Rakyu

Part 4 : Progress So Far


⚠️ Disclaimer ⚠️ Semua hal yang berkaitan dalam cerita ini hanyalah karangan semata dan terkadang sangat berbeda jauh dari kehidupan nyata, maka harap dimaklumi.

Genre : Comedy, Drama, Sosmed


—Yeontan POV









—Ajun POV











.

.

.

To be continued…


#OurDay

Part 3 – Our Secret

⚠️ Disclaimer ⚠️ Semua hal yang berkaitan dalam cerita ini hanyalah karangan semata dan terkadang sangat berbeda jauh dari kehidupan nyata, maka harap dimaklumi.

Genre : Drama, Comedy, Romance




• Sunghoon (Member of Fever's Twitter Account)

• Jay (Member of Fever's Twitter Account)

• Jungwon (Member of Fever's Twitter Account)

• Sunoo (Manager of Fever's Twitter Account)




—Yeontan POV









. . .

To be continued...


#OurDay

Part 2 – We Need Talented People

Genre : Drama, Comedy, Romance






• Jake (Member of Fever's Twitter Account)





—Waktu Istirahat






. . .

To be continued…


#OurDay

Part 1 – Fangirl Agenda

Genre : Drama, Comedy, Romance


• Ajun (Rahma's Twitter Account)


• Fever Band (Fever Member's Official Twitter Account)


• Yeontan (Bella's Twitter Account)

• Ni-Ki (Niki's Twitter Account)

  1. Bella's Little Brother
  2. Member of Fever Band






• Heeseung (Member of Fever’s Twitter Account)




• Jiun (Adya's Twitter Account)


• Cio (Shucy's Twitter Account)


• Ruto (Amel's Twitter Account)



.

.

.

To be continued…


#OurDay

Intro : Prologue


Summary : Rahma adalah penggemar berat dari sebuah grup band bernama Day6. Ia juga menyukai musik sejak kecil, sayangnya ia tidak bisa memainkan alat musik apapun kecuali pianika.

Melihat band Fever karya seniornya yang meraih kesuksesan dan ketenaran dalam waktu singkat jelas membuat Rahma iri hingga muncul rasa ingin menandingi.

Rahma pun mulai bertekad untuk membuat sebuah grup bandnya sendiri dengan mengumpulkan orang-orang berbakat di sekolahnya.

Namun kendalanya, bagaimana cara Rahma membujuk mereka? Ia saja tidak terlalu pandai dalam hal musik, terlebih lagi dirinya seorang perempuan, yang ada ia akan mendapat banyak hinaan dari banyak orang, terutama penggemar band Fever.

Cast :

» Catfish Band

  1. Adya (Bassist)
  2. Amel (Drummer)
  3. Bella (Keyboardist)
  4. Rahma (Guitarist)
  5. Shucy (Vocalist)

» Fever Band

  1. Heeseung (Leader, Main Vocalist, Rhythm Guitarist)
  2. Jay (Main Rapper, Main Vocalist, Bassist)
  3. Jake (Main Vocalist, Lead Guitarist)
  4. Sunghoon (Drummer, Vocalist)
  5. Jungwon (Keyboardist, Main Vocalist)
  6. Niki (Keyboardist, Vocalist)
  7. Sunoo (Manager, Assistant)

When The Apocalypse Had Begun


Summary : Kejadian memilukan itu terus saja menghantui pikiran Bella, dimana ia kehilangan adik laki-lakinya bernama Jo saat mereka tengah mengunjungi sebuah pusat perbelanjaan untuk membeli keperluan sekolah mereka.

Semua berawal dari wabah virus berbahaya yang mulai menyebar ke seluruh penjuru dunia bahkan Negara Bella sekalipun.

Untungnya Bella berhasil diselamatkan oleh seorang pria bernama Nicholas yang langsung membawanya ke tempat aman selama beberapa waktu.

Meski dua tahun sudah berlalu, Bella tetap yakin bahwa adiknya masih hidup walau entah dimana keberadaannya sekarang.

Namun Bella berjanji akan menemukan Jo dengan bantuan orang lain mau pun dirinya sendiri.


Cast :

  1. Asakura Jo Jo as Bella's Little Brother

  2. Wang Yixiang Nicholas as Bella's Friend

  3. Koga Yudai K as Rahma's Friend

  4. Byun Euijoo EJ as Shucy's Friend

  5. Taki As Rahma's Little Brother

  6. Harua As Shucy's Little Brother


To be continued...

#UnderTheSkin

Part 2 – New Friends & Enemies


⚠️ Disclaimer ⚠️ Semua hal yang berkaitan dalam cerita ini hanyalah karangan semata dan terkadang sangat berbeda jauh dari kehidupan nyata, maka harap dimaklumi.

Genre : Comedy, Fantasy, Romance

Soundtrack : Message In A Bottle by Taylor Swift


Sebenarnya apa itu Diagon Alley?

Diagon Alley adalah sebuah jalan raya yang terletak di London. Jalan ini merupakan akses menuju dunia sihir yang juga merupakan sebuah pusat ekonomi, namun tersembunyi bagi Muggle.

Tunggu, Muggle itu apalagi?

Muggle sendiri adalah sebutan bagi seseorang yang tidak mempunyai kemampuan sihir.

Meskipun demikian, Muggle bisa diperbolehkan mengakses jalan ini untuk kepentingan menemani anaknya yang berdarah campuran. Jika penyihir membutuhkan sesuatu, kemungkinan besar barang tersebut bisa ditemukan di Diagon Alley.

Jadi, apakah ketiga gadis bernama Bella, Rahma, dan Shucy memiliki darah campuran? Atau mungkin saja mereka justru memiliki darah murni?

Semuanya masih menjadi misteri.


Sudah sekitar setengah jam Bella, Rahma, dan Shucy mengelilingi jalanan Diagon Alley karena penasaran dengan berbagai toko unik yang tidak pernah mereka lihat sebelumnya.

Ketiga gadis itu bahkan sampai melupakan tujuan utama mereka berada disana, dimana mereka harus mencari beberapa keperluan untuk bersekolah di Hogwarts.

“Eh istirahat sebentar yuk...” Bella kelelahan akibat perjalanan mereka yang tidak ada hentinya, ia sangat haus dan ingin minum air mineral, apakah disini ada hal semacam itu?

“Elah masa baru gitu doang dah capek, ini aja kita belom cari barang-barangnya.” Ledek Rahma, ia masih ingin menelusuri sebagian besar toko di Diagon Alley.

“Oh iya lupa, emang kita harus cari apa aja sih?” Tanya Shucy. Jujur, ia sebenarnya tidak mengerti dengan semua nama barang yang ada di dalam surat tersebut.

Hm, cukup menarik. Mari kita bahas hal-hal apa saja yang harus mereka cari di Diagon Alley.

SERAGAM Siswa tahun pertama akan membutuhkan:

  1. Tiga set jubah kerja polos (hitam)
  2. Satu topi runcing polos (hitam) untuk pakaian sehari-hari
  3. Sepasang sarung tangan pelindung (kulit naga atau sejenisnya)
  4. Satu jubah musim dingin (hitam, dengan pengikat perak)

Harap dicatat bahwa semua pakaian murid harus membawa label nama.

BUKU KURSUS Semua siswa harus memiliki salinan masing-masing dari yang berikut:

The Standard Book of Spells (Grade 1) by Miranda Goshawk A History of Magic by Bathilda Bagshot Magical Theory by Adalbert Waffling A Beginner's Guide to Transfiguration by Emeric Switch One Thousand Magical Herbs and Fungi by Phyllida Spore Magical Drafts and Potions by Arsenius Jigger Fantastic Beasts and Where to Find Them by Newt Scamander The Dark Forces: A Guide to Self-Protection by Quentin Trimble

PERALATAN LAINNYA

1 tongkat sihir 1 kuali (timah, ukuran standar 2) 1 set botol kaca atau kristal 1 teleskop 1 set timbangan kuningan

Siswa juga boleh membawa, jika mereka mau, burung hantu ATAU kucing ATAU katak.

ORANG TUA DIINGATKAN BAHWA TAHUN PERTAMA TIDAK DIPERBOLEHKAN MEMILIKI BROOMSTICK SENDIRI

Broomstick apaan dah?” Tanya Bella, ia semakin pusing setelah mengetahui terjemahan dari isi suratnya.

Berterima kasih kepada Rahma yang secara sukarela membantu mereka untuk menerjemahkan bahasa asing dalam surat tersebut.

“Mungkin maksudnya sapu terbang.” Pikir Rahma, kata awalnya saja bertuliskan 'Broom' yang berarti 'Sapu'.

Shucy membaca ulang isi suratnya, ia menemukan sebuah petunjuk yang apabila diperhatikan lebih detail, maka akan terlihat jelas bahwa surat itu ternyata dibagi menjadi 3 bagian.

Bagian pertama menjelaskan tentang penampilan seragam, bagian kedua menjelaskan tentang buku yang akan mereka pelajari nanti dan bagian ketiga menjelaskan beberapa peralatan lainnya sebagai tambahan.

Otak Shucy pun mulai mengeluarkan ide cemerlang agar mereka bertiga bisa mengumpulkan semua barang aneh ini dengan waktu singkat tanpa adanya kendala.

“Eh, gimana kalo kita mencar?” Usul Shucy.

“Mencar!? Kalo kita nyasar gimana!?” Protes Rahma.

Pasalnya mereka baru pertama kali berkunjung kesini, otak mereka bahkan tidak mampu menguasai denah seluas Diagon Alley.

Lalu bagaimana jadinya jika mereka harus berpencar? Bukannya itu makin mempersulit keadaan?

“Iya, gak mau ah, nanti gua diculik lagi.” Membayangkannya saja sudah membuat bulu kuduk Bella berdiri, tempat asing seperti ini pasti tidak luput dari beragam kejadian kriminalitas.

“Et dah, biar cepet ego, kalo kita bareng terus kapan selesenya?” Shucy melihat ke arah langit yang mulai terik, menandakan hari sudah menuju waktu siang.

“Bener juga sih.” Rahma mengikuti arah pandangan Shucy.

Kalau dipikir-pikir ide Shucy cukup bagus. Jika mereka terus bersama mencari semua barang ini pasti akan memakan waktu lama serta melelahkan, berbeda jika mereka mencari dengan cara berpencar, lebih menghemat waktu juga tenaga mereka.

“Terus pembagiannya gimana?” Tanya Bella, ia berdoa agar bagiannya mendapat yang paling sedikit, semoga saja.

Shucy kembali meneliti setiap bagian isi surat tersebut, ia kemudian melirik ke arah Bella dan Rahma, terpancar raut yang berbeda dari keduanya.

Rahma yang terlihat antusias menunggu bagiannya dan Bella yang terlihat tegang menunggu bagiannya.

Ingin sekali Shucy menjahili mereka berdua, ia bisa saja memilih bagian mereka untuk mencari banyak barang sedangkan bagiannya paling sedikit.

Namun itu sama saja ia memperlambat gerakan mereka kan? Jadi, Shucy telah memutuskan mana bagian terbaik untuk Rahma dan Bella.

“Gua cari seragam, Rahma cari buku, Bella cari peralatan lainnya.” Ujar Shucy dengan bangga, menurutnya bagian itu sangat layak mereka terima.

Sebagai contoh, Rahma cukup pandai dalam mencari barang tersembunyi sekalipun ditambah sifat ekstrovertnya dalam bertanya pada orang lain jelas akan mempermudahnya.

Bella yang berkesempatan mencari benda paling sedikit pun tidak perlu diragukan lagi. Alasannya sudah jelas, gadis itu tidak mampu mengingat semua nama barang aneh tersebut ditambah sifat santai dan malas bergeraknya pasti menjadi hambatan.

Mendengar penuturan Shucy membuat Rahma merasa tidak adil.

“Lah Bella enak dikit, gua paling banyak anjerrr, gak mau gua!” Protes Rahma.

Mentang-mentang dirinya paling tua di antara mereka maka bagiannya mendapat paling banyak, apalagi tubuhnya yang pendek dibanding Shucy dan Bella, tolong lah kasihani dia.

“Ehh lu kan paling berenergi daripada kita berdua, udah kaga ngapa, paling nanti juga ada yang bantuin.” Sahut Bella.

Meski dirinya mendapat bagian paling sedikit tetap saja ia merasa takut berjalan sendirian, berharap akan ada pangeran yang menolongnya nanti, semoga saja lagi.

