Let's Be Happy!
Special for @norenfess, and NoRen shippers.
“Kau sungguh menyebalkan, kau tahu itu, 'kan?”
“Kau juga menyebalkan, kau pasti tahu itu.”
“Tapi kau jauh lebih menyebalkan, Jeno!”
“Hn, hn, terserahmu saja yang penting jangan terlalu banyak bergerak atau kita akan jatuh.”
Renjun berdecak keras tapi tetap menurut, membayangkan dirinya terjatuh dari sepeda dan menghantam aspal penuh salju di tengah keramaian seperti ini sungguh tidak elit.
Adalah malam hari yang dingin, atau lebih tepatnya malam tahun baru yang dingin di mana seharusnya orang-orang bergelung di dalam selimut ditemani perapian yang menyala. Atau, untuk beberapa orang itu adalah malam di mana waktunya berjalan-jalan mengunjungi berbagai tempat sambil menunggu pertunjukan kembang api saat terjadinya perubahan tahun.
Dan tentu saja opsi terakhir tak akan pernah Renjun lakukan, seharusnya.
Renjun jelas lebih memilih tidur di atas kasurnya dengan penghangat ruangan menyala. Televisi yang menampilkan film kesukaannya, cokelat panas, beberapa cookies cokelat, obrolan panjang seputar banyak hal bersama sang kakak yang jarang pulang, seharusnya itu menjadi agendanya di malam pergantian tahun ini.
Yah, seharusnya.
Tapi rencana yang telah ia susun jauh-jauh hari harus sirna karena eksistensi Jeno yang datang ke rumahnya tak tahu malu, bersama cengiran lebar dan bingkisan yang Renjun yakini sebagai sogokan atas apa yang akan dia lakukan.
Ya, menggagalkan rencana Renjun! Damn!
“Berhentilah menghela napas kasar seperti itu, kau seperti kakek tua yang akan direnggut nyawanya,” suara Jeno menjadi terdengar lebih menyebalkan di telinganya. Renjun memicing tajam, menatap punggung di depannya yang terus mengayuh sepeda entah bertujuan ke mana.
“Diam! Tetaplah mengayuh sepeda atau aku akan mendorongmu ke sungai agar kau di makan buaya!”
Itu bukan sekadar ucapan belaka, Renjun sungguh akan melakukannya jikalau disekitar mereka benar ada sungai. Tapi ancamannya malah dibalas tawa, suara tawa yang menyebalkan, sangat menyebalkan.
“Tidak ada buaya yang tinggal di sungai, Renjun,” laju sepeda Jeno melambat, lelaki itu masih tertawa hingga membuat sepeda oleng beberapa kali. “Lagi pula pemerintah akan melakukan hal dengan itu jika benar terjadi. Ya ampun, mengapa kekasihku ini lucu sekali? Kau pasti tinggal di gua, ya?”
Renjun berdecak kesal. “Kau menyebalkan!”
Jeno hanya tertawa, dan perjalanan itu di isi keheningan seperti semula. Tak hening juga sebenarnya, karena di sisi mereka banyak pejalan kaki yang bertukar kata dan berbagai kendaraan yang melaju padat. Renjun hanya terlalu kesal karena rencananya gagal, meski Jeno kekasihnya, itu tak lantas harus membuat mereka bersama terus menerus, 'kan? Hei, mereka bukan kembar siam!
“Kita akan ke mana sih? Bukannya kau bilang akan merayakan malam tahun baru bersama keluargamu?”
“Aku kabur,” laju kayuh sepeda Jeno memelan saat melewati jalan yang menurun. “Rumah kacau sekali, aku tidak suka. Apalagi Mark hyung dan Taeyong hyung sungguh menyebalkan, menggangguku terus sampai aku tak sengaja menendang wajah mereka dan membuat mereka memukul pantatku terus. Belum lagi Yeeun noona yang terus merecokiku dengan pertanyaan-pertanyaan yang sama menyebalkannya. Yah, daripada aku menjadi korban cubitan mereka, lebih baik aku mengganggu kekasih mungilku saja, iya 'kan? Itu lebih menyenangkan dan produktif.”
Jeno berujar tanpa beban, melirik Renjun yang cemberut melalui celah bahunya. Seringai jahilnya terpasang lebar membuat keinginan Renjun untuk mendorong Jeno ke dalam sungai semakin besar.
