rainygreyskies

Kayra telah bersiap-siap. Kini ia sedang berjalan menuju kampus. Semenjak menerima pesan dari Jaehyun, ia sangat gelisah. Apalagi ia diharuskan untuk datang sendiri. Kayra pun juga tidak mengabarkan kepada teman-temannya. Khawatir jika temannya akan mendapat masalah karena dirinya. Pun ia tidak mengabarkan kepada Doyoung. Dia tidak ingin jika kakak tingkatnya itu terlibat perkelahian lagi.   Sampailah Kayra di sebuah ruangan. Beberapa kakak tingkatnya di sana. Semua memandang sinis ke arah Kayra. Sementara itu, Kayra justru memberikan senyum ramah kepada mereka.   “Oh, sudah datang?” adalah kata sambutan yang diberikan oleh Jaehyun. Dapat Kayra lihat, bahwa luka bekas tonjokkan pada wajah menawan pemuda tersebut tidak separah milik Doyoung. Kayra merasa bersalah karena ia telah bersikap keras terhadap Doyoung. Sekarang, dia justru ingin menghancurkan wajah menawan pemuda Jung tersebut.   Pemuda Jung menepukkan kedua tangannya untuk mengumpulkan perhatian audiensi.   “Kita akan mulai rapatnya dalam lima menit,” tandasnya.   Menelaah sekitar, batin Kayra berbisik, Kok belum datang? Padahal Kak Doyoung juga termasuk panitia inti, kan?   Merasa ada yang janggal, Kayra segera mengirimkan pesan pada orang yang sedari tadi memenuhi pikirannya.   Lo nggak datang rapat, Kak? tulisnya.   Mendapat balasan, Kayra pun terkejut. Benar, seperti dugaannya, bahwa Doyoung tidak tahu mengenai hal ini. Kayra pun akhirnya menyadari bahwa sedari tadi yang datang rapat hanyalah orang-orang yang sedang berada dalam ruangan ini. Padahal, jumlah keseluruhan panitia inti tiga kali lipat lebih banyak dari ini.   Lima menit sudah berlalu. Rapat akhirnya dimulai. Kayra langsung mendapatkan sebuah pertanyaan yang datang dari keponakan sang kaprodi tersebut—Bastian.   “Gimana, Kayra? Lo mau protes apa lagi, nih?” Bastian memberikan penekanan ketika menyebut nama Kayra. Tak lupa, ia pun memandang rendah Kayra sembari menarik sudut kanan bibirnya.   “Sudah saya katakan di rapat final kemarin, Kak.” Kayra menjawab dengan tatapan penuh keyakinan.   “Kemarin? Boleh diulang nggak? Gue lupa soalnya,” ucap Bastian mengetuk pelipis kanannya dengan telunjuk.

“Lupa, ya? Padahal Kakak kemarin selalu menyanggah ucapan saya,” sindir Kayra tak kalah keras.

“Anjing lo, ya!” Hampir saja Bastian melayangkan sebuah tamparan pada Kayra. Namun, Kayra berhasil mencegah tangan tersebut mengenai wajahnya.

“Kekerasan tidak diperbolehkan di mana pun. Kalau mau, saya bisa layangkan gugatan. Kakak sudah berusia di atas 17 tahun. Segala perbuatan Kakak dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.”

Tidak ada balasan. Bastian masih mematung. Tangan kirinya mengepal keras hingga buku-buku jarinya memutih. Rahangnya mengeras. Dia kalah telak.

Masih dengan posisi seperti itu, seseorang datang mendobrak pintu.

“Kayra!” pekiknya ketika mendapati Kayra sedang menahan tangan Bastian yang hendak memukulnya.

Terkejut, Kayra membelalakkan matanya. Tak percaya jika Doyoung akan datang. Ia hanya mengirimkan sebaris pesan. Namun, Doyoung tahu bahwa ada yang janggal. Insting pemuda itu menuntunnya untuk datang secara langsung ke sini. Ke ruang rapat.

Tak ingin kejadian yang sama terulang, Kayra berdiri di depan Doyoung, mencegah kakak tingkatnya itu bertindak seperti kemarin. Doyoung menghela napasnya berat.

“Gue juga panitia inti, tapi kenapa gue nggak dikasih tahu kalau ada rapat? Kenapa juga Kayra datang sendiri? Dan setelah gue lihat, lo mau nampar Kayra?” Pandangannya beralih ke Bastian. Yang ditatap menunduk. Tak berani menatap balik.

Doyoung mengarahkan telunjuknya. Menunjuk mereka satu persatu. “Gue bisa laporin kalian semua. Nggak peduli ada keponakan kaprodi atau nggak. Selama gue bener, gue bakalan maju.”

“Kok lo ngancem?” Bastian yang semula sudah sedikit tenang, kini kembali tersulut emosi.

“Diam! Lo itu salah. Kalian para kakak tingkat juga salah! Harusnya kalian kasih contoh yang baik. Bukan malah jadi pecundang nyuruh Kayra datang sendirian ke sini.”

Ditariknya tangan Kayra ke dalam genggamannya. “Ayo kita pergi dari sini, Kay.”

Doyoung membanting pintu. Bastian murka. Ia berteriak. Beberapa kursi menjadi sasaran empuk atas amarahnya.

Doyoung menuntun Kayra ke tempat parkir. Memakaikan helm pada gadis tersebut. Seperti sudah direncanakan, Doyoung membawa dua helm. Untuknya dan untuk gadis yang disuka.

Keduanya tenggelam dalam diam. Tidak sesuai dugaan Kayra yang mengira bahwa Doyoung akan mengantarnya pulang, kakak tingkatnya itu justru melewati kosannya begitu saja.

“Kita mau pergi ke mana, Kak?”

Tidak ada jawaban. Doyoung masih sibuk mengendalikan amarahnya.

Dua jam perjalanan belum ada yang membuka percakapan sampai akhirnya mereka tiba di daerah perbukitan. Doyoung menghentikan motornya lalu menanggalkan helmnya.

“Ini tempat apa, Kak?” Kayra akhirnya membuka suara. Yang ditanya tidak menjawab. Ia justru berjalan begitu saja, menghiraukan Kayra.

Kayra pun mengikuti langkah Doyoung. Betapa takjubnya ia melihat pemadangan yang menghampar di depannya. Begitu cantik.

“Wah, bagus banget tempatnya.” Kayra tersenyum lebar. Melihat itu, Doyoung menarik sebuah senyuman.

Pemuda itu duduk. Disusul dengan gadisnya.

“Kenapa, Kak?” tanyanya.

Doyoung menoleh. Memandang bingung.

“Kenapa apanya?”

“Kenapa belain gue? Bahkan sampai dua kali.”

Pemuda itu tampak bepikir sesaat lalu tersenyum.

“Kenapa lo nggak bilang ke gue?” Ia justru menjawab dengan pertanyaan.

“Gue takut kalau lo bakalan kayak kemarin.”

Doyoung menarik sudut bibirnya. “Gue baru pertama kali kayak gitu.”

Lagi-lagi, Kayra terkejut. “Serius?” tanyanya tak percaya. Yang ditanya mengangguk.

“Maaf, Kak,” ucap Kayra tiba-tiba.

“Maaf untuk?”

“Kemarin malah marahin lo. Setelah tadi ketemu Kak Jaehyun, gue baru sadar kalau luka lo lebih parah dari dia.”

Menghela napas kuat-kuat, Doyoung memandang langit yang tampak berkabut.

“Lo pengen tahu kenapa gue kayak gitu?” tanyanya dengan terus memandang ke atas.

Kayra mengangguk. “Iya.”

Pandangannya beralih. Kembali menatap Kayra dengan tatapan yang lebih dalam.

“Karena gue suka sama lo.”

⚠️ Blood, Violence, Harsh Word

Pembaca diharap bijak. Adegan kekerasan tidak untuk ditiru.

Rapat kembali diadakan. Minggu perminggu dihabiskan. Berbagai upaya yang dilakukan untuk mendapatkan dana pun turut dilakukan. Mereka semua tidak pernah absen untuk mengeluh. Meskipun demikian, pekerjaan diselesaikan dengan amat baik.

Hari ini adalah rapat final untuk membahas acara. Progres demi progres terus dilaporkan. Banyak yang berbisik jika acara yang diselenggarakan terlalu memaksakan.

“Ada yang ingin disampaikan?” Sang ketua memberi kesempatan kepada yang hadir di sana. Barang kali ingin menyampaikan sesuatu mengenai acara tersebut.

“Denger-denger, kemarin ada yang keberatan karena iuran kating sama angkatan mereka beda jauh. ” Seseorang menyindir. Berusaha memantik keadaan yang semula memang sudah memanas. Ia menuai banyak atensi. Dengan raut muka meremehkan, ia kembali berbicara.

“Kenapa? Bener kan apa yang gue omongin?”

Jaehyun membaca situasi kemudian mengambil alih. Dengan emosi yang ia tahan, ia menjawab. “Kan udah dijelasin, ya. Kalian belum punya kas. Angkatan kami mengambil dari kas dan kurangannya ditutup dengan iuran.”

“Ada lagi yang mau disampaikan?” Netranya menelaah satu persatu. Barang kali ada yang menginterupsi.

“Saya, Kak.” Pandangan mata mengarah pada gadis berambut pendek tersebut. Kayra berdiri. Mengepalkan kedua tangan, mengatur napas agar tetap tenang.

“Ya, Kayra. Apa yang mau disampaikan?” Jaehyun memberikan waktu kepada Kayra untuk berbicara.

“Izinkan saya untuk memperkenalkan diri terlebih dahulu. Saya Kayra. Saya di sini ingin menyampaikan beberapa keluh kesah dari angkatan kami selama tiga bulan terakhir ini.” Ia memantapkan posisinya, berdiri dengan tegap. Sorot matanya menajam. Ia kembali menarik napas dalam-dalam.

“Pertama, meskipun kami semua berperan sebagai panitia, namun kami terbagi menjadi beberapa divisi. Setiap divisi terdapat satu pembimbing. Pembimbing diambil dari angkatan di atas kami. Seperti yang Kakak pernah katakan, acara ini adalah acara yang diselenggarakan oleh angkatan kami. Tapi, mengapa ketika kami mengusulkan ini dan itu, pembimbing selalu menolak dan mengharuskan kami untuk patuh dengan keputusan yang dibuat secara sepihak?”

Suasana yang semula tegang, berubah menjadi riuh. Beberapa dari mereka bertepuk tangan. Setuju akan apa yang Kayra katakan.

“Anjir, Kayra.” Jaemin terkagum. Kayra biasanya hanya terdiam ketika semuanya berkeluh kesah. Namun, hari ini adalah suatu hal yang baru pemuda itu ketahui dari temannya tersebut.

“Benar! Benar!” Semuanya yang setuju berteriak.

Seseorang dari angkatan atas mencoba menginterupsi.

“Eh, semua yang disarankan kita tuh udah dipikirin. Semuanya diputuskan dengan baik-baik!” Yang menginterupsi tak kuasa menahan emosinya. Tersinggung karena tuduhan yang dilayangkan Kayra memang benar begitu adanya.

“Diputuskan dengan baik-baik?” Kayra memberikan penekanan. “Diputuskan baik-baik bagaimana Kak maksudnya? Kok kami tidak bisa mengerti apa yang Kakak ucapkan? Karena yang kami tahu, kami hanya disuruh untuk menurut. Kami bahkan tidak ditanya mengenai pendapat kami, saran apa yang dapat kami tawarkan, dan keinginan apa yang ingin kami wujudkan.”

Angkatan atas tampak ricuh. Mereka tak terima dengan kebenaran yang dibeberkan oleh Kayra.

“Semuanya tenang!” perintah Jaehyun sembari menepukkan kedua tangan.

“Kayra, lanjut.” Jaehyun memerintahkan Kayra untuk melanjutkan kalimatnya.