“Siapa?” Rahma menatap Bella sinis, siapa pula yang mau membantu mereka? Rahma cukup pesimis dengan pemikiran Bella.

“Ya gak tau, kan kali aja gitu ada orang baik.” Bella mengedikkan bahu, ia yakin masa depan mereka akan cerah selama disini.

“Bener tuh, udah gak usah protes terus, kita mulai mencar, kalo udah siap semua nanti balik lagi kesini.” Shucy melipat surat itu ke dalam saku seragamnya dan bergegas untuk berjalan lebih dulu meninggalkan mereka.

Sebelum semua itu terjadi, Rahma dengan cekatan menahan langkah Shucy.

“Cara tau tempat ini lagi gimana? Kan disini banyak jalan.” Tanya Rahma, ia tidak mau tersesat atau diculik seperti bayangan mengerikan Bella.

Shucy mengedarkan pandangannya, ia melihat sebuah air mancur yang terletak di tengah perempatan jalan, sepertinya itu bisa menjadi patokan lokasi pertemuan mereka.

“Noh inget air mancur itu.” Tunjuk Shucy ke arah objek berwarna putih dengan lapisan emas yang dihiasi patung putri duyung tersebut.


[Madam Malkin's Robes for All Occasions]
-Toko Seragam-

Shucy memasuki toko seragam dengan santai layaknya pelanggan yang sudah sering berbelanja disana.

Pandangan pertamanya tertuju pada beberapa etalase kaca yang didalamnya telah tersusun rapi berbagai macam pakaian mulai dari bentuk normal sampai aneh sekalipun.

Gadis itu menggelengkan kepalanya, menepis segala pikiran buruk yang terlintas begitu saja.

Shucy lalu kembali membuka isi suratnya, memastikan supaya dirinya tidak salah dalam memilih nanti.

SERAGAM Siswa tahun pertama akan membutuhkan:

  1. Tiga set jubah kerja polos (hitam)
  2. Satu topi runcing polos (hitam) untuk pakaian sehari-hari
  3. Sepasang sarung tangan pelindung (kulit naga atau sejenisnya)
  4. Satu jubah musim dingin (hitam, dengan pengikat perak)

Harap dicatat bahwa semua pakaian murid harus membawa label nama.

Satu kalimat berhasil mencuri perhatiannya.

Jubah dan topi runcing? Memangnya sekolah macam apa Hogwarts itu? Apakah Shucy dan kedua temannya akan benar-benar diajarkan tentang ilmu sihir? Atau malah diajarkan ilmu sesat?

Shucy membungkam mulutnya tanpa sadar, ternyata akibat sering menonton film horor bersama Rahma bisa berdampak buruk bagi pikirannya.

Jujur, kalau dipikir berulang kali sebenarnya semua hal ini terbilang sangat mustahil untuk ukuran dunia nyata yang semakin terpengaruhi oleh teknologi seperti sekarang.

“Jadi saben hari gue bakalan pake jubah item? Agak dark juga sekolahnya.”

Ya, mau bagaimana lagi? Namanya juga sekolah sihir.

Shucy bahkan sudah tak heran bila nantinya akan ada pelajaran menjadi penjahat profesional.

Melihat seorang pemuda tengah memegang sebuah surat yang serupa dengan miliknya pun membuat Shucy bertekad untuk mendekatinya, mungkin saja dia akan membantunya.

“Permisi kak numpang tanya, kalo tempat jubah di sebelah mana ya?” Tanya Shucy tanpa ragu.

Pemuda itu menoleh ke arah Shucy dengan tatapan lugu disertai senyuman manis yang terukir di wajah tampannya.

Hm, pemuda tersebut cukup tampan juga menurut Shucy.

“Ah kamu mau cari jubah juga ya? Kita cari sama-sama yuk! Aku mau cari juga soalnya.” Pemuda itu terlihat bahagia saat mendengar ucapan Shucy, ia memang sedang mencari seseorang untuk menemaninya mengumpulkan semua perlengkapan siswa tahun pertama disini.

“Lah?” Shucy tersenyum kikuk, ia agak menyesal bertanya padanya tapi mau menolak juga tidak enak. “Ya boleh aja sih, tapi kakak tau tempatnya dimana?”

Pemuda itu mengangguk antusias, “Tau-tau, ayo sini!”

Shucy hanya pasrah mengikuti kemana langkah pemuda tersebut pergi, entah akan berakhir dimana perjalanan mereka, yang terpenting sekarang ialah misi pencarian seragam harus segera terselesaikan agar ia dapat kembali dengan cepat juga tentunya.

Gadis itu enggan berlama-lama dengan seseorang yang bahkan tidak ia ketahui siapa namanya.

“Oh ya, kenalin nama aku Sunghoon, jangan panggil kak panggilnya Hoonie aja, lagian umur kita kayaknya gak beda jauh deh.” Akhirnya pemuda tersebut memperkenalkan dirinya tanpa dipancing.

“Oh oke Hoonie…” Shucy terkekeh, mengucapkan namanya memang terdengar agak lucu karena mirip dengan panggilan 'Honey' atau 'sayang' dalam bahasa Indonesia.

Gaya bicara Sunghoon juga lucu, senyumnya yang polos, caranya menunjuk sesuatu serta rasa antusias yang ia tampilkan makin membuatnya terkesan seperti seorang anak laki-laki yang berjalan bersama sang ibu.

“Kalo nama kamu siapa?” Sunghoon kembali bertanya, pasalnya Shucy juga belum mengenalkan siapa namanya.

“Nama gue Shucy.”

Mengetahui fakta umur mereka yang tidak berbeda jauh, Shucy rasa mengucapkan kata informal tak ada salahnya, risih juga bila terus berbicara formal bersama pemuda yang baru dikenalnya.

Sunghoon mengangguk setelahnya, entahlah ia menggaruk tengkuknya yang tak terasa gatal, hawa canggung mulai menyelimuti mereka.

Shucy sendiri tidak bisa melepaskan pandangannya dari pemuda bernama Sunghoon tersebut, ia sedikit penasaran saja…

“Eh itu dia jubahnya!” Sunghoon berlari menuju etalase di depannya.

Shucy cukup takjub melihat deretan jubah yang tergantung rapi di etalase itu, ia berlari kecil menghampiri Sunghoon.

Gadis itu mencoba menyentuh bahan salah satu jubah disana, ternyata bahan tersebut sangat halus, sangat berbeda dengan ekspektasinya yang mungkin terasa kasar seperti jubah penyihir di film horor.

Sunghoon mengambil salah satu jubah yang sesuai dengan ukurannya, ia tak melewatkan kesempatan untuk memeluk jubah itu dengan gemas, bahannya yang lembut sangat menarik perhatiannya.

“Wahhh Hoonie suka deh sama bahannya, lembut banget!” Mata Sunghoon berbinar.

Shucy yang melihat hal itu seketika menggigit bibir bawahnya, pandangan yang sungguh menggemaskan, ia tidak bisa mengendalikan pikirannya, berani sekali pemuda itu membuat hatinya kacau.

Shucy diam-diam juga mengambil jubah yang menurutnya cocok, ia menghirup aroma khas dari kain tersebut.

Oh… bahkan aromanya wangi sekali, bukan seperti kain baru pada umumnya melainkan bau citrus yang menyegarkan. Pantas saja Sunghoon menyukainya.

“Baunya enak kan?” Tanya Sunghoon mengagetkan Shucy yang sedang larut dalam aroma memabukkan jubahnya.

“Iya enak, beda banget sama baju di Tanah Abang.” Sindir Shucy.

“Tanah Abang?” Sunghoon memiringkan kepalanya lucu, ia nampak bingung. “Maksudnya?”

Shucy merutuki kebodohannya. Benar juga, Sunghoon tidak mungkin tahu tentang pasar Tanah Abang yang berada di negara atau mungkin alam semestanya.

Lagipula bagaimana bisa dirinya membandingkan tempat mistis seperti ini dengan tempat biasa semacam itu? Jelas saja kedua tempat itu sangat berbeda dari segi manapun.

Ya, setidaknya mereka sama-sama pusat perbelanjaan.

“Pasar, kayak disini lah pokoknya.” Balas Shucy seadanya, toh memang benar begitu.

“Oh ya? Di sana jual jubah kayak gini juga?” Sunghoon jadi penasaran.

“Gak tau sih, kalo pun ada juga gak bakal seharum ini anjir.” Lagi, Shucy menutup mulutnya karena tidak sengaja mengucapkan kalimat busuk.

“Anjir? Anjing? Bau anjing?” Sunghoon memiringkan kepalanya, ia belum pernah mendengar kalimat itu sebelumnya jadi ia kira pendengarnya tadi salah.

Shucy membelalakkan matanya akibat mendengar pertanyaan Sunghoon yang terkesan random namun memang nyata, sudah terbukti bahasanya dan Sunghoon sangatlah berbeda kasta.

No, I mean…” Shucy bingung mau menjawab apa, lebih baik ia mengubah topik pembicaraan lain daripada harus membahas kalimat bodoh itu. “Nevermind that's not important.

“Gak penting gimana? Itu kenapa bisa bau anjing?” Sunghoon justru kekeuh dalam membahas kalimat tersebut, ia benar-benar butuh penjelasan dari Shucy sekarang.

Karena… Bagaimana mungkin jubah yang dijual di Tanah Abang bisa berbau anjing? Bukankah cukup mencurigakan?

“Aduh maksudnya bukan gitu, intinya bahan di sini sama di sana itu beda tapi gak ada yang bau anjing kok, anjir itu ya… artinya juga macem-macem, bisa baik bisa buruk gitu.” Akhirnya Shucy terpaksa menjelaskan panjang lebar, dasar merepotkan.

“Oh gitu…” Sunghoon mengangguk saja tidak mau ambil pusing, yang penting rasa penasarannya sudah terlunaskan.

“Btw, lu nyari ginian mau masuk sekolah Hogwarts juga kah?” Shucy baru menyadari, ternyata semua perlengkapan yang ia cari disini sama halnya dengan yang dicari Sunghoon.

Berarti ada kemungkinan mereka satu sekolah mungkin satu asrama? Asik.

Sebenarnya Shucy tidak terlalu yakin dengan kata 'asrama' yang ia bayangkan, hanya saja ia terus berpikir bagaimana caranya ia pulang kalau mereka akan menghabiskan waktu selama 3 hari di Hogwarts.

Tidak mungkin kan mereka harus pulang pergi dalam waktu singkat? Terlebih lagi Shucy sempat melihat sebuah papan pengumuman yang menyatakan bahwa Diagon Alley terletak di kota London.

Sangat diluar dugaan dan ekspektasinya, jadi selama ini perpustakaan sekolahnya menyimpan rahasia besar.

“Iya! Hoonie dapet undangan buat jadi murid baru di Hogwarts.” Jawab Sunghoon sambil berjingkrak riang gembira. “Hm, pengen banget deh masuk asrama Gryffindor.”

Benar, sekolah Hogwarts memang memiliki asrama untuk para pelajarnya. Namun Shucy tidak tahu akan ada berapa banyak asrama di sana.

“Gryffindor?” Shucy memutuskan bertanya, ia penasaran juga kenapa Sunghoon ingin masuk kesana? Apakah itu termasuk asrama terbaik?

“Hu'um, asrama untuk para pemberani.” Jelas Sunghoon.

Walau nyatanya Sunghoon tidak sepemberani itu, tapi semuanya bisa saja terjadi kan? Siapa tahu ia akan berubah menjadi pemberani setelah berhasil mempelajari pengetahuan dari Gryffindor.

“Lu pemberani emang?” Shucy menahan tawa, ia spontan mengatakannya.

“Shucy ngejek Hoonie ya? Ih! Meskipun Hoonie kayak gini, Hoonie tetep pemberani kok.” Bela Sunghoon penuh percaya diri.

Shucy mendengus sembari melipat kedua tangannya. “Iya deh percaya, siapa tau lu aslinya emang pemberani.”

“Se-sebenernya…” Sunghoon menunduk, malu untuk mengungkapkan rahasianya. “Hoonie ngikutin Jungwon doang, katanya Jungwon mau masuk Gryffindor, Jungwon itu temen Hoonie satu-satunya di sana.”