“Kau benar-benar menyebalkan ya, Lee Jeno?” Renjun mendesis, mencubit pinggang lelaki di depannya yang tertawa keras. Harusnya itu menjadi kesialan Jeno saja, mengapa dirinya juga harus tertimpa?
Tapi ngomong-ngomong, ketiga saudara Jeno itu memang menyebalkan sekaligus menyeramkan. Pernah sekali saat Renjun berkunjung ke rumah kekasihnya bertepatan dengan ketiga saudara Jeno pulang ke rumah, (mereka kuliah di luar kota dan sangat jarang pulang, ngomong-ngomong.) Pipinya harus menjadi korban cubitan mereka, belum lagi pertanyaan-pertanyaan absurd yang terus terlontar hingga membuatnya ingin menangis histeris. Jeno? Ah, kekasihnya yang sialan itu hanya tertawa dengan semangkuk popcorn dipelukan, hanya melihat Renjun yang dikerubungi tiga saudara yang keusilannya di luar nalar manusia itu dengan santai, mungkin juga hitung-hitung sebagai hiburan.
“Hahaha maaf sayang, memangnya kau tidak ingin merayakan tahun baru bersamaku?” Tanya Jeno penasaran, pasalnya Renjun terlihat sangat kesal saat dijemput olehnya. Aneh, seharusnya 'kan lelaki itu senang merayakan tahun baru bersama kekasih seperti orang-orang.
Ah, tapi Jeno memang kadang lupa jika Renjun berbeda dengan orang-orang.
“Tidak.”
Jawaban cepat Renjun membuat Jeno merenggut, sepeda berhenti tiba-tiba membuat Renjun harus memeluk pinggang Jeno agar tak terjatuh menghantam aspal.
“Ya, sudah, kita pulang saja.”
Renjun melotot saat Jeno akan memutar arah sepedanya. “HEI! KAU BENAR-BENAR INGINKU PUKUL, YA?!”
Plak!
“AW!” Jeno berdiri, memegang belakang kepalanya yang terkena pukulan. Tatapan merajuknya terarah pada Renjun yang masih melotot galak. “Kenapa aku dipukul?!”
“KAU MENYEBALKAN! TETAP JALANKAN SEPEDANYA, IDIOT!”
Ah, terkadang hubungan mereka memang terlihat sangat aneh.
Oh, ternyata itu adalah festival tahun baru yang memang sering diadakan di sana.
Netra Renjun berbinar memandang takjub sekitarnya. Sepeda Jeno telah diparkir di tempat khusus, mereka kini sedang berjalan di antara kerumunan orang untuk menikmati segala pemandangan yang tersaji. Pohon-pohon natal berjajar indah dengan hiasan mewah, patung-patung, lampion, lampu yang bergelantungan, pernak-pernik yang menghiasi segala tempat terlihat memanjakan mata. Renjun bergidik, menggenggam lebih erat tangan Jeno tanpa sadar, dia meloncat-loncat kecil membuat Jeno terkekeh gemas di sampingnya.
“Wow, ini menakjubkan!”
Jeno tersenyum sombong, menepuk dadanya bangga. “Siapa dulu?! Lee Jeno selalu tahu apa yang terbaik untuk kekasihnya. Kau harus berterima kasih padaku karena telah menyelamatkanmu dari acara malam tahun baru yang menyedihkan.”
Renjun mencibir, tak berniat menbalas perkataan yang terdengar menyebalkan di telinganya. Dia malah semakin mendekat pada Jeno dan menggenggam erat tangan lelaki itu. Kota Seoul di malam hari seperti ini terasa sangat dingin, padahal Renjun telah memakai pakaian hangat yang tebal, tapi udara dinginnya masih tetap terasa menusuk kulit.
Mereka tetap berjalan di antara lautan manusia, menikmati pemandangan yang tersaji. Jeno dan Renjun tak banyak bicara, hanya saling memeluk dengan europhia bahagia yang menyentak dada.
Sederhana namun terasa menakjubkan.
“Acara utamanya masih lama,” Jeno mendongak setelah menatap jam tangannya, dia tersenyum lembut pada Renjun dan menyingkirkan butiran salju yang berjatuhan di atas kepala si kekasih. “Kau lapar tidak? Aku sangat lapar, perutku belum terisi sedari siang, ketiga monster itu benar-benar terus menggangguku.”
