Part 2 : Fate Discovered Us Once Again
⚠️ Disclaimer ⚠️
Semua hal yang berkaitan dalam cerita ini hanyalah karangan semata dan terkadang sangat berbeda jauh dari kehidupan nyata, maka harap dimaklumi.
Genre :
Fantasy, Comedy, Romance
Tags :
Harshword, slight nsfw 🔞
Keesokan harinya, ketiga gadis cantik bernama Bella, Rahma dan Shucy pun membuat keputusan untuk tidak lagi membahas kejadian semalam yang sejujurnya sangat sulit mereka lupakan.
Masih banyak tanda tanya besar yang terlintas dibenak mereka.
Siapakah para pemuda tersebut? Kenapa mereka bisa berkelahi dengan preman? Dan... Mengapa mereka bisa terlihat sangat nyata? Bahkan jika benar mereka hantu kenapa ketiga gadis itu bisa menyentuh tubuh mereka?
Jam pelajaran sekolah memang cukup membosankan, namun siapa yang akan menolak jam istirahat?
Seperti contohnya gadis pemberani dan nekat ini, kita sebut saja Rahma.
Rahma ingat bahwa dirinya memiliki janji dengan Shucy untuk membantunya dalam tugas pembuatan video di taman belakang sekolah.
Sebelum menuju kesana, ia tak sengaja melewati lapangan basket yang ramai karena sedang diadakannya pertandingan antar kelas.
Gadis itu mengangkat bahunya acuh lalu berjalan menuju wastafel guna mencuci tangannya yang terkena noda cat akibat pelajaran seni rupa tadi.
Kiss me...
“Hah?” Rahma sontak menoleh ke belakang setelah mendengar kalimat sakral tersebut.
Nihil, tidak ada orang disana, seketika bulu kuduknya mulai berdiri.
Apakah ini termasuk efek dari menonton film horror kemarin? Bagaimana bisa sampai terbawa ke alam nyata begini? Atau jangan-jangan...
Bite me...
“HUWA!” Baru saja Rahma ingin berlari kencang, eh dirinya malah menabrak seseorang yang baru saja mengantri di belakangnya.
“Apaan sih lu ngagetin aja deh ah!” Omelnya karena teriakan Rahma membuat mereka jadi bahan tontonan sekarang.
“Ih Heeseung! Sumpah lu denger suara gak tadi? Kek... Bite me... gitu? Apa gua doang yang denger?” Tanya Rahma sembari menarik-narik heboh seragam teman sekelasnya tersebut.
Ya, Heeseung adalah teman sekelasnya, atau lebih tepatnya musuh bebuyutannya.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa Heeseung adalah ketua tim basket di sekolahnya yang telah banyak menjuarai berbagai pertandingan baik dalam maupun luar sekolah.
Meski begitu Rahma tidak pernah iri sekalipun pada sosok Heeseung, ia hanya dendam karena pemuda itu pernah memergokinya menonton video dewasa saat jam kosong di kelas.
Semenjak itulah pemuda tersebut sering menjahilinya sampai kesal.
“Lu halu kali, kebanyakan nonton bokep sih jadi sinting.” Goda Heeseung disertai tawa yang terkesan meledek.
“Anjing gak ya! Gua masih waras cok!” Rahma menyesal sudah bertanya pada manusia minim akhlak itu.
“Ya abisan aneh-aneh aja lu denger suara begitu, diisengin kali lu!” Heeseung melipat tangannya di dada lalu menggeleng.
“Siapa anjir yang ngisengin gua? Elu?” Rahma asal tebak saja, toh tersangka utamanya memang tertuju pada pemuda itu.
Merasa tertuduh, muncul satu ide liar dari benak Heeseung untuk menjahili lawan mainnya tersebut.
“Bite me... Ahhh... Aghh... Nghh...“
“GOBLOK DAH LU!” Rahma langsung memukuli Heeseung secara brutal.
Apa-apaan coba bercandaan itu? Ini masih di area sekolah, belum lagi banyak siswa yang berlalu-lalang melewati mereka, bisa timbul kesalahpahaman nanti.
“Cie panik, kaya gak pernah kegep nonton bokep aja lu.” Heeseung tidak bisa menahan tawanya.
“YA GAK GITU JUGA TOLOL!” Rahma benar-benar kesal, seketika moodnya memburuk karena ulah pemuda gila itu.
“Chill sih, dah ah minggir lu! Orang gua mau cuci tangan, repot bener!” Heeseung mendorong tubuh Rahma agar gadis tersebut menyingkir dari wastafel.
“Tapi beneran tadi gua denger suara... pertama dia bilang kiss me, kedua dia bilang bite me.” Rahma kembali meyakinkan Heeseung.
Ia tidak mau dianggap gila atau semacamnya, ia hanya ingin teman sekelasnya itu percaya, walau nyatanya sulit.
“Kata gua sih lu mending kurang-kurangin nonton bokep deh, otak lu udah rusak tuh.” Ledek Heeseung yang makin memancing emosinya.
“Apaan sih bokep mulu! Gua gak nonton bokep ya kontol!” Amarah Rahma sudah berada di puncak.
Masa bodoh bila ada yang mendengarnya, pokoknya semua salah Heeseung.
“Gegayaan ngomong kontal-kontol, mau nih kontol gua?” Heeseung memang punya 1001 cara untuk menjahili teman sekelasnya.
“NAJIS, GUA LAPORIN GURU BK YA LU!” Rahma sendiri tak habis pikir dengan isi otak Heeseung yang menurutnya sangat jelek.
Jujur, Rahma mungkin sering menonton video dewasa namun jika di kehidupan nyata ia akan merasa risih.
“Baperan amat si paling bandar bokep.”
“BACOT!”
Rahma memutar bola matanya kesal, kenapa juga ia harus mendapat kepercayaan dari orang tersebut, sama saja membuang waktu.
Namun dirinya merasa, hal aneh yang dialaminya ini mungkin ada kaitannya dengan kejadian semalam, apakah ia sedang diganggu oleh mereka?
Leave the mark on my neck...
Rahma kembali mendengar suara aneh tersebut, ia pun mengikuti darimana sumber suara itu berasal, dan... mungkin dugaan awalnya memang benar.
“TUH KAN! EMANG ELU BIANG KEROKNYA!” Rahma menunjuk Heeseung dengan tatapan tajam.
“Apa sih nyet? Gua diem! Buta ya gua lagi cuci tangan begini?” Heeseung menyipratkan air ke arah gadis tersebut, siapa suruh mengganggunya terus.
“Ih terus siapa dong?” Rahma mengusap wajahnya yang terkena cipratan air.
“Setan kali!” Heeseung tidak peduli mau itu suara hewan, orang atau bahkan hantu sekalipun.
Ia hanya ingin mencuci tangannya lalu pergi melanjutkan pertandingan, tapi gadis itu malah membuatnya tidak fokus.
“Lu setan! Lagian lama banget sih cuci tangan doang!” Rahma greget melihat aktivitas Heeseung yang sengaja diperlambat.
“Suka-suka gua dong, lah lu ngapa nungguin gua cuci tangan?” Kini pemuda itu menyandarkan punggungnya pada sisi wastafel.
“Siapa juga yang nungguin? Orang gua cuma mastiin kalo tadi itu suara lu apa bukan.” Rahma melipat tangannya di dada.
Ia juga tak mengerti kenapa dirinya masih meladeni pemuda yang jelas-jelas tidak bisa diajak berkompromi.
Jawabannya cukup mudah, Rahma penasaran dengan suara aneh yang terus menghantuinya ini, dan mengapa suara tersebut hanya bisa didengarnya sedangkan Heeseung tidak?
“Halah, bilang aja lu sange kan ama gua?” Heeseung memainkan alisnya untuk menggoda teman sekelasnya itu.
“Idih amit-amit! Lu kali yang sange!” Rahma reflek menendang kaki Heeseung yang sialnya meleset.
“Ntar kalo gua sange lu panik.”
“YA JANGAN BENERAN BEGO!”
Heeseung tersenyum miring, menjahili gadis itu ternyata cukup menyenangkan juga, melihat mukanya yang memerah entah karena marah atau malu sangat membuatnya gemas.
Setelah merasa puas, ia pun pergi untuk melanjutkan pertandingan.
“Lu mau kemana?” Tanya Rahma tanpa menoleh ke arah lawan bicaranya.
Heeseung memutar matanya malas. “Emang ngapa? Mau ikut? Kalo gua ke toilet mau ikut?”
“Bisa gak sih lu serius dikit!? GUA TUH TAKUT HEESEUNG!” Rahma tidak bohong, ia memang sedang ketakutan sekarang.
Permasalahannya masih sama, semua karena suara misterius tersebut, gadis tersebut takut jika dirinya diganggu hantu gentayangan yang semalam telat ia selamatkan.
“Jiahh, bisa takut juga lu? Biasanya si paling berani dari yang paling berani.” Heeseung kembali meremehkannya.
“Gua tampol ya lu ngomong kek gitu mulu!” Rahma menghela nafas, mencoba menahan amarah yang terus saja dipancing oleh Heeseung.
“Gua mau ke lapangan buat tanding basket ama kelas sebelah, mau liatin gua main basket? Ntar lu demen lagi ama gua, secara kan gua ganteng banget kalo lagi ngebasket.”
Rahma menutup telinganya, ia lelah mendengar tingkat kepercayaan diri Heeseung yang melebihi batas alam semesta itu, namun demi kebaikan bersama maka dengan berat hati ia harus mau menonton pertandingan membosankan tersebut.
“Haha... Iya deh terserah lu, ya udah gua ikut kesana, dengan terpaksa.”
“Bayar lah kalo terpaksa.”
“Ogah!”
Benar saja, baru kali ini Rahma rela membuang waktu berharganya demi menonton pertandingan basket yang di ketuai oleh Heeseung dan teman-temannya.
Rahma sendiri cukup pandai dalam permainan basket, namun keahliannya jelas berbanding jauh dengan teman sekelasnya itu.
“Ma! Ma Ma!” Teriak Heeseung yang membuat semua penonton menoleh ke arah Rahma.
Ya, itu adalah panggilan menyebalkan yang pernah gadis itu dengar sepanjang hidupnya, terlebih hal itu diucapkan langsung oleh oknum tak bertanggungjawab tersebut.
“Gua bukan emak lu ya njing!” Sahut Rahma penuh kebencian.
Jujur, sebenarnya gadis itu cukup menyesal berada disana, lebih baik ia pergi bersama kedua temannya—Bella dan Shucy.
“Kalo gua menang nanti traktir gua bakso ya, Ma!” Pinta Heeseung diiringi kedipan maut yang mampu membuat para penonton menjerit.
“Muka lu gua jadiin bakso!” Rahma memberikan jari tengah pada teman sekelasnya tersebut.
Sesuai dugaannya, Heeseung jelas merasa terhina, ia kemudian ikut memberikan jari tengah pada gadis itu sebagai bentuk pembalasan.
Rahma menghela nafasnya kasar, memikirkan cara melarikan diri dari tempat terkutuk ini.
Lagipula ia sudah tahu siapa yang akan memenangkan pertandingan basket ini, ia tidak perlu kaget bila tim Heeseung jawabannya.
Please connect me again...
“DIEM!”
“Eh iya maaf kak kalo kita berisik.”
