau tiduran aja apa gimana?” Gazza mengangguk singkat, “boleh, tapi kalau gian bangun gara-gara aku yang desah, kamu loh ya yang tanggung jawab.”

Kenneth menegakkan tubuhnya sebelum membawa tubuh yang lebih kecil dalam gendongan ala bridal style, mengecup dahi lelakinya sebentar sebelum membawa tubuh ramping itu diatas tempat tidur, “siap, ratuku.”

Tubuh Gazza dibaringkan tepat disamping anak mereka yang sedang terlelap. Terkesan nekat, namun berbicara tentang nafsu, tidak ada alasan untuk menghentikan seorang Kenneth Wiratama. “Kamu cantik banget sayang, dari atas sampai bawah, cantik semua.” Ucap Kenneth memuja, tak lupa mengecup setiap inchi tubuh sang kekasih.

Proporsi tingginya nan tegap yang membuat Gazza senantiasa tidak bisa bernapas kala dihujam begitu dalam, menjadikannya lelaki paling beruntung yang berhasil memikat pengusaha muda tersebut. Jemari lentiknya beralih mengusap bahu lebar hingga dada bidang sang dominan yang membuat pihak terkait mengambil kedua tangan tersebut untuk ia kecupi dalam-dalam.

“Aku cantik, karena kamu juga ganteng. Apalagi kalau lagi diatas aku. Ngerasain kontol kamu ngerojok aku aja rasanya mau pingsan, mas.” ucapnya main-main sambil menggigit jari telunjuknya.

Kenneth memasang wajah penuh gairahnya, yang disusul dengan kecupan kecupan ganas pada ceruk leher yang lebih muda. Kenneth mengunjami pujaan hati dengan tapakan bibir tipisnya yang membuat Gazza sesekali menggeliat geli, “Udah, ah. Nanti Gian bangun terus minta nen. Kamu gajadi dapet jatah.”

Mendengar itu, Kenneth menyudahi kegiatannya menciumi tengkuk kekasihnya sebelum beralih mengecup bagian lainnya. Dimulai dari dahi, kedua pipi, hidung, belah bibirnya yang semerah delima, kedua tulang selangka. Hingga menuju pada bagian torso nya dimana terdapat calon bayi kedua mereka.

Kenneth menyingkap lingerie hitam satin milik Gazza, lalu setelahnya mengecup perut rata itu dengan sungguh-sungguh selama beberapa kali. 

Cup

Cup

Cup

“Anak Ayah, tumbuh dengan baik ya nak? Jangan susahin Ibu. Kasihan Ibu masih harus ngurusin abang Gian juga, ya?” ucapnya kepada sang jabang bayi. Melihat hal mengharukan tersebut mengulurkan tangannya untuk mengusap surai hitam legam sang dominan yang sudah bersedia kembali kepadanya juga sang anak.

“Kamu tau nggak dek? Ibu kalau hamil itu makin, makin. Makin cantiiiik, makin soft, makin indah pokoknya di matanya Ayah. Nanti harus banyak berterimakasih sama Ibu ya dek? Semoga adek nanti jadi anak yang penurut, amin.” ujar Kenneth serius, masih dihadapan perut sang kekasih. Kepalanya mengadah menghadap Gazza yang disambut dengan usapan halus di kepalanya. “Cantik banget dek kamu kalau lagi hamil. Mas suka, kalau mas hamilin terus, mau nggak?“ 

Mendengar permintaan Kenneth membuat sang submissive tertawa hingga menutupi wajahnya dengan kedua tangan, “Fetishnya orang hamil banget?” Kenneth tidak menjawab, lelaki 31 tahun itu hanya semakin mengusakkan wajahnya pada perut rata si kekasih tak lupa membubuhkan kecupan sayang pada perut putih tersebut.

“Mmmuah, Ibu dan anak sama-sama indah. Sama-sama bikin Ayah pangling.“ 

“Kalau Ayah pangling, sini. Ibu udah siap, udah siap dientotin sampe bego sama Ayah~” ujar yang lebih muda dengan nada mendayu, menciptakan gelenyar aneh pada dada sang dominan yang membuat sisi binatangnya mengambil ahli.

Pria matang itu menarik kedua sisi paha sang submissive hingga mengangkang lebar yang disambut dengan pekikan riah oleh sang empunya tubuh.

“Udah siap?”

Gazza mengangguk dengan wajah sayunya. Satu tangannya mengambil ahli untuk menyingkap bawahan satinnya hingga menampilkan bagian intim yang paling disukai oleh Kenneth, “Mau dirojok kontol sampe mentok. Ayo, mas?” ucapnya memancing.

Dengan itu, tanpa persetujuan dari yang lebih muda, Kenneth menenggelamkan wajahnya di selangkangan sang kekasih tak lupa meludahi labia tembam itu sebelum menjilati nya penuh nafsu. “Mmhh, itil mu udah bengkak aja. Belum juga mas isepin, udah nimbul aja.” ucapnya di sela-sela kegiatan memuluti kelentit yang lebih muda.

“Emang kamu nggak suka kalau itil aku tambah besar?”

Kenneth menggeleng, lidahnya terjulur memainkan benda sebesar biji kacang itu yang membuat sang empunya kelejotan sendiri hingga turut menggerakan pinggang nya. “Mana ada, kalau itil mu makin besar. Justru makin suka mas isepin.”

Gazza hanya bisa menggangguk mendapati jawaban dari kekasih hatinya, sambil sesekali mengadahkan kepalanya keatas sanking nikmatnya jilatan Kenneth pada bagian intimnya.

Bibir lelaki berzodiak taurus itu membentuk kerucut yang menghisap habis klitoris si cantik hingga Gazza memutihkan matanya beberapa kali, “Ughh, gelii. Becek banget, itil nya, itilnya bengkak banget, uhh.” ucapnya sambil menarik surai yang lebih tua.

“Ahh, ahn, ughh geli. Geli banget, gatel. Memeknya gatel, mau dikasih kontol~“

Kenneth yang mendengar ucapan kotor kekasihnya semakin terpancing untuk memuluti bagian intim sang empunya tubuh. Melihat bagaimana tubuh itu meliuk indah diatasnya dengan pandangan yang diputihkan, sedikit banyak membuat Kenneth cukup terangsang untuk meniduri Gazza dengan kasar.

“Uhh, iyaa, iya begitu sayang. Mmhh, mulut kamu jago banget bikin aku kelejotan, sshh.” berisik yang lebih muda sambil menggigiti jari telunjuknya. “Ah! Ah! Mas aku mau keluarrr, uhhh mau munc— AH! AKU MUNCRATTT.”

Syurrrr

Cairan bening itu merembes keluar, seiring dengan pinggul yang terangkat tinggi dengan pandangan memburam yang membuat sang dominan tersenyum puas, “Mancur, mancur memek lonte.”

“Mmmh, memek lonte punya nya mas Kenneth.”

Setelah berucap demikian, Gazza yang masih dalam kondisi badan setengah telanjang dengan kondisi busana nya yang sudah tidak beraturan membuka kedua lengannya guna menyambut pelukan dari sang dominan.

“Masss, pelukkk~“

Kenneth tersenyum hingga kedua matanya membentuk bulan sabit yang indah. “Capek?” Gazza mengangguk, “Capek desah, hehe.” Tak peduli dengan jawaban kekasih kecilnya. Kenneth memeluk Gazza dengan sepenuh hati, mengecup bahu telanjangnya dengan penuh perasaan, sambil mengusap pundak sempit itu perlahan. “Mau mas bantu bersihin memeknya?“ 

Gazza mengangguk manja, “Tolong, mas~“

Kenneth menuruti perintah yang lebih kecil, lelaki taurus itu mengambil beberapa lembar tissue disamping nakas tempat tidur, lalu mulai membaringkan kekasihnya diatas tempat tidur.

Tangannya dengan terampil membersihkan lelehan cairan bening yang menghiasi organ intim kekasihnya sambil meneliti bagian itu dengan saksama, “Kamu waktu lahirin abang, pasti kesakitan banget miss V nya.”

Gazza tak menjawab, pria itu hanya terdiam mengingat betapa sakitnya masa-masa itu saat dia harus melahirkan Gian sendiri tanpa Kenneth disisinya. 

Waktu itu Kenneth sedang berada di luar negeri untuk kepentingan perusahaan keluarga yang sudah pasti tidak dapat ditinggalkan mengingat pria itu adalah pewaris utama keluarga Wiratama.

“Sayang?”

“Hm, o-oh? Kenapa mas?”