Mata Renjun memicing tajam. “Kenapa tidak bilang?! Kau 'kan punya maag! Ayo kita cari makan, aku tidak mau menggendongmu kalau kau sekarat di tengah jalan!” Tanpa banyak bicara lagi Renjun langsung menyeret Jeno menjauh dari kerumunan untuk mencari sesuatu yang dapat mengisi perut mereka, Jeno sih hanya ikut-ikut saja, lagi pula dia sangat senang diperhatikan oleh kekasihnya.
Yah, terkadang perhatian Renjun itu sangat berbeda dengan orang-orang.
Mereka berjalan cukup jauh dari tempat awal, mengunjungi restoran dan makan malam ditemani musik khas Natal yang berputar. Renjun tak suka berbicara saat makan, dan Jeno hanya mengikuti kebiasaan kekasihnya, lagi pula jika dia nekat mengajak Renjun mengobrol saat makan kepalanya yang akan menjadi korban dari sendok yang terlempar. Itu pernah terjadi, dan dia tak ingin mendapatkannya lagi.
“Setelah ini kita akan ke mana?” Renjun bertanya saat keduanya selesai mengisi perut, berdiri di depan restoran yang tak terlalu ramai.
Jeno di sisi lain melirik jam tangannya, menarik bahu Renjun untuk ia dekap erat. Pergantian tahun baru masih 45 menit lagi, mungkin sudah saatnya dia membawa Renjun menuju tempat yang pas untuk melihat pertunjukan kembang api yang sangat khas disetiap acara pergantian tahun ini.
“Aku tahu kita akan ke mana. Ayo!”
Dekapan hangat, senyuman manis, dan perhatian yang berlebih … Renjun sangat menikmati semua afeksi yang Jeno berikan. Meski selama ini dia terkesan kasar pada kekasihnya, namun sejujurnya itu hanyalah tameng agar dirinya tak merona dengan memalukan saat Jeno berulah.
Mereka berjalan dalam keheningan, Renjun tak tahu Jeno akan membawanya ke mana, namun dia percaya pada lelaki itu, sepenuhnya. Jeno tak romantis seperti kebanyakan orang, tak juga perhatian penuh kelembutan seperti pemeran-pemeran di drama. Humoris? Apalagi itu. Selama humor Jeno itu aneh, malah terkadang Renjun tak mengerti saat kekasihnya melempar candaan.
Jeno itu aneh, pengganggu, menyebalkan, manja, dan cengeng. Tapi, sialnya Renjun menyukainya. Renjun menyukai diri Jeno yang apa adanya, yang terkadang polos, terkadang romantis, pula terkadang memalukan. Kekurangan Jeno sangat banyak, tak terhitung. Namun, kelebihannya pun tak kalah banyaknya.
Renjun selalu menyukai bagaimana Jeno mencintai dan memperlakukannya, dengan cara sederhana yang tak pernah ia pikirkan.
“Apa cuacanya semakin dingin? Kau menggigil.”
Kepalanya menggeleng pelan, Renjun semakin erat memeluk pinggang Jeno, menenggelamkan tubuhnya pada sang kekasih. “Tidak terlalu sih. Apa tempatnya masih jauh? Aku agak lelah dan haus.”
Pelukan Jeno di bahunya mengerat.
“Sebentar lagi, bersabar ya?”
Dan Jeno tak berbohong (untungnya).
Lelaki itu membawanya menuju daratan yang lebih tinggi di mana semua pemandangan tempat yang mereka kunjungi tadi dapat terlihat jelas.
Belah bibirnya terbuka, kedua netra memandang takjub sungai yang dapat terlihat dari tempatnya berdiri. Kerlap-kerlip dihiasi berbagai lampu. Kota terlihat sangat menakjubkan di malam pergantian tahun baru.
“Wah, sepertinya serangga bisa masuk ke dalam mulutmu, ya?”
Namun tetap saja pasti ada yang mengacaukan konsentrasinya mengagumi keindahan kota.