Rahma merasa bersalah karena sudah memarahi orang, lebih tepatnya ia merasa malu karena salah meneriaki adik kelasnya yang tengah melantunkan yel-yel penyemangat.
“Gak kok, gua yang minta maaf, keknya gua halu deh.”
Rahma pun berdiri dari tempat duduknya, ia sudah muak mendengar suara-suara misterius yang terus mengganggu harinya.
Maka dari itu, ia nekat menelusuri tribun penonton untuk mencari pelaku utama dibalik kegilaan ini.
Come here and get some...
Ia merasa suara itu seakan mulai menuntunnya menuju suatu tempat atau mungkin membawanya bertemu seseorang, seseorang yang tak asing lagi baginya.
Cause I know you'll save me...
Kini dirinya telah mencapai sisi lapangan basket, entah mau sampai mana suara tersebut menuntunnya.
“Eh lu anak baru ya?”
Rahma mendongak ke arah Heeseung yang tengah berbincang dengan seseorang, penampilannya cukup mencolok karena rambutnya yang berwarna pirang, seperti bukan orang asli sini.
“Saya mau lawan kamu main basket.” Tantangnya tanpa ragu.
“Formal amat bahasa lu? Gas lah kalo lu mau lawan gua!” Heeseung sangat menyukai tantangan, terlebih orang itu adalah murid baru, ia kan jadi penasaran dengan kemampuannya.
Rahma memperhatikan orang itu dari atas sampai bawah, mukanya terlihat tidak asing baginya.
Ya, ia memang mengenalnya, itu adalah sosok yang membuatnya over thinking semalaman.
“YOU? I KNOW YOU!“
Pemuda itu dan juga Heeseung sontak menoleh ke arah Rahma.
“Hi Rahma, we meet again.“
Rahma membelalakkan matanya, ternyata dia masih ingat namanya. Seketika keringat dingin mulai mengalir disekujur tubuhnya, ia benar-benar ingin melarikan diri sekarang.
“Artis bokep?” Tanya Heeseung spontan.
Tanpa menjawab pertanyaan konyol tersebut, Rahma yang masih bisa menggerakkan kakinya pun langsung berlari kencang menuju kelas.
“Anjing malu banget ah! Kok dia bisa ada disini sih!?”
Disini Rahma sekarang, ruang kelas yang kosong dan sunyi karena para penghuninya memiliki kesibukan tersendiri di luar sana.
Beruntungnya ia menemukan sebuah kunci yang masih tergantung manis didalam lubang pintu kelasnya, pasti guru atau satpam sekolahnya lupa menaruh kunci tersebut.
Tanpa pikir panjang, ia kemudian mengunci pintu itu untuk sementara, lagipula jam pelajaran masih lama, tidak mungkin lah akan ada murid yang masuk nantinya.
TOK! TOK! TOK!
“MA MA! BUKA PINTUNYA!”
Rahma terkejut ketika mendengar gedoran pintu yang sangat menganggu itu, dan rahma jelas tahu siapa oknum dibalik pintu tersebut, siapa lagi kalau bukan...
“IH APA SIH HEESEUNG? NGAPAIN LU NGIKUTIN GUA!?” Omel Rahma, gagal sudah rencananya untuk sembunyi.
“DIA TADI NGERJAR LU! YA UDAH GUA NGIKUT! LU ABIS ONS YA SAMA DIA?”
Rahma memukul pintu kelasnya dengan kesal. Kenapa sih Heeseung selalu kepo dalam urusannnya? Mana pemuda itu suka menuduhnya yang tidak benar.
“KALO GAK TAU APA-APA JANGAN SOTOY! GUA AJA GAK KENAL DIA!”
“My name is Jake.“
“WOYYY KOK LU BISA ADA DI DALEM SINI SIH!? PERASAAN PINTUNYA UDAH GUA KUNCI!”
Kaki Rahma melemas, bagaimana bisa pemuda yang mengaku bernama Jake itu ada di dalam kelas? Bukankah ia tadi sendirian?
“Ssttt... Pelankan suara kamu.” Jake melangkahkan kakinya perlahan agar Rahma tidak kabur.
“Mundur gak lu!” Rahma meraba-raba letak lubang kunci pada pintu dibelakangnya. “Eh bentar kuncinya kok ilang!?”
“Are you scared of me?” Tanya Jake halus, kini jarak mereka hanya berkisar 20cm saja.
“Iya! Iya gua takut sama lu setan! Lu mau apa hah!?” Rahma menunduk kepalanya, ia malu karena tak bisa menahan tangisnya di hadapan pemuda itu.
Jake yang menyadari hal itu pun segera memeluk tubuh Rahma. “Hey, don't cry... I'm so sorry okay? I just want to say... thank you for saving me... last night.“
“A-apa?” Rahma mendongak.
Jujur, gadis itu terpana melihat visual Jake dari jarak sedekat ini, bahkan perlakuan lembutnya bisa menghilangkan rasa takut dan paniknya dalam sekejap.
“It's because your kiss, I don't know what happened but... It works! When you suddenly kiss me... it feels like—“
“Stop! Lu siapa sih anjing!?” Rahma mendorong tubuh Jake hingga melepaskan tautan mereka.
Ia merasa arah pembicaraan mereka mulai melenceng, apakah Jake ini termasuk golongan orang sejenis Heeseung? Dasar mesum.
“I told you, my name is—“
“Jake, i know! Maksud gua, lu itu kenapa bisa berantem sama preman semalem? Terus tujuan lu ke sekolah ini buat apa? Sama satu lagi, lu semalem ngilang kemana Jake!?”
Rahma hanya butuh penjelasan darinya, entah itu secara singkat atau mendetail sekalipun, asalkan semua perkataannya sesuai fakta.
“Okay, let me explain, semalam aku memang ikutin kamu sama temen-temen kamu—”
“You stalking me?“
Percayalah, Rahma sangat syok mendengar pernyataan Jake barusan, ia merasa tengah berhadapan dengan seorang kriminal.
“No, it's not like that! Aku juga gak ngerti kenapa aku bisa ngikutin kalian, yang jelas semalam aku merasa ada energi aneh yang narik kami dan energi itu cukup kuat sampai gak bisa kami hindarin.”
Jake ingat jelas bagaimana awal mula pemicu kegaduhan semalam.
“Energi? Energi apaan? Terus kenapa lu sama preman kemaren bisa gelud?” Rahma memijit dahinya yang terasa pening.
Entahlah, semakin dalam cara Jake menjelaskan maka semakin banyak hal-hal diluar logika yang terungkap.
Ia bahkan sempat mengira Jake ini mungkin mengidap kelainan mental, atau lebih buruknya pengguna narkoba.
“Mereka mau nyerang kalian, makanya kami langsung bertindak.” Jake memegang pinggang Rahma, instingnya mengatakan bahwa gadis itu akan pingsan sebentar lagi.
“Kami? Maksud lu si muka Jepang sama Cianjur itu?” Rahma menepis tangan Jake lalu menyandarkan punggungnya pada pintu kelas.
“Yeah, you right. So... Can I do something for you? Sebagai bentuk terima kasih.” Tangan Jake terulur menyingkirkan anak rambut yang menutupi wajah Rahma, meniru apa yang gadis itu lakukan padanya semalam.
“Gak, gak perlu kok, gua yang harusnya bilang makasih karna lu udah nolongin gua sama temen-temen gua.”
Rahma berusaha tersenyum selebar mungkin walaupun masih sedikit sesenggukan akibat menangis tadi.
Jake jadi ikut tersenyum, akhirnya Rahma tidak ketakutan lagi, dan semoga saja gadis itu akan menerimanya setelah ia mengungkapkan identitas aslinya.
“Tapi kenapa lu minta gua cium semalem? Bentar, luka lu pada kemana? Lu udah ke rumah sakit ya?” Rahma menyentuh lengan Jake yang sudah bersih dari luka sayatan.
Sehebat apa rumah sakit yang dia kunjungi hingga semua lukanya hilang dalam waktu satu malam? Mencurigakan.
“Semua berkat ciuman kamu, if you are going to save me... just kiss me and bite me...“
Rahma mematung seketika, ia juga mengedipkan matanya berulang kali untuk memastikan Jake tidak salah bicara. Kebohongan macam apa lagi ini?
“No fucking way... Lu... jangan bilang lu itu... Lu bukan setan kan? Kenapa semalem lu bisa ilang gitu aja? Ngaku!”
Kembali pada pemikiran awalnya, apa benar pemuda dihadapannya ini bukan manusia? Dari gaya bahasa, penampilan, bahkan istilah-istilah yang dijelaskannya barusan terdengar omong kosong.
“What if... I'm a vampire? Need proof?“
Kejadian tak terduga lagi-lagi terpampang jelas didepan matanya, Jake kini menunjukkan aksi nekatnya dengan mengeluarkan semburat api melalui tangannya.
“O-okay... thank you for your... Information.” Rahma mengigit bibir bawahnya, memikirkan cara untuk kabur part 2.
Meski Jake sudah berkata jujur tentang dirinya, Rahma tetap merasa terancam, ya biar bagaimanapun pemuda itu adalah vampir yang siap menghisap darahnya kapan saja.
“You scared? I won't gonna hurt you.” Jake menggenggam tangan Rahma lalu menciumnya lembut, menghantarkan rasa nyaman.
“Ng-nggak kok, cuma rada syok aja ternyata vampir beneran ada, hahaha...” Rahma mencoba melepaskan genggaman tangan Jake namun gagal.
“Fate discovered us once again.” Jake menghirup aroma tangan Rahma yang menurutnya sangat manis, ia bahkan hampir mengigitnya jika lupa.
“Wh-what? I don't understand.” Rahma menarik tangannya kasar hingga terlepas, entahlah ia mulai merasa cemas.
“Forget it, anyway... You've kissed me... then... Can you leave the mark on my neck?” Jake sengaja mengikis jarak diantara mereka hingga berkisar 5cm saja.
“Buat apa lagi!?” Rahma menelan salivanya gugup.
“Complete the recovery.” Jake mengelus pipi Rahma dengan sensual, ia bahkan mulai mengendus aroma manis dari ceruk gadis tersebut.
“Tapi kenapa malah gua yang gigit leher lu? Bukannya lu yang vampir ya?” Tanya Rahma yang sukses membuyarkan aksi pemuda vampir itu.
“Well, then... let me leave a bite mark on your neck.“
Belum sempat Jake mengeluarkan taringnya, Rahma sudah lebih dulu mendorong tubuhnya, ia merasa ada yang tidak beres dengan pemuda vampir tersebut.
“NO, WAIT! Kalo lu gigit gua berarti gua jadi vampir juga dong?” Tanya Rahma memastikan.
“Mungkin? Tapi aku gak janji, can I?” Jake tidak bisa melepas pandangannya dari leher jenjang Rahma.
“GUA AJA YANG GIGIT LU!”
Jake terkekeh melihat kegigihan Rahma, ia pun mendekati tubuhnya seakan mengunci pergerakan gadis itu agar tidak kabur darinya.
Rahma memejamkan matanya, menghirup aroma citrus yang menyegarkan dari ceruk Jake.
Mencoba fokus pada tujuannya, ia menarik knop pintu secara perlahan, entah Jake menyadarinya atau tidak, yang jelas ia harus kabur sekarang juga sebelum menjadi santapan bocah vampir tersebut.