Kenneth menampilkan ekspresi rasa bersalahnya kala melihat Gazza terlihat termenung karena pertanyaannya sendiri.

Kedua tangan kekarnya tergerak membungkus tangan yang lebih kecil untuk ia kecupi dengan sepenuh hati, “Maafin mas. Mas biarin kamu berjuang sendirian. Mas udah jahat sama kamu.” Usai mengucapkan terimakasih, pria matang itu melepaskan genggaman tangan mereka, lalu bergerak mengcupi bagian intim kekasih kecilnya sambil menaikkan busana bagian bawah yang sempat si cantik kenakan tadi. 

“Makasih ya dek? Mas janji, setelah ini mas akan selalu temani kamu dan anak-anak. Mas akan selalu disini sama kamu dan abang, adek juga. Mas janji akan temani kamu di ruang persalinan, jadi pelampiasan rasa sakit kamu, apapun itu, terimakasih banyak sayang.”

Gazza yang terharu mendengar penuturan pria yang lebih tua darinya hanya mampu menutup mulut dengan salah satu tangannya guna meredam tangisan yang sebentar lagi akan luruh.

“Sama-sama, mas.“ 

Hanya itu yang dapat diucapkan oleh lelaki cantik tersebut kepada sang dominan sebelum lelaki yang digadang-gadang sebagai salah satu pengusaha muda tersukses di Indonesia itu menjajalkan sebuah benda berbentuk lingkaran kedalam jari lentiknya,

“Sayang, I have nothing to say except, will you marry me?”

Gazza menitihkan air matanya detik itu juga saat mendengar ungkapan sungguh-sungguh dari yang lebih tua. Akhirnya, setelah 1 tahun belakangan menjalin hubungan rahasia yang tidak gampang untuk disembunyikan, setelah satu kali dan akan menjadi kedua kali untuk melahirkan anak dari kekasihnya. Akhirnya moment yang ia tunggu-tunggu, telah sampai pada penantian terakhirnya.

Menjadi pasangan sah dari seorang Kenneth Wiratama. Oleh karena itu, dengan perasaan dan hati berbuncah, sang aries menjawab,

“OF COURSE!!!! Of course aku mau, I want to marry you so bad, huhu!!!”

Jawabnya yang menjadi akhir dari hari mereka di hari ini tak lupa saling melepas rindu untuk mengungkapkan perasaan bahagia mereka dengan sebuah pelukan erat.

“I love you, mas.”

“I love you more, ratu ku.”

Di pagi hari senin yang padat, dimana seluruh civitas kampus memiliki aktivitas masing-masing untuk dilakukan. Jose mewujudkan keinginannya untuk minta maaf secara langsung kepada Areksha tentang perkara kemarin.

Jujur, kalau ditanya apakah ia menyesal telah melontarkan candaan seperti itu kepada dosennya sendiri, Jose akan menjawab dengan lantang bahwa ia tak menyesal sama sekali.

Toh, dia ingin mendekati Areksha lebih dari sekedar dosen dengan mahasiswanya. Jadi, harus ada gebrakan yang ia lakukan agar pengajar cantik itu mau melirik ke arahnya.

Jose akui, ia belum pernah bertemu dengan Areksha secara langsung. Atau mungkin sudah namun dirinya tidak sadar. Jose juga tidak tahu. Yang ingin ia ketahui sekarang hanyalah dimana letak ruangan dosan teknik kimia berada. 

Joel dan dirinya berbeda jurusan, yang lebih muda berada di angkatan 2019 jurusan teknik kimia, sedangkan Jose sendiri mengambil jurusan teknik sipil. Jadi, sudah jelas ruangan dosen mereka pun berbeda.

Lelaki dengan tampang bak dewa itu kini tengah menyusuri lantai dasar dari gedung fakultas mereka sendiri yang dihadiahi dengan tatapan memuja dari para submissive atau lebih parah lagi dari para perempuan yang sedari tadi sibuk menggigit jari karena melihat ketampanan seorang Lijoze Pical. 

“Permisi, kalau boleh tau ruangan dosen teknik kimia di sebelah mana ya?” tanya nya kepada salah satu mahasiswi yang sedang berdiri di depan koridor menuju tangga.

Perempuan itu termenung sebentar sebelum menjawab pertanyaan Jose dengan tergagap, “A-anu itu... ruangannya ada di ujung koridor lantai dua, dekat ruang senat.” jawabnya.

Mendengar itu, Jose tersenyum sebentar, mengucap terimakasih, kemudian sesudahnya berlalu dari lantai dasar menuju lantai dua.

Kaki panjangnya menelusuri koridor lantai dua hingga sampailah ia pada ruangan paling ujung di dekat ruang senat fakultas teknik. Pria taurus itu membaca palang nama bertuliskan 'ruang dosen jurusan teknik kimia.' Jose menghela napas dalam-dalam, tangannya terulur membentuk kepalan guna mengetuk pintu ruangan.

Tok! Tok! Tok!

Setelah mengetuk pintu beberapa kali, Jose mendorong kenop benda persegi panjang itu dengan perlahan agar tidak menimbulkan keributan yang dapat mengganggu para dosen lain.

“Permisi, pak, bu.” sapanya sopan.

“Cari siapa?” salah satu dosen yang ia kenal sebagai dosen mata kuliah matematika dasarnya dulu balas sapaannya dengan pertanyaan.

“Saya cari pak Reksha, bu. Sudah janji mau bimbingan, apakah orangnya ada?“ 

Buk lilis, dosen matematikanya dulu itu mengangguk. Beliau beranjak dari kursi kebanggaannya menuju salah satu bilik kecil disana. “Sha, ada yang cariin kamu. Mau bimbingan katanya.” Areksha mengerinyit. Bimbingan? Untuk sekarang anak bimbingannya hanya ada satu, yaitu Joel. Dan setaunya Joel tidak memiliki janji dengannya untuk bimbingan di hari ini.

“Siapa kak?” tanya nya kepada buk Lilis yang hanya dibalas oleh gidikan bahu, “Nggak tahu.” Mendengar jawaban dari buk Lilis, Areksha sontak menghentikan pekerjaannya yang sedang menginput nilai para mahasiswa semester empat untuk melihat siapa yang tengah mencarinya.

Begitu dirinya keluar dari bilik kerja, Areksha melihat seorang mahasiswa laki-laki yang tergolong tinggi dengan bahu lebar disertai surai hitam yang panjang, juga lebat, sedang menunggunya.

'Kelihatannya sih, ganteng.' batinnya.

Ibu satu anak itu menggelengkan kepala, pikirannya mulai tidak sehat karena melihat seorang lelaki tinggi yang mengenakan baju 

hitam berdiri membelakanginya.

“Siapa?“ 

Pertanyaan itu terlontar begitu saja dari belah bibir yang lebih tua. Areksha sontak membulatkan bola matanya saat melihat lelaki tampan yang baru saja ia puji beberapa menit lalu adalah orang yang sama yang sering mengganggunya beberapa hari kebelakang.

“Kamu?!”

“Hai, kak—”

Sebelum sosok tampan itu berhasil menyelesaikan kata-katanya Areksha sudah lebih dulu menarik lengannya lalu membawa mereka berdua keluar dari ruang dosen.

Blam!

Begitu pintu ruangan tertutup, Areksha melipat kedua tangannya di depan dada. Dihadapannya ada mahasiswa abal-abal yang dua hari lalu memperkenalkan diri sebagai Jose berdiri tegap dengan senyuman tipis menyerempet seringai lebar.

“Ngapain kesini?” ujar Areksha dengan nada yang tidak bersahabat. Namun, bukannya ciut atau takut, Jose malah tersenyum sambil memalingkan wajahnya kesamping. “Emang boleh ya, kak?” tanya yang lebih muda. Areksha mengerutkan dahi, “Boleh apanya?”

“Emang boleh secantik ini?” jawabnya kurang ajar sembari meniup poni kuda milik sang dosen. Karena posisi mereka yang berhadapan dengan postur Jose yang lebih tinggi, lelaki taurus itu seakan sedang mendekap tubuh kecil yang lebih tua yang pipinya sedang memerah parah karena gombalan receh darinya. “Apa-apaan kamu?! Yang sopan sama dosen.” ujar Areksha tegas.

Jose tidak gentar sekalipun. Si bungsu pical malah sibuk memandangi dosen jurusan temannya dengan kilatan penuh puja. 