Renjun mendesis, mendelik pada sosok di sampingnya yang bersiul menyebalkan. Yah, Jeno dan kata menyebalkan sepertinya memang tak dapat dipisahkan. Oh, tapi tenang saja, bukan hanya Jeno kok yang dapat bersikap menyebalkan karena Renjun tentu saja sudah pasti bisa.
Senyum menggoda dipamerkan, Renjun menyenggol bahu Jeno pelan dan menaik-turunkan alisnya. “Penismu juga bisa masuk ke dalam mulutku, kok.”
UHUK!
“HEI! KAU MAU KUPUKUL?!”
Tawa Renjun terdengar keras membuat beberapa orang disekitar mereka menoleh terganggu, dan tentu saja Renjun tak peduli. Sungguh, melihat Jeno yang kelabakan dengan wajah memerah hingga telinga itu terlihat sangat sangat sangat menggemaskan di matanya. Renjun masih tertawa hingga wajahnya mendongak, kedua tangannya merayap memeluk pinggang kekasihnya yang mencebik kesal.
“Kau lucu sekali, Jeno-ya.”
Jeno berdecak, berjalan pelan dengan Renjun yang masih memeluk pinggangnya, dia membawa tubuhnya untuk duduk pada kursi yang tak terlalu jauh. Tempat yang sangat pas di mana semua keindahan kota dapat terlihat.
“Jangan lakukan itu lagi,” Jeno berdesis, mencubit gemas hidung Renjun yang hanya tersenyum lebar. “Kalau aku meninggal karena serangan jantung, nanti siapa yang akan mengganggumu?”
Renjun hanya mencebik, melepaskan pelukannya di pinggang Jeno. Lebih memilih menatap pemandangan yang tersaji dengan sosok Jeno di sampingnya, berbagi kehangatan dengan bahu yang melekat erat. Pun Jeno yang langsung melingkarkan tangannya di bahu Renjun, semakin menambah kehangatan di tengah cuaca yang menusuk kulit.
Jeno dan Renjun.
Mereka lebih dikenal sebagai pasangan yang aneh.
Jeno yang jahil dan Renjun yang emosinya mudah meledak. Keduanya lebih sering terlibat adu cekcok, saling melempar makian dan ejekan, hingga tak jarang membuat keributan yang memuakkan. Jeno tak suka mengalah, Renjun apalagi. Keduanya kekanakan, selalu mengandalkan ego masing-masing. Berteman sedari kecil tak lantas membuat mereka akrab seperti pertemanan orang lain, keduanya malah lebih terlihat seperti musuh dibandingkan sahabat. Hal yang mengejutkan saat semua orang tahu kalau kedua lelaki itu menjalin hubungan lebih dari seorang yang suka adu cekcok. Kekasih, katanya. Namun tak ada yang berubah dari hal itu, keduanya masih sama meski ada sebuah status tak biasa yang mengikat.
Untungnya, Jeno dan Renjun cukup apatis untuk hal-hal tersebut, segala perkataan menghakimi orang lain tentang hubungan mereka. Keduanya lebih memilih abai dan menikmati segala afeksi tak biasa yang selalu orang lain labeli aneh.
“Bagaimana harimu?” Jeno menjadi yang menghancurkan keheningan lebih dulu, menyodorkan segelas cokelat panas yang tadi ia beli.
Renjun langsung menerima cup gelas itu, meminumnya sedikit dan menatap Jeno lembut. “Pagi tadi aku membantu Ibu memanggang kue, membersihkan rumah dan menata pohon. Bermain game bersama Winwin hyung, berselancar di dunia internet, melakukan panggilan telepon bersama Haechan dan Felix, dan bermain bersama kucingku. Lalu, bagaimana harimu?”
“Membantu Ayah membersihkan mobil, memandikan ketiga anakku, bermain game, mendengarkan curhatan Yoeun noona tentang kekasihnya yang selingkuh, memainkan internet, dan direcoki oleh Mark hyung dan Taeyong hyung. Ah, dan mendengarkan musik yang kau rekomendasikan waktu itu.”
Pertanyaan sederhana tentang bagaimana harimu sudah menjadi kebiasaan yang tak dapat dihilangkan. Pertanyaan sederhana yang sering orang lain sepelekan justru menjadi rutinitas yang tak dapat dipisahkan untuk mereka. Karena dari pertanyaan itu, keduanya bisa mengetahui bagaimana hari mereka berjalan. Saling berbagi cerita bersama segala afeksi yang jarang keduanya perlihatkan pada dunia.