CHUU~
Sial, Jake menahan tengkuknya dan menyatukan kedua belah bibir mereka, ciuman yang sungguh berbeda dari bayangannya.
Nyatanya tidak ada kehalusan disana, pemuda vampir itu menciumnya dengan kasar dan terkesan terburu-buru sehingga membuat Rahma kesulitan untuk mengimbangi permainan Jake.
CEKLEK!
“AAAAAA!”
Rahma berteriak sekencang mungkin saat mengetahui ada seseorang yang membuka pintu kelas tanpa permisi.
“Apa sih teriak mulu lu!”
Ya, pelakunya adalah Heeseung.
Heeseung pikir teman sekelasnya itu pingsan karena tidak menjawabnya selama beberapa menit, akhirnya ia mencoba membuka pintu menggunakan alat seadanya yang untungnya berhasil.
Rahma mengedarkan pandangannya mencari sosok sang vampir yang ternyata sudah hilang begitu saja.
“IH HEESEUNG TADI ADA JAKE!” Rahma mencoba akting sedramatis mungkin.
Sebenarnya Rahma merasa senang karena Heeseung tidak memergokinya bercumbu dengan Jake, ia malas menjadi bahan ledekannya terus.
“Apaan sih? Gak ada siapa-siapa asu, lu kenapa sih? Kek abis di ewe aja lu.” Heeseung mencubit pipi Rahma cukup keras.
“Bangsat gua serius! Tadi beneran ada Jake!” Rahma menendang kaki Heeseung yang beruntungnya tidak meleset kali ini.
“Aduhh... Ya terus kenapa? Dia mau perkaos lu? Gak kan? Kenapa bibir lu basah gitu kek abis cipokan?” Heeseung menyipitkan matanya curiga.
Rahma reflek menyentuh bibirnya, “NGGAK!”
Telinganya jadi memerah karena malu, bagaimana bisa Heeseung menyadari hal sepele begini? Jeli sekali matanya.
“Rahma? You okay?” Jake berlari menghampiri mereka berdua, penyelamat bagi Rahma tentunya.
“Lah ini Jake! Wah berarti halu lu tadi!” Heeseung menyentil dahi Rahma seenaknya.
“Gak anjing!” Rahma mempoutkan bibirnya kesal, atau lebih tepatnya ia mau mengadukan kelakuan nakal Heeseung pada Jake. “Kenapa lu bisa ada di luar?”
“Kan saya memang cari kamu Rahma, ternyata kamu disini sama Heeseung.” Jake tersenyum manis walau tatapannya pada Heeseung terlihat menusuk.
Pemuda itu jelas menyadarinya, “Ngapain lu nyariin dia?”
“Ada beberapa hal yang ingin saya bicarakan sama dia.” Kini senyuman Jake sudah luntur.
Rahma memandang keduanya secara bergantian, tatapan mereka saling mengintimidasi satu sama lain, seperti akan terjadi gencatan senjata setelah ini.
“Pfft... Formal banget anjir, gak kuat gua, lu nemu dia dimana dah?” Heeseung tidak bisa menahan tawanya, ternyata menatap wajah serius Jake bisa merendahkan tingkat humornya.
“Nemu-nemu lu kira duit apa?” Rahma mencubit lengan Heeseung cukup keras sebagai pembalasan tadi.
“Ya udah nih gua kasih free, ready to serve masih segel juga keknya.”
Heeseung mendorong tubuh Rahma ke arah Jake, ia pun berlari meninggalkan mereka sebelum gadis itu sadar maksud ucapannya barusan.
“MAKSUD LU APA!?” Teriak Rahma ketika punggung pemuda itu mulai menghilang dari pandangannya.
Jake menggelengkan kepalanya, gemas melihat raut kesal Rahma yang menurutnya sangat lucu.
Merasa ada kesempatan, Jake menarik pinggang ramping Rahma dan mendusel di ceruk gadis tersebut agar lebih leluasa menghirup aroma manisnya.
“Eh, ini juga lepasin anjing! Kita masih di sekolah ya!” Rahma berusaha mendorong Jake namun kekuatannya jelas tidak sebanding.
“I won't let you go again, sweetheart.” Bisik Jake tepat didepan telinga Rahma.
“Lu manggil gua apa barusan?” Ternyata vampir itu juga bisa menggombal toh.
“Sweetheart, can I leave a bite mark on your neck?“
“NO, ANJING!”
Bella memasang airpods di telinganya ketika langkah kakinya memasuki area koridor loker yang terlihat sepi dari biasanya.
Gadis itu tahu kemana perginya para murid, kemana lagi kalau bukan kantin, lapangan basket atau mungkin perpustakaan.
Lantas Bella sendiri? Ia mau pergi ke toilet kemudian menyusul kedua temannya yang berada di taman belakang sekolah untuk pembuatan tugas video.
Bite me...
Bella sontak menghentikan langkahnya, melihat ke arah ponsel yang tengah memutar lagu bertajuk 'Antifragile dari Le Sserafim'.
Namun entah mengapa telinganya seperti menangkap sebuah kalimat lain yang terdengar tidak asing baginya.
Bite me...
Bella mencopot airpodsnya kasar, siapa sih orang yang menjahilinya ini? Dasar kurang kerjaan!
“Apaan sih kalo mau bakmi gak usah bisik-bisik gitu napa!” Ia tercengang, ternyata tidak ada orang sama sekali dibelakangnya.
Gadis itu kembali memastikan bahwa penglihatannya tidak salah walau sedikit buram sekalipun.
“Rahma? Shucy?”
Bella punya firasat bahwa ini semua adalah ulah dari kedua temannya, karena hanya mereka yang sering menjahilinya disetiap waktu.
Bite me...
“Nama gua Bella anjir bukan Bakmi! Siapa sih nih yang ngisengin gua? Gak lucu ya anjir! Keluar lu!”
Bella tidak takut sama sekali, ia yakin betul ini bukanlah perbuatan hantu. Mana ada hantu disiang bolong begini? Hm, pasti ada yang ingin mencari perkara.
Bite me...
“Ngomong kek gitu lagi gua tonjok ya!”
Gadis itu sudah menyiapkan ancang-ancang jika benar dirinya dikerjai oleh kedua temannya.
“Bella—”
BUGH!
Ya, Bella tidak main-main dengan ucapannya, ia jelas merasa bangga sudah berhasil meninju pelaku tersebut cukup keras.
Namun saat mengetahui siapa sosok yang menjadi korbannya itu, Bella seketika menyesal dan ingin menghilang dari dunia.
“EH MAAP GAK SENGAJA!” Ia panik dan segera membantu orang itu untuk berdiri, dapat ia lihat darah yang mengalir dari sudut bibirnya.
“Ouchh... Tenaga lu kuat juga Bel.” Orang itu masih bisa tersenyum meskipun sudah menjadi korban salah sasaran.
“Maaf Jungwon, lu gak apa-apa kan? Bibir lu berdarah, mau gua obatin di UKS?” Bella menyeka pelan sudut bibir pemuda bernama Jungwon itu, ia sungguh malu.
Ya, Jungwon merupakan siswa yang menjabat sebagai ketua OSIS sekaligus ketua kelas di sekolahnya.
Sekedar info, Bella sendiri menjabat sebagai wakil ketua kelas, maka tak heran bila mereka terlihat sering menghabiskan waktu bersama.
Faktanya, Jungwon cukup populer dikalangan para murid hingga para guru sekalipun. Tentunya berkat kepintaran, rasa kepedulian yang tinggi, serta jiwa pemimpin yang tegas.
Bahkan banyak siswi yang mengincar Jungwon baik junior maupun senior. Rumornya, Jungwon belum pernah menjalin hubungan dengan gadis manapun.
Jadi, mungkin Bella berkenan untuk mendekati Jungwon?
“Eh gak usah! Gua gak apa-apa kok, cuma perih dikit paling besok juga sembuh.” Jungwon meraih tangan Bella yang gemetar, ia mengelusnya dengan lembut guna menenangkan gadis tersebut.
“Serius? Aduh gua bener-bener gak sengaja Won, maaf banget ya... sumpah ini semua gegara suara yang ganggu gua tadi, masa dia bilang bakmi-bakmi di kuping gua, kan ngeselin ya.” Bella meluapkan semua keluh kesahnya.
“Hah? Bakmi? Lu mau makan bakmi?” Jungwon terkekeh melihat ekspresi lucu Bella saat menjelaskan tadi.
“Bukan gua anjir! Gak tau siapa pokoknya dia ngomong bakmi terus, padahal gua gak jualan bakmi.” Bella menarik paksa tangannya, ia salah tingkah menerima perlakuan manis Jungwon.
“Serem banget, lu diisengin kali.” Jungwon tersenyum miring seraya melangkahkan kakinya ke depan.
Bella segera mengejar Jungwon, ia tidak mau ditinggal sendirian, bisa-bisa ia di permainkan lagi.
“Gua juga mikirnya gitu tapi kaga ada orang selain...” Bella melirik ke arah pemuda disampingnya, entahlah ia sedikit curiga padanya. “Lu ya yang ngisengin gua?”
“Ya gak lah, kurang kerjaan amat.” Jungwon menggelengkan kepalanya.
Bella mengetukan jarinya dibawah dagu guna berpikir sejenak. Iya juga ya, untuk apa Jungwon menjahilinya? Dia kan selalu baik kepada orang lain. Lantas siapa orang yang terus membisikinya itu?
Jungwon memandangi Bella dari atas sampai bawah, lagi-lagi ia terkekeh melihat tingkah gadis itu yang masih saja termenung memikirkan hal janggal yang dialaminya.
“Kalo gua mah mendingan bisik-bisik langsung kek gini...”
“Hah?”
Saking gemasnya, Jungwon dengan santai membawa tubuh Bella hingga bersandar pada loker di belakangnya, ia menaruh kedua tangan di setiap sisi Bella sang empu tidak kabur.
Bella mengerjabkan matanya berulang kali, jantungnya sudah berebar tak karuan akibat tindakan Jungwon yang diluar dugaan tersebut, bisa ia rasakan kakinya mulai melemas serta lidahnya yang terasa kelu untuk berbicara.
Jungwon menatap Bella sembari menjilat bibir bawahnya yang kering sebagai pemanasan, ia pun memajukan wajahnya tepat ke depan telinga gadis itu.
“Bella... Udah makan belom?” Bisiknya dengan intonasi yang rendah.
“Be-belom.” Bella sekuat mungkin menahan teriakannya, sangat menyakitkan.
Jujur, Bella takut akan ada yang memergoki mereka disini, biar bagaimanapun ini bisa menimbulkan kesalahpahaman besar.
Terlebih jika yang lewat adalah guru, bisa kena hukuman mereka nanti atau mungkin hanya Bella yang mendapat hukuman? Ia tidak mau!
“Mau makan di kantin bareng gua gak?” Jungwon melanjutkan aksinya, dapat ia dengar detak jantung Bella yang berdebar kencang.
“Gak mau...” Bella menepuk bahu sang ketua OSIS untuk berhenti, wajahnya sudah bersemu merah karena malu.
