REONBY

Itu Senin siang, tepat jam istirahat kedua di mana matahari sedang panas-panasnya. Kantin seperti tempat pembagian sembako, terlalu penuh, terlalu sesak oleh para manusia yang seperti zombie kelaparan, tak terkecuali sosok perempuan di pojok kantin yang sedang mendumal. Syakila Anindya Aulettasudah seperti cacing kepanasan, mengibas rambut, mengipas wajah dengan kardus yang ia sobek entah dari mana, lalu mendumal kesal membuat si sahabat di hadapannya merotasikan bola mata; jengah.

“Makanya punya rambut panjang tuh sadar diri! Iket yang rapi! Apalagi musim panas kayak gini!”

Tio namanya, tapi Syakila lebih suka memanggilnya Yoyo, terdengar lucu. Lelaki itu menyodorkan karet gelang yang mau tak mau Syakila ambil saat mendapat pelototan.

“Jangan bawel, mending lo kipasin gue aja!” Syakila mencibir, rambutnya sudah terikat asal, ia mengaduk baksonya kesal. “Lagian panas amat deh dunia, udah kayak simulasi masuk neraka aja.”

“Congornya!”

Harap maklum, Syakila ini memang punya kebiasaan ceplas-ceplos. Tapi sayangnya Tio sampai kapan pun tak akan bisa memaklumi.

“Temen lo pada ke mana deh? Lo mulai jadi ansos, ya?”

Tio mendengkus, menyuap batagor ke dalam mulut. “Lagi pada tanding bola, gue males ikut, lapar.”

Syakila hanya mengangguk, tak menaruh peduli, fokusnya berpindah pada layar gawai yang menampilkan video si kesayangan, siapa lagi kalau bukan Sehun EXO yang katanya memiliki paras yang tampan? Dan Tio pun hanya diam, fokus pada makanan dan memerhatikan sekitar.

Lalu apa?

Hm?

Ah, sejujurnya narasi ini ada bukan hanya untuk memperlihatkan Syakila yang sedang ber-fangirling ria dan Tio yang sedang menyuap makanan penuh gembira, kok. Narasi ini ada untuk menjelaskan …

PRANG!

“ANJING!”

Kegaduhan yang semula menginvasi kini lenyap kala teriakan terdengar menggelegar di sepenjuru kantin yang luas. Tio menghentikan suapan batagornya yang tersisa sedikit, ia menegakkan tubuh, mulai memerhatikan dari mana asal suara itu berada; tengah kantin. Ada dua lelaki di sana, satu lelaki yang memasang wajah marah dan satu lelaki yang menunduk penuh takut.

“LO BUTA ATAU GIMANA?!” teriakan itu membuat suasana semakin mencekam, semua mata tertuju pada pertunjukan tiba-tiba yang tak diharapkan terjadi. “KUAH BAKSO LO ITU PANAS ANJING! LIHAT!” lelaki itu menunjuk baju seragamnya yang basah, ternoda kuah bakso yang sepertinya dimasukin banyak sambal yang membuat seragam sedikit memerah.

Suasana kantin berubah mencekam, orang-orang memilih bungkam dan melihat apa yang sedang terjadi di hadapan. Tio menggigit bibir, memerhatikan dua lelaki itu yang kini hanya terdiam, ia menunggu kelanjutan apa yang akan terjadi. Tak ada yang berani menginterupsi si kakak kelas yang terkenal suka membully siswa-siswi di sekolah ini dengan si lelaki asing berkacamata yang setia menunduk, itu cari mati namanya.

Sepekian detik menunggu, Tio kira akan ada aksi tonjok menonjok, tapi yang semua orang dapat adalah si lelaki berkacamata yang diseret paksa oleh dua orang setelah si kakak kelas melirik temannya.

“Kak, a-ampun, aku minta maaf—”

“DIEM!”

Kakak kelas yang secara tak langsung menjadi penguasa sekolah itu melenggang lebih dulu, diikuti dua temannya yang menyeret lelaki berkacamata yang wajahnya mungkin sebentar lagi akan dihiasi luka.

Dan dalam sekejap setelah kepergian si kakak kelas, kantin mulai ramai kembali, lebih bising, banyak yang mulai bergosip tentang apa yang baru saja terjadi. Gio Permana, si kakak kelas tadi jelas memiliki track record buruk. Lelaki itu dikenal sebagai si berandalan yang gemar tawuran, suka membully siswa-siswi yang berani mengganggunya. Lelaki itu tak memandang jenis kelamin atas semua tindakan tangannya, Gio bahkan pernah menampar dan menjambak perempuan yang berani meludahinya di depan umum.

Ah, Gio cukup bengis untuk seukuran remaja SMA. Tapi bukan berarti banyak yang memujanya selayaknya di drama pula, bahkan banyak yang diam-diam membencinya, termasuk Tio yang sedang menghela napas, bertatapan dengan Syakila yang bergidik ngeri.

I hate this school.”

Same, bro.” Syakila mengaduk es tehnya, Sehun EXO tak lagi menjadi perhatian saat peristiwa menegangkan baru saja terjadi. “Lagian kenapa masih ada pembullyan di zaman sekarang sih? Untung aja bukan gue yang dibully.”

Bahu Tio terangkat. “Sebenarnya bukan pembullyan juga sih, kak Gio cuma kayak gitu sama orang yang gangguin dia. Tapi tetep aja itu salah dan sampai kapanpun gue gak mau berurusan sama dia, emang lagi apesnya aja cowok tadi berurusan sama premannya Neo.”

Syakila cemberut, jelas tersirat ketakutan pada wajahnya. Masalahnya bukan hanya Gio, kakak kelas perempuan pun banyak yang melakukan pembullyan, sok superior. Senioritas di sini sungguh mengerikan.

“Kasihan Daniel.”

“Daniel?” sebelah alis Tio terangkat mendengar nama asing yang terucap dari bibir sahabatnya.

“Cowok berkacamata tadi yang numpahin kuah bakso ke kak Tio. Dia temen sekelas gue. Eh, gak kasihan-kasihan amat sih, soalnya dia nyebelin.”

Tio berdecak, menggeleng dramatis. “Jiwa kemanusiaan lo emang patut dipertanyakan, ya.”

Syakila mendelik, mencubit tangan Tio hingga empunya menjerit. Enak saja mempertanyakan jiwa kemanusiaannya. “Tapi Daniel tuh emang nyebelin tau! Dia udah kayak tembok berjalan, jarang ngomong, jarang berinteraksi sama orang-orang! Terus sekalinya ngomong rasanya mau gue jahit mulutnya!”

“Ey, jangan gitulah, kali aja dia punya masalah sama lingkungan sekitarnya sampai kayak gitu.”

“Tau dah,” kedua bahu Syakila terangkat tanda tak peduli, ia mulai memakan baksonya lagi. “Gue gak terlalu deket juga sama dia, tapi dia beneran kayak tembok sih. I mean, mukanya itu bukan muka datar sombong atau angkuh, tapi kayak yang emang datar aja dari sononya. Tapi dia juga nyebelin kalau udah ngomong, meski kasihan dikit soalnya gue gak pernah lihat dia main atau ngobrol sama anak cowok lain, entah dia dikucilkan atau emang dianya yang menjauh.”

Tio mendengarkan seluruh kata yang keluar dari bibir sahabatnya. Wajah ketakutan lelaki bernama Daniel tadi tergambar di kepala. Ah, kasihan juga. Bukan berarti Tio peduli juga sih, dia bukan manusia baik yang rela menolong orang asing. Tapi membayangkan apa yang akan diterima lelaki itu karena berurusan dengan Gio si penguasa sekolah, cukup membuat kasihan dan miris. Wajah tadi pasti akan dipenuhi lebam dan luka, ya syukur-syukur tidak sampai merenggang nyawa.

“Kira-kira dia bakal diapain sama kak Gio?” Tio melempar pertanyaan yang sudah ia tau jawabannya, dia hanya ingin mendengar jawaban Syakila saja.

“Ya kayak sebelum-sebelumnya. Dihajar, dibikin babak belur, syukur-syukur nyawanya masih ada dan gak ditelanjangin terus di videoin lalu disebar. Kalau gue digituin kayaknya bakal bunuh diri aja.”

“HEH MULUTNYA!”

“ANJING SAKIT TIOOO!”

Tapi benar, siapa yang akan tahan jika berada di posisi seperti itu? Ironis bahwa senioritas dan pembullyan adalah salah satu hal yang mengerikan yang sewaktu-waktu bisa melenyapkan nyawa.

“Eh, tadi namanya siapa?”

“Daniel Edgard Arkana.”

“Kok lo bisa tau nama panjangnya?”

“Gue sekretaris, lupa lo?”

“Kok bisa lo jadi sekretaris? Tulisan lo aja kayak cacing—WOY SAKIT!”

Ah, bukan. Ini bukan kisah Syakila yang hobi mengoleksi photocard artis-artis Korea Selatan atau Gio si preman Neo yang gemar tawuran.

Ini kisah tentang Tio Artha Nugraha dan Daniel Edgard Arkana, dua lelaki asing yang akan saling jatuh cinta.

Benar, jatuh … cinta. Ha!

Hai, akhirnya REONBY open commission, untuk syarat dan detail tolong baca catatan di bawah ini sampai akhir, ya!


[ SYARAT DAN KETENTUAN ]

  1. Pembeli HARUS menyediakan prompt hasil sendiri sebelum memesan.

  2. Pemesanan melalui DM akun Twitter @reonforby.

  3. Pembayaran dilakukan diawal dan hanya melalui DANA.

  4. Untuk pemesanan NSFW hanya menerima usia yang sudah legal.

  5. Karya bisa disimpan untuk pribadi, dihadiahkan, diunggah di akun kamu, NAMUN karya TIDAK BOLEH DIPERJUALBELIKAN KEMBALI dan diunggah di platform lain tanpa seizin penulis.

  6. Karya bisa diunggah di akun @reonforby dengan menyertakan username kamu, dan bisa diunggah di akun kamu dengan menyertakan username @reonforby.

  7. Batas pengerjaan dari 1 minggu sampai 3 minggu dari waktu transfer, menyesuaikan kesibukan penulis.

  8. Penulis bisa membatalkan pesanan dan melakukan refund jika terjadi keadaan mendesak.


[ DAFTAR HARGA ]

1. SFW

2000 kata = Rp. 25.000, 3000 kata = Rp. 30.000, 4000 kata = Rp. 40.000, 5000 kata = Rp. 50.000,

2. NSFW

3000 kata = Rp. 40.000, 4000 kata = Rp. 50.000, 5000 kata = Rp. 65.000, 6000 kata = Rp. 75.000,


Bagaimana? Tertarik?

Jika tertarik bisa langsung kirim prompt kamu ke DM Twitter, ya! Tapiiiiiiii, karena ini pertama kalinya aku open commission, jadi aku hanya membuka 1 slot saja, itu pun akan aku pilih sesuai beberapa hal (jika ada yang memesannya banyak).

Mohon pengertiannya, ya!

With love, REONBY🥀

Mature Content, PWP/Porn Without Plot, Semi Baku, BxB, cabul, NSFW!

NOT FOR CHILDREN!⚠️🔞


“Hyuck … A-ah please ….”

Please what?

Sungguh, jika sedang tidak terjebak di keadaan seperti ini mungkin kepala Haechan sudah menjadi korban telapak tangannya. Namun alih-alih menampar kepala Haechan, tangan kiri Renjun malah menjambak rambut belakang lelaki itu, meremasnya cukup kencang hingga berantakan.

“Jangan main-main gini deh.”

“Main-main gimana? Aku gak main-main.”

AH!

Kepala Renjun terlempar ke belakang, mengenai dinding cukup keras, jambakannya di rambut Haechan menguat begitu pula tangan kanannya yang memeluk leher lelaki yang kini sedang menyeringai meremehkan.

Ah, sialan, inginnya melempar bogeman, tapi wajah tampan Haechan terlalu sayang untuk dihiasi memar.

“Desahnya jangan kenceng-kenceng, sayang. Nanti ketahuan gimana?” Haechan berbisik serak, hidungnya mengendus pipi berisi Renjun yang basah dan memerah. “Aku sih gakpapa kalau ketahuan, kalau kamu gimana?”

U-uh … Hyuck …..”

“Hm? Kok malah desah?”

Jika boleh menjabarkan, sebenarnya itu pemandangan yang cabul.

Haechan masih berpakaian lengkap seperti perform Dive Into You terakhir kali; celana dan kaus putih, sedangkan kemeja merah jambunya tergeletak di dekat kaki. Yang membedakan hanya rambutnya yang berantakan karena ulah remasan tangan Renjun. Ah, dan juga penisnya yang keluar dari celana, tertanam sempurna pada lubang anal Renjun yang memerah dan melebar paksa.

Dan Renjun sendiri … well, dia berantakan.

Semua baju dan celananya telah tanggal hingga telanjang bulat, yang tersisa hanya baret berwarna putih di atas kepala. Tubuhnya terhimpit dinding dan tubuh besar Haechan, kedua kaki menggantung apik di pinggang si dominan; melilitnya dan juga yeah … analnya yang tersumpal penis sejak beberapa menit lalu.

Sungguh, jika para fans melihat ini mungkin akan terjadi kontroversi besar-besaran, namun untungnya hal itu tidak mungkin terjadi karena ruang ganti ini hanya diperuntukkan bagi para idol, meski dalam konteks ini, Haechan dan Renjun malah menyalahgunakannya menjadi tempat berbagi peluh dan desah.

Ngomong-ngomong tentang desah, Renjun sebenarnya sangat tersiksa karena tak bisa mendesah keras secara bebas.

“Haechan ….” Renjun memelas, kefrustrasian tergambar jelas, bibirnya bengkak bukan main; hasil karya dari Haechan yang melahapnya seperti manusia kelaparan, untung tidak sampai lecet dan mengeluarkan darah.

Haechan mendesis, kedua tangannya menahan pantat Renjun. “Apa sayang?”

“Gerak yang cepet!”

“Kalau aku enggak mau, gimana?” Haechan tersenyum penuh cemooh, kedua tangannya meremas kuat pantat Renjun hingga empunya mendesah lirih.

Benar, ini adalah apa yang menjadi alasan Renjun tampak begitu frustrasi hingga air matanya membasahi wajah. Haechan dan sodokannya yang bagai siput itu sungguh membuat jengkel dan frustrasi. Tapi meski Renjun terlihat kacau, sialnya Haechan tetap tak peduli, lelaki itu asyik menggerakkan pinggulnya secara perlahan, ingin merasakan lebih lama bagaimana penisnya yang terjepit kuat oleh si kesayangan.

“Hyuck … please ….” Renjun masih memohon, terisak kecil, darahnya terasa mendidih, penisnya mengeras sempurna; bergesekan di antara perut mereka. Gairahnya sudah membludak ingin segera diselesaikan tapi Haechan malah asyik bermain-main dan menggodanya.

A-ah sayang, kamu cantik banget pake baret.”

Sial, Haechan malah tak peduli meski air mata membasahi wajah Renjun. Pinggulnya masih asyik bergerak lambat. Satu tangannya naik mengelus dada datar Renjun, memilin puting mengeras yang terdapat bekas gigitannya.

Dan tubuh Renjun langsung menggeliat, dada semakin membusung, mendesah lirih dan semakin erat menjambak rambut yang lebih muda hingga berantakan tak tentu arah.

A-ah … Hyuckh ….”

Sssh …,” Haechan mendesis, wajah menyusup di perpotongan leher Renjun, mencium aroma yang ia sukai. “Jangan diketatin sayang, nanti kalau remuk gimana? Gak bakal bisa bikin kamu enak lagi dong.”

Renjun terisak, memeluk leher Haechan semakin kuat, gerakan lelaki itu benar-benar bisa membuatnya gila dan pusing.

“MAKANYA GERAK YANG CEPET!”

Oh?

Haechan melotot, begitu pula Renjun. Teriakan tadi cukup keras dan keduanya yakin bahwa hal itu dapat di dengar yang lain.

“Aku bilang jangan teriak! Bandel amat!”

Renjun cemberut. “Makanya gerak ih! Kita gak punya banyak waktu, bentar lagi harus ke siaran radionya Chenle, lupa?”

“Ah, bener,” kedua tangan Haechan kembali meremas pantat Renjun, ia mengangguk. “Tapi aku suka kayak gini, kamunya cantik banget. Kamu bisa ngerasain 'kan gimana kerasnya penis aku? Ini gara-gara kamu cantiknya kebangetan, jadi ini salah kamu!”

“Haechan … please, berhenti main-mainnya atau muka kamu aku gebuk!”

Kekehan Haechan menguar, Renjun yang menyalak dengan wajah terangsangnya terlihat lucu. Ia mengecup bibir bengkak itu, melumatnya pelan dan berbisik di sana.

“Tapi kamu beneran ngerasain ini, kan?” Lidah terjulur, Haechan menjilat rahang dan pipi Renjun, tangannya naik mengelus pinggang basah si kekasih. “Ngerasain penis aku yang perkosa lubang sempit kamu, gimana rasanya?” Pinggul mundur cukup jauh hingga hanya kepala penisnya yang tertanam, lalu tanpa aba-aba, Haechan menghentak kuat hingga titik manis Renjun tertekan dengan akurat.

“*AH!“”

“Enak sayang? Rasanya enak, hm?”

Renjun menangis, wajahnya mendongak, mata terpejam, bibir terbuka lebar. Sial, penis Haechan menghantam telak prostatnya hingga kepala pening luar biasa.

“E-enak! Enak! Mau lagi! Sodok lagi!”

Bukannya menambah tempo dan melakukan yang Renjun inginkan, Haechan malah menarik keluar penisnya sekaligus melepaskan kedua kaki Renjun yang melilit pinggangnya hingga kini lelaki itu menapak pada lantai. Renjun terengah, ia hampir jatuh, untungnya lengan Haechan langsung memeluk pinggang sempitnya.

“Hadap tembok, kayaknya kita kelamaan main-mainnya.”

KENAPA BARU SADAR SEKARANG?!

Renjun mencebik tapi tetap menurut untuk menghadap tembok walau kakinya sudah sangat lemas seperti jelly.

“Nungging.”

Begitu Renjun menungging, penis Haechan langsung melesak masuk lagi ke dalam anal Renjun, lelaki itu mendesis, mengelus punggung sempit kekasihnya yang basah.

“Tahan suara kamu, desahnya jangan kenceng-kenceng.”

Renjun tak peduli, toh percuma saja nanti juga ia pasti akan kelepasan mendesah kencang. Yang ia pedulikan sekarang adalah nafsunya yang akhirnya diberi perhatian. Haechan di belakangnya langsung bergerak cepat, memompa penisnya di lubangnya yang sedari tadi sudah basah dan gatal. Suara becek dari penyatuan mereka terdengar keras, mungkin akan terdengar keluar, tapi sayangnya tak ada yang peduli akan hal itu.

Ah … kamu enak banget,” Haechan mendesah, mendongak, satu tangannya memegang pinggang Renjun, meremasnya cukup kencang.

A-AH! AH! DI SITU HYUCK! LE-LEBIH CEPAT!”

Kan? Haechan suka sih dengar desahan Renjun yang terdengar frustrasi karena dirinya, tapi sayangnya mereka sedang ditempat umum, yang mana, bisa saja terdengar orang lain dan mengakibatkan kekacauan.

Haechan berdecak kesal, tiga jarinya langsung masuk ke dalam mulut Renjun yang sibuk mendesah, lidah Renjun langsung bergerilya menjilati begitu jari kekasihnya masuk ke dalam mulutnya cukup kasar. “Udah dibilang jangan kenceng juga.”

Eumh!