'Bening banget, cok.' begitu isi hatinya begitu melihat wajah di hadapannya yang tidak bercela sekalipun. Areksha memiliki binar yang cerah, kulit wajahnya putih dan mulus. Hidungnya tinggi dengan warna bibir semerah delima, sempurna. 

Jose mengerjap saat keheningan melanda mereka. Apalagi dirinya baru saja disuguhkan dengan kecantikan Ibu satu orang anak yang kini tengah berhadapan dengannya. 

Lelaki itu lalu beralih membuka tas pundaknya dihadapan Areksha yang membuat mama zefanya penasaran. Ia harus segera menyelesaikan urusannya disini, berada di satu ruangan yang sama dengan Areksha memmbuat kinerja otaknya tidak berfungsi dengan baik.

Pria kelahiran april tahun 2000 itu kemudian mengambil sejumput buket bunga yang ia beli tadi sebelum bertemu Areksha, mawar merah. Bunganya cantik, persis Areksha.

Jose menggengam bunga itu lalu menyerahkannya kepada Areksha, “Gue sempetin buat beli ini tadi. Gue nggak tau lo suka sama bunga atau nggak, tapi semoga aja suka.” ucapnya dengan nada halus.

Areksha menipiskan bibirnya, ingin tersenyum walaupun rasanya enggan sekali. Ternyata Jose tidak seburuk yang ia bayangkan. Tangannya terulur mengambil bunga cantik tersebut dari genggaman sang pemberi dengan ragu, “M-makasih.” gagapnya.

“Gue minta maaf kalau kata-kata gue kemarin ada yang menyingggung lo. Gue nggak bermaksud kok. Gue juga nggak ada niat buat ngelakuin hal diluar batas sama lo, gue juga tau lo pasti cuma mau fokus sama anak lo sekarang. Maaf, kak.” ucap si dominan tulus.

Areksha mendengar permintaan maaf Jose dengan saksama, anak itu benar-benar menatap mata lawan bicaranya saat sedang berbicara. Nada bicaranya juga halus, tidak terdengar kurangajar sama seperti perlakuannya beberapa hari lalu melalui via WhatsApp dan direct message twitter.

Tapi! Tetap saja Areksha ada seorang submissive. Ia mempunyai gengsi setinggi langit, jadi walaupun tersentuh dengan perlakuan dan perkataan Jose. Lelaki manis itu hanya berdehem singkat, mengucap terimakasih, lalu setelahnya berjalan kedalam ruangan.

“Hm, makasih lagi.”

Blam!

Pintu kembali ditutup. Jose mengerjap sebentar, heran dengan apa yang terjadi, “Gitu doang?” gumamnya tidak mengerti.

Sedangkan yang di dalam ruangan sedang sibuk menetralkan detak jantungnya sambil terus menghidu wanginya bunga mawar asli yang diberikan oleh si mahasiswa tampan.

“Tampan banget ya ampun! Wangi banget juga. Anya, kalau mama nikah sama om Jose, kamu mau nggak nak? Papa barunya ganteng loh, hihi.” Submissive manis itu cekikikan sendiri di dalam bilik kerjanya sambil terus memeluk bunga mawar pemberian Jose.

Dasar budak cinta!

Di pagi hari senin yang padat, dimana seluruh civitas kampus memiliki aktivitas masing-masing untuk dilakukan. Jose mewujudkan keinginannya untuk minta maaf secara langsung kepada Areksha tentang perkara kemarin.

Jujur, kalau ditanya apakah ia menyesal telah melontarkan candaan seperti itu kepada dosennya sendiri, Jose akan menjawab dengan lantang bahwa ia tak menyesal sama sekali.

Toh, dia ingin mendekati Areksha lebih dari sekedar dosen dengan mahasiswanya. Jadi, harus ada gebrakan yang ia lakukan agar pengajar cantik itu mau melirik ke arahnya.

Jose akui, ia belum pernah bertemu dengan Areksha secara langsung. Atau mungkin sudah namun dirinya tidak sadar. Jose juga tidak tahu. Yang ingin ia ketahui sekarang hanyalah dimana letak ruangan dosan teknik kimia berada. 

Joel dan dirinya berbeda jurusan, yang lebih muda berada di angkatan 2019 jurusan teknik kimia, sedangkan Jose sendiri mengambil jurusan teknik sipil. Jadi, sudah jelas ruangan dosen mereka pun berbeda.

Lelaki dengan tampang bak dewa itu kini tengah menyusuri lantai dasar dari gedung fakultas mereka sendiri yang dihadiahi dengan tatapan memuja dari para submissive atau lebih parah lagi dari para perempuan yang sedari tadi sibuk menggigit jari karena melihat ketampanan seorang Lijoze Pical. 

“Permisi, kalau boleh tau ruangan dosen teknik kimia di sebelah mana ya?” tanya nya kepada salah satu mahasiswi yang sedang berdiri di depan koridor menuju tangga.

Perempuan itu termenung sebentar sebelum menjawab pertanyaan Jose dengan tergagap, “A-anu itu... ruangannya ada di ujung koridor lantai dua, dekat ruang senat.” jawabnya.

Mendengar itu, Jose tersenyum sebentar, mengucap terimakasih, kemudian sesudahnya berlalu dari lantai dasar menuju lantai dua.

Kaki panjangnya menelusuri koridor lantai dua hingga sampailah ia pada ruangan paling ujung di dekat ruang senat fakultas teknik. Pria taurus itu membaca palang nama bertuliskan 'ruang dosen jurusan teknik kimia.' Jose menghela napas dalam-dalam, tangannya terulur membentuk kepalan guna mengetuk pintu ruangan.

Tok! Tok! Tok!

Setelah mengetuk pintu beberapa kali, Jose mendorong kenop benda persegi panjang itu dengan perlahan agar tidak menimbulkan keributan yang dapat mengganggu para dosen lain.

“Permisi, pak, bu.” sapanya sopan.

“Cari siapa?” salah satu dosen yang ia kenal sebagai dosen mata kuliah matematika dasarnya dulu balas sapaannya dengan pertanyaan.

“Saya cari pak Reksha, bu. Sudah janji mau bimbingan, apakah orangnya ada?“ 

Buk lilis, dosen matematikanya dulu itu mengangguk. Beliau beranjak dari kursi kebanggaannya menuju salah satu bilik kecil disana. “Sha, ada yang cariin kamu. Mau bimbingan katanya.” Areksha mengerinyit. Bimbingan? Untuk sekarang anak bimbingannya hanya ada satu, yaitu Joel. Dan setaunya Joel tidak memiliki janji dengannya untuk bimbingan di hari ini.

“Siapa kak?” tanya nya kepada buk Lilis yang hanya dibalas oleh gidikan bahu, “Nggak tahu.” Mendengar jawaban dari buk Lilis, Areksha sontak menghentikan pekerjaannya yang sedang menginput nilai para mahasiswa semester empat untuk melihat siapa yang tengah mencarinya.

Begitu dirinya keluar dari bilik kerja, Areksha melihat seorang mahasiswa laki-laki yang tergolong tinggi dengan bahu lebar disertai surai hitam yang panjang, juga lebat, sedang menunggunya.

'Kelihatannya sih, ganteng.' batinnya.

Ibu satu anak itu menggelengkan kepala, pikirannya mulai tidak sehat karena melihat seorang lelaki tinggi yang mengenakan baju 

hitam berdiri membelakanginya.

“Siapa?“ 

Pertanyaan itu terlontar begitu saja dari belah bibir yang lebih tua. Areksha sontak membulatkan bola matanya saat melihat lelaki tampan yang baru saja ia puji beberapa menit lalu adalah orang yang sama yang sering mengganggunya beberapa hari kebelakang.

“Kamu?!”

“Hai, kak—”

Sebelum sosok tampan itu berhasil menyelesaikan kata-katanya Areksha sudah lebih dulu menarik lengannya lalu membawa mereka berdua keluar dari ruang dosen.

Blam!

Begitu pintu ruangan tertutup, Areksha melipat kedua tangannya di depan dada. Dihadapannya ada mahasiswa abal-abal yang dua hari lalu memperkenalkan diri sebagai Jose berdiri tegap dengan senyuman tipis menyerempet seringai lebar.

“Ngapain kesini?” ujar Areksha dengan nada yang tidak bersahabat. Namun, bukannya ciut atau takut, Jose malah tersenyum sambil memalingkan wajahnya kesamping. “Emang boleh ya, kak?” tanya yang lebih muda. Areksha mengerutkan dahi, “Boleh apanya?”