“Kenapa gak mau? Sayang loh nolak Jungwon yang ganteng ini, gimana kalo gua traktir?” Jungwon tidak mau merubah posisinya sama sekali, kapan lagi bisa menggoda partnernya.
“Gu-gua bawa bekel Won, udah ah, orang gua mau ke toilet.” Bella mencoba mencari alasan logis supaya pemuda tersebut mau membebaskannya.
“Ngapain ke toilet? Gua ikut dong, gabut nih.” Jungwon kini berhadapan langsung dengan wajah Bella, ia mencubit gemas pipi sang empu yang membuatnya tambah merona.
“GAK BOLEH!” Bella mendorong tubuh Jungwon sebisanya, untung saja pemuda itu mau menjauh.
“Masa serba 'gak' sih? Gua kan mau nemenin lu sebagai partner yang baik!” Jungwon tiba-tiba menggandeng lengan Bella dan membawanya menuju arah toilet.
“Ya masa mau ikut ke toilet sih!? Jangan aneh-aneh ya lu!” Omel Bella, ia merasa dijadikan boneka oleh sang ketua OSIS.
Dan meskipun terus merengek, ia tetap mengikuti kemana Jungwon melangkah layaknya anak ayam.
“Gua jagain dari luar gimana?” Tanya Jungwon ketika mereka telah tiba di depan pintu toilet perempuan.
“Udah kek bodyguard aja.” Bella memukul tangan Jungwon untuk melepaskan genggamannya.
“Ya siapa tau nanti lu tiba-tiba dalam bahaya, gua takut kejadian kek adek kelas kemarin.” Ujar Jungwon, ia sedikit trauma mendengar berita buruk tentang perundungan di sekolah mereka.
Tempo lalu memang terjadi kasus perundungan di toilet siswi hingga korbannya dilarikan ke rumah sakit, sedangkan sang pelaku jelas dikeluarkan dari sekolah.
Namun, itu tidak menutup kemungkinan akan terjadi perundungan lagi.
“Oh yang kena bully di toilet itu?” Tanya Bella memastikan, ia juga tidak tahu jelas tentang berita tersebut.
“Iya, lu mau emang dibully juga?” Jungwon sebenarnya khawatir membiarkan Bella masuk ke dalam sana sendirian.
Bahwasanya itu merupakan toilet lawan jenisnya, dan meski dirinya menjabat sebagai ketua osis, ia tetap dilarang masuk kesana bagaimanapun keadaannya.
“Kaga bakalan, gua juga gak pernah buat masalah, kalo Rahma mungkin bisa tuh jadi bahan bully soalnya masalah dia dimana-mana.” Tanpa sadar Bella sudah menistakan temannya di depan sang ketua osis, semoga Jungwon tidak membocorkannya.
“Tapi gua tetep ngeri Bel, gua jagain lu dari luar ya, kalo boleh gua ikut masuk dah.” Jungwon termasuk orang yang pantang menyerah demi kebaikan bersama, atau mungkin kebaikannya sendiri?
“Gak anjir nanti lu malah dikira cabul masuk toilet cewe.” Bella menahan Jungwon yang hendak membuka pintu toilet.
“Kan gua ketos.” Jungwon mulai mengeluarkan kartu kuasanya.
“Nah justru itu, lu bisa turun pangkat lah.” Bella menepuk kedua bahu Jungwon, menyalurkan rasa kepercayaannya.
“Iya deh gua nurut ama lu, tapi gua tetep jagain lu dari luar ye, sekalian gua jaga-jaga siapa tau ada yang mau dibully lagi.” Jungwon akhirnya mengalah, ia bersandar pada tembok seraya melipat kedua tangannya di depan dada.
“Oke boleh kalo gitu!”
Bella pun dengan cepat memasuki toilet tersebut, ternyata tidak ada seorangpun di dalam sana, ia memeriksa setiap bilik toilet untuk memastikan tidak ada yang sedang memakainya.
Terhitung 3 bilik yang terdapat disana, dan Bella sengaja mengambil bilik paling pojok untuk menghindari perundungan seperti yang Jungwon pikirkan.
Merasa aman, ia mulai menanggalkan celananya dan duduk pada kloset dengan tenang.
Sepertinya suara tadi memanglah dibuat oleh Jungwon, buktinya ia tidak mendengarnya lagi selama bersama pemuda tersebut.
Bite me...
Bella menghela nafas kasar, ternyata dugaannya salah.
Suara laknat itu kembali menganggunya, bahkan saat dirinya tengah buang air kecil di toilet? Hantu ini cukup mesum juga ya.
“Aduh... Bisa gak sih biarin gua nyantai dulu? Gua tau lu mau bakmi tapi gua gak jualan bakmi anjir, di kantin juga gak ada.”
Bella mengetuk bilik toilet, berharap hantu itu pergi dan berhenti menganggunya untuk sementara waktu.
Kiss me...
“Hah? Apa? Kismin? Lu ngatain gua miskin gitu? Karena gua gak jualan bakmi bukan berarti gua miskin ye! Dasar setan brengsek!”
Leave the mark on my neck...
“Mark? Mark NCT maksud lu? Iya itu suami gua kenapa? Iri ya?”
Come here and get some...
“Apaan sih? Ganggu aja orang lagi kencing juga jadi gak fokus nih gua, please biarin gua selesain ini dulu!”
Hening, ia tidak lagi mendengar suara bisikan misterius itu.
Apakah hantu itu sudah menyerah meladeninya? Bagus lah!
“Nah gitu kek diem.” Bella mendongakkan kepalanya keatas merasa lega.
Setelah usai dengan aktivitasnya, ia pun keluar dari bilik toilet lalu mencuci tangannya sebelum pergi keluar.
“Cause I'll know you save me...“
“HUWAAAA!”
Bella teriak sekencang-kencangnya saat melihat ada sosok yang berdiri di belakangnya, ia berusaha berlari selagi ada kesempatan namun sosok itu justru menghadangnya.
“Mau kemana kak?” Tanyanya polos.
“Lepas! Lu mau ngapain hah!? Gu-gua laporin ketos ya lu! ada ketos di luar! Kok lu bisa ada di toilet cewe sih anjing!” Bella memberontak.
Panik, takut, cemas entahlah semua bercampur menjadi satu, ia bahkan sulit mendeskripsikan kondisinya sekarang.
Bella hanya ingin melarikan diri bagaimanapun caranya, ia jelas sadar bahwa ini bukan mimpi atau haluan semata, ia ingat betul siapa pemuda yang tengah mengukungnya ini.
Dia adalah orang yang ditemuinya semalam, orang yang sempat membuatnya sulit tidur, orang yang ia kira makhluk tak kasat mata, orang yang menurut temannya berasal dari negara Jepang.
Kepala Bella terasa pening, kini orang tersebut nyata dihadapannya beserta senyuman polos yang terukir indah di bibirnya.
“Aku ngikutin kamu, kak Bella.” Ucapnya dengan jujur sembari menatap lurus ke arah bibir Bella layaknya orang kelaparan.
“Tau nama gua darimana?” Bella syok mendengar pernyataan bocah itu, ia tidak mengerti apa maksud dan tujuannya, apakah dia seorang penguntit?
“Aku denger ketos itu manggil kamu Bella.” Dia menunjuk ke arah pintu toilet, menandakan bahwa dirinya tahu dimana letak Jungwon berada.
“Jangan bilang dari tadi lu ya yang ngomong bakmi!” Bella menunjuknya kesal, jadi orang yang sedari tadi dicarinya adalah bocah itu, dasar kurang ajar.
“Bukan bakmi kak tapi... Bite me... Yang artinya gigit aku, leave the mark on my neck artinya—”
“Gua tau! Gak usah dijelasin!” Bella membekap mulut bocah tersebut.
Ya, meski gayanya terlihat seperti bocah umur 16 tahun, namun pembicaraan serta atensi yang dibawanya membuatnya terlihat dewasa.
Bocah itu menurunkan tangan Bella, ia belum selesai dengan kalimatnya. “Itu kamu tau kak, terus kenapa kamu takut?”
“Ya siapa yang gak takut dibisikin kaya gitu hah? Mana wujudnya gak keliatan!” Bella menyentil dahi lawan bicaranya cukup keras.
“Karena aku vampir kak...” Dia semakin mendekatkan wajahnya menggoda sang empu.
“A-apaan sih? Gak usah ngadi deh lu! Pake segala ngaku vampir, gak lucu ya bercandaan lu! Awas gua mau keluar!” Bella membungkukkan badannya guna meloloskan dari dari kukungan bocah tersebut.
“No, you can't!” Dia ikut membungkuk mengikuti Bella.
“Apa lu? Minggir anjir!” Bella terus memukuli lengan bocah itu bahkan dengan keras sekalipun.
“Aku gak mau ngelepasin kamu sebelum kamu cium aku kak!” Dia masih berpegang teguh pada pendiriannya yang tidak mau melepaskan sang empu begitu saja.
“APA SIH BOCAH MESUM!” Bella lelah menghadapinya, rasanya ia ingin menangis sekarang juga.
“Katanya kakak mau nolongin aku, luka yang kemarin masih sakit tau, kemarin yang selamat cuma kak Jake karena temen kakak cium dia.”
Dia menunjukkan beberapa luka sayatan yang semalam sempat Bella sentuh menggunakan tangan kosong hingga bajunya ikut terkena noda darah.
“Jake siapa anjir? Lu juga siapa hah!? Oh iya kok lu semalem bisa ngilang gitu aja sih? Lu setan ya? Eh... Tunggu...”
Gadis itu mulai menyadari sesuatu, bagaimana bisa seseorang menghilang hanya dalam hitungan detik, dan dia kembali menampakkan diri untuk menunjukkan kondisi yang sama, darah segar yang masih mengalir dari area luka tersebut.
Tidak ada manusia yang akan bertahan dengan luka serius seperti itu, mereka harus segera ditangani pihak medis secepat mungkin.
Apakah bocah itu sangat bodoh hingga membiarkan lukanya terbuka terus sepanjang hari? Atau memang dia bukanlah manusia? Melainkan...
“Nama aku Riki, kan aku udah bilang kak kalo aku itu vampir!”
Bocah yang mengaku bernama Riki itu langsung mengeluarkan taring secara terang-terangan dan merubah warna matanya menjadi merah.
“JUNGWON!!! TOLONGIN GUAAA!!! BUKA PINTUNYA!!!” Bella memang tidak bisa kabur, namun ia masih bisa berteriak kencang demi meminta pertolongan pada sang ketua OSIS.
“Jungwon gak bisa denger kamu kak.” Lirih Riki merasa bersalah.
“KENAPA GAK BISA!?” Bella menatap tajam kearah Riki, ia takut pemuda vampir itu sudah melakukan hal buruk pada Jungwon.
“Karna aku udah kasih pelindung biar orang-orang gak bisa denger suara kita.” Jelas Riki seraya menggaruk tengkuknya malu.
“ANJING!” Bella frustasi.
Kalau begini caranya ia bisa apa? Mau meminta tolong juga tidak bisa kan? Tidak mungkin lan ia serahkan nyawanya untuk bocah itu?
“Tolong aku kak, aku cuma mau ciuman dari kakak, cuma itu satu-satunya yang bisa nyelamatin aku.”
Riki kali ini menggenggam tangan Bella sebagai bentuk permohonan, matanya berkaca-kaca membuat hati kecil gadis itu merasa iba.