Tak peduli tiga jarinya yang sedang dihisap oleh si kekasih, tangan Haechan yang lain bergerak ke bawah, meraih penis Renjun yang sedari tadi diabaikan. Penis yang mengacung tegak itu ia kocok dan remas cukup kencang, menghasilkan pekikan dan desahan dari Renjun yang tertahan jarinya. Hasil dari perbuatannya membuat lubang anal Renjun mengetat, memeras dan membungkus penisnya dengan sempurna. Desahan lirih keduanya mengalun bersama suara cabul dari penis yang terus menyodok.

Haechan menoleh ke arah kanan, tepat di mana kaca besar memperlihatkan bagaimana dirinya menghancurkan si vokalis NCT Dream. Sudut bibirnya terangkat selagi pinggulnya terus bergerak maju mundur secara teratur. Pemandangan ia yang masih berpakaian lengkap dan Renjun yang telanjang bulat sungguh terlihat menggairahkan. Baret yang Renjun kenakan terlihat sangat seksi di matanya. Oh, Haechan sudah memerhatikan Renjun sejak stylish noona memasangkan benda itu ke atas kepala si kekasih, Renjun terlihat menggemaskan saat mengenakan benda itu, dan anehnya juga terlihat menggairahkan.

“Lidah deh,” badan Renjun yang menggeliat itu Haechan tarik untuk menegak, jarinya yang masih berada di dalam mulut Renjun ia tarik untuk menghadap ke arah kaca. “Kamu seksi banget, cantik banget. Enak, ya? Enak disodok gini, kan? Lihat, jari aku aja kamu makan. Bayangin wajah horny kamu ini ditatap member lain, pasti mereka juga bakal horny. Kamu suka, kan? Suka dibikin enak gini? A-ah … kamu suka jadi jalang buat aku, iya, kan?”

Ahm … uhm!

Senyum remeh Haechan terlihat jelas dari kaca, isakan Renjun cukup keras bersama desahannya yang sarat akan frustrasi. Badan lelaki itu terus terhentak dan menggeliat resah, mencengkeram tangan Haechan yang masih mengocok penisnya.

“Kamu mau aku bikin hamil? Mau gak? Nanti kamu hamil anak-anak aku, ada yang cantik dan ganteng, kamu aku bikin hamil terus-terusan supaya ngelahirin bayi cantik sama ganteng, sampai anak kita gak bisa dihitung. A-ah .. kamu mau aku bikin hamil sayang? Eumh?

AHM … MAU-UHM!

Haechan tertawa, giginya menancap di bahu Renjun, menghisap kulit di sana hingga memerah. “Kalau gitu aku bakal sodok kamu tiap hari, perkosa kamu sampai kamu hamil anak-anak aku. Kamu suka, 'kan? Suka aku sodok tiap hari, hm? Suka aku bikin enak gini? Jawab dong cantik.”

Bukannya menjawab, Renjun malah semakin terisak, kocokan Haechan di penisnya semakin kencang, belum lagi penis yang sedari tadi keluar masuk di lubangnya; menyentuh prostatnya dengan telak. Badannya menggeliat, dada membusung, mulut pun masih tersumpal tiga jari besar si kekasih. Renjun kacau. Wajahnya memerah basah, lelehan liur mengalir menghiasi dagu serta leher, beberapa kali tubuh menabrak tembok putih di depannya. Ah, kapan terakhir kali Renjun kacau seperti ini? Sejak persiapan comeback dimulai dari bulan-bulan lalu mereka tak pernah melakukan ini, paling-paling hanya sekadar ciuman saja, latihan koreo dance baru dan recording lagu cukup membuat lelah, belum lagi banyak jadwal yang harus dipenuhi. Dan kini, saat Renjun sedang mengganti bajunya tiba-tiba sosok Haechan datang menerobos, menyentuhnya dengan dalih bawah baret yang menghiasi kepalanya membuatnya gemas sekaligus terangsang. Haechan memang aneh, tapi sialnya Renjun suka.

Dan lelaki aneh ini sedang menghujam analnya tanpa ampun.

Ah! Uhm!

Kepala Renjun terlempar ke belakang, beristirahat di bahu Haechan, tiga jari lelaki itu telah keluar dari mulutnya, berganti memilin dan menarik putingnya dengan kencang.

A-ah! Hyuck … ma-mau keluar, mau pipis!”

Haechan menggeram, penisnya seperti diperas karena lubang Renjun yang mengetat sempurna hingga ia kesulitan untuk bergerak. Tangan kirinya yang di cakar Renjun masih asyik memompa penis kekasihnya, sesekali menggaruk kepala penis Renjun dengan kuku menghasilkan desahan lirih yang selalu ia sukai.

“A-aku juga, bareng sayang.”

Beberapa tusukan kemudian mereka datang bersama, sperma Renjun langsung membasahi tangan Haechan dan tembok di hadapan mereka, sedangkan Haechan sendiri keluar memenuhi kondom yang terpasang di penisnya.

Aaah … aku benci pake kondom.”

Badan Renjun langsung ambruk yang untungnya segera Haechan tahan dengan tangannya. Napas keduanya terdengar keras, tersengal. Haechan mengecup pipi kekasihnya yang terkulai di bahu, ia menarik penisnya sekaligus kondomnya yang penuh, membiarkan Renjun bertumpu di tembok.

“Kalau gak pake kondom jadi ribet, kita lagi gak di dorm,” Renjun menjawab, serak, tubuhnya ambruk di lantai. Serius, tenaganya seperti terkuras habis tak bersisa padahal yang ia lakukan hanya mengangkang dan mendesah. Sebelah pipinya menekan tembok selagi Haechan membereskan kekacauan yang mereka perbuat. “Kamu sih! Harusnya tahan dulu sampai di dorm, untung aja ada Mark hyung yang bikin keadaan jadi mudah.”

Haechan terkekeh setelah melempar kondom yang telah diikat ke tempat sampah yang ada di ruang ganti. Ia menghampiri Renjun, mulai membersihkan tubuh kekasihnya dengan tisu basah yang untungnya sempat ia bawa. Kini Renjun menyandar sepenuhnya pada tembok dengan menghadapnya, eum sekaligus mengangkang lebar di hadapannya.

“Aku gak tahan, maaf, ya?” Haechan tersenyum, menarik baret dari kepala Renjun dan menyibak rambutnya yang lepek karena keringat, ia mengecup bibir bengkak si kekasih selagi tangannya membersihkan selangkangan Renjun. “Aku kasar gak? Ada yang sakit?”

Renjun terenyuh, tersenyum lemah, menarik wajah Haechan untuk ia cium bibir tebalnya.

Meski terkadang menyebalkan hingga yang Renjun inginkan hanyalah menendang pantatnya, namun Haechan jelas adalah salah satu member yang paling peduli padanya, dengan tanpa atau adanya status yang kini mengikat mereka, Haechan selalu menjadi yang bisa Renjun andalkan dan percaya.

“Kamu selalu memperlakukan aku dengan baik kok. Kamu gak pernah melewati batas.”

Haechan tersenyum, mengusap pipi berisi kekasihnya. “I love you.

Renjun terkekeh lemah, mencium bibir bengkak Haechan.

I love you too, pabo.”

TOK! TOK!

“UDAHAN BELUM WOY?! BURUAN! KITA ADA JADWAL SEBENTAR LAGI!!”

Ah, memang semuanya salah hormon Haechan.


End.


Meanwhile member Dreamies yang lain saat HyuckRen sibuk di ruang ganti :


Mark, Jaemin, Jeno, dan Jisung saling berpandangan, wajah memerah, napas terengah. Desahan Renjun dan geraman Haechan terdengar jelas karena tempat duduk mereka sialnya berdekatan dengan ruang ganti.

Um, untungnya gak ada siapapun di sini kecuali kita,” Jisung bersuara, agak serak, lelaki itu meneguk ludah saat desahan Renjun terdengar lagi. “Uh, mereka main kasar, ya?”

Tak ada yang menjawab.

Mark hanya menghela napas dan memijat pelipisnya. “Kalau dalam 15 menit mereka gak selesai, terpaksa pintunya aku dobrak.”

Mereka bungkam. Sebenarnya ini adalah hal yang biasa, bahkan bukan hanya Renjun dan Haechan saja, terkadang Jaemin dan Jeno juga melakukannya, namun tetap saja mereka tak bisa terbiasa harus mendengar dengan jelas suara desahan dan berbagai suara cabul lainnya. Itu sangat canggung.

Oh, ngomong-ngomong tentang Jaemin dan Jeno, kini tangan Jaemin sedang mencengkeram paha dalam Jeno yang terbalut celana jins sejak desahan Renjun terdengar keras.

“Jaem, tangan kamu.”

Jaemin tak menjawab bisikan Jeno, ia malah menatap lelaki itu dengan dahi berkerut, wajahnya terlihat kebingungan. “Aku kangen dijepit deh.”

Jeno mencebik, menyingkirkan tangan Jaemin dari pahanya. “Kemarin 'kan udah, ini aja masih sakit, kamu mainnya kasar.”

“Kamunya imut sih, aku mana tahan.”

Chenle memutar bola mata jengah, tak peduli percakapan para hyungnya atau suara desahan dibalik pintu ruang ganti, ia lebih memilih asyik sendiri dengan game di ponsel.

“Dasar manusia-manusia kelebihan hormon.”


Huang Renjun sebagai Arjuna Sagara,

Lee Jeno sebagai Jeremy Fernandi,

Lee Haechan sebagai Bimantara Permana,

Na Jaemin sebagai Daffa Abimana Aryasatya.


Lokal!AU, harsh words, receh, NOT BXB! Semua nama lokal mereka diambil dari short au aku berjudul Losers, soalnya aku suka>< INGAT, INI BUKAN BXB!


LET'S GEDDIT!


Um, halo?

Selamat siang sadayana, kumaha, damang? Semoga daramang atuh, ulah hoyong geuring soalna teu enak, lebih enakan kita kenalan untuk semakin dekat. Jiah!

Kayak cerita pada umumnya yang diawali dengan perkenalan, di sini gue juga mau memperkenalkan diri sekaligus memperkenalkan beberapa inti kisah ini supaya kalian tertarik untuk membaca, atau mengikuti kisah gue yang penuh derita dan bahagia.

Tapi kalau engga tertarik ya itu mah masalah kalian, lain masalah urang. Tapi kalian pasti tertarik sih, soalnya gue ganteng, kalian 'kan suka yang ganteng-ganteng, YA 'KAN?!

Oke, udahan basa-basinya.

Sebagai awalan, kenalin, nama gue Arjuna Sagara, anak pertama dari Bapak Cakra L. Sagara dan Ibu Wilda Pratama.

Gue cowok, udah pasti itu mah, emang kalian pernah denger cewek yang dikasih nama Arjuna? Pasti engga, 'kan? Kalau pun ada kayaknya Ibu Bapaknya kehabisan ide buat ngasih nama anaknya sendiri, hadeh, kasian, I'll pray for you, baby. Btw, sebagai informasi lain, gue punya tinggi 171 cm dengan berat badan 61 kg, ideal, kan? Tapi anehnya gue jadi yang terpendek di antara temen-temen gue, emang sialan! Selain itu, gue suka warna kuning sampai kamar pun gue warnain kuning, makanan kesukaan gue seblak Mak Eroh deket pertigaan di depan komplek rumah, seblaknya enak bro, sumpah dah, kalian harus beli, nanti bilang aja kalian temennya Arjuna Sagara, gak bakal dikasih diskon sih, tapi kapan lagi bisa sombong punya temen ganteng kayak gue?

Aduh, jadi melenceng jauh.

Oke, kali ini gue serius.

Gue itu blasteran Bandung dan Jakarta, wih, keren gak? Pasti inget Persib sama Persija, ya? Hehe. Bapak gue yang bernama Cakra L. Sagara itu orang Bandung asli sedangkan Ibu gue yang bernama Wilda Pratama adalah orang Jakarta. Konon katanya, mereka dipertemukan saat kuliah di ITB, untuk kisahnya mungkin bakal gue ceritain nanti, sekarang 'kan waktunya gue memperkenalkan diri.

Ngomong-ngomong tentang memperkenalkan diri, kalian penasaran gak sih sama huruf L di tengah nama Bapak gue?

Sama, gue juga penasaran.

Iya, gue anaknya aja gak tau arti huruf itu, apalagi kalian. Soalnya di kartu keluarga sama akta kelahirannya juga cuma huruf L doang. Pernah sih nanya, dan tau gak jawabannya apa?

“Bapak juga teu tau artina, mau nanya teh lupa mulu, Nenek kamunya keburu dipanggil Tuhan. Tapi keren ya, kan? Anggap we huruf L na Leonardo, biar Bapak ketularan gantengnya Leonardo Dicaprio.”

Ya, benar kawan-kawan, Bapak gue juga gak tau artinya apa. Jadi huruf L di antara nama Bapak gue akan menjadi misteri yang tak akan terpecahkan sampai akhir hayat hidupnya.

Sebelumnya gue ngomong kalau gue anak pertama, kan? Jadi, gue punya adek, cowok, ngeselin, rese, rasanya pengen gue lelepin aja ke comberan di depan sekolah yang airnya warna item itu.

Namanya Jenandra Sagara, biasa dipanggil Jenan atau Nandra, tapi gue lebih suka manggil dia babu, soalnya dia emang udah seperti babu untuk gue, hehe, jangan bilang sama Mamah ya kalau ternyata gue sering ngebabuin Jenan, nanti gue dijewer, sakit, bro. Sumpah! Dan kayak adek pada umumnya, Jenan ini bener-bener ngeselin, terus tukang ngadu juga, pokoknya kalau kalian jadi gue pasti punya keinginan buat ngejual dia ke pasar kiloan. Tapi gak gue realisasikan soalnya kasian yang beli harus makan daging alot, nanti muntaber.

Udah cukup belum perkenalannya?

Ya, belumlah, gue aja belum memperkenalkan temen-temen gue dan arti judul cerita ini.

Eits, tapi gue masih mau menceritakan kisah gue dulu dong, para temen jahanam gue mah nanti aja, belakangan, ya gitu risiko jadi pemeran pembantu. Sabar ya, kawan-kawan.

Untuk umur, gue lahir tanggal 23 Maret, dan beberapa bulan lalu umur gue menginjak angka 17, hehe, sweet seventeen nih sweet seventeen, gak ada yang mau ngasih kado gitu? Canda sayang, Aa' Arjuna masih mampu untuk membeli kado sendiri. Btw tahun ini gue kelas 11 MIPA 2, gak tau kenapa gue bisa berakhir masuk IPA, padahal gue belegug di hitung-hitungan, mungkin ini adalah takdir.

Sebagaimana takdir cerita ini yang berjudul Congklak.

Idih, apaan banget ya judulnya?

Kenapa cerita ini gak dikasih judul Arjuna Mencari Cinta aja? Atau gak jadi Arjuna dan Tiga Babunya, bisa juga jadi Empat Sekawan Begundal yang Terjebak Dunia. Eh, tapi itu mah terlalu alay, tapi namain judul cerita dengan nama Congklak pun apaan banget.

Iya deh, gimana penulis aja.

Tapi kalau mau ngomongin judul cerita ini, rasanya gak klop kalau engga menceritakan temen-temen gue, karena memang semua ini berhubungan, gak kayak kalian yang gak ada hubungan apa-apa sama Mas crush.

Aduh, hereuy geulis, ulah dibawa seriusnya?

Btw nih, gue tuh sebenarnya punya banyak temen, soalnya gue orang yang kagak pilih-pilih, berteman sama siapa aja, bencong pun gue temenin, tapi emang gue hanya akan menceritakan temen gue yang udah deket bagai lem ini aja, kalau kebanyakan mah durasinya makin panjang atuh, nanti kalian gumoh.

Temen yang akan gue perkenalkan ini adalah temen deket, bisa disebut sahabat juga karena saking deketnya. Sebenarnya males sih nyebut mereka temen, soalnya mereka lebih cocok disemati kata setan daripada temen. Tapi karena gue adalah manusia baik dengan budi pekerti luhur tinggi, ya udahlah, terima aja, soalnya mereka juga sering gue manfaatin hehe.

Temen gue yang pertama adalah … Jeremy Fernandi, anak bungsu dari Bapak Daniel Fernandi dan Ibu Tiffany Larasati.

Salah satu khas dari seorang Jeremy adalah … matanya yang bakal ikut senyum saat pemiliknya senyum. Tapi masalahnya, di keadaan apa pun Jeremy ini emang bakal tetep senyum. Lagi sedih dia senyum, lagi kesel dia senyum, lagi seneng dia senyum, lagi capek dia senyum, lagi boker dia senyum, kayaknya lagi horny pun dia bakal senyum, cuma pas lagi marah doang dia nangis, emang cengeng.

Selain di keadaan apa pun yang bakal disenyumin sama dia. Jeremy ini orangnya receh, apa aja diketawain, kayaknya semut keseleo aja bakal dia ketawain. Humornya aneh, anjlok, bahkan kadang gue gak ngerti dia ini lagi ngelawak atau lagi baca puisi, mana kadang dia ketawa suka telat, orang udah selesai ketawa, dia malah baru ketawa. Untuk fisik, masih gantengan gue sih. Tapi dia ini emang punya rahang yang tajem meski gak setajem silet, belum lagi tatapannya, hal itu yang bikin muka dia kayak muka-muka orang jahat. Sayang aja banyak orang yang tertipu, boro-boro jahat, yang ada dia kita bully mulu.

Tapi Jeremy ini emang satu-satunya yang punya jiwa kepemimpinan di antara kita. Dia bakal jadi tegas dan mengayomi dibeberapa keadaan, tapi seringnya malah jadi letoy karena kita bully.

Semoga lo punya stok kesabaran yang banyak ya, Jer.

Udah, segitu aja buat Jeremy, sekarang kita lanjut ke temen asu gue yang lain.

Temen gue selanjutnya adalah … aduh, gimana, ya. Bisa gak sih gue skip aja orang ini? Atau engga, gak perlu gue anggap temen, deh! Soalnya kelakuannya melebihi setan, kalian pasti takut.

Hadeh, ya udah deh, temen gue selanjutnya adalah Bimantara Permana, anak bungsu dari Bapak Reza Permana dan Ibu Sea Ananda Sandyawan.

Sebenernya gue males sih mendeskripsikan dia, soalnya di antara kita dia ini kelakuannya melebihi setan, bahkan kayaknya setan aja insecure lihat kelakuan dia.

Bima ini rese, nyebelin, tukang nyomot makanan gue seenaknya, dan yang paling penting … BIMA SERING NGELEDEKIN GUE DARI KECIL! Aduh Bim, sumpah da sia teh pikasebeleun pisan, tapi otak maneh di fisika teh sangat aing butuhkan agar tidak mendapat jeweran dari Mamah. Tapi sumpah sih bro, Bima ini sering banget ngeledekin orang, ada aja bahan ledekannya yang bikin orang pengen nabok.

Hadeh, emosi urang.

Udahan aja ngomongin dia nya, ya?

Ya, geulis?

Hah?

Elah, iya deh iya.

Untuk fisik, Bima ini punya kulit lebih kecoklatan dari kita-kita, soalnya dari kecil dia yang paling suka panas-panasan, apalagi kalau berurusan sama main bola, Bima sering banget main bola sama orang dewasa, katanya sih dia pengen jadi Christiano Ronaldo biar punya duit banyak dan dikenal dunia, heleh.

Selain itu, sebenarnya Bima ini memegang title moodbooster di geng Congklak.

Aduh, ketauan deh nama geng gue apaan.

Tapi serius, Bima punya peran yang bisa bikin suasana jadi penuh ngakak sampai keselek kalau di antara kita ada yang lagi bete atau lagi kena masalah, pasti ada aja humornya ini orang. Dia yang punya peran buat mencairkan suasana di antara kita, gue sih lebih suka ngasih judul ke dia sebagai badutnya Congklak, soalnya kerjaannya udah kayak badut yang tugasnya bikin orang bahagia dan tertawa.

