Pelarian
Kayra telah bersiap-siap. Kini ia sedang berjalan menuju kampus. Semenjak menerima pesan dari Jaehyun, ia sangat gelisah. Apalagi ia diharuskan untuk datang sendiri. Kayra pun juga tidak mengabarkan kepada teman-temannya. Khawatir jika temannya akan mendapat masalah karena dirinya. Pun ia tidak mengabarkan kepada Doyoung. Dia tidak ingin jika kakak tingkatnya itu terlibat perkelahian lagi. Sampailah Kayra di sebuah ruangan. Beberapa kakak tingkatnya di sana. Semua memandang sinis ke arah Kayra. Sementara itu, Kayra justru memberikan senyum ramah kepada mereka. “Oh, sudah datang?” adalah kata sambutan yang diberikan oleh Jaehyun. Dapat Kayra lihat, bahwa luka bekas tonjokkan pada wajah menawan pemuda tersebut tidak separah milik Doyoung. Kayra merasa bersalah karena ia telah bersikap keras terhadap Doyoung. Sekarang, dia justru ingin menghancurkan wajah menawan pemuda Jung tersebut. Pemuda Jung menepukkan kedua tangannya untuk mengumpulkan perhatian audiensi. “Kita akan mulai rapatnya dalam lima menit,” tandasnya. Menelaah sekitar, batin Kayra berbisik, Kok belum datang? Padahal Kak Doyoung juga termasuk panitia inti, kan? Merasa ada yang janggal, Kayra segera mengirimkan pesan pada orang yang sedari tadi memenuhi pikirannya. Lo nggak datang rapat, Kak? tulisnya. Mendapat balasan, Kayra pun terkejut. Benar, seperti dugaannya, bahwa Doyoung tidak tahu mengenai hal ini. Kayra pun akhirnya menyadari bahwa sedari tadi yang datang rapat hanyalah orang-orang yang sedang berada dalam ruangan ini. Padahal, jumlah keseluruhan panitia inti tiga kali lipat lebih banyak dari ini. Lima menit sudah berlalu. Rapat akhirnya dimulai. Kayra langsung mendapatkan sebuah pertanyaan yang datang dari keponakan sang kaprodi tersebut—Bastian. “Gimana, Kayra? Lo mau protes apa lagi, nih?” Bastian memberikan penekanan ketika menyebut nama Kayra. Tak lupa, ia pun memandang rendah Kayra sembari menarik sudut kanan bibirnya. “Sudah saya katakan di rapat final kemarin, Kak.” Kayra menjawab dengan tatapan penuh keyakinan. “Kemarin? Boleh diulang nggak? Gue lupa soalnya,” ucap Bastian mengetuk pelipis kanannya dengan telunjuk.
“Lupa, ya? Padahal Kakak kemarin selalu menyanggah ucapan saya,” sindir Kayra tak kalah keras.
“Anjing lo, ya!” Hampir saja Bastian melayangkan sebuah tamparan pada Kayra. Namun, Kayra berhasil mencegah tangan tersebut mengenai wajahnya.
“Kekerasan tidak diperbolehkan di mana pun. Kalau mau, saya bisa layangkan gugatan. Kakak sudah berusia di atas 17 tahun. Segala perbuatan Kakak dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.”
Tidak ada balasan. Bastian masih mematung. Tangan kirinya mengepal keras hingga buku-buku jarinya memutih. Rahangnya mengeras. Dia kalah telak.
Masih dengan posisi seperti itu, seseorang datang mendobrak pintu.
“Kayra!” pekiknya ketika mendapati Kayra sedang menahan tangan Bastian yang hendak memukulnya.
Terkejut, Kayra membelalakkan matanya. Tak percaya jika Doyoung akan datang. Ia hanya mengirimkan sebaris pesan. Namun, Doyoung tahu bahwa ada yang janggal. Insting pemuda itu menuntunnya untuk datang secara langsung ke sini. Ke ruang rapat.