“Emang boleh secantik ini?” jawabnya kurang ajar sembari meniup poni kuda milik sang dosen. Karena posisi mereka yang berhadapan dengan postur Jose yang lebih tinggi, lelaki taurus itu seakan sedang mendekap tubuh kecil yang lebih tua yang pipinya sedang memerah parah karena gombalan receh darinya. “Apa-apaan kamu?! Yang sopan sama dosen.” ujar Areksha tegas.

Jose tidak gentar sekalipun. Si bungsu pical malah sibuk memandangi dosen jurusan temannya dengan kilatan penuh puja. 

'Bening banget, cok.' begitu isi hatinya begitu melihat wajah di hadapannya yang tidak bercela sekalipun. Areksha memiliki binar yang cerah, kulit wajahnya putih dan mulus. Hidungnya tinggi dengan warna bibir semerah delima, sempurna. 

Jose mengerjap saat keheningan melanda mereka. Apalagi dirinya baru saja disuguhkan dengan kecantikan Ibu satu orang anak yang kini tengah berhadapan dengannya. 

Lelaki itu lalu beralih membuka tas pundaknya dihadapan Areksha yang membuat mama zefanya penasaran. Ia harus segera menyelesaikan urusannya disini, berada di satu ruangan yang sama dengan Areksha memmbuat kinerja otaknya tidak berfungsi dengan baik.

Pria kelahiran april tahun 2000 itu kemudian mengambil sejumput buket bunga yang ia beli tadi sebelum bertemu Areksha, mawar merah. Bunganya cantik, persis Areksha.

Jose menggengam bunga itu lalu menyerahkannya kepada Areksha, “Gue sempetin buat beli ini tadi. Gue nggak tau lo suka sama bunga atau nggak, tapi semoga aja suka.” ucapnya dengan nada halus.

Areksha menipiskan bibirnya, ingin tersenyum walaupun rasanya enggan sekali. Ternyata Jose tidak seburuk yang ia bayangkan. Tangannya terulur mengambil bunga cantik tersebut dari genggaman sang pemberi dengan ragu, “M-makasih.” gagapnya.

“Gue minta maaf kalau kata-kata gue kemarin ada yang menyingggung lo. Gue nggak bermaksud kok. Gue juga nggak ada niat buat ngelakuin hal diluar batas sama lo, gue juga tau lo pasti cuma mau fokus sama anak lo sekarang. Maaf, kak.” ucap si dominan tulus.

Areksha mendengar permintaan maaf Jose dengan saksama, anak itu benar-benar menatap mata lawan bicaranya saat sedang berbicara. Nada bicaranya juga halus, tidak terdengar kurangajar sama seperti perlakuannya beberapa hari lalu melalui via WhatsApp dan direct message twitter.

Tapi! Tetap saja Areksha ada seorang submissive. Ia mempunyai gengsi setinggi langit, jadi walaupun tersentuh dengan perlakuan dan perkataan Jose. Lelaki manis itu hanya berdehem singkat, mengucap terimakasih, lalu setelahnya berjalan kedalam ruangan.

“Hm, makasih lagi.”

Blam!

Pintu kembali ditutup. Jose mengerjap sebentar, heran dengan apa yang terjadi, “Gitu doang?” gumamnya tidak mengerti.

Sedangkan yang di dalam ruangan sedang sibuk menetralkan detak jantungnya sambil terus menghidu wanginya bunga mawar asli yang diberikan oleh si mahasiswa tampan.

“Tampan banget ya ampun! Wangi banget juga. Anya, kalau mama nikah sama om Jose, kamu mau nggak nak? Papa barunya ganteng loh, hihi.” Submissive manis itu cekikikan sendiri di dalam bilik kerjanya sambil terus memeluk bunga mawar pemberian Jose.

Dasar budak cinta!

WARN : male lactation, MPREG.


Enrico benar-benar menepati ketikannya kepada sang istri satu hari yang lalu tentang keinginannya membawa anak mereka ke kampus.

Si taurus yang sekarang menjadi ayah dari satu orang anak itu kini sedang bersiap-siap di dalam kamar mandi sambil menunggu istrinya yang sedang memberi asupan kepada dinan. Bayi kecil hasil perpaduan kana dan enrico yang merupakan cucu pertama keluarga pangestu itu sibuk menyesap air susu ibunya dengan kencang. Kana sampai beberapa kali meringis karena anak itu cukup brutal jika sedang menyusu padanya.

Cklek!

Pintu terbuka, menandakan sang pemilik kamar sudah selesai dengan urusannya untuk berbenah diri di dalam sana.

“Udah sayang?” tanya nya kepada Kana. Si aries mengangguk sebentar, melepaskan kaitan bibir sang anak pada dadanya sembari menurunkan kembali kain fabrik yang ia kenakan. 

“Udah, ini udah bobo anaknya. Kamu kan ada kelas, jadi lebih baik kalau bawa adek pas lagi tidur. Takutnya dia rewel nanti kalau masih bangun, apalagi kalau laper terus nggak ada nen, pasti ngamuk.” ucap yang lebih tua memberi instruksi. 

Enrico mengangguk, mengiyakan ucapan pasangan hidupnya sambil memasukan beberapa keperluan Dinan kedalam diaper bag yang telah di sediakan oleh sang ibu.

“Pampers, botol susu, pumping refill, baju ganti, empeng, sama kupluk. Udah kan ini, yang?” ucap Enrico memastikan. “Iya itu udah sih, harusnya. Makan dulu, bekal kamu ada di bawah. Udah aku masukin dalam tupperware.”

Enrico memasang gendongan monyet pada tubuhnya. Mengambil Dinan masuk kedalam dekapan hangatnya sebelum beralih mengecup kening sang istri lalu kemudian beranjak dari sana menuju ruang makan.

CUP!

“Aku duluan sayang. I'll see you at the campus ya? Bye bye mama~“ 


Kelas pertama dilewati oleh Enrico dengan aman dan tentram karena Dinan hanya akan sesekali terbangun namun akan langsung diam jika dijejeli dengan refill pumping sang ibu.

Tapi, sepertinya keberuntungan Enrico hanya sampai disitu karena sekarang Dinan dengan sadar tengah membuka matanya dengan gestur bibir yang melengkung kebawah.

“Oek....Oek...Oek!” 

Bayi 5 bulan itu menangis kencang saat tidak mendapati sang ibu disisinya. Apalagi sekarang waktu menunjukkan pukul 12 siang yang harusnya waktu makan siang bagi Dinan.

Di dalam benaknya, tempat dan pelukan ini terasa asing karena biasanya hanya akan ada sosok ibunya yang menemani bayi kecil itu saat sedang menyantap makan siang — asi.

“Cup, cup cup. Dinan kangen mama? Mau mama?”

Tentu saja Dinan tidak bisa menjawab.

Namun kode yang bayi itu berikan dengan terus menangis dan meronta dalam dekapan sang ayah menandakan bahwa ia memang merindukan dada hangat sosok lain yang selalu mendekapnya dengan penuh cinta, siapa lagi kalau bukan, mama.

Dimana mamanya? Kenapa hanya ada papa?

Merasa tangisan Dinan semakin membesar tanpa ada niat sedikit pun untuk berhenti. Lelaki kelahiran Surabaya itu langsung saja meraih ponsel pintar di dalam sakunya guna menghubungi sang istri.

Mama dinan 👶🏻💖 

Call? | FaceTime? | Message?

Enrico memencet panel telepon, menunggu jawaban dari seberang sana. Pada nada panggilan yang ketiga yang dihubungi akhirnya mengangkat telepon.

|“halo, pa?”

“kamu udah di kampus, ma?”|

|“belum, baru mau jalan. kenapa?”

Enrico mengusap pundak anaknya naik turun dengan konstan di dalam gendongan monyet, menggigit bibir tipisnya pelan sebelum menjawab,

“Kamu bisa ke fakultas aku, ma? Adek rewel, nyariin kamu kayaknya.”|

Dari seberang si penerima telepon terdengar sedikit rusuh sebelum akhirnya memberikan keputusan,

|“Yaudah aku kesana, tunggu.”

15 menit kemudian terdengar langkah kaki seseorang yang memasuki ruangan dengan ragu. “Permisi.” Sapanya entah pada siapa.

Lelaki mungil itu memendarkan pandangannya ke seisi ruangan sebelum mendapati sang suami yang sedang menggendong anak mereka lengkap dengan gendongan bayi yang melingkar apik pada tubuh tinggi nya.

Di dalam pelukan ayahnya, Dinan terlihat memberontak sesekali mengepalkan tangannya ke atas, ingin keluar.