Renjun terkekeh. “Aku jadi ingin bertemu Mark hyung dan Taeyong hyung lagi.“
Mata Jeno memicing, menyesap kopinya perlahan.
“Kau pasti ingin bergabung dengan mereka untuk membully-ku.”
“Kau sangat mengenalku, aku sungguh terharu.”
Yah, bisa dibilang Jeno sangat mengenal Renjun begitupun sebaliknya. Mereka telah bersama sedari sekolah dasar dulu. Bedanya jika saat ini Jeno yang selalu menjahili Renjun, saat kecil dulu, Renjun yang selalu menjahili Jeno hingga membuat lelaki itu menangis. Dan entah kebetulan atau apa keduanya selalu berada di sekolah dan kelas yang sama, selalu berdebat tentang banyak hal meski sedari dulu label sahabat melekat erat.
“Bintangnya sangat banyak, ya.”
Jeno mengikuti ke arah mana netra Renjun berlabuh. Langit Seoul malam ini terlihat bertaburan bintang, sangat indah, namun sayangnya sosok di sampingnya jauh lebih indah. Jeno mengulum senyum, menatap Renjun yang masih menatap takjub langit malam.
“Mungkin ini pertanda segala kebaikan akan datang untuk tahun depan?”
Renjun menoleh kebingungan. “Memangnya bisa begitu?”
Ah, terkadang Renjun ini begitu polos hingga di mana membuat Jeno gemas sendiri. Pun, itu salah satu alasan mengapa dirinya sangat suka menjahili Renjun.
“Entah,” kedua bahu Jeno terangkat. “Hanya menebak.”
Renjun mencebik akan jawaban Jeno yang mengecewakan, ia menyesap cokelatnya, kembali menatap pemandangan kota yang dipenuhi lampu-lampu cerah. Udara terasa sangat menusuk, namun padding coat dan kehadiran Jeno serta pelukan lelaki itu cukup menghangatkan untuk Renjun.
“Renjun?”
“Hn?”
“Menurutmu bagaimana dengan tahun ini?”
Menoleh, Renjun menatap Jeno bingung. Sejujurnya, Renjun kadang belum terbiasa akan segala pertanyaan random yang selalu Jeno lontarkan. Jeno akan bertanya tentang banyak hal, dan untungnya Renjun tak terganggu dengan hal itu.
Pernah saat itu Renjun bertanya mengapa Jeno selalu suka bertanya padanya dan fokus mendengarkan. Dan jawabannya sangat cukup untuk membuat Renjun malu luar biasa.
“Karena aku menyukai suaramu, aku menyukai saat kau berbicara dengan menggebu tentang segala hal. Itu membuatku jatuh cinta lagi dan lagi.”
Ah, Jeno memang penggoda ulung!
Kembali pada dunia kini, Renjun masih menatap Jeno kebingungan.
“Bagaimana apanya?”
Kini Jeno yang menoleh. “Seperti hal yang kau syukuri, hal yang kau sesali yang terjadi di tahun ini, atau bagaimana tahun ini untukmu, yah semacam itulah.”
Renjun mengangguk mengerti, netra serupa rubah itu kembali menatap kota. Sungguh, terkadang tatapan Jeno sangat tak baik untuk kesehatan jantungnya.
“Tahun ini berjalan cukup di luar kendali, ada beberapa hal yang sangat merepotkan seperti saat aku bertengkar selama sebulan penuh dengan Felix, atau ujian-ujian yang sangat menguras otak dan mental. Ah, dan ada waktu di mana kita bertengkar dan tak berbicara selama dua minggu penuh, kan? Sesungguhnya itu membuatku stres.”
Mengangguk, sebelah tangan Jeno yang memeluk bahu Renjun terangkat untuk memainkan helaian rambut kekasihnya. Memerhatikan wajah Renjun yang berbicara hingga membuat uap keluar dari mulutnya.