Bim, lo harus tau gue baru aja memuji lo, Bim. Gue tunggu sebungkus rokok dari lo.

Oh, iya, Bima anak terakhir dari dua bersaudara. Dia punya kakak cewek yang beda setahun doang. Kak Yura namanya, cinta pertama sekaligus patah hati pertama gue hehe, nanti bakal gue ceritain gimana perjuangan gue untuk mendapatkan perhatian teteh geulis yang bahenol itu.

Sekarang mah udahan, waktunya next ke yang lain lah, masa mau ceritain Bima mulu? Idih, suruh aja dia bikin ceritanya sendiri.

Oke, next ke temen terakhir gue, gak bener-bener terakhir sih, maksudnya di antara geng Congklak, ya. Temen gue mah banyak lah, bro, gak ada terakhir-terakhiran.

Namanya Daffa Abimana A. anak tunggal Bapak Sandyawan Aryasatya dan Ibu Yusna Kirana Dewi. Nah, udah bisa ditebak ya kalau singkatan huruf A di nama Daffa ini adalah Aryasatya.

Di antara kita, Daffa ini emang namanya yang paling panjang, inget banget gue waktu UN SMP kan kita satu ruangan, dia yang selalu terakhir buat nulis namanya sendiri. Bima bahkan pernah ngajak taruhan siapa yang paling cepet nulis nama pas UN dapet traktiran baso selama seminggu, gue mah jelas gak mau ikutan, cuma Bima sama Daffa doang, sedangkan Jeremy mah jangan ditanya, dia mah pinter dan ambisius yang pastinya lebih milih fokus sama soal ujian daripada ngikut taruhan gak penting temennya.

Yah, tentu aja sesuai prediksi si Daffa pasti kalah, jelas-jelas namanya lebih panjang dari Bima, mau aja dibegoin.

Haduh, emang kadang si Daffa ini kewarasannya perlu ditanyakan.

Untuk mendeskripsikan seorang Daffa, dia ini orangnya random, kadang omongannya juga sama. Tingkahnya kayak alien, ada aja keajaibannya. Sebenernya mau nyebut dia gila, tapi gue gak sejahat itu, apalagi dia sering traktir kita-kita dan ngasih gue rokok, jadi ya begitulah. Tapi serius deh, Daffa ini tingkahnya ajaib, dia pernah ke sekolah pake piama CUMA KARENA DIA MIMPI DI LEMARINYA ADA BENCONG YANG PERNAH NGEJAR-NGEJAR DIA SAMPAI KECEMPLUNG DI GOT! Maksudnya, gila aja temen gue sampai mimpi dibawa serius segala, mana dia gak mandi lagi, langsung ke sekolah pake piama dan bawa boneka Ryan-nya.

Hadeh.

Fyi sih, Daffa ini orang kaya, Bapaknya jadi manager di perusahaan besar gitu, terus Ibunya jadi desainer yang punya banyak butik dibeberapa kota, tante Yusna punya brand-nya sendiri, gitu sih kata Mamah gue mah.

Tapi meski kaya, Daffa orangnya gak sombong, dia malah lebih ke kayak orang miskin yang perlu dikasihani.

SOALNYA DIA SERING MINTA MAKAN KE RUMAH GUE ANJIR SIA DAFFA JATAH MAKAN URANG DILEBOK SAMA MANÈH MIKU HAYANG NYABOK!

Bukan ke rumah gue doang sih, ke rumah Jeremy sama Bima juga sering, bahkan sering bawa piringnya sendiri buat minta makan. Pernah ya Jeremy nanya kenapa Daffa sampai minta makan segala (karena ini udah terlalu sering, guys), dan tau gak jawabannya apa?

“Gue gak suka makanan mahal, Bunda sering delivery makanan aneh, padahal lebih enakan sayur asem sama ikan asin, terus ditambah sambel dan tempe goreng. Hadeh, gue nanti numpang makan, ya. Nanti gue kasih udud sama vocher kouta, deh.”

Kayak … HELOW LO KATAIN MCD, STEAK, SPAGHETTI SEBAGAI MAKANAN MAHAL ANEH APA BUKAN LO AJA YANG ANEH BANGSAT?!

Tapi ya, makan sama sayur asem, ikan asin, sambel, tempe goreng itu nikmatnya tiada dua, nikmat banget bro, sumpah deh! Apalagi kalau ditambah lalapan, hadeh ... udah kayak makanan terenak di dunia dah.

Buat fisik, kalau kata cewek-cewek di kelas sih Daffa ini KATANYA punya senyum yang bisa bikin cewek klepek-klepek menggelepar kayak ikan kekurangan air. Cuih, apaan, bagusan juga senyuman gue, gak ada cabe yang nyempil kayak si Daffa. Tapi sih ya, meski gue males mengakuinya, Daffa ini emang punya badan yang bagus karena rajin olahraga, gak kayak si Bima yang hobinya goleran kayak kebo sampai lemaknya menggumpal di mana-mana.

Oh, iya, Daffa ini juga sering disebut sebagai Dilan KW. Idih apaan banget ya, kalau gue sih gak mau dilabeli KW KW, si Daffa mah malah kesenengan.

Udahlah, segitu aja, kebanyakan amat buset, kan gue juga mau menceritakan kenapa cerita ini berjudul Congklak.

Oke, kita percepat.

Kalian tau kan permainan tradisional yang berjudul Congklak?

Kalau mau pakai peubi yang bagus, di KBBI sih tulisannya congkak ya, tapi karena congkak juga bisa diartikan sebagai sombong atau angkuh, jadi mending kita pakai kata congklak aja, soalnya di daerah gue juga lebih sering disebut congklak.

Congklak ini adalah permainan dengan lokan (sejenis biji-bijian), atau bisa juga menggunakan batu kecil dan kayu yang bentuknya panjang, kayak perahu, terus ada lobangnya. Untuk lebih jelas mungkin bisa lihat google ya guys, jangan jadi manusia katrok, apalah gunanya internet di dunia ini jika tidak kita manfaatkan. Nah, biasanya congklak ini dimainkan sama cewek-cewek, tapi ada juga kok cowok yang main ini.

Kayak kita ….

Jadi gini awalnya, pada zaman dahulu kala … di mana gue dan temen-temen gue yang masih suka kencing sembarangan (sebenarnya sekarang juga masih sih), di mana kita masih bocah SD yang sering jajan gorengan serebu dapet empat, kita pernah main congklak, Bima yang ngusulin. Soalnya tetehnya Bima ini sering main congklak sama temen-temennya, dia juga jadi kepengen gitu dan berakhir ngajak kita ke rumahnya cuma buat main itu.

Singkat cerita, karena congklak-nya cuma ada satu, mau gak mau kita mainnya saling gantian dan berpasangan. Waktu itu gue sama Daffa dan Bima sama Jeremy, yang main pertama kali ya jelas mereka, karena Bima ngotot mau main pertama soalnya congklak-nya juga punya dia, padahal mah punya tetehnya, jadi ya udahlah kita mah ngalah aja.

Gue udah bilang belum kalau Bima ini ngeselin?

Jadi, bro, dia waktu kecil juga sama ngeselinnya. Waktu itu giliran gue sama Daffa yang main malah dicegah sama dia, katanya mau main sekali lagi, terus ngungkit-ngungkut kalau ini congklak-nya dia, harus nurut sama dia, lagi-lagi, ya udahlah kita mah nurut-nurut bae. Tapi makin lama dia ini makin menjadi-jadi ngeselinnya, selama dua jam itu CUMA DIA SAMA JEREMY DOANG YANG MAIN GUE MAH JADI PENONTON AJA KEHED KESEL AING LAMUN KAINGET ETA!

Dan disitulah amarah gue memuncak, gue tendang itu benda sialan sampai batunya berhamburan ke mana-mana, bahkan sampai kena ke mata Jeremy yang langsung nangis (itu orang dari kecil emang cengeng, guys). Terus karena Bima gak rela mainannya di tendang langsung nonjok gue, yang tentu saja kawan-kawan, langsung gue tonjok balik, di sisi lain Daffa juga gak terima cuma jadi penonton doang, akhirnya dia ikutan nyerang Bima bareng gue.

Waktu itu gue masih kelas 2 SD, jadi bayangin aja gimana gelut bocah cowok yang berumur 7 tahun.

Alhasil kita bertiga gelut dengan Jeremy yang masih nangis karena matanya kena batu, tapi semua itu gak bertahan lama saat Bima ngedorong badan gue dan langsung nimpa badan Jeremy.

Dah, lur, kacau dunia persilatan.

Jangan kata Jeremy cengeng jadi dia bakal diem aja karena tertimpa badan gue. Dia juga mulai ikut ke pertempuran kita bertiga, di mana saat itu kita berempat saling tonjok, saling gigit, saling jambak, saling tindih dengan racauan makian dan air mata yang mengalir deras.

Maklum, namanya juga bocah, pasti nangis pas gelut penuh dahysat kayak gini.

Pokoknya waktu itu kita bertempur habis-habisan, siapa aja kita serang, Bima yang paling anarkis sampai guci di rumahnya juga pecah karena ke senggol dan bikin orang tua kita datang buat misahin.

TAPI YANG PALING KOCAKNYA KITA BEREMPAT NANGIS KEJER PAS DIPISAHIN!

Alasan gue nangis waktu itu sih rasa sakit akibat gelutnya langsung kerasa, belum lagi amarah yang cuma jadi penonton doang itu, hadeh, udahlah gue nangis kejer sambil guling-guling. Kalau alasan mereka mah gak tau ya, teu nanya da lupa.

Tapi lucunya semenjak kejadian pertempuran penuh kebengisan dan tragis karena congklak itu bikin kita malah makin lengket, kayak permen karet yang nempel di alas sepatu.

Serius deh, sejak saat itu kita bener-bener jadi sering main terus bareng-bareng, mandi bareng, berangkat sekolah bareng, boker bareng, pokoknya bareng. Tiada hari tanpa kita berpisah kecuali pas bobo di rumah masing-masing.

Aneh, kan?

Heran, kan?

Sama.

Apakah kita berjodoh?

Tentu saja tidak!

Nah, itulah awal mula kenapa cerita ini diberi judul Congklak. Karena dari congklak kita jadi bersatu, semakin kokoh dan tak akan pernah bubar walau topan dan hutang menghadang.

Meski sebenarnya gue lebih suka judulnya Arjuna dan Tiga Pembokat Setianya, tapi gakpapa, gue adalah manusia yang penuh dengan kepekaan, kebaikan, ketekunan dan berbudi pekerti luhur tinggi, jadi harus menahan diri untuk tidak selalu jadi yang nomor satu.

Kata Mamah urang mah kita teh harus rendah diri.

Tapi harusnya sih rendah hati ya, kayaknya Mamah gue sesat ….

CANDA MAMAH CANDA!

Eum, oke, Mamah urang gak ada lagian.

Jadi, Congklak adalah kisah gue dan temen-temen gue di masa muda yang penuh kebangsatan dan kemalaratan. Di mana kehidupan kita dipenuhi struggle yang asu tenan.

Mau cerita ini lanjut?

Kalian bisa subscribe channel di bawah ini, jangan lupa nyalakan loncengnya, terus comment dan like-nya juga, jangan pelit-pelit lo nanti kuburannya sempit!

Ada gak?

Gak ada, ya?

Iya, soalnya adanya cuma di hati kamu, eaaaa!

Entos atuhnya, capek atuh penulisnya ngetik mulu, gak digaji lagi, mana kouta internet T*elkomsel makin mahal, hadeh.

Ya udah, kita sampai di sini aja, Arjuna ganteng mau pamit dulu, lapar, saatnya kita menjajah dapur dan seisinya untuk kepentingan perut yang telah lama dijajah cacing perut kelaparan.

Dadah teteh geulis, muach!

Subscribe jangan lupa!

Sayangku, jika saat itu tiba, negeri yang kau perjuangkan hanya akan hancur di tanganku dan tangannya. Sayangku, ketakutanmu akan selalu menjadi kekuatan untukku. Rajaku, saat hari itu tiba, kau akan bersujud di kakiku ... seperti janjimu.


Ketegangan merangsek cepat, terlalu cepat, menyebar bagai virus hingga aroma yang menginvasi penciuman seperti racun yang menunggu untuk melumpuhkan.

Pekat, sesak.

Forterrese malam itu dihujani triliunan air membuat benteng kokoh yang mengelilingi negeri basah dan lembab. Guntur terlihat jelas menghiasi langit yang menghitam, memberi kemuraman dan layu pada negeri, pula bagaimana angin yang berembus mengerikan dan suara petir yang memekakkan semakin menegaskan bagaimana suasana yang sedang terjadi kini.

Forterrese sedang gelisah.

“Kita tak memiliki pilihan.”

Pula, kegelisahan pun terlukis jelas pada wajah berhias mahkota, yang mana, netra selayaknya arang itu sedang memerhatikan negerinya yang bermuram durja dari balik jendela yang terbuka.

“Kita memilikinya, Raja. Kita pasti memilikinya.” Suara lembut bernada tajam itu datang menimpali dari arah belakang, sosok bermahkota yang dihiasi berbagai permata itu berbalik bersama tatapan lelah, penuh kekalutan dan kengerian yang seharusnya tak ada di sana.

Karena seorang Raja, tak sepatutnya menunjukkan sisi rapuhnya.

“Sebutkan, Ratu,” balasnya, berdesis di antara Keheningan serta ketegangan pada ruangan yang hanya diberi penerangan dari obor yang menyala kecil di dinding. “Aku mendengarkan.”

Chanyeol menunggu. Menunggu untuk balasan datang dari belah ranum permaisurinya, namun kalimat itu tak pernah datang, tak pernah disaat wanita nomor satu di negeri ini hanya menunduk dan mencengkeram gaun lusuh yang membalut tubuh.

Jelas bahwa kegelisahan pun merayap sama rata.

Petir menyambar membuat langit terlihat semakin mengerikan, terdengar keras dan mengejutkan. Chanyeol meraih udara dan berjalan mendekat selagi berbicara. “Kita tak memiliki pilihan, itu adalah apa yang seharusnya kau terima.”

“Kita pasti memilikinya.”

Namun sang Ratu negeri Forterrese terlalu bebal hanya untuk mendengar peringatan dari manusia nomor satu di negeri ini.

Kekehan itu terdengar meremehkan. Tungkai berhenti bergerak saat sosok sang Ratu telah dekat dalam jangkauan, Chanyeol menarik dagu permaisurinya untuk mendongak menatapnya, tepat pada bola mata.

Dingin dan tajam.

“Takdir tertulis untuk semua lelaki di dunia ini adalah dengan terlahir menjadi Alpha atau Beta. Ratuku, kau yang paling mengerti bahwa tak seharusnya seorang lelaki menjadi Omega jika tak untuk suatu masa hancur di tangannya.”

Kamar terluas di kerajaan itu terasa sangat dingin dan mencekik, memberi tekanan terlalu erat sebagaimana apa yang kini terjadi. Kalimat dingin Chanyeol adalah pernyataan dan seharusnya, tak ada pertanyaan yang meluncur jika bukan karena memiliki alasan untuk membantah.

“Namun takdir yang membuatnya menjadi Omega,” Wendy semakin mendongak saat permukaan kasar tangan suaminya mengelus pipi yang dingin. “Dan pasti ada alasan selain itu untuk semua ini.”

“Mengapa kau tetap mempertahankannya?”

“Karena Renjun adalah anakku.”

Tergugu. Usapan menghilang dengan desah napas kasar yang terdengar kemudian. Chanyeol berbalik, menyedihkan bahwa menyadari bahwa dirinya tak memiliki nyali untuk menatap manik madu manis itu untuk waktu yang lama.

Langkah kakinya bergerak nyaring, tak tentu arah, gelisah.

Ketakutan.

“Negeri yang kuperjuangkan dengan darah dan seluruh hal yang melekat padaku akan hancur, Ratu. Ramalan itu tak pernah meleset jauh, tak pernah memberi kepalsuan semu. Sebuah tragedi akan terulang kembali. Mimpi buruk akan menghantui negeriku ini, menyembar secara nyata tanpa sempat kita untuk mencegah.”

Langkah kasar itu terhenti pada depan jendela yang terbuka seperti saat semula ditempati, Chanyeol menatap negerinya dari atas menara di mana kamarnya berada. Atap-atap rumah rakyatnya tergambar seperti lukisan. Sebuah lukisan menyedihkan penuh kemuraman.

“Lelaki seharusnya mengangkat pedang, menjadi raja dan bertempur mati-matian di medan perang. Lelaki seharusnya tidak mengangkang lebar dengan penis yang tersumpal pada lubang, lelaki tidak mengandung, Ratuku. Lelaki tidak menjadi Omega.”

“Kau hanya terlalu menutup mata dan mencoba untuk menyangkal, bukankah begitu, Paduka?”

Kalimat dingin dari si permaisuri menghadirkan kurva yang menghiasi belah ranum. Sebuah senyuman pahit yang mana pula merambat meremas dada.

Namun Chanyeol memiliki pendirian kuat, di mana sebuah kata mengalah tidak akan pernah berada di dekat namanya.

“Dia memiliki dua elemen di mana seharusnya hal itu tidak terjadi melihat dari posisinya. Dia memiliki sebuah tanda yang mana kita tahu siapa pemilik lain dari tanda yang serupa. Dia akan membuat semua orang berperang untuknya, membunuh hanya untuk mendapatkannya,” jeda, Chanyeol membiarkan tetes air itu mengenai wajah tanpa masalah. “Cukup terima bahwa kita tak memiliki pilihan lain selain membunuhnya, menghilangkannya dari dunia.”

Lalu gerakan itu datang cepat dan sembrono. Wendy berdiri di atas sepatu kaca yang membalut kaki, menahan geram dan sesak akan kalimat dari seseorang yang seharusnya tak mengucapkan hal tersebut.

“Aku mengizinkanmu untuk melakukan apa pun padanya, Paduka, apa pun. Tapi tidak dengan membunuhnya, tidak dengan menyentuhnya, tidak dengan melenyapkannya,” terengah, Wendy mendekat, membiarkan gaun yang membalut tubuh terseret di atas lantai yang dingin. Punggung lebar itu sangat dekat, pula terasa sangat jauh hanya untuk diraih penuh pengorbanan. “Kau bisa mengurungnya, kau bisa menekan elemennya, kau bisa membatasi kekuatannya, kau bisa melakukan apa pun selain membunuhnya. Kau bisa melakukan apa pun untuk rakyatmu, Chanyeol. Maka aku menuntut hal yang sama padamu untuk melakukannya pula pada anakku.”

Tapi ini adalah hal yang berbeda.

Ketakutan akan masa lalu membuat lelaki yang paling dihormati di seluruh negeri ini menutup mata, menghalau suara untuk merambat pada telinga.

Chanyeol berbalik dengan gerakan sama sebagaimana ia bertingkah sebagai pemimpin negeri, penuh wibawa dan kendali. “Ya, aku bisa melakukannya, namun bagaimana dengan yang lain?”

Bagaimana dengan anak mereka yang lain.

Di antara ketegangan itu, di antara aroma amarah itu, ada aroma lain datang mendekat, cukup banyak, tergesa, penuh ketakutan dan keterkejutan yang sangat pekat.

Lantai di depan pintu kamar itu dihadiri beberapa yang terengah dengan aroma ketakutan yang tercium sangat jelas.

“Paduka.”

Dan suara penuh getaran itu datang dengan aroma keputusasaan.

Tanpa mengalihkan pandangan, tangan kiri Chanyeol terangkat dengan telapak tangan yang terbuka lebar, yang mana, hal itu membuat pintu besar dari pohon mahoni pilihan di negeri ini terbuka perlahan dan lebar; memperlihatkan beberapa orang prajurit yang beberapa saat lalu ia perintahkan untuk menjaga sebuah kamar di kastil barat.

