Bite Me

Part 1 : Just Come Kiss Me & Bite Me


⚠️ Disclaimer ⚠️ Semua hal yang berkaitan dalam cerita ini hanyalah karangan semata dan terkadang sangat berbeda jauh dari kehidupan nyata, maka harap dimaklumi.

Genre : Fantasy, Comedy, Romance


Malem itu Bella, Rahma, dan Shucy telah berhasil menghabiskan waktu bersama di kala kesibukan masing-masing.

Sesuai rencana minggu lalu, akhirnya para gadis itu bisa menyaksikan film horror terbaru incaran mereka secara langsung di bioskop.

“Gila tadi filmnya serem banget!” Shucy masih ingat jelas adegan sadis yang ditampilkan dalam film tersebut.

“Ah masih gak rela gua, masa pacar gua mati!?” Bella kecewa berat karena pemain favoritnya malah bernasib buruk.

“Ya namanya film horror, lu berharap apa?” Rahma si paling berpengalaman dengan berbagai jenis film horror.

Berhubung ketiganya hendak bertamu ke rumah Shucy untuk mengisi perut serta energi yang terkuras akibat ledakan jumpscare dari film horror tadi, mereka pun mau tau mau harus melewati jalanan sepi nan gelap yang merupakan akses utama kesana.

Karena para gadis itu terlalu sibuk berbincang hingga menghiraukan keadaan sekitar, mereka jadi tidak sadar bahwa tengah ada sosok yang mengikuti mereka dari belakang.

Sosok tersebut terdiri dari lima orang, entahlah apa tujuan mereka mengikuti para gadis tersebut, hanya saja mereka nampak memiliki niat jahat.

Selang beberapa menit, tiba-tiba ada suara kegaduhan yang membuat Bella, Rahma, dan Shucy terkejut seraya menoleh ke belakang.

Ketiganya jelas syok melihat pertarungan antara lima orang dewasa dengan tiga orang remaja.

Takut akan menjadi sasaran selanjutnya, mereka pun berinisiatif untuk berlindung dibalik pohon beringin besar.

“Itu siapa Cio!?” Rahma pikir orang-orang tersebut adalah warga daerah sini yang suka mencari perkara, jadi mungkin saja Shucy mengenalnya.

“Lah lu nanya gua? Gua mana tau anjir!” Nyatanya Shucy justru merasa asing dengan mereka, seperti bukan orang dari sini, lantas siapa mereka?

“Apa kita kabur aja?” Bella memang tidak mau ambil pusing. Lagi pula apa untungnya mengintip orang yang tengah bertarung? Yang ada mereka bisa terkena masalah.

“Maen kabur-kabur aje lu! Kita tolongin aja gak sih sekalian join? Keknya seru!” Rahma mulai meluncurkan ide gilanya.

Menurut pemikiran Rahma, tiga orang remaja itu hanyalah korban tak bersalah yang tanpa sengaja terlibat perseteruan dengan lima orang dewasa tersebut.

Sejujurnya Rahma cukup penasaran akan fenomena langka ini. Memangnya perkara apa yang mereka buat sampai rela bertumpah darah seperti itu? Mencurigakan.

“Seru mata lu! Sono dah lu join sendiri, udah tau mereka bentukannya kek preman masih aja bercanda!” Bella kesal mendengar kalimat omong kosong dari temannya.

“Gak bercanda cok, siapa tau itu bocah tiga mau di bunuh ama preman kan bahaya.” Rahma yakin kali ini pemikiran negatifnya tidak mungkin salah.

“Sembarangan lu kalo ngomong, tapi bisa jadi sih.” Bella seketika berubah pikiran, masuk akal juga temannya itu.

“Yehhh percaya kan lu ama gua? Apa kita laporin warga aja kali ya?” Rahma menoleh ke arah Shucy untuk meminta tanggapan.

“Maksud lu teriak gitu?” Tanya Shucy, ia agak cemas dengan tindakan nekat tersebut.

“Ya menurut lu aja.”

“Telpon polisi gak sih?” Menurut Shucy itu adalah tindakan yang paling masuk akal, biarlah pihak berwenang yang menghukum mereka nantinya.

“Lebay ah gitu doang pake telpon polisi segala, lebih bagus hakim warga biar adil.” Rahma merasa hukum tidak pernah adil dalam mengambil keputusan, ia tak rela bila para preman malah dibebaskan begitu saja.

