rainygreyskies

“Cepat lari! Kalian tahu tidak ini jam berapa?”

“Tidak usah senyam senyum! Lari!”

Hari ini masih hari pertama. Semua yang datang terlambat diberi toleransi untuk masuk ke dalam barisan.

“Kalian tahu ospek dimulai jam berapa?” Suaranya yang lantang memecah keheningan. Sang ketua Komdis berdiri di depan para peserta ospek dan bertanya perihal keterlambatan mereka. Namun, tidak ada yang menjawab.

“Saya bertanya. Apa gunanya pertanyaan?” Suara laki-laki itu berbeda dari sebelumnya, kali ini nada bicaranya sedikit meninggi.

“Kalian tahu ospek dimulai jam berapa?” Pertanyaan pun kembali diulang dengan nada yang sama.

“Siap. Tahu,” jawab mereka serempak.

“Jam berapa?”

“Siap. Jam 5.”

“Lalu, kenapa masih ada yang terlambat?”

“Mahasiswa tidak disiplin!” Salah seorang anggota Komdis mulai bersuara dari belakang.

“Katanya mahasiswa, tapi tidak bisa memahami aturan!” sahut yang lainnya.

“Mulai besok, jika ada yang terlambat, tidak diizinkan untuk masuk ke dalam barisan. Paham?”

“Siap, paham.”

“Awas kalau itu hanya omong kosong!” peringat Wendy—salah satu Komdis inti.

Komisi Disiplin atau yang biasa disebut Komdis akhirnya meninggalkan lapangan. Semua peserta ospek langsung menghela napas dengan lega. Mungkin tadi bagi mereka sama saja berada dalam neraka. Tidak enak sama sekali.

“Waduh, pagi gue udah kena marah,” sindir Jaemin entah kepada siapa.

Kini MC masuk untuk mengambil alih.

“Halo! Halo! Semangat pagi! Jangan pada lesu, dong. Justru omelan tadi harus bikin kalian jadi tambah semangat. Ayo semangat!” MC mencoba untuk menaikkan atmosfer.

“Oh, iya. Perkenalkan saya Johnny Suh, MC kalian pada acara ospek sampai acara ospek ini selesai.” Tidak ada yang merespon, namun Johnny masih belum patah semangat.

“Tepuk tangan dong!” pintanya sembari tersenyum dan mulai untuk bertepuk tangan.

Para peserta ospek mengikuti apa yang dilakukan oleh sang pembawa acara. Ternyata Johnny berhasil membuat atmosfer menjadi naik. Setelah itu, mereka melakukan do'a bersama selama beberapa menit demi lancarnya kegiatan ospek yang akan dimulai hari ini.

Seperti acara pada umumnya, pada awal acara diisi dengan sambutan-sambutan yang membosankan untuk didengarkan. Fokus para calon mahasiswa sudah mulai terpecah. Namun, begitu MC kembali memandu acara, atmosfer kembali naik. Sungguh, sang MC sangat pandai untuk mencairkan suasana.

Para mahasiswa kemudian diminta untuk mengumpulkan tugas yang sudah dikerjakan minggu lalu seperti ID-Card, buku jurnal, dan bendera kelompok. Tenang, tugas lain sudah dikumpulkan secara online sebelum ospek dengan resmi dimulai.

Acara pun dimulai. Mereka memasuki aula yang sudah disediakan untuk penyampaian materi. Bahkan penyampaian materi dilakukan secara online, sehingga pemateri tidak berada di ruang aula. Sungguh, kemajuan teknologi cukup membawa dampak yang besar. Di era revolusi 4.0 ini semua tidak lepas dari adanya teknologi digital.

Materi disampaikan kurang lebih selama 5 jam. Cukup membosankan. Lalu, saatnya untuk beristirahat. Para ketua kelompok diminta untuk mengambil jatah makan siang yang sudah disediakan oleh panitia. Untuk minumnya, para calon mahasiswa baru diinstruksikan untuk membawa tumbler sendiri. Dalam rangka menuju kampus yang lebih hijau katanya. Ya, bukan ide yang buruk dan pengeluaran tidak akan membengkak. Kemudian acara dilanjutkan kembali hingga pukul 16.00. Namun, karena satu dan lain hal, acara mundur hingga satu jam. Benar, pukul 17.00 mereka akhirnya pulang.

Setelah acara selesai, MC menutup acara dan para mahasiswa diinstruksikan untuk kembali membentuk barisan.

“Cepat! Atur formasinya!”

Para calon mahasiswa berbaris. Sang ketua Komisi Disiplin menunggu hingga suara yang ditimbulkan oleh ratusan orang di depannya perlahan senyap.

“Lihat di sana! Orang tua kalian sudah menunggu. Apa kalian tidak tau kalau sedang ditunggu? Kenapa malah banyak bicara dan tidak segera membentuk barisan?” Yuta memberikan pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan nada tinggi.

“Tidak tahu, Kak.” Taeyong menyindir ratusan calon mahasiswa di hadapannya.

“Kan acara sudah selesai, Kak.” Yeri menyahut dari belakang.

Para mahasiswa baru terdiam. Tidak ada suara sama sekali. Hening.

“Benar pepatah 'Tong kosong berbunyi nyaring'. Kalian semua cuma bisa ngomong. Tapi usaha nol,” omel Doyoung yang membuat beberapa mahasiswa yang tidak bekerja selama mengerjakan tugas menjadi sedikit menciut. Sementara para mahasiswa yang mengerjakan tugas dengan baik tidak terima dengan apa yang dikatakan Doyoung. Namun, mereka hanya bisa diam.

“Tugas yang kami berikan, masih saja dikerjakan dengan salah!”

“Kami sudah beri contoh lengkap dengan ukurannya secara detail. Kenapa masih salah?”

Diam. Tidak ada jawaban.

“Besok ID-Card dan buku jurnal sudah harus diperbaiki dengan benar. Mengerti?”

Para Komdis kembali meninggalkan lapangan. Sedangkan para pembimbing menghampiri kelompok yang dibimbingnya masing-masing. Mereka membawa ID-Card dan buku jurnal yang tadi dikumpulkan. Para maba diminta untuk mengecek apakah mereka mendapatkan 'surat cinta' atau tidak.

“Baca di rumah! Orang tua kalian sudah menunggu!” kata Yuta yang memperingatkan mereka untuk segera pulang.

“Atribut dilepas!”

“Tidak usah ngobrol!”

“Lari!”

Begitulah hari pertama ospek berakhir.

Hari ini cukup melelahkan. Kayra yang tadinya bersemangat menjalani ospek hari pertama, kini sudah tidak semangat dan ingin agar ospek segera berakhir.

“Mah, aku capek,” rengek Kayra pada mamanya dalam sambungan telepon.

“Kalau capek, cepetan mandi. Biar capeknya hilang,” sahut seseorang dari seberang sana. Namun, Kayra tidak menghiraukan perintah mamanya.

“Ma, masa tadi baru datang udah diomelin. Galak banget lagi. Sebel. Kan aku nggak telat, Ma. Tapi tetep aja kena omel.”

“Ya itu karena kalian salah. Kalau kalian nggak salah, ya nggak bakal ngomel.” Tampaknya, mamanya tidak memberikan pembelaan pada anaknya.

“Ih, mama. Aku kan nggak salah.”

“Kan bukan kamu doang yang ospek, Sayang. Teman-teman seangkatan kamu juga. Semangat, dong!”

Kayra menghembuskan napas dengan berat.

“Iya. Ya udah, Ma. Aku tutup dulu ya teleponnya.” Kayra segera mengakhiri percakapannya, namun ia masih dapat mendengar bahwa mamanya masih berbicara.

“Eh, mama masih bicara, ya? Mama bilang apa? Bisa tolong diulang?” pintanya.

“Mama cuma mau bilang, semangat. Ini masih awal. Habis ini kamu langsung mandi biar capeknya hilang.”

“Iya, Ma. Makasih banyak.”

“Sama-sama. Ya udah, kamu tutup teleponnya.” Sambungan telepon pun diputus.

Kayra mengikuti instruksi mamanya. Ia akan mandi agar rasa lelahnya cepat hilang.

Setelah mandi, Kayra mengecek ID-Card dan buku jurnal yang tadi sempat dikumpulkan.

“Apa ini?” Gadis itu memandang secarik kertas yang terselip di belakang ID-Card miliknya.

“Gue dapet 'surat cinta'? Perasaan udah bener, deh.” Kayra masih menyangkal karena ia sudah membenahi ukuran ID-Card yang waktu itu pernah salah.