Namun sayang, Bella sudah dibutakan oleh egonya sendiri, ia terlanjur marah besar pada sosok Riki.
“Kenapa harus gua!? Cari aja orang lain!” Bella membuang mukanya.
“Karena kakak udah sentuh darah aku semalam.” Riki mulai putus asa melihat Bella yang tidak mau menatapnya sedikitpun.
“Oh gitu? Emangnya lu gak bisa ke rumah sakit aja gitu?” Bella mendengus, ia penasaran akan sejauh mana Riki memohon.
“I just need your kiss kak, kalo bisa kakak gigit leher aku.” Riki menaruh kepalanya di bahu Bella guna menarik atensinya.
“Bentar, ini gak kebalik nih? Kan vampirnya elu? Ngapa jadi gua yang gigit leher lu?” Bella menangkup pipi lawan bicaranya, ia butuh penjelasan yang lebih mendetail tentang keambiguan ini.
Jika benar Riki memang seorang vampir, mengapa harus Bella yang mengigit lehernya? Ia bahkan tidak mempunyai taring, lagipula dirinya tidak akan berani menggigit leher seseorang hingga berdarah.
“Kakak gigit leher aku nanti aku gigit leher kakak, kita tukeran darah.” Riki sebenarnya juga bingung dengan proses ritual yang diberi tahu temannya—Jake.
Entah apakah cara itu akan berhasil atau justru membawa petaka bagi mereka berdua, intinya dia harus mencoba dulu sekarang.
“Terus gua jadi vampir juga dong?” Tanya Bella setengah takut.
“Bisa jadi, aku juga gak tau sih.” Riki menggeleng sembari mempoutkan bibirnya lucu.
“Lah gimana sih masa gak tau? Gak ah gua gak mau nolongin lu! Gak mau gua jadi vampir!” Bella mendorong tubuh Riki sekuat tenaga dan untungnya berhasil juga.
“Kak... Just kiss me and I promise... I won't bother you again.” Riki mencekal lengan Bella saat gadis tersebut sudah siap membuka kenop pintu.
“Gak anj—”
CHUU~
Belum juga sempat menyelesaikan kalimatnya, bibir Bella sudah di kecup lebih dulu oleh sang bocah vampir.
Mungkin Riki hanya mendiaminya selama beberapa menit tanpa ada pergerakan ataupun nafsu didalamnya, namun cukup bisa membuat jantung Bella berdebar-debar.
Tangan Riki terulur untuk menangkup pipi Bella dan mulai memperdalam ciuman mereka, gadis itu jadi berpikir siapa yang telah mengajari bocah ingusan ini?
Bella sedikit membuka matanya, dapat ia lihat Riki tersenyum dikala sesi penyatuan mereka, sepertinya bocah itu berhasil menjalani misinya.
Nakalnya lagi, kini Riki mulai menjajahi leher jenjang Bella dan menghirup aroma parfum yang terkesan segar baginya, tanpa sadar ia mulai sedikit menjilati area tersebut hingga membuat sang empu menggigit bibir bawahnya menahan geli.
“Maaf aku terpaksa kak Bella! Sekarang aku gak bakal ganggu kakak lagi!” Riki menyesali perbuatannya, ia pun berniat pergi meninggalkan Bella.
Hm, tidak semudah itu bagi Bella, enak saja main pergi tanpa bertanggungjawab.
Ia jelas marah, kesal, namun juga malu akibat perbuatan yang bisa dibilang pelecehan itu.
“Eh enak aja lu main pergi-pergi, tanggung jawab dong!” Bella menjewer telinga Riki tanpa ampun.
“Tanggung jawab gimana kak?” Riki meringis kesakitan.
“Ya tanggung jawab... pokoknya jangan pergi dulu...” Bella akhirnya rela melepaskan jewerannya.
Ia lipat kedua tangannya didepan dada sembari menatap bocah vampir itu dengan tajam.
“Terima kasih ya kak, berkat kakak luka aku jadi hilang.” Riki memeluk Bella secara tiba-tiba, pelukan yang sangat hangat dan tulus.
“Lah iya luka lu langsung ilang, keren anjir! Seriusan udah gak sakit?” Bella baru menyadari kondisi Riki yang seketika membaik seperti orang normal pada umumnya.
Tidak ada lagi luka tikam dan sayatan yang tersisa disana, sungguh keajaiban.
“Masih sakit sedikit sih kak, hm... Bo-boleh cium sekali lagi gak kak?” Riki menjilat bibir bawahnya, bermaksud menggoda lawan mainnya.
“Boleh.” Bella mengangguk santai, semua orang juga pasti akan melakukan hal yang sama.
“Serius kak?” Mata Riki berbinar, ia senang gadis dihadapannya sudah bisa diajak bekerja sama.
“Iya tapi lu merem dulu.” Perintah Bella yang langsung dipatuhi oleh sang bocah vampir.
Mendapat kesempatan emas, Bella pun mulai melancarkan aksinya yang sempat tertunda tadi yaitu melarikan diri dari Riki si bocah vampir gila.
Gadis itu membuka pintu toilet dan memeluk tubuh Jungwon dari belakang, menyalurkan rasa takut dan gelisah yang tengah dialaminya.
“JUNGWON! TADI—”
Bella sontak mematung melihat sosok yang tengah mengobrol bersama Jungwon. Kepalanya terasa pening, apakah dia sedang dipermainkan oleh keduanya?
“Eh Bella, udah selesai?” Jungwon berbalik untuk membalas pelukan Bella, dia mengusap lembut punggung gadis itu guna menenangkan hatinya.
Sementara pandangan Bella sepenuhnya tertuju pada sosok yang terus memperhatikan mereka dengan senyum miringnya.
“Oh iya, kenalin ini ada murid baru namanya Riki.” Sang ketua OSIS menunjuk kearah bocah bernama Riki tersebut.
“Ri-Riki?” Bella menelan salivanya kasar.
“Riki, kenalin ini Bella, nanti dia yang nemenin lu keliling sekolah buat apa sih namanya... Oh iya school tour, biar lu gak bingung sama seluk beluk sekolah ini.” Ujar Jungwon seenaknya, ia bahkan belum memberitahu Bella tentang hal itu.
“Hah? Kok jadi gua Won?” Bella jelas protes.
Padahal ia ingin menghindari bocah tersebut, kenapa malah diberi projek berdua lagi?
“Iya maaf ya Bel, soalnya gua disuruh ke ruang osis sama temen gua sekarang, tolong bantuannya ya cantik, thank you.” Jungwon berbisik tepat di telingannya menggunakan intonasi rendah.
Tandanya itu adalah perintah mutlak yang tidak bisa dibantah.
“Yah Won... Jungwon!” Bella menghentakan kakinya kesal.
“Shall we continue what we did before?” Tanya Riki, ia merasa bangga karena sudah membuat Bella mati kutu.
“No! I hate you!” Bella berjalan lebih dulu tanpa menoleh kearahnya.
“I love you too kak Bella.” Riki berbisik ditelinga Bella, mengikuti apa yang dilakukan sang ketos barusan.
“Orgil, jauh-jauh lu! Pokoknya jarak kita cuma boleh 1 meter, ga boleh lebih dari itu!” Bella menunjuk Riki penuh dendam, ia berjalan mundur untuk memastikan jarak mereka berada pas diangka 1 meter jauhnya.
“Emang kenapa? Terus kalo aku kelewatan gimana? Aku aja gak tau 1 meter itu berapa.” Riki cemberut, ia kan tidak mau jauh-jauh dari malaikat penolongnya.
“Ya pokoknya gak boleh deket banget lah! Mau gua ajak keliling gak nih?” Walau Bella sangat kesal meladeni bocah vampir tersebut, ia tetap harus menuntaskan tugas yang diberikan Jungwon.
“Mau-mau!” Riki berjingkrak girang lalu merengkuh pinggang ramping Bella tak tahu malu.
“Anjir yang nyuruh lu pegang pinggang gua siap—”
CHUU~
Banyak bicara sekali, itulah hukuman bagi orang yang banyak bicara menurut Riki, ia mencium Bella sekilas guna membungkam mulut pedasnya itu.
Tak peduli jika mereka masih berada di area sekolah atau mungkin menjadi pusat perhatian, dasar gila.
“Sssttt... Kakak itu berisik tau, emang gak malu diliatin orang, hm? Riki mencolek nakal hidung sang empu.
“Umur berapa sih lu?” Bella menarik kerah bocah tersebut, ini sudah kelewatan, apa sebaiknya ia laporkan saja kelakuan busuk Riki ke guru BK?
“Hmm, kalo diitung-itung sih 254 tahun kak, tapi aku masih keliatan muda kan?” Riki memainkan alisnya bangga.
Jujur, Bella agak sulit mempercayainya, namun berhubung bocah tersebut merupakan seorang vampir kuno jadi hal itu mungkin saja nyata adanya.
Kekuatan vampir sungguh menakjubkan daripada kekuatan sihir.
“Seharusnya gua manggil lu engkong ya.” Bella mencoba menahan tawanya.
“Kok engkong sih? Sayang dong...” Riki mempoutkan bibirnya cemberut, ia tidak suka panggilan tersebut.
“Dih, ogah gua sama kakek-kakek kaya lo!” Tolak Bella secara mentah-mentah.
“Jangan gitu dong kak, gini-gini aku bisa loh bikin kakak salting.” Riki merasa tertantang.
“Mana? Yang ada lu ngeselin!” Bella mendengus meremehkan sang bocah vampir.
“Bisa!” Riki langsung mendorong Bella hingga menabrak dinding cukup keras. “Pilih aku atau Jungwon?”
“Jungwon lah!”
Tatapan mengintimidasi Riki membuat nyali Bella ciut, seharusnya ia tidak bermain-main dengan vampir, salah sedikit saja nyawanya bisa terancam.
Raut wajah Riki berubah datar, ia ingat kalau dirinya punya kegiatan yang belum sempat terselesaikan tadi.
“Eh geli... Riki... Geli ah lepas!” Bella berusaha menjauhkan kepala Riki yang mulai menjilati lehernya seperti di toilet tempo lalu, namun kali ini... Ia juga menggigitinya?
“Done!” Riki menyeka noda darah di bibirnya.
“Hah?” Bella kebingungan, ia menyentuh lehernya dan merasakan ada sesuatu yang aneh disana, apa yang telah dilakukan bocah itu?
“I leave a bite mark on you neck!“
“HAHH!?”
Shucy meregangkan otot langannya yang terasa pegal. Seharusnya hari ini adalah jadwal pembuatan tugas video bersama Bella dan Rahma.
Namun, mengapa ia malah beralih fungsi menjadi tongsis dadakan demi membantu teman sekelasnya yang rempong itu? Kita sebut saja Sunghoon.
Ya, Sunghoon adalah teman sekelasnya yang terkenal narsis dan juga populer seantero sekolah hingga sosial media.
Tingkat kepercayaan dirinya memang sangat di atas rata-rata, namun tingkat kehumorannya sangat jauh dibawah rata-rata.
Viral merupakan tujuan hidupnya baik di masa kini maupun masa depan. Jika menyangkut kecerdasan, itu tidak terlalu penting baginya.
Jangan salah, dibalik sifatnya yang konyol tersimpan segudang prestasi dan bakat yang jarang diketahui banyak orang, termasuk Shucy sendiri.