“Yeh main hakim sendiri justru gak bagus.” Shucy memukul pelan kepala Rahma, pendapat mereka memang selalu berbeda.

Ya kira-kira begitulah percakapan Bella, Rahma dan Shucy yang tiada habisnya. Sampai akhirnya ketiga pemuda yang tengah berkelahi itu menyerah dan mengaku kalah dari para preman.

Ralat, para preman itu lari dengan terbirit-birit setelah mengakhiri pertarungan sengit mereka.

Entah apa yang terjadi disana, intinya ketiga gadis itu tidak melihat begitu jelas, ditambah pencahayaan juga penglihatan yang kurang baik membuat mereka sedikit kecewa.

“Jadi patung cepet!” Rahma menepuk pundak Bella dan Shucy ketika preman tersebut berlari kearah mereka.

“Hah?” Walau tidak mengerti, Bella tetap mengikuti gerakan temannya yang berpura-pura menjadi patung.

“Ssstt...” Bisik Shucy saat merasakan preman itu mulai dekat.

Para preman berhasil melewati tempat persembunyian ketiga gadis itu tanpa menyadari keberadaan mereka di balik pohon besar.

Meski begitu, mereka dapat melihat raut pucat serta ketakutan yang terpancar cukup jelas dari wajah kelima preman tersebut.

Seperti habis melihat hantu saja, atau jangan-jangan...

“Kok gua merinding ya?” Bella mengusap tengkuknya saat merasa bulu kuduknya mulai berdiri.

“Santai, coba sono tolongin Bel, sapa tau cogan.” Rahma menunjuk ketiga pemuda yang tengah terkapar tak berdaya.

“Apa lu nyuruh-nyuruh gua, coba Cio duluan.” Bella jelas protes, kenapa dirinya selalu dijadikan tumbal pertama kali sih?

“Ah sama aja lu berdua bilang aja takut.” Shucy yang sudah hafal dengan sikap keduanya pun hanya bisa menggelengkan kepala, karena pada dasarnya dirinya juga penakut.

“Gak takut anjir tapi curiga aja... Siapa tau mereka setan.” Alibi Rahma, ia tidak mau menjadi tumbal.

“Masa setan bisa dipukulin yang bener aja? Sono lu duluan samperin!” Kini Bella mendorong tubuh Rahma agar gadis itu mau maju lebih dulu.

“Lah ngapa jadi gua?” Rahma menepis lengan Bella untuk menghentikan aksinya.

“Lu yang paling berani diantara kita, ya gak?” Bella tersenyum penuh kemenangan.

“Setuju gua.” Shucy mengangguk seraya menahan tawa, ada-ada saja kelakuan temannya itu.

“Apaan babi? Kata siapa? Sotoy!” Rahma kesal, semua rencananya jahilnya gagal total.

“Udah Rah, sapa tau cogan itu.” Bella memijat bahu temannya itu agar kembali bersemangat.

Meskipun kesal Rahma tetap menuruti perintah kedua temannya. Padahal niat awalnya ingin menjahili Bella, eh malah dirinya sendiri yang kena batunya.

Gadis itu mengeluarkan ponselnya untuk menyalakan senter sebagai alat bantu penerangan mereka, Bella dan Shucy pun berpegangan sambil mengikutinya dari belakang.

Memang benar, walau Rahma memiliki proporsi badan yang lebih kecil dibanding Bella dan Shucy, namun Rahma lah yang paling berani dan nekat daripada kedua temannya tersebut.

Rahma sempat syok melihat kondisi para pemuda yang tengah terkapar lemas tak berdaya itu, ada banyak luka tusukan dan sayatan disekujur tubuh mereka.

Jadi mereka bukan hantu? Lalu kenapa preman tadi sangat ketakutan? Lantas siapa korban disini? Bella? Kan tidak mungkin.

Rahma mendekati salah satu pemuda berambut pirang. Entahlah sosok itu yang paling menariknya, bahkan hanya dengan bantuan senter saja Rahma bisa memastikan visual pemuda ini jelas diatas rata-rata.

“You okay? Is there anything hurt? Which one? Can I help you?” Rahma spontan bertanya dalam bahasa asing, mungkin karena rambut serta wajahnya yang terlihat blasteran.

“Rahma tolol dah ngapain pake bahasa Inggris!?” Bella langsung menegur temannya tersebut.