Gadis itu mengambil penggaris. Ia tidak terima jika hasil usahanya diberi 'surat cinta' seperti ini. Ia kembali mengukur ID-Card dari ujung ke ujung.

“Eh, bentar deh. Ukurannya berapa, sih?” Kayra mengambil ponselnya lalu mengecek list tugas-tugas yang diberikan. Ia membaca dengan saksama.

“Anjir, gue cuma salah setengah senti doang, tapi dapet surat cinta? Kebangeten lo, Dis. Cuma setengah senti doang, anjir. Nggak menghargai banget. Padahal juga waktu itu udah bener, kok. Tapi kenapa ini bisa kelebihan setengah senti sih?” Kayra masih tidak terima. Jelas-jelas ia sudah mengukur ID-Card dengan benar. Bahkan ia sampai begadang ketika membenahi ukuran kartu identitas yang sempat salah tersebut.

Kayra memang jarang mengumpat, namun kali ini sepertinya ia harus mengeluarkan kata umpatan supaya dirinya lega. Gadis itu juga khawatir jika punya teman yang lain juga salah. Ia tidak ingin mengecewakan teman-temannya.

Selesai dengan ID-Card, Kayra beralih ke buku jurnal. Ia mengecek dari halaman satu ke halaman lainnya. Halaman pertama aman, begitu sampai halaman seterusnya. Namun, ketika sampai di halaman paling akhir, ia kembali menemukan 'surat cinta' yang ditulis lumayan panjang.

What? Apa-apaan ini? Hah? Banyak banget kesalahan gue?” Kayra lagi-lagi tidak percaya. Gadis itu heran dengan semua yang tertulis di sana.

“Ukuran segitiga di buku jurnal paling atas masih salah. Jahitan di buku jurnal masih salah.” Begitulah isi halaman terakhir di buku jurnalnya.

“Gue kira isinya catatan kesalahan gue doang. Bentar-bentar, masih ada lanjutannya,” ucapnya ketika melihat masih ada catatan di bawahnya.

“Semangat memperbaiki buku jurnal dan ID-Card, ya. Jangan salah lagi. Coba lihat contohnya baik-baik.” Kayra berpikir sejenak.

“Nggak mungkin nih Komdis nulis beginian. Tampangnya aja serem semua. Nggak mungkin, ah! Kak Seulgi kali ya yang nulis? Tapi, kok kayak tulisan cowok, ya?” Kayra bermonolog dengan dirinya sendiri.

Selena terkejut ketika melihat headline berita yang dipenuhi oleh perkembangan pengusutan kasus pembunuhan 22 tahun silam. Jika dipikir, 22 tahun silam adalah tahun kematian ayah Jeff. Lalu, siapa politisi tersebut? Selena penasaran. Ia memutar otak. Tangannya mengetikkan sesuatu di ponselnya. Berharap akan mendapat jawaban dari ayahnya.

Selena berpikir jika ayahnya mungkin tahu tentang hal ini. Politik dan kasus pembunuhan yang mungkin tak asing bagi ayahnya. Apalagi ayahnya dulu membantu Jeff untuk menjadi seorang detektif.

Beberapa jam pesannya tak kunjung mendapat jawaban. Dirinya terus diselimuti rasa kegelisahan. Ia kembali mengambil ponselnya dan mengetikkan pesan pada Jeff. Selena semakin takut dengan respon Jeff yang seakan menghindarinya.

Perempuan itu akhirnya memutuskan untuk menemui ayahnya. Ia ingin memastikan bahwa semuanya baik-baik saja.

Mobilnya pun terhenti di kantor ayahnya. Selena berusaha menerobos masuk ketika security menahannya. Perempuan itu berteriak hingga memicu atensi orang-orang yang berlalu lalang di sana.

“Saya ingin bertemu dengan ayah saya. Saya anak kandungnya. Biarkan saya masuk.”

Hampir semua karyawan yang berada di sana kaget dengan apa yang diucapkan Selena. Ia sedikit maklum karena orang tuanya memang sudah lama berpisah. Tidak semua orang tahu siapa Selena.

Pintu dibuka. Selena dapat melihat ayahnya yang tampak sedang berunding dengan seseorang yang mengenakan jas sembari membaca dokumen-dokumen yang berada di atas meja.

Ayahnya begitu terkejut melihat Selena datang ke kantornya. Selena berusaha untuk mencerna situasi apa yang sedang terjadi sekarang.

“Papa biasanya cepat membalas pesanku. Tapi, sudah berjam-jam aku menunggu hingga akhirnya aku memutuskan untuk bertanya langsung dengan menemui Papa. Itu akan lebih sopan, kan?” Selena memberikan pertanyaan yang sedikit sarkas.

Ayahnya pun memberikan isyarat kepada seseorang yang ia ajak berunding tadi untuk keluar.

Selena berjalan mendekat.

“Duduk dulu, Na. Kamu sudah makan?” Papanya mencoba menenangkan Selena.

“Papa pasti sudah tahu apa yang sedang ramai dibicarakan sekarang.” Selena tidak menjawab pertanyaan ayahnya.

“Ada apa, Na? Papa sedari tadi meeting dengan client.”

“Oh, jadi, tadi itu client? Bukan pengacara?” Selena kembali bertanya.

“Apa maksud kamu? Itu tadi client papa.” Ayahnya seperti tidak mengerti apa yang dibicarakan oleh putrinya.

“Pa, aku benci orang yang tidak jujur.”

“Kamu tidak percaya papa?” Ayahnya pun berbicara dengan nada yang sedikit meninggi.

“Gimana aku bisa percaya sama Papa? Papa udah bohong berkali-kali. Bahkan tentang Jeff sekali pun. Papa waktu itu pura-pura tidak tahu bahkan bertanya apakah Jeff itu pacarku.”

Ayahnya tampak tak berkutik. Selama ini Jeff tidak menceritakan bahwa Selena sudah tahu kebenarannya.

“Pa, aku tahu alasan Papa dan mama harus berpisah. Awalnya aku sulit untuk menerima alasan itu. Aku merasa kalau rasa sayangku ke Papa benar-benar dipermainkan. Aku sangat menghormati Papa. Sekarang aku tahu, ternyata mama selama ini sangat rapuh. Tapi, mama kuat. Mama bahkan nggak cerita ke aku tentang beban berat yang ada di pikirannya selama ini.”

Ayahnya diam. Tidak berkutik. Selena pun diam beberapa saat sebelum akhirnya melanjutkan kalimatnya.

“Kalau Papa ingin menebus semua kesalahan Papa, jangan bersembunyi. Pertanggungjawabkan apa yang sudah Papa lakukan.”

“Apa yang harus papa pertanggungjawabkan, Na? Papa nggak ngerti.”

“Papa benar-benar tidak mengerti atau berpura-pura untuk tidak mengerti? Mempekerjakan Jeff untuk melindungiku?” Selena tertawa.

“Yang benar adalah mempekerjakan Jeff untuk melindungi diri Papa sendiri.”

Ayahnya kembali diam. Tidak merespon. Selena akhirnya melangkah menjauh dari ayahnya. Sebelum membuka pintu, Selena menghentikan langkahnya lalu kembali menoleh ke belakang.

“Diamnya Papa menjawab semuanya. Aku benar-benar kecewa sama Papa.”

Kalandra masih mencerna apa yang terjadi padanya sore hari tadi. Seseorang yang tak dikenalnya tiba-tiba mendatanginya dan berusaha untuk menghiburnya. Arjuna, lelaki itu begitu misterius. Bahkan, dia tidak menggunakan bahasa santai untuk berkomunikasi. Terlalu aneh untuk seukuran anak SMA yang berbicara dengan teman sebayanya. Namun, Kalandra sedikit senang karena baru kali ini dia merasa tidak dipandang rendah. Baru kali ini juga ada yang bertanya mengapa Kalandra menangis.

“Arjuna,” gumamnya. Kalandra masih terus berusaha mengingat laki-laki misterius tersebut.

“Aneh,” lanjutnya kemudian. Kalandra menggeleng dan berusaha untuk mengacaukan fokusnya yang dipenuhi oleh pertanyaan tentang sosok Arjuna.

Kalandra terus melangkahkan kakinya. Ia menyusuri jalanan yang basah akibat guyuran hujan. Gadis itu berhenti sejenak, menengadahkan kepalanya ke atas. Langit masih tampak mendung, meskipun hujan sudah tidak lagi turun. Mendungnya langit tersebut seperti suasana hati Kalandra saat ini. Apa yang harus dia katakan pada ibunya nanti? Dagangannya hancur tak bersisa. Sepeser uang pun tak ia dapatkan. Kalandra menangis lagi. Hari ini, mungkin Kalandra dan ibunya tidak akan bisa menikmati makan malam lagi.