“Bagus gak?” Tanya Sunghoon menunggu respon Shucy sebagai sang fotografer.
“Bagus.” Shucy mengangguk lemas.
Pasalnya ini sudah berlangsung selama 25 kali, tapi Sunghoon belum juga puas akan hasil fotonya.
“Coba liat!” Sunghoon merebut paksa ponsel miliknya dari tangan Shucy. “Ih jelek ini, ulang-ulang!”
Shucy mendengus kesal, ia pun kembali mengambil ponsel Sunghoon untuk memotretnya.
Semangatnya sudah hilang entah kemana, meski mereka berada di halaman belakang sekolah yang teduh karena banyaknya pepohonan rindang, itu tidak berpengaruh sama sekali.
Semua bermula dari Sunghoon yang datang di saat yang kurang tepat. Bukan kah Shucy yang harusnya meminta tolong? Mengapa ini malah sebaliknya?
“Bagus gak?” Tanya Sunghoon penasaran.
“Gak!” Balas Shucy sinis.
Sunghoon yang mendapat respon buruk darinya jelas terkejut. Apakah sejelek itu foto hasil fotonya? Tapi kalau memang fotonya jelek kan tinggal dihapus saja, kenapa harus pusing?
“Coba liat dulu!” Sunghoon meminta ponselnya secara sopan, takut Shucy akan mengamuk, bahkan tatapannya seperti ingin membunuhnya.
“Bagus kok ini, simpen lah, ayo sekali lagi!” Puji Sunghoon lalu memberikan ponselnya kembali sebagai pemotretan terakhir.
“Ck, mau ampe berapa kali foto Sunghoon!?” Shucy geram.
Bila ia terus meladeni Sunghoon, lalu bagaimana dengan nasib tugas videonya? Padahal batas pengumpulannya besok.
“Ini terakhir, beneran deh.” Sunghoon menunjukkan gestur dua jari bertanda damai.
Shucy menghela nafas pasrah. Baiklah ini harus jadi yang terakhir, masa bodoh bila hasilnya jelek.
“Bagus?” Tanya Sunghoon dengan mata berbinar, jangan lupakan senyumnya yang bisa membuat siapapun lupa akan dunia.
“Bagus banget ini mah, udah gak usah di liat!” Sebenarnya Shucy merasa kurang fokus saat memotret, entahlah jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya.
“Eh liat dulu, bagus menurut lu belom tentu bagus menurut gua.”
Kali ini Sunghoon tidak merebut ataupun meminta ponselnya, melainkan menarik langan Shucy untuk melihat hasil fotonya tersebut.
“Aduh ribet banget.” Shucy berusaha melepas tangan Sunghoon, namun pemuda itu justru memperkuat genggamannya.
“Tuh kan! Untung gua liat, ini jelek apus-apus, ulang sekali lagi gua gak mau tau!” Protes Sunghoon, ia kembali berpose sedemikian rupa agar hasilnya maksimal.
Shucy hanya bisa mengangguk tanpa ada niatan menolak, sepertinya membantu Sunghoon cukup menyenangkan juga.
Bite me...
Shucy mendengar suara bisikin tepat di samping telinganya, sontak ia menoleh ke belakang untuk melihat siapa pelakunya.
Namun kosong, tidak ada seorangpun disana kecuali dirinya dan Sunghoon.
“Eh eh gua disini! Ngapa lu malah foto kesana anjir?” Sunghoon bingung dengan tingkah laku Shucy yang berubah aneh.
“Lu denger suara gak sih?” Shucy masih berusaha mencari seseorang di sekitar mereka, bisa saja kan mereka sedang di permainkan.
“Suara apaan? Lu jangan nakutin deh, ini masih siang ya!” Sunghoon merapatkan tubuhnya pada Shucy, ia termasuk orang yang penakut.
“Apa perasaan gua doang?” Shucy mengusap bagian tengkuknya, merasakan bulu kuduknya mulai berdiri.
“Iya kali, udah ayo foto sekali lagi abis itu kita balik ke kelas!” Meski dilanda rasa ketakutan, Sunghoon masih saja memikirkan fotonya.
Shucy menarik nafas dalam-dalam mencoba untuk fokus, cukup abaikan suara-suara tak jelas di luar sana.
Mari selesaikan proses pemotretan ini dan kembali ke kelas, perkara tugas video bisa dipikirkan nanti.
Devour me...
Shucy menurunkan ponsel Sunghoon, suaranya terdengar sangat jelas tapi ia tidak tahu dari mana sumber suara itu berasal, dan apa arti setiap kalimatnya?
Atau mungkin ini ada hubungannya dengan kejadian semalam? Seram sekali.
“Kenapa lagi?” Tanya Sunghoon khawatir, ia menepuk pundak gadis itu guna menenangkannya.
“Sumpah gua denger suara tadi, dia kek bisik-bisik gitu... Ah Hoon! Takut dah gua!” Tanpa sadar Shucy meremas ujung seragam Sunghoon.
“Jangan bercanda! Kalo lu takut gua juga takut nih masalahnya.” Bisik Sunghoon.
Jangan tanya seberapa jauh jarak mereka sekarang karena jawabannya jelas tidak ada. Entah akibat kalut dalam pikiran masing-masing hingga membuat keduanya tanpa sadar berpelukan saking takutnya.
“Kita ganti spot aja kali ya?” Shucy menepuk-nepuk punggung Sunghoon agar melepaskan pelukannya.
“Iya deh di tempat yang ramean dikit.” Sunghoon pun mengandeng tangan Shucy untuk pergi dari sana secepatnya.
Taman belakang sekolah mereka memang terkenal asri dan indah, banyak pepohonan rindang serta danau kecil yang menambah nilai estetikanya. Sungguh berbeda dari sekolah-sekolah lain tentunya.
“Nah coba ya disini aja, lu yang bener ya!” Perintah Sunghoon.
Eh, katanya mau di tempat ramai tapi begitu lihat spot yang bagus langsung tertarik, ia bahkan lupa akan rasa takutnya.
“Udah paling bener gua tadi, lu nya aja yang repot.” Shucy memutar matanya malas.
Jadi Sunghoon menyalahkannya? Apa coba maksudnya memilih spot yang jelas-jelas masih belum ada orang?
“Ya kan emang kudu bagus, gua mau upload ini ke sosmed biar semua orang tau ada manusia seganteng gua.” Ucap Sunghoon penuh percaya diri, tak lupa diiringi gelak tawa khas bapak-bapaknya.
“Babi.” Gumam Shucy spontan.
“Lu ngatain gua?” Sunghoon merasa terhina. Masa iya orang setampan ini dibilang mirip babi? Sangat mustahil.
“Kaga, gua ngatain Park Sunghoon.” Shucy mengedikkan bahunya acuh.
“Ohh...” Sunghoon mengangguk santai. “Lah nama gua ntu!”
Dia baru tersadar bahwa nama yang dilantunkan Shucy tadi adalah nama lengkapnya sendiri, dasar bodoh.
“Udah deh Hoon, jadi kaga nih? Tangan gua pegel banget megangin hp lu!” Keluh Shucy sembari memijat pelan lengannya.
“Sabar, gua cari angle yang bagus, nah gini bagus gak?” Sunghoon memposisikan tubuhnya ke samping agar Shucy dapat melihat side profilenya yang cukup keren.
“Lu mau jungkir balik juga tetep cakep Hoon.” Puji Shucy tulus dari lubuk hati yang terdalam.
“Masa sih? Jadi terharu gua nih.” Sunghoon berpura-pura menghapus air matanya yang tidak keluar sama sekali, terlalu dramatis.
“Lebay ah, gece sono pose!” Shucy menatapnya tajam, pemuda itu suka sekali mengulur waktu berharganya.
Come here and get some...
Shucy otomatis mengubah mode kameranya menjadi video dan langsung mengarahkannya ke area belakang.
Sial, ia telat lagi.
Beberapa waktu lalu, Shucy memang sudah merencanakan hal itu untuk menangkap sosok yang terus mengganggu pendengarannya.
“Tuh tuh tuh, lu mau kemana coba?” Sunghoon cemberut.
Mau sampai kapan mereka berada disini kalau Shucy saja tidak becus dalam memegang kamera?
Hei, bukannya tidak becus, ia hanya merasa dipermainkan oleh seseorang yang menggunakan suara misterius.
“Suaranya kek gak asing dah, tapi siapa ya?” Gumam Shucy berpikir sejenak.
Mungkin ingatannya tidak terlalu bagus, namun untuk ini ia mengingatnya dengan sangat jelas seolah-olah pernah mendengarnya di suatu tempat.
“Suara apa lagi? Lu masih denger suaranya? Emang dia bilang apa?” Rasa takut yang sempat hilang itu kembali menyelimuti Sunghoon.
“Come here and get some?” Shucy mengetukkan jari di dahinya, tak begitu yakin dengan pendengarnya.
Semua kalimat yang di dengarnya barusan memang sangat membingungkan, namun jika digabungkan akan membentuk sebuah kalimat yang sakral.
Seperti contohnya...
Bite me. Devour me. Come here and get some.
Gigit aku. Makan aku. Kemarilah dan dapatkan beberapa.
Apa maksud semua kalimat tersebut?
Apakah ia sedang di gentayangi oleh hantu penunggu sekolah?
“Apaan sih serem banget, gua gak denger apa-apa tuh.” Sunghoon meraih lengan Shucy agar tetap disisinya.
“Ssttt...” Shucy meletakkan jari telunjuk di belah bibirnya, ia merasa suara itu akan memanggilnya lagi jika mereka diam.
Just come kiss me and bite me...
Dugaannya benar, suara itu seakan memancingnya untuk pergi mengikuti kemana arah panggilannya berasal.
Namun kenapa kalimat yang dilontarkannya jadi ambigu begitu? Ia tidak salah dengar kan?
“Eh ngapa jadi jorok gitu suaranya.” Shucy menutup sebelah telinganya untuk lebih fokus mendengarkan suara yang lain.
“Jorok gimana?” Tanya Sunghoon berbisik, tidak bermaksud mengganggu aktivitas Shucy sedikitpun.
“Masa gua suruh cium sama gigit dia, kan mesum ya?“ Shucy menggelengkan kepalanya, risih.
“Lu denger darimana sih anjir?” Sunghoon melihat ke arah kanan dan kiri berusaha mencari seseorang di sekitar mereka
Benar, hanya ada mereka berdua disana, aneh sekali.
Pemuda itu sendiri juga bingung, kenapa hanya Shucy yang dapat mendengar suaranya? Dia kan jadi penasaran, apakah terdengar menyeramkan atau mungkin menyebalkan?
Fate discovered us once again...
Takdir? Apakah mereka pernah bertemu sebelumnya? Bayangan Shucy mulai tertuju pada satu sosok yang sempat membuatnya over thinking semalaman.
“Woy lu siapa sih? Coba keluar jangan bisanya bisik-bisik doang!” Shucy berani menantangnya, ia semakin melangkah maju mengikuti arah suara yang semakin jelas tersebut.
“Eh malah manggil lagi lu!” Sunghoon yang bersembunyi di belakangnya hanya menepuk pelan bahu Shucy.