“Yang kedua, acara yang akan diselenggarakan ini terlalu memaksakan. Persiapan hanya tiga bulan dengan dana nol. Bahkan kami harus menjual pakaian bekas kami yang masih layak pakai untuk menutupi kekurangan karena sponsor tidak banyak membantu terkait keuangan. Sponsor yang didapatkan hanya berupa voucer dan beberapa merch.”

Kalimat protesnya kembali di potong.

“Lo tahu nggak, sih? Kita udah susah payah mendatangi sponsor satu persatu, tapi mereka cuma mau kasih voucer!” Nada yang diucapkan semakin meninggi.

“Berarti acara ini memang tidak bisa meyakinkan para sponsor untuk memberikan mentahan berupa uang dong, Kak?” Kayra kembali bertanya. Mengontrol emosinya sebisa mungkin.

“Jika berkaca dari fakultas sebelah, Pre-Order tiket dimulai enam bulan sebelum acara diselenggarakan. Sponsor mereka begitu banyak. Artinya, mereka benar-benar dapat meyakinkan para sponsor untuk memberikan 'mentahan' untuk mendukung acara yang mereka selenggarakan. Sementara jurusan kita? Rencana kegiatan baru diumumkan tiga bulan sebelum acara diselenggarakan.

“Terlebih, acara akan diselenggarakan secara gratis, padahal kami sangat kekurangan biaya. Untuk mengahadirkan Guest Star saja beberapa panitia mengeluarkan uang pribadinya. Bagaimana kita semua akan bertanggung jawab untuk mengganti uang pribadi tersebut? Dengan iuran lagi? Menurut saya, itu sama sekali tidak masuk akal dan tidak menghargai usaha Teman-Teman dan Kakak-Kakak semua.

“Jadi, bagaimana pertanggungjawabannya, Kak? Karena sebuah sertifikat tanda berpartisipasi dalam kegiatan saja tidak cukup untuk membayar semua tenaga, biaya, dan waktu yang telah kami korbankan. Terima kasih.” Kayra menutup kalimat protesnya.

Gadis itu mendapat tepuk tangan yang begitu meriah dari teman satu angkatannya. Sementara itu, angakatan atasnya memandang sinis ke arahnya. Bagaimana tidak? Perkataan Kayra berhasil menjatuhkan mereka semua. Terbukti dengan banyaknya tepuk tangan dan pujian yang Kayra dapatkan.

“Ya terus lo pengennya gimana? Acara dibatalin?” Dengan netra yang memerah dan emosi yang semakin memuncak, orang itu tak hentinya membentak-bentak.

“Bisa nggak sih ngomongnya nggak pakai teriak?” Doyoung mengingatkan dengan suara yang memekik. Pemuda itu sedari tadi hanya diam. Sibuk mengendalikan emosinya yang tertahan. Dia tidak suka jika gadis yang disukainya diperlakukan secara kasar dan ditatap dengan tatapan merendahkan.

“Gue dari tadi diemin lo. Gue hormatin lo sebagai temen. Tapi lo makin nggak terkendali. Kayra tanyanya baik-baik, kenapa lo jawabnya sambil teriak? Kenapa? Lo sakit hati karena semua perkataan Kayra itu benar?” Doyoung mendekat. Mengikis jarak di antara mereka. Yang ditanya menunduk, merendahkan pandangannya. Tak berani menatap kedua manik Doyoung yang membara.

“Udah, Doy.” Jaehyun meraih bahu Doyoung, mencoba menenangkan temannya itu agar emosinya tidak semakin tersulut. Yang ditenangkan mengibaskan tangan Jaehyun dari bahunya. Menatap pemuda itu dengan tatapan nyalang.

“Lo juga! Dari awal gue udah menentang ide gila ini. Semua ini nggak ada gunanya. Kenapa susah-susah mau mengembalikan nama baik prodi padahal angkatan kita sendiri yang menghancurkan? Kalau dana nggak bermasalah, gue bisa terima acara ini diselenggarakan. Tapi ini apa? Bahkan buat ngundang Guest Star aja kita nggak mampu. Sampai harus ngerusuhin dana pribadi beberapa anggota. Apa lo nggak malu? Masih banyak kegiatan lain yang bisa dilakukan tanpa perlu ngemis ke banyak sponsor. Lo bisa mikir nggak sih sebagai ketua?”

Doyoung berhasil mengeluarkan semua emosinya yang tertahan dalam satu napas panjang. Dalam kalimatnya, ia memberikan penekanan demi penekanan. Sementara itu, pemuda di depannya memandang Doyoung dengan amarah yang telah membuncah.

“Bajingan!” Suara pemuda itu memekik.

Yang dihina tidak terima. Satu tinjuan berhasil ia layangkan. Kepalan tangannya berhasil mengenai pipi sebelah kiri pemuda di depannya. Doyoung tersungkur begitu saja ke lantai. Pergolakan tak terkendali. Mereka saling beradu jotos. Suara pukulan demi pukulan menggema di seluruh ruangan. Dengan emosi yang saling memuncak dan rasa benci yang saling menghinggapi, pergolakan tak dapat dihindari.

Satu persatu yang hadir di sana diinstruksikan untuk segera meninggalkan ruangan. Yuta dan Taeyong berusaha melerai Doyoung dan Jaehyun. Namun, yang didapatkan hanyalah sebuah kesia-siaan. Keduanya tenggelam dalam perkelahian yang tak terhentikan sebelum akhirnya mereka sama-sama lelah untuk melanjutkan. Cairan pekat berbau amis bercucuran keluar dari pelipis kedua pemuda yang saling beradu jotos tersebut.

Kegiatan makrab saat ini tengah berjalan. Makrab jurusan ini dilaksanakan selama tiga hari. Para mahasiswa baru memiliki waktu yang singkat untuk beristirahat karena acara yang diselenggarakan tergolong padat. Namun, mereka dapat memanfaatkan waktu istirahat dengan sangat baik. Entah bercanda, bernyanyi, bermain, atau bahkan membeli beberapa makanan yang dijajakan di sekitar vila tempat mereka menginap.

Pada hari pertama, kegiatan masih berupa sambutan dan penyampaian materi mengenai jurusan. Pada hari kedua, kegiatan lebih bervariasi. Mereka mendengarkan pengalaman dari beberapa alumni yang datang ke tempat makrab. Setelah itu, mereka diinstruksikan untuk berkelompok dan berlatih drama untuk ditampilkan.

Haechan berhasil mencuri banyak perhatian karena penampilannya yang dapat membius para penonton. Aktingnya layak diberi banyak pujian dan acungan jempol. Haechan mampu menangis tersedu-sedu ketika bermain peran. Sangat jauh dari ekspektasi teman-temannya. Mereka berekspektasi jika Haechan akan memerankan sosok tokoh yang lucu dan konyol sesuai dengan kepribadiannya. Namun, Haechan jauh lebih hebat dari pada itu. Bahkan, Jaemin pun langsung memeluk Haechan begitu ia selesai tampil. Teman-temannya layak bangga terhadap Haechan.

Setelah penampilan drama selesai, tiba saatnya untuk menyalakan api unggun. Semuanya tampak begitu antusias karena semakin malam, udara semakin dingin. Jaemin membawa beberapa lembar koyok yang ia potong menjadi kecil-kecil untuk dibagikan.

“Nih, pakai koyoknya biar badan tetap hangat.” Jaemin menghampiri teman-temannya yang sedang berkumpul untuk menjaga tubuh mereka agar tetap hangat.

“Eh, kalau nggak kuat mending masuk aja,” ucap Kayra pada teman satu jurusannya yang tampak menggigil. Gadis itu juga terlihat pucat. Kayra melihat-lihat sekeliling, mencari sosok Doyoung.

“Kak!” panggilnya. Yang dipanggil segera mendekat.

“Ada apa, Kay?”

“Boleh nggak Kak kalau dia di dalam aja? Soalnya udah pucat banget.” Kayra meminta keputusan dari Doyoung.

“Tapi habis ini api unggun. Bakalan lebih hangat di sini dari pada di dalam vila.”

“Kalau gitu gue ambilin selimut, ya?” Temannya mengangguk.

“Kak, tolong jagain dia dulu,” pinta Kayra pada Doyoung.

Beberapa menit kemudian, Kayra datang. Ia berlari sembari membawa selimutnya. Gadis itu memakaikan selimutnya pada temannya.

“Ke sana, yuk! Di sana lebih dekat sama api unggun.” Kayra menarik temannya tersebut untuk mendekat ke arah perapian.

Setelah itu, Kayra kembali lagi. Ternyata Doyoung masih menunggunya.

“Lo sendiri gimana? Kedinginan, nggak?” tanya Doyoung dengan raut khawatir. Kayra menggeleng. Memang udaranya dingin, tetapi Kayra masih bisa menahannya.

“Jangan-jangan lo yang kedinginan, Kak?”

“Enggak. Gue udah terbiasa. Tiga tahun ini selalu ke sini.” Kayra mengangguk.

“Ya udah, Kak. Balik lagi sana!”

Doyoung justru duduk di atas sebuah batu yang terletak di sampingnya.

“Kerjaan gue udah selesai. Sekarang mau mantau.”

“Gimana, Kak? Beda nggak makrab tahun ini?” Mengingat Doyoung menentang adanya makrab, Kayra penasaran dengan pendapat Doyoung setelah makrab berlangsung.

“Beda. Soalnya tahun ini ada lo.” Tatapannya beralih ke Kayra. Sementara yang ditatap hanya membeku. Jantungnya berdetak semakin kencang.

“Kenapa diam?” lanjut Doyoung. Namun, Kayra masih membeku. Gadis itu masih tidak merespon.

Doyoung membenarkan posisinya, duduk dengan tegap. “Kalau ketua Komdis sedang bertanya tuh dijawab, Kayra,” ucapnya tegas, namun dengan nada yang lembut.

“Tadi tanya apa, Kak?” Kalimat dari Doyoung barusan berhasil membuyarkan lamunan Kayra.

“Harusnya telinga lo masih berfungsi normal deh, Kay.”

Sorry, gue tadi ngelamun.”

“Ngelamunin apa?”

“Bukan apa-apa, kok. Ke sana yuk, Kak!” Kayra lebih memilih untuk mengalihkan pembicaraan. Kini mereka menuju ke perapian. Beberapa mahasiswa berusaha untuk menyalakan api unggun tersebut.

Api unggun pun sudah dinyalakan. Mereka berkumpul menjadi satu. Jaehyun menginstruksikan Wendy dan Seulgi untuk mulai bernyanyi. Semua yang ada di sana ikut menyanyikan lagu yang dialunkan oleh Wendy dan juga Seulgi. Suasana begitu menyenangkan dengan api unggun yang menghangatkan.

Doyoung yang berada di samping Kayra juga turut bernyanyi. Kehadiran Doyoung di samping Kayra membuat beberapa mahasiswa dan mahasiswi saling berbisik. Mengapa Doyoung ada di sini berkerumun bersama adik tingkatnya? Mengapa Doyoung tidak ikut berkumpul dengan teman-temannya? Dan mengapa Doyoung ada di sebelah gadis berambut pendek sambil terus menatapnya? Begitulah kira-kira.

Kayra pun sadar dengan tatapan tidak enak dari teman-temannya. Akan tetapi, dia tidak ambil pusing. Dia hanya ingin menikmati nyanyian di depan api unggun.

“Lo nggak ikutan tampil, Kak?” tanya Kayra pada Doyoung. Doyoung menggeleng.

“Kenapa? Padahal suara lo bagus. Bagus banget malah.”

“Gue mau di sini aja. Ngobrol sama lo.”

“Mau ngobrolin apa?”

“Apa aja.”

Mereka lalu terdiam.

“Lo emang pengen masuk ke jurusan ini, Kay?” tanya Doyoung kemudian.

Kayra menggeleng. “Nggak. Dulu aslinya gue pengen masuk ke Institut Seni Indonesia yang ada di Yogyakarta, mau ambil jurusan musik. Tapi, ibu menentang itu, Kak.”

“Maksud lo ISI? Sama dong! Tapi kenapa kok ibu menentang?” Doyoung tertarik untuk menyelidiki alasan apa yang menghentikan keinginan Kayra.