Kalandra kembali mendapat tatapan aneh dari orang-orang yang berlalu lalang di sekitarnya. Sadar akan hal itu, gadis itu pun menghapus air matanya lalu mempercepat langkahnya.

Di sisi lain, Arjuna mengendarai motor dengan seragam dan jaket basahnya. Deru motornya membelah sepinya jalanan dekat sekolah. Samar-samar, netranya menangkap sosok gadis yang menangis di lapangan tadi. Arjuna ragu, apakah ia harus berhenti dan menawari tumpangan? Namun, sepertinya tubuhnya berkata lain. Ia melewati Kalandra begitu saja.

Kalandra dapat melihat dengan jelas bahwa pengendara motor yang tidak menggunakan helm tersebut adalah Arjuna. Kini, ia merasa sedikit canggung karena Arjuna melewatinya begitu saja. Apakah Arjuna tidak melihatku? begitu pikirnya.

Namun, dugaan Kalandra salah. Sang pengendara motor tersebut berhenti di samping pohon peneduh. Pemuda itu menoleh ke belakang. Ya, ke arah Kalandra. Arjuna membuat gerakan yang mengisyaratkan pada Kalandra agar gadis itu segera mempercepat jalannya dan membonceng di jok belakang Arjuna.

Kalandra pun menunjuk dirinya sendiri sebagai isyarat apakah benar Arjuna sedang berbicara padanya. Arjuna mengangguk. Kalandra pun melangkah malu-malu ke arah pemuda dengan keadaan yang sama basahnya dengan dirinya. Gadis itu membonceng dengan kikuk.

“Tenang saja. Saya bakalan antar kamu sampai ke rumah dengan selamat.” Arjuna membuka suara.

Deru motor Arjuna memecah sedikit kecanggungan suasana yang terjadi saat ini. Arjuna tampak fokus mengendarai motornya, sementara Kalandra sibuk melihat-lihat pemandangan setelah redanya hujan.

Kini, motor Arjuna terhenti pada sebuah rumah yang tak memiliki gerbang, namun rumah itu memiliki pekarangan yang luas.

“Rumah kamu terlihat nyaman,” puji Arjuna.

“Makasih. Makasih juga tumpangannya,” ucap Kalandra setelah turun dari motor.

“Ibu kamu mana?” Arjuna juga turut turun dari motor.

“Ada di dalam. Kenapa?” Kalandra penasaran akan alasan apa di balik pertanyaan Arjuna.

“Saya mau berpamitan.”

“Hah? Harus pamitan, ya?” Kalandra justru bertanya.

“Saya harus mengatakan ke ibu kamu bahwa saya mengantar anaknya dengan selamat.”

Kalandra berpikir sejenak sebelum akhirnya mengiyakan keinginan Arjuna. Gadis itu memandu Arjuna masuk ke dalam rumahnya. Sebenarnya, Kalandra sedikit tidak enak karena membawa Arjuna masuk ke dalam rumah sederhananya. Tidak, Kalandra tidak malu. Toh semua orang di lingkungan sekolahnya sudah tau tentang keadaannya. Ia hanya ingin mempunyai rumah yang lebih layak untuk ditunjukkan kepada teman-temannya. Namun, Kalandra sadar, ia bahkan tidak memiliki seorang teman saat ini.

“Kamu tunggu di sini dulu. Aku panggilkan ibuku,” ucap Kalandra. Namun, Arjuna sudah terlebih dulu menahan tangan gadis tersebut sebelum gadis itu melangkah semakin jauh.

“Saya ikut. Tidak enak kalau ibu kamu yang menghampiri saya di sini.”

“Nggak usah. Ibuku ada di kamar, kok. Kamu di sini aja. Tunggu sebentar, ya.”

Arjuna pun harus mengalah kepada sang tuan rumah. Ia akhirnya menunggu di ruang tamu hingga Kalandra kembali bersama dengan sosok perempuan cantik yang tersenyum ramah ke arahnya.

“Saya Arjuna,” ucapnya lalu mencium punggung tangan perempuan tersebut.

“Arjuna? Wah, tidak heran. Seperti namanya, orangnya pun juga persis seperti tokoh wayang Arjuna.” Perempuan itu mengelus puncak kepala Arjuna dengan sangat lembut.

“Jadi, Arjuna mau mampir di sini dulu atau langsung pulang?” tanya perempuan itu.

“Saya akan langsung pulang setelah mengatakan kepada Anda bahwa saya telah mengantar Kalandra dengan selamat.”

Perempuan tersebut mengembangkan senyum yang begitu merekah. “Iya, Nak Arjuna sudah mengantarkan Kalandra dengan selamat. Terima kasih, ya.”

“Terima kasih, Arjuna,” ucap Kalandra.

“Kalau begitu, saya pamit.” Arjuna kembali mencium punggung tangan perempuan tersebut. Kini, Kalandra kembali mengantarnya menuju teras. Arjuna menaiki motornya. Kalandra mengamati setiap gerakan yang diciptakan Arjuna hingga akhirnya pemuda itu mengalihkan atensinya dan memandang ke arah Kalandra.

“Saya pulang, ya,” pamit Arjuna sekali lagi.

Hari ini langit sore begitu mendung. Tak lama kemudian disusul hujan yang turun dengan sangat deras. Di bawah mendungnya langit sore dan rinai hujan yang terus terjatuh, sesosok perempuan menangis dengan amat tersedu-sedu. Entah apa yang terjadi padanya, tidak ada yang tahu.

Sesosok laki-laki terlihat memandanginya dari kejauhan. Laki-laki itu berjalan bersama dengan para kawanannya. Mereka masih berada di area sekolah. Padahal ini sudah dua jam setelah bel tanda pulang berbunyi.

“Kalian ke kelas dulu, saya mau ke sana.” Laki-laki itu tampak menunjuk ke arah lapangan—tempat di mana gadis yang sedang menangis tersebut berdiri.

“Kenapa menangis?” tanya lelaki itu begitu sampai di hadapan sang gadis.

“Kalau mau menangis jangan di sini. Hujan. Kamu bisa sakit,” lanjutnya.

“Kamu juga kenapa ke sini? Kenapa kamu malah hujan-hujan?” Gadis itu balik bertanya.

“Saya sudah hujan-hujan dengan teman-teman saya tadi. Tidak usah khawatir. Bukan karena kamu, kok.”

Gadis itu merasa terganggu. Kenapa ada orang aneh yang menggangunya ketika sedang menangis? Sementara itu, laki-laki tersebut melepas jaketnya. Diarahkannya jaket tersebut ke atas kepala sang gadis.

“Kalau kamu masih mau nangis di sini, nggak apa-apa. Saya tutupin. Tapi, tangan saya bisa pegel.”

“Lagian aku nggak minta kamu buat nutupin. Kamu juga siapa, sih? Aku nggak kenal sama kamu.”

Laki-laki itu menurunkan kedua tangan yang ia gunakan untuk memayungi sang gadis. Ia melipat jaketnya yang basah lalu mengulurkan tangan.

“Kalau begitu, perkenalkan. Saya Arjuna. Siswa pindahan SMAN 68.”

Jeff langsung menyambar sweater-nya begitu mendapati bahwa Selena kini sedang berada di apartemen Mamanya. Selama berhari-hari ia menunggu wanita itu mengirimkan pesan padanya. Selama berhari-hari pula, pria itu mengirimi wanitanya pesan. Meskipun ia tahu bahwa wanitanya tak akan membalas pesannya.

Setidaknya, kini keadaan sudah berubah. Selena mencoba mengerti dan menurunkan egonya. Toh, Jeff memang tidak berbohong, ia hanya belum mengungkapkan kebenaran karena menunggu waktu yang tepat.

Kini Jeff sudah sampai di depan apartemen. Ia segera menuju tempat di mana Selena berada. Sesampainya di depan pintu apartemen, telunjuknya menekan tombol yang menandakan akan kedatangannya. Tak lama kemudian, seorang perempuan dengan hoodie hitam dan rambut yang berantakan keluar dari sana.

Matanya tampak malu-malu untuk menatap mata lelaki di depannya. Ia hanya menunduk tanpa mengucapkan sepatah kata. Melihat itu, Jeff menarik tangan Selena dan membawanya ke dalam pelukan. Lelaki itu mengendus puncak kepala Selena. Membiarkan aroma wangi rambut perempuan itu masuk ke dalam inderanya.

Menyadari akan hal itu, Selena menengadahkan kepalanya, memandang lelakinya dengan tatapan menggemaskan. Lelaki itu justru tersenyum lebar hingga menampakkan kedua lesung pipinya.