“Gua yakin ini mah orang, suaranya gak asing sumpah.” Shucy sudah tidak takut.
Ia yakin pernah mendengar suara ini sebelumnya, lagipula hari masih siang, tidak mungkin ada hantu yang menganggu mereka.
“Ya tapi kalo misalkan dia dedemit terus nyamar jadi orang yang lu kenal gimana?” Sunghoon mempererat genggamannya pada Shucy.
Pemuda itu tidak berniat melepaskannya sedikitpun, kalau perlu dia ingin memeluk Shucy lagi.
“Tapi ini kan siang boong, masa iya ada dedemit sih?” Shucy mencoba melepaskan tangan pemuda tersebut, kemudian berlari menuju pohon besar di depan mereka.
Sunghoon yang panik lantas mengikuti Shucy dan memeluknya dari belakang, ia menyembunyikan wajahnya di bahu Shucy, takut akan muncul sosok menyeramkan dari balik pohon.
Shucy kali ini membiarkan tindakan Sunghoon, ia hanya ingin mencari tahu siapa pelaku yang mengerjainya.
Leave the mark on my neck...
Kalimat yang semakin membuatnya geli, menjijikan dan mesum pikirnya.
“Keluar lu! Gak lucu anjir bercandaan lu! Lu pikir lu lucu!?” Amarah Shucy sudah di ujung tanduk, kalau perlu ia mau menghajarnya sekalian biar kapok.
“Shucy, kenapa kita gak balik ke kelas aja sih? Gua jadi merinding dah...” Sunghoon menarik-narik seragam Shucy untuk berubah pikiran, untuk apa sih mencari perkara dengan hantu?
“Sama sih tapi gua penasaran anjer.” Shucy memiringkan kepalanya, ia merasa lehernya geli akibat bersentuhan langsung dengan hidung mancung Sunghoon.
“Kaga dah, inget satu kalimat ini... rasa penasaran bisa membunuhmu!” Sunghoon berbisik tepat di samping telinga gadis itu yang makin membuatnya geli.
“Permisi...”
“HUWAAA!”
Shucy dan Sunghoon segera melepaskan pelukan mereka saat menyadari ada seseorang yang berdiri di belakang mereka.
“Eh maaf ganggu waktu kalian tapi gua mau nanya dong, arah ke ruang kepsek kemana ya?” Tanyanya datar, bahkan raut mukanya ikut datar seperti mayat hidup.
“EH LU KAN ORANG CIANJUR YANG KEMAREN!”
Shucy melebarkan senyumnya, seolah menemukan benda berharga yang telah lama hilang.
Ternyata firasatnya benar, suara yang ia dengar tadi memang mirip dengan orang Cianjur tersebut, tapi apakah suara itu memang berasal darinya?
“Orang Cianjur?” Sunghoon menunjuk orang itu tak percaya.
“Gua bukan orang Cianjur! Nama gua Jay! Dan gua dari Seattle asal lu tau!” Orang bernama asli Jay itu jelas merasa terhina.
Memangnya dimana letak Cianjur dari wajahnya? Dasar orang-orang bodoh.
“Oh sama dong!” Sunghoon menyenggol bahu Jay sok akrab, yang langsung disambut dengan tatapan membunuh darinya.
“Apaan? Lu bukannya dari Cimahi ya?” Shucy memukul lengan Sunghoon menggodanya.
Kenapa dia jadi ikut-ikutan mengaku dari Cianjur? Ngawur.
Walau dirinya juga ngawur karena menuduh Sunghoon berasal dari Cimahi.
“Sembarangan lu, kaga lah! Gua asli Bandung!” Sunghoon meletakkan tangannya di pinggang, merasa bangga Bandung adalah kampung halamannya.
“Muka lu kaga ada Bandung-Bandungnya.” Shucy melipat tangan di dada, semakin tidak percaya dengan kebohongan pemuda tersebut.
“Kan gua blasteran Belanda.” Sunghoon memainkan alisnya.
“Dih boong banget, gua lebih gak percaya.” Shucy mencubit lengan Sunghoon membuat sang empu mengaduh kesakitan.
“So guys, where is the principal's office room?” Jay menegur mereka berdua yang malah asik dengan dunianya.
Shucy hampir lupa akan sosok Jay yang sedang menatapnya datar, ia menariknya menjauh dari Sunghoon untuk meminta penjelasan.
“Bentar sebelum gua kasih tau, lu harus jelasin kejadian semalem, secara detail sedetail-detailnya.” Shucy memelankan suaranya agar Sunghoon tidak mendengar percakapan mereka.
“Kejadian semalem? Kejadian apa?” Sunghoon ternyata menguping dari arah belakang.
Pemuda itu sangat penasaran dan tidak mau ditinggal sendirian, ayolah berbagi cerita, dia ingin bergabung.
BRUK!
“HEH LU APAIN ANAK ORANG?”
Shucy tidak tahu apa yang baru saja dilakukan Jay hingga membuat teman sekelasnya pingsan tak berdaya.
“Biarin dia tidur dulu.” Jay melangkah ke arah Shucy untuk memperkikis jarak di antara mereka.
“Eh lu mau ngapain anjir? Ini masih area sekolah ya, gua bisa teriak!” Shucy menahan tubuh pemuda itu untuk menghentikan aksi busuknya.
“Silahkan kalo lu mau teriak, it doesn't matter, soalnya gak bakal ada orang yang denger kita juga.” Jay mengedikkan bahunya acuh.
“Lu siapa sih sebenernya? Lu ada masalah sama gua?” Shucy masih belum mengerti dengan situasi gila ini.
Bagaimana mungkin pemuda yang ada di hadapannya sekarang masuk ke sekolahnya dan menyamar sebagai murid? Apakah dia seorang penguntit?
“Nope, but... Ah shit! I hate this moment!” Jay mengacak kasar rambutnya, yang sialnya malah menambah tingkat ketampanannya.
“Kenapa sih?” Shucy menatap aneh ke arahnya, seperti orang yang sedang kerasukan saja.
“Gua sebenernya males ngomong kaya gini, tapi cuma lu satu-satunya orang yang bisa nolongin gua.” Jay mendorong tubuh Shucy hingga menabrak pohon besar di belakangnya.
“Nolongin lu? Buat?” Shucy makin tidak mengerti dengan ucapannya.
Tanpa disangka, Jay dengan sangat lancang membuka seragamnya di depan gadis tersebut.
“KOK LU BUKA BAJU!?” Shucy menutup wajahnya menggunakan kedua tangan.
Apa yang mau dilakukan pemuda itu? Apakah ia akan kehilangan keperawanannya? Jangan sampai itu terjadi!
“See? All this, is your fault!” Jay memamerkan semua luka yang didapatinya semalam.
Shucy sedikit menurunkan tangannya untuk mengintip.
Melihat itu, Jay tentu saja kesal dan langsung menarik tangan gadis itu agar tidak menutupi wajahnya lagi.
Shucy meringis melihat banyaknya luka sayatan di area perut Jay yang cukup sempurna, bahkan ia kehilangan fokus karenanya.
Tunggu, bukankah luka tersebut akibat pertarungannya melawan preman? Lantas mengapa Shucy yang harus disalahkan? Siapa suruh main pergi tanpa pamit, lagipula ia kan bisa berobat ke rumah sakit.
“Lah itu mah gegara lu ribut sama preman kan semalem? Ngapa lu nyalahin gua?” Shucy menunjuk Jay penuh kedengkian.
Setidaknya jika mau meminta pertanggung jawaban mari lah dibicarakan secara baik-baik, jangan main hakim sendiri.
“Argh... Pokoknya gua juga gak ngerti kenapa pas gua liat lu lewat bareng temen lu semalem, gua sama yang lain jadi ngikutin lu semua!”
Jay mulai menjelaskan kronologi semalam menurut pandangannya.
“Nah itu preman tetiba dateng mau nyerang lu, ya udah gua mau gak mau harus lawan mereka lah, beruntung lu masih gua tolongin.”
Jujur, Jay agak menyesal telah menolong Shucy beserta kedua temannya, ia jadi kena batunya.
“Ya maaf gua kan gak tau, lagian lu malah ngilang semalem padahal temen gua udah telpon ambulan.” Shucy mendengus, padahal ia sudah menawari bantuan tapi pemuda itu malah menghilang entah kemana.
“Gua. Gak. Butuh. Ambulan.” Ucap Jay penuh penekan, sifat sombongnya membuat Shucy muak.
“Dih gaya banget, gua kira lu itu setan tau gak? Abisan main ngilang-ngilang aja.” Shucy menggelengkan kepalanya, tak habis pikir.
“Bahaya kalo sampe ada yang liat makanya gua pergi.” Ujar Jay kembali menutup baju seragamnya.
“Emang kenapa?” Sebenarnya Shucy sangat penasaran akan hal tersebut.
Mengapa mereka semua bisa hilang hanya dalam waktu singkat, bukankah itu aneh? Aneh untuk ukuran manusia.
“Lu takut gak kalo gua ngaku vampir.” Jay melihat ke atas.
Ternyata sinar matahari tidak dapat menembus lokasi mereka karena tertutup dedaunan yang rindang.
“Ngakak, lu vampir? Gak yakin gua.” Shucy tidak bisa menahan tawa.
Lelucon orang Cianjur saja tidak ia percaya apalagi lelucon vampir.
“Nih gua buktiin!”
Jay mulai menunjukkan kehebatannya dengan berjalan di batang pohon layaknya tidak ada sebuah gravitasi, ia kini mendudukan dirinya pada ranting pohon seraya menampilkan senyum miringnya.
“Mau ikut?” Pemuda vampir itu mengulurkan tangannya pada Shucy.
“Gi-gimana caranya?” Shucy dibuat syok oleh oknum tersebut setelah melihat atraksi sirkus yang dimainkan.
Shucy tidak bisa menahan senyumnya, ia kagum dengan sosok pemuda vampir di hadapannya itu, semuanya seakan seperti mimpi.
Sejak kecil, Shucy sangat menyukai cerita vampir yang menurutnya keren, ia selalu berandai-andai akan bertemu seseorang vampir di masa depan.
Sampai ia tahu bahwa vampir hanyalah makhluk fiksi belaka yang tidak ada di dunia nyata.
Namun sekarang, ia benar-benar menemukannya...
Walau vampir Jay ini sedikit menyebalkan.
“Sini...” Jay turun dari atas pohon kemudian meraih lengan Shucy untuk dirangkulnya, ia pun menggendong gadis itu ala bridal style.
“Eh lu kuat emang?” Tanya Shucy memastikan, cukup gantle juga pemuda itu.
“Ya kuat lah anjir, gua kan vampir paling kuat di muka bumi ini!” Jay lagi-lagi mengeluarkan sifat sombongnya, yang kali ini dibalas pukulan ringan oleh Shucy.
“Akh... Bangsat! Jangan dipukul perut gua!” Jay memberinya tatapan tajam.
“Eh iya maaf-maaf gua lupa perut lu lagi luka, gak sengaja maaf.” Alibi Shucy.
Shucy merentangkan tangannya ke depan, merasakan hembusan angin yang menerpa indra perasanya, sebuah momen yang tidak akan pernah ia lupakan sepanjang hidupnya.
“Bagus banget! Ini harus di foto!” Pemandangan dari atas sini sangat indah, ia harus mengabadikannya dan memberitahu kedua temannya setelah ini.