Shucy menepuk dahinya. Apa-apaan coba dengan pengakuan Sunghoon barusan? Sudah ia duga, pasti pemuda itu memiliki sifat introvert. “Anjir, emang ada berapa asrama coba di sana?”

“Ada empat…” Hoonie menghitung menggunakan jarinya. “Gryffindor, Slytherin, Ravenclaw, Hufflepuff.”

Baiklah, Shucy akan mengingat hal tersebut bahwa Hogwarts memiliki empat asrama yang entah masing-masingnya melambangkan apa, setidaknya itu cukup banyak dan melampaui ekspektasinya.

“Tuh ada empat, kalo kalian gak satu asrama gimana?”

“Ya Hoonie mau gak mau harus beradaptasi di asrama itu.”

Shucy jadi kepikiran, bagaimana kalau sampai ia dan temannya berbeda asrama? Pasti akan banyak kesulitan yang akan menantinya, terlebih ia tidak tau apapun tentang dunia sihir. Apakah ia bisa bertahan sampai akhir?

“Kok Shucy bengong?” Tegur Sunghoon yang seketika membuyarkan lamunan Shucy.

“Ah nggak, kalo boleh tau asramanya itu dipilihin langsung ya dari sana?”

Dalam hati Shucy berharap para siswa boleh memilih asrama mereka sendiri, apalagi ia dan ketiga temannya di cap sebagai murid uji coba.

“Nanti ada topi seleksi yang tugasnya milihin asrama buat kita.” Jelas Sunghoon, jujur ia pun juga ingin memilih asramanya sendiri agar tidak berpisah dengan Jungwon.

“Topi seleksi? Topinya bisa ngomong gitu?” Canda Shucy.

“Iya bener.” Sunghoon mengangguk antusias.

“Sumpah?” Shucy tertohok mendengarnya, terdengar sangat tak masuk akal namun inikan dunia sihir, dimana semua hal yang mustahil bisa terjadi.

“Iya Shucy, Hoonie tau dari Jungwon.”

Lagi, nama itu terus saja terucap oleh Sunghoon. Tiap kali pemuda itu melafalkan nama Jungwon, ekspresi wajahnya langsung berubah ceria. Sebesar itukah dampak seorang Jungwon baginya?

Shucy bahkan tidak tahu bentuk wujudnya seperti apa, dimana pula pemuda bernama Jungwon itu sekarang?

“Jungwon terus, kalo dia bener temen lu satu-satunya, kemana coba dia? Ngapa lu sendirian disini?” Tanya Shucy sedikit kesal.

“Tadi kata Jungwon, dia mau cari peralatan lainnya dulu.” Ujar Sunghoon, ia jadi merindukan Jungwon.

Peralatan lainnya? Berarti ada kemungkinan Jungwon akan bertemu dengan temannya—Bella. Hm, seperti sebuah takdir saja. Shucy terkekeh kecil.

“Ketemu dong ama Bella.”

“Bella siapa?”

“Temen gua, gak penting sih, udah ah yuk cari yang lain lagi keburu malem nih!”

“Oke yuk!”

Shucy dan Sunghoon kembali melanjutkan pencarian barang mereka yang sempat terlupakan tersebut, perjalanan yang cukup memakan waktu beberapa menit hingga jam karena sibuk memilih ukuran dan kualitas yang bagus.

Untungnya, kini tinggal tersisa satu barang lagi, yaitu…

“Ah lucu banget topi runcingnya!” Sunghoon berlari mengambil salah satu topi runcing di etalase lalu mencoba memakainya.

“Seriusan kita mau pake ginian?” Shucy tak habis pikir dengan kata 'lucu' yang Sunghoon lontarkan barusan.

“Iya, lucu kan? Kita bakal jadi penyihir beneran!” Sunghoon menyodorkan topi runcing lain untuk Shucy.

Shucy terlihat enggan menyentuhnya. “Apaan? Gue berasa ikut sekte sesat.”

“Sstt… Shucy kok ngomong gitu sih?” Sunghoon terkejut mendengar perkataan Shucy yang terkesan menghina, jangan sampai orang lain dengar, itu bisa membawa masalah besar.

“Ya abis—”

“Biasalah Hoon, that mudblood will never understand the power of witchcraft and wizardry, even the beauty of the magic world through the things in it.

Suara dari seseorang itu sukses menginterupsi kegiatan Shucy dan Sunghoon.

Merasa tersindir, Shucy pun mulai membalas ucapan pemuda tersebut menggunakan bahasa yang sama.

What do you mean? Wait... is that sarcasm for me?

“Pikir aja sendiri.” Dia mengangkat bahunya acuh, kemudian dengan lancang mengambil topi runcing yang berada di genggaman Sunghoon.

Shucy mendengus, ia berbisik pada Sunghoon. “Lu kenal dia, Hoon?”

“Kenal tapi gak deket, namanya Jay.” Balas Sunghoon ikut berbisik.

“Heh, lo ada masalah sama gue? Mau cari ribut?” Pancing Shucy, ia sebenarnya bukan tipe orang yang suka mencari masalah seperti temannya—Rahma. Hanya saja pemuda bernama Jay ini sungguh menguji emosinya.

“Siapa juga yang mau cari ribut? Gue cuma mau bilang sama Sunghoon mending dia ikut gue aja, siapa tau nanti bisa masuk Slytherin bareng gue.” Tegas Jay sembari menarik tangan Sunghoon agar berada di pihaknya.

“Sunghoon mana mau.” Shucy tak tinggal diam, ia menarik tangan Sunghoon untuk kembali padanya. “Lagian lu yakin bisa masuk Slytherin?”

Jay meringis, harga dirinya serasa tengah ditantang. “Yakin, gue punya firasat bakal masuk sana, secara gue pureblood bukan mudblood kayak lo.”

Kemampuan bahasa asing Shucy memang boleh diadu, ia paham betul maksud kata mudblood yang Jay katakan berarti darah lumpur.

Tapi apa benar begitu? Memangnya ada masalah dengan darah lumpur? Mengapa pemuda tersebut sangat membencinya?

“Kalo Sunghoon apaan?” Shucy meminta penjelasan pada Sunghoon, ia sedikit mengharapkan pemuda itu juga memiliki darah lumpur, walau sepertinya mustahil.

“Hoonie pureblood juga. Bentar, jadi Shucy itu mudblood?” Sunghoon membelalakkan matanya syok, sangat lucu bagi Shucy dan Jay.

Mudblood apaan sih? Darah lumpur? Darah gue terbuat dari lumpur gitu? Wah ngaco lu!” Shucy menunjuk Jay dengan lantang, ia memang tidak memiliki rasa takut sama sekali untuk melawannya.

“Emang pemikiran gua sama lu itu beda, ketauan mana yang pinter mana yang bego.” Jay tersenyum miring, terlihat jelas ia meremehkan Shucy.

“Halah muka kek mayat hidup aja belagu!” Balas Shucy santai.

Berbeda dengan jantungnya yang sudah berdetak tak karuan, ia mengutuk dirinya karena berani mengatakan hal yang mungkin akan membuat hidupnya jatuh ke dalam petaka.

“Shucy…” Sunghoon menepuk pelan lengan Shucy, takut juga.

“Ngomong apa lu?” Jay melangkah mendekati Shucy.

“Gue? Gue bilang muka lu kek mayat hidup, datar terus gak punya otak!” Masa bodoh, ia ingin tahu sampai mana tindakan Jay berlangsung.

“Hm, gue ramal lu bakal jadi calon-calon Gryffindor, congrats.” Jay mengacak rambut Shucy layaknya seorang anak kecil lalu pergi meninggalkan mereka berdua.

“Apa? Dilan lu ramal-ramal gua? Heh! Mau kemana lo? Dasar cupu!” Shucy meniup poninya yang berantakan, ia benar-benar marah pada Jay.

“Udah ah Shucy, jangan cari gara-gara sama Jay.” Sunghoon memijat pelan bahu Shucy agar lebih tenang.

“Gak takut gua ama dia, mudblood apaan sih Hoon?” Shucy menepis tangan Sunghoon dari bahunya, tanpa sadar rasa kesalnya terlampiaskan ke pemuda tersebut.

“Maaf Shucy. Hoonie gak bisa jelasin disini, biar nanti di sekolah aja ya, please jangan marah sama Hoonie…”

“Huft… fine.


[Flourish and Blotts Bookseller]
-Toko Buku-

Setelah bertanya cukup lama pada beberapa orang di jalan, Rahma akhirnya berhasil menemukan Toko Buku tersebut.

Tanpa pikir panjang, gadis itu langsung melangkah masuk ke dalam disertai rasa kagum juga hati yang riang nan gembira, ini pertama kalinya Rahma melihat toko buku dengan nuansa antik, sangat indah.

Andai dirinya membawa ponsel, pasti Rahma sudah mengabadikan momen langka ini dan menyebarkannya di status media sosial miliknya, atau mungkin membagikannya pada Shucy.

Oh my god, this is amazing, I can't believe it! AAAGGH!” Rahma menutup mulut karena berteriak saking senangnya. “Ah, sorry.”

Rahma menghela nafas sejenak sebelum mengintip daftar buku yang harus dicarinya, jujur ia sangat benci mendapat bagian ini.

Bagaimana tidak? Bagiannya termasuk yang paling banyak di antara Bella dan Shucy.

BUKU KURSUS Semua siswa harus memiliki salinan masing-masing dari yang berikut:

  1. The Standard Book of Spells (Grade 1) by Miranda Goshawk
  2. A History of Magic by Bathilda Bagshot
  3. Magical Theory by Adalbert Waffling
  4. A Beginner's Guide to Transfiguration by Emeric Switch
  5. One Thousand Magical Herbs and Fungi by Phyllida Spore
  6. Magical Drafts and Potions by Arsenius Jigger
  7. Fantastic Beasts and Where to Find Them by Newt Scamander
  8. The Dark Forces: A Guide to Self-Protection by Quentin Trimble

“Tai.” Umpat Rahma, ia mendecak kesal.

Apakah dirinya bisa mengumpulkan buku sebanyak itu dengan waktu singkat?

Mari berhitung bersama, jika 1 orang akan mendapatkan buku sebanyak 8 buah, maka 3 orang akan mendapatkan buku sebanyak 24 buah. Wah, lumayan juga ternyata.

Seketika rasa antusias Rahma berganti menjadi rasa lemas, 24 buku bukanlah jumlah yang sedikit, apalagi ia tidak tahu akan setebal apa buku-buku tersebut.

Bukankah ini merupakan petaka baginya? Hei, tidak adakah orang yang mau membantunya membawa semua buku terkutuk itu?

Rahma mau menangis saja disini, tapi percuma juga, tidak ada yang mempedulikannya nanti. Lebih baik ia jalani dulu semua kesialan ini dengan sukarela, semoga ada orang baik yang akan menolongnya.

Beruntungnya Rahma menemukan sebuah troli belanja disana, lega sudah beban pikirannya serasa berkurang.

Memang doanya tidak pernah gagal, bahkan ia hampir bersujud syukur disana, tapi hal itu terlalu memalukan untuk dilakukan.

Rahma akhirnya lanjut mencari buku-buku itu mulai dari deretan paling atas sampai bawah.

“Kalo kaya gini mah gue gak butuh bantuan orang lain.” Ucapnya sombong.

Selama pencarian, tidak ada kendala yang Rahma alami sejauh ini. Semua buku terletak pada bagian rak yang masih bisa ia jangkau, bagus lah.

Okay next kita harus cari… Fantastic Beasts and Where to Find Them!

Ya, tidak sampai ke bagian buku Fantastic Beasts and Where to Find Them.

Tanpa disangka, buku tersebut terletak pada bagian rak yang cukup tinggi. Rahma memejamkan matanya pasrah, sangat jelas ia tidak bisa menjangkaunya.

Shit…” Rahma memanyunkan bibirnya bingung.

Namun setelahnya ada seorang pemuda yang datang mengambil buku itu menggunakan satu tangan dengan mudahnya lalu pergi begitu saja.

Tidak menyiakan kesempatan emas itu, Rahma seketika berteriak agar pemuda berbalik padanya.

“Eh tunggu kak!”

You call me?

Pemuda itu mengangkat sebelah alisnya. Satu fakta yang Rahma tangkap, dia menggunakan bahasa asing yang berarti dirinya juga harus memamerkan keahlian terpendamnya.

Ah, yes-yes, can you help me, please?