“Kamu udah dateng, ma?” ucap yang lebih muda saat melihat istrinya datang lengkap dengan tugas proyek yang akan di kumpulkan hari ini. “Adek kenapa?” Enrico menggeleng, “Kangen  kamu kayanya, tuh.” katanya dengan bibir yang mengarah kepada sang anak di dalam gendongan.

Melihat itu, tanpa ba bi bu Kana langsung saja mengambil sang anak dari dalam gendongan ayahnya sambil dibujuk dan dikecup perlahan sisi kepalanya.

“Kangen mama ya dek? Apa kangen nenen, hm?” ujarnya pada Dinan yang terlihat sudah mulai tenang. Bayi itu memelankan ritme menangisnya lalu menyandarkan kepala di dada hangat kesukaan nya sambil mengusalkan hidung kecilnya disana. “Kangen beneran ternyata. Dasar anak mama!” canda sang ayah kepada putra tunggal nya yang ternyata sangat mama oriented, mama di atas segalanya.

Sedangkan sosok yang menjadi perdebatan hanya tersenyum manis sambil menggendong anaknya kesana kemari, mengusap surai tipis dalam pelukan sembari memperkirakan sepertinya rambut Dinan akan sama lebatnya dengan rambut sang ayah, hitam pekat dan sehat.

Anak sudah diatasi oleh sang istri, kini saatnya bagi sosok ayah muda itu untuk melanjutkan tugas nya yang tertunda. Enrico ada tugas mata kuliah Studio Desain Arsitektur yang harus di presentasikan nanti siang. Si bungsu pangestu itu belum sempat melanjutkan rancangan replika yang ia buat maka dari itu ia berniat melanjutkan nya sekarang mumpung Dinan sudah tenang bersama ibunya.

“Loh? Kamu lanjut nugas, udah makan apa belum?”

Enrico menggeleng. Tersenyum hingga matanya membentuk lengkungan sabit yang indah, “Belum, ma. Nanti aja, belum sempat.”

Mendengar jawaban sang suami membuat Kana menghela nafas prihatin. Ia tahu, karena Enrico sudah berencana untuk seminar dalam waktu dekat jadi ia harus menyelesaikan tugas akhir berupa studio desain yang tentunya sangat sulit bahkan bagi mahasiswa senior sekalipun. Jadwal lelaki itu tak jarang banyak yang tertunda karena harus bergantian menjaga Dinan bersama dengannya. 

Kana khawatir, Enrico jarang memperhatikan kesehatan diri jika sudah berurusan dengan urusan perkuliahan. Maka dengan segenap inisiatif yang ia miliki, Ibu muda itu meraih tupperware di dalam tas milik sang dominan. Lalu mulai menyuapkan nasi beserta lauk yang telah ia siapkan tadi pagi kepada si taurus.

“Makan dulu, pa. Aku suapin aja, kamu sambil kerja. Aaaa~” mimiknya terbuka seiring dengan suapan yang ia berikan kepada Enrico.

Pria april itu kemudian tersenyum manis, memeluk istrinya sejenak sebelum menerima suapan dari si cantik. Sesekali mereka berdua berbagi makanan dengan canda tawa, kadang berbagi hal-hal random yang terjadi selama mereka terpisah jauh dari rumah dan sang buah hati. “Jagoan kalau udah di peluk mama kayanya sungkan banget mau bangun.” ucap papa dinan sambil menggelitik kaki sang anak dalam pelukan istrinya yang tengah tertidur lelap dengan keringat yang menghiasi dahi lebarnya. “Anak mama banget ya, dek?”

Kana tersenyum mendengar pertanyaan Enrico, “Anak papa juga dong.” sahutnya tenang. Si aries kemudian menerima genggaman tangan si taurus yang ditujukan kepadanya. Kepalan tangan mereka saling bertaut dengan Dinan diantara keduanya, di dalam pelukan sang Ibu.

Mereka berdua mematut pandangan satu sama lain. Yang lebih muda menyingkirkan helaian rambut yang lebih tua untuk ia kecupi dahi nya. “Aku beruntung punya kamu, aku nggak akan pernah sia-siakan kalian, ma. Thankyou for staying.” ujarnya sungguh-sungguh sambil membawa tubuh mereka dalam pelukan hangat.

Sang submissive kemudian mengangguk dalam pelukan kedua nya sambil berucap, “Aku juga. Aku juga beruntung punya kalian.”

Keesokan paginya, Kana terbangun dengan lengar kekar yang melingkar pada perut rampingnya dalam keadaan setengah telanjang. 

Iya setengah doang doang, dua-duanya nggak technically naked. Enrico cuma tidur pakai bawahan piyama dengan atasan tanpa baju, sedangkan Kana cuma pakai kemeja tembus pandang punya dia yang biasanya dipakai kalau lagi mau nidurin si bayi besar.

Kana sungkan bergerak dari atas kasur yang sedari malam jadi tempat mereka berdua untuk saling berbagi kehangatan. Tadi malam dua anak itu cuma tidur sambil pelukan.

Enrico suntuk, katanya tugas studio perancangan buat dia pusing tujuh keliling. Memang sih, matkul itu kalau sekalinya dapet materi yang on point harus dikerjain dengan totalitas kalau nggak mau ngulang di semester depan. Apalagi arsitek dan DKV sama sama jurusan yang mengutamakan kemampuan analisis gambar, jadi yaa setidaknya Kana paham rasa suntuk yang dirasain sama mas pacar. 

Laki-laki kelahiran manado itu enggan beranjak dari posisinya yang kini tidur menyamping tepat menghadap enrico.

Jari- jari lentiknya terulur membingkai wajah tampan itu, mulai dari garis rahang yang tegas, hidung mancung bak perosotan, sampai bibir tipis milik si taurus yang sanggup bikin lehernya merah-merah. Kana memperhatikan semua fitur wajah lelaki itu dengan saksama, tampan.

Itu yang ada dalam pikirannya. Enriconya sangat tampan dan tentu Kana tidak rela berbagi lelakinya dengan siapapun.

Dirinya memang pernah mengejar Enrico waktu lelaki itu baru saja putus dengan cinta pertamanya semasa SMA. Tapi Kana bersumpah dia tidak pernah menjadi duri dalam kisah percintaan kedua orang itu.

Awal mereka berpacaran pun, Kana sadar bahwa Enrico tidak pernah mencintainya sebesar lelaki itu mencintai Zefanya. Hal tersebut yang membuat Kana semakin gencar menempeli Enrico kemanapun lelaki itu pergi guna melimpahkan semua kasih sayangnya.

Kana hanya ingin Enrico tahu bahwa disaat dia sedang berjuang untuk kembali mendapatkan cinta seseorang, ada seseorang yang lain juga yang tengah siap untuk mencintainya sampai mati.

Haah.” Kana menghela nafas sambil tersenyum. Usapannya pada surai lebat Enrico belum berhenti. Si bungsu Pangestu ini sangat manja kepadanya. Sedetik saja tangannya berpindah tempat, Enrico dengan mata tertutup akan langsung mencari jemari lentik milik sang submissive untuk mengusap helai rambutnya hingga ia kembali terlelap. “Dasar bayi gede.” ucap yang lebih kecil.

Lelaki itu mengerjap sebentar, merapihkan bantal disekitar tubuh Enrico lalu membetulkan selimut yang membungkus tubuh mereka berdua.

Kana ingat, ia harus mencoba testpack yang sudah dibeli oleh Abigail tadi malam. Kebetulan ia baru saja merasa akan pipis. Jadi, dengan gerakan perlahan, pria mungil itu bangkit dari atas tempat tidur, menyempatkan diri untuk mengecup dahi lelakinya sebentar sebelum keluar dari kamar sang empunya.

Kaki jenjangnya ia langkahkan menuju lantai dasar dimana kotak pos mereka masing-masing berada. Kana mengambil kunci yang sudah diberik nomor masing-masing pos pada boks berwarna biru kemudian membuka kotak pos nya dengan perlahan. Takut membangungkan para penghuni kost yang masih terlelap.

Selesai mengambil testpack yang dibeli oleh Abigail serta mengunci kembali kotak pos nya. Kana beranjak menuju kamar mandi lantai satu yang terletak pada ujung kamar Marko.

“Apapun hasilnya, semoga yang terbaik.” ucap Kana sebelum beralih untuk mengeluarkan air seninya pada cup kecil yang ia ambil dari dalam kotak pos tadi.