Pikirnya, orang yang sedang sekarat seperti itu malah ditanyai bahasa asing, bukankah akan membuatnya tambah pusing?

“Mukanya bule banget cok, siapa tau dia orang luar.” Tangan Rahma terulur menyingkirkan anak rambut yang menutupi wajah tampan pemuda tersebut.

“Iya sih bener, coba Rah tanyain lagi.” Suruh Bella seenaknya, ia masih berpegang tangan dengan Shucy.

“Lu juga Bel, tanyain yang itu tuh mukanya Jepang banget, Shucy yang itu coba mukanya Cianjur banget.” Rahma menunjuk pemuda yang lain supaya kedua temannya itu ikut bekerja.

“Cianjur dari mananya sih?” Shucy mengernyit dahinya kala memandangi pemuda yang Rahma tunjuk, padahal pemuda itu juga terlihat blasteran baginya.

“Apaan kok gua yang muka Jepang!? Gua gak bisa bahasa Jepang anjir!” Bella merasa tidak adil, kenapa dirinya selalu diberi pilihan tersulit sih?

“Elah tanyain pake bahasa Indo, bisa kali dia.” Rahma pusing mendengar rengekan temannya itu, belum mencoba saja sudah protes.

Rahma kembali fokus pada sesi penyelamatannya, dengan bermodal keberanian yang ada dalam dirinya, ia pun menangkup rahang pemuda itu secara perlahan guna mempertemukan pandangan mereka.

“Who are you?” Tanya pemuda tersebut yang sontak membuat Rahma terkejut hingga melepaskan tangannya.

“Gue? Rahma, nama gue Rahma! Eh lo gak ngerti bahasa Indo ya?” Rahma mengedipkan matanya beberapa kali, memastikan ia tidak salah lihat dan berbicara.

Pemuda itu tersenyum tipis, ia meraih tangan Rahma dan menggenggamnya cukup erat.

“Are you going to save me?” Pertanyaan yang terdengar seperti permohonan bagi Rahma.

“Yes of course, i'm going to save you! But... how?” Mata Rahma mulai berkaca-kaca, ia sangat prihatin melihat kondisi pemuda dihadapannya itu, jujur ia sedikit trauma dengan situasi macam ini.

“If you are going save me—”

“Oh iya gua telpon ambulan aja kali ya? Wait the second!” Rahma baru ingat dirinya hidup di era digital.

Tidak perlu pusing memikirkan cara menolong mereka, tinggal telpon saja untuk meminta bantuan, maka pihak medis akan datang.

Shucy kini mencoba mendekati pemuda yang sempat membingungkannya tadi. Bagaimana Rahma bisa berpikir bahwa orang ini dari Cianjur? Padahal jelas-jelas wajahnya blasteran begini.

“Excuse me, are you hurt? Sorry I can't help you before, what happened to you?” Tanya Shucy perlahan, namun yang di dapatkannya malah tatapan tajam.

“Lu gak usah ngomong bahasa Inggris, gua ngerti bahasa Indo kali.” Ujar pemuda yang ternyata cukup arogan tersebut.

“Eh? Lu beneran orang Cianjur ya?” Shucy agak syok mengetahui fakta ini, jadi Rahma benar?

“Bukan lah, lagian gua juga bukan orang!” Pemuda itu sangat kesal, apakah mukanya serendah itu sampai Shucy mengira dia orang pribumi?

“Lah terus apaan? Setan?” Shucy sebenarnya tidak terlalu peduli dengan kalimat ambigu yang dilontarkan pemuda tersebut, karena menurutnya itu hanyalah candaan belaka.

“Jangan samain gua sama setan, derajat gua lebih tinggi dari dia!” Pemuda itu merasa terhina, ia paling benci disamakan dengan makhluk penggoda manusia tersebut.

“Dih, lu apaan dong?” Shucy bingung kenapa pemuda itu terlalu serius menanggapi kalimatnya.

“Liat muka gua...” Pemuda tersebut menarik lengan Shucy guna melihat visualnya dari dekat. “...Gua mah pangeran!”

“Najis! Lagi sekarat aja belagu lu, belom aja nih detik-detik terakhir.” Shucy menyesal sudah bertanya hal bodoh seperti tadi, biar saja pemuda itu kena dampaknya.

“Mulut lu!” Omelnya.