“Bicaralah.”

Lelaki yang paling berada di depan itu menunduk dengan tongkat panjang yang di atasnya dihiasi besi tajam, getar pada tubuhnya terlihat sangat jelas, begitu pula bagaimana ketakutannya yang tercium pekat seperti rekannya yang lain, yang hanya bisa menunduk tanpa berani menatap si pemimpin negeri.

“Putra Mahkota dan para pangeran mendatangi kastil barat, menyerang prajurit tanpa kendali. Protector yang kau buat mulai menipis dan membuat—”

“Cukup.”

Ketegangan itu semakin pekat, semakin sesak dan mencekik, aroma kemarahan Chanyeol tercium sangat jelas, pun bagaimana rahang yang mengeras bersama tatapan tajam kuat yang menusuk tepat pada bola mata caramel yang terang. Bahkan prajurit yang berdiri di depan pintu sampai terjatuh dengan lutut menyentuh lantai. Sesak, terlalu banyak, aroma kemarahan sang raja terlalu banyak dan tak terkendali.

Aroma seorang raja memang ditakdirkan untuk seberkuasa ini.

Kali ini tangan kanan Chanyeol yang terangkat, pedang tajam kebanggaannya yang semula tersimpan rapi itu langsung melayang, datang pada telapak tangan.

Wendy masih mencoba menghalau segala aroma kemurkaan suaminya meski desah napas mulai terengah dan memendek. Ia tetap mempertahankan kakinya untuk berdiri, mempertahankan netranya untuk tetap terpaku pada bola mata penuh misteri serta tragedi.

Dan tanpa pernah untuk Wendy duga, mata pedang tajam itu datang menyentuh leher, tak menekan, memiliki jarak namun tetap keterkejutan tak dapat disembunyikan.

“Untuk terakhir kali, Ratuku,” Chanyeol berdesis. “Apa pilihanmu?”

Sang ratu bergetar di bawah pemimpin negeri, namun keberanian yang telah melekat pada darahnya membuat ia tak lumpuh dan tak menyerah secara terhina.

“Jangan. Membunuh. Anakku.”

Secepat kalimat penuh tekanan itu datang, secepat itu pula punggung Chanyeol menjauh, membuat jubahnya berkibar gagah meninggalkan kengerian.

Kastil terasa dingin sebagaimana Forterrese yang diserang hujan lebat. Lorong yang menghubungkan dengan kastil lain terasa mencekam dan mencekik, membuat tubuh menggigil meninggalkan aroma suram dan ketakutan. Chanyeol berjalan cepat diikuti prajurit yang beberapa saat lalu memberinya informasi mengejutkan, bayangan akan tubuh besarnya terlihat jelas tergambar pada dinding-dinding dingin yang dihiasi obor di sepanjang jalan.

“Panggil panglima Sehun dan panglima Kai untuk bergegas ke kastil barat. Umumkan pada seluruh peramal di negeri ini untuk datang besok pagi, tanpa terkecuali. Dan aku ingin menteri Siwon berada di mana aku berada sekarang juga.”

Terengah, penuh amarah, lantai bergetar oleh langkah kaki mereka.

“Aku menunggu 15 prajurit berstatus Beta di bawah tanggung jawab panglima Oh Sehun untuk berada di kastil barat secepatnya. Jangan membiarkan siapa pun untuk berani mendekat terutama para Alpha.”

Ketakutan merayap, menyebar cepat, tak terkendali. Bayangan itu terlihat nyata, terekam jelas pada kepala, tentang sebuah masa yang tak ingin untuk Chanyeol ulang kembali. Tidak, disaat negerinya merdeka serta sejahtera tanpa ketakutan seperti waktu silam.

“Perintahkan pada mereka untuk membuat Putera Mahkota dan para Pangeran menjauhi kastil barat terutama kamar yang ditempati Pangeran Renjun. Aku memberi izin untuk melakukan apa pun pada mereka kecuali membunuhnya.”

Berbelok, langkah kakinya bergema bersahutan dengan suara petir. Para prajurit di belakangnya setia mengikuti meski aromanya mungkin membuat mereka kesulitan hanya untuk mengangkat pedang.

Aroma penuh kemarahan dan rasa takut.

“Hanya singkirkan mereka dari kastil barat.”

Chanyeol berhenti tepat di tengah-tengah lorong yang berada di kanan dan kirinya. Berbalik penuh wibawa dengan jubah kerajaan kebanggaannya berkibar penuh elegan dan penuh kekuasaan sebagaimana kedudukannya di negeri penuh benteng ini. Tatapan tajamnya mengarah pada para prajuritnya yang menunduk penuh patuh dan hormat.

“Terutama Pangeran Jeno.”

Dan presensinya menghilang.

Meninggalkan embusan angin yang terasa pelan saat jubah itu berkibar, serta kalimat terakhir selayaknya ultimatum jika tak ingin terjadi perang di negeri yang semula makmur dan sejahtera.

“Lakukan apa pun untuk menjauhkan Pangeran Jeno dari Pangeran Renjun bahkan jika itu menyakitinya.”

Karena ramalan itu benar, ada sebuah taruhan di tangan mereka.


[ COMING SOON ]

On Wattpad – REONBY


TW // mature contain, sex explicit scene, harsh words, smoking!

“Mau mandi gak?”

Suara berat itu membuyarkan lamunan Renjun dari pemandangan kamar, dia mengerjap menatap sosok Jaemin yang entah sedang melakukan apa di dekat meja, membelakanginya.

“Gue udah mandi kok,” Renjun tanpa sadar mencicit, nyalinya yang beberapa saat lalu sebesar samudra itu menciut menjadi butiran atom. Bagaimana tidak? Karena kebodohannya, sebentar lagi mereka akan melakukan seks untuk pertama kalinya. Saling bertelanjang di depan masing-masing setelah bertahun-tahun berteman.

Gawai di simpan bersama jaket dan topi miliknya di atas nakas. Kaki telanjang Renjun menginjak kelopak bunga mawar yang tersebar di lantai, sudut bibirnya terangkat saat menyadari sesuatu.

“Lo udah tau gue bakal kalah, ya?”

Jaemin berdehem, jalan menuju kasur dan duduk di atasnya, berhadapan langsung dengan Renjun yang masih berdiri dengan tegang.

Ketegangan Renjun tak dapat disembunyikan dengan rapih, dan Jaemin beruntung akan hal itu karena ternyata bukan dirinya saja yang merasakan gugup dan tegang akan hal yang akan terjadi sebentar lagi.

“Sebenernya gue nyiapin ini cuma buat jaga-jaga doang sih, gue juga gak tau ternyata bakalan menang.”

“Kenapa harus nyiapin ini segala?”

Gelas yang ada di genggamannya digerakan pelan, Jaemin mendongak menatap Renjun dan tersenyum kecil.

“Karena ini pertama buat kita?”

Dahi Renjun berkerut. “Lo tau batasan, 'kan?”

“Tentu aja, dengan sangat,” gelas berkaki itu tersodor, Jaemin lagi-lagi tersenyum, terlihat tulus dan manis. “Mau minum? Cuma wine, semoga aja bisa mencairkan ketegangan.”

Gelas berkaki berisi cairan berwarna merah gelap itu ditatap lama, Renjun menghela napas, meraih gelas itu dan meminumnya. Yah, Jaemin benar, ketegangan ini terlalu mencekik, apalagi dengan perlakuan ambigu lelaki itu.

Gelas telah tandas, Jaemin meraih gelas itu dan berdiri, berjalan menuju meja tadi. Sedangkan Renjun hanya menggigit bibirnya gelisah, dia duduk di tempat dimana Jaemin duduk beberapa saat lalu.

“Rokok gak?” Asap dari rokok yang Jaemin nyalakan terlihat jelas, lelaki itu berbalik dengan sigaret yang terselip di antara belah bibir, berjalan menuju Renjun dan berdiri menjulang di hadapannya, sangat dekat hingga Renjun harus mendongak.

Renjun menggeleng saat Jaemin mengembuskan asap rokok tepat ke arah wajahnya. “Gue cuma mau ini cepat selesai.”

Jaemin mengangguk pelan dan entah mengapa suasana malah jadi semakin tegang.

“Malam ini gue yang menang, 'kan?”

“Hm,” Renjun berdehem malas, itu sebuah pernyataan yang seharusnya tidak perlu dipertanyakan.

“Jadi malam ini gue bisa bertindak bebas, melakukan apapun yang gue suka asal tau batasan. Gue bisa merintah lo buat melakukan apapun asalkan gak membahayakan. Dan di sini, lo hanya harus patuh atas semua perlakuan dan menikmati semua tindakan yang gue berikan. Iya, 'kan?”

Fuck! Bagaimana bisa sosok Jaemin yang berdiri menjulang dengan pakaian dan rambut berantakan, tatapan datar, asap rokok yang keluar dari celah bibir, serta sigaret yang terselip di antara sela jari itu terlihat sungguh menawan?

Ah, sepertinya ada sesuatu yang salah di sini.

Renjun berdehem, menunduk sekilas dan mendongak lagi. “Iya, Daffa.”

Senyuman Jaemin terpampang lebar, lelaki itu mengangguk sembari menyodorkan sigaretnya ke arah Renjun.

“Bisa tolong pegangin?”

Sigaret itu langsung Renjun raih tanpa bantahan. Malam ini terasa berbeda, ia merasa menjadi pribadi yang bukan dirinya, dimana biasanya ocehan tak jelas dan guyonan garing selalu terlontar dari bibirnya disetiap waktu, kini hanya ada bungkam, diam dan kepatuhan. Entah karena kamar ini atau karena eksistensi Jaemin sendiri.

Kedua netra mereka bertaut saling memerhatikan. Jaemin tersenyum, melepaskan kausnya hingga menampilkan bentuk tubuh yang membuat Renjun terkejut dalam diamnya. Tubuh Jaemin yang selalu tersembunyi itu kini terpampang nyata. Entah itu hasil dari olahraga atau apa, tapi jelas bentuk tubuh Jaemin adalah bentuk yang Renjun inginkan sedari dulu untuk menghiasi badannya.

Bahu lebar, lengan atas yang berotot, dada bidang, dan perut yang berbentuk.

Jaemin jelas akan membuat para pria iri akan dirinya. Ketampanan, kekayaan, kepintaran, bahkan bentuk tubuh. Bibir Renjun tanpa sadar mengerucut karena kesempurnaan yang dimiliki sahabatnya, yah kecuali sifat alay dan narsisnya sih.

“Lo punya tato?” Kening Renjun berkerut saat menyadari melihat tulisan asing di dada kiri Jaemin, tepat di jantungnya.

“Hm, udah lama juga sih.”

Tapi Renjun baru menyadari itu.

Tato dengan tulisan asing itu masih ditatap, Renjun bertanya tanpa menatap wajah yang lebih muda. “Artinya apa?”

“Arjuna,” Jaemin berbisik, lirih, menatap Renjun yang kini mendongak menatapnya penuh kebingungan. “Artinya Arjuna. Ini aksara Dewanagari, aksara India dari bagian Utara. Aksara ini biasanya dipakai dibahasa Sansekerta, meski yah katanya bahasa Sansekerta gak selalu pakai bahasa ini karena dicampur aksara-aksara Nusantara lain.”

Renjun hanya terdiam, menatap wajah Jaemin lalu pada tato yang menghiasi dada lelaki itu. Kebingungan masih menyerangnya. Mengapa Jaemin harus mempunyai tato bertuliskan bahasa asing yang memiliki arti namanya?

“Kenapa?”

“Hm?”

“Kenapa harus nama gue?”

Sekarang giliran Jaemin yang terdiam, lelaki itu menjilat bibir bawahnya yang selalu terasa kering, menatap Renjun dan tersenyum tipis. Sigaret di antara jari lelaki yang lebih tua diambil, bersamaan tangan yang lebih kecil darinya untuk menuju dada kirinya, tepat dimana jantungnya berdetak kencang.

“Mau nyentuh gak?”

Pertanyaan tak berguna karena Jaemin tetap membawa telapak tangan Renjun berhenti di dadanya.

Panas, berdetak kencang. Renjun mengerjap lambat merasakan kulit Jaemin di bawah telapak tangannya, terasa panas dengan detak kencang yang tak seharusnya. Dia mendongak, menatap Jaemin yang menghisap sigaretnya, lalu pada tato itu kembali.

“Sakit gak?” Jari-jarinya bergerak, mengelus aksara berartikan namanya itu secara perlahan. “Kalo engga, urang juga mau nyoba bikin.”

Jaemin terkekeh serak, mengembuskan asap sigaret dari celah bibir. “Sakit gak sakit sih.”

Gerakan jemari Renjun terlalu pelan. Jaemin menggigit bibir bawahnya, menahan geraman yang ingin keluar dari tenggorokan. Meski tangan Renjun tak sehalus perempuan, namun tangan itu jelas lebih halus dari lelaki kebanyakan.

Cahaya remang, kedua netra Renjun yang terlihat berbinar menatap pada tatonya itu entah mengapa membuat tensi udara di sekitarnya rendah.

Masih dengan rokok yang ada di tangan kanan, Jaemin menarik Renjun untuk berdiri berhadapan. Perbedaan tinggi mereka tak terlalu jauh, tapi tetap saja Jaemin yang lebih tinggi di sini. Rokok dihisap sebelum asapnya diembuskan tepat pada wajah Renjun yang tak terlihat terganggu.

“Boleh cium gak?”

Renjun pernah berciuman, tapi semua orang yang ia cium selalu berjenis kelamin perempuan, bukan lelaki yang memiliki sesuatu yang sama dengannya. Jadi, saat Jaemin meminta izin untuk menciumnya, itu cukup membuat kegugupannya meningkat.

“Kenapa harus izin?” Renjun berbisik, tangannya di dadanya Jaemin ia tarik kembali. “Lo teh emang sering bersikap gentle gini, ya, Daff?”

“Engga juga, gue cuma gak mau semua yang bakal kita lakukan terlihat seperti paksaan.”

Jaemin juga ingin Renjun menikmati.

Butuh seperkian detik untuk anggukan yang Jaemin dapatkan. Kedua sudut bibirnya terangkat, bukannya mencium bibir Renjun, Jaemin malah berbalik, menuju meja tadi membuat Renjun merenggut tanpa sadar.

Teu jadi nyipok na?”

Jaemin terkekeh tanpa menatap yang lebih tua. “Jadi kok, tapi ada rokok di tangan gue, nanti kalo lo kena gimana?”

Ah, bibir Renjun menipis saat Jaemin telah membuang rokok yang masih tersisa banyak. Lelaki itu berjalan menghampirinya lagi, berhenti sangat dekat dengan tubuhnya.

Dan tak ingin membuang waktu lebih lama, tangan kasarnya meraih pipi Renjun, menariknya untuk mendongak dan membawa wajahnya untuk mendekat.

Ciuman itu terasa seperti rokok, terasa asam dan manis.

Tak seperti dugaannya, ciuman Jaemin penuh kelembutan membuat kedua tangannya mengepal tanpa sadar. Renjun terdiam, kelopak mata tertutup saat bibir kering Jaemin semakin menekan bibirnya, melumatnya, dan menyesapnya dengan hati-hati. Dadanya berdegup kencang, bukan karena ini pertama kalinya ia berciuman dengan lelaki, tapi karena perlakuan Jaemin yang di luar perkiraan. Usapan pada leher dan pipinya, lumatan lembutnya membuat Renjun seketika dilanda kebingungan.

Dan dengan kesadaran penuh, Renjun membalas ciuman sahabatnya bersama kedua tangan yang perlahan naik mengelus pinggang dan dada telanjang Jaemin.

Yah, meski dari awal ini terlihat seperti pemaksaan, namun tak ada salahnya untuk menikmati bukan? Lagi pula ini hanya untuk pertama dan terakhir kalinya Renjun bersetubuh dengan seorang lelaki.

Hmh ....”

Tensi udara merendah, ciuman itu semakin menuntut, keduanya saling melumat dan menghisap bibir dengan kepala yang bergerak ke kanan dan ke kiri hanya untuk menemukan celah yang pas.

Tangan Jaemin merambat ke bawah, ke ujung kaus yang Renjun kenakan, dia menarik kaus itu hingga ciuman mereka terpaksa terlepas. Pemandangan Renjun yang terengah, wajah memerah dan bertelanjang dada sangat cukup membuat tenggorokannya tercekat. Menjatuhkan kaus itu ke sembarang arah, Jaemin meraih wajah Renjun lagi, menciumnya dengan nafsu yang tak bisa untuk ia bendung. Rasanya, teksturnya, bibir Renjun terasa candu dan memabukkan.

Suara kecipak dari bibir mereka terdengar keras, berikut dengan geraman dan desahan tertahan. Saling melumat seolah akan memakan wajah sang lawan. Kedua tangan Jaemin menjelajah pada tubuh Renjun yang ramping, mengelus pinggang serta dada lelaki itu sampai menggeliat resah. Meski tak sehalus Shuhua, namun kulit tubuh Renjun terasa cukup halus di tangannya yang kasar. Jaemin menggeram saat selangkangannya dielus dan diremas pelan, ulah tangan Renjun yang kini juga membuka lebar mulutnya, yang Jaemin anggap sebagai undangan untuk melakukan lebih, dan tentu saja kesempatan itu tak ia sia-siakan.

Untuk pertama kalinya lidah mereka bersentuhan, saling membelit dan membelai menghasilkan friksi aneh pada perut dan tubuh. Saling berbagi saliva dan rasa asing tanpa jijik. Tangan kiri Jaemin menekan belakang leher Renjun untuk semakin mendongak, agar memudahkan lidahnya bermain di dalam mulut yang lebih tua, sedangkan tangan kanannya sendiri sedang sibuk mengelus dada datar Renjun, memilin dan mencubit puting lelaki itu sampai geramannya terdengar.

Aneh, asing, namun menyenangkan.

Renjun mendesah tertahan, tangan kanannya mengelus-elus selangkangan sahabatnya dan meremasnya pelan. Demi apapun! Sebelumnya, tak pernah terpikirkan akan ada waktu dimana dirinya mengelus selangkangan lelaki lain, meremas sembari berbagi liur dan membelit lidah. Selama ini mimpi basahnya selalu berobjek perempuan bukan seorang lelaki, pun saat-saat ia bermasturbasi, hanya ada bagian tubuh perempuan yang ada dibayangannya bukan lelaki berpenis, berdada datar dan bersuara kasar. Namun kini, dirinya malah sedang berciuman dengan lelaki, saling meraba tubuh masing-masing tanpa jijik.

Aneh, mengapa Jaemin menjadi pengecualian?

Ah ....”

Tautan itu terlepas, menyisakan benang liur yang menjuntai dimasing-masing bibir. Kelopak mata Renjun terbuka dengan getaran kecil, menatap langsung pada wajah Jaemin yang rahangnya mengeras dan tatapan tajam asing. Dan tangan kanannya ... Ah, tangan kanannya masih setia meremas penis sahabatnya yang terbungkus celana jins.

“Lanjut ....” Jaemin terengah merasakan penisnya diremas pelan. “Atau berhenti?”

Pertanyaan itu membuat Renjun terdiam, menghentikan segala pergerakan tangannya ditubuh sang sahabat. Kelopak matanya mengerjap lambat, menyadari bahwa Jaemin masih memikirkan dirinya untuk sebuah persetujuan, padahal ia tau bahwa lelaki itu sedang menahan diri mati-matian.

Renjun mengulum senyumnya, wajahnya bergerak ke arah leher Jaemin, menjilat jakun lelaki itu dan menggigitnya perlahan. Tangannya kembali meremas penis yang telah mengeras di bawah sentuhannya.

“Lakukan apapun yang lo mau. Arjuna milik Daffa malam ini.”