“Karena kakek—ayah dari ibu adalah seorang seniman, ibu bilang, “Nanti kamu bakalan jadi kayak kakek kamu. Di rumah nggak ngapa-ngapain selain bikin gitar. Ibu nggak bakalan kasih izin,” gitu, Kak. Padahal kakek dulu punya ben, bahkan udah beberapa kali ketemu sama musikus legendaris, tapi tetap aja susah buat meyakinkan ibu.”

Doyoung mengangguk ketika mendengarkan penjelasan dari Kayra.

“Kalau Kak Doyoung? Kenapa pengen masuk ke ISI dan kenapa kok berakhir di sini?”

“Hm, pertanyaan yang kompleks, ya.”

“Kalau nggak mau jawab juga nggak apa-apa.”

“Nggak, kok. Gue mau jawab.” Setelah itu Doyoung berdeham.

“Gue punya ketertarikan yang sama kayak lo. Rencana jangka panjang pun udah gue susun. Tapi, Tuhan nggak mengabulkan. Ayah pakai uang yang udah disisihkan buat pendidikan untuk investasi. Apesnya, ayah kena tipu. Kontraknya emang nggak ada yang janggal. Tapi, ternyata justru itu yang jadi penyebabnya. Nggak bisa nyalahin siapa-siapa. Tapi, gue masih ada sedikit rasa benci ke ayah. Kenapa pakainya pas gue mau kuliah? Sangat disayangkan.”

Doyoung menjelaskan dengan tatapan yang sedikit sayu. Kayra pun sedikit merasa bersalah.

“Harusnya gue nggak tanya ya, Kak?”

“Nggak, kok. Gue nggak keberatan juga kalau lo tahu. Sekarang udah diganti sama Tuhan. Gue dapat beasiswa sampai gue lulus nanti.”

“Syukur deh kalau gitu. I'm proud of you, Kak. Jangan terlalu benci sama ayah lo, ya.”

Thanks, Kay. It means a lot. Tapi gue seneng karena berakhir di sini.”

“Karena? Jurusannya? Temannya?” tanya Kayra penasaran.

“Itu termasuk salah satu alasannya.”

“Berarti masih ada alasan lain lagi? Apa? Dapat beasiswa?”

“Iya, tapi masih ada lagi.”

Kayra berusaha berpikir sebelum akhirnya menyerah. “Apaan, Kak? Gue udah nggak bisa nebak lagi.”

“Karena bisa ketemu sama lo.”

Sementara itu, Jeno tak henti-hentinya menatap Kayra dan Doyoung. Terlebih, kini Kayra memukul punggung Doyoung lalu tertawa bersama.

“Udah ada yang bikin dia bahagia ternyata,” gumamnya.

Kala itu, rasa sakit ini masih menyeruak masuk. Dengan buasnya mencabik-cabik seluruh jiwaku. Biarpun kuceritakan berapa kali, tak seorang pun yang benar-benar mengerti. Sampai akhirnya, satu yang aku sadari. Mungkin mereka tidak persis mengerti, namun mereka mencoba untuk memahami. Setidaknya, aku harus berterima kasih. Berkat mereka, pilu yang terus menyerang dadaku perlahan luruh. Bersamaan dengan datangnya sebuah kebahagiaan baru, kini hidupku tak lagi berwarna kelabu. Untuk itu, kucoba untuk sedikit membuka diriku. Untuk kawan-kawanku, terima kasih kuucapkan selalu.

Semua yang datang akan pergi. Meskipun begitu, aku tidak akan merugi. Justru, banyak peristiwa yang membuatku lebih menyadari, aku hidup untuk apa? Jawabannya masih kucari hingga saat ini. Kala aku sedang mencari jawaban, aku bertemu dengan seseorang. Penampilannya sungguh enak dipandang. Buktinya, ketika dia sedang berjalan, banyak pasang mata yang memperhatikan. Namun, aku terkejut ketika dia berhenti tepat di hadapanku. Membuat pasang mata yang memperhatikan memulai untuk berbisik. Bisikan yang tidak enak untuk didengarkan. Tetapi juga bisikan yang terlalu keras, atau bahkan itu adalah sebuah cacian untukku?

Dia berhenti di depanku, menanyakan letak sebuah ruangan. Entah kebetulan apa, ternyata dia sekelas denganku. Ya, hari ini adalah hari pertama masuk kuliah. Selama ospek, aku tidak begitu tahu siapa saja yang menjadi teman sekelasku. Mungkin, aku tahu namanya, tetapi tidak dengan rupanya. Ternyata, dia adalah salah satunya. Aku pun menjawab bahwa aku tidak tahu. Lalu, dia mengusulkan untuk berjalan bersamaku mencari ruangan itu.

“Semesta,” ucapnya lalu mengulurkan tangannya padaku. Aku sedikit terkejut menerima perkenalan darinya. Namanya yang terdengar asing, tapi juga indah. Lama aku memandanginya, hingga akhirnya satu alisnya terangkat. Aku membuyarkan pikiranku. Segera kuulurkan tangan untuk menjabatnya.

“Kirana,” balasku lalu tersenyum canggung ke arahnya. Ia pun membalas dengan senyum yang begitu menawan.

Begitulah awal pertemuanku dengannya. Memang terkesan sangat biasa, bukan? Tetapi, karena dirinyalah aku dapat membangun kembali tentang sebuah rasa percaya.

Dia, Semesta.

Burung berkicau, suara orang berlalu-lalang mulai terdengar. Cukup menandakan bahwa hari sudah mulai pagi. Kayra bangun dari tidurnya. Tak lama setelah itu, alarmnya berbunyi. Gadis itu bangun sedikit lebih awal.

Hari ini adalah hari pertama ia resmi menyandang status sebagai mahasiswa. Kuliah perdana akan dimulai beberapa jam lagi. Ia harus bersiap-siap agar tidak terlambat.

Tak butuh waktu lama, Kayra sudah keluar dari kamar mandi. Gadis itu kemudian bersiap. Hari ini ia sempatkan sarapan untuk mengganjal perut kosongnya dengan sepotong roti yang telah dibelinya kemarin. Mungkin, besok ia harus mempersiapkan sarapan yang lebih layak lagi.

Kini Kayra berjalan menuju kampus. Jarak kosnya dengan kampus tak begitu jauh. Mungkin membutuhkan sekitar tujuh menit perjalanan jika berjalan kaki. Gadis itu memang harus menekan pengeluarannya sekecil mungkin. Toh, dengan berjalan kaki justru membuat badannya lebih sehat.

Beberapa hari yang lalu, orang tuanya telah menawarkan untuk mengirimkan motor. Akan tetapi, gadis itu menolaknya. Ia mengatakan bahwa belum ada kegiatan yang mengharuskannya untuk membawa motor ataupun kegiatan yang mengharuskannya berjalan jauh. Mungkin untuk ke depannya, keputusannya akan berubah.

Kampus masih tampak sepi. Hanya ada beberapa kucing yang berlalu-lalang dan juga petugas kebersihan yang membersihkan kampus tiap paginya. Kayra menyapa mereka dengan senyumannya.

Ia memang datang lebih awal dari seharusnya. Akan tetapi, 30 menit lagi perkuliahan akan segera dimulai dan belum ada satu pun teman sekelas Kayra yang menampakkan batang hidungnya. Gadis itu memutuskan untuk menunggu temannya di dalam kelas, akan tetapi pintu ruang kelas masih terkunci. Gadis itu melangkahkan kakinya dengan berat untuk mengambil kunci ruangan.

“Permisi, Pak.” Kayra menginterupsi petugas kebersihan yang sedang menjalankan pekerjaannya.

“Saya mau masuk kelas, tapi ruangannya masih dikunci. Saya harus ambil kuncinya di mana ya, Pak?” tanyanya.

“Oh, ambilnya di ruang transit dosen, Mbak.” Petugas kebersihan tersebut kemudian menunjukkan jalan kepada Kayra.

“Makasih ya, Pak.”

Kini Kayra tengah berdiri di depan ruang transit dosen. Ia kemudian masuk ke dalam ruangan tersebut. Netranya menangkap sosok yang dikenalnya di sana. Akan tetapi, badannya justru membeku tatkala sosok itu mengarahkan pandangan ke arahnya.

“Kayra?” sebut pemuda dengan kemeja kotak-kotak tersebut.

Lamunan Kayra membuyar. Ia kemudian melangkah maju.

“Kak,” sapa gadis tersebut.

“Mau ambil kunci?” tanyanya. Kayra pun mengangguk.

“Ruangan 215 kan, ya?” tanyanya memastikan. Lagi-lagi Kayra pun mengangguk.

“Nih.” Pemuda itu menyodorkan sebuah kotak yang berisi kunci, beberapa remote, serta spidol lengkap dengan penghapusnya.

Kayra menerima kotak tersebut tanpa mengatakan sepatah kata apa pun. Ia masih sibuk dengan pikirannya.

“Oh, iya. Ini juga jangan lupa.” Pemuda itu kembali menyodorkan sesuatu—kertas absen.

“Makasih, Kak.” Pemuda itu membalas ucapan terima kasih Kayra dengan senyuman.

“Udah bilang ke teman-teman lo?” tanyanya.

“Udah, Kak. Nanti gue ingetin lagi.”

“Oke. Sampai ketemu nanti?” ucapnya dengan sedikit ragu.

“Sampai ketemu nanti, Kak.”

Pemuda itu melangkah keluar dari ruangan. Di saat yang bersamaan, sosok pemuda yang juga Kayra kenal hendak masuk ke dalam ruangan.

Pemuda dengan pakaian serba hitam tersebut menyapa kakak tingkatnya yang hendak keluar dari ruangan. Setelah itu, ia melangkah masuk.

“Kay,” sapa pemuda tersebut.

“Jen.” Kayra membalas sapaan Jeno.

“Udah ambil kuncinya?” tanya Jeno.

“Udah. Tadi Kak Doyoung yang bantu ngambilin.”

“Oh,” jawabnya singkat.

Mereka diam sejenak.

“Ya udah. Ayo ke kelas. Udah lumayan yang datang.”

“Iya. Ayo.”

Perkuliahan pun dimulai dan berakhir pukul 10.30. Kuliah perdana ini hanya digunakan untuk perkenalan dan membahas alasan para mahasiswa memilih jurusan dan kampus tersebut. Ya, klasik. Namun, begitulah adanya.

Satu persatu mahasiswa berhamburan keluar dari ruangan.

“Gila! Tiga jam tuh lama banget, ya,” keluh Ryujin dengan mengibaskan tangannya seolah sedang kepanasan.

“Ini aja kita belum nerima materi. Gimana nanti, ya? Harus betah deh, Ryu,” balas Kayra.

Jaemin tampak mendekat ke arah Kayra dan Ryujin. Disusul oleh Jeno, Haechan, dan juga Renjun.

“Kuliah lagi jam 13.00, ya?” tanya Jaemin, yang lain mengangguk.

“Terus ini kita ngapain?” tanyanya dengan muka datar. Jeno menggelengkan kepalanya. Sementara Haechan, ia mengangkat bahunya.

“Capek dong kalo harus nunggu sampai jam 13.00,” ucap Jaemin lalu mengerucutkan bibirnya.

“Makan aja, yuk! Gue laper nih. Tadi belum sarapan.” Ryujin mengajak teman-temannya.

“Terus nanti siang? Makan lagi?” Haechan mengajukan pertanyaan.

“Merangkap aja deh sarapannya. Nanti siang sekalian,” usul Jaemin.

Air muka Ryujin berubah masam. “Kalau lo mau makan, gue temenin,” tawar Kayra.

“Nggak, deh. Nanti aja sekalian.”

“Ke perpus aja, yuk! Sekalian aktivasi kartu anggota perpustakaan,” usul Jeno.

“Ngapain ke perpus? Kita kan belum dapat tugas buat cari referensi dari buku.” Jaemin menyela.

“Ada Wi-Fi di sana. Denger-denger juga ada kantinnya dan harganya murah,” jelas Jeno.