“Kamu di sini terus, ya?” tanya Jeff, membuka percakapan di antara keduanya.

Selena melepas pelukannya kemudian Kembali berdiri normal. “Nggak, baru hari ini doang.”

“Terus selama beberapa hari ini kamu di mana? Kamu nginep sama Taeyong di satu kamar?” Jeff membombardir Selena dengan pertanyaan. Melihat bahwa kekasihnya khawatir, Selena justru terlintas ide untuk menggodanya.

Perempuan itu mengedarkan pandangannya ke sekitar, lalu beralih ke ke langit-langit apartemen, seolah ia sedang mencari siapa yang sedang bertanya padanya tadi. Namun, Jeff justru menarik pinggang Selena, menciptakan sedikit jarak di antara mereka. Lelaki itu mendekatkan wajahnya, membiarkan keningnya bersentuhan dengan kening wanitanya. Ia menghela napas dengan begitu berat, seolah melepaskan semua prasangka buruknya.

“Jangan menggoda saya, Selena,” ucap Jeff dengan suara rendah. Selena justru tertawa renyah. Jeff menampakan ekspresi murung.

“Saya cemburu sama Taeyong,” ucap Jeff. Selena berusaha menahan tawanya.

“Aku tuh ketemu sama Taeyong cuma sebentar. Dia nemenin jalan-jalan, beliin makan, terus dia pamit pulang. Sekarang dia udah flight. Kasihan sebenernya.”

“Kamu emang harus tegas. Nggak usah merasa kasihan. Eh, sebentar. Kamu baru saja bilang ‘Aku’?”

Selena lagi-lagi menggoda Jeff dengan mengalihkan pandangannya ke arah kanan lalu mengedarkan pandangannya ke langit-langit apartemen, lagi. Selena melakukan itu sembari mencuri pandang ke arah Jeff. Pria itu tampak begitu menggemaskan hingga Selena tak kuasa menahan tawanya.

“Iya, iya. Aku pakai 'Aku' nih. Udah seneng belum?”

Kini, giliran Jeff yang menggoda kekasihnya itu. Ia mengikuti apa yang dilakukan Selena, mengedarkan pandangan dan memicingkan sebelah matanya, seolah sedang mencari siapa yang sedang berbicara.

“Makanya jangan menggoda saya seperti itu.” Jeff menyindir apa yang dilakukan Selena.

Selena menghiraukan perkataan pria itu. Kini, ia justru memeluk Jeff. Jeff pun kaget dengan apa yang dilakukan Selena.

“Kangen,” ucap Selena.

“Kayaknya ada yang lebih kangen, deh. Dia setiap hari ngirim chat, tapi nggak pernah dibalas. Kasihan banget orang itu. Ceweknya malah pergi sama cowok lain.” Jeff lagi-lagi menyindir Selena.

“Maaf,” kata Selena lirih.

“Untung saya sayang. Jadinya saya samperin ke sini. Padahal dia udah jahat sama saya. Bikin saya kangen terus, bikin saya khawatir terus.” Jeff seolah-olah sedang membicarakan Selena di belakang.

“Kalau kata orang-orang, saya buta karena cinta,” lanjutnya lagi.

“Apaan sih lo dangdut banget.” Selena melepas pelukannya. Jeff buru-buru meraih tangan Selena lagi dan melingkarkannya pada pinggangnya.

“Saya masih mau dipeluk. Kamu dengerin saya sambil meluk saya,” perintahnya.

Jeff kemudian menceritakan betapa khawatirnya dia selama Selena mengabaikan pesan yang ia kirim. Selena mendengarkan setiap perkataan Jeff dengan mata berkaca-kaca. Jeff ternyata benar-benar menyayanginya.

Kini mereka masuk ke dalam apartemen. Selena membuatkan minuman, sementara Jeff duduk di sofa. Beberapa menit kemudian, minuman telah datang. Selena bak menyambut tamu.

“Selena,” panggil Jeff. Selena pun menoleh. “Ya? Apa, Jeff?”

“Ada yang harus saya bicarakan sama kamu.”

“Soal apa?”

Jeff menceritakan semuanya pada Selena. Tentang mengapa ia berhenti menjadi detektif, tentang mengapa ia akhirnya menjadi bodyguard, tentang siapa yang menyuruhnya menjadi bodyguard, tentang semuanya.

Selena pun tampak terkejut. Ternyata ayahnya ada di balik semua ini. Ayahnya merasa bersalah akan tindakan di masa lalunya dan salah satu cara untuk menebus kesalahannya adalah dengan berada di sisi putrinya, meskipun secara tidak langsung. Ya, melalui Jeff. Namun, Selena masih bingung mengapa ayahnya menyembunyikan semua ini, Selena juga bingung mengapa waktu itu ketika ia bertemu dengan ayahnya, ayahnya justru bertanya apakah Jeff adalah pacar Selena. Tetapi, apa pun itu, Selena berusaha untuk mengerti.

“Ada satu hal lagi yang harus saya katakan,” ucap Jeff.

“Apa, Jeff?”

“Saya akan berhenti menjadi bodyguard.”

Malam itu, di balkon hotel dan di bawah terangnya sinar bulan yang menghiasi langit London, Selena kembali mendapatkan ingatannya yang sempat terhapus. Kepingan-kepingan memori yang selama ini membuat kepala pusing, akhirnya kembali utuh menjadi satu.

Seperti apa yang dikatakan perempuan itu, kedatangan Jeff sejak pertama kali memang sudah terasa aneh. Sikap dan perlakuan Jeff padanya pun terasa tidak masuk akal. Jeff yang perhatian, Jeff yang keras kepala karena selalu berusaha untuk melindungi Selena, dan juga Jeff yang merupakan seseorang di mana Selena menaruh rasa.

Di hari pertama dirinya bertemu dengan Jeff pun, perempuan itu merasa melihat seseorang yang pernah dikenalnya di masa lalu. Bahkan ketika Jeff menceritakan perihal orang tuanya, entah mengapa Selena merasa pernah mendengar cerita itu.

Ketika Jeff membuatkan sup pereda pengar, ketika Jeff memeluknya waktu perempuan itu berteriak ketakutan akan kegelapan. Semua hal-hal kecil yang dilakukan oleh Jeff terasa begitu besar baginya. Apalagi ketika Jeff memanggilnya dengan sebutan masa kecil dan sebutan bagi orang-orang terdekatnya saja. Selena meraskan semua gejolak itu, namun ia berusaha untuk menepisnya. Kalau dia tahu gue, dia pasti udah bilang dari awal, begitu pikirnya.

Selena pun pernah mencoba agar dirinya tidak menaruh perasaan pada Jeff—seseorang yang bekerja untuknya. Selena ingin dianggap profesional seperti apa yang ia katakan pada Mamanya. Oleh karena itu, ia mencoba untuk sedikit menjauh dari Jeff, melarang bodyguard-nya itu untuk menjaganya selama dua puluh empat jam penuh. Namun, di sini ia sekarang. Jatuh pada sesosok Jeff. Jeff menjadi sosok di mana Selena menaruh rasa.

“Jaehyun. Lo, Jaehyun?” tanya Selena begitu ia mengingat semuanya.

“Saya Jeff. Nama Jaehyun sudah saya hapus dari kehidupan saya,” ucap Jeff tegas. Selena semakin melangkah mundur. Mencoba mencerna apa yang baru saja dikatakan oleh Jeff.

“Apa maksud lo? Lo itu Jaehyun.” Selena kembali menekankan bahwa lelaki yang berada di hadapannya sekarang adalah lelaki yang menjadi teman masa kecilnya—Jaehyun.

“Saya tidak ingin menggunakan nama itu. Nama itu penuh dengan luka. Maka dari itu, saya menggantinya. Saya menginginkan diri saya dengan kehidupan yang baru.”

Selena memicingkan matanya kemudian kembali menatap Jeff.

“Apa yang salah dengan nama itu?” tanyanya.

“Banyak, Selena. Banyak. Mulai dari ayah saya yang dibunuh kemudian disusul dengan kepergian ibu saya selang dua tahun kemudian. Kamu yang diculik dan akhirnya kehilangan sebagian ingatanmu, termasuk ingatanmu mengenai saya. Lalu, saya yang akhirnya ditinggalkan oleh orang-orang terdekat saya. Saya benci nama itu. Saya ingin menghapus semua luka yang saya dapatkan ketika saya masih menggunakan nama itu.” Jeff menunduk. Seolah apa yang ia rasakan selama ini tertuang dalam kalimat yang baru saja ia ucapkan.

Selena terdiam, mencerna setiap kata yang diucapkan Jeff padanya.

