Hari Pertama
“Cepat lari! Kalian tahu tidak ini jam berapa?”
“Tidak usah senyam senyum! Lari!”
Hari ini masih hari pertama. Semua yang datang terlambat diberi toleransi untuk masuk ke dalam barisan.
“Kalian tahu ospek dimulai jam berapa?” Suaranya yang lantang memecah keheningan. Sang ketua Komdis berdiri di depan para peserta ospek dan bertanya perihal keterlambatan mereka. Namun, tidak ada yang menjawab.
“Saya bertanya. Apa gunanya pertanyaan?” Suara laki-laki itu berbeda dari sebelumnya, kali ini nada bicaranya sedikit meninggi.
“Kalian tahu ospek dimulai jam berapa?” Pertanyaan pun kembali diulang dengan nada yang sama.
“Siap. Tahu,” jawab mereka serempak.
“Jam berapa?”
“Siap. Jam 5.”
“Lalu, kenapa masih ada yang terlambat?”
“Mahasiswa tidak disiplin!” Salah seorang anggota Komdis mulai bersuara dari belakang.
“Katanya mahasiswa, tapi tidak bisa memahami aturan!” sahut yang lainnya.
“Mulai besok, jika ada yang terlambat, tidak diizinkan untuk masuk ke dalam barisan. Paham?”
“Siap, paham.”
“Awas kalau itu hanya omong kosong!” peringat Wendy—salah satu Komdis inti.
Komisi Disiplin atau yang biasa disebut Komdis akhirnya meninggalkan lapangan. Semua peserta ospek langsung menghela napas dengan lega. Mungkin tadi bagi mereka sama saja berada dalam neraka. Tidak enak sama sekali.
“Waduh, pagi gue udah kena marah,” sindir Jaemin entah kepada siapa.
Kini MC masuk untuk mengambil alih.
“Halo! Halo! Semangat pagi! Jangan pada lesu, dong. Justru omelan tadi harus bikin kalian jadi tambah semangat. Ayo semangat!” MC mencoba untuk menaikkan atmosfer.
“Oh, iya. Perkenalkan saya Johnny Suh, MC kalian pada acara ospek sampai acara ospek ini selesai.” Tidak ada yang merespon, namun Johnny masih belum patah semangat.
“Tepuk tangan dong!” pintanya sembari tersenyum dan mulai untuk bertepuk tangan.
Para peserta ospek mengikuti apa yang dilakukan oleh sang pembawa acara. Ternyata Johnny berhasil membuat atmosfer menjadi naik. Setelah itu, mereka melakukan do'a bersama selama beberapa menit demi lancarnya kegiatan ospek yang akan dimulai hari ini.
Seperti acara pada umumnya, pada awal acara diisi dengan sambutan-sambutan yang membosankan untuk didengarkan. Fokus para calon mahasiswa sudah mulai terpecah. Namun, begitu MC kembali memandu acara, atmosfer kembali naik. Sungguh, sang MC sangat pandai untuk mencairkan suasana.
Para mahasiswa kemudian diminta untuk mengumpulkan tugas yang sudah dikerjakan minggu lalu seperti ID-Card, buku jurnal, dan bendera kelompok. Tenang, tugas lain sudah dikumpulkan secara online sebelum ospek dengan resmi dimulai.
Acara pun dimulai. Mereka memasuki aula yang sudah disediakan untuk penyampaian materi. Bahkan penyampaian materi dilakukan secara online, sehingga pemateri tidak berada di ruang aula. Sungguh, kemajuan teknologi cukup membawa dampak yang besar. Di era revolusi 4.0 ini semua tidak lepas dari adanya teknologi digital.
Materi disampaikan kurang lebih selama 5 jam. Cukup membosankan. Lalu, saatnya untuk beristirahat. Para ketua kelompok diminta untuk mengambil jatah makan siang yang sudah disediakan oleh panitia. Untuk minumnya, para calon mahasiswa baru diinstruksikan untuk membawa tumbler sendiri. Dalam rangka menuju kampus yang lebih hijau katanya. Ya, bukan ide yang buruk dan pengeluaran tidak akan membengkak. Kemudian acara dilanjutkan kembali hingga pukul 16.00. Namun, karena satu dan lain hal, acara mundur hingga satu jam. Benar, pukul 17.00 mereka akhirnya pulang.
Setelah acara selesai, MC menutup acara dan para mahasiswa diinstruksikan untuk kembali membentuk barisan.
“Cepat! Atur formasinya!”
Para calon mahasiswa berbaris. Sang ketua Komisi Disiplin menunggu hingga suara yang ditimbulkan oleh ratusan orang di depannya perlahan senyap.
“Lihat di sana! Orang tua kalian sudah menunggu. Apa kalian tidak tau kalau sedang ditunggu? Kenapa malah banyak bicara dan tidak segera membentuk barisan?” Yuta memberikan pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan nada tinggi.
“Tidak tahu, Kak.” Taeyong menyindir ratusan calon mahasiswa di hadapannya.
“Kan acara sudah selesai, Kak.” Yeri menyahut dari belakang.
Para mahasiswa baru terdiam. Tidak ada suara sama sekali. Hening.
“Benar pepatah 'Tong kosong berbunyi nyaring'. Kalian semua cuma bisa ngomong. Tapi usaha nol,” omel Doyoung yang membuat beberapa mahasiswa yang tidak bekerja selama mengerjakan tugas menjadi sedikit menciut. Sementara para mahasiswa yang mengerjakan tugas dengan baik tidak terima dengan apa yang dikatakan Doyoung. Namun, mereka hanya bisa diam.