“Kan di sini juga ada Wi-Fi, ada kantin juga. Tuh, kelihatan harganya juga murah-murah.” Jaemin menunjuk kantin yang ada di seberang mereka. Sementara itu, Jeno tampak kesal.

“Iya, ayo ke perpus aja. Sebentar lagi pasti juga dapat tugas. Nggak rugi kalau kita aktivasi kartu perpustakaan dari sekarang.” Kayra mencoba menengahi perdebatan.

“Betul. Kalau nanti-nanti pasti antri. Mending dari sekarang aja.” Renjun menyetui apa yang dikatakan oleh Kayra.

Mereka berenam pun menuju tempat parkir dan saling berboncengan untuk menuju ke perpustakaan kampus.

Sesampainya di sana, mereka melakukan rencana yang telah dibuat sebelumnya lalu menuju ke lantai perpustakaan paling atas untuk menikmati view kampus mereka dari sana.

Setelah tiba jam makan siang, mereka memutuskan untuk putar halauan, yaitu kembali ke gedung fakultas mereka. Katanya, mereka ingin menikmati makan siang pertama mereka di kantin fakultas.

Selesai makan siang, mereka kembali ke kelas untuk menerima perkuliahan hingga pukul 16.00.

Kayra menginstruksikan teman-temannya untuk tetap tinggal di kelas terlebih dahulu sesuai apa yang ia janjikan kepada Doyoung. Kini jari jemarinya mengetikkan pesan yang ditujukan pada Doyoung. Tak lama setelah itu, beberapa orang masuk ke dalam ruangan. Semuanya tampak takjub.

“Gila! Semua yang sosialisasi itu kating terkenal kan, ya?” celetuk Ryujin. Tampaknya obrolan tersebut terdengar oleh Yuta, sehingga ia mengulas senyum ke arah Ryujin.

“Itu beneran gue barusan disenyumin? Lo tau kan kalau dia yang mulutnya paling minta ditampar pas ngeospek?” Ryujin memastikan kepada Kayra. Kayra mengangguk lalu meminta Ryujin untuk tenang dan memperhatikan apa yang akan kakak tingkat mereka sampaikan.

Jaehyun membuka suara dengan menyapa semua yang ada di sana. Setelah memberikan penjelasan singkat, kini Doyoung mengambil alih. Pemuda dengan kemeja kotak-kotak tersebut menjelaskan mengenai salah satu project yang dimiliki oleh BEM, mengenai sebuah kelas kepemimpinan. Mereka mempresentasikan project dengan sangat apik. Buktinya, sekarang mereka mendapatkan banyak pertanyaan seputar project tersebut.

“Gue mau ikut, ah. Kayaknya seru banget,” ucap Jaemin.

“Gue juga pengen ikut. Kita daftar bareng, yuk!” Haechan menanggapi.

“Lo nggak ikut, Jen?” tanya Jaemin. Jeno menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

“Belum tahu.”

“Kalau lo, Jun?”

“Gue nggak pinter berbaur sama orang baru.”

“Maka dari itu, lo jadi bisa belajar.”

Renjun tampak menimbang kalimat Jaemin. “Em, nanti gue pikirin lagi, deh.”

Presentasi dan sesi tanya jawab seputar project BEM berlangsung selama satu jam. Mereka pun meminta maaf karena telah menahan para adik tingkatnya sehingga di hari pertama kuliah, mereka harus pulang terlambat.

“Kalau mau daftar, tolong bilang ke Kayra, ya. Nanti biar dia list siapa aja yang mau ikut,“—Doyoung mengarahkan pandangannya ke Kayra—“nggak keberatan kan, Kay?” tanyanya kemudian.

Dengan cepat, Kayra menggeleng. “Nggak, Kak.”

“Nanti disetor ke gue ya, Kay.”

“Siap, Kak.”

Doyoung menutup presentasi mereka kemudian satu persatu anggota BEM keluar meninggalkan ruangan. Sementara itu, para mahasiswa baru masih sibuk berkemas.

Ryujin menepuk pundak Kayra. “Eh, Kay. Kenapa Kak Doyoung tadi nyuruh lo buat nge-list siapa aja yang mau ikut, ya? Padahal kan ada CP yang bisa dihubungin buat daftar?”

“Iya juga, ya?” Kayra tampak berpikir. “Tapi bisa aja biar gampang gitu, tiap kelas da list-nya sendiri,” lanjutnya.

“Iya kali, ya? Ya udah, deh. Cari makan, yuk! Laper,” rengek Ryujin.

“Lo mau makan lagi?” tanya Kayra tak percaya karena Ryujin tadi memesan nasi goreng dengan porsi jumbo ketika makan siang.

“Kan tadi itungannya sarapan, Kay. Kalau sekarang makan malam.”

Kayra hanya bisa menggeleng mendengar penuturan dari temannya tersebut.

“Oke, deh. Ayo makan malam.”

“Oi! Kalian ikut makan nggak?” teriak Ryujin pada yang lain.

“Kalau urusan makan mah ikut, dong. Udah laper lagi, nih,” ucap Haechan sembari memegang perutnya.

“Jun, tempat makan yang enak dan murah di mana?”

Hari terakhir ospek akhirnya tiba. Walaupun masih ada yang terlambat, Komdis sepertinya berbaik hati karena tidak memberikan sanksi kepada mereka.

“Tumben hari ini nggak ada yang dihukum lagi,” ucap Jaemin setelah menyadari bahwa tidak ada mahasiswa yang masuk ke dalam barisan khusus.

“Udah capek kali. Tiap hari ada aja yang telat soalnya.” Renjun turut berkomentar.

“Ini juga hari terakhir. Tapi ya nggak tahu juga kalau misalkan nanti ada yang nendang pintu lagi.” Semua tertawa oleh kalimat yang diucapkan Haechan.

“Stt, Komdis masuk.” Jeno memperingatkan teman-temannya agar segera menghadap ke depan.

​Doyoung mulai memberikan salam. Pemuda itu tidak tampak begitu garang seperti biasanya. Namun, ia masih terlihat sangat tegas dan berwibawa.

“Hari ini akan ada simulasi aksi. Kalian akan terbagi menjadi beberapa kelompok. Kelompok S1 akan digabungkan dengan kelompok D3. Selanjutnya, kalian harus bekerja sama untuk membuat spanduk yang akan kalian gunakan untuk simulasi nanti. Lebih lengkapnya akan dijelaskan oleh Yuta.” Doyoung mempersilakan Yuta untuk mengambil alih.

“Oke, saya ambil alih. Jadi, jika kalian sudah terbagi ke dalam kelompok masing-masing, kalian harus membuat spanduk seperti apa yang sudah dijelaskan oleh Doyoung. Alat dan bahan sudah disiapkan oleh panitia. Kalian tinggal membuatnya saja. Waktu kalian adalah satu jam. Setelah pembagian kelompok dibacakan, kalian langsung bergabung dan mulai mengerjakan. Paham?”

“Siap, paham,” jawab mereka serentak.

​Johnny selaku MC membacakan pembagian kelompok tersebut. Setelah selesai, para mahasiswa baru langsung berkumpul dan mencari tempat. Kayra sekelompok dengan teman semasa SMA-nya. Ia menyempatkan untuk mengobrol dengan temannya. Sekedar menanyakan kabar dan ngobrol ringan. Sementara itu, Jeno tampak curi-curi pandang ke arah Kayra.

“Temen lo, Kay?” Jeno penasaran dengan sesosok laki-laki yang diajak bicara oleh Kayra.

“Iya. Temen SMA gue. Nggak sekelas, sih. Tapi gue tahu dia. Nggak terlalu akrab juga sebenernya.” Kayra menjawab panjang lebar. Jeno mengangguk dan bibirnya membentuk huruf O.

“Di sini yang tulisannya bagus siapa?” tanya salah satu anggota kelompok.

“Kayra tuh bagus tulisannya,” ucap Jaemin. Sementara Kayra tampak terkejut.

“Beneran, kok. Emang bagus tulisan lo,” jelas Jaemin sekali lagi.

“Kalau gitu, sini, Kay,” panggil laki-laki tersebut. Kayra pun menurut dan mulai bertanya perihal apa yang harus ia tulis.

Sementara Kayra menulis, yang lainnya mempersiapkan desain spanduk dan mulai menggambar di atas kain yang sudah disediakan. Jaemin dan Renjun turut serta dalam mendesain kain tersebut. Sedangkan Haechan dan Jeno menutupi bagian lain agar tidak terkena pilox yang disemprotkan ke kain tersebut.

Satu jam telah berlalu, kini mereka berkumpul di lapangan untuk segera memulai simulasi. Orator melakukan orasi selama kurang lebih 30 menit. Cukup lama, sehingga membuat mereka bosan dan mengeluh kepanasan. Memang saat ini adalah saat di mana matahari mencapai titik kulminasi.

Mereka pun berinisiatif untuk menjadikan spanduk sebagai alat untuk penangkal sinar matahari agar tidak langsung terkena ke kepala mereka.

Orasi selesai. Ketua Komdis kembali mengambil alih dan memberikan peringatan agar tetap melakukan simulasi aksi dengan kondusif. Setelah dirasa cukup, ketua Komdis pun meninggalkan lapangan.

Kini, para panitia ospek memasuki lapangan dengan membawa alat musik seperti drum untuk mengembalikan semangat para peserta ospek.

Mereka pun menyanyikan lagu yang sering dinyanyikan ketika aksi. Mereka juga melompat mengikuti irama yang selaras dengan ketukan drum.

Aksi akhirnya dimulai. Para peserta ospek meneriakkan protes keras terhadap pemerintah. Protes mereka diiringi dengan nyanyian-nyanyian yang selaras dengan ketukan drum.

“Woi! Penyusup masuk! Lindungin yang cewek!” perintah salah satu mahasiswa.

“Rapatkan barisannya!” teriak yang lain.

“Woi! Jangan siram gue. Jas almamater gue basah, anjing. Kacamata gue juga. Gue nggak bisa lihat dengan jelas, bajingan!” protes salah satu mahasiswa ketika terkena guyuran air oleh panitia ospek yang sedang menjalankan peran menjadi aparat keamanan. Mendengar itu, sang pelaku justru tertawa.

“Jangan dorong-dorong, woi! Kasihan yang cewek.”

Massa semakin ricuh karena terdapat provokator yang ikut menyelinap masuk dan merusak poster yang sudah dibuat. Mereka akhirnya bentrok satu sama lain. Suasana menjadi sangat tidak kondusif.

“Bubar! Saya tidak menginstruksikan untuk saling ricuh! Saya menginstruksikan untuk tetap kondusif, tapi ini apa? Bubar dan menuju ke lapangan. Sekarang!” teriakan ketua Komdis terdengar sangat lantang. Suara mereka yang saling ricuh perlahan redam. Para mahasiswa berkumpul di lapangan dan duduk membentuk lingakaran.

Sang ketua Komdis memasuki lapangan dengan baju yang terlihat lebih santai, namun masih menampakkan sisi tegasnya.

“Kami sudah peringatkan untuk tetap kondusif. Tapi, apa tadi? Saling mendorong seperti anak kecil. Telinga saya juga masih berfungsi normal, beberapa dari kalian mengumpat, 'Anjing! Bajingan!'. Emosi boleh, tapi kalian masih berada di lingkungan kampus. Jadi, kalian harus tahan sebisa mungkin.” Doyoung membuka suara.

“Bahkan salah satu anggota Komdis ada yang pingsan ketika berusaha menertibkan. Kalian mau tanggung jawab jika terjadi apa-apa?” tanya Doyoung kepada seluruh mahasiswa di hadapannya.

“Emang tadi ada yang pingsan, Jen?” tanya Jaemin penasaran.

Jeno mengangguk. “Ada. Tadi jatuh terus diangkat. Tapi, dari kita sendiri nggak ada yang memulai kerusuhan. Justru yang bikin risih itu provokator yang ikut nyusup di kerumunan.”