“Tapi kenapa lo nggak bilang dari awal, Jeff? Kenapa? Gue merasa bodoh banget nggak ngenalin lo.”

Jeff menghela napasnya. “Saya nggak tahu harus bagaimana. Saya sudah mempersiapkan semua ini karena saya yakin, suatu saat kamu pasti akan tahu. Makanya, saya mencoba menghidupkan ingatan kamu melalui tindakan saya, seperti bermain piano kemarin.”

“Tapi ini gue pacaran sama teman semasa kecil gue? Lucu banget. Bahkan gue nggak mengenali teman semasa kecil gue. Lalu selama ini, gue sebenarnya jatuh cinta sama siapa? Sorry, Jeff, gue belum bisa menerima semua ini. Gue butuh waktu.”

Selena berjalan mundur kemudian membalikkan badannya dan melangkah meninggalkan Jeff. Lelaki itu hanya bisa menatap pasrah dan kini, bayangan Selena kian menghilang dari pandangannya.

Ini semua memang salahnya. Jika sedari awal ia tidak memulai, jika sedari awal ia jujur, mungkin keadaan bisa menjadi lebih baik lagi. Jika saja. Ya, jika saja.

Jeff melangkah masuk ke dalam kamar hotelnya. Merutuki kesalahan besar yang telah diperbuatnya. Menghantam tembok dengan kepalan tangannya hingga terdengar suara dentuman yang keras dan membuat buku-buku tangannya mengeluarkan darah. Ia menyesal, sungguh menyesal. Hubungannya dengan Selena baru saja terjalin selama beberapa hari. Kemungkinan terburuk yang Jeff takutkan hanya satu—Selena akan pergi lagi dari hidupnya lagi.

Jeff tentu tidak bisa membiarkan hal itu terjadi. Masih banyak hal yang belum disampaikannya. Masih banyak kesempatan baginya untuk bertemu lagi dengan Selena dan membicarakan semua hal yang selama ini ia sembunyikan. Jeff masih harus bertemu dengan Selena untuk menjelaskan semua itu. Jeff tidak akan terburu, sebab Selena sendiri yang mengatakan bahwa ia butuh waktu untuk menerima semua ini. Jeff hanya bisa bersabar dengan penuh harap.

Hari ini adalah hari terakhir mereka menghabiskan waktunya di kota London. Hari ini juga, lelaki itu mengacaukan segalanya.

Hari sudah semakin malam. Pikirannya semakin berkecamuk, namun Jeff harus segera menuju peraduan karena besok adalah hari kepulangan Selena dan dirinya kembali ke negara asal. Besok dan seterusnya, Jeff harus bersiap untuk menghadapi Selena, apa pun risikonya.

Selena sudah berjanji untuk pergi makan malam dengan Jeff. Meskipun ia masih sedikit takut untuk berada di luar, tetapi ia percaya bahwa ia akan aman selama Jeff berada di sampingnya.

Kini Selena berdiri di depan kamar hotel dengan mengenakan dress berwarna merah. Ia juga memakai lipstick dengan warna senada. Surai hitamnya kembali digulung ke atas, membiarkan bahu dan lehernya terekspos. Penampilan Selena terlihat klasik tapi juga elegan.

Jeff datang, mengenakan pakaian yang juga tampak sedikit klasik seperti pada era 1900-an. Pria itu mengenakan beberapa lapis pakaian. Kemeja putih, sweater coklat tua, dan jas yang berwarna lebih muda dari sweater yang dikenakannya.

Netranya memandang takjub akan penampilan Selena untuk yang kesekian kalinya. Cantik, batin Jeff dalam hati.

Selena tampak sedikit malu karena Jeff secara terang-terangan menatap intens ke arahnya. Selena sedikit menunduk ketika Jeff menghampirinya.

Pria itu mendekat, menarik dagu wanita di depannya. “Jangan menunduk. Saya mau lihat wajah cantik kamu.”

Selena mengerucutkan bibirnya, membuat ekspresi yang menggemaskan, setidaknya begitu pikir Jeff. Wanita itu meluruskan pandang lalu menegakkan badan. Memandang intens ke arah Jeff lalu menarik kedua sudut bibirnya.

“Oke,” jawabnya kemudian.

Kini Jeff berpindah ke samping Selena, menawarkan lengannya ke arah Selena agar wanita itu menggandengnya. Selena pun mengerti dan segera meraih lengan pria itu.

Mereka akhirnya sampai di sebuah restoran, menunggu menu yang sudah dipesan Jeff ketika mereservasi restoran.

Selena melihat sekeliling, restoran ini tampak sangat klasik. Bahkan ada sebuah panggung dan terdapat piano di sana. Sepertinya restoran ini sering mengadakan live classical music. Menarik.

Sementara itu, Jeff sibuk memperhatikan Selena yang tampak memandangi piano tersebut.

“Selena,” panggil Jeff. Sang pemilik nama pun menoleh.

“Kamu bisa bermain piano?”

“Nggak, cuma seneng denger orang main piano. Dulu seinget gue, di rumah sering nyetel instrumen musik klasik gitu.”

Jeff bangkit dari tempat duduknya.

“Mau ke mana?” tanya Selena.

“I'll show you something.” Pria itu tersenyum kemudian berjalan ke arah panggung, menempatkan dirinya pada kursi kecil.

Pria itu menyentuh alat musik klasik di depannya. Tindakannya itu membuat perhatian pengunjung berpusat padanya. Pra pengunjung restoran menatap ke arah Jeff, menunggu lelaki itu memainkan sebuah lagu.

Kini tangannya mulai menekan tuts piano tersebut. Jeff mulai memainkan sebuah lagu. Semua pengungjung tampak terpesona dan menikmati penampilan Jeff, begitu juga dengan Selena. Beberapa pengunjung restoran pun mulai merekam penampilan pria berparas menawan tersebut.

Sementara itu, Selena kembali mencoba mengingat. Alunan melodi yang dimainkan Jeff seperti tidak asing di telinganya. Sepertinya ia sering mendengarkan lagu ini waktu kecil. Ingatan Selena akan masa kecilnya memang sedikit terganggu. Semakin ia berusaha untuk mengingat, maka ia akan merasa semakin pusing. Namun, kepingan-kepingan memori tersebut masih berputar dalam otaknya.

Selena mengerjapkan matanya berkali-kali agar fokusnya teralihkan. Ia berusaha memperhatikan Jeff yang sedang bermain piano di depan sana. Jeff terlihat sangat menawan. Bak seorang pangeran yang memainkan piano untuk sang pujaan hati.

Lagu dimainkan hingga selesai. Para pengunjung pun bertepuk tangan. Jeff benar-benar berhasil menarik perhatian banyak orang melalui penampilannya.

Ketika Jeff hendak kembali ke tempat duduknya, seorang wanita paruh baya dengan penampilan elegan menghalangi jalannya.

“Hello, Young Man. Such a great performance.” Wanita itu memuji penampilan Jeff.

“Thank you,” jawab Jeff.

“I'm Jane, the owner of this restaurant.” Wanita itu mengulurkan tangannya.

Jeff membalas uluran tangan Jane. “Glad to know you, Jane. I'm Jeff.”

“I'm so curious about you. Are you a pianist?” Wanita itu tampak penasaran.

“No, I'm not. I just like playing the piano.”

“You're too good to just like playing the piano. Aren't you looking for a job? I will give you a great offer.”

“No, I already have a job.”

Wanita itu menampakkan sedikit kekecewaan di wajahnya.

“Ah, too bad. I think everyone likes your performance.”

“I'm sorry.” Jeff tersenyum kemudian berjalan kembali ke tempat duduknya.

“Tell me if you change your mind, Jeff,” teriak wanita tua tersebut.

Jeff terus mengembangkan senyumannya hingga ia berada tepat di depan Selena. Selena pun bertanya apa yang baru saja dibicarakan Jeff dengan wanita tua tersebut.

“Sepertinya penampilan saya tadi memuaskan, ya? Sampai pemilik restorannya menawarkan pekerjaan secara langsung.”

“Lo ditawari pekerjaan?” Selena tampak sedikit terkejut.

Jeff mengangguk, mengiyakan pertanyaan Selena.

“Tapi tadi itu emang bagus banget. I'm proud of you.

“Terima kasih,” ucap Jeff malu-malu.

“Oh iya, gue mau tanya. Lo tadi memainkan lagu apa?”

“Debussy-Suite Bergamasque, L. 75: III Clair de Lune. Ada apa memangnya?”

Selena tampak kembali mengingat. Sepertinya judul lagu tersebut tidak asing di telinganya.