Tak ingin kejadian yang sama terulang, Kayra berdiri di depan Doyoung, mencegah kakak tingkatnya itu bertindak seperti kemarin. Doyoung menghela napasnya berat.
“Gue juga panitia inti, tapi kenapa gue nggak dikasih tahu kalau ada rapat? Kenapa juga Kayra datang sendiri? Dan setelah gue lihat, lo mau nampar Kayra?” Pandangannya beralih ke Bastian. Yang ditatap menunduk. Tak berani menatap balik.
Doyoung mengarahkan telunjuknya. Menunjuk mereka satu persatu. “Gue bisa laporin kalian semua. Nggak peduli ada keponakan kaprodi atau nggak. Selama gue bener, gue bakalan maju.”
“Kok lo ngancem?” Bastian yang semula sudah sedikit tenang, kini kembali tersulut emosi.
“Diam! Lo itu salah. Kalian para kakak tingkat juga salah! Harusnya kalian kasih contoh yang baik. Bukan malah jadi pecundang nyuruh Kayra datang sendirian ke sini.”
Ditariknya tangan Kayra ke dalam genggamannya. “Ayo kita pergi dari sini, Kay.”
Doyoung membanting pintu. Bastian murka. Ia berteriak. Beberapa kursi menjadi sasaran empuk atas amarahnya.
Doyoung menuntun Kayra ke tempat parkir. Memakaikan helm pada gadis tersebut. Seperti sudah direncanakan, Doyoung membawa dua helm. Untuknya dan untuk gadis yang disuka.
Keduanya tenggelam dalam diam. Tidak sesuai dugaan Kayra yang mengira bahwa Doyoung akan mengantarnya pulang, kakak tingkatnya itu justru melewati kosannya begitu saja.
“Kita mau pergi ke mana, Kak?”
Tidak ada jawaban. Doyoung masih sibuk mengendalikan amarahnya.
Dua jam perjalanan belum ada yang membuka percakapan sampai akhirnya mereka tiba di daerah perbukitan. Doyoung menghentikan motornya lalu menanggalkan helmnya.
“Ini tempat apa, Kak?” Kayra akhirnya membuka suara. Yang ditanya tidak menjawab. Ia justru berjalan begitu saja, menghiraukan Kayra.
Kayra pun mengikuti langkah Doyoung. Betapa takjubnya ia melihat pemadangan yang menghampar di depannya. Begitu cantik.
“Wah, bagus banget tempatnya.” Kayra tersenyum lebar. Melihat itu, Doyoung menarik sebuah senyuman.
Pemuda itu duduk. Disusul dengan gadisnya.
“Kenapa, Kak?” tanyanya.
Doyoung menoleh. Memandang bingung.
“Kenapa apanya?”
“Kenapa belain gue? Bahkan sampai dua kali.”
Pemuda itu tampak bepikir sesaat lalu tersenyum.
“Kenapa lo nggak bilang ke gue?” Ia justru menjawab dengan pertanyaan.
“Gue takut kalau lo bakalan kayak kemarin.”
Doyoung menarik sudut bibirnya. “Gue baru pertama kali kayak gitu.”
Lagi-lagi, Kayra terkejut. “Serius?” tanyanya tak percaya. Yang ditanya mengangguk.
“Maaf, Kak,” ucap Kayra tiba-tiba.
“Maaf untuk?”
“Kemarin malah marahin lo. Setelah tadi ketemu Kak Jaehyun, gue baru sadar kalau luka lo lebih parah dari dia.”
Menghela napas kuat-kuat, Doyoung memandang langit yang tampak berkabut.
“Lo pengen tahu kenapa gue kayak gitu?” tanyanya dengan terus memandang ke atas.
Kayra mengangguk. “Iya.”
Pandangannya beralih. Kembali menatap Kayra dengan tatapan yang lebih dalam.
“Karena gue suka sama lo.”