“Iya, anjir. Kita tuh nggak ada yang rusuh. Gue lihat tadi yang ngerobek poster tuh malah si panitianya.” Haechan turut berkomentar.

“Bener, bener.” Renjun mengangguk setuju karena ia juga melihat hal yang sama.

“Lagi drama nggak, sih?” tanya Jeno tiba-tiba. Yang ditanya justru mengangguk.

“Iya juga, ya. Wah, fiks. Ini pasti drama,” tutur Jaemin dengan penuh keyakinan.

Sementara itu, Kayra sibuk menenangkan Somi yang terlihat begitu takut karena omelan dari Doyoung. Ia bahkan tidak menyangka jika ada yang pingsan.

“Ini tuh kayaknya cuma pura-pura, Som. Lo nggak usah takut.”

“Tapi serem, Kay.”

“Gue setuju sama Kayra kalau ini cuma pura-pura,” ucap Ryujin.

“Lo yang tenang, Som.” Kayra berusaha meyakinkan Somi seraya mengelus pundak temannya itu agar tetap tenang.

Sementara itu, Doyoung masih berdiri di sana. “Kalian itu bebal sekali. Tidak ada gunanya saya marah-marah. Buang-buang waktu saja. Masuk kuping kanan, keluar kuping kiri. Saya sudah muak. Silakan kepada ketua penyelenggara ospek untuk mengambil alih,” ucap Doyoung lalu meninggalkan lapangan. Para peserta ospek tampak menciut. Doyoung sepertinya benar-benar marah.

Kini, bergantian dengan Jaehyun yang berada di antara para peserta ospek. “Saya di sini tidak akan marah-marah karena itu bukan wewenang saya. Saya di sini hanya ingin menyampaikan sesuatu-puisi. Puisi ini saya buat selama masa ospek berlangsung.”

Jaehyun mulai membacakan puisi. Suasana menjadi sedikit lebih tenang. Puisi yang dibacakan oleh Jaehyun berhasil membuat beberapa peserta ospek menitikkan air mata. Begitu pun dengan dirinya.

Suasana berubah menjadi haru. Setelah itu, Jaehyun meninggalkan lapangan.

Doyoung kembali masuk ke dalam lapangan. Kali ini, tatapannya sedikit melunak. Ia menghela napas sebelum akhirnya berbicara.

“Kami sebenarnya hanya ingin kalian menjadi mahasiswa yang baik. Kami memberikan tugas ini dan itu agar kalian tidak kaget jika suatu saat nanti diberi dosen memberikan tugas. Semua yang kalian lakukan selama ospek ini adalah gambaran awal menjadi seorang mahasiswa.

“Saya tahu bahwa setiap hari jumlah keterlambatan kian berkurang. Saya mengapresiasi itu. Saya juga mengapresiasi bagi siapa yang berani maju dan bertanggung jawab atas kesalahan yang tidak mereka perbuat. Saya sangat berterima kasih kepada kalian yang selalu datang tepat waktu, mengerjakan tugas, dan menaati semua peraturan selama masa ospek berlangsung.

“Bagi yang belum seperti itu, semoga bisa segera sadar dan melakukan perubahan. Saya atas nama Komdis mengucapkan maaf apabila selama ini perkataan kami menyinggung kalian. Karena kalian telah melewati masa ospek, kami menyatakan kalian semua sudah resmi berganti status menjadi mahasiswa. Satu yang perlu diingat, yaitu tanggung jawab yang kalian emban semakin besar. Sekali lagi saya ucapkan selamat datang di kampus tercinta. Dengan berakhirnya masa ospek ini, Komdis pamit.”

Doyoung membungkuk 90 derajat diikuti dengan para anggota Komdis lain yang sudah berdiri di belakang peserta. Musik pun dimainkan, tepuk tangan riuh dari semua yang berada di lapangan membuat suasana menjadi haru. Mereka membungkuk cukup lama sebelum akhirnya bangkit dan tersenyum. Semua kesan bahwa Komdis sadis, menjengkelkan, dan sebagainya kini sirna begitu saja.

“Kak Doyoung ganteng!” teriak salah satu mahasiswi yang berhasil menarik atensi dari semua yang berada di lapangan. Sedangkan sang pemilik nama justru semakin melebarkan senyumnya dan sedikit salah tingkah.

“Wah, gimana perasaan kalian? Selama ini kita bikin kalian naik darah, ya? Sama sih sebenernya. Kalau masih mau emosi sama kita, nggak apa-apa. Wajar. Besok kesalahnnya jangan diulang lagi, ya?” Doyoung mengajak bicara.

“Eh, gimana mau ngulang, orang ospeknya udah selesai,” lanjutnya kemudian. Ia pun tertawa.

“Ya udah, ayo kita nikmatin live music-nya. Turn the music on!” teriak Doyoung penuh semangat. Musik pun kembali dimainkan.

Waktu yang tersisa digunakan untuk menjalani sesi foto bersama. Setelah puas befoto, mereka semua kembali menikmati musik. Melompat, merekam, ikut menyanyi, dan lain sebagainya.

Sementara itu, Kayra, Somi, dan Ryujin berada di barisan paling depan. Kayra tampak heboh menikmati musik yang sedang dimainkan. Ia melompat mengikuti irama yang mengalun hingga tak sadar mengenai seseorang di belakangnya.

“Eh, sorry,” ucap Kayra lalu menghentikan aktivitasnya. Ditatapnya sosok yang berbenturan dengan badannya. Ternyata orang itu adalah Doyoung.

Sorry, Kak. Terlalu semangat.” Kayra tersenyum hingga memperlihatkan deretan giginya.

“Oh, iya. Nggak apa-apa, kok,” ucap Doyoung lalu tersenyum.

“Kak, mau foto, dong,” ucap Kayra. Entah apa yang membuatnya berani untuk mengajak foto sang ketua Komdis.

“Oh, boleh,” jawab Doyoung lalu berdeham.

“Som, tolong fotoin,” pinta Kayra. Yang dimintai tolong masih sibuk mencerna situasi ini. Beberapa hari belakangan Kayra terlihat begitu kesal dengan sang ketua Komdis. Lalu, bagaimana dengan hari ini? Apakah ia luluh begitu saja karena senyuman Doyoung?

“Oh, iya. Sini gue fotoin,” jawab Somi beberapa detik kemudian.

Doyoung menginstruksikan Kayra untuk lebih mendekat. Doyoung pun tersenyum ketika hitungan sudah sampai tiga.

“Lagi, nggak?” tanya Somi.

“Lagi,” jawab Doyoung. Kali ini, Doyoung membuat ekspresi yang begitu aneh. Membuat siapa yang menonton tertawa akibat kelakuannya.

“Gue juga mau dong, Kay. Fotoin,” pinta Somi.

Karena hal tersebut, akhirnya banyak yang mengantri untuk meminta foto dengan Doyoung. Doyoung pun membuat ekspresi menggemaskan karena banyaknya mahasiswi yang mengantri. Namun, hal itu justru membuat mereka menjerit karena Doyoung terlihat begitu menggemaskan.

“Som, kok gue nggak rela ospeknya selesai, ya. Padahal awalnya gue malah pengen ospeknya cepet selesai,” tutur Kayra.

“Sama, Kay. Gara-gara Komdis pamit, gue jadi nggak rela. Nggak bakalan ada yang marah-marah lagi.”

“Lo semua aneh,” komentar Ryujin lalu menggelengkan kepala.

Begitulah, masa ospek berakhir. Kini, mereka telah resmi berganti status menjadi mahasiswa. Hari-hari yang mereka jalani akan menjadi jauh lebih berat dari sebelumnya.

Salam, Ketua Komdis Image

“Omong kosong!”

“Apatis!”

“Tidak memiliki rasa setia kawan!”

“Tidak disiplin!”

Hari ketiga masa ospek kali ini diwarnai dengan ocehan-ocehan dari Komdis. Janji yang mereka buat kemarin hanya menjadi angin lalu. Memang jumlah peserta yang datang terlambat sudah berkurang, namun tetap saja mereka terlambat datang.

Kali ini sorot mata Doyoung menunjukkan sorot mata kemarahan. Tatapannya sangat tajam. Tangannya mengepal keras. Ia belum bersuara sama sekali. Ia hanya datang lalu memasuki lapangan. Sejauh ini, ocehan-ocehan yang didengar oleh para peserta adalah ocehan yang dilontarkan oleh Yuta dan Yeri.

“Sudah diingatkan berapa kali? Sudah berjanji berapa kali? Kalian sudah menjadi mahasiswa. Apa susahnya menaati aturan?” tanya Wendy.

“Kan yang dihukum bukan aku, Kak,” sindir Yeri.

“Sumpah itu dia diem bisa nggak, sih?” tanya Somi pada Kayra. Kayra hanya mengangkat bahunya pertanda bahwa ia tidak tahu.

Doyoung akhirnya membuka suara. Ia memerintahkan bagi para relawan untuk maju.

“Mana janji kalian? Katanya hari ini tidak akan ada yang terlambat? Apa usaha kalian?” tanya Doyoung dengan penuh amarah.

“Jawab!” Kali ini Doyoung benar-benar murka.

Salah seorang peserta maju untuk menjelaskan usaha apa saja yang telah mereka lakukan.

“Saya sudah—”

”'Saya'? Hanya kamu saja yang berusaha?” Doyoung menyela.

“Maaf, maksud saya, kami sudah berkoordinasi dengan ketua masing-masing kelompok untuk mengingatkan anggotanya bahwa besok harus datang tepat waktu,” jawab peserta tersebut.

“Hanya koordinasi saja? Disamperin ke kosnya, dong!” suara Yuta kembali terdengar.

“Maaf, Kak. Menurut saya itu tidak efektif. Apa kami harus datang ke kos teman satu persatu?” tanya peserta lain yang berada di depan.

“Ya terus apa usaha kalian? Koordinasi saja tidak cukup.”

“Maaf, Kak. Izin menjawab. Kami juga sudah meminta ketua kelompok dan para anggota untuk saling membangunkan via telepon, tapi ada yang tidak menghidupkan data selularnya dan pulsa kami terbatas,” tutur yang lainnya.

“Benar begitu? Apakah mereka sudah melakukan seperti yang mereka katakan?” Doyoung bertanya kepada seluruh peserta di hadapannya.

“Siap! Benar!” jawab mereka serentak.

Essay delapan lembar ditulis tangan, kalian masih ingat hukumannya?” tanya Doyoung pada mereka yang berada di depan.

“Siap! Masih!”

“Pukul 15.00 nanti dikumpulkan ke saya. Sekarang kalian boleh kembali ke barisan.”

Mereka berbalik kanan kemudian bubar dari barisan yang berada di depan lalu kembali ke barisan mereka masing-masing.

“Meskipun masih ada yang terlambat, namun jumlahnya sudah berkurang. Untuk itu, saya apresiasi usaha kalian,“—Doyoung menoleh ke barisan paling kanan di mana barisan tersebut khusus untuk mereka yang terlambat hari ini—”dan untuk kalian yang terlambat, apa kalian tidak merasa kasihan dengan teman kalian yang harus mendapatkan hukuman padahal mereka tidak melanggar peraturan?” lanjut Doyoung.

“Jangan menjadi benalu yang hidupnya hanya menyusahkan orang lain. Kalian sudah menjadi mahasiswa, tingkatan siswa tertinggi ada pada kalian. Kalian sedang menempati posisi itu.” Doyoung memberikan sedikit nasihatnya.

“Untuk kalian yang sudah menaati peraturan, kami ucapkan terima kasih. Untuk kalian yang rela dihukum, kami juga mengucapkan terima kasih karena kalian telah menjadi pahlawan dan berani berkorban demi orang lain. Kami mengapresiasi usaha yang telah kalian lakukan. Selamat pagi,” tutup Doyoung.

Suara langkah kaki dari para Komisi Disiplin perlahan menghilang. Kini, giliran sang pembawa acara yang memasuki lapangan.

“Som, jangan jadi benalu,” ucap Kayra pada Somi. Mendengar itu, Somi terkekeh.

“Lo tuh, jangan jadi benalu.”