“Gue kayaknya pernah denger waktu kecil. Tapi bukan di rumah gue. Gue denger di mana, ya?” Selena mencoba mengingat kepingan-kepingan memorinya.

“Aduh, pusing gue. Tapi gue kayak familier banget sama nadanya, sama judulnya juga.” Selena memijat keningnya,

“Kamu nggak apa-apa?” Jeff tampak sedikit khawatir. Selena menggeleng.

Makanan sudah disajikan. Mereka menikmati makan malam tersebut.

Setelah selesai, Jeff mengajak Selena untuk berkeliling restoran. Restoran itu sangat luas, bahkan terdapat sebuah ballroom. Restoran ini benar-benar bertema klasik.

Jeff menghentikan langkahnya, menatap ke arah Selena.

“May I dance with you?” Jeff membungkuk dan mengulurkan tangannya.

“Gue nggak bisa.”

“Tinggal ikuti saya. Bagaimana?” Jeff terus mengulurkan tangannya dan menatap Selena dengan tatapan memohon.

Selena menghela napas. “Oke,” jawabnya lalu menarik uluran tangan Jeff.

Kini mereka berhadapan. Jeff mulai meletakkan tangannya pada pinggang wanita di depannya. Selena tampak sedikit terkejut.

“Oh, maaf,” kata Jeff. Selena menggeleng, seolah mengatakan bahwa ia tidak apa-apa.

Selena pun mulai meletakkan tangannya pada pundak Jeff. Mereka mulai berdansa. Selena mengikuti apa yang diinstruksikan Jeff.

“Bagus, seperti itu.” Jeff memuji setiap pergerakan Selena.

Kini Selena sudah sedikit terbiasa. Jeff berhenti memberikan instruksi. Mereka berdansa, saling bertatapan, menyisakan sedikit jarak.

Tanpa sadar, Selena menarik kedua sudut bibirnya. Ia benar-benar menikmati suasana ini. Ternyata semenyenangkan ini. Selena kembali menatap lelaki di depannya dalam-dalam.

“Thank you,” ucap Selena. Jeff tersenyum lalu menggeleng pelan seolah mengatakan 'tidak perlu berterima kasih'.

Tatapan mereka semakin instens. Selena menghentikan langkahnya, menatap kedua manik hitam milik lelaki di depannya dalam-dalam. Selena mendekatkan dirinya lalu memberikan kecupan singkat di bibir milik Jeff.

Mereka kembali saling bertatapan. Tangan kanan Jeff menarik tengkuk Selena, tangan kirinya merengkuh pinggang Selena hingga tak menyisakan jarak di antara mereka. Mereka berciuman. Lama, sangat lama. Sementara musik masih terus mengalun, menemani setiap pergerakan yang mereka ciptakan. .

.

.

.

.

.

.

.

.

. Gambaran outfit yang dikenakan Selena dan Jeff.

Image

Image

Setelah berbalas pesan dengan Taeyong, Selena bersiap-siap untuk segera pulang. Seperti biasa, Jeff sudah bersiap di depan sana. Pria itu tersenyum sedikit canggung mengingat kejadian tadi pagi. Untung saja dia berkat keahlian menyetirnya, Jeff berhasil mengantar Selena sampai di kantor tepat waktu.

“Senyum lo canggung amat, sih.” Selena memberi komentar pada senyum yang terulas di bibir Jeff. Pria itu hanya menunduk dan memilih untuk membukakan pintu mobil. Satu tangannya berjaga agar Selena masuk ke dalam mobil tanpa terluka sedikit pun.

Jujur, di dalam hati pria itu bergejolak sebuah rasa yang mati-matian ditahannya. Jantungnya pun berdegup semakin kencang karena selama perjalanan pulang, tidak ada percakapan yang tercipta di antara keduanya.

Selena pun ternyata juga merasakan hal yang sama. Ia terus merutuki perbuatannya tadi pagi. Ya, mengirim pesan berturut-turut dan menelepon Jeff berkali-kali. Entah mengapa, Selena malu dengan perbuatannya. Gue nggak harusnya gitu, kan? Tapi, kenapa gue gitu? Ia terus menciptakan dialog-dialog di dalam pikirannya. Tubuhnya seakan bergerak sendiri tadi pagi.

Kini mereka telah sampai di apartemen. Selama Selena melarang Jeff untuk menjaganya seharian penuh, pria itu tetap memastikan keamanan Selena. Ia akan pulang ketika Selena sudah menyalakan lampu apartemennya.

Begitu juga dengan hari ini. Netranya terus menatap ke lantau tujuh, menunggu hingga seseorang menyalakan lampunya. Namun, sesuati terjadi. Listrik mendadak padam. Apartemen menjadi gelap. Jeff mendengar teriakan samar-samar. Entah karena apa, ia yakin bahwa yang baru saja berteriak adalah Selena.

Tubuhnya seolah bergerak sendiri. Jeff langsung berlari dan mencari di mana Selena berada. Pria itu mengisyaratkan raut kekhawatiran. Ia khawatir karena Selena tentu tidak baik-baik saja saat ini.

Pria itu semakin mempercepat langkahnya. Jantungnya berdegup semakin kencang. Terlalu khawatir akan keadaan wanita yang sedang dicarinya.

Ia mengambil jalur melalui tangga darurat. Sudah lantai ke lima, tetapi ia belum menemukan keberadaan Selena. Setelah menaiki dua lantai lagi, ia akhirnya bertemu dengan wanita yang dikhawatirkannya, ia bertemu dengan wanita yang dicarinya.

Jeff menghampiri Selena dan merengkuh Selena ke dalam pelukannya. Jeff memeluknya begitu erat. Ya, begitu erat. Selena pun membalas pelukan Jeff kemudian wanita itu menangis sejadinya.

Ia teringat ketika peristiwa mengerikan kala itu terjadi. Semuanya gelap, seperti sekarang. Jeff berusaha menenangkan Selena dengan mengelus surai hitam milik Selena secara lembut dan terus membisikan kata-kata, “Tidak apa-apa. Saya di sini. Saya ada di sini, Selena.”

Mendengar itu, Selena berusaha mengatur napasnya. Kata-kata yang dibisikkan Jeff membuatnya sedikit tenang. Ia meyakinkan dirinya kini sudah baik-baik saja karena ia tahu bahwa ia selama Jeff ada di sampingnya, ia akan merasa aman. Jeff akan melindunginya. Selena tidak perlu mengkhawatirkan hal itu.

Setelah ia merasa sedikit tenang, Selena melepas pelukan di antara keduanya. Jarak yang tercipta di antara mereka membuat keadaan sedikit canggung.

Sementara itu, Jeff memeriksa keadaan Selena dengan wajah penuh kekhawatiran. Ia memastikan bahwa wanita di depannya kini sudah baik-baik saja. Ia berusaha membantu Selena untuk bangkit. Listrik kembali menyala. Semua lampu pun juga.

“Maaf, Jeff. Gue masih belum bisa lupa sama kejadian waktu itu. Bahkan karena itu juga ingatan masa kecil gue sedikit terganggu.”

Jeff mengangguk paham. Mungkin karena itulah, Selena tidak mengenalinya saat ini.

“Kamu sudah tidak apa-apa? Sekarang masuk ke apartemen, ya. Saya akan langsung pulang setelah memastikan kamu masuk dan menyalakan semua lampu.”

Selena mengangguk. Ia sampai di depan pintu apartemennya. Menekan password untuk membuka pintu kemudian masuk. Menyalakan semua lampu yang ada di apartemennya. Setelah itu ia kembali lagi menuju pintu. Jeff masih menunggu di sana. Sebelum Selena menutup pintu, Jeff mengatakan sesuatu.

“Kalau misalkan listriknya padam lagi, coba tarik napas, hembuskan. Begitu terus sampai kamu merasa tenang. Setelah itu, hubungi saya. Saya berjanji, saya akan segera ke sini begitu kamu menghubungi.”

Selena kembali mengangguk. “Makasih, makasih karena selalu ada, Jeff.”

Mendengar itu, darah Jeff seakan mengalir semakin cepat. Jantungnya kembali berdegup sangat kencang. Kakinya seakan tak kuat menyangga berat tubuhnya. Jeff bersusah payah untuk mengendalikan dirinya. Ia mengatur napasnya.

“Saya pulang dulu.” Jeff berjalan semakin menjauh hingga akhirnya Selena memanggilnya.

“Jeff.” Pria itu menghentikan langkahnya kemudian menoleh. Ia menaikkan kedua alisnya sambil tersenyum seolah berkata, Ada apa?

“Hati-hati,” ucap Selena kemudian. Jeff semakin melebarkan senyumnya lalu melangkah semakin menjauh dari pandangan Selena.