Semuanya berjalan cepat, terasa kabur namun nikmatnya terasa sangat nyata.

Renjun tak bisa mengingat dengan jelas bagaimana kini dirinya bisa berbaring di atas kasur Jaemin, telanjang, mengangkang lebar dan mendesah penuh keputusasaan sembari mencengkeram sprei di bawahnya. Tubuh besar Jaemin mengungkungnya, berada di atasnya dengan bibir lelaki itu yang sibuk menggigit leher serta bahu. Hal yang membuat Renjun frustrasi hingga desahan dan air mata membasahi wajahnya adalah jari lelaki itu yang berada di dalam tubuh. Bergerak cepat, kasar, menyodok, menggaruk, menekuk dan segala hal lain yang membuat kewarasannya sukses menghilang.

Tiga jari.

“Tambah, boleh?”

Kepalanya semakin menekan bantal, belah bibir Renjun terbuka saat tangan Jaemin bergerak kasar di bawahnya. “Bo-boleh ... Uh.”

Empat jari.

Kening Renjun berkerut dalam saat jari di dalamnya bertambah. Jari Jaemin jelas lebih besar dan panjang di bandingkan jarinya.

“Sakit?” Jaemin bertanya tanpa menghentikan gerakan tangannya, bibirnya berpindah mengecup pipi Renjun yang memerah.

“Uh, cuma perih dan sesak.”

Jaemin terkekeh serak, menggigit gemas dagu Renjun. “Kalo gak gini nanti bakal sakit banget, tahan aja, ya?”

Kelopak mata Renjun terbuka, dia mengelus rahang Jaemin yang ada di depannya. Ekspresi penuh kenikmatan jelas tergambar jelas pada wajah.

“Langsung masukin aja Daff, gue mau keluar bareng.”

“Yakin?”

“Yakin elah, cepetan!”

Apa boleh buat?

Jaemin melepaskan seluruh jarinya, berganti mencium bibir Renjun cukup lama sebelum melepaskannya dan berdiri, melepaskan celana jins serta celana dalam hingga bertelanjang. Sebenarnya hal yang cukup membanggakan karena Jaemin tetap bertahan selama beberapa menit dengan penis yang terhimpit celana, padahal sudah mengeras dan sesak. Namun kini penisnya telah terbebas, mengacung tegak membuat Renjun terpaku ngeri.

“KOK GEDE?!”

Tertawa pelan, Jaemin mengelus penisnya, mengocoknya perlahan sembari bertumpu pada lututnya lagi. “Emang harus kecil kayak lo gitu? Iri, ya?”

“Anak kontol!” Renjun mendesis, harga dirinya tergores karena perbedaan penis mereka. Sungguh, rasanya Renjun ingin menangis membayangkan rasa sakit yang akan dirinya dapat saat penis sahabatnya menerobos masuk.

Jaemin hanya tertawa, dia mengambil bantal dan menaruhnya di bawah pinggul Renjun. Kedua kaki yang lebih tua ia buka lebar sehingga mengangkanginya dengan dirinya yang mendekat hingga penis mereka bertabrakan.

Shh!

Tak menghiraukan desisan Renjun, Jaemin mengambil kondom serta pelumas, memasangkan pelindung berbahan karet itu dan membalurkan pelumas ke penisnya sendiri, mengocoknya cepat. Rasa pusing menyerang kepala, sungguh, yang merasakan gugup di sini bukan hanya Renjun karena Jaemin pun sama gugupnya.

Hei, bayangkan saja dia akan bercinta dengan seseorang yang ia cintai sejak kecil dulu! Rasanya gugup dan tertantang secara bersamaan.

“Ini bakal sakit,” Jaemin terengah, membungkuk dengan tangan kiri yang ada di sisi kepala Renjun sedangkan tangan kanan masih mengocok penisnya sendiri. “Katanya rasanya kayak badan terbelah dua, gigit bahu gue atau cakar apapun buat jadi pelampiasan, oke? Gue gak mau mundur karena kesempatan lo mundur juga udah ilang. Tapi nanti rasanya bakal enak kok.”

“Gimana lo bisa tau?”

Jaemin nyengir lebar. “Dari internet.”

“Asu! Kirain tau karena emang udah pernah.”

Kepalanya menggeleng, Jaemin membawa kepala penisnya mengelus lubang basah Renjun yang sudah ia lebarkan agar bisa menampung penisnya. Keduanya mendesah lirih. “Belum, ini pertama kalinya buat gue, biasanya cuma cipokan sama making out doang. Kalo lo?”

Renjun mendesis, matanya terpejam, kedua tangan mencengkeram bahu Jaemin saat penis lelaki itu merangsek masuk perlahan.

“Be-belum pernah, ini pertama kalinya ... Ssh Daff, sakit.”

“Tahan, ya?” Jaemin mendesah, tangannya yang bebas mengelus dahi Renjun dan menyibak rambutnya. “Lo harus rileks, gue susah masuknya.”

Renjun jelas bukan perempuan yang memiliki lubrikasi alami, meski banyak pelumas telah terpakai namun jika lelaki itu tegang dan tak rileks, Jaemin jelas kesusahan untuk menerobos.

Penisnya terasa terjepit kuat.

Jaemin mendesah, kepalanya terjatuh di sisi kepala Renjun, hampir ambruk. “Rileks Arjuna, gue susah masuknya ini bangsat! Kontol gue kejepit! Emang gak sakit apa?!”

“GUE JUGA SAKIT ANJING!”

Inginnya menampar kepala Jaemin namun tenaganya seperti terkuras. Renjun menggeram lemah, mencakar punggung lelaki di atasnya, mencoba membuat tubuhnya rileks. Lubangnya benar-benar sakit, penis Jaemin yang ukurannya tak berotak itu seperti akan membelah tubuhnya menjadi dua, panas dan perih.

“Terobos aja, Daff.”

“Gimana gue bisa terobos kalo kontol gue nya aja kejepit dan gak bisa masuk, tolol!”

“AH ANJING!”

Jaemin mengembuskan napas kasar mendengar teriakan frustrasi Renjun, dia bangkit, membawa bibir Renjun ke dalam ciuman yang panas. Tangannya meraih penis yang lebih tua, memompanya dengan cepat, tangan yang lain fokus memilin puting lelaki itu.

Jika terus seperti ini, mereka tak akan selesai sampai kapanpun, dan tak ada kenikmatan yang diperoleh. Jaemin tak mau, dia sudah susah payah mengikuti balapan agar bisa bercinta dengan kekasih hatinya, masa semua harus berjalan gagal hanya karena Renjun yang tak bisa rileks?

Mhm!

Nah, kan! Jaemin tersenyum dalam ciumannya, lidahnya sedang dihisap kuat oleh Renjun. Lelaki itu sudah mulai rileks, di bawah sama Jaemin sudah bisa menerobos perlahan karena otot-otot dinding anus Renjun sudah tak mencengkeram sekuat tadi. Mereka terus berciuman, tangannya terus bekerja di tubuh yang lebih tua hingga penisnya telah masuk seluruhnya ke dalam tubuh Renjun.

“Ah anjing! Perih banget!” Ciuman terlepas, Renjun mencakar punggung Jaemin saat lubangnya terasa perih dan sesak luar biasa. “Gue gak mau kayak gini lagi kalo sakitnya kayak mau mati.”

“Cupu,” Jaemin mencibir, mendesis merasakan perih di punggung. “Nanti juga enak kok.”

“MANA ENAKNYA BANGSAT?!”

“BENTARLAH ANJING! BELUM JUGA GUE GENJOT!”

Tanpa peduli Renjun yang melotot galak dan menjambak rambutnya, Jaemin mulai bergerak, memompa penisnya di dalam tubuh Renjun. Rasa nikmat dari jepitan dan gesekan yang ia lakukan membuatnya menggeram. Lubang Renjun yang terasa basah dan hangat itu benar-benar menakjubkan. Sedangkan di sisi lain, Renjun hanya bisa meringis nyeri sambil menjambak rambut dan mencakar punggungnya.

A-ah ... pelan.”

“Sabar, gue belum nemu.”

Sejujurnya Renjun tak mengerti apa yang Jaemin bicarakan, dia hanya bisa mendesis saat lubangnya terasa sangat panas dan perih karena bergesekan dengan penis Jaemin yang bergerak cukup cepat.

Ah, sial! Kalau rasanya seperti ini Renjun benar-benar tak ingin melakukan ini lagi! Apanya yang nikmat? Yang ada hanya ada rasa—

AAH!

Badannya seperti tersetrum, rasa nikmat menyerang kepala dan seluruh tubuhnya. Renjun melotot, terengah, menatap kebingungan pada Jaemin yang menyeringai.

Naon eta?

Bukannya menjawab, Jaemin malah terkekeh, bergerak lagi, menyodok gumpalan daging yang membuat Renjun mendesah keras. Dan yah, desahan Renjun pun langsung terdengar lagi, lebih keras, terdengar candu dan indah.

“Ini namanya prostat Arjuna sayang,” Jaemin menggeram, berbisik di telinga Renjun yang terlonjak karena sodokannya. “Enak, 'kan?”

A-AAH! Enak!”

Dan begitulah malam itu menjadi malam yang panjang untuk keduanya. Berbagai posisi mereka coba. Jaemin yang bergerak dalam tempo lambat ataupun kencang sama-sama membuat frustrasi. Kedua tangannya selalu bergerak disepanjang kulit tubuh Renjun yang licin, mengelus, memberi rangsangan lebih. Bibirnya pun tak tinggal diam, berciuman, mencium segala sudut tubuh Renjun, menggigitnya, menyesapnya hingga menghasilkan tanda kepemilikan di mana-mana; berwarna kemerahan yang akan berubah warna menjadi ungu, yang tentunya tak akan hilang dalam semalam.

Di sisi lain, Renjun hanya bisa mendesah keras, merengek dan menangis atas kenikmatan yang Jaemin berikan. Menjadikan rambut dan punggung yang lebih muda menjadi korban pelampiasan. Kakinya selalu terbuka lebar untuk Jaemin selama berjam-jam, menerima segala bentuk pelecehan yang membuat candu. Bibirnya sesekali memberi tubuh Jaemin gigitan dan hisapan, Renjun pun tak ingin kalah dalam memberi kenikmatan. Lubangnya selalu ia ketatkan, dan terkadang pinggulnya pun bergoyang menerima segala hentakan Jaemin yang terkadang di luar kendali.

Malam itu bukan hanya Renjun yang kalah, karena Jaemin pun kalah telak saat suara beratnya yang serak mengalun lirih tepat di depan telinga Renjun yang memerah.

I love you, Arjuna. I love you so much.”

Bisikan itu terdengar pedih, membuat Renjun terkesiap sesaat sebelum rasa lelah dan kantuk mengambil alih kesadaran keduanya. Jatuh tidur dalam pelukan setelah membersihkan diri.

Ah, mereka sama-sama pecundang.

Jam menunjukkan pukul 10 malam, dan tempat itu sudah terlihat sesak oleh lautan manusia.

Tak heran juga sebenarnya, acara balapan ilegal ini memang terkenal oleh kalangan berkantung tebal di hampir satu kota, bahkan ke kota lain juga. Balapan ilegal yang tak pernah tersentuh pihak kepolisian karena salah satu penyelenggara adalah anak dari Bupati, serta petinggi di perusahaan besar, asalkan ada uang semuanya bisa berjalan lancar.

Renjun mendengkus melihat wanita dengan pakaian terbuka berjalan bebas ke sana kemari, belum lagi beberapa pasangan yang making out tak tahu tempat, dia berjalan cepat bersama sang adik di sisinya. Jisung terlihat tertutup dengan jaket yang menutupi hampir seluruh tubuhnya, belum lagi masker yang Renjun paksa untuk terpasang di wajahnya. Itu bentuk antisipasi, Renjun cukup punya banyak musuh, dia tak ingin Jisung terkena imbas dari kelakuannya. Karena bagaimanapun nanti yang pasti akan repot adalah dirinya.

“Nanti lo jangan aneh-aneh ya, pokoknya kalo gue suruh diem, ya diem. Gue suruh pulang, langsung pulang, dunia kayak gini masih tabu buat lo. Dan jangan sekali-kali lo ngenalin diri pake nama asli.”

Jisung berdecak, terlihat kesal meski wajahnya tertutup masker. “Ya elah gue juga pernah ke klub kali, udah gak asing sama orang yang making out gak tau tempat.”

“Tapi ini beda lagi asu!” Yang lebih tua mendelik, menoyor kepala adiknya yang suka merengek itu. “Di sini manusianya lebih beragam, lebih bajingan. Pokoknya lo jangan maen terima pemberian orang asing, bisa jadi itu narkoba atau obat perangsang. Ah anjing emang, ngapain juga bokap harus nyuruh lo ngawasin gue sih!”

Renjun terus menggerutu sembari berjalan melewati mobil dan beberapa motor yang terparkir di jalanan dengan gawai di tangan, sedangkan Jisung hanya merotasikan bola mata. Perkataan kakaknya itu sudah terdengar dari saat mereka ada di rumah, dan sejujurnya itu sangat terdengar menjengkelkan.

“Kita juga diawasin kok sama orang suruhan Papah. Emang lo gak sadar apa selama ini gerak-gerik kita di awasi?”

Gawai di matikan lalu di simpan di kantung celana setelah mengetik balasan pesan dari teman-temannya, Renjun berdecak sembari memerhatikan sekitar.

“Tau kok, bahkan sampe di sekolah juga kita di awasi. Emang kebanyakan duit itu bapak-bapak alay.”

“Bapak lo tuh!”

“Bapak maneh juga ontohod!

Ejakan itu terus saling terlempar hingga Renjun sampai di tempat tujuan, di mana teman-temannya berkumpul di dekat mobil berharga milyaran.

“Eh, ada Jenan, mau ikut balapan juga, Je?” Haechan, orang yang pertama kali menyambut mereka itu menepuk bahu Jisung, bersikap ramah di tengah kegilaan malam yang masih asing untuk si bungsu Sagara.

Renjun mendengkus setelah ber-tos ria ala lelaki dengan teman-temannya. “Kalo dia beneran ikutan gue bisa dipenggal bokap. Ya kali bayi gini ikutan balapan.”

Jisung berdecak. Selalu seperti ini, kakaknya itu terlalu sering memperlakukannya seperti anak kecil yang belum bisa berjalan kaki.

“Yang lo katain ini bisa buat bayi juga ya kampret!”

“Wiiih!”

Teman-teman Renjun baru berjumlah 3 orang itu berseru ria, tersenyum mengejek dan pura-pura terkejut, membuat Jisung mengutuk mereka dalam hati. Bisa-bisanya sang kakak berteman dengan manusia menyebalkan seperti ini.

“Percaya lah sama si bungsu Sagara mah,” Jeno tersenyum penuh ejekan, menonjok main-main dada yang lebih muda. “Lo seumuran sama Samuel, kan? Nanti lo bareng sama dia aja, takutnya kita sibuk, abang lo juga mau ikutan balapan. Samuel ke sininya juga gak bareng pacarnya kok, jadi lo aman gak jadi obat nyamuk,” dagu Jeno terangkat menunjuk lelaki tak jauh dari mereka, sedang mengobrol bersama beberapa lelaki yang tak asing untuknya. “Tuh orangnya, lagi bareng sama temennya kali.”

Yah, bagaimana tak asing jika mereka satu kelas?

“Daffa belum muncul?” Renjun bertanya penuh raut kebingungan, menyadari bahwa si penantangnya malam ini belum memunculkan batang hidung. “Tumben, biasanya bareng lo Jer.”

“Gak tau, gue ke sini sama Mark sih, kecemplung ke got kali.”

Yangyang terkekeh, menunjuk arah belakang Renjun dengan dagunya. “Tuh baru dateng sama ceweknya.”

Dan benar saja, begitu Renjun berbalik, ada satu motor hitam yang tak asing baru saja terparkir tak jauh dari mereka. Yang membuat Renjun merasa marah tiba-tiba dan membuat tangannya mengepal kuat adalah seseorang yang tak Renjun harapkan untuk ada di sini.

Mengapa Jaemin harus membawa Shuhua ke tempat penuh bahaya seperti ini sih.

Emang gelo eta budak!

“Yo mamen, excited banget ya udah pada datang lebih dulu gini,” senyuman Jaemin terpampang lebar, merangkul pinggang sosok wanita cantik yang Renjun tatapi sedemikian rupa.

Jeno yang sedang duduk di atas kap mobil kekasihnya mendengkus kasar. “Lo nya aja yang emang suka ngaret.”

“Sena kenapa ikut?”

Dari pada menanggapi obrolan basa-basi temannya, Renjun lebih memilih mengajukan pertanyaan pada Shuhua yang malam ini terlihat sangat cantik, seperti biasa. Selalu terlihat anggun dan penuh keindahan. Tangannya terkepal semakin kuat saat sosok Shuhua yang masih ada dalam pelukan Jaemin itu tersenyum lembut.

“Eh mau liat aja sih, di ajakin Daffa juga, katanya dia mau ikutan balap motor, jadi penasaran mau liat,” Shuhua tersenyum kecil, kedua bola matanya berbinar. “Katanya Juna juga mau ikut balapan, ya?”

Ah, Daffa sialan!

Renjun menahan geramannya, melirik Jaemin yang menyeringai penuh ejekan. Sialan benar temannya ini.

“Iya, Juna mau ikut balapan. Tapi kenapa Sena harus ikut? Di sini gak baik—”

“Kali-kali Jun, lagian gue udah minta ke Bima buat datang bareng Rachel, sekalian nemenin Sena,” Jaemin menyela cepat, wajahnya berubah datar lalu menoleh pada Haechan yang asyik menonton mereka dengan sigaret yang dihisapnya. “Cewek lo dateng kan, Bim?”

Haechan mengangguk sekilas, melepaskan sigaret yang terselip dibibir, dagunya menunjuk ke arah di mana beberapa perempuan tengah berkumpul sambil tertawa riang. “Datang tuh bareng temen-temennya, malah dia sempet mau ikutan balapan juga. Asu emang punya cewek kelewat tomboy, ada aja kelakuannya, untung udah gue ancam biar gak macem-macem.”

Memang bukan pertama kalinya Haechan menggerutu tentang pacarnya, Ryujin yang kelewat tomboy sering kali bertingkah yang membuat Haechan tak habis pikir.

Yangyang mencibir. “Tapi tetep cinta ye, 'kan?”

“Ya iyalah, kalo gak cinta mana mungkin gue pacarin,” senyum remeh Haechan terpasang samar saat menatap Jaemin yang juga menatapnya.

Itu jelas sindiran telak.

Jaemin mendengkus, melepaskan tangannya yang melilit pinggang ramping Shuhua, dia membalik tubuh mungil itu untuk menghadapnya.

“Kumpul sama Rachel, ya? Kalo ada apa-apa langsung telepon, jangan macem-macem, jangan maen terima makanan atau minuman dari orang asing.”

Shuhua mengangguk. “Iya, Daffa.”

“Pinter.”

Dan hal selanjutnya sangat cukup untuk membuat Renjun menggeram, berbalik arah agar tak melihat pemandangan menjijikan dimana Jaemin yang mencium bibir perempuan yang telah mengambil hatinya sedari dulu dengan begitu lembut.

Daffa bajingan!

Sorakan teman-temannya terdengar ricuh, bola mata Renjun berotasi malas, dia memerhatikan sekitar saat menyadari Jisung sudah berkumpul bersama sepupu Jeno dan beberapa anak lelaki lain. Baguslah, Renjun cukup percaya dengan sepupu Jeno itu karena pernah bertemu beberapa kali.

“Mulainya kapan?” Tanya Jaemin sambil bersandar di kaca pintu mobil entah milik siapa yang berada tepat di samping kiri mobil milik Mark, kekasih Jeno.