“Banyak hal yang aku syukuri di tahun ini. Tentang kesehatanku, pertemuanku dengan beberapa teman baru, kemudahan hari yang aku jalani, nilai-nilaiku yang bisa dipertahankan dan uang jajanku yang bertambah,” Renjun tertawa kecil karena kalimat terakhir, diam-diam ia menikmati usapan tangan Jeno di rambutnya, terasa sangat lembut dan seolah dilindungi. “Aku juga bersyukur masih bisa bersamamu, masih bisa melihatmu, masih bisa saling melempar ejekan, masih bisa menendang pantatmu, masih bisa dinyanyikan olehmu.”
“Kau pasti sangat mencintaiku.”
Renjun mencibir saat Jeno terkekeh di sampingnya, dia lebih memilih semakin mendekat pada Jeno untuk mencari kehangatan.
“Untuk hal yang aku sesali, mungkin tak banyak. Namun aku cukup menyesal tak berusaha lebih keras saat mengikuti lomba melukis. Aku menyesal tak menjelaskan lebih cepat kesalahpahamanku dengan Felix dulu. Aku menyesal tak lebih cepat meminta maaf padamu saat kita bertengkar. Aku menyesal tak mengikuti perkataanmu tentang jangan terlalu percaya pada orang baru. Aku menyesal berbohong padamu dan membuat kita terjebak kesalahpahaman. Aku menyesal telah membuatmu marah dan membuat pertemananmu dengan Jaemin hampir berakhir. Aku menyesal telah menuduhmu tentang banyak hal hingga kita berjauhan. Maaf.”
Perkataan Renjun terdengar tulus, belum lagi lengkung kurva yang menurun. Jeno tersenyum lembut, menarik tubuh Renjun untuk bersandar di dadanya.
“Kau boleh saja menyesal karena hal itu bisa dijadikan pembelajaran. Hal yang tak boleh kau lakukan adalah membiarkan dirimu tenggelam dalam penyesalan hingga menghambat kehidupanmu,” bisikan Jeno mengalun lembut di antara helaian rambut Renjun yang terasa halus. Keduanya terdiam, menikmati kehangatan yang terasa begitu berharga.
Renjun lebih memilih menekan sebelah pipinya pada dada bidang sang kekasih, merasakan kehangatan sekaligus detak kencang yang membuatnya berdebar. Debaran itu masih sama seperti beberapa tahun lalu, dan Renjun berharap akan selalu sama untuk waktu yang tak bisa ditentukan.
“Renjun.”
“Hn?”
“Apa rencanamu untuk tahun yang akan dimulai beberapa menit lagi?”
Tak ada suara yang langsung terdengar, Renjun lebih memilih memejamkan mata dengan suara detak jantung Jeno yang menginvasi pendengaran.
“Mendapatkan nilai memuaskan, masuk ke universitas yang aku inginkan,” Renjun bersuara sembari melepaskan pelukannya, dia beralih memeluk dirinya sendiri dan tersenyum lebar. “Dan yang paling penting, mencoba untuk selalu ada di sampingmu.”
Jeno terkekeh, diam-diam merona dan mengulum senyumnya. Ada hentakan bahagia mengetahui Renjun mengikutsertakannya dalam rencana tahun yang akan di mulai.
“Hanya itu saja?” Lagi-lagi, helai rambut lembut Renjun menjadi objek pekerjaan jari-jari Jeno selagi kedua netranya memerhatikan wajah kekasihnya yang berbicara.
Indah.
Renjun selalu indah sebagaimana waktu yang telah mereka lewati bersama. Kedua matanya, suaranya, perhatiannya, segalanya, sangat indah. Jeno selalu menyukai kegiatannya yang hanya memerhatikan Renjun selagi lelaki itu berbicara. Jeno menyukai bagaimana netra serupa rubah itu berbinar dengan bintang yang bertaburan. Jeno menyukai bagaimana belah bibir merah yang selalu ia kecup itu berbicara hingga mengeluarkan suara yang menenangkan.
Seperti sekarang.
Renjun menggeleng. “Banyak. Banyak rencana dan harapan yang aku harap dapat terwujud di tahun nanti, apalagi untuk kita berdua,” bisiknya, memainkan jemari Jeno yang ada di pangkuan.
“Aku berharap selalu diberi kesehatan, dipermudah semua hal yang aku lakukan. Aku masih ingin belajar banyak hal, belajar menjadi dewasa dengan pemikiran terbuka, belajar memahami dan mengendalikan emosi. Belajar tentang kehidupan dan kita.”