“Nggak gue mah.”

“Eh, tapi kata-katanya bener juga, ya, Kay?”

“Jadiin quotes of the day dulu, Som.”

“Lo tuh, kan anak senja.”

Upload di snapgram.” Mereka kemudian tertawa.

“Eh, Kay. Kalo diperhatiin, ketua Komdis-nya ganteng juga, ya?”

“Hah? Nggak, ah. Ganteng dari mana?”

“Ih, mata lo bermasalah kayaknya.”

“Mata lo kali. Orang nggak pernah senyum gitu kok dibilang ganteng.”

“Ya kan Komdis emang nggak ada yang senyum. Tapi dia gitu aja udah ganteng, Kay.”

“Iya, iya. Terserah lo, Som.” Kayra malas berdebat dengan Somi.

Acara kembali dimulai. Para peserta kembali menuju aula untuk mendengarkan materi yang disampaikan oleh pemateri baik secara langsung maupun melalui video teleconference yang ditampilkan melalui layar LCD. Materi dijeda ketika memasuki jam istirahat.

Setelah istirahat, beribadah, dan makan, materi kembali dimulai. Sebelum memulai materi, pembawa acara mengajak peserta untuk bermain mini games. Di tengah permainan tersebut, tiba-tiba pintu aula ditendang dengan sangat keras sehingga semua yang berada di dalam aula tampak sangat terkejut.

“Peserta yang memakai pita, keluar sekarang juga!” Doyoung memerintahkan para peserta yang memakai pita tanda mempunyai riwayat penyakit untuk keluar.

Ternyata, yang menendang pintu aula dengan keras beberapa saat lalu adalah Doyoung. Doyoung masuk diikuti dengan para komdis lain yang bertugas. Semua lampu dimatikan. Tirai ditutup. Suasana menjadi sangat tegang. Beberapa peserta sibuk memaki kembali atribut yang sempat mereka lepas. Bahkan, beberapa dari mereka ada yang menahan napas. Entah karena apa, mereka seperti takut jika bunyi napasnya terdengar oleh para komdis. Kini, tanpa perlu diminta pun, para peserta tidak berani menimbulkan suara.

“Bagi kalian yang namanya saya sebut, silakan maju,” perintah Doyoung. Ia kemudian mengeluarkan selembar kertas yang berisi catatan nama peserta yang sedikit 'istimewa' yang akan dipanggilnya.

Satu persatu dari mereka yang namanya disebut pun maju. Mereka berjejer berderet. Yeri langsung menginterogasi mereka satu persatu.

“Kamu tahu apa kesalahanmu?” Begitulah pertanyaan yang diajukan Yeri kepada tiap peserta. Mayoritas dari mereka pun menjawab tidak tahu apa kesalahan mereka. Hal tersebut membuat Yeri semakin murka. Setelah mendapat kode dari Doyoung, Yeri kemudian mundur dan membiarkan Doyoung yang mengambil alih.

Doyoung mengingatkan perihal tugas yang telah diberikan kepada mereka tempo hari. Mereka tampak mengingat dan ada yang langsung menyadari kesalahannya. Hal itu tampak pada ekspresi yang tercermin di wajah mereka.

“Felix, maju!” perintah Doyoung. Peserta bernama Felix pun kemudian maju mengikuti instruksi dari Doyoung.

“Kamu tahu apa kesalahanmu?” Doyoung menanyakan pertanyaan yang sama seperti yang telah diajukan Yeri. Felix pun menggeleng.

“Kamu benar-benar tidak tahu apa kesalahanmu?” tanya Doyoung lagi.

“Tidak, Kak,” jawab Felix.

“Baiklah, saya rasa semua yang ada di sini harus tahu apa kesalahan yang telah diperbuat Felix sehingga dia dipanggil ke depan,“—Doyoung mengambil kertas lain yang ia simpan di dalam sakunya—”teman kalian ini menulis essay sebagai bahan lelucon,” lanjutnya.

Felix pun tertawa. “Felix, merasa sok jagoan kamu? Iya?” tanya Yuta. Felix pun kembali tertawa.

Doyoung semakin murka. Wajahnya memerah, begitu juga dengan kedua matanya. Ia benar-benar marah karena juniornya ini seperti sedang meremehkan kegiatan ospek beserta para panitia yang ada di belakang acara ini.

“Kamu berani tertawa? Lelucon yang kamu tulis di sini tidak lucu. Semua yang kamu tulis di sini adalah sampah!” Doyoung merobek kertas essay milik Felix menjadi beberapa bagian lalu melemparkannya ke wajah Felix.

Semua peserta dan Komdis tampak terkejut dengan apa yang telah diperbuat Doyoung. Meskipun ia marah, tidak seharusnya ia melakukan hal itu. Apabila ini Doyoung harapkan menjadi sebuah peringatan agar tidak diulang lagi, maka cara Doyoung untuk memperingatkan mereka ini sedikit salah.

“Keterlaluan,” kata Kayra lirih.

“Kay, gue takut,” ucap Somi pada Kayra.

“Nggak usah takut. Lo nggak salah. Tapi itu dia keterlaluan nggak, sih, Som? Felix emang salah, tapi nggak seharusnya dia menerima perlakuan itu.”

“Iya. Ini baru pertama kali, loh. Tapi mereka menganggap seolah Felix itu seorang kriminal.”

“St, Perhatikan depan.” Kayra dan Somi menoleh ke arah datangnya suara. Ternyata Yeri. Somi langsung memutar kedua bola matanya begitu mengetahui hal tersebut.

“Kalian semua yang sedang duduk juga melakukan kesalahan tetapi tidak separah teman kalian yang dipanggil ke depan,” ucap Doyoung.

“Jangan merasa bangga dulu kalian!” Yuta kembali memperingatkan.

“Kalian boleh kembali duduk,“—Doyoung melirik ke arah Felix—”Felix, temui saya di sekre BEM sehabis ini,” lanjutnya.

“Kalian sudah tau kesalahan kalian masing-masing kan? Kami harap, besok tidak akan ada lagi kesalahan yang kalian perbuat,” tutur Wendy.

“Mana mungkin!” sindir Yuta.

“Pasti besok diulangi lagi.” Taeyong ikut bersuara.

“Kan masuk kuping kanan, keluar kuping kiri.” Yeri turut serta.

“Besok, saya tidak ingin melihat ada yang melanggar peraturan dan berbuat kesalahan lagi. Selamat siang,” tutup Doyoung kemudian.

Hari ini sungguh melelahkan dari ospek sebelumnya. Semua yang tidak melanggar aturan pun masih harus terkena sindiran dan omelan dari para Komisi Disiplin. Setidaknya akan terus begitu selama dua hari kedepan.

Kayra membuat langkah lebar agar ia segera sampai di kampus tepat waktu. Hari ini masih pagi, bahkan mentari belum menampakkan dirinya secara penuh, tetapi keringat Kayra sudah bercucuran. Apakah karena ia terburu-buru atau karena ia memang mudah berkeringat? Lupakan soal itu, Kayra sudah sampai di depan gerbang kampus. Ia dapat melihat Komdis yang sudah berjaga di depan fakultasnya.

Ya, jarak antara gerbang belakang dengan fakultas Kayra memang sangat dekat. Tak heran jika ia bisa melihat aktivitas yang terjadi di fakultasnya dari tempat ia berdiri saat ini. Ia lalu mengecek ponselnya untuk melihat pukul berapa sekarang. Lima menit lagi akan dimulai. Kayra terpaksa berlari untuk mempersingkat waktu.

“Cepat! Lari!” peringat salah satu Komdis begitu Kayra berada tepat di depannya.

“Iya, Kak. Selamat pagi,” sapa Kayra tidak sesuai konteks.

“Tidak usah bercanda! Cepat masuk ke barisan!” Jaemin yang datang dari belakang Kayra justru tertawa mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh komdis tersebut.

“Tidak usah tertawa! Sekarang jam berapa? Cepat masuk ke barisan!” Jaemin pun terkena semprot dari orang yang sama. Ia lalu berlari menyusul teman sekelompoknya.

Para peserta ospek sibuk saling memasangkan atribut. Beberapa dari mereka sedang panik karena tidak teliti sehingga atributnya tertinggal di rumah atau pun di kosan. Mau tidak mau, mereka yang tidak memakai atribut dan mereka yang tidak datang tepat waktu harus berbaris di barisan khusus disediakan para komdis untuk peserta yang juga khusus seperti mereka.

“Tidak usah bersuara! Tangan kalian yang saling memasangkan atribut, bukan mulut kalian!” Ketua komdis menyambut pagi dengan sebuah nyanyian yang sangat dibenci oleh para peserta ospek. Mereka langsung terdiam. Kini, sudah tidak ada yang bergerak untuk memasangkan atribut.

Suasana menjadi tegang. Tidak ada suara sama sekali. Sepi, hanya terdengar suara langkah akibat sepatu pantofel yang digunakan oleh para komdis. Suara tersebut semakin dekat, pertanda bahwa para komdis sudah menempatkan dirinya.

Para peserta memandang lurus ke depan. Tidak ada yang berani menoleh bahkan satu senti meter pun. Ketua komdis memposisikan dirinya di depan para peserta. Netranya memandang tajam para peserta ospek dari barisan ujung hingga barisan paling ujung. Sungguh, tidak ada satu pun peserta yang berani menatap ketua komdis tepat pada matanya.

Doyoung, sang ketua Komdis berdiri tepat di hadapan para peserta ospek. Tangannya mengepal, tubuhnya sedikit bergetar, matanya memerah. Mungkin jika Doyoung adalah sebuah bom, ia sudah siap untuk meledak. Melihat Doyoung yang seperti itu, Wendy mengambil alih. Ia berjalan kemudian berhenti tepat di depan Doyoung.

Peserta yang berada di barisan paling depan menundukkan kepalanya. Ia tidak berani memandang lurus ke depan karena yang di depannya sekarang adalah Wendy yang berjarak sekitar empat puluh senti di depannya.

“Pandangan lurus ke depan!” perintah Wendy dengan suara pelan namun dapat didengar oleh semua peserta karena hanya dia yang bersuara.

Wendy berjalan menuju barisan di ujung barat. Sembari berjalan ke sana, ia kembali membuka suara.

“Kemarin kalian sudah janji untuk datang tepat waktu. Para panitia juga sudah mengingatkan untuk memakai atribut lengkap. Tapi, kenapa masih ada yang melanggar?”

“Lupa, Kak,” jawab Yuta dari belakang.

“Tidak diingatkan lagi, Kak.” Taeyong turut bersuara.

“Pengen aja ngelanggar, Kak. Biar tenar, biar terkenal.” Yeri juga turut bersuara.

“Iya? Seperti itu?” tanya Yuta, namun tidak ada yang berani menjawab.

Somi berbisik pada Kayra, “Apaan, sih mereka? Ngeselin banget.” Kayra kemudian mengisyaratkan Somi untuk diam agar mereka tidak terkena semprot.

Beberapa peserta berdatangan di tengah aksi Komdis yang sedang memberikan petuah.

“Ke sini kalian yang baru saja datang!” perintah Doyoung. Mereka menurut kemudian membentuk barisan di depan para peserta lain.

“Kalian juga ke sini!” perintah Doyoung pada peserta yang berada di barisan khusus tadi. Mereka kemudian membentuk barisan.

Irene yang tadinya berada di belakang, kini berpindah ke depan. Ia mengeluarkan bolpoin dan notes kecil. Ia kemudian berdiri di depan para peserta yang terlambat. Irene menginterogasi mereka. Ia menanyakan alasan keterlambatan para peserta. Irene menciptakan jarak yang sangat sempit saat menginterogasi. Hal tersebut membuat para peserta semakin tegang.

“Siapa yang berani menjamin bahwa besok tidak akan ada yang terlambat lagi?” tanya Doyoung, namun tidak ada yang menjawab.

“Tidak ada yang menjawab? Dari sekian ratus mahasiswa tidak ada yang berani? Pengecut kalian semua!” Yuta membuka suara.