Panduan yang tersedia pada bungkusan testpack tersebut mengatakan bahwa ia harus mencelupkan alat berupa stik tersebut kedalam urine selama kurang lebih 5-10 detik lalu diamkan secara horizontal agar hasilnya muncul dengan efektif.

Pria aries itu lalu melakukan arahan sesuai dengan instruksi yang diberikan. Setelah mengeluarkan urine nya, Kana mencelupkan testpack tersebut pada cup yang telah terisi oleh urine nya sendiri kemudian menunggu sampai hasilnya keluar.

3 menit terlewat dan Kana belum berani melihat hasil testpack itu sama sekali. Jujur dari dalam hati Kana juga takut. Takut Enrico akan meninggalkannya, takut Enrico kan pergi darinya begitu hasilnya tidak sesuai dengan yang diingingkan. 

Tapi tidak apa, mereka sudah sejauh ini dan Kana mengerti tanggungjawabnya akan bertambah setelah ini. Hari-hari yang berat.

Menarik nafas perlahan, Kana memejamkan matanya sebelum memutuskan untuk melihat tulisan yang terpampang nyata pada benda tipis tersebut. Nafasnya memberat seiring dengan pegangan yang mengerat pada sudut wastafel.

'Pregnant 3+' 

— Begitu keterangannya.

Berbeda dengan keadaan di rumah prasetya yang semakin menegang bahkan terkesan canggung. Kedua orang yang sempat bertemu di masa lalu itu kini dipertemukan lagi secara tidak sengaja oleh pras dan aria sendiri.

Nawasena dan Hiraya.

Mereka berdua tengah menikmati makan malam yang disajikan oleh para pelayan dengan sena yang selalu sigap membantu hiraya dikala lelaki itu membutuhkan bantuan.

“Dimakan hiraya, nanti keburu dingin.”

Hiraya mengangguk, “Terimakasih banyak mas sena”

Sena memperhatikan lelaki tan itu dengan saksama. Hiraya manis, sangat manis. Senyumannya candu bagi siapa saja yang diberi kesempatan untuk bisa menjadi penikmat senyum secerah matahari tersebut.

“Kamu udah berapa lama tinggal sama pras?”

Hiraya memusatkan pandangannya dari makanan menuju jelaga hitam milik sena yang membuat dirinya sungguh terpaku karena benar adanya bahwa nawasena adalah pemilik wajah tampan paripurna yang sulit dikalahkan oleh siapapun.

E-euh udah lumayan lama mas, dari Jenaka masih satu atau dua tahun”

Sena menangguk, lelaki itu kembali meletakkan lauk pada nampan milik hiraya saat dirasa lelaki gemini itu memiliki porsi makan yang sedikit.

“Gimana keadaan kamu setelah dua tahun berlalu?”

Hiraya tersenyum singkat, ia mengusap bagian lututnya perlahan sambil berusaha untuk tetap tegar agar tidak menangis di depan sena, 

“Aku divonis lumpuh permanen, mas. Waktu kecelakaan kaki aku terhimpit diantara kursi pengemudi dan penumpang bagian depan, jepitan nya lumayan kuat karena butuh lama untuk keluarin tubuh aku dari dalam taxi. Tapi aku nggak papa, mas. Aku harus kuat karena mas pras dan jenaka butuh aku, setidaknya untuk sekarang.” katanya dengan nada sendu.

Sedangkan pria leo yang menjadi lawan bicara hiraya sekiranya merasa sangat bersalah karena demi apapun dialah penyebab tabrakan beruntun itu terjadi. Nawasena yang saat itu baru saja pulang dari acara perpisahan bersama rekan satu kantor nya mengendarai mobil dalam keadaan mabuk dengan kecepatan penuh yang membuat dirinya menabrak sekumpulan taxi yang sedang berbaris rapi saat rambu lalu lintas menampilkan warna merah.

Hiraya yang merasa nawasena tidak lagi mengeluarkan suara merasa bersalah, ‘ah, kenapa aku harus jawab bagitu sih? mas sena pasti merasa bersalah, hiraya bodoh!’ ungkapnya dalam hati.

“Mas..” 

Dengan inisiatif seadanya, hiraya memanggil sena guna menyadarkan lelaki tersebut yang kedapatan melamun setelah percakapan keduanya.

Namun berbeda dengan reaksinya, nawasena justru menggengam erat kedua tangan hiraya yang agaknya membuat pria manis tersebut tersentak, “Hiraya..”

“Iya, mas?”

“Aku bersedia tanggung jawab atas kamu, aku bersedia untuk menjaga kamu dengan sepenuh hati. Aku mau menebus semua kesalahanku yang membuat kamu sampai seperti ini.”

“Mas..”

“Kalau aku ajak kamu untuk pergi dan memulai hidup baru, kamu mau? Aku akan selalu berusaha untuk mendampingi kamu, sesulit apapun keadaannya. Sekaligus kita obati kaki kamu ya? Aku yakin kamu bisa jalan lagi, kamu cuma butuh perawatan yang lebih baik lagi. Kalau pun setelah sembuh ada yang mau kamu lakukan, kuliah misalnya? atau kerja? Aku akan berusaha untuk memenuhi semua kebutuhan kamu kalau kamu mau.”

“T-tapi mas, aku nggak bisa ninggalin jenaka sendiri”

Sena mengeratkan genggaman mereka berdua sebelum meneruskan kata-katanya,

“Hei.. Kamu juga punya pilihan untuk kehidupanmu selanjutnya. Kamu nggak mungkin terus-terusan hidup sebagai bayangan dari Ibu Jenaka. Ibu Jenaka itu Aria, Hiraya. Biarkan dia bertanggung jawab atas segala sesuatu yang berkaitan dengan anaknya sendiri. Suka nggak suka, mau nggak mau Jenaka nggak bisa menyangkal kalau Aria adalah ibu kandungnya.” tegas Sena

Hiraya terlihat bimbang, lelaki itu terlihat memikirkan segala kemungkinan yang terjadi. Jenaka tidak terbiasa jauh darinya, bocah itu terbiasa dengan kehadiran Hiraya sebelum dan sesudah ia memulai harinya.

Namun benar apa kata sena, Ia tidak bisa selamanya hidup sebagai bayang-bayang dari Ibu Jenaka, ia juga mempunyai pilihannya sendiri. Selama sepuluh tahun, setelah ia mengalami kecelakaan, Hiraya memutuskan untuk menyerah akan mimpi-mimpinya untuk mengurus Pras dan Jenaka tanpa terkecuali karena ia pikir hanya itu yang bisa ia lakukan.

Tapi sekarang? Ada seseorang yang menawarkan mimpi baru baginya, apakah Hiraya bahkan punya hak untuk menolak? Tidak.

Ia rasa, sepuluh tahun sudah cukup. Kini waktunya untuk Hiraya menjemput mimpi-mimpinya yang sempat terhalang kondisi keterbatasan fisik dirinya sendiri.

“Aku mau mas, tapi tolong biarin aku tinggal sama Jenaka sampai nanti kita pergi. Setidaknya aku harus peluk anakku sebelum aku ninggalin dia.”

Sena mengangguk dengan senyum lebar, ia membawa tubuh ringkih itu dalam peluknya tak lupa mengusap pundak sang pemilik tubuh, “Aku janji, aku akan membahagiakan kamu dengan caraku sendiri, Hiraya.”

[Raid’s Note] Part ke-III dari narasi diatas! Ini malamnya ya, cuma ada aria, pras, sama jenaka di rumah. Pov sena dan hiraya akan aku publish setelah narasi ini, stay tuned!

BGM : Perahu Kertas – Maudy Ayunda


Malam harinya, keheningan menyelimuti kediaman prasetya yang sekarang ditinggali oleh sepasang keluarga yang belum utuh. Jenaka dari tadi yang berdiam di dalam kamarnya tak ada keinginan sama sekali untuk keluar dan berinteraksi walau hanya sekedar menyapa.

Jenaka jelas tahu dia keterlaluan, namun apalah daya? Ia hanya seorang anak kecil tak berdosa yang menjadi korban keegoisan keluarganya. 

Jenaka tidak pernah tahu, apakah di masa lalu memang sang ayah dan juga lelaki tadi saling mencintai, atau mungkin mereka pernah menikah dan memilikinya lalu berpisah?

Kepingan puzzle di dalam otaknya begitu sulit ditemukan, jenaka tidak mendapat jawaban sama sekali. Meski anak kecil turunan prasetya noar itu coba berpikir dengan otak pintarnya namun ini bukan masalah yang bisa dengan gampang terselesaikan.