Rahma sedikit ragu mengucapkannya, rasa gugup serta detak jantungnya tidak bisa diajak bekerja sama sekarang,

Terlebih lagi pemuda itu justru mengabaikan pertanyaannya dan malah melangkah maju ke arah Rahma hingga gadis itu menabrak rak buku di belakangnya.

Firasatnya mengatakan untuk lari, namun kaki Rahma terlalu lemas melakukannya, mau pingsan juga tidak mungkin kan? Jangan sampai itu terjadi, sungguh memalukan.

Memangnya pemuda ini mau apa? Berbagai hal tidak senonoh mulai terlintas dipikiran Rahma, tolong siapapun selamatkan dirinya sekarang.

Bodohnya Rahma tidak melakukan perlawanan apapun, bahkan lidahnya terasa kelu untuk mengucapkan sepatah katapun. Apa yang terjadi? Apakah ia sedang terpengaruh sihir?

Jangan tanya visual pemuda itu, Rahma jelas tidak menolaknya, mereka bahkan terlihat seumuran.

Kalau boleh jujur, Rahma sebenarnya tidak merasa terancam sama sekali, apalagi saat pemuda itu memajukan wajahnya ke arah lehernya, ia dengan santai memiringkan kepalanya seperti memberikan aksen untuk pemuda tersebut.

Dapat Rahma rasanya deru nafas yang halus disana, membuatnya tersadar dan mendorong kasar pemuda itu menjauh darinya.

Oh, you are mudblood.” Dia tersenyum miring dan nadanya terdengar mengejek.

“Hah?”

Rahma benar-benar tidak mengerti dengan ucapan pemuda tersebut, ia bahkan masih belum paham mengapa pemuda di hadapannya ini melakukan hal aneh seperti tadi, dasar mesum.

“Heeseung, come on let's go!” Tibalah seseorang yang langsung merangkul pemuda bernama Heeseung itu. “Who's that girl?

“Ah, Niki look, she's a mudblood.” Heeseung berbisik pada Niki.

“Pfftt… seriously?

Merasa dirinya jadi bahan omongan, Rahma jelas merasa terhina. Namun kalimat 'mudblood' yang terus diucapkan oleh mereka lebih menarik perhatiannya.

Rahma tentu tahu arti dari mudblood adalah darah lumpur, memangnya apa yang salah? Tidak mungkin kan di dalam tubuhnya mengalir darah lumpur? Atau jangan-jangan…

What's wrong with a mudblood?” Tanya Rahma sembari menatap tajam ke arah mereka berdua.

Well, you gonna know someday.” Ujar Heeseung kemudian memberi kode pada Niki untuk pergi.

Yeah, bye mudblood.” Niki melambaikan tangannya.

No wait-wait, I need your help, please don't go…” Rahma terpaksa menahan pergerakan Heeseung dan Niki.

Biar bagaimanapun dirinya tengah membutuhkan bantuan saat ini, persetan dengan perilaku buruk mereka.

Heeseung dan Niki saling berpandangan sejenak, entah apa yang mereka rencanakan tapi Rahma yakin itu bukan suatu hal yang baik, ia hanya bisa memberi senyuman manis sebagai bentuk perdamaian.

What can I do for you?” Tanya Heeseung dengan nada halus, mencurigakan.

“Hm, bisa minta tolong ambilkan buku Fantastic Beasts and Where To Find Them? Tiga buku aja, soalnya saya gak sampai.”

Heeseung mengangguk, ia pun mengambil tersebut sebanyak tiga buah seperti yang Rahma katakan.

Aman, Rahma mulai berpikir mungkin mereka berdua memang orang baik.

Thank you so—

Saat Rahma hendak mengambilnya, buku-buku itu justru terjatuh ke lantai karena Heeseung tidak kuat menahan bebannya.

Sorry… it's too heavy.” Heeseung merasa bersalah.

Ya, Rahma rasa hal tersebut wajar, tiga buku setebal itu pasti sangat berat untuk dipegang, jadi tidak ada salahnya bila Heeseung merasa keberatan hingga menjatuhkan buku tersebut.

Setidaknya pemuda itu sudah mau membantunya walau terlihat terpaksa sekalipun.

No, that's ok—

Baiklah, kalau yang ini jelas melewati batas.

Rahma rela berjongkok untuk mengambil buku yang berserakan di lantai tersebut, tapi Heeseung malah menendang salah satu bukunya dengan sengaja.

Gadis itu mendongak, dapat ia lihat Heeseung tersenyum miring akibat ulahnya barusan.

Upss... sorry again.

Tak lama kemudian, Heeseung dan Niki tertawa puas.

Rahma mengepalkan tangannya, ia berdiri dan bersiap untuk memarahi pemuda tersebut.

What is wrong with you? Why are you doing this? Did I make a mistake?

The fact is…” Heeseung menyentuh rambut Rahma yang langsung ditepis kasar olehnya. “You are a mudblood and I hate it.

“Cuma gara-gara itu? Gila ya lo!” Rahma tidak lagi menjaga imagenya, persetan dengan sopan santun, tidak ada gunanya juga untuk orang seperti mereka.

“Perlu lu tau satu hal, gua itu pureblood, yang berarti derajat gua lebih tinggi dari lu, ngerti?” Jelas Heeseung penuh percaya diri sekaligus meremehkan Rahma.

“Najis.” Rahma menutup mulutnya, cukup berani juga mulutnya.

“Setidaknya gua punya hal yang bisa dibanggain, kalo lu? Gak ada kan?”

Heeseung menyenggol kasar bahu Rahma sampai rasanya ia ingin terjatuh, untung saja gadis itu berpegangan pada rak disana.

Goodbye mudblood, jangan harap hidup lu bakal tenang selama di Hogwarts.” Bisik Niki tepat di telinga Rahma lalu pergi menyusul Heeseung.

Fuck.

Rahma merasa ini memang hari kesialannya, apa coba maunya mereka? Padahal kan dirinya hanya mau meminta tolong eh malah terlibat masalah dengan mereka berdua.

Ah, Rahma tidak bisa membayangkan seperti apa kehidupannya selama di sana, apakah akan banyak kesialan yang mendatanginya nanti? Semoga saja Heeseung dan Niki melupakan wajahnya.

Gadis itu menggelengkan kepalanya, mencoba berpikir jernih, untuk sekarang mari kita bereskan dulu kekacauan yang tadi.

Let me help you…

Rahma terkejut karena tiba-tiba saja disampingnya ada seseorang berambut coklat yang ikut membantu memunguti buku tersebut, ia jadi merasa tidak enak.

No-no, it's fine, i can—

Chill, I just wanna help.” Dia memberikan senyuman manis.

Thank you so much…” Entah mengapa melihat perlakuan manis pemuda tersebut dapat membuat pipi Rahma memanas hingga tidak mampu menahan senyum.

You can call me, Jake.” Pemuda bernama Jake itu mengulurkan tangannya. Koreksi, pemuda itu meraih tangan Rahma begitu lembut.

Oh, hi Jake… My name is Rahma, nice to meet you.” Ucap Rahma formal, ternyata berbicara dengan Jake lebih menguji jantungnya.

Nice to meet you too. Ini pertama kalinya kamu ke Diagon Alley kan?” Tanya Jake mencoba mengakrabkan diri.

Rahma mengangguk antusias, sebenarnya ia agak heran juga kenapa Jake bisa tahu? Apakah semua ini ada hubungannya dengan darah lumpur? Atau Jake juga baru pertama kali kesini?

“Iya, aku dapat undangan buat jadi murid baru di Hogwarts.” Balas Rahma jujur ala kadarnya.

Ada satu titik dimana gadis itu berharap Jake akan memberinya beberapa petunjuk tentang misteri dunia sihir ini.

“Oh, sama dong kalau gitu.” Jake membantu Rahma memasukkan buku-buku tadi ke dalam troli belanja.

Mengetahui mereka akan menjadi murid baru bersama di Hogwarts, Rahma pun memiliki firasat bahwa Jake mungkin adalah kunci keberhasilannya.

Ia merasa bersyukur karena dipertemukan oleh pemuda itu, sudah berperilaku baik dan tidak sombong serta visualnya yang juga tampan.

“Serius? Gimana kalau kita pergi bareng?” Tawar Rahma secara hati-hati.

“Boleh banget.” Jake mengangguk sembari tersenyum, ia mulai mengambil alih troli belanja Rahma dan mendorongnya perlahan.

Lagi-lagi Rahma dibuat tersipu oleh oknum tersebut, mungkin kalau Rahma lupa akan imagenya ia bisa saja memeluk Jake secara brutal seperti yang biasa ia lakukan pada kedua temannya.

“Makasih lagi ya, Jake.” Rahma tersenyum menahan malu. Entahlah ia merasa dirinya mengalami sedikit perubahan layaknya seorang pick me girl.

Anyway, kalo kamu papasan sama Heeseung dan Niki lagi, gak usah ditenggepin, mereka emang anaknya minim akhlak.” Peringat Jake tersebut membuat Rahma tersadar.

“Yang tadi itu? Eh kamu liat?”

Tunggu, jadi sejak tadi Jake memperhatikan pertikaiannya bersama dua pemuda aneh itu? Sungguh memalukan, harus ditaruh mana wajah malangnya ini?

Jake menghela nafas sejenak lalu menyentuh kedua bahu Rahma agar intensi gadis itu hanya berfokus padanya. “Ya iyalah, lupain perkataan mereka yang bikin kamu tersinggung, mereka itu cuma iri sama kamu.”

Rahma mengangguk kaku serta mengedipkan matanya berulang kali untuk menghilangkan rasa gugup. “Hm, padahal kan aku cuma mau minta tolong doang.”

“Seharusnya kamu minta tolong sama aku aja.” Jake mengusap lembut bahu Rahma, menghantarkan rasa nyaman.

“Kamu telat datengnya, Jake.” Rahma cemberut seraya melipat kedua tangannya di depan dada, sebagai tanda bahwa dirinya sedang kesal pada pemuda di hadapannya sekarang.

Jake terkekeh kecil. “Sorry, lain kali aku bakal tepat waktu.”

Okay, noted that.

Rahma kembali tersenyum seperti semula, Jake memang tidak pernah gagal dalam membujuknya, sehingga rasa ingin memeluk pemuda itu pun semakin kuat dalam benak Rahma.

Tolong sampai kapan ia harus menahan ini semua? Ia sudah tidak kuat.

Rahma dan Jake kemudian melanjutkan perjalanan untuk mencari sebagian buku yang belum sempat mereka jamah.

Berkat bantuan Jake, Rahma pun merasa bebannya menjadi lebih ringan dari sebelumnya dan alhasil semua bukunya terkumpul dengan waktu singkat.

“Jake, mudblood itu apa sih? Kenapa Heeseung sama Niki bisa sampe benci banget keliatannya? Mereka juga bilang kalo aku itu mudblood.

Kata darah lumpur tersebut masih teriang-riang dipikiran Rahma, maka dari itu ia sengaja bertanya pada Jake, mungkin saja rasa penasarannya akan terjawabkan kali ini.

Jake menghela nafas sejenak, jujur ia merasa ragu untuk menjelaskan hal yang bisa membuat pendengarnya merasa tersinggung, ia tidak suka.

“Hm, biasalah, mereka berdua emang keturunan pureblood jadi wajar aja kalo mereka rada sombong.” Jake memilih jawaban aman tanpa mengungkit kata intinya, walau ia tahu itu sama saja mengalihkan topik pembicaraan.

Rahma memanyunkan bibirnya kecewa. Jake tidak memberinya jawaban pasti namun pernyataan tersebut justru membuatnya tersadar akan sesuatu… “Jake pureblood juga ya?”

“Iya, tapi kamu tenang aja, aku gak sama kok kaya mereka kok, kamu bisa jadi temen aku.” Ucap Jake tulus.

Jake benci apabila semua orang selalu beranggapan bahwa darah murni itu jahat dan tidak suka bergaul dengan darah campuran karena kebanyakan dari mereka akan menempati asrama Slytherin, dimana mereka berhasil menjadi penyihir hebat namun memiliki sifat yang licik dan sombong.

Padahal nyatanya tidak semua darah murni begitu, seperti contoh dirinya serta keluarganya yang bahkan tidak pernah menyentuh asrama Slytherin sekalipun meski mereka adalah keturunan darah murni.