Haechan melirik jam. “Setengah jam lagi kayaknya, tadi gue udah tanya sama bang Jeffery sih.”

Jaemin mengangguk sekilas, dia memerhatikan lelaki di depannya yang juga bersandar pada kaca jendela mobil Mark, wajah Renjun terlihat tertekuk dengan bibir yang mengerucut, lelaki itu bersedekap dan menatap Jaemin tajam, yang tentu saja hanya ia balas dengan cengiran lebar.

Langkah kakinya bergerak perlahan, teman-teman mereka tengah berfokus dengan obrolan, menghiraukan keduanya yang sudah saling berhadapan dalam jarak yang terbilang sangat dekat.

Bibir bawahnya dijilat pelan, wajah Jaemin maju hingga bibirnya dekat dengan telinga Renjun yang tertutup topi hitam.

“Jaga suara lo biar gak habis saat di atas ranjang gue nanti. Ah, gue gak sabar buat denger desahan lo.”

Renjun mendesis, mendorong badan Jaemin untuk menjauh yang untungnya benar menjauh hingga dirinya bisa bernapas bebas. Aroma Jaemin yang tak asing tercium terlalu menyengat di hidungnya.

In your dream, bastard!

Matanya memicing, Renjun bersedekap bersama tatapan remeh yang tersaji untuk sahabatnya. Suara ramai dari sekitar mereka tak pula membuat keduanya tuli akan suara masing-masing, Renjun maupun Jaemin masih bisa dengan jelas mendengar suara lawan bicaranya. Begitupun suara bisik Renjun yang Jaemin dengar dengan jelas.

“Gue yang akan menang, bukan lo.”

Jaemin menyeringai.


Tapi Renjun salah.

Malam itu kemenangan tak berpihak padanya, hanya berjarak beberapa meter lagi dimana seharusnya dia menjadi yang pertama mencapai garis finish, tapi sosok Jaemin dengan motor besar hitamnya datang melaju cepat dari arah kanan, menyalipnya dan mengalahkannya dengan telak.

Renjun kalah ... untuk ketiga kalinya.

Namun itu seperti kekalahan terburuk yang pernah ia rasa, karena dalam waktu beberapa jam lagi, dia akan berada di atas ranjang sahabatnya, mengangkang, telanjang dan mendesah layaknya jalang seperti keinginan si pemenang.


TW // Mention of harassment, self-harm, harsh words! DRAMA!

Benar dugaannya, pelajaran olahraga kali ini sangat menguras tenaga. Mana selesainya pun sangat lama, saat bel pulang berbunyi pun belum selesai sepenuhnya dan akhirnya terpaksa kelas mereka pulang yang paling akhir. Renjun berdesis kesal, mengambil kemejanya secara kasar. Dia yang paling terakhir selesai mandi dan hanya seorang diri di ruang loker olahraga siswa. Teman sekelasnya yang lain sudah keluar, lagian Renjun memang sengaja menjadi yang terakhir menguasai ruang loker olahraga ini agar lebih leluasa mandi sendiri.

“Ah, sial celana gue ketinggalan!”

Renjun terus menggerutu sampai tak menyadari sosok Jeno yang masuk dan terpaku di depan pintu. Wajah lelaki itu terlihat kusam, dan baju olahraga masih melekat dipenuhi debu.

Jeno memang punya urusan dengan seorang guru setelah pelajaran olahraga selesai, dia tak langsung mengikuti teman-temannya untuk mandi saat dipanggil untuk kepentingan berkas kepindahannya yang belum selesai. Ia masuk perlahan, menutup pintu di belakangnya, sosok Renjun masih asyik menggerutu tanpa menyadari kehadirannya, sibuk bertelanjang dan memakai baju tanpa menyadari Jeno yang melihat hal yang tak seharusnya ia lihat.

Kening Jeno mengerut, dia terpaku pada paha Renjun yang sedikit terhalang kemeja sekolah yang sedang lelaki itu kenakan.

Dan sudut bibirnya terangkat tanpa disadari.

“—emang gak bener! Masa gue harus pake celana olahraga lagi? Udah berdebu gitu anjir nanti malah gatal-gatal sama—”

“Lo bisa pake celana gue.”

Gerutuan Renjun berhenti, kedua matanya membeliak melihat eksistensi Jeno yang tanpa terduga ada di sini. Lelaki itu buru-buru memakai celana olahraga yang tadi ia sumpah serapahi. Hell, di sini ada sosok Jeno dan Renjun hanya mengenakan kemeja tanpa bawahan, hanya celana dalam, bagaimana dia tidak kaget?

“Anjing! Permisi dulu kek kalo masuk!”

Jeno terkekeh, dia berjalan mendekat, menyimpan baju dan peralatan mandinya di atas bangku yang ada tepat di tengah-tengah ruangan. “Gak jadi minjem celana?” Tanyanya dengan senyum jahil menatap Renjun yang terlihat berang.

“Gak sudi!”

Sebenarnya itu hanya basa-basi sih, Jeno juga mana mau meminjamkan celananya.

“Kenapa pindah?”

Gerakan Renjun memasukkan peralatan mandi ke loker yang ada di sana terhenti, lelaki itu memicing menatap sosok di sampingnya yang sedang bersandar dan bersedekap.

“Emang belum jelas?”

Sudah sangat jelas kok, Jeno sadar Renjun kali ini memang bersungguh-sungguh menjauhinya, 'kan sudah diberitahu juga kemarin. Tapi Jeno gak nyangka kalau Renjun senekat ini.

Ah, lo semakin menarik.

“Cupu.”

Renjun menoleh cepat, kedua ujung alisnya hampir menyatu. “Apa?”

“Lo cupu.” Jeno membeo, menyeringai, badannya menegak. “Itu bangku lo, kenapa lo yang harus pindah?”

“Gue ngerasa waras, jadi gue yang mengalah karena gue tau lo gak bakal mengalah semudah itu.”

“Masa?”

Oke, Jeno jadi semakin menyebalkan.

Renjun memicing, dia membanting pintu loker, menguncinya dan berjalan pergi, menabrak bahu Jeno dengan sengaja. Berdua saja dengan lelaki itu sangat tidak baik untuk kesehatan mental dan tenaga. Siapa yang tau jika mereka terus berdua dalam beberapa waktu ke depan akan ada sesi baku hantam?

“Kalo lo waras, lo gak bakalan self-harm.”

Langkah kaki Renjun terhenti, dia mematung menatap pintu di depan matanya. Jeno tersenyum puas, dia berjalan menghampiri saat Renjun berbalik menatapnya.

“Luka di paha lo, itu bekas sayatan pisau. Dalam sekali lihat mungkin orang gak bakalan nyadar sama sekali, tapi gue jelas tau.”

Karena gue juga punya.

Jeno menyeringai saat mereka sudah berhadapan, bersyukur badannya lebih tinggi dari sosok di depannya yang gak berkutik sedikitpun. Yah, Jeno sadar dia udah menembak ke tempat sasaran dengan tepat, meski itu belum cukup.

“Lo waras, Renjun?”

Bola mata Renjun bergerak gelisah, bergetar, tatap sosok di hadapannya. Bibir bawah dijilat perlahan sebelum senyum kecil dipaksa hadir. “Apa lo tipe manusia yang suka ngurusin hidup orang lain, Jeno? Hidup lo emang gak seberguna itu, ya?”

Ha, memangnya cuma Jeno yang bisa menyudutkan? Renjun jelas bisa berbalik menyerang kalau dia memang ingin. Dia gak selemah itu.

Melalui ekor matanya, Renjun bisa lihat kedua tangan Jeno yang terkepal erat, jangan lupakan giginya yang bergemeletuk tahan amarah. Jeno jelas terpancing, Renjun senyum remeh, dia maju satu langkah mengikis jarak hingga badan mereka hanya terpaut sejengkal.

“Lo mempertanyakan kewarasan gue disaat kewarasan lo pun patut dipertanyakan ....” Renjun mendesis, tersenyum mengejek, berbisik lirih, “bipolar.”

01 : 01.

Wajah Jeno yang semula mengeras itu berubah tiba-tiba, ekspresinya melunak, netra yang semula tajam itu menyayu cepat. Jeno senyum lembut yang sukses bikin Renjun tertawa gak percaya.

“Kita cocok, 'kan? Kenapa kita gak pacaran aja?”

Renjun menggeleng pelan, terkekeh. “Ogah! Lo bau hujan, gue benci hujan! Minggir lo! Mana kuncinya? Gue mau pulang!”

Tangan Renjun udah terulur ke arah celana Jeno tapi lelaki itu malah bergerak mundur dan masih tersenyum, meski senyumannya berubah jadi senyuman mengejek.

“Oh, iya! Lo gak bisa pacaran, kan? Deket cowok aja gak bisa, deket cewek pun gak tergoda.”

Tangan Renjun menggantung, bergeming, dia tatap Jeno kebingungan, bola matanya melebar. Ada raut ketakutan yang bahkan bisa Jeno baca dengan mudah. “Maksud lo?”

Gak mungkin, gak mungkin Jeno sadar, kan?

Jeno senyum kecil. “Saat lo bilang benci cowok setengah mati, ingin mereka semua musnah dari bumi, saat lo selalu terlihat gelisah dan risih deket sama semua lelaki, saat lo selalu menjauh dari temen-temen cowok sekelas lo, saat lo lebih memilih cewek buat dijadiin teman meski sering dikatain banci, saat lo ketakutan hanya karena sebuah sentuhan,” menghela napas dalam, Jeno terdiam sebentar, senyumnya menghilang, hanya ada datar.

“Saat itu juga gue sadar kalo lo korban pelecehan, iya, kan?”

Gimana? Gimana bisa?

“Lo korban pelecehan,” Jeno mengulang. “Apa itu menyakitkan?”

Pertanyaan apa itu?!

“Lo selalu mendorong semua lelaki menjauh dari jangkauan lo, lo risih deket mereka, mungkin benci setengah mati. Lalu di antara semua cowok yang lo izinkan untuk dekat, kenapa ada gue di sana? Sosok anak baru yang seharusnya lo dorong untuk menjauh. Lo bisa lebih berusaha bikin gue pergi tapi lo engga ngelakuin itu. Lo sadar kalau eksistensi gue gak bikin lo terancam, Renjun? Atau lo pura-pura gak sadar?” Langkah kaki Jeno mendekat, senyum kecil yang terlihat meremehkan hadir menghiasi bibirnya. “Ah, lo sadar dan itu yang bikin lo penasaran, iya, 'kan?”

Netra Renjun bergetar. Ah, seluruh badannya bergetar. Kakinya berjalan menjauh susah payah. “Ma-mana kuncinya?” Dia berbalik, kenop pintu ditarik paksa.

Ketakutan. Renjun ketakutan.

“SI-SIAPAPUN DI LUAR TOLONG BUKA PI-PINTUNYA!!”

“Kalau mau, gue bisa bantu nyembuhin trauma—”

“NYEMBUHIN LO BILANG?!” Renjun teriak, berbalik tatap Jeno marah, kedua mata udah basah. “LAGI NGELAWAK LO BANGSAT?!”

Langkah kakinya bergerak cepat, sempoyongan mendekati Jeno. Telunjuk teracung, menekan-nekan dada bidang Jeno yang masih terbalut pakaian olahraganya sampai lelaki itu bergerak mundur.

“PSIKOLOG HARGA RATUSAN JUTA AJA GAK BISA NYEMBUHIN GUE! RUMAH SAKIT JIWA TERMAHAL PUN GAK BISA NGELAKUIN ITU! SOK-SOKAN LO BILANG MAU NYEMBUHIN GUE?! LAWAK ANJING!”

Teriakan Renjun memantul keras. Jeno terkesiap disuguhi Renjun yang kalap, hilang kendali. Wajah lelaki itu merah padam, air mata mengalir deras, belum lagi badannya yang bergetar hebat lebih dari tadi.

Renjun ... kambuh?

“Apa lo bisa ngehilangin mereka Jeno?” Renjun berbisik, terisak kecil, dia berjalan mundur menjauh dari Jeno yang hanya bergeming. “Apa lo bisa ngehilangin tangan-tangan menjijikan mereka? Apa lo bisa ngehilangin suara tawa mereka? Apa lo bisa ngehilangin sentuhan dan desahan mereka? Apa lo bisa ngehilangin rasa jijik itu?”

Jeno bergeming, wajahnya pucat. Renjun tertawa di antara tangisannya, punggungnya menyentuh pintu.

“LO GAK BISA ANJING! LO GAK BAKALAN BISA! MEREKA BAKALAN TETEP ADA SIALAN! MEREKA ADA DI MANA-MANA! MEREKA BERKELIARAN! BAHKAN DI MIMPI SEKALIPUN!”

Badan Renjun terjatuh, kedua lutut dipeluk erat, tangisannya semakin mengeras berikut dengan racauannya yang memilukan.

Sungguh, Jeno memang sadar kalau Renjun korban pelecehan tapi dia gak nyangka dampaknya sebesar ini sampai bikin lelaki itu kalap. Badannya masih bergeming, wajah semakin pucat. Harusnya dia gak ngungkit hal ini, dia udah kelewat batas. Harusnya Jeno tetap diam, pura-pura gak tau dan memperumit semuanya.

“Hujan ... Hujan sialan! Hujan anjing! Ha-harusnya gue gak keluar ... Hujan, gue benci hujan! Sialan! Bangsat hujan bangsat! Coba waktu itu gak hujan hiks ... Hujan sialan! Gue benci hujan! Benci ... Cowok harusnya mati ... Jijik hiks! Bangsat! Mati ... Hujan ....”

Benar, seharusnya Jeno diam.

Tangannya bergetar, Jeno jalan perlahan. Dia gak bisa diam aja lihat sosok Renjun yang lepas kendali, dadanya sesak, terasa ngilu. Jeno sadar ini salahnya karena udah bikin Renjun kambuh.

“He-hei?” Tubuhnya jongkok perlahan, Jeno mengulurkan tangan ke arah badan Renjun yang meringkuk di atas lantai. “Maaf.”

Renjun masih asyik meracau meski suaranya melemah.

“Ren? I'm so sorry, gue gak bermaksud ....”

“Jijik ... Harusnya mati ... Benci hujan ....”

Sebenarnya seberapa mengerikannya ketakutan Renjun? Jeno menggigit bibir bawahnya menahan ngilu di dada dan rasa bersalah.

“Renjun ... Ini gue, Jeno.”

Sialan! Jeno sialan! Harusnya lo nahan diri anjing!

Tangan Jeno mencoba mendarat di bahu Renjun, dia gak bisa lihat wajah lelaki itu karena membungkuk dan tertutup rambut. Jeno bisa ngerasain gemetar hebat badan Renjun di tangannya, dan gak lama kemudian, semua itu menghilang.

Renjun pingsan.

“Renjun!”

Badan Renjun di tarik berbaring ke pahanya, dan hal itu sukses bikin matanya terbelalak kaget. Wajah Renjun pucat luar biasa, air mata dan keringat menyatu, tapi yang bikin Jeno lebih kaget adalah darah yang keluar dari mulut Renjun yang pias, mengalir kecil membasahi pipi basahnya.

“RENJUN!”

Panik. Jeno gak bisa berpikir rasional, dia cepat-cepat buka pintu meski butuh usaha keras karena tangannya yang bergetar saat memutar kunci.

“LO JA-JANGAN MATI DULU ANJING! GUE GAK MAU DI PENJARA!”

Badan Renjun di gendong dipunggungnya, Jeno keluar dan lari sebisanya sambil tahan bobot badan Renjun. Gimanapun Renjun itu lelaki, dan badannya berat bukan main. Beberapa kali badan Renjun hampir jatuh dan bikin larinya sempoyongan tapi untungnya itu bisa di atasi.

Tujuannya parkiran utama, Jeno yakin masih ada orang-orang di sana, belum lagi sosok lelaki yang selalu ada di sisi Renjun itu pasti belum pulang, nunggu kehadiran Renjun di sana.

Dan benar aja, masih ada beberapa teman sekelasnya di sana, untungnya.

Larinya dipercepat. “WOY TOLONGIN GUE!”

Gerombolan itu menoleh dan yang bereaksi pertama adalah sosok yang gak mengherankan untuknya.

Haechan terbelalak dan langsung lari menuju Jeno, dia narik badan Renjun buat berpindah ke pelukannya. Wajahnya terlihat panik, ya lagian siapa pula yang gak panik saat sosok yang ditunggunya malah datang dengan keadaan pingsan dan mulut berdarah.

“KENAPA RENJUN BISA KAYAK GINI?!”

“Gu-gue gak tau, kita cuma ngobrol, te-terus dia—”

Melihat Jeno yang terdesak dan Haechan yang panik membuat Felix berinisiatif, dia tahan badan Haechan yang bersiap menuju arah Jeno, padahal ada Renjun ditangannya. “Chan, mending lo buruan bawa Renjun ke rumah sakit kalo gak mau dia kenapa-napa.”

“Pake mobil gue aja buru nih!” Hyunjin menyerahkan kunci mobilnya, lelaki yang pernah mendapat bogeman dari Renjun itu terlihat sama paniknya saat melihat Renjun yang pingsan.

“Biar gue aja yang nyetir,” Felix raih kunci yang disodorkan Hyunjin. “Haechan gak bakal tenang kalo nyetir, yang ada dia malah mati nabrak orang. Ayo buruan!”

Haechan mendesis, dia cepat-cepat membawa Renjun ke arah mobil Hyunjin yang tak jauh dari sana. Beberapa teman sekelas mereka membantu Haechan menggotong Renjun yang tak sadarkan diri.

“YANGYANG BILANGIN SAMA SHUHUA BAWA TAS RENJUN DAN NYUSUL KE RUMAH SAKIT BIASA!”

Teriakan Haechan mengalun keras, Yangyang mengangguk dan langsung berlari ke dalam sekolah.

Mobil yang dibawa Felix menghilang dari pandangan. Bahu Jeno terjatuh, dia menahan napasnya sedari tadi, netranya masih fokus pada titik dimana mobil menghilang. Bahkan Hyunjin yang ada disisinya pun dia abaikan.

“Itu bukan cuma ngobrol biasa, kan?”

Ya tentu aja bukan. Jeno mendengkus, lirik sosok Hyunjin di sampingnya.

“Itu bukan pertama kali dia kayak gitu sih,” Hyunjin menoleh, wajahnya datar. “Kayaknya lo bakal babak belur besok.”

“Gue gak takut.”

Hyunjin mengangguk pelan, mereka berdiri di parkiran, beberapa teman sekelas mereka sudah pamit pulang, ada juga yang ikut menyusul Haechan, contohnya Jaemin si ketua kelas. Mereka berdua hanya mengangguk saat Jaemin pamit pergi.

“Gue gak pernah liat secara langsung sih, tapi setiap wajahnya yang kayak gitu tuh terlihat mengkhawatirkan.”

“Mulut dia berdarah,” Jeno menyela, tatapannya kosong terarah ke bawah, pada kakinya yang terbalut sepatu. “Tapi gak ada luka di bibirnya, dan dia gak terlihat muntah darah.”

“Renjun ngegigit lidahnya.”

Jeno mematung. Itu masuk akal sekarang, tapi ... kenapa Renjun harus melakukan itu?

“Jen,” Hyunjin menghela napas, sekarang dia menghadap Jeno sepenuhnya, tangannya bertengger di bahu Jeno yang sekarang mendongak dengan wajah datar. “Gue tau lo penasaran sama Renjun, karena gue pun pernah ngerasain, tapi semua ada batasnya, bro. Ada beberapa hal yang seharusnya emang gak kita usik daripada malah jadi bikin hidup orang menderita. Tahan diri lo, gue emang sebel sama Renjun, pernah benci juga karena dia sempet nonjok hidung gue sampe patah, tapi sumpah dah, gue gak bisa nolongin lo kalo Renjun kenapa-napa, tonjokan Haechan tuh mantep banget! Gue gak mau ngerasain lagi.”