Ia sungguh penasaran, apa yang membuat lelaki mungil yang kini menumpang di rumahnya begitu gigih dalam mengejar perhatian dan permintaan maaf darinya.

Padahal jika ditilik kembali, lelaki itu terlihat sangat cantik, ia memiliki bentuk tubuh yang bagus untuk seorang lelaki, pinggangnya ramping diselingi kaki jenjang. Ya, jenaka akui lelaki itu memang cantik, ia mengakui bahwa ayahnya cukup tampan untuk memikat lelaki tersebut.

“Arghhhhh, kepala aku pusing mikirin ini. Padahal seharusnya nggak perlu aku pikirin, ngapain juga aku harus peduli sama masalah orang tua?” keluh Jenaka pada dirinya sendiri.

Namun, sebenarnya yang tidak jenaka sadari disini adalah dia lah biang permasalahannya. Dia lah alasan mengapa aria kembali, pria aries itu bukan semata-mata kembali untuk mengejar pras, sang ayah, namun dirinya, Jenaka sendiri.

Bocah sepuluh tahun itu akhirnya memutuskan untuk menyelimuti dirinya dengan selimut yang selalu hiraya siapkan. Ia tidak berniat untuk makan malam karena tahu siapa yang memasak hari ini.

Namun, sebelum jenaka berhasil memejamkan mata, pintu kamarnya terbuka begitu saja dengan langkah kaki yang perlahan mendekat,

“Jenaka, makan dulu yuk?” 

Suara lembut itu mengalun menyapa gendang telinganya dengan sopan, jenaka mendengar suara nampan yang diletakkan di atas nakas dekat tempat tidurnya. Bocah itu menghadapkan tubuhnya pada balkon yang membuat sang lawan bicara mau tidak mau harus berhadapan dengan punggung kecilnya.

“Aku tau kamu belum tidur, ayo makan dulu. Aku juga tau kamu nggak mungkin mau makan bareng sama aku, makanya aku kesini.” katanya dengan jemari yang mengelus pucuk kepala sang anak perlahan.

Jenaka yang merasakan sapuan halus pada rambutnya nyaris tertidur sangking nyaman nya. Ia tidak tahu mengapa setiap lelaki kurus di belakangnya ini berada di dekatnya, Jenaka selalu merasa nyaman. Tapi sekali lagi harus ia tegaskan bahwa ia tidak mengenal lelaki ini, yang ia tahu sosok tersebut adalah seseorang yang telah mengacaukan hubungannya dengan sang ayah dengan mengaku sebagai ‘Ibu biologis’ nya.

Jiplakan murni prasetya noar itu lalu kembali memejamkan matanya selagi aria mengusap kepala dan pundaknya bergantian. Sesungguhnya, jenaka ingin bangun dan kembali menghardik lelaki ini namun ia cukup sadar bahwa situasi di rumahnya kini lumayan berantakan karena sikap kurang ajarnya tadi siang.

Prasetya benar, ia tidak pernah mengajarkan jenaka menjadi sosok yang kurang ajar itulah sebabnya kini anak itu hanya bisa terdiam tanpa berniat melakukan penolakan apapun. Ia telah mengecewakan ayahnya hari ini, dan jenaka tidak ingin mengulangi kesalahannya untuk kedua kali, setidaknya untuk hari ini.

Jenaka ingin meminta maaf namun entah kenapa otak dan bibirnya seakan menolak. Rasa-rasanya jenaka dipaksa menjadi sosok yang rasional padahal ia belum menjadi orang dewasa yang paham akan ‘kesalahan di masa lalu’ atau dampak dari masa lalu kedua orang tuanya kepada dirinya sendiri.

Mencengkram selimutnya kencang, jenaka berusaha memejamkan matanya sembari mencoba untuk memfokuskan pendengarannya pada setiap perkataan yang keluar dari mulut aria.

Sang priyayi yang mengaku sebagai ‘Ibu’ nya itu kini tengah berlutut di hadapannya sambil mengusap pipi putihnya perlahan. Jenaka merasakan sentuhan kulit halus itu di permukaan wajahnya dengan saksama, bahkan bisa Jenaka tebak lelaki itu sedang memandang dirinya dengan raut sendu terbukti dari seberapa berat hembusan nafas lelaki itu pada permukaan wajahnya,

“I-ibu minta maaf ya bang? Abang pasti udah laluin banyak fase dalam hidup abang tanpa sosok ibu yang sebenarnya. Abang… Ibu minta maaf karena udah jahat sama abang dan ayah. Ibu ninggalin abang dan ayah untuk kepentingan diri ibu sendiri. Abang… Ibu sayaaaang banget sama abang, setiap saat dalam hidup ibu setelah ibu ninggalin abang, Ibu nggak bisa berhenti mikirin soal abang setiap hari. Ibu selalu penasaran, anak ibu udah bisa jalan belum ya? Anak ibu nanti bisa jalan atau bisa bicara dulu ya? Anak ibu lagi apa? Anak ibu sehat atau nggak, anak Ibu udah sebesar apa…” kata aria dengan pandangan berkaca-kaca, netra hitam nya ia fokuskan pada sang anak yang kini tumbuh menjadi sosok yang tampan, halus tangannya membelai wajah jenaka dengan sayang seolah sedetik saja ia lepaskan maka ia akan kehilangan.

Ibu satu anak itu hampir menangis saat mengingat bahwa kata maafnya kepada Jenaka tidak bisa membayar dosa-dosanya yang telah ia lakukan selama ini. Jenaka pasti melalui banyak hari yang melelahkan tanpa seorang ibu, anak itu sangat luar biasa. Putranya yang luar biasa, Jenaka Prasetya.

“Kamu tau, bang? Ayah dulu sukaaaaa banget sama Ibu. Ayah sosok yang bertanggung jawab bang, ayah kamu orang yang baik, baiiiiik banget. Dulu, ibu nggak pernah bisa terima kalau Ibu hamil kamu di usia yang masih sangat muda, Ibu dan Ayah cuma remaja tujuh belas tahun yang nggak tau apa itu tugas orang tua yang sebenarnya… Kami sering jalan-jalan di taman sambil pegangan tangan, kadang ibu ketawa kalau ayah ngelucu. Bahkan waktu di rumah sakit dan ibu kesakitan ngeluarin abang, ayah selalu ngelucu biar ibu nggak ngerasa sakit terus. Kamu permata hatinya ibu, bang. Sejauh apapun ibu pergi, sebesar apapun ego ibu di masa lalu nggak akan mengubah fakta kalau nyatanya separuh nafas ibu ada di kamu…”

“Bang.. Walaupun Ibu berhasil jadi apa yang Ibu mau. Ibu kesepian, Ibu sedih, Ibu kangen abang. Pengen rasanya setiap kali pulang yang pertama kali ibu liat itu abang. Walau pun nggak mungkin, Ibu selalu ngebayangin abang ada sama Ibu. Ibu selalu peluk foto abang waktu lahir kalau lagi sedih karena nyatanya obat dari semua rasa sakit yang Ibu rasakan cuma ada di abang, Ibu sayang kamu Jenaka, selalu.

Lelaki aries itu memeluk tubuh hangat anaknya sembari menceritakan masa lalu nya dengan pras kepada sang anak yang tertidur tanpa berniat untuk menghapus jejak air mata yang setia menghiasi pipi pualamnya,

“Ayah… selalu siap kalau ibu perlu sesuatu bang. Ayah nggak pernah mengeluh walaupu ibu selalu nolak apapun yang dia lakukan untuk mempertahankan kamu. Ayah kamu… luar biasa, bang. Dia bahkan rela hujan-hujanan sampai sakit cuma karena Ibu bilang Ibu pengen es krim di hari itu, dia nggak mikirin dirinya sendiri yang penting Ibu bisa makan apapun yang Ibu mau.”

“Dan ibu, ibu jahat bang. Ibu ninggalin kalian berdua setelah kamu lahir, Ibu ninggalin ayah yang berjuang sendiri untuk membesarkan kamu padahal ibu tau ayah pasti kesusahan membesarkan kamu sendiri. Tapi, lihat? Abang sekarang tumbuh jadi anak yang baik, anak yang sehat, anak yang pintar. Semuanya berkat ayah, jangan marah sama ayah, nak.”

Usai menceritakan isi hatinya yang belum seberapa itu, aria menjauhkan wajah jenaka dari dadanya yang tengah tertidur pulas. Menyingkirkan anak rambut yang mungkin menggelitik mata jenaka saking panjang nya lalu memberikan kecupan singkat pada kedua mata, hidung serta dahi jiplakan prasetya tersebut tak lupa menaikan selimut sebatas dada agar putranya tidak kedinginan, 

“Kalau ada yang pantas kamu benci, itu Ibu nak. Jangan benci ayah, jangan pernah. Kamu boleh benci Ibu sampai kapan pun, tapi jangan ayah.”