Sabtu 07.00 AM

Jeff baru saja menyelesaikan lari paginya. Ia rutin melakukan ini setiap hari. Jeff memang sangat menjaga tubuh dan pola makannya. Bahkan, kemarin ketika ia sedikit frustasi karena Selena, ia akhirnya memutuskan untuk tidak minum minuman beralkohol.

Begitulah dirinya, sangat menjaga dirinya sendiri. Tugas Jeff sebagai bodyguard tentu bukan sebuah masalah besar baginya.

Di sisi lain Selena menggunakan waktunya untuk beres-beres apartemennya. Memang apartemennya tidak berantakan, Selena hanya rutin membereskannya ketika hari libur.

Ia kemudian membuka jendela apartemennya. Merasakan angin yang menyapa wajahnya. Merasakan sinar matahari pagi yang begitu cerah.

Tiba-tiba Jeff terlintas dalam pikirannya. Beberapa hari lalu, Jeff menyarankan Selena untuk membuka jendela yang ada di ruang kerjanya ketika Selena sedang merasa bosan. Hal itu terbukti efektif hingga sekarang ketika Selena membuka jendela apartemennya pun, Jeff yang terlintas dalam benaknya.

Matahari semakin meninggi hingga akhirnya bersiap untuk tenggelam lagi. Jeff dan Selena sama-sama sedang bersiap untuk saling bertemu. Jeff sedikit gugup saat ini, sedangkan Selena masih merasa sedikit canggung mengingat ia pernah marah dengan Jeff.


Selena kini berada di luar, menunggu Jeff yang akan menjemputnya. Terakhir kali Jeff mengatakan bahwa sekitar lima menit lagi ia akan sampai. Ternyata tidak butuh waktu hingga lima menit, Jeff sudah berada di depan sana.

Jeff tampak sedikit takjub dengan visualisasi Selena. Ia mengenakan dress hitam di bawah lutut dengan make up tipis dan warna lipstick yang sedikit gelap. Selena tampak cantik dan anggun hari ini. Bolehkah jika Jeff menganggap ini sebagai sebuah kencan?

Sementara itu, Selena sedikit terkejut. Ia mengira bahwa Jeff akan menggunakan mobil perusahaan, tapi nyatanya tidak. Jeff menggunakan mobil pribadinya.

Ini antara gaji detektif memang tinggi atau karena Jeff berasal dari keluarga yang berada, ya? Atau dua-duanya? Kalau iya, nggak heran dia bisa beli mobil semewah itu, batin Selena.

Sementara Selena masih heran dengan mobil yang digunakan Jeff, Jeff keluar dari mobil dan menyapa Selena dengan senyuman yang sedikit kaku.

“Mobil lo bagus, Jeff,” puji Selena.

Jeff kaget. Mungkin karena Jeff sangat senang akan makan malam bersama Selena hingga ia tidak sadar bahwa ia menggunakan mobil pribadinya. Ia tidak menganggap makan malam ini adalah makan malam antara atasan dan bawahan. Ia menganggap lebih dari itu.

“Makasih,” Jeff menjawab pujian Selena dengan senyum yang sedikit canggung.

“Oh, lo baru aja bilang ‘makasih’ bukan ‘terima kasih’.” Jari telunjuk Selena mengarah pada Jeff. Ia kemudian tersenyum lebar. Ia justru senang jika pada akhirnya Jeff bisa bicara santai dengannya, karena jujur saja, menurutnya selama ini Jeff terlalu kaku.

“Maaf, saya terlalu gugup,” jawab Jeff dengan jujur.

Mendengar itu, Selena tertawa.

“Gapapa kali? Gue waktu itu kan pernah bilang kalau santai aja sama gue. Bahkan lo juga boleh pakai ‘gue-lo’.”

“Oke,” Jeff menjawab dengan santai lagi.

Selena justru semakin mengembangkan senyumnya. Ia justru tidak masalah jika orang yang bekerja dengannya berbicara santai dengannya. Hal seperti itu justru akan membuatnya menjadi lebih dekat dengan para karyawannya. Tetapi, tetap saja. Para karyawannya sungkan untuk melakukan hal itu.

Setelah membukakan pintu untuk Selena, Jeff kemudian masuk ke dalam mobil dan mulai untuk melajukan mobilnya.

Selama perjalanan, Selena kembali mengajak Jeff untuk mengobrol. Jeff menggunakan bahasa yang sedikit santai.

“Kegiatan lo hari ini ngapain aja, Jeff?”

Jogging, beres-beres rumah, nyuci pakaian. Gitu-gitu aja. Kamu?”

“Sama, sih. Kurang lebih juga kayak lo.”

Selena menatap Jeff yang sedang fokus menyetir.

“Oh iya, gue tadi buka jendela apartemen gue, terus gue langsung inget sama lo. Soalnya waktu itu lo nyaranin gue buat buka jendela kantor.” Selena kembali mengingatkan Jeff pada saran yang diberikannya waktu itu.

Jeff tersenyum malu mendengar penuturan dari Selena.

“Oh, bagus kalau gitu. Ternyata saran dari saya cukup membantu.”

Mereka sampai di tujuan. Sebuah restoran dengan tema vintage dan lampu yang menyala tidak terlalu terang. Membuat suasana terlihat tenang bagi siapa pun yang melihat restoran itu. Apalagi bagi mereka yang masuk untuk menyantap makanan yang disajikan di sana.

Jeff membuka pintu restoran kemudian menahannya, menunggu Selena memasuki restoran tersebut.

Sebelumnya, Selena telah mereservasi restoran ini. Mereka kini berada di ruang VIP. Selena memang mengeluarkan banyak uang hanya untuk sekedar makan malam bersama Jeff. Selena ingin memberikan yang terbaik bagi orang-orang di sekitarnya.

Begitu mereka memasuki ruang VIP, Selena mendapati seseorang yang sangat dirindukannya. Seseorang yang sangat ingin ia temui. Papanya. Ya, papanya sedang berada di sini.

“Papa?” Selena menghampiri pria paruh baya itu. Selena ingin sekali merengkuh papanya ke dalam pelukannya, namun diurungkannya. Papanya tampak terkejut melihat Selena berada dalam satu ruang yang sama dengannya. Ditambah lagi dengan seseorang yang berada di samping Selena saat ini.

Jeff juga cukup terkejut. Ia tidak tahu harus berlaku bagaimana. Akhirnya ia hanya mengulum senyum yang kemudian dibalas senyuman oleh papanya Selena.

“Siapa? Pacarmu?” tanya ayahnya. Selena menengok ke arah Jeff.

“Bukan. Dia bodyguard-ku, Pa.”

“Kamu punya bodyguard sekarang? Bagus, biar dia bisa menjaga kamu. Kamu tahu sendiri, kan? Papa nggak bisa menjaga kamu lagi meskipun Papa ingin sekali.”

Selena mengangguk, rasanya air matanya ingin tumpah sekarang juga. Tetapi ia berhasil menahannya.

“Papa baru aja atau sudah mau pulang?”

“Papa sudah mau pulang.”

Selena langsung memasang wajah kecewa. Padahal jika papanya baru saja datang, ia akan mengajak papanya untuk turut bergabung dengannya.

“Pencalonan papa gimana? Lancar?” Selena menanyakan tentang pencalonan papanya sebagai ketua anggota legislatif.

Sementara Selena berbincang dengan papanya, Jeff mendengar sesuatu mencurigakan yang dilakukan oleh karyawan restoran. Karyawan itu mengambil foto Selena dan papanya secara diam-diam.

Jeff kemudian mengikuti karyawan tersebut. Tampaknya karyawan tersebut tahu bahwa Jeff sedang mengikutinya. Karyawan itu lalu mempercepat langkahnya. Namun, usahanya gagal. Jeff berhasil menghentikan langkah karyawan tersebut.

“Berikan ponselnya atau saya laporkan karena sudah memotret secara diam-diam,” ancam Jeff pada karyawan itu. Ancamannya berhasil. Karyawan itu memberikan ponselnya pada Jeff. Jeff kemudian menghapus semua foto Selena dan papanya yang telah diambil secara diam-diam.

“Kalau ada berita tentang mereka, saya akan menganggap kamu sebagai pelakunya.” Karyawan itu menunduk dan langsung merampas ponselnya kembali.

“Jeff, ada apa? Kok lo ada di luar?” Selena ternyata menyusul Jeff.

“Oh, nggak. Saya mau ke toilet.”

“Oh, gue pikir apa soalnya lo nggak bilang. Ya udah, kalau udah selesai langsung balik, ya.”