Dan Jake ingin dirinya berteman dengan siapa saja, asalkan orang tersebut baik hati dan bisa dipercaya.

“Beneran?” Tanya Rahma memastikan, ada sedikit rasa senang setelah mendengar ucapan Jake barusan.

“Iya dong!” Jake dengan santainya memeluk Rahma tanpa meminta persetujuan lebih dulu.

Seakan impiannya menjadi kenyataan, Rahma pun segera membalas pelukan tersebut tak kalah erat.

Jika boleh meminta, ia ingin sekali memeluk Jake untuk waktu yang lama, berada dalam dekapan pemuda itu sangatlah nyaman bahkan sampai ia melupakan Bella dan Shucy.

“Terus kalo mudblood itu apa? Kamu belum jawab.”

Masih dengan posisi yang sama, bukan bermaksud merusak suasana, hanya saja Rahma masih penasaran.

“Kalo itu aku gak bisa jelasin sekarang, tapi kamu gak perlu khawatir, mudblood itu gak seburuk namanya kok.” Balas Jake tanpa ada niat memisah jarak mereka sedikitpun.


[Ollivander's Wand Shop]
-Toko Tongkat Sihir-

Ternyata untuk mencapai toko tongkat sihir tidaklah mudah bagi Bella, rasanya seperti habis mengelilingi Stadion Utama Gelora Bung Karno di negaranya, sangat melelahkan.

Bella kapok berjalan sendirian di area Diagon Alley, kalau bukan karena undangan Hogwarts mematikan itu, ia jelas malas melakukannya, lebih baik berada di rumah sambil merebahkan diri pada kasur tercinta.

” Aduh… ini gak ada yang mau bantuin gua apa? Masa iya gua nyari barang-barang kek gini sendiri sih? Mana gua kaga ngerti lagi.” Bella mulai misuh-misuh tak jelas, berdebat dengan pemikirannya sendiri. “Apa gua pulang aja ya? Ah, tapi gua udah sampe sini anjir.”

Dengan berat hati, Bella pun membuka isi surat miliknya, memastikan bahwa ia tidak salah dalam membaca dan mencoba memahami setiap nama barang yang harus dicarinya selama disana.

PERALATAN LAINNYA 1 tongkat sihir 1 kuali (timah, ukuran standar 2) 1 set botol kaca atau kristal 1 teleskop 1 set timbangan kuningan

Bella mengerjakan matanya berulang kali, mungkin bagiannya memang terlihat paling sedikit dibandingkan Rahma dan Shucy, namun entah mengapa kepala Bella tetap saja terasa pening setelah membacanya.

Hm, nampaknya otak mungil Bella tidak mampu menguasai hal-hal berbau sihir busuk tersebut.

Bella menepis segala pemikiran negatifnya. Yang terpenting sekarang, ia harus segera mencari semua barang aneh tersebut lalu pergi menemui kedua temannya cepat atau lambat.

Sebelum memasuki toko, Bella sempat merapalkan beberapa doa agar mendapat pertolongan dari Tuhan Yang Mahakuasa, berharap ia bisa mengumpulkannya tanpa ada kendala apapun.

Suasana dalam toko sangatlah ramai layaknya pasar pada masa dimana anak-anak akan memasuki sekolah mereka untuk pertama kalinya, memang terlihat banyak anak serta orang tua yang sedang mengantri untuk membeli berbagai keperluan mereka disini.

Bella menghela nafas pasrah, sudah lelah akibat berkeliling tak tahu arah, sekarang ia harus rela mengantri demi mendapatkan tongkat sihir pertamanya.

Sembari menunggu dalam barisan, Bella juga dikejutkan oleh bermacam adegan langka yang tidak pernah ia lihat semasa hidupnya.

Sebagai contoh, ada anak yang memecahkan kaca jendela karena—mungkin—merapalkan mantra yang salah saat mencoba tongkat sihirnya, ada pula yang membuat orang tua mereka terbang, membuat ledakan tak terduga, serta merubah dirinya sendiri menjadi tikus…

Baiklah, kalau yang itu jelas membuat Bella takut.

Apakah Bella akan berhasil melewati semua itu? Ia kembali berdoa agar diberi kelancaran, ya ampun kenapa ia seperti sedang melaksanakan ujian sih? Menyebalkan.

Saking paniknya, Bella jadi tidak sengaja menyenggol seorang anak laki-laki yang sedang mengikat tali sepatunya.

“Eh maaf dek, aku gak sengaja, kamu gak apa-apa kan?” Bella merasa bersalah, bagaimana bisa ia tidak melihat ada seorang anak kecil disampingnya, memalukan.

“Iya gak apa-apa kok kak, salah aku juga malah jongkok di samping kakak, seharusnya aku masuk barisan kakak.” Dia berdiri menghadap Bella dengan santai.

Bella semakin malu kala mengetahui tinggi anak itu yang justru jauh melebihi dirinya, ternyata dia bukanlah seorang anak kecil melainkan pemuda dewasa namun wajahnya memang terlihat lebih muda dari Bella, entahlah mungkin dia masih siswa menengah pertama.

“Ah, mau ambil tongkat sihir juga ya?” Tanya Bella mencoba berkenalan juga, siapa tahu pemuda tersebut bisa membantunya nanti.

“Iya kak bener banget, kakak juga kah?” Pemuda itu balik bertanya.

Bella mengangguk sebagai jawaban.

“Oh ya, kalo boleh tau sistemnya tuh kayak gimana sih? Soalnya gua liat dari tadi banyak orang yang gagal gitu walau akhirnya tetep dapet sih.” Bella mulai berbicara secara informal, ia memang jarang berbicara formal apalagi dengan lawan jenis.

“Nanti kita dikasih pilihan tongkat gitu, kalo tongkatnya bereaksi waktu kita pegang, berarti tongkat itu ditakdirkan buat jadi milik kita.” Jelas pemuda tersebut.

Sebenarnya, dia juga belum terlalu paham dengan prosedur pengambilan tongkat sihir di Ollivander's Wand Shop. Hanya saja mendengar pengalaman dari kedua orang tuanya, membuatnya memiliki gambaran bahwa mendapatkan tongkat sihir untuk pertama kalinya tidaklah begitu sulit.

“Oh, jadi kita gak perlu milih sendiri kan? Atau bilang kek jenis tongkat apa gitu?” Tanya Bella memastikan.

Sungguh, ia benar-benar takut akan mengubah dirinya menjadi hewan aneh dan tidak bisa kembali ke wujud semula.

“Iya gak usah, baru pertama kali dateng kesini ya? Pasti mau masuk sekolah Hogwarts juga.” Tebak pemuda itu, karena pada dasarnya dia juga akan menjadi murid baru disana, sebuah kebetulan kah?

“Iya anjir, mana gua kaga tau apa-apa lagi disini, nemu nih toko aja udah bersyukur banget.” Bella mengungkapkan segala keluh kesahnya, ia menyesal sudah mengikuti jejak kedua temannya, ini seperti petaka baginya.

“Sama gua juga baru pertama kali kesini kak, temen gua pada mencar katanya biar cepet dapet barangnya.” Ujarnya sekedar basa basi. Entahlah menyebut kata teman membuatnya sedikit khawatir dengan temannya itu, apakah dia akan berhasil sendirian? Semoga saja.

“Lah sama, temen gua juga pada mencar begitu.” Timpal Bella, ia merasa semuanya mulai berkaitan satu sama lain, mungkin doanya mulai dikabulkan.

“Jodoh kali kak.”

“Hah?”

“Bercanda hehe…”

Apa coba maksudnya tadi? Hampir saja jantung Bella keluar akibat mendengar bercandaannya barusan. Dasar bocah, tidak bisa ditebak kearah mana tujuan pembicaraannya, menyebalkan.

Hening, pemuda itu menyesal sudah menggoda Bella, biar bagaimanapun mereka kan baru berkenalan—eh mereka bahkan belum mengetahui nama masing-masing, bodoh sekali.

“Kalo boleh tau nama kakak siapa?” Pemuda tersebut mencoba mencairkan suasana, berharap Bella tidak marah akibat ulahnya tadi.

Bella menoleh ke arahnya. Benar juga, ia belum sempat memberi tahu siapa namanya.

“Nama gua Bella, kalo lu siapa?”

“Jungwon.”

“Umur berapa?”

“16 tahun.”

Jadi mereka seumuran? Sulit dipercaya. Pasalnya wajah pemuda bernama Jungwon itu memang terlihat sangat muda dibandingkan Bella, tapi bukan berarti wajahnya terbilang sangat tua, hanya saja ia merasa dikhianati oleh fakta.

“Oh seumuran ternyata, gua kira lu lebih muda.”

Jungwon juga tidak menyangka mereka akan seumuran, tapi sekali lagi, bukan berarti Jungwon menganggap wajah Bella terlihat lebih tua, melainkan karena gaya bicara Bella yang terkesan lebih dewasa dan barbar.

Lagipula, rata-rata orang yang sering ditemui Jungwon memang terbukti lebih tua serta postur tubuh mereka yang juga lebih pendek darinya, jadi tidak ada salahnya kan?

“Keliatan masih baby face kah?” Tanya Jungwon penuh percaya diri, ia merasa bangga sudah dipuji awet muda.

“Iya, kek anak SMP anjir, kan anak SMP jaman sekarang pada tinggi-tinggi.” Bella jadi iri mengetahui kenyataan pahit ini, walau sebenarnya ia lebih tinggi daripada Rahma dan Shucy, ya setidaknya hal itu yang bisa ia banggakan.

“Makasih loh, lu juga keliatan baby face kok.” Puji Jungwon supaya Bella kembali ceria.

“Ah, gua mah babi face kali.” Bella berdecak kesal, ia tidak butuh pujian karena itu sama saja omong kosong.

“Hahaha… bisa ngelawak juga lu, Bel.” Jungwon tertawa geli, baru kali ini ia mendengar seseorang menistakan dirinya sendiri.

“Et kaga ngelawak ini gua, emang faktanya begitu.” Bella memutar matanya malas, ternyata Jungwon termasuk ke dalam orang yang receh.

“Gak ah, muka lu cantik gitu.”

“Hah?”

Lagi-lagi Bella dibuat terkejut oleh kalimat mematikan Jungwon, sebenarnya apa sih maksud pemuda tersebut?

Ya, disatu sisi Bella menganggap itu sebagian bentuk dari candaan semata, namun disatu sisi Bella sedikit tersipu mendengarnya.

Apakah Jungwon sedang menggodanya? Atau memang tulus mengucapkannya? Tolong, Bella jadi bingung harus bereaksi bagaimana.

“Eh ayo maju sekarang giliran kita yang ngambil.” Jungwon mendorong pelan tubuh Bella untuk maju ke depan.

Wow, ternyata mengobrol dengan Jungwon bisa membuatnya lupa waktu, lihat saja sekarang sudah waktunya giliran mereka.

“Halo Bella dan Jungwon… Selamat datang di Ollivander's Wand Shop, dimana kalian berdua akan mendapatkan tongkat sihir untuk pertama kalinya, perkenalkan nama saya Garrick Ollivander.” Ucap sang pemilik toko disertai senyuman ramah khas miliknya.

Bella sontak membelalakkan matanya, ia menatap Jungwon dengan pandangan takjub. Sehebat itukah dunia sihir sampai pemilik tokonya saja mengetahui nama mereka berdua tanpa bertanya.

“Kok bisa tahu nama kita?” Tanya Bella saking syoknya.

“Oh tentu saja, semua nama calon penerus Witchcraft and Wizardry sudah tercetak rapi di daftar murid terbaru Hogwarts tahun ini.” Jelas Ollivander sembari melipat kedua tangannya bangga.

“Oh gitu, keren…” Bella mengangguk paham.

“Baiklah, mari kita mulai sesi pemilihan tongkat sihirnya, siapa yang mau mencoba lebih dulu?” Tanya Ollivander memandang Bella dan Jungwon secara bergantian, jujur ada rasa khawatir dalam benaknya kala melihat Bella.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa kini Hogwarts membuat peraturan baru yang bertajuk 'Hogwarts Trial' atau 'Uji Coba Hogwarts' dalam selang waktu 3 hari.

Dimana mereka mencari 3 anak muggle yang nantinya diuji apakah mereka mampu menjadi penyihir hebat atau malah sebaliknya.