Doyoung kemudian mengulangi pertanyaannya lagi. Seorang mahasiswi pun maju.

“Hanya satu? Cewek lagi. Kalian yang cowok nyalinya pada ke mana?” Taeyong bersuara dari belakang.

Satu persatu mahasiswa yang mengorbankan dirinya pun maju. Doyoung menghitung dari ujung hingga ujung dan yang berani maju hanyalah lima belas mahasiswa dari sekian ratus mahasiswa yang hadir di sana.

“Kalian bisa menjamin bahwa besok tidak akan ada yang terlambat lagi?” tanya Doyoung pada perwakilan yang maju.

“Siap! Bisa!” jawab mereka serentak.

“Kalau besok masih ada yang terlambat lagi, hukuman apa yang kalian ingin?” Semuanya diam, tidak ada yang menjawab.

“Kalau ada yang nanya tuh dijawab! Kami tidak sedang bertanya dengan patung!” Yuta kembali mengeraskan suaranya.

Seorang mahasiswi pun melangkahkan kakinya ke depan. “Izin menjawab, Kak. Terserah hukuman apa yang diberikan, kami akan menerimanya.”

“Kalian setuju dengan teman kalian ini?” tanya Doyoung. Mereka menjawab setuju.

Essay delapan halaman ditulis tangan.” Doyoung menekankan setiap kata.

“Kalian semua dengar apa hukumannya? Kalau besok masih ada yang terlambat, berarti kalian tidak bertenggang rasa dengan teman kalian yang sekarang berada di depan.” Yuta kembali membuka suara.

Setelah itu, Doyoung memberi perintah kepada mereka untuk kembali ke dalam barisan kelompoknya masing-masing. Suasana masih tegang. Tidak ada yang bersuara sama sekali sebelum akhirnya Yeri memperingatkan mereka lagi.

“Sudah dijelaskan di peraturan bahwa dilarang menggunakan make-up ketika ospek. Kenapa masih ada yang memakai? Kalian mau ospek atau mau tampil di ajang kecantikan?” tanya Yeri sarkas.

“Rok span! Rambut panjang masih tidak diikat!” tambahnya.

“Besok, saya tidak ingin melihat peserta yang memakai make-up. Bagi kalian yang roknya span, tolong dibenahi. Rok juga tidak boleh span. Jika masih ada yang melanggar, akan kami beri hukuman,” ucap Doyung dengan tegas.

“Mengerti?” tutupnya.

“Siap! Mengerti!” jawab mereka serentak.

“Siap! Mengerti!” Yuta menirukan para peserta.

“Kemarin kalian juga seperti itu, tapi apa buktinya?” lanjut Yuta kemudian. Semuanya terdiam. Tidak ada yang berani menjawab.

“Bagi kalian yang sudah datang tepat waktu dan memakai atribut lengkap, kami ucapkan terima kasih dan tolong dipertahankan hingga hari-hari berikutnya,“—Doyoung memandang sekeliling—”bagi kalian yang belum datang tepat waktu dan belum memakai atribut lengkap, kami harap besok tidak mengulangi hal yang sama lagi. Selamat pagi.”

Para Komdis meninggalkan lapangan satu persatu. Kini, para peserta ospek bisa bernapas lega. Somi langsung berbalik menghadap Kayra.

“Lo liat tadi si Komdis yang ngingetin masalah make-up sama rok span?” tanya Somi pada Kayra.

“Iya, nyebelin banget asli.”

“Kan, ih kesel gue. Padahal gue nggak pakai make-up sama rok ketat, tapi tetep aja gue kesel banget.”

“Sama! Dia ngingetin make-up, tapi Komdis yang cewek aja pada pakai. Jadi, maksudnya yang boleh pakai cuma Komdis gitu? Lagian selama nggak berlebihan kayak semisal cuma pakai bedak sama lipbalm gitu oke-oke aja nggak, sih?”

“Iya, harusnya sih gitu. Ya kali ke kampus pucet kayak mayat hidup? Nggak enak juga kalau dilihat.”

“Makanya. Mana roknya dia juga span.”

“Nggak ngaca dulu dia kalau mau nyeramahin orang. Roknya aja span, tapi sok-sokan ngingetin peserta yang pakai rok span. Mungkin dia nggak mau kesaing kali. Sebel banget gue.” Somi menunjukkan ekspresi kesal. Ia juga menghentakkan satu kakinya sebagai tanda bahwa ia benar-benar kesal dengan Komdis yang ia dan Kayra bicarakan—Yeri.

Pembawa acara memasuki lapangan untuk menyapa para peserta yang sudah kehilangan semangat di pagi hari. Atmosfer pun berubah. Satu persatu dari mereka perlahan tersenyum. Pembawa acara pun melemparkan candaan yang membuat semua orang tertawa. Selepas itu, mereka melakukan doa bersama dan kembali memulai kegiatan seperti yang sudah direncanakan.

Sebelum matahari benar-benar tenggelam, mereka sudah pulang. Cukup melelahkan, namun setidaknya semuanya berjalan dengan baik. Bukankah itu lebih baik?

Kondisi perpolitikan kembali runyam. Rakyat dan pemerintah semakin jauh dari kata damai. Kerusuhan di berbagai tempat. Kondisi negara Indonesia saat ini sungguh memprihatinkan.

Hari ini BEM di salah satu universitas mengadakan rapat dadakan untuk membahas perihal aksi yang akan dilakukan besok pagi.

“Kita besok turun ke jalan. Kalau ada yang menjadi provokator, kita diam saja. Tidak usah meladeni mereka.” Jeffreyan selaku ketua BEM universitas memberikan wejangan-wejangan terkait aksi yang akan dilakukan. Semua tampak mengangguk setuju.

“Besok kita kumpul di kampus pukul 10.00. Kalau nanti ada yang senggang, saya minta waktunya untuk tetap tinggal di sini dulu. Kita perlu menyiapkan perlengkapan untuk bekal aksi besok.”

“Oke. Gue bakalan di sini. Harus nginep pun juga nggak masalah.” Yudhis bersuara.

“Gue juga. Gue bisa kosongin semua jadwal gue hari ini.” Jonny turut bersuara.

“Wah, hebat banget. Padahal Kak Jonny orang sibuk. Dia juga jadi DJ radio, kan?” Chandra bertanya pada Mark.

“Iya. Keren banget Kak Jonny. Gue pernah lewat di depan dia waktu itu, tapi malah dia duluan yang nyapa gue.” Mark tampak terkagum.

“Gue seneng bisa gabung sama orang-orang hebat kayak mereka,” ucap Chandra lagi.

“Tahun depan lo yang gantiin Kak Jeffrey berdiri di sana, Chan.” Mark mencoba memberikan usul.

“Gue? Nggak, ah. Belum sanggup gue.” Chandra tampak menciut.

“Kenapa? Kalau gue lihat dari potensi lo, bisa banget loh.”

“Chandra, Mark. Ada yang mau ditanyakan?” Jeffrey menginterupsi mereka yang sedang asyik berbincang.

“E-em, nggak ada, Kak,” jawab Mark dengan sedikit tergagap.

“Ada, Bang.” Jawaban Chandra membuat Mark membelalakkan matanya.

“Ya. Apa, Chan?” Jeffrey memberikan kesempatan pada Chandra untuk bertanya.

“Gue lihat masih banyak mahasiswa yang ikut aksi, tapi pas ditanya apa yang bikin mereka ikut aksi, mereka jawabnya nggak tahu. Gimana tuh, Bang? Apa dari BEM sendiri nggak ngasih tahu tentang hal penting itu?” Chandra menarik banyak atensi karena pertanyaannya.

“Gue jawabnya nggak usah pakai bahasa formal, ya. Jadi gini, sebelum aksi, BEM biasanya mengadakan rapat kayak gini. Di rapat, kita bahas teknis aksi yang mau dilakukan. Kita nggak bahas alasan kita melakukan aksi. Kenapa? Kalau kita nggak tahu apa yang mau kita demo, kita juga nggak bakalan bisa menyelenggarakan rapat buat bahas teknis aksi kayak gini, dong?” Semuanya tampak mengangguk paham.

“Buat apa juga kita rapat terus bahas apa yang mau didemo? Kita kan bukan DPR.” Dirga akhirnya bersuara. Yudhis memberikan tepuk tangan atas pernyataan Dirga.

“Kalau mau bahas masalah itu, kita bahasnya di luar rapat, Chan. Kayak misalnya di tempat tongkrongan. Kadang juga kita bahas di grup chat, bahas sama dosen pas ada kelas. Tapi, banyak dosen yang menutup mata soal ini. Sangat disayangkan. Makanya juga pas kita aksi kayak besok itu, pihak kampus lepas tangan. Kita besok turun bukan atas nama kampus lagi, tapi atas nama rakyat Indonesia.” Jeffrey kembali menjelaskan.

Jonny mengangkat tangan. “Mau nambahin,” ucapnya. Jeffrey mempersilakan.

“Sebagai mahasiswa, kita dituntut untuk cepat tanggap. Media massa juga gencar mengeluarkan berita tentang apa yang terjadi di negara kita. Harusnya kalau nggak tahu kan bertanya, browsing di internet juga bisa. Banyak cara yang bisa ditempuh. BEM juga pasti ngasih tahu tentang isu yang lagi hangat melalui platform digital. Jadi, kalau ada yang nggak tahu apa yang membuat mereka demo, menurut gue, itu permasalahan di masing-masing individu.” Chandra, Mark, dan para mahasiswa yang baru saja bergabung dalam BEM mengangguk paham.

“Makasih atas jawabannya, Bang.” Chandra mengacungkan jempol.

“Ada yang mau bertanya lagi?” Jeffrey kembali memberikan kesempatan. Pemuda itu tampak menelaah semua yang ada di depannya. Tidak ada yang bergeming. Akhirnya, Jeffreyan memutuskan untuk mengakhiri rapat hari ini.

“Abis ini mau mempersiapkan semua di sini?” tanya Yudhis ketika Jeffreyan hendak keluar dari ruangan.

“Di sekre aja, Bang. Tapi gue mau sholat dulu.”

“Gue ikut.” Yudhis tampak mencari seseorang.

“Woi! Ga, Dirga! Lo nggak langsung pulang kan?” tanyanya.

“Belum tahu. Gue harus nulis laporan praktikum habis ini,” ucapnya tak begitu bersemangat.

Deadline-nya bukan besok, kan?”

Dirga tampak lesu, tak tahu harus merespon apa. “Hm. Iya, deh.”

“Gue sama Jeffrey mau salat dulu.”

“Gue ikut. Gue juga belum salat.” Mereka pun berjalan menuju musala untuk menunaikan kewajiban.

Setelah itu, mereka berjalan menuju sekre BEM. Sudah banyak yang menunggu di sana, termasuk para mahasiswa yang baru bergabung dalam BEM.

“Kok lo udah ganti baju aja, Bang?” tanya Jeffreyan pada Theo yang tadinya berhalangan hadir dalam rapat tadi.

“Gue habis kelas langsung pulang terus ganti baju. Gue juga bawain kalian makanan sama minuman. Di sana. Ambil aja. Tenang, pakai duit pribadi, kok.” Jeffreyan tampak tersenyum. Beruntung sekali BEM mempunyai orang yang bisa diandalkan seperti Theo.

Jeffreyan pun memberitahu rekan-rekannya agar segera menyantap makanan yang sudah dibawakan oleh Theo.

Mereka langsung menyerbu makanan tersebut. Setelah dirasa kenyang, para anggota BEM kembali melakukan aktivitasnya untuk menyiapkan peralatan apa saja yang akan dibawa besok. Persiapan mereka lakukan hingga gerbang kampus ditutup. Terpaksa, mereka harus menginap di kampus dan bersiap untuk melakukan aksi yang akan dilaksanakan besok.


Hari kembali berganti. Azan berkumandang. Jeffreyan membangunkan rekan-rekannya yang masih tertidur pulas.

“Bangun. Salat dulu.”

Mereka tampak lelah. Ada yang langsung bangun dan ada yang justru mengamuk ketika dibangunkan.