Setelah itu, Jeff kembali dan mendapati papanya Selena yang sudah pergi.

“Papa kamu sudah pergi?” tanya Jeff mencari topik.

“Udah. Ternyata papa udah di sini sedari tadi.”

“Oh.” Jeff memanggut-manggut.

“Doyoung udah nyeritain orang tua gue ke lo, ya?”

“Nggak, dia nggak cerita.”

“Kok lo nggak banyak tanya?”

“Saya tidak mau terkesan lancang.”

“Gue kan juga pernah tanya-tanya tentang keluarga lo. Berarti gue lancang, dong?” Selena merasa tersinggung.

“N-nggak, bukan gitu.” Jeff gugup.

Selena kemudian menceritakan perihal kedua orang tuanya meskipun Jeff tidak memintanya untuk bercerita. Selena menceritakan agar mereka sama-sama impas.

“Waktu itu gue pernah hampir diculik. Papa sama mama berantem gara-gara hal itu. Mereka sama-sama nggak mau ngalah. Mereka saling menyalahkan pekerjaan mereka. Mereka udah bertengkar hebat sampai akhirnya kata ‘pisah’ terucap dari mulut mama. Beberapa tahun kemudian, papa menikah lagi sama putri pemilik perusahaan. Tapi aku tahu, papa masih mencintai mama. Bisa dibilang, papa menikahi wanita itu untuk mewujudkan mimpinya menjadi seorang politikus. Haha, papa gue tetep jahat, ya?

“Semenjak papa menikah lagi, mama melarang papa buat ketemu gue. Mama jadi keras sama gue karena gue satu-satunya anak yang bakalan nerusin perusahaannya mama. Kadang gue juga marah sama mereka berdua. Coba aja kalau dulu ada yang mau ngalah, coba aja kalau dulu—“

Belum sempat Selena menyelesaikan kalimatnya, ia menangis. Air matanya tumpah. Sudah lama sekali Selena selalu menahan diri untuk tidak menangis. Sampai akhirnya, hari ini, di hadapan Jeff, ia berhasil menumpahkan segala emosinya. Ia berhasil menumpahkan segala tangis yang sudah lama dibendungnya.

Jeff terus menerus menenangkan Selena. Ia mengelus puncak kepala Selena. Ia juga mengelus punggung Selena sambil berkata, “Tidak apa-apa, Selena. Menangislah. Saya di sini siap untuk membendung semua luka yang kamu tumpahkan.”

Aku udah tahu, Na. Aku udah tahu semuanya. Itulah alasanku menjadi bodyguard-mu sekarang.

Benar saja, tangisan Selena semakin menjadi ketika mendengar apa yang diucapkan oleh Jeff.

Mereka menghabiskan sisa malam dengan pilu yang tak mampu diucapkan karena lidah sudah terlanjur kelu.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Halo, boleh minta komentarnya?^^

Taeyong melajukan mobilnya menuju apartemen Selena. Ia bersenandung ria dalam perjalanan menuju ke sana. Volume lagunya ia atur lebih kencang dari biasanya seolah menggambarkan mood-nya saat ini.

Selama kurang lebih tiga puluh menit perjalanan, Taeyong akhirnya sampai. Selena sudah menunggunya di sana. Selena menggunakan pakaian yang sedikit kasual malam ini, berbeda dengan Taeyong yang mengenakan pakaian lebih santai seperti celana jeans dan kaos, lengkap dengan topi yang bertengger di kepalanya. Ia merasa sedikit salah kostum hari ini.

Setelah Selena menyapa Taeyong, ia kemudian masuk ke dalam mobil. Taeyong menyusul lalu mereka berangkat ke tempat tujuan.

Dua puluh menit perjalanan mereka isi dengan pertanyaan-pertanyaan seputar keseharian mereka selama berada di rumah atau di apartemen. Pertanyaan seputar bagaimana hari ini. Apakah hari ini menyenangkan atau justru sebaliknya?

Entah hari itu Selena mengalami hal-hal yang tidak mengenakan ataupun tidak, Selena selalu menjawab bahwa hari-harinya selalu baik. Selama ia masih diberi kesempatan untuk hidup, maka itu adalah hal yang baik, bukan? Karena sebenarnya, hidup adalah sebuah anugerah. Pahit manisnya kehidupan akan membuat kita lebih memaknai apa arti hidup itu sendiri.

Mereka mendiskusikan obrolannya di sebuah restoran yang disukai oleh Taeyong. Taeyong ingin menunjukkan pada Selena bahwa ia memiliki selera yang berkualitas.

Setelah memesan makanan, Taeyong kembali mengajak Selena berbicara.

“Dulu kita pertama kali ketemu juga di restoran ya, Na?” Selena yang tadinya melihat sekeliling, kini mengarahkan pandangannya ke arah Taeyong.

“Iya. Udah lama banget, ya? Gue lupa waktu itu umur berapa. Pas umur tujuh tahun bukan, sih?” Selena kembali mengingat umur berapa mereka pertama kali bertemu.

“Iya, waktu itu habis kenaikan kelas satu SD, kok. Gue inget karena dulu kalau naik kelas, gue dibeliin gundam.” Taeyong tertawa mengingat kembali masa itu.

“Kalau inget yang dulu-dulu tuh suka kangen nggak sih, Yong?” tanya Selena tiba-tiba.

“Kayak, dulu pas kecil tuh kalau sedih bisa nangis, kalau marah bisa teriak, kalau seneng bisa joget-joget sambil teriak juga. Sekarang, makin dewasa tuh makin susah buat ngerasain emosi. Mau susah, seneng, sedih, ataupun marah, tetep aja bisanya cuman mendem. Kalau diekpresikan malah dianggap baperan kayak anak kecil.” Selena menjelaskan perkataannya dengan tatapan penuh kerinduan akan masa kecilnya. Lalu matanya kembali menatap Taeyong. Menunggu jawaban dari lawan bicaranya.

“Iya, gue setuju. Makanya kadang orang tuh dianggep dewasa kalau bisa nutupin ekspresinya, kalau bisa nutupin emosinya. Tapi, sebenernya orang dewasa tuh sama aja kayak anak kecil. Mereka juga pengen diperhatikan, cuman mereka nggak bisa meminta hal itu secara terang-terangan. Makanya orang dewasa biasanya nyari pelarian, nyari pengalihan.”

“Tapi, gimana kalau orang dewasa itu nggak bisa nemu tempat buat pelarian? Gimana kalau orang dewasa itu nggak bisa nemu tempat buat pengalihan? Gimana, Yong?” Selena memperdalam tatapannya. Taeyong seolah mengerti. Apa yang sedang Selena katakan itu adalah emosi yang secara tidak langsung Selena sampaikan kepada Taeyong melalui sebuah pertanyaan.

“Gue yakin kok, pasti semua orang bakalan nemu tempat buat pelarian dan pengalihan. Kalau mereka belum nemu, berarti belum waktunya. Tinggal sabar sedikit lebih lama lagi. Semua sabar tuh nggak terhingga. Kalau ada yang bilang sabar juga ada batasnya, gue pribadi nggak setuju, karena yang membuat batas itu ya mereka sendiri. Mereka bisa terus bersabar kalau memang mereka tahu apa definisi sabar yang sebenarnya.”

Perkataan Taeyong membuat Selena menyadari bahwa selama ini ia belum terlalu sabar karena selalu menanyakan kapan mamanya pulang dari mengurus perusahaan cabang yang ada di London. Padahal, tidak usah bertanya pun, mamanya pasti akan pulang. Mamanya tidak akan meninggalkannya. Jika saja ia sedikit lebih bersabar, pasti mamanya tidak akan berkata bahwa Selena adalah anak yang manja. Maka dari itu, perkataan Taeyong ada benarnya.

Setelah menunggu sekitar dua puluh menit, makanan yang mereka pesan akhirnya datang. Selena melahap satu suap. Ia sangat kagum dengan makanan yang kaya akan rasa ini. Selena kemudian memberikan pujian bahwa selera Taeyong memang berkelas.

Setelah makanan mereka habis, Taeyong memanggil waitress untuk membersihkan meja makannya karena mereka akan membahas pekerjaan yang sangat penting.

Meskipun bekerja sama dengan teman semasa kecilnya, Selena tetap bersikap profesional. Ia mengikat rambut panjangnya lalu fokus dengan membahas segala detail yang ada dalam project antara dua perusahaan tersebut. Image

Setelah kurang lebih satu setengah jam, mau tidak mau mereka harus menghentikan diskusi yang sedang mereka lakukan karena sebentar lagi restoran akan segera tutup.

Setelah berberes, Taeyong lalu mengantar Selena pulang.