Dan apabila mereka tidak layak menjadi penyihir hebat di sana, maka dengan sangat disayangkan, mereka harus dipulangkan ke rumah masing-masing. Namun apabila mereka berhasil, maka mereka akan menetap dan menjadi murid Hogwarts secara permanen.

Hal ini bertujuan untuk menghindari kejadian mengerikan beberapa tahun lalu, atau bisa dibilang 'You-Know-Who'.

“Saya!” Jungwon mengangkat tangan tanpa ragu.

“Hm… Jungwon, tunggu sebentar.”

Ollivander pun berjalan untuk mengambil beberapa tongkat sihir dari dalam lacinya. Cukup dengan melihat wajah dan mengetahui nama Jungwon, Ollivander sudah bisa membaca tongkat seperti apa yang layak dimiliki pemuda tersebut.

“Saya punya 2 opsi untuk kamu.”

Ollivander menjejerkan dua jenis tongkat dengan warna dan bentuk yang berbeda, semuanya sangat cantik juga unik.

Jungwon menelan salivanya kasar, seharusnya ia sudah tidak kaget lagi mengetahui kemampuan sihir dari Ollivander, tapi kali ini sungguh membuatnya terharu.

Bagaimana tidak? Dua tongkat di hadapannya ini memiliki warna yang sangat disukai Jungwon, biru dan oranye.

“Pertama, tongkat yang terbuat dari alder gilly weed and gold flakes, silahkan dicoba.” Ollivander menyerah tongkat itu pada Jungwon.

Bella melongo mendengar material dari tongkat tersebut, bahasa yang sulit dimengerti semoga harimu menyenangkan.

Jungwon menggelengkan kepalanya mencoba fokus dalam menguasai tongkat di tangannya sekarang, terlihat sangat mustahil bisa menggunakan tongkat sihirmu untuk pertama kalinya, namun itulah yang ia rasakan.

Saat sudah siap, Jungwon mulai mengayunkan tongkat itu hingga hal yang tidak diinginkan pun terjadi.

Tongkat tersebut membuat barang-barang disekitar mereka terbang kemudian terlempar ke sembarang arah. Bella bahkan ikut kena imbasnya, kepalanya tertimpa buku cukup keras.

“Wanjir serem juga Won tongkat lu.” Bella mengusap kepalanya yang terasa sakit, ia tidak bisa menyalahkan Jungwon, toh pemuda itu juga baru belajar.

“Oh, tidak cocok rupanya.” Ollivander menyentuh dagunya mengerti.

“Hah? Gak cocok?” Jungwon melempar tongkat itu ke meja, melihat kekacauan yang disebabkan oleh tongkat tersebut membuat Jungwon takut memegangnya lagi.

“Silahkan coba opsi kedua, tongkat ini terbuat dari tumbuhan larch and pixie eggs.

Tanpa pikir panjang Jungwon langsung mengayunkan tongkat itu seperti sebelumnya, kali ini tidak ada kekacauan yang terjadi, hanya ada hembusan angin yang muncul di sekitar mereka.

“Salah juga kah yang ini?” Jungwon menatap Ollivander bingung.

Bella sama bingung dengan Jungwon, ia bahkan menyentil pelan tongkat tersebut agar menunjukkan reaksi lain namun nihil.

“Selamat Jungwon, sekarang tongkat ini resmi menjadi milik kamu.” Ollivander bertepuk tangan bangga, memang pilihannya tidak pernah salah.

“Ah serius Pak? Terima kasih banyak, saya suka sekali warnanya.” Jungwon tidak bisa menyembunyikan rasa bahagianya, ia memejamkan mata seraya menempelkan ujung tongkat itu pada keningnya.

“Ya, dia sendiri yang memilih siapa tuannya, jadi tolong dijaga baik-baik ya.” Ollivander turut senang melihat Jungwon bagaikan bertemu dengan soulmatenya.

“Ayo Bella, sekarang giliran lu!” Jungwon mengguncang bahu Bella secara brutal, ia penasaran dengan tongkat yang akan Bella dapat.

“Kalo gak ada tongkat yang milih saya gimana pak?” Tanya Bella pesimis.

Seorang Jungwon saja bisa ditolak oleh satu tongkat, bagaimana dirinya nanti? Pasti akan banyak tongkat yang menolaknya, secara ia bukanlah sosok yang terlahir di dunia sihir.

“Kamu belum juga mencoba, kenapa sudah pesimis?” Ollivander menggelengkan kepala sembari terkekeh kecil, ia sudah menduga sifat Bella.

“Ya, soalnya… tadi aja ada tongkat yang nolak Jungwon, gimana saya? Pasti lebih banyak.”

“Kamu tidak perlu khawatir Bella, setiap calon penyihir hebat pasti akan ada tongkat yang memilihnya sebagai teman seperjuangan hidupnya, jadi apa salahnya untuk mencoba?”

Bella pun tersadar, tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini.

Sekarang bukanlah waktu yang tepat untuk menyerah, ia harus yakin dengan tujuannya, ia harus menunjukkan pada semua orang bahwa dirinya bukanlah beban atau orang yang bodoh, ia harus membuat perubahan dalam hidupnya, jika ia tidak mencoba maka ia tidak akan pernah tahu bagaimana masa depannya kan?

Bella menoleh ke arah Jungwon yang langsung memberinya anggukkan mantap.

“Iya juga sih, oke, saya coba!” Bella menegakkan badannya, mencoba rileks dan fokus.

“Baik, tunggu sebentar…” Ollivander kembali tersenyum melihat kegigihan Bella, ia berjanji akan memberikan tongkat terbaik untuk gadis tersebut.

“Lu gak usah tegang gitu, gua yakin tongkat lu bakalan lebih bagus dari gua.” Jungwon memberi dukungan supaya Bella percaya diri.

“Gak tau lah Won, perasaan gua gak enak.” Meski Bella sudah berusaha berpikir positif namun tetap saja hatinya terasa janggal.

“Heh, kan udah dibilangin jangan pesimis, yakin aja.”

“Gua aja gak tau apa-apa soal dunia sihir, gimana gua bisa dapet tongkat yang bagus?”

Mata Bella mulai berkaca-kaca, ia tahu dirinya tidak sekuat dan sepemberani Rahma ataupun Shucy, berada disini saja rasanya seperti mimpi, apa benar semua ini hanyalah mimpi? Bolehkah ia bangun sekarang?

Jungwon juga pernah berada diposisi Bella. Dimana ia selalu berpikir pesimis untuk mendapatkan tongkat pertamanya, bahkan ia sempat berpikir dirinya ini mungkin tidak pantas berada di sekolah Hogwarts, tapi Jungwon yakin pasti masih ada harapan untuk dirinya nanti.

“Bisa, justru ini awal mula lu jadi penyihir hebat.”

“Tapi Won—”

“Bella, saya punya 5 opsi untuk kamu.”

Benar saja, Ollivander menjejerkan 5 buah tongkat dengan warna dan bentuk yang berbeda, semua warnanya sangat cantik hingga menarik perhatian Bella, tidak bisakah ia memiliki semuanya?

Eh tunggu, apa katanya tadi? 5 opsi? Mengapa Bella harus dihadapkan dengan tongkat sebanyak ini? Bagaimana jika semuanya menolak Bella? Itu akan sangat memalukan sekali.

“Lima!? Banyak banget?” Jujur Bella agak senang juga makin pesimis

“Ini hanya opsi cadangan jika semuanya gagal, tapi semoga saja salah satu tongkat akan memilihmu dengan cepat.” Ollivander menyentuh dagunya tak yakin.

Sebenarnya pria paruh baya itu ingin menguji kemampuan Bella dalam memilih kelima tongkat tersebut, karena menurutnya Bella bisa saja memiliki semuanya jika dirinya sangat fokus dan bertekad kuat.

“Ih bapak aja gak yakin, gimana saya.” Bella berdecak kesal.

“Silahkan coba ini dulu. Tongkatnya terbuat dari spruce and clover.” Ollivander menyerahkan tongkat itu pada Bella.

Bella menghela nafas panjang dan berdoa dalam hatinya, berharap agar percobaan pertama ini akan berjalan lancar.

Ketika Bella mulai mengayunkan tongkat itu secara hati-hati, tanpa disangka tongkat tersebut justru mengeluarkan ledakan hingga membuat wajah Bella dan Jungwon terkena debu hitam.

“BHAHAHAHA BELLA MUKA LU JADI ITEM!” Jungwon tertawa kencang, tidak tahu saja kalau wajahnya juga hitam.

“ADA MASALAH APA SIH LU AMA GUA!?” Omel Bella pada tongkat itu.

“Oke, tenang-tenang, biar saya ambil ya tongkatnya, dia memang sedikit agresif.” Ollivander meraih tongkat tersebut.

Pria paruh baya itu jadi ikut tertawa melihat wajah Bella dan Jungwon yang berubah hitam layaknya bokong panci.

“Silahkan coba yang ini, dia terbuat dari almond and gallions.”

“Awas ye lu nolak gua.” Ancam Bella sebelum mencoba tongkat keduanya itu.

Dengan rasa cemas Bella kembali mengayunkan tongkat sihirnya, dan terjadilah kejadian yang makin membuat Bella trauma…

Tongkat tersebut mengeluarkan api hingga mengenai meja di hadapannya, semua orang yang berada di dalam toko pun mulai berlarian dan berteriak panik.

“KEBAKARAN! KEBAKARAN!”

“SIRAM AIR!”

BYUR!

Jungwon dengan sigap menyiram kebakaran yang sebenarnya kecil itu menggunakan air dari vas bunga dekat meja.

“Udah lah Pak saya nyerah, keknya bener deh semua tongkat bakal nolak saya.” Bella menunduk pasrah, sepertinya ia memang tidak berpotensi dalam dunia sihir.

“TUNGGU! MASIH ADA TIGA LAGI!” Bujuk Ollivander, ia yakin pasti masih ada harapan untuk Bella.

Bella tersenyum paksa, ia pun mengikuti kemauan Ollivander dengan mencoba ketiga tongkat lain. Semoga ia cepat menemukan tongkat sihir yang akan menjadi soulmatenya di Hogwarts.

Namun sayang, percobaan ketiga dan keempat juga sama gagalnya, mereka semua menolak Bella.

Kini tersisa tongkat kelima dimana tongkat tersebut memiliki warna hitam bercampur putih, sangat keren menurut Bella, namun ia takut tongkat tersebut juga akan menolaknya.

“Saya pulang aja lah Pak.” Bella membalikkan badannya, berniat pergi dari sana.

“Masih ada satu lagi Bel, jangan pergi dulu.” Jungwon menahan lengan gadis itu.

Walaupun mereka baru saling mengenal, Jungwon bersedia menemani dan mendukung Bella dalam menghadapi semua tongkat sihir busuk itu sampai Bella benar-benar mendapatkan tongkatnya sendiri.

“Ya Bella, yang ini saya yakin kamu akan berhasil.” Ollivander juga masih setia melihat perkembangan Bella dalam memilih tongkat sihirnya.

“Terbuat dari apa dia? Bunga mawar?” Bella harap ini akan menjadi akhir dari pencariannya, ia sudah cukup lelah melawan semua tongkat barusan, ia hanya ingin merebahkan diri sekarang.

Ebony and fairy wing.

“Fairy? Peri? Mereka beneran ada?” Bella menutup mulutnya tak percaya, ternyata makhluk mitologi semasa kecilnya itu benar-benar ada di dunia sihir, pokoknya ia harus melihatnya sekali dalam seumur hidup.

“Ada Bel, mereka tinggal di hutan terlarang—”

“Sstt.. silahkan dicoba, ini kesempatan terakhir kamu, Bella.” Ollivander menginterupsi pembicaraan mereka agar Bella kembali fokus pada tujuannya.

“Kalo saya gagal lagi, berarti saya beneran gak punya tongkat dong?”

“Kita cari lagi yang lain.”

Bella mengangguk paham, tak lupa ia berdoa dengan sungguh-sungguh sebelum mencoba tongkat terakhirnya itu, dan kali ini semuanya berbeda, hembusan angin keluar mengelilingi mereka.

“Akhirnya, selamat Bella, kamu berhasil mendapatkan tongkat sihir untuk pertama kalinya.”

“AAAAAAAA JUNGWON!”

“BELLA!”

Bella tanpa sadar memeluk Jungwon saking senangnya, Jungwon juga turut senang dengan keberhasilan Bella.

“GUA BERHASIL ANJING! HUWA GUA SENENG BANGET!”