“Dasar anak jaman sekarang, dikit-dikit foto.” Sindir Jay sembari menyandarkan punggungnya di batang pohon.
“Yeh suka-suka lah, emang lu umur berapa sih?” Tanya Shucy tanpa meliriknya sedikitpun.
“254 tahun.” Balas Jay ala kadarnya.
“Pantesan gaya lu buyut banget.” Shucy memberinya gestur jempol ke bawah.
“Maksud lu? Gini-gini gua masih gaul kali, nih liat hp gua, Iphone 14 pro max. Gak punya kan lu? Dih apaan nih? Oppo? Iphone nih bos!” Jay membandingkan ponsel pintar berharganya dengan ponsel pintar milik Shucy.
“Biarin aja orang sombong matinya ketabrak babi.” Shucy melipat tangannya di depan dada, ia merasa diremehkan.
“Gua gak bisa mati kali, you know immortal?” Jay makin menunjukkan kekuasaannya.
Namun Shucy tidak peduli, ia lantas memukul area kelemahan pemuda tersebut.
“Akh... Sakit anjir! Kan udah gua bilang jangan mukul perut gua!” Jay mencengkram lengan Shucy kuat-kuat.
“Rasain, siapa suruh nantangin gua, paling juga umur lu tinggal itungan detik.” Shucy tertawa sinis.
CHUU~
Jay menciumnya dengan secepat kilat. “Udah gak itungan detik lagi, thanks a lot.“
“BANGSAT, LU NGAPAIN CIUM GUA?” Shucy marah besar, ciuman pertamanya telah hilang diregut oleh vampir gila.
“First of all, itu tujuan gua dateng kesini, stealing your kisses then my body will recover as soon as possible.” Jay menjulurkan lidahnya meledek, ia merasa menang dari sebuah permainan.
“Bajingan!” Shucy menatap Jay penuh dendam, ia tidak akan pernah mau memaafkannya sampai kapanpun.
“Sstt... I know you like it, don't you?” Jay mencolek dagu Shucy seraya memainkan alis nakalnya.
“No fuck you!” Shucy membuang mukanya kasar, mungkin jika ini di daratan ia sudah pergi meninggalkannya.
“Gak usah munafik, gak ada yang bisa nolak ciuman gua.” Jay memperhatikan gerak-gerik Shucy, ia tahu gadis itu sangat marah dan ingin turun sekarang juga.
“Najis! Dah lah gua mau turun!”
“If you can just go down.“
Shucy melihat ke arah bawah, ternyata jarak ketinggiannya lumayan juga, kalau ia nekat melompat sudah pasti akan patah tulang.
“It's too higher, isn't it?” Jay mengikuti arah pandangan Shucy yang tertuju pada daratan.
“Shut up! I can do this!” Shucy menggeser kasar tubuh Jay agar menjauh darinya, ia tidak mau dekat-dekat dengan pemuda brengsek tersebut.
“Go a head!” Jay melipat tangannya sembari memantau pergerakan Shucy.
“Okay... Okay... Just relax, you can do it, i trust you...” Gumam Shucy berusaha menyemangati dirinya sendiri.
“Oh... Cute conversation.” Jay tertawa melihat tingkah laku Shucy yang menurutnya cukup lucu.
“Bacot dah lu!”
“Lama dah lu!”
Jay yang gemas pun akhirnya mendorong tubuh Shucy untuk terjun ke bawah sana. Memang tidak salah Shucy membenci pemuda vampir itu.
Untungnya, Jay menangkap dengan sigap, jika tidak mungkin gadis itu sudah dilarikan ke UGD sekarang.
“Tinggal minta bantuan aja gengsi amat.” Jay menggelengkan kepalanya.
“Lepas...” Lirih Shucy, ia malu sudah kalah dari Jay.
“Kok lu jadi lemes gitu? Nyerah nih?” Jay mencubit pipi Shucy agar gadis itu kembali terpancing emosi.
“Terserah, kok lu gak kepanasan sih kena matahari?” Shucy mendongak, dimana matahari berada tepat di atas kepala mereka.
“Kan ada lu, kalo ada lu gua jadi lebih kuat.” Jay mulai melontarkan gombalan mautnya.
“Emang iya?” Shucy justru mempercayainya omong kosong tersebut.
“Iya kali, males banget gua juga.”
“Tapi gua masih penasaran deh, kenapa ciuman gua bisa nyembuhin lu?” Shucy mencoba mengulik fakta dibalik ciuman pertamanya.
“Lu nanya gua? Gua nanya siapa? Jujur aja nih ya, gua sebenernya juga gak ngerti, pokoknya kemaren gua liat temen lu sempet cium Jake tuh, nah dia langsung sembuh.” Jay hanya mengikuti instruksi yang sempat dijelaskan oleh temannya.
“Jake? Oh yang Rahma cium ya?”
“Iya, makanya Jake nyuruh kita buat nyari kalian, karna menurut dia cuma kalian yang bisa nolongin kita, aneh kan?”
“Terus kalo misalkan kemarin Rahma gak cium Jake gimana?”
“Ya udah pindah alam kali si Jake.”
“Kok gitu? Katanya kalian vampir masa kalah lawan preman doang? Bukannya vampir kuat ya?”
“Kuat sih kuat, tapi kalo nyerangnya pake perak lu bisa apa?”
Ya, perak adalah salah satu kelemahan bagi seseorang vampir, meski mereka memiliki kekuatan istimewa masing-masing.
“Emang ada peraknya?”
“Nanya mulu lu!”
“Ih kan kepo anjir!”
“Gini... Yang jelas gua sih mau bilang makasih ya karna lu udah nolongin gua walaupun dengan cara terpaksa yang gua kira bakalan gagal tapi ternyata berhasil juga, padahal gua sempet mikir Jake ngeprank gua, dan jujur ini melebihi ekspektasi gua.”
Jelas Jay panjang lebar, ia tidak mau lagi membahas kejadian yang membuatnya pusing.
“Jadi lu ikhlas atau gak sih sebenernya?” Shucy meletakkan tangannya di pinggang.
“Ikhlas gak ikhlas sih, but seriously... i want to say thank you, and i need something more from you.” Jay menghela nafas sebelum mengungkapkan sesi final dari ritualnya.
“Apa lagi?” Shucy menatapnya curiga, mungkinkah nyawanya akan ditumbalkan?
“Leave the mark on my neck.“
“Bentar-bentar, maksud lu... Gua gigit leher lu gitu?” Tanya Shucy memastikan.
Ini tidak salah kan? Kenapa malah gadis itu yang harus menggigit leher Jay, bukannya terbalik?
“Kalo lu gak mau biar gua aja yang gigit lu.” Jay mengeluarkan taringnya secara terang-terangan.
“EH NTAR DULU!” Shucy melangkah mundur karena takut melihat benda runcing tersebut.
“You scared huh?” Goda Jay.
“Biar apaan gigit-gigit begitu? Mau jadiin gua vampir?” Shucy sudah menyiapkan ancang-ancang untuk berlari.
“If you don't mind.” Jay mengedikkan bahunya.
“Gak ya anjing! Gua masih mau jadi manusia!” Shucy mengambil ranting pohon di sekitarnya sebagai alat perlindungan.
“Kalo gitu pacar lu yang gua gigit gimana?” Jay menunjuk tubuh Sunghoon yang masih belum sadarkan diri semenjak tadi.
“Pacar? Sunghoon? Dia mah temen sekelas gua! Gigit aja kalo lu mau, rese banget abisan bocahnya.” Shucy angkat tangan.
“HUWAAA! INI DIMANA? APAKAH INI DI SURGA?”
Sunghoon tiba-tiba saja terbangun hingga membuat Jay dan Shucy terkejut setengah mati.
“Ngaco kan...” Shucy menepuk dahinya.
“Lu mau jadi vampir gak?” Tawar Jay lalu berjongkok di samping Sunghoon.
“HUWAAA VAMPIR MAMA TOLONG!”
BRUK!
“Emang udah paling bener dia tidur.” Jay mengucapkan mantra untuk kembali menidurkan Sunghoon, habisnya berisik sekali.
“Woy lah kasian itu dia, mending bawa ke UKS aja kali ya, lu kuat kan gendong dia?” Shucy mengangkat sedikit kepala Sunghoon untuk mengelus bagian belakangnya yang terkena benturan keras.
“Ogah gua gendong dia, lu aja sono!” Tolak Jay secara mentah-mentah.
“Yeh, bantuin lah!” Omel Shucy.
Jay dan Shucy pun menggotong tubuh Sunghoon menuju ruang kesehatan dan menaruhnya di salah satu ranjang agar pemuda itu bisa tidur dengan lebih leluasa.
“Gini kek Hoon, kan kalo tidur jadi gemess, dasar acil.” Shucy mengacak-acak rambut Sunghoon yang tengah terlelap itu.
Biasanya saat bangun, Sunghoon adalah sosok yang menyebalkan tapi saat tidur begini... Dia malah terlihat seperti bayi.
“Lu suka sama dia?” Tanya Jay sembari duduk di sisi ranjang.
“Nggak!” Balasnya sinis, tidak selaras dengan tangannya yang justru merapikan rambut Sunghon karena ulahnya tadi.
“Kalo sama gua... Suka gak?” Jay mencoba mengalihkan atensi Shucy.
“Nggak juga!” Shucy menggelengkan kepalanya, meledek pemuda vampir tersebut.
“Gua juga gak suka lu sih, sorry.” Jay beranjak dari duduknya lalu mendekati Shucy untuk mencium pucuk kepalanya.
“GAK SUKA TAPI KOK CIUM-CIUM!?” Shucy menatap tajam ke arah Jay, dasar vampir kelebihan hormon.
“Gak tau, gua ngikutin naluri aja.” Alibi Jay kembali ke tempat semula.
“Acil bangun bentar lagi mau masuk! Eh gimana nih temen gua masa kaga bangun-bangun?” Shucy menekan dan menusuk pipi Sunghoon guna membangunnya.
“Udah biarin aja dia istirahat.” Jay menepis lengan Shucy yang terus saja mengganggu Sunghoon tertidur.
“Lahh masa—”
“Lu aja sono balik ke kelas, daripada jadi santapan gua disini.” Ancam Jay seraya menampilkan taringnya.
“Serem banget sih lu!” Shucy otomatis menjauh, ia takut pemuda vampir itu benar-benar menggigitnya.
Jay terkekeh melihat ekspresi Shucy yang berubah panik, sebelum gadis itu pergi meninggalkan ruang kesehatan, ia ingin menghadiahi sesuatu.
“Eh bentar...”
“Apaan sih tadi nyuruh ke—”
Jay menarik lengan Shucy dan menciumnya dengan lembut, bukan sekedar ciuman sekilas melainkan ciuman yang cukup lama.
Jujur, Shucy tidak pernah menyangka bahwa ciuman pertamanya akan dicuri oleh sesosok vampir aneh yang memiliki kesabaran setipis tisu.
“Aduhh sakit kepala gua... EHH SHUCY CIPOKAN SAMA SIAPA?”
.
.
.
.
.
.
Dah tamat njing gak usah minta lagi!
—Cuaks
Tapi kalo rame lanjut part 3 wkwk
Boong deng males :)
#BiteMe