“Habis ini pada pulang dulu aja. Mandi, sarapan, ganti baju, terus balik lagi ke sini,” usul Jeffreyan.

“Sip. Badan gue udah lengket semua,” ucap Jonny sambil menguap.

“Bang, temen lo bagian pers nanti juga pada ikutan ngeliput?” Jeffreyan penasaran.

“Iya. Udah gue suruh hati-hati.”

“Suruh pakai masker, Bang. Biar nggak ditangkap.” Jeffreyan mendapatkan acungan jempol dari Jonny.

Jam menunjukkan pukul 10.00. Kini, mahasiswa telah berkumpul di depan gerbang kampus. Setelah melakukan sedikit orasi, Jeffreyan akhirnya mengawal para mahasiswa menuju gedung DPR. Hari ini mahasiswa melakukan aksi unjuk rasa. Mahasiswa akan memenuhi tugasnya sebagai penyambung lidah rakyat.

“Saudara-saudara, saat ini kita telah berdiri di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat. Bukankah seharusnya gedung ini berisikan wakil rakyat? Akan tetapi, mengapa gedung ini justru berisi pengkhianat rakyat?” Jeffreyan memulai orasinya.

Para mahasiswa bersorak dan meneriakan kecaman-kecaman bagi pemerintah dan juga anggora DPR karena mereka tidak menjalankan amanat rakyat. Para mahasiswa juga menyanyikan lagu untuk mengobarkan semangat.

“Bung Karno pernah berkata bahwa, “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah. Tapi, perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.” Pernyataan tersebut benar adanya. Buktinya kita sekarang sedang berdiri di depan gedung Dewan Pengkhianat Rakyat. Dewan Pengkhianat Rakyat yang kerjanya hanya menggerogoti uang rakyat.” Sorak sorai terdengar mengikuti orasi yang diteriakan oleh Jeffreyan.

Namun, selang beberapa saat, kerumunan menjadi ricuh karena gas air mata mulai ditembakan ketika terdapat mahasiswa yang bentrok dengan aparat keamanan.

“Jeffreyan mana?” tanya Jonny yang menyadari bahwa Jeffreyan tidak terlihat.

“Dia baru aja orasi. Gue juga nggak tahu. Lagian ini ricuh banget karena polisi menembakan gas air mata,” ucap Dirga sembari terus menutupi kepalanya dengan jas almamater.

“Kayaknya gas air mata tadi cuma buat pengalihan. Nggak ada yang mendampingi Jeffreyan apa?” tanya Yudhis dengan nada yang sedikit naik.

“Sumpah. Gue kira jadi orator bakalan aman. Makanya gue nggak mendampingi dia,” ucap Theo sambil mengacak rambutnya.

Aksi hari ini berjalan semakin ricuh karena terdapat beberapa provokator dan bentrok antara mahasiswa dengan aparat keamanan. Mahasiswa dipukul mundur dengan gas air mata yang disusul dengan water canon. Semua akhirnya menjauh dari gedung DPR. Sedangkan Jeffreyan belum ada kabar hingga hari ini.

“Apabila usul ditolak tanpa ditimbang, suara dibungkam, kritik dilarang tanpa alasan, dituduh subversif dan mengganggu keamanan, maka hanya ada satu kata: lawan!” -Wiji Thukul

Dua tahun telah berlalu. Selena kini sedang disibukkan dengan jadwal meeting yang berhimpitan. Meskipun tuntutan pekerjaan sudah cukup membuatnya sibuk, namun perempuan yang tengah menyimak presentasi tersebut berusaha keras untuk lebih menyibukkan dirinya.

Mungkin hal itu terkesan menyiksa. Akan tetapi, hanya itu yang bisa ia lakukan karena bayang-bayang akan Jeff masih menghantui dirinya—hingga sekarang.

Pikirannya pun kembali kosong, dirinya kembali melamun, menyelami ingatan yang tiba-tiba memikirkan sosok Jeff. Tersadar dengan hal tersebut, perempuan itu segera membuyarkan ingatannya, berusaha fokus dengan apa yang sedang dipresentasikan oleh rekan kerjanya saat ini.

Selena memang kerap kali seperti ini. Entah, mungkin perempuan itu sedang merindu. Berulang kali Selena mengecek ponselnya, hendak menanyakan kabar kepada Jeff. Namun, usahanya selalu berhenti sebelum menekan tombol send.

Selena kerap kali menangis sendirian di kamar mandi ketika rasa rindunya sudah tak kuasa dibendungnya. Ia pun kerap kali merutuki keputusan yang dibuatnya dua tahun lalu. Hal itu sungguh terasa menyesakkan baginya.

Meeting telah selesai. Selena bersiap untuk mendatangi meeting selanjutnya. Tempat untuk meeting ini mengingatkannya pada Jeff. Ya, tempat yang sama. Restoran di mana ia dan Jeff akhirnya bersepakat untuk saling membahagiakan—dulu. Kini, perkataan itu seolah bukan hal penting yang harus dijaga lagi.

Selena sangat menyadari bahwa selama ini ia menyesali keputusannya. Seharusnya, ia mengikuti apa yang disarankan Jeff untuk membicarakan hal tersebut dengan kepala dingin. Namun, manusia yang sudah dikuasai emosi memang tidak mau mencoba untuk mengalah.

Kini, Selena telah sampai di depan restoran. Ternyata, ia masih menyimpan rasa yang sama, seperti dua tahun lalu. Buktinya, dirinya sekarang berdebar, seperti akan bertemu dengan Jeff. Ia harus menyiapkan dirinya agar dadanya tidak terasa sesak dengan kenangan yang ia dan Jeff buat di tempat ini.

Selena memandang sekeliling. Ia memang sengaja datang lebih awal. Ketika sedang sibuk menelaah sekeliling, perempuan itu mendengar suara piano yang terdengar sangat tidak asing di telinganya.

Selena pun mendekat ke arah datangnya suara. Betapa terkejut dirinya ketika mendapati seseorang yang ia rindukan dua tahun belakangan ini. Jeff berada di sini. Memainkan piano tersebut, seperti waktu itu.

Jantung Selena berdetak semakin cepat. Jika ini mimpi, ia tidak ingin terbangun. Ia benar-benar ingin bertemu dengan Jeff.

Laki-laki itu pun sadar dan menghentikan permainannya. Ia memandang ke arah Selena. Lelaki itu sama terkejutnya dengan Selena. Jeff melangkahkan kakinya mendekat ke Selena.

Selena tampak sangat gugup.

“Hai,” sapanya kaku.

“Hai. Saya nggak menyangka bakalan bertemu kamu lagi di sini,” jawab Jeff santai.

“Ah, gue ada meeting di sini. Lo sendiri?” Selena tampak penasaran.

“Oh, saya juga ada project di London selama seminggu. Makanya saya mampir dulu ke sini,” jelasnya.

“Oh, gitu.” Selena tersenyum canggung.

“Kalau gitu, gue cabut dulu, ya.” Belum sempat Jeff menjawab, Selena berusaha menghindar secepat mungkin. Namun, tangan Jeff menahannya.

“Tunggu. Meeting-mu berapa jam?”

“Mungkin nggak lebih dari satu jam. Kenapa?”

“Ada yang mau saya sampaikan. Boleh saya tunggu?”

Setelah berpikir sepersekian detik, Selena pun menjawab, “Boleh.”

Perempuan itu kemudian kembali ke meja tempat ia akan melakukan meeting. Rekan meeting-nya sudah sampai dan menunggu di sana. Setelah berjabat tangan, Selena pun menginstruksikan untuk segera memulai meeting-nya.

Pikirannya tidak terlalu fokus karena memandang Jeff yang menunggunya di luar. Dirinya terlalu senang, namun ia tidak bisa menunjukkan itu secara terang-terangan.

Setelah kurang lebih tiga puluh menit berlalu, meeting pun akhirnya selesai. Selena cepat-cepat menghampiri Jeff yang sudah menunggunya sedari tadi.

“Sudah selesai?” tanyanya.

“Udah.” Jeff mengangguk dan berusaha sebisa mungkin untuk menyembunyikan ekspresi bahagianya.

“How are you?” tanya Selena lagi.

Jeff terdiam sejenak sebelum akhirnya ia menjawab,

“I miss you.”

Selena pun tampak terkejut. Jawabannya melenceng dari pertanyaan, akan tetapi Selena justru senang. Ternyata selama ini ia tidak rindu sendirian. Selama ini rindunya terbalaskan.

“I can still miss you, right?”

Selena mengangguk.

“Aku minta maaf,” ucap Selena setelah terdiam beberapa saat.

“Untuk?”

“Untuk yang lalu. Memutuskan semuanya sendiri. Memutuskan—” Jeff buru-buru mencegah Selena untuk melanjutkan kalimatnya.

“Yang lalu, biarkan saja. Tidak perlu minta maaf.” Selena mengangguk paham, walaupun sebenarnya ia masih ingin melanjutkan kalimatnya.

“Ada yang ingin saya sampaikan.” Nada bicara Jeff menjadi lebih serius. Lelaki itu kemudian merogoh saku jasnya. Ia memberikan sepucuk surat yang telah ditulisnya dua tahun lalu.

“Saya nggak tahu kenapa saya masih membawa surat ini. Mungkin memang harus saya berikan ke kamu, ya?” Selena penasaran, ia berusaha untuk membuka surat tersebut. Namun, lagi-lagi Jeff menahannya.

“Baca di apartemen saja. Saya pamit dulu.”

Jeff meninggalkan Selena—lagi. Kini, Selena bergegas untuk segera pulang dan membaca surat tersebut.

Ia buru-buru membuka amplop tersebut lalu mengeluarkan secarik kertas dari dalamnya begitu ia sampai di apartemen.

“Surat yang Tak Akan Pernah Sampai.” Selena mencoba membaca kalimat pertama yang dituliskan di sana.

Ia terus membaca kalimat selanjutnya hingga akhirnya sampai ke kalimat terakhir. Lagi lagi, Jeff membuatnya menangis. Dadanya terasa sangat sesak sekali.

Segera ia raih ponselnya, ia kembali mengubah nama kontak Jeff seperti semula. Selena ingin sekali menghubungi sang pemilik nomor, namun diurungkannya.

Ia memilih untuk menghubungi Doyoung untuk menanyakan di mana Jeff tinggal selama berada di London. Tak perlu menunggu lama, Selena sudah mendapatkan jawaban. Ternyata di sebuah hotel tempat mereka dulu menginap.

Kini, ia telah sampai di depan kamar hotel Jeff. Selena segera mengetuk pintu. Sosok laki-laki itu benar-benar muncul dari balik sana. Jeff tampak sangat kaget.

“I've read the letter. Can I be selfish again? Kamu cuma bilang bagaimana ketika seseorang menyuruh kamu untuk pergi. Tapi, kamu nggak pernah bilang tentang bagaimana ketika seseorang meminta kamu untuk kembali. Jeff, it's you. It's always been you. I miss you too. Everyday.”—Selena menjeda kalimatnya—”I need you to come back. Kita sembuhkan luka ini bersama-sama.”

Jeff terdiam. Masih cukup terkejut karena Selena tiba-tiba datang menghampirinya dan memintanya untuk kembali. Ia berpikir sejenak sebelum akhirnya memutuskan.

“Iya, kita sembuhkan sama-sama. Saya akan lebih menyesal jika saya tidak melanggar prinsip bodoh yang saya buat. Selena, kamu akan selalu menjadi tempat saya untuk pulang.”

Jeff langsung merengkuh Selena ke dalam pelukannya. Mereka berpelukan cukup lama untuk melebur rasa rindu yang selama ini mengganggu. Akhirnya, Jeff dan Selena berhasil mematahkan egonya masing-masing.

Bagaimanapun, manusia akan tetap bersikap egois. Berusaha seolah mengerti dan paham, lalu berakhir pada pilihan untuk menyakiti diri sendiri. Padahal, semua berhak untuk bahagia. Semua berhak untuk mendapat kebahagiaan.

Image