“Hm.”

Yah, setidaknya Hyunjin sudah memperingatkan meski wajah Jeno terlihat tak peduli dan malah akan bersikap bebal. Bahunya terangkat, well, itu juga bukan urusannya kok! Hyunjin melirik jam, dia harus segera menyusul Haechan, bagaimana pun itu bukan mobilnya, melainkan mobil Yeji yang ia pinjam.

“Rahasia nih ya, gue pernah mergokin Renjun yang mau loncat dari rooftop gedung IPA. Saat itu wajahnya kayak mayat hidup.”

Dan sekarang itu bukan rahasia lagi.

Jeno bergeming meski Hyunjin telah pergi setelah menepuk bahunya. Dia menatap kosong parkiran. Bayangan Renjun yang hilang kendali beberapa saat lalu sangat mengganggu pikirannya, bagaimana teriakan, getar dan tangisan lelaki itu terekam sangat jelas.

Wajahnya menunduk, kedua telapak tangannya terbuka lebar di depan mata, ada bekas darah di sana, bekas darah Renjun yang tercium kuat.

“Harusnya gue berhenti, tapi kenapa lo malah terlihat semakin menarik?”

“Gak usah main hape mulu buruan mandi.”

Suara berat yang tiba-tiba terdengar sukses bikin Renjun hampir meloncat dari kasurnya. Dia mendesis sambil memicing sebal ke arah sosok lelaki yang asyik mengusap rambutnya dengan handuk kecil, membelakangi tubuhnya.

“Ngagetin bangsat!” Renjun berdecak, matikan gawai dan dilempar gitu aja, selimut masih membungkus tubuh. Suhu panas Renjun sudah menurun sejak semalam, pusingnya pun sudah mereda, terdengar gak masuk akal sih, tapi Renjun sedikit percaya pelukan Haechan yang membuatnya jadi lebih baik.

“Hm?” Gerakan Haechan yang sedang mengeringkan rambutnya berhenti, dia berbalik dari kaca dan menatap Renjun disertai dahi berkerut. “Bahasa lo makin kasar ya, perasaan lo gabungnya sering sama cewek-cewek deh.”

Selimut disibak, Renjun beringsut maju menuju sisi kasur dan duduk dengan kaki yang meraih sandal. “Gak ada korelasinya sih mau gue gabung sama cewek atau engga juga, ya lagian kenapa? Masa gue harus lemah lembut macam cewek?”

“Bukan berarti bahasa cowok juga harus kasar, 'kan?”

Kening Renjun mengerut, dia mendongak saat Haechan sudah berdiri di depannya sambil menunduk. “Lo kenapa sih? Masa cara bicara juga harus di atur? Lagian ke sahabat ini, bukan ke yang lebih tua, gue tau sopan santun juga kali.”

“Oh, ya?”

Haechan tersenyum kecil, tangannya terangkat mengelus pipi Renjun, bergerak ke leher lalu ke atas dan mengangkat dagu lelaki itu untuk semakin mendongak. Dan kelihatannya Renjun juga gak merasa risih sama sekali diperlakukan kayak gitu, dia hanya mengerjap bingung.

“Lo aneh deh Hyuck, jangan-jangan lo ketularan gue, ya?”

“Emang pelukan semalaman bisa bikin ketularan sakit?”

Bahu Renjun terangkat. “Gak tau,” bisiknya pelan saat menyadari tatapan Haechan yang berbeda pagi ini. Biasanya tatapan Haechan selalu terlihat hangat dan jahil, tapi pagi ini tatapan lelaki itu terlihat tak asing, Renjun seperti pernah melihatnya. “Hyuck?”

“Hm?”

Gumanan Haechan gak membantu, apalagi tangan yang mengelus dagunya, dahi Renjun semakin berkerut saat badan Haechan membungkuk dan wajah lelaki itu berpindah ke arah lehernya.

Cup!

Hah?

Wait ... WHAT?!

Kedua mata Renjun membola saat merasakan titik dilehernya terasa basah. Haechan sedang mencium dan menyesap lehernya dengan lembut, Renjun bahkan bisa merasakan lidah dan gigi sahabatnya yang ada di sana.

“Hyuck?”

Bibir Haechan menjauh. “Apa?”

“Lo ngapain?”

Terengah, Renjun mencengkeram sprei dan menatap Haechan yang kini sudah berdiri menjulang lagi di depannya.

“Gak ngapa-ngapain, gue biasanya emang sering nyium leher lo, kan? Katanya itu bikin lo tenang.”

Iya sih, tapi ....

“Oh.”

Tapi ini berbeda. Biasanya hanya kecupan ringan sebelum tidur, belum hisapan dan gigitan yang meninggalkan bekas.

Renjun tersenyum kikuk, bangkit berdiri dan berjalan menuju nakas untuk mengambil gelas. Sambil mulai membasahi tenggorokannya dengan air, Renjun mencoba memaklumi, mungkin Haechan sedang gak waras akibat semalam menghabiskan martabak satu loyang seorang diri.

“Nanti kalo udah siap langsung ke bawah sarapan, ya? Gue mau bantuin Bunda masak,” Haechan bergegas, mengambil tas dan kunci motor.

“Lo gak bisa masak, Hyuck.”

“Eh, iya ya, kalo gitu gue bantuin abisin makanan aja.”

Bola mata Renjun berotasi malas, dia berjalan menuju kamar mandi setelah mengambil handuknya.

“Jangan dulu makan, tungguin gue, makannya bareng. Tapi kalo gak ada Bunda makan aja duluan.”

Haechan mengangguk, tersenyum miris, tangannya sudah ada di kenop pintu, menatap punggung Renjun yang akan menghilang dibalik pintu kamar mandi.

“Seperti biasa?”

“Hm, seperti biasa.”

Let's Be Happy!

Special for @norenfess, and NoRen shippers.

“Kau sungguh menyebalkan, kau tahu itu, 'kan?”

“Kau juga menyebalkan, kau pasti tahu itu.”

“Tapi kau jauh lebih menyebalkan, Jeno!”

“Hn, hn, terserahmu saja yang penting jangan terlalu banyak bergerak atau kita akan jatuh.”

Renjun berdecak keras tapi tetap menurut, membayangkan dirinya terjatuh dari sepeda dan menghantam aspal penuh salju di tengah keramaian seperti ini sungguh tidak elit.

Adalah malam hari yang dingin, atau lebih tepatnya malam tahun baru yang dingin di mana seharusnya orang-orang bergelung di dalam selimut ditemani perapian yang menyala. Atau, untuk beberapa orang itu adalah malam di mana waktunya berjalan-jalan mengunjungi berbagai tempat sambil menunggu pertunjukan kembang api saat terjadinya perubahan tahun.

Dan tentu saja opsi terakhir tak akan pernah Renjun lakukan, seharusnya.

Renjun jelas lebih memilih tidur di atas kasurnya dengan penghangat ruangan menyala. Televisi yang menampilkan film kesukaannya, cokelat panas, beberapa cookies cokelat, obrolan panjang seputar banyak hal bersama sang kakak yang jarang pulang, seharusnya itu menjadi agendanya di malam pergantian tahun ini.

Yah, seharusnya.

Tapi rencana yang telah ia susun jauh-jauh hari harus sirna karena eksistensi Jeno yang datang ke rumahnya tak tahu malu, bersama cengiran lebar dan bingkisan yang Renjun yakini sebagai sogokan atas apa yang akan dia lakukan.

Ya, menggagalkan rencana Renjun! Damn!

“Berhentilah menghela napas kasar seperti itu, kau seperti kakek tua yang akan direnggut nyawanya,” suara Jeno menjadi terdengar lebih menyebalkan di telinganya. Renjun memicing tajam, menatap punggung di depannya yang terus mengayuh sepeda entah bertujuan ke mana.

“Diam! Tetaplah mengayuh sepeda atau aku akan mendorongmu ke sungai agar kau di makan buaya!”

Itu bukan sekadar ucapan belaka, Renjun sungguh akan melakukannya jikalau disekitar mereka benar ada sungai. Tapi ancamannya malah dibalas tawa, suara tawa yang menyebalkan, sangat menyebalkan.

“Tidak ada buaya yang tinggal di sungai, Renjun,” laju sepeda Jeno melambat, lelaki itu masih tertawa hingga membuat sepeda oleng beberapa kali. “Lagi pula pemerintah akan melakukan hal dengan itu jika benar terjadi. Ya ampun, mengapa kekasihku ini lucu sekali? Kau pasti tinggal di gua, ya?”

Renjun berdecak kesal. “Kau menyebalkan!”

Jeno hanya tertawa, dan perjalanan itu di isi keheningan seperti semula. Tak hening juga sebenarnya, karena di sisi mereka banyak pejalan kaki yang bertukar kata dan berbagai kendaraan yang melaju padat. Renjun hanya terlalu kesal karena rencananya gagal, meski Jeno kekasihnya, itu tak lantas harus membuat mereka bersama terus menerus, 'kan? Hei, mereka bukan kembar siam!

“Kita akan ke mana sih? Bukannya kau bilang akan merayakan malam tahun baru bersama keluargamu?”

“Aku kabur,” laju kayuh sepeda Jeno memelan saat melewati jalan yang menurun. “Rumah kacau sekali, aku tidak suka. Apalagi Mark hyung dan Taeyong hyung sungguh menyebalkan, menggangguku terus sampai aku tak sengaja menendang wajah mereka dan membuat mereka memukul pantatku terus. Belum lagi Yeeun noona yang terus merecokiku dengan pertanyaan-pertanyaan yang sama menyebalkannya. Yah, daripada aku menjadi korban cubitan mereka, lebih baik aku mengganggu kekasih mungilku saja, iya 'kan? Itu lebih menyenangkan dan produktif.”

Jeno berujar tanpa beban, melirik Renjun yang cemberut melalui celah bahunya. Seringai jahilnya terpasang lebar membuat keinginan Renjun untuk mendorong Jeno ke dalam sungai semakin besar.

“Kau benar-benar menyebalkan ya, Lee Jeno?” Renjun mendesis, mencubit pinggang lelaki di depannya yang tertawa keras. Harusnya itu menjadi kesialan Jeno saja, mengapa dirinya juga harus tertimpa?

Tapi ngomong-ngomong, ketiga saudara Jeno itu memang menyebalkan sekaligus menyeramkan. Pernah sekali saat Renjun berkunjung ke rumah kekasihnya bertepatan dengan ketiga saudara Jeno pulang ke rumah, (mereka kuliah di luar kota dan sangat jarang pulang, ngomong-ngomong.) Pipinya harus menjadi korban cubitan mereka, belum lagi pertanyaan-pertanyaan absurd yang terus terlontar hingga membuatnya ingin menangis histeris. Jeno? Ah, kekasihnya yang sialan itu hanya tertawa dengan semangkuk popcorn dipelukan, hanya melihat Renjun yang dikerubungi tiga saudara yang keusilannya di luar nalar manusia itu dengan santai, mungkin juga hitung-hitung sebagai hiburan.

“Hahaha maaf sayang, memangnya kau tidak ingin merayakan tahun baru bersamaku?” Tanya Jeno penasaran, pasalnya Renjun terlihat sangat kesal saat dijemput olehnya. Aneh, seharusnya 'kan lelaki itu senang merayakan tahun baru bersama kekasih seperti orang-orang.

Ah, tapi Jeno memang kadang lupa jika Renjun berbeda dengan orang-orang.

“Tidak.”

Jawaban cepat Renjun membuat Jeno merenggut, sepeda berhenti tiba-tiba membuat Renjun harus memeluk pinggang Jeno agar tak terjatuh menghantam aspal.

“Ya, sudah, kita pulang saja.”

Renjun melotot saat Jeno akan memutar arah sepedanya. “HEI! KAU BENAR-BENAR INGINKU PUKUL, YA?!”

Plak!

“AW!” Jeno berdiri, memegang belakang kepalanya yang terkena pukulan. Tatapan merajuknya terarah pada Renjun yang masih melotot galak. “Kenapa aku dipukul?!”

“KAU MENYEBALKAN! TETAP JALANKAN SEPEDANYA, IDIOT!”

Ah, terkadang hubungan mereka memang terlihat sangat aneh.


Oh, ternyata itu adalah festival tahun baru yang memang sering diadakan di sana.

Netra Renjun berbinar memandang takjub sekitarnya. Sepeda Jeno telah diparkir di tempat khusus, mereka kini sedang berjalan di antara kerumunan orang untuk menikmati segala pemandangan yang tersaji. Pohon-pohon natal berjajar indah dengan hiasan mewah, patung-patung, lampion, lampu yang bergelantungan, pernak-pernik yang menghiasi segala tempat terlihat memanjakan mata. Renjun bergidik, menggenggam lebih erat tangan Jeno tanpa sadar, dia meloncat-loncat kecil membuat Jeno terkekeh gemas di sampingnya.

“Wow, ini menakjubkan!”

Jeno tersenyum sombong, menepuk dadanya bangga. “Siapa dulu?! Lee Jeno selalu tahu apa yang terbaik untuk kekasihnya. Kau harus berterima kasih padaku karena telah menyelamatkanmu dari acara malam tahun baru yang menyedihkan.”

Renjun mencibir, tak berniat menbalas perkataan yang terdengar menyebalkan di telinganya. Dia malah semakin mendekat pada Jeno dan menggenggam erat tangan lelaki itu. Kota Seoul di malam hari seperti ini terasa sangat dingin, padahal Renjun telah memakai pakaian hangat yang tebal, tapi udara dinginnya masih tetap terasa menusuk kulit.

Mereka tetap berjalan di antara lautan manusia, menikmati pemandangan yang tersaji. Jeno dan Renjun tak banyak bicara, hanya saling memeluk dengan europhia bahagia yang menyentak dada.

Sederhana namun terasa menakjubkan.

“Acara utamanya masih lama,” Jeno mendongak setelah menatap jam tangannya, dia tersenyum lembut pada Renjun dan menyingkirkan butiran salju yang berjatuhan di atas kepala si kekasih. “Kau lapar tidak? Aku sangat lapar, perutku belum terisi sedari siang, ketiga monster itu benar-benar terus menggangguku.”

Mata Renjun memicing tajam. “Kenapa tidak bilang?! Kau 'kan punya maag! Ayo kita cari makan, aku tidak mau menggendongmu kalau kau sekarat di tengah jalan!” Tanpa banyak bicara lagi Renjun langsung menyeret Jeno menjauh dari kerumunan untuk mencari sesuatu yang dapat mengisi perut mereka, Jeno sih hanya ikut-ikut saja, lagi pula dia sangat senang diperhatikan oleh kekasihnya.

Yah, terkadang perhatian Renjun itu sangat berbeda dengan orang-orang.

Mereka berjalan cukup jauh dari tempat awal, mengunjungi restoran dan makan malam ditemani musik khas Natal yang berputar. Renjun tak suka berbicara saat makan, dan Jeno hanya mengikuti kebiasaan kekasihnya, lagi pula jika dia nekat mengajak Renjun mengobrol saat makan kepalanya yang akan menjadi korban dari sendok yang terlempar. Itu pernah terjadi, dan dia tak ingin mendapatkannya lagi.

“Setelah ini kita akan ke mana?” Renjun bertanya saat keduanya selesai mengisi perut, berdiri di depan restoran yang tak terlalu ramai.

Jeno di sisi lain melirik jam tangannya, menarik bahu Renjun untuk ia dekap erat. Pergantian tahun baru masih 45 menit lagi, mungkin sudah saatnya dia membawa Renjun menuju tempat yang pas untuk melihat pertunjukan kembang api yang sangat khas disetiap acara pergantian tahun ini.

“Aku tahu kita akan ke mana. Ayo!”

Dekapan hangat, senyuman manis, dan perhatian yang berlebih … Renjun sangat menikmati semua afeksi yang Jeno berikan. Meski selama ini dia terkesan kasar pada kekasihnya, namun sejujurnya itu hanyalah tameng agar dirinya tak merona dengan memalukan saat Jeno berulah.

Mereka berjalan dalam keheningan, Renjun tak tahu Jeno akan membawanya ke mana, namun dia percaya pada lelaki itu, sepenuhnya. Jeno tak romantis seperti kebanyakan orang, tak juga perhatian penuh kelembutan seperti pemeran-pemeran di drama. Humoris? Apalagi itu. Selama humor Jeno itu aneh, malah terkadang Renjun tak mengerti saat kekasihnya melempar candaan.

Jeno itu aneh, pengganggu, menyebalkan, manja, dan cengeng. Tapi, sialnya Renjun menyukainya. Renjun menyukai diri Jeno yang apa adanya, yang terkadang polos, terkadang romantis, pula terkadang memalukan. Kekurangan Jeno sangat banyak, tak terhitung. Namun, kelebihannya pun tak kalah banyaknya.

Renjun selalu menyukai bagaimana Jeno mencintai dan memperlakukannya, dengan cara sederhana yang tak pernah ia pikirkan.

“Apa cuacanya semakin dingin? Kau menggigil.”

Kepalanya menggeleng pelan, Renjun semakin erat memeluk pinggang Jeno, menenggelamkan tubuhnya pada sang kekasih. “Tidak terlalu sih. Apa tempatnya masih jauh? Aku agak lelah dan haus.”

Pelukan Jeno di bahunya mengerat.

“Sebentar lagi, bersabar ya?”

Dan Jeno tak berbohong (untungnya).

Lelaki itu membawanya menuju daratan yang lebih tinggi di mana semua pemandangan tempat yang mereka kunjungi tadi dapat terlihat jelas.

Belah bibirnya terbuka, kedua netra memandang takjub sungai yang dapat terlihat dari tempatnya berdiri. Kerlap-kerlip dihiasi berbagai lampu. Kota terlihat sangat menakjubkan di malam pergantian tahun baru.

“Wah, sepertinya serangga bisa masuk ke dalam mulutmu, ya?”

Namun tetap saja pasti ada yang mengacaukan konsentrasinya mengagumi keindahan kota.

Renjun mendesis, mendelik pada sosok di sampingnya yang bersiul menyebalkan. Yah, Jeno dan kata menyebalkan sepertinya memang tak dapat dipisahkan. Oh, tapi tenang saja, bukan hanya Jeno kok yang dapat bersikap menyebalkan karena Renjun tentu saja sudah pasti bisa.

Senyum menggoda dipamerkan, Renjun menyenggol bahu Jeno pelan dan menaik-turunkan alisnya. “Penismu juga bisa masuk ke dalam mulutku, kok.”

UHUK!

“HEI! KAU MAU KUPUKUL?!”

Tawa Renjun terdengar keras membuat beberapa orang disekitar mereka menoleh terganggu, dan tentu saja Renjun tak peduli. Sungguh, melihat Jeno yang kelabakan dengan wajah memerah hingga telinga itu terlihat sangat sangat sangat menggemaskan di matanya. Renjun masih tertawa hingga wajahnya mendongak, kedua tangannya merayap memeluk pinggang kekasihnya yang mencebik kesal.

“Kau lucu sekali, Jeno-ya.”

Jeno berdecak, berjalan pelan dengan Renjun yang masih memeluk pinggangnya, dia membawa tubuhnya untuk duduk pada kursi yang tak terlalu jauh. Tempat yang sangat pas di mana semua keindahan kota dapat terlihat.

“Jangan lakukan itu lagi,” Jeno berdesis, mencubit gemas hidung Renjun yang hanya tersenyum lebar. “Kalau aku meninggal karena serangan jantung, nanti siapa yang akan mengganggumu?”