Klek!

Pintu tertutup yang menandakan sosok cantik itu telah pergi tanpa tahu bahwa dibalik selimut, anaknya meringkuk sembari menangis,

Ibu…hiks. Jenaka minta maaf.”

[Raid’s Note] Ini setelah Jenaka kabur ke kamarnya ya. Waktu dan tempatnya masih sama. Sebenarnya ini lanjutan dari narasi di part sebelumnya. Tapi, karena kebanyakan jadi aku bagi jadi 3 part dan ini part keduanya. Pert ketiganya nanti waktu aria & pras sama-sama jelasin ke jenaka gimana kondisi mereka di masa lalu sampai sekarang.


Prasetya dan Aria sama-sama terdiam usai kepergian jenaka menuju kamarnya. Sepasang orang tua dari bayi kecil yang kini berumur sepuluh tahun tersebut sibuk merenung, prasetya yang tau mengapa jenaka tiba-tiba menjadi seorang pembangkang dan aria yang memikirkan strategi selanjutnya, bagaimana ia akan mendapatkan hati anak itu jika baru ditolak begini saja rasanya dia akan menangis meraung-raung.

“Maaf” 

Satu diantara keduanya membuka suara, tak lain dan tak bukan adalah prasetya. Sosok yang berperan besar dalam merawat jenaka. Prasetya sungguh tidak menyangka bahwa pertemuan jenaka dan aria kali ini sungguh menjadi bumerang untuk dirinya sendiri.

Aria yang mendengar suara pras terkesan merasa bersalah juga turut mendongakkan wajahnya, ibu satu anak itu mengambil jarak pandang dekat kepada prasetya. Menggenggam tangan itu penuh harap sembari berusaha menahan air matanya yang sudah akan turun untuk kesekian kali, “Bukan salah kamu, ini jelas salah aku. Aku yang ninggalin kalian, pantes kalau jenaka ben–”

Grep.

Sebelum aria menyelesaikan kata-katanya, prasetya sudah terlebih dahulu memeluk tubuh ringkih itu yang semakin kurus dari hari ke hari, “Ssst, udah. Kamu memang bersalah di masa lalu. Tapi, bukan berarti kamu nggak ada kesempatan untuk memperbaiki semuanya. Kamu nggak pantas dibenci, nggak ada satu orang pun yang diciptakan untuk dibenci ar…” kata prasetya tulus sembari mengusap surai hitam aria perlahan.

Tangisan yang lebih kecil pun semakin nyaring terdengar. Aria meremas kain baju yang dikenakan oleh pras sekuat mungkin. Dirinya berusaha untuk tetap tegar menghadapi segala penolakan yang dilakukan oleh sang anak namun sepertinya ia tidak sekuat itu.

Entah mengapa menurut aria, jenaka begitu jauh baginya, jenaka begitu sulit untuk dijangkau, hatinya sulit tersentuh bak ada dendam yang menyelimuti. Perangai nya begitu keras, persis aria waktu dulu dan lelaki itu sadar bahwa sifat keras kepala jenaka adalah murni turunan darinya karena pras bukan tipikal pria egois yang suka mengedepankan kepentingan nya daripada kepentingan bersama.

Jenaka… begitu sulit ditebak oleh aria. Awalnya lelaki aries itu mengira bahwa dengan sedikit perhatian dan waktu yang ia korbankan dapat membuat jenaka melihat ke arahnya barang sedikit namun ternyata tidak.

Makanannya dibuang begitu saja, perhatiannya seakan tidak dianggap, kehadiran aria bak bencana besar bagi anak itu sesaat setelah ia melihat ibu kandungnya sendiri berada di rumahnya. 

Aria lalu mulai merekam perlahan apa saja yang jenaka lalui tanpa dirinya sejauh ini. Aria melewatkan momen pertama ketika jenaka bisa berbicara, aria melewatkan momen dimana bayi kecilnya bisa berdiri dan berjalan hingga berlari bahkan mandi dan makan sendiri.

Aria melewatkan masa dimana jenaka akhirnya bisa membaca dan menulis hingga sekarang tumbuh menjadi seorang siswa sekolah dasar kelas lima yang penuh dengan limpahan prestasi baik akademik maupun non-akademik.

Aria melewatkan momen dimana harusnya ia yang mengambil laporan pendidikan putranya lalu setelah itu mungkin mereka akan bersenang-senang sebagai penghargaan kepada jenaka karena anak itu selalu melakukan yang terbaik dalam jenjang pendidikannya.

Aria melewatkan banyak hal, dan ia tentu sadar bahwa dirinya begitu pantas ditolak ketika ia tidak tumbuh bersama dengan anaknya. Cinta pertama jenaka haruslah dirinya, tapi lihat? bocah sepuluh tahun itu melabuhkan cinta pertamanya pada orang lain yang bahkan tidak pernah tau rasanya mengandung dan melahirkan.

Mengingat semua hal itu membuat remasan di baju prasetya mengencang selaras dengan tangis aria yang semakin lirih. Pras yang merasa bahwa tangis lawan bicaranya ini tak kunjung berhenti memutuskan untuk mengeratkan pelukan mereka berdua, “Jenaka itu bukan tipikal pembangkang, ar. Dia anak yang baik, dia cuma butuh waktu untuk bisa mencerna semuanya. Bagi jenaka sosok ibu yang sebenarnya adalah seseorang yang merawat dia, itulah mengapa dia masih sulit menerima kamu.”

Prasetya kemudian melepaskan pelukannya pada pinggang aria, mengarahkan kedua tangannya guna menghapus jejak air mata yang masih setia mengaliri pipi pualam sang model sambil melanjutkan kata-katanya, “Proses nya nggak akan mulus, ar. Semuanya jelas akan menjadi sulit karena kalian berdua harus menyesuaikan diri satu sama lain. Ayo jelaskan pelan-pelan ke Jenaka kalau kamu ibunya, kamu yang mengandung dan melahirkan dia. Ayo buktikan ke anak kamu kalau kamu memang layak menjadi seorang ibu walaupun jenaka nggak pernah merasakan hangatnya pelukanmu saat dia lahir.” 

Pria taurus itu masih setia memandangi lelaki tercintanya yang enggan melepas pelukan mereka berdua. Mengusap wajah tirus itu lembut sambil terus menyakinkan aria bahwa semua akan baik-baik saja, “Manusia itu makhluk pemaaf, ar. Tergantung seberapa besar usaha kamu untuk mendapatkan maaf dari mereka. Kamu dan jenaka itu terikat, sekeras apapun dia menolak kamu, nggak akan mengubah kenyataan kalau kamu yang melahirkan dia.”

Mendengar hal tersebut membuat aria kembali tegar hati, ia menghapus air matanya dibantu prasetya yang setia mendengar tangisan pilunya sejak tadi. Pada akhirnya aria menyadari bahwa prasetya memang sosok lelaki yang tulus, kepribadiannya tidak pernah berubah semenjak ia mengenal pria itu.

Tutur katanya selalu lembut, pandangan matanya yang tulus membuat aria jelas menyesal karena ia begitu bodoh dengan merelakan lelaki ini pergi begitu saja dari hidupnya padahal ia jelas tau bahwa pras mencintainya sepenuh hati. Bahkan aria berani bertaruh, prasetya tidak pernah membencinya setelah apa yang ia lakukan di masa lalu.

“Aku nggak pantes buat kalian berdua, a-aku”

Grep.

Lagi. Sebelum aria mampu menyelesaikan kata-katanya prasetya terlebih dahulu memeluk tubuh mungilnya, “Ssst, udah, udah. Stop ngomong, kamu makin ngelantur. Kamu nginep sini aja, nanti malam kita coba ngomong lagi sama abang. Siang ini biarin kamu dan jenaka sama-sama istirahat. Aku nanti mungkin mau minta tolong mas sena untuk bawa hiraya sebentar. Karena kalau ada hiraya, kamu dan jenaka pasti nggak bisa puas meluapkan emosi. Jenaka pasti ingin selalu lari ke hiraya dan kamu tentunya akan merasa terluka.

Mendengar kata-kata sang dominan aria hanya mampu mengangguk dalam dekapannya, “Terimakasih, pras.”

Prasetya tersenyum manis, “Sama-sama, aria.”