“IYA SELAMAT!”

Setelahnya Bella pun tersadar akan ulahnya tersebut, ia segera melepas pelukannya dan menjaga jarak dengan Jungwon, sungguh memalukan.

“Maaf, gua terlalu excited.” Bella merutuki kebodohannya.

“Iya gak apa-apa, santai.” Jungwon menggaruk tengkuknya canggung, ia sendiri tidak sadar sudah memeluk Bella saking senangnya.

“Sekali lagi, selamat untuk kalian berdua, semoga kalian juga akan mendapat asrama yang terbaik di Hogwarts.”

Ollivander merasa tugasnya sekarang sudah selesai, akhirnya kedua murid baru itu bisa memiliki tongkat sihir mereka sendiri.

“Terima kasih banyak ya Pak atas bantuannya.” Ucap Jungwon sembari membungkuk.

“Terima kasih banyak ya Pak, saya gak tau lagi deh kalo gak ada Bapak bakal gimana, saya mau nangis.” Bella mengusap sudut matanya yang sedikit berkaca-kaca.

“Iya sama-sama, Bella dan Jungwon.”

“Oh ya pak, ini gak bisa wakilin buat temen saya gitu pak?” Tanya Bella, ia baru ingat dengan amanah kedua temannya untuk mengambilkan tongkat mereka.

“Maaf, tidak bisa. Temanmu harus mengambil tongkatnya sendiri, karena seperti yang sudah kamu hadapi, para tongkat sihir akan memilih tuannya sendiri.” Jelas Ollivander.

“Yah, iya juga. Oke deh, sekali lagi terima kasih ya pak Ollivander.”

You're welcome, have a nice day.

Bella dan Jungwon pun pamit dari sana.


[Diagon Alley]

Tak terasa perjalanan mereka di Diagon Alley bisa memakan waktu begitu lama hingga hari sudah sore.

Segala macam perlengkapan yang dicari Bella, Rahma, dan Shucy cari sudah terkumpul dengan sempurna, tentunya berkat bantuan teman-teman baru mereka.

Sesuai perjanjian, mereka berkumpul kembali di dekat air mancur putri duyung, tempat terakhir kali mereka bertiga berpisah.

“Gimana guys? Udah dapet semua kan?” Shucy meneguk minuman dingin yang baru saja dibelinya saat bersama Sunghoon.

“Udah nih bukunya banyak banget, untung tadi gua ditolongin orang.” Keluh Rahma, tidak lagi deh ia mau mengumpulkan buku-buku terkutuk ini, mana ia mengalami nasib sial disana.

“Bagus, nih gua juga udah dapet seragam buat kalian, semoga aja pas ukurannya.” Shucy menunjuk troli belanja miliknya. Meski hanya mengunjungi satu toko, ini mampu menguras emosi dan tenaganya.

“Asik! Oh ya, tongkat sihirnya gak bisa diwakilin, harus kalian sendiri yang ambil.” Jelas Bella.

“Yah, kok gitu?” Rahma kecewa berat.

“Iya anjir, soalnya itu tongkat bakal milih sendiri pemiliknya, gua aja tadi ditolak empat tongkat.” Bella sampai bergidik ngeri kala mengingat pengalaman tragisnya.

“Lah ngakak, jadi penasaran.” Shucy mengambil tongkat sihir milik Bella, sangat cantik walau dibalut warna hitam dan putih.

“Muka lu serem kali Bel, makanya tuh tongkat pada kaga mau ama lu.” Ledek Rahma sembari tertawa geli.

“Anjir lu.” Bella ingin sekali memukul kepala temannya itu, belum saja dia merasakan bagaimana dampaknya ketika memilih tongkat gila disana.

“Terus kita kemana sekarang?” Tanya Shucy saat merasa mereka mulai hilang arah.

“Tadi gua dikasih tau orang katanya kita harus naik Hogwarts Express buat pergi ke Hogwarts School.” Balas Rahma, lebih tepatnya ia tahu informasi tersebut dari Jake yang menunjukkan sebuah tiket kereta api padanya.

“Et ribet, sekarang gua tanya, gimana cara kita naik Hogwarts Express?” Kini Bella yang balik bertanya.

“Nah ntu dia gua kaga tau, hehe…” Rahma menggaruk tengkuknya, Jake belum memberitahunya lebih detail.

“Ya udah mending lu anterin kita ngambil tongkat sihir dulu dah, biar nanti kita tanya orang sana aja.” Usul Shucy.

“Iya juga ya, gua saranin kalian kudu baca bismillah sih biar tongkatnya gak brutal.” Saran Bella.

Chill.” Ucap Rahma dengan segala kesantuiannya.

Pertama, Bella mengantar Rahma dan Shucy pergi ke toko tongkat sihir alias Ollivander Wand Shop untuk mendapatkan tongkat sihir pertama mereka.

Tak jauh berbeda, Shucy juga mengalami sedikit kesulitan saat mencoba beberapa tongkat pilihan Ollivander disana, hingga akhirnya pada percobaan ketiga ia berhasil mendapatkan tongkatnya sendiri.

Anehnya, Rahma adalah satu-satunya orang yang berhasil mendapatkan tongkat sihirnya hanya dengan sekali percobaan, bahkan gadis itu sendiri pun sama bingungnya.

Ollivander sangat takjub melihat kemampuan dari ketiga murid Uji Coba Hogwarts yang memiliki keunikan masing-masing.

Kedua, Bella, Rahma, dan Shucy tidak sengaja bertemu seorang pria berjanggut dengan postur badan yang cukup besar dibandingkan mereka bertiga.

Pria tersebut mengaku bernama lengkap Rubeus Hagrid, beliau adalah pengawas hewan liar di Sekolah Sihir Hogwarts dan belakangan diangkat sebagai Guru Pemeliharaan Satwa Gaib sebagai tambahan atas tugas-tugasnya.

Hagrid diutus untuk membantu mereka mencari burung hantu serta mengantar ketiga gadis itu menuju ke Stasiun kereta London King's Cross.

Stasiun King's Cross dianggap sebagai salah satu stasiun kereta utama yang melayani London, Inggris.

Sesampainya mereka disana, Hagrid memberikan tiga buah tiket Hogwarts Express pada Bella, Rahma, dan Shucy.

Tiket Hogwarts Express adalah tiket yang diberikan kepada semua orang yang menghadiri Hogwarts School of Witchcraft and Wizardry untuk pertama kalinya.

Murid-murid Hogwarts School of Witchcraft and Wizardry akan menaiki mesin uap merah tua yang diberi nama Hogwarts Express menuju Hogwarts dari Platform 9¾.

Setelah selesai memberikan beberapa penjelasan, Hagrid pun pamit meninggalkan Bella, Rahma, dan Shucy dengan penuh tanda tanya di benak mereka.

Ketiga, tujuan mereka sekarang adalah menemukan peron 9¾ yang pada dasarnya sangat aneh jika didengarkan berulang kali, dan akan lebih aneh jika peron itu benar-benar ada.

Mereka bahkan sempat bertanya pada beberapa orang dan pekerja disana namun tidak ada satupun yang mengetahui tentang peron gaib tersebut.

“Kak, numpang tanya, peron 9¾ ada di sebelah mana ya?” Tanya Rahma pada salah satu orang yang juga tengah membawa troli belanja.

“Gak ada, disini stasiun akhirnya Tanah Abang.”

“Hah?”

“Bercanda hehe, ikut aku aja yuk, aku juga mau kesana kok.”

“Ah oke kak, makasih banyak ya.”

Beruntung ada seorang gadis bernama Ryujin yang berbaik hati membantu mereka, Ryujin mengajari mereka cara memasuki peron tersebut dengan baik dan benar.

Untuk mencapai peron 9¾, seseorang harus berlari lurus ke arah dinding di antara peron 9 dan 10.

Dan benar saja, Bella, Rahma, dan Shucy berhasil melewatinya hanya dengan sekali coba. Intinya sih berterima kasihlah pada Ryujin.


[Hogwarts Express]

Bella, Rahma dan Shucy sudah berada di dalam kereta yang nantinya akan berangkat menuju Hogwarts.

Sayangnya ketiga gadis itu harus berpisah dengan Ryujin, padahal mereka sangat ingin menempati gerbong dan tempat duduk bersamanya.

Lanjut mencari tempat duduk, interior di dalam kereta ini benar-benar berbeda dari yang ada di negara mereka, setiap kursi dilengkapi dengan pintu seperti layaknya sebuah ruangan.

Shucy berjalan lebih dulu, ia memeriksa apakah masih ada ruangan kosong untuk mereka bertiga, namun nyatanya sudah banyak ruangan yang ditempati oleh orang lain.

“Kita mau duduk dimana dong?” Tanya Bella khawatir, ia jelas tidak mau berdiri sepanjang perjalanan, bisa encok nanti.

Tiba-tiba Rahma berlari dengan antusias, rasanya ia melihat sebuah ruangan kosong tidak jauh dari tempat mereka berdiri, untungnya setiap ruangan disini sama, berisi sekitar dua buah kursi yang saling berhadapan.

Namun ketika Rahma hendak menyentuh gagang pintu ruangan tersebut, seseorang sudah lebih dulu mencurinya, dasar curang.

So we meet again, mudblood.

Rahma melangkah mundur, menengok ke arah belakang sebagai tanda meminta pertolongan pada kedua temannya, ia cukup tahu siapa pemilik suara yang terdengar sarkas tersebut.

Siapa lagi kalau bukan Heeseung dan Niki menyebalkan itu, eh tunggu mereka ketambahan satu orang…

Masa bodoh, Rahma tidak mau mengenal ataupun berurusan dengan mereka lebih jauh.

“Gua duluan yang liat ruangannya, Heeseung.” Rahma berusaha bersikap setenang mungkin.

Kali ini Rahma tidak mau ada keributan di antara mereka, ia ingat pesan Jake, jangan pernah mencari masalah dengan Heeseung.

“Hai, lu tau nama gua? Gua bahkan belum tau nama lu, gimana kalo kita kenalan dulu?” Heeseung mengulurkan tangannya.

Entah kenapa Rahma sudah tidak bisa mempercayai pemuda ini setelah apa yang dia lakukan di Diagon Alley, alhasil ia memilih diam tanpa membalas sepatah katapun.

Fine then.” Heeseung menurunkan kembali tangannya. “Gua duluan yang pegang pintunya jadi otomatis ruangan ini milik gua, lu mau apa?”

“Gak lah, curang! Pokoknya ruangan ini punya gua!” Rahma mulai tersulut emosi, biar bagaimanapun dirinya ini tidak bisa menghindari keributan.

Oh really? Do you know the spell to open this door?” Heeseung tersenyum miring.

Rahma mengerutkan dahinya bingung, ia menatap ke arah pintu yang nampaknya memang terkunci dari dalam, ia mengerti maksud Heeseung.

Mereka semua hanya diberi tiket namun tidak diberi kunci, yang artinya mereka harus membuka pintu ini dengan kemampuan sihir mereka.

Spell? Mantra?”

“Iya, kalo lu bisa ya silahkan aja ambil ruangannya, tapi kalo lu gak tau sama sekali ya gua dengan sangat terpaksa harus ambil alih ruangan ini.”

Gawat, Rahma bahkan belum tahu satu mantra pun, bagaimana mereka bisa mendapatkan ruangan kalau begini? Tidak mungkin mereka harus berdiri selama perjalanan

“Kenapa diem?” Tegur Heeseung, ia menatap ke arah Niki dan Jay yang sudah tidak kuat menahan tawa.

“Dia pasti gak tau apa-apa soal mantra.” Remeh Jay.

Ya, Jay telah resmi menjadi bagian dari anggota mereka, dan akan dipastikan mereka bertiga bisa masuk ke dalam asrama Slytherin berkat sifat arogan yang mereka miliki.

“Iyalah secara dia mudblood.” Niki senang sekali melihat lawan mainnya mati kutu.

Excuse me, who you? Jelas-jelas tadi temen gua duluan yang dapet nih ruangan, ngapa jadi lu yang ambil?” Shucy maju menantang mereka, enak saja temannya di tindas begitu.

“Gua gak ngambil kok, gua cuma mau bikin kesepakatan kalo temen lu bisa buka pintunya ya udah silahkan ambil.”