Renjun hanya mencebik, melepaskan pelukannya di pinggang Jeno. Lebih memilih menatap pemandangan yang tersaji dengan sosok Jeno di sampingnya, berbagi kehangatan dengan bahu yang melekat erat. Pun Jeno yang langsung melingkarkan tangannya di bahu Renjun, semakin menambah kehangatan di tengah cuaca yang menusuk kulit.

Jeno dan Renjun.

Mereka lebih dikenal sebagai pasangan yang aneh.

Jeno yang jahil dan Renjun yang emosinya mudah meledak. Keduanya lebih sering terlibat adu cekcok, saling melempar makian dan ejekan, hingga tak jarang membuat keributan yang memuakkan. Jeno tak suka mengalah, Renjun apalagi. Keduanya kekanakan, selalu mengandalkan ego masing-masing. Berteman sedari kecil tak lantas membuat mereka akrab seperti pertemanan orang lain, keduanya malah lebih terlihat seperti musuh dibandingkan sahabat. Hal yang mengejutkan saat semua orang tahu kalau kedua lelaki itu menjalin hubungan lebih dari seorang yang suka adu cekcok. Kekasih, katanya. Namun tak ada yang berubah dari hal itu, keduanya masih sama meski ada sebuah status tak biasa yang mengikat.

Untungnya, Jeno dan Renjun cukup apatis untuk hal-hal tersebut, segala perkataan menghakimi orang lain tentang hubungan mereka. Keduanya lebih memilih abai dan menikmati segala afeksi tak biasa yang selalu orang lain labeli aneh.

“Bagaimana harimu?” Jeno menjadi yang menghancurkan keheningan lebih dulu, menyodorkan segelas cokelat panas yang tadi ia beli.

Renjun langsung menerima cup gelas itu, meminumnya sedikit dan menatap Jeno lembut. “Pagi tadi aku membantu Ibu memanggang kue, membersihkan rumah dan menata pohon. Bermain game bersama Winwin hyung, berselancar di dunia internet, melakukan panggilan telepon bersama Haechan dan Felix, dan bermain bersama kucingku. Lalu, bagaimana harimu?”

“Membantu Ayah membersihkan mobil, memandikan ketiga anakku, bermain game, mendengarkan curhatan Yoeun noona tentang kekasihnya yang selingkuh, memainkan internet, dan direcoki oleh Mark hyung dan Taeyong hyung. Ah, dan mendengarkan musik yang kau rekomendasikan waktu itu.”

Pertanyaan sederhana tentang bagaimana harimu sudah menjadi kebiasaan yang tak dapat dihilangkan. Pertanyaan sederhana yang sering orang lain sepelekan justru menjadi rutinitas yang tak dapat dipisahkan untuk mereka. Karena dari pertanyaan itu, keduanya bisa mengetahui bagaimana hari mereka berjalan. Saling berbagi cerita bersama segala afeksi yang jarang keduanya perlihatkan pada dunia.

Renjun terkekeh. “Aku jadi ingin bertemu Mark hyung dan Taeyong hyung lagi.

Mata Jeno memicing, menyesap kopinya perlahan.

“Kau pasti ingin bergabung dengan mereka untuk membully-ku.”

“Kau sangat mengenalku, aku sungguh terharu.”

Yah, bisa dibilang Jeno sangat mengenal Renjun begitupun sebaliknya. Mereka telah bersama sedari sekolah dasar dulu. Bedanya jika saat ini Jeno yang selalu menjahili Renjun, saat kecil dulu, Renjun yang selalu menjahili Jeno hingga membuat lelaki itu menangis. Dan entah kebetulan atau apa keduanya selalu berada di sekolah dan kelas yang sama, selalu berdebat tentang banyak hal meski sedari dulu label sahabat melekat erat.

“Bintangnya sangat banyak, ya.”

Jeno mengikuti ke arah mana netra Renjun berlabuh. Langit Seoul malam ini terlihat bertaburan bintang, sangat indah, namun sayangnya sosok di sampingnya jauh lebih indah. Jeno mengulum senyum, menatap Renjun yang masih menatap takjub langit malam.

“Mungkin ini pertanda segala kebaikan akan datang untuk tahun depan?”

Renjun menoleh kebingungan. “Memangnya bisa begitu?”

Ah, terkadang Renjun ini begitu polos hingga di mana membuat Jeno gemas sendiri. Pun, itu salah satu alasan mengapa dirinya sangat suka menjahili Renjun.

“Entah,” kedua bahu Jeno terangkat. “Hanya menebak.”

Renjun mencebik akan jawaban Jeno yang mengecewakan, ia menyesap cokelatnya, kembali menatap pemandangan kota yang dipenuhi lampu-lampu cerah. Udara terasa sangat menusuk, namun padding coat dan kehadiran Jeno serta pelukan lelaki itu cukup menghangatkan untuk Renjun.

“Renjun?”

“Hn?”

“Menurutmu bagaimana dengan tahun ini?”

Menoleh, Renjun menatap Jeno bingung. Sejujurnya, Renjun kadang belum terbiasa akan segala pertanyaan random yang selalu Jeno lontarkan. Jeno akan bertanya tentang banyak hal, dan untungnya Renjun tak terganggu dengan hal itu.

Pernah saat itu Renjun bertanya mengapa Jeno selalu suka bertanya padanya dan fokus mendengarkan. Dan jawabannya sangat cukup untuk membuat Renjun malu luar biasa.

“Karena aku menyukai suaramu, aku menyukai saat kau berbicara dengan menggebu tentang segala hal. Itu membuatku jatuh cinta lagi dan lagi.”

Ah, Jeno memang penggoda ulung!

Kembali pada dunia kini, Renjun masih menatap Jeno kebingungan.

“Bagaimana apanya?”

Kini Jeno yang menoleh. “Seperti hal yang kau syukuri, hal yang kau sesali yang terjadi di tahun ini, atau bagaimana tahun ini untukmu, yah semacam itulah.”

Renjun mengangguk mengerti, netra serupa rubah itu kembali menatap kota. Sungguh, terkadang tatapan Jeno sangat tak baik untuk kesehatan jantungnya.

“Tahun ini berjalan cukup di luar kendali, ada beberapa hal yang sangat merepotkan seperti saat aku bertengkar selama sebulan penuh dengan Felix, atau ujian-ujian yang sangat menguras otak dan mental. Ah, dan ada waktu di mana kita bertengkar dan tak berbicara selama dua minggu penuh, kan? Sesungguhnya itu membuatku stres.”

Mengangguk, sebelah tangan Jeno yang memeluk bahu Renjun terangkat untuk memainkan helaian rambut kekasihnya. Memerhatikan wajah Renjun yang berbicara hingga membuat uap keluar dari mulutnya.

“Banyak hal yang aku syukuri di tahun ini. Tentang kesehatanku, pertemuanku dengan beberapa teman baru, kemudahan hari yang aku jalani, nilai-nilaiku yang bisa dipertahankan dan uang jajanku yang bertambah,” Renjun tertawa kecil karena kalimat terakhir, diam-diam ia menikmati usapan tangan Jeno di rambutnya, terasa sangat lembut dan seolah dilindungi. “Aku juga bersyukur masih bisa bersamamu, masih bisa melihatmu, masih bisa saling melempar ejekan, masih bisa menendang pantatmu, masih bisa dinyanyikan olehmu.”

“Kau pasti sangat mencintaiku.”

Renjun mencibir saat Jeno terkekeh di sampingnya, dia lebih memilih semakin mendekat pada Jeno untuk mencari kehangatan.

“Untuk hal yang aku sesali, mungkin tak banyak. Namun aku cukup menyesal tak berusaha lebih keras saat mengikuti lomba melukis. Aku menyesal tak menjelaskan lebih cepat kesalahpahamanku dengan Felix dulu. Aku menyesal tak lebih cepat meminta maaf padamu saat kita bertengkar. Aku menyesal tak mengikuti perkataanmu tentang jangan terlalu percaya pada orang baru. Aku menyesal berbohong padamu dan membuat kita terjebak kesalahpahaman. Aku menyesal telah membuatmu marah dan membuat pertemananmu dengan Jaemin hampir berakhir. Aku menyesal telah menuduhmu tentang banyak hal hingga kita berjauhan. Maaf.”

Perkataan Renjun terdengar tulus, belum lagi lengkung kurva yang menurun. Jeno tersenyum lembut, menarik tubuh Renjun untuk bersandar di dadanya.

“Kau boleh saja menyesal karena hal itu bisa dijadikan pembelajaran. Hal yang tak boleh kau lakukan adalah membiarkan dirimu tenggelam dalam penyesalan hingga menghambat kehidupanmu,” bisikan Jeno mengalun lembut di antara helaian rambut Renjun yang terasa halus. Keduanya terdiam, menikmati kehangatan yang terasa begitu berharga.

Renjun lebih memilih menekan sebelah pipinya pada dada bidang sang kekasih, merasakan kehangatan sekaligus detak kencang yang membuatnya berdebar. Debaran itu masih sama seperti beberapa tahun lalu, dan Renjun berharap akan selalu sama untuk waktu yang tak bisa ditentukan.

“Renjun.”

“Hn?”

“Apa rencanamu untuk tahun yang akan dimulai beberapa menit lagi?”

Tak ada suara yang langsung terdengar, Renjun lebih memilih memejamkan mata dengan suara detak jantung Jeno yang menginvasi pendengaran.

“Mendapatkan nilai memuaskan, masuk ke universitas yang aku inginkan,” Renjun bersuara sembari melepaskan pelukannya, dia beralih memeluk dirinya sendiri dan tersenyum lebar. “Dan yang paling penting, mencoba untuk selalu ada di sampingmu.”

Jeno terkekeh, diam-diam merona dan mengulum senyumnya. Ada hentakan bahagia mengetahui Renjun mengikutsertakannya dalam rencana tahun yang akan di mulai.

“Hanya itu saja?” Lagi-lagi, helai rambut lembut Renjun menjadi objek pekerjaan jari-jari Jeno selagi kedua netranya memerhatikan wajah kekasihnya yang berbicara.

Indah.

Renjun selalu indah sebagaimana waktu yang telah mereka lewati bersama. Kedua matanya, suaranya, perhatiannya, segalanya, sangat indah. Jeno selalu menyukai kegiatannya yang hanya memerhatikan Renjun selagi lelaki itu berbicara. Jeno menyukai bagaimana netra serupa rubah itu berbinar dengan bintang yang bertaburan. Jeno menyukai bagaimana belah bibir merah yang selalu ia kecup itu berbicara hingga mengeluarkan suara yang menenangkan.

Seperti sekarang.

Renjun menggeleng. “Banyak. Banyak rencana dan harapan yang aku harap dapat terwujud di tahun nanti, apalagi untuk kita berdua,” bisiknya, memainkan jemari Jeno yang ada di pangkuan.

“Aku berharap selalu diberi kesehatan, dipermudah semua hal yang aku lakukan. Aku masih ingin belajar banyak hal, belajar menjadi dewasa dengan pemikiran terbuka, belajar memahami dan mengendalikan emosi. Belajar tentang kehidupan dan kita.”

Udara terasa semakin dingin, berbagai suara dapat terdengar dari tempat mereka duduk. Jeno semakin menarik Renjun untuk mendekat saat uap selalu keluar tiap kali Renjun berbicara. Hal yang sia-sia jika ia membawa Renjun pergi sekarang, Jeno tahu tempat yang mereka pijak ini adalah spot yang pas untuk melihat pertunjukan kembang api. Meski risikonya udara dingin yang menusuk kulit, tapi Jeno berharap Renjun dapat bertahan.

“Aku ingin lebih bahagia, ingin leluasa melakukan hal yang aku inginkan tanpa merugikan diriku dan orang lain. Aku ingin selalu diberi kesehatan, entah itu jasmani atau mental. Aku ingin selalu bersamamu. Meski kau menyebalkan dan selalu menggangguku, namun aku sudah sangat terbiasa akan kehadiranmu sedari kecil dulu. Meski kita selalu bertengkar dan berdebat akan banyak hal, namun selalu bersamamu adalah salah satu hal yang aku inginkan untuk terus terjadi. Kau boleh mengataiku menggelikan, kenyataannya tanpa kusadari aku sudah bergantung padamu dan segala perhatianmu. Membayangkan suatu saat nanti aku harus berpisah denganmu bagai mimpi buruk. Aku tak ingin berpisah denganmu, aku tak ingin kau menjauhiku, aku tak ingin melihatmu memberikan segala afeksi dan cinta pada orang lain. Aku tak bisa. Aku tak mau. Aku hanya ingin kau—”

“Hei!” Jeno menyela racauan Renjun yang mulai tak terkendali. Saat ia menarik wajah itu untuk menghadapnya, Jeno langsung disuguhi wajah Renjun yang memerah begitupun kedua matanya, kedua netranya bergetar dengan kilau bening yang terlihat indah. “Mengapa menangis?”

“Jangan mengataiku!”

Eh, memangnya siapa tadi yang mempersilahkan untuk Jeno katai?

Jeno terkekeh melihat Renjun yang memberengut, terlihat lucu. Kedua tangannya menangkup pipi Renjun yang terasa dingin, menepuknya pelan agar menghangat.

“Memangnya siapa yang akan mengataimu, hm?”

Tak ada jawaban. Renjun lebih memilih menikmati usapan tangan Jeno di kedua pipinya. Meski Jeno sering bersikap menyebalkan dengan mengatai, dan mengganggu kesehariannya hingga membuat Renjun ingin menangis saking kesalnya, namun tak bisa dipungkiri bahwa Jeno adalah sosok perhatian yang mengerti dirinya dengan caranya sendiri.

Jeno selalu mempunyai banyak cara untuk membuat Renjun kesal dan jatuh cinta.

“Ayo selalu bahagia!”

Renjun mengerjap saat Jeno mengecup wajahnya di beberapa tempat dan tersenyum lebar hingga kedua mata itu membentuk bulan sabit. Senyuman favoritnya.

“Meski aku tahu jika kehidupan tak selalu diisi dengan kebahagiaan, tapi, ayo lebih bahagia di tahun depan. Ayo, selalu bersama dan saling mengandalkan. Aku tak bisa menjanjikan diriku selalu ada untukmu, namun aku akan berusaha semampuku. Ayo berjuang bersama untuk segala hal yang kita inginkan, segala hal yang kita harapkan untuk terjadi. Ayo tetap berusaha meski akan banyak kegagalan menanti. Renjun, aku tak bisa berjanji menjadi seseorang yang bisa selalu kau andalkan, aku tak bisa selalu menjadi penguatmu dikala jatuh dan risau, akan ada waktu dimana aku menjadi pengecut dan bajingan, akan ada waktu dimana aku membuatmu kecewa dan menangis, akan selalu ada waktu untuk itu. Namun aku akan berusaha untuk selalu ada disisimu, untuk menegurmu, untuk berjuang bersamamu, untuk menyayangimu, untuk memberikanmu segala perhatianku, aku tak bisa menjanjikanmu tentang cinta dan kesetiaan karena waktu bisa merubah segalanya. Namun untuk waktu yang tak bisa ditentukan, kau masih memiliki hatiku, kau masih menjadi penguatku, kau masih menjadi alasanku untuk menjadi pribadi yang lebih baik, kau masih menjadi segalaku,” segala perkataan Jeno terdengar sangat jelas, lelaki itu tersenyum dan mengusap kedua pipi Renjun dengan ibu jarinya, menikmati kehangatan dan semu merah yang menghiasi wajah sang kekasih.

Tak akan menyangka bahwa Jeno mencintai Renjun sebegitu besarnya. Terdengar penuh bualan, namun peduli setan dengan perkataan orang-orang. Ini tentang dunianya dan Renjun. Ini tentang rasa cintanya yang kini hanya dipersembahkan untuk seseorang yang selalu menemaninya sedari kecil dulu.

“Renjun … ayo berjuang bersama dan bahagia.”

Ini hanya tentang Jeno dan Renjun.

Sorakan dari orang-orang di bawah sana mengejutkan mereka. Suara hitungan mundur terdengar sangat jelas. Jeno tersenyum lebar, menarik tangan Renjun untuk berdiri, dia membawa tubuh berbalut padding coat tebal itu untuk mendekat pada pagar dengan dirinya yang berdiri di belakang Renjun.

“Jeno?”

“Sebentar.”

Jeno memeluk pinggang Renjun dari belakang, membawa dagunya untuk bersandar pada bahu sempit kekasihnya. Kini keduanya menatap pada lautan manusia di dekat sungai yang masih menghitung mundur.

“Aku menerima ajakanmu,” Renjun berbisik, semakin menekan tubuhnya pada Jeno, jemarinya menggenggam tangan Jeno yang memeluk pinggangnya. Letup bahagia pada dadanya begitu menyesakkan, Renjun tersenyum lebar meski pipinya mulai terasa pegal. Perkataan Jeno sungguh menyentuh, padahal Renjun tahu jika lelaki itu bukan sosok yang bisa membicarakan hal yang ia rasakan secara gamblang. Jeno adalah sosok yang lebih suka menyimpan semuanya seorang diri.

Dan menemukan Jeno yang berbicara seperti ini sungguh membuat Renjun senang bukan main.

“Jeno … ayo berjuang bersama dan bahagia.”

Jeno tersenyum lebar, menarik lembut dagu Renjun untuk menoleh ke belakang. “I love you.

I love you too.

DUAR!

DUAR!!

Bersamaan dengan langit yang dihiasi ratusan kembang api berbagai warna, kedua bibir itu menyatu lembut.

Jeno tersenyum dalam ciumannya, menarik perlahan tubuh Renjun untuk menghadapnya agar lebih leluasa menginvasi bibir sang kekasih tercinta. Mereka berpelukan dengan bibir yang saling melumat lembut penuh perasaan.

Itu adalah hal yang sederhana. Segala percakapan ini, segala hal yang terjadi malam ini sungguh sederhana. Namun kebersamaan mereka, setiap perkataan, debaran, genggaman, senyuman, setiap buncahan bahagia pada dada yang merayap perlahan … membuat mereka menyadari bahwa mungkin mencintai memang sesederhana ini.

Renjun dan Jeno hanya ingin menikmati setiap afeksi dan kebersamaan yang sedang terjadi, entah itu penuh canda tawa, tangis luka atau caci maki, mereka hanya ingin menikmati semua hal ini.

Hal yang akan terjadi nanti, biarlah terjadi nanti.

Mereka hanya ingin bahagia dan berjuang bersama. Belajar bersama dan saling mengandalkan. Meski yah, mungkin akan selalu ada hal di luar kendali, seperti caci maki yang tak akan pernah berhenti saling mereka lontarkan disetiap hari.

Ciuman mereka terlepas, keduanya tersenyum lebar bersama hari baru yang menyapa.

“Dan berhentilah untuk bersikap menyebalkan, idiot!”

Dan yep, suara Renjun langsung mengacaukan suasana yang sangat jarang tercipta. Wajah Jeno langsung berubah datar, menggigit keras hidung Renjun hingga teriakan bersahutan dengan suara kembang api yang masih menyala.

“YAAAA LEE JENO IDIOT LEPASKAN HIDUNGKUUU!!”

“Biar saja kau tak punya hidung! Kau menyebalkan.”

“YAAA KAU INGIN MATI?!!”

Ah, kata menyebalkan mungkin tak akan pernah mereka lewatkan untuk terucap.

Mari sejenak lupakan pasangan yang sedang saling mengejar dan melempar teriakan di tengah kembang api yang menghiasi langit. Untuk siapapun yang membaca ini, selamat tahun baru, semoga tahun ini lebih baik dari tahun sebelumnya.

Ayo lebih bahagia, ayo berjuang untuk segala hal yang diinginkan. Ayo untuk tetap sehat dan mempertahankan kewarasan di tengah dunia dan segala kegilaan.

Ayo untuk tetap mencintai dan mendo'akan pasangan kita ….

Lee Jeno dan Huang Renjun tercinta,

Semoga bahagia.