“Tugas yang kami berikan, masih saja dikerjakan dengan salah!”
“Kami sudah beri contoh lengkap dengan ukurannya secara detail. Kenapa masih salah?”
Diam. Tidak ada jawaban.
“Besok ID-Card dan buku jurnal sudah harus diperbaiki dengan benar. Mengerti?”
Para Komdis kembali meninggalkan lapangan. Sedangkan para pembimbing menghampiri kelompok yang dibimbingnya masing-masing. Mereka membawa ID-Card dan buku jurnal yang tadi dikumpulkan. Para maba diminta untuk mengecek apakah mereka mendapatkan 'surat cinta' atau tidak.
“Baca di rumah! Orang tua kalian sudah menunggu!” kata Yuta yang memperingatkan mereka untuk segera pulang.
“Atribut dilepas!”
“Tidak usah ngobrol!”
“Lari!”
Begitulah hari pertama ospek berakhir.
Hari ini cukup melelahkan. Kayra yang tadinya bersemangat menjalani ospek hari pertama, kini sudah tidak semangat dan ingin agar ospek segera berakhir.
“Mah, aku capek,” rengek Kayra pada mamanya dalam sambungan telepon.
“Kalau capek, cepetan mandi. Biar capeknya hilang,” sahut seseorang dari seberang sana. Namun, Kayra tidak menghiraukan perintah mamanya.
“Ma, masa tadi baru datang udah diomelin. Galak banget lagi. Sebel. Kan aku nggak telat, Ma. Tapi tetep aja kena omel.”
“Ya itu karena kalian salah. Kalau kalian nggak salah, ya nggak bakal ngomel.” Tampaknya, mamanya tidak memberikan pembelaan pada anaknya.
“Ih, mama. Aku kan nggak salah.”
“Kan bukan kamu doang yang ospek, Sayang. Teman-teman seangkatan kamu juga. Semangat, dong!”
Kayra menghembuskan napas dengan berat.
“Iya. Ya udah, Ma. Aku tutup dulu ya teleponnya.” Kayra segera mengakhiri percakapannya, namun ia masih dapat mendengar bahwa mamanya masih berbicara.
“Eh, mama masih bicara, ya? Mama bilang apa? Bisa tolong diulang?” pintanya.
“Mama cuma mau bilang, semangat. Ini masih awal. Habis ini kamu langsung mandi biar capeknya hilang.”
“Iya, Ma. Makasih banyak.”
“Sama-sama. Ya udah, kamu tutup teleponnya.” Sambungan telepon pun diputus.
Kayra mengikuti instruksi mamanya. Ia akan mandi agar rasa lelahnya cepat hilang.
Setelah mandi, Kayra mengecek ID-Card dan buku jurnal yang tadi sempat dikumpulkan.
“Apa ini?” Gadis itu memandang secarik kertas yang terselip di belakang ID-Card miliknya.
“Gue dapet 'surat cinta'? Perasaan udah bener, deh.” Kayra masih menyangkal karena ia sudah membenahi ukuran ID-Card yang waktu itu pernah salah.
Gadis itu mengambil penggaris. Ia tidak terima jika hasil usahanya diberi 'surat cinta' seperti ini. Ia kembali mengukur ID-Card dari ujung ke ujung.
“Eh, bentar deh. Ukurannya berapa, sih?” Kayra mengambil ponselnya lalu mengecek list tugas-tugas yang diberikan. Ia membaca dengan saksama.
“Anjir, gue cuma salah setengah senti doang, tapi dapet surat cinta? Kebangeten lo, Dis. Cuma setengah senti doang, anjir. Nggak menghargai banget. Padahal juga waktu itu udah bener, kok. Tapi kenapa ini bisa kelebihan setengah senti sih?” Kayra masih tidak terima. Jelas-jelas ia sudah mengukur ID-Card dengan benar. Bahkan ia sampai begadang ketika membenahi ukuran kartu identitas yang sempat salah tersebut.
Kayra memang jarang mengumpat, namun kali ini sepertinya ia harus mengeluarkan kata umpatan supaya dirinya lega. Gadis itu juga khawatir jika punya teman yang lain juga salah. Ia tidak ingin mengecewakan teman-temannya.
Selesai dengan ID-Card, Kayra beralih ke buku jurnal. Ia mengecek dari halaman satu ke halaman lainnya. Halaman pertama aman, begitu sampai halaman seterusnya. Namun, ketika sampai di halaman paling akhir, ia kembali menemukan 'surat cinta' yang ditulis lumayan panjang.
“What? Apa-apaan ini? Hah? Banyak banget kesalahan gue?” Kayra lagi-lagi tidak percaya. Gadis itu heran dengan semua yang tertulis di sana.
“Ukuran segitiga di buku jurnal paling atas masih salah. Jahitan di buku jurnal masih salah.” Begitulah isi halaman terakhir di buku jurnalnya.
“Gue kira isinya catatan kesalahan gue doang. Bentar-bentar, masih ada lanjutannya,” ucapnya ketika melihat masih ada catatan di bawahnya.
“Semangat memperbaiki buku jurnal dan ID-Card, ya. Jangan salah lagi. Coba lihat contohnya baik-baik.” Kayra berpikir sejenak.
“Nggak mungkin nih Komdis nulis beginian. Tampangnya aja serem semua. Nggak mungkin, ah! Kak Seulgi kali ya yang nulis? Tapi, kok kayak tulisan cowok, ya?” Kayra bermonolog dengan dirinya sendiri.