“Tinggal buka doang kan?” Bella mencoba membuka pintu tersebut namun nihil, ia juga menendangnya cukup keras dan tetap saja tak ada perubahan. “Loh kok gak bisa dibuka? Wah berarti gak bisa ditempatin dong ruangannya?”

“Pfft…” Mereka menertawakan kelakuan random Bella.

“Ngapa lu semua ketawa?” Bella menatap tajam mereka semua.

“Dasar mudblood.

“Heh, kalo orang gak tau tuh ya dikasih penjelasan gitu, jangan malah diketawain doang!” Shucy muak mendengar omongan busuk mereka, andai ia bisa tahu satu mantra untuk membuat mulut orang diam maka ia akan mengucapkannya sekarang.

“Tau lu, apaan coba manggil kita mat blot mat blot? Lu kira gua bolot? Gak ye!” Bahkan seorang Bella yang biasanya jarang ikut campur pun ikut tersulut emosi, ia ini sudah tidak paham bahasa inggris ditambah harus menghadapi tiga orang yang minim akhlak, sial sekali.

Heeseung mulai mengeluarkan tongkat sihirnya yang dibalut warna ungu bercampur putih, ia mengayunkan tongkat tersebut lalu merapalkan sebuah mantra yaitu…

Alohomora

Dan pintu itu pun terbuka begitu saja.

“Lah?” Bella dan Shucy saling berpandangan, mereka terkejut sekaligus kagum melihat kejadian ajaib di depan mata mereka secara langsung.

“Ayo kita masukkk…” Sorak Jay.

“Wleee… kita duluan yang dapet.” Ledek Niki.

Jelas ekspresi menyebalkan wajah mereka membuat Bella dan Shucy merasa terhina.

Rahma mengepalkan tangannya, kenapa ia harus bertemu dengan Heeseung lagi sih? Tidak bisakah pemuda itu membiarkan harinya tenang sekali saja? Memang apa salahnya hingga membuat Heeseung begitu membencinya?

The fact is… you are a mudblood and i hate it.

Rahma mengingat kalimat yang pernah Heeseung ucapkan padanya, seburuk itukah julukan darah lumpur di dunia sihir ini? Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa pemuda itu bisa menyebutnya darah lumpur? Mencurigakan.

“Ya, semoga masih ada tempat kosong buat kalian para mudblood, oh atau kalian mau gabung sama kita? Sebagai bentuk perkenalan?” Tawar Heeseung dengan senyumnya yang menyebalkan.

“Gak sudi satu ruangan sama orang-orang prik, ayo kita pergi!” Ajak Shucy berjalan meninggalkan mereka lebih dulu, seperti biasa.

Niki melihat tali sepatu Bella yang terlepas, ia pun mengambil kesempatan untuk menginjaknya hingga membuat gadis itu tersungkur ke lantai.

“Aduh!” Ringis Bella, ia tidak menyangka bahwa dirinya akan menjadi target bully disini.

“Woy! Lu apain temen gua, anjing!?” Rahma menarik seragam Niki.

Persetan dengan pesan Jake, ia sudah gatal untuk menghajar Niki dan teman-temannya sekarang juga.

“Bukan gua, salah temen lu sendiri tali sepatunya gak diiket.” Niki menampilkan senyum miring mematikannya.

“Bajingan—”

Saat Rahma hendak melayangkan satu pukulan ke wajah Niki, Bella dengan sigap menahan gerakannya, karena percuma, Rahma tetap akan kalah dari Niki.

“Eh udah ah jangan cari keributan Rahma, inget dia laki, kalo lu berantem sama dia juga lu yang bakal kalah.” Bisik Bella menyadarkan Rahma.

Lagipula mereka ini kan murid baru, masa sudah mencari masalah dimana-mana, bisa dicap murid berandalan nanti.

Daripada meladeni ketiga pemuda aneh yang tidak ada habisnya itu, lebih baik mereka segera menyusul Shucy yang sudah hilang entah kemana.

“Kok lu bisa kenal sama mereka sih?” Tanya Bella, tak heran juga sih kalau Rahma bisa berurusan dengan ketiga orang tadi, gadis itu kan suka membuat keributan.

“Gak sengaja ketemu di toko buku.” Balas Rahma sembari mengintip setiap ruangan mencari keberadaan Shucy.

“Gak sengaja ketemu di toko seragam.”

Bella dan Rahma hampir saja berteriak kala melihat Shucy yang dengan santainya bersandar pada tembok pembatas gerbong.

“Shucy! Lu ngagetin aja anjir!” Omel Rahma, kenapa temannya itu suka sekali muncul di sembarang tempat.

“Lah, lu berdua dari mana? Lama amat.” Shucy tahu kedua temannya itu nyaris terlibat perkelahian dengan ketiga pemuda tadi, ia juga ingin bergabung sebenarnya, hanya saja dirinya sudah terlalu lelah untuk melawan.

“Noh, temen lu mau ribut ama orang tadi.” Adu Bella.

“Eh tapi keren loh pintunya langsung kebuka pas dia bilang apa tadi? Alo? Alo apa?” Rahma mengalihkan topik, namun tak bisa dipungkiri bahwa dirinya kagum pada sosok Heeseung.

“Alo alo papi kali.” Sahut Shucy asal.

“Heh bukan!” Bella menepuk bahu Shucy.

“Maaf ya, gara-gara gua gak tau mantranya kita jadi gak dapet tempat duduk.” Rahma merasa bersalah dan kecewa pada dirinya sendiri, sekarang ia bingung bagaimana caranya mereka bisa mendapatkan ruangan kalau mereka saja tidak tahu mantra apapun.

“Ya elah santai, kan kita emang gak tau apa-apa tentang sihir.” Shucy memeluk Rahma dengan sayang, ia tahu gadis itu akan suka kalau diberi perlakuan manis seperti ini, ia tidak mau temannya menangis.

“Iya bener, biarin aja mereka yang ambil, ayo kita cari tempat lain.” Bella mengusap lembut punggung Rahma.

Lihat kan, jadi sebenarnya siapa yang paling muda di antara mereka?


Magic Wands Collection

  1. Jungwon

  2. Heeseung

  3. Jay

  4. Jake

  5. Sunghoon

  6. Sunoo

  7. Niki

  8. Bella

  9. Rahma

  10. Shucy


#HogwartsTrial

Ini Pacarku, Mana Pacarmu? 😎


Tiba-tiba saja sebuah ide terlintas dibenak Rahma saat dirinya tengah merenungkan kehidupannya yang cukup rumit ini.

Membaca balasan dari kedua temannya, Rahma jelas kecewa, ia tahu kedua temannya itu pasti memang punya kendala dengan biaya.

Ia pun sama.

Namun, Rahma selalu punya solusi untuk hal itu.

Ya, meminta bantuan dari sang pacar memang tidak ada salahnya kan?

Tapi Rahma baru menyadari sesuatu, bantuannya bisa mendatangkan sebuah kesalahpahaman besar.

Hmm, apa yang sebenarnya terjadi?

Apakah Rahma seorang penghianat?

Mari kita kupas lebih dalam.

Semakin menarik bukan?

Apa yang direncanakan Rahma?

Mengapa dirinya bisa menjalin hubungan dengan dua lelaki sekaligus?

[Shucy's POV]

[Bella POV]

.

.

.

.

.

.

[Shucy's POV]

[Bella's POV]

Back to Rahma's POV

Untuk menebus segala perbuatan bodohnya Rahma kembali mendapatkan ide yang tidak kalah gila.

Okay, memang suatu kesalahan sudah meminta tolong pada lelaki tersebut, Rahma bahkan tidak mengenalnya cukup dekat, sekedar bertegur sapa juga sepertinya tidak pernah.

Rahma hanya sebatas tahu nama dan pekerjaannya, lelaki tampan penjaga warnet dekat rumahnya yang terkenal pendiam juga dingin.

Tak heran bila kebanyakan orang menganggapnya bisu, menyedihkan.

Untungnya Rahma termasuk orang yang pantang menyerah, ia harus buktikan pada dunia bahwa dirinya tidak pernah gagal.

Rahma sedikit menyesal sudah mengajaknya ke dalam rencana gilanya ini.

Tapi setidaknya Bella dan Shucy mulai berubah pikiran berkat kedua pacarnya.

Rahma punya firasat bahwa rencananya kali ini akan benar-benar berhasil.

Tamat…

Ini Pacarku, Mana Pacarmu? 😎


Tiba-tiba saja sebuah ide terlintas dibenak Rahma saat dirinya tengah merenungkan kehidupannya yang cukup rumit ini.

Membaca balasan dari kedua temannya, Rahma jelas kecewa, ia tahu kedua temannya itu pasti memang punya kendala dengan biaya.

Ia pun sama.

Namun, Rahma selalu punya solusi untuk hal itu.

Ya, meminta bantuan dari sang pacar memang tidak ada salahnya kan?

Tapi Rahma baru menyadari sesuatu, bantuannya bisa mendatangkan sebuah kesalahpahaman besar.

Hmm, apa yang sebenarnya terjadi?

Apakah Rahma seorang penghianat?

Mari kita kupas lebih dalam.

Semakin menarik bukan?

Apa yang direncanakan Rahma?

Mengapa dirinya bisa menjalin hubungan dengan dua lelaki sekaligus?

[Shucy's POV]

[Bella POV]

.

.

.

.

.

.

[Shucy's POV]

[Bella's POV]

Back to Rahma's POV

Untuk menebus segala perbuatan bodohnya Rahma kembali mendapatkan ide yang tidak kalah gila.

Okay, memang suatu kesalahan sudah meminta tolong pada lelaki tersebut, Rahma bahkan tidak mengenalnya cukup dekat, sekedar bertegur sapa juga sepertinya tidak pernah.

Rahma hanya sebatas tahu nama dan pekerjaannya, lelaki tampan penjaga warnet dekat rumahnya yang terkenal pendiam juga dingin.

Tak heran bila kebanyakan orang menganggapnya bisu, menyedihkan.

Untungnya Rahma termasuk orang yang pantang menyerah, ia harus buktikan pada dunia bahwa dirinya tidak pernah gagal.

Rahma sedikit menyesal sudah mengajaknya ke dalam rencana gilanya ini.

Tapi setidaknya Bella dan Shucy mulai berubah pikiran berkat kedua pacarnya.

Rahma punya firasat bahwa rencananya kali ini akan benar-benar berhasil.

Tamat…

Ini Pacarku, Mana Pacarmu?


Tiba-tiba saja sebuah ide terlintas dibenak Rahma saat dirinya tengah merenungkan kehidupannya yang cukup rumit ini.

Membaca balasan dari kedua temannya, Rahma jelas kecewa, ia tahu kedua temannya itu pasti memang punya kendala dengan biaya.

Ia pun sama.

Namun, Rahma selalu punya solusi untuk hal itu.

Ya, meminta bantuan dari sang pacar memang tidak ada salahnya kan?

Tapi Rahma baru menyadari sesuatu, bantuannya bisa mendatangkan sebuah kesalahpahaman besar.

Hmm, apa yang sebenarnya terjadi?

Apakah Rahma seorang penghianat?

Mari kita kupas lebih dalam.

Semakin menarik bukan?

Apa yang direncanakan Rahma?

Mengapa dirinya bisa menjalin hubungan dengan dua lelaki sekaligus?

[Shucy's POV]

[Bella POV]

.

.

.

.

.

.

[Shucy's POV]

[Bella's POV]

Back to Rahma's POV

Untuk menebus segala perbuatan bodohnya Rahma kembali mendapatkan ide yang tidak kalah gila.

Okay, memang suatu kesalahan sudah meminta tolong pada lelaki tersebut, Rahma bahkan tidak mengenalnya cukup dekat, sekedar bertegur sapa juga sepertinya tidak pernah.

Rahma hanya sebatas tahu nama dan pekerjaannya, lelaki tampan penjaga warnet dekat rumahnya yang terkenal pendiam juga dingin.

Tak heran bila kebanyakan orang menganggapnya bisu, menyedihkan.

Untungnya Rahma termasuk orang yang pantang menyerah, ia harus buktikan pada dunia bahwa dirinya tidak pernah gagal.

Rahma sedikit menyesal sudah mengajaknya ke dalam rencana gilanya ini.

Tapi setidaknya Bella dan Shucy mulai berubah pikiran berkat kedua pacarnya.

Rahma punya firasat bahwa rencananya kali ini akan benar-benar berhasil.

Tamat…