Ya, setidaknya mereka jadi akrab selama beberapa menit.

Bella menarik nafas panjang, merilekskan jiwa, pikiran juga jantungnya yang terus saja berdetak kencang. Padahal ia hanya ingin membantu bukannya menemui sang pujaan hati.

“Sumimasen, ohayo gozaimasu, watashi wa Bella desu!” Ucap Bella ala kadarnya, entahlah kalimat itu benar atau salah, yang penting ia sudah berusaha semaksimal mungkin.

Pemuda yang terlihat lebih muda darinya itu lantas memiringkan kepalanya bingung.

“Kakak wibu ya?” Tanyanya polos.

“Kaga anjir, lu bisa bahasa Indo toh?” Bella sangat malu mengetahui bocah itu tenyata bisa berbicara dalam bahasa Indonesia.

“Sedikit sih hehehe... Akh... Sakitt...” Bocah tersebut meringis sembari memegangi bagian perutnya.

“Mana yang sakit!?” Bella panik, ia jadi menyentuh bahu bocah itu dengan hati-hati.

“Ini kak...” Bocah tersebut sedikit membuka bajunya untuk memperlihatkan luka tusukan yang didapatkannya dari para preman tadi.

“Anjir darahnya banyak banget! Ini mah lu harus dibawa ke rumah sakit!” Bella sudah panik level maksimal, ia bingung harus bagaimana, pikirannya seakan kalut dalam ketakutan.

“Kak... Leave the mark on my neck... Bite me...” Lirihnya dengan suara terputus-putus.

Mendengarnya berbicara bahasa asing, membuat Bella tidak bisa menangkap kalimat itu dengan jelas.

“Bakmi?” Hanya itu yang Bella rasa cukup akurat. “RAHMA CEPET TELPON AMBULAN! OH YA DIA JUGA MAU BAKMI!”

Rahma menutup sebelah telinganya kala mendengar teriakkan heboh Bella.

“Ini lagi nelpon anjir! Apaan sih bakmi-bakmi?” Ia merasa terganggu karena sedang menelpon ambulan yang sayangnya belum ada balasan sejak tadi.

“Hey listen, just come over and kiss me...” Lirih pemuda berambut pirang yang masih setia menggenggam tangannya itu.

Rahma mengedipkan matanya berulang kali demi berpikir jernih, ia tidak salah dengar kan? Pemuda itu baru saja mengatakan kalimat kiss me? Cium aku? Hei, apakah ini mimpi? Atau ia sedang berhalu?

“Hah? Ha-halo, iya saya butuh bantuan! Ada tiga orang terluka, tolong kirim ambulan secepatnya, alamat? SHUCY INI ALAMATNYA APA?” Rahma akhirnya bisa bernafas lega karena panggilannya diterima.

“Coba sini gua yang ngomong!” Shucy mengulurkan tangannya untuk mengambil ponsel milik temannya tersebut.

“Wait here okay?” Rahma mencoba melepaskan genggaman tangannya secara perlahan, kemudian...

CHUU~

“Rahma! Anak orang ngapain lu cium-cium anjir!? Lagi sekarat dia!” Omel Shucy tak habis pikir dengan kelakuan kurang ajar temannya itu.

“Loh dia yang minta tadi, ya kan?”

Seketika kaki Rahma melemas, kemana perginya orang yang baru saja diciumnya tadi?

“LAH! KOK ILANG!? MANA DIA!?” Rahma terkejut bukan main, ia juga takut kalau firasat awalnya benar.

“Eh anjir orang Cianjur juga ilang.” Shucy mencari letak pemuda menyebalkan tadi, namun nihil mereka semua sudah hilang entah ditelan bumi.

“Ambulannya udah dapet belom? Kasian tuh bocil napasnya udah engap-engapan.” Bella menghampiri mereka, hatinya belum tenang bila ambulan tak kunjung datang.

“Mana cil? Udah ilang juga tuh bocil!” Tunjuk Rahma ke arah tempat Bella dan bocah tadi berbincang.

“Ilang apaan sih? Orang ada juga di—Lah iya kaga ada dia? Mana anjir? Goib!” Bella kembali merinding saat menyadari bocah itu hilang entah kemana.

“Apa jangan-jangan mereka tadi itu...”

“IHH SETAN!”

. . .

Kalo rame lanjut part 2 😏 —CUAKS

#BiteMe