Udara terasa semakin dingin, berbagai suara dapat terdengar dari tempat mereka duduk. Jeno semakin menarik Renjun untuk mendekat saat uap selalu keluar tiap kali Renjun berbicara. Hal yang sia-sia jika ia membawa Renjun pergi sekarang, Jeno tahu tempat yang mereka pijak ini adalah spot yang pas untuk melihat pertunjukan kembang api. Meski risikonya udara dingin yang menusuk kulit, tapi Jeno berharap Renjun dapat bertahan.
“Aku ingin lebih bahagia, ingin leluasa melakukan hal yang aku inginkan tanpa merugikan diriku dan orang lain. Aku ingin selalu diberi kesehatan, entah itu jasmani atau mental. Aku ingin selalu bersamamu. Meski kau menyebalkan dan selalu menggangguku, namun aku sudah sangat terbiasa akan kehadiranmu sedari kecil dulu. Meski kita selalu bertengkar dan berdebat akan banyak hal, namun selalu bersamamu adalah salah satu hal yang aku inginkan untuk terus terjadi. Kau boleh mengataiku menggelikan, kenyataannya tanpa kusadari aku sudah bergantung padamu dan segala perhatianmu. Membayangkan suatu saat nanti aku harus berpisah denganmu bagai mimpi buruk. Aku tak ingin berpisah denganmu, aku tak ingin kau menjauhiku, aku tak ingin melihatmu memberikan segala afeksi dan cinta pada orang lain. Aku tak bisa. Aku tak mau. Aku hanya ingin kau—”
“Hei!” Jeno menyela racauan Renjun yang mulai tak terkendali. Saat ia menarik wajah itu untuk menghadapnya, Jeno langsung disuguhi wajah Renjun yang memerah begitupun kedua matanya, kedua netranya bergetar dengan kilau bening yang terlihat indah. “Mengapa menangis?”
“Jangan mengataiku!”
Eh, memangnya siapa tadi yang mempersilahkan untuk Jeno katai?
Jeno terkekeh melihat Renjun yang memberengut, terlihat lucu. Kedua tangannya menangkup pipi Renjun yang terasa dingin, menepuknya pelan agar menghangat.
“Memangnya siapa yang akan mengataimu, hm?”
Tak ada jawaban. Renjun lebih memilih menikmati usapan tangan Jeno di kedua pipinya. Meski Jeno sering bersikap menyebalkan dengan mengatai, dan mengganggu kesehariannya hingga membuat Renjun ingin menangis saking kesalnya, namun tak bisa dipungkiri bahwa Jeno adalah sosok perhatian yang mengerti dirinya dengan caranya sendiri.
Jeno selalu mempunyai banyak cara untuk membuat Renjun kesal dan jatuh cinta.
“Ayo selalu bahagia!”
Renjun mengerjap saat Jeno mengecup wajahnya di beberapa tempat dan tersenyum lebar hingga kedua mata itu membentuk bulan sabit. Senyuman favoritnya.
“Meski aku tahu jika kehidupan tak selalu diisi dengan kebahagiaan, tapi, ayo lebih bahagia di tahun depan. Ayo, selalu bersama dan saling mengandalkan. Aku tak bisa menjanjikan diriku selalu ada untukmu, namun aku akan berusaha semampuku. Ayo berjuang bersama untuk segala hal yang kita inginkan, segala hal yang kita harapkan untuk terjadi. Ayo tetap berusaha meski akan banyak kegagalan menanti. Renjun, aku tak bisa berjanji menjadi seseorang yang bisa selalu kau andalkan, aku tak bisa selalu menjadi penguatmu dikala jatuh dan risau, akan ada waktu dimana aku menjadi pengecut dan bajingan, akan ada waktu dimana aku membuatmu kecewa dan menangis, akan selalu ada waktu untuk itu. Namun aku akan berusaha untuk selalu ada disisimu, untuk menegurmu, untuk berjuang bersamamu, untuk menyayangimu, untuk memberikanmu segala perhatianku, aku tak bisa menjanjikanmu tentang cinta dan kesetiaan karena waktu bisa merubah segalanya. Namun untuk waktu yang tak bisa ditentukan, kau masih memiliki hatiku, kau masih menjadi penguatku, kau masih menjadi alasanku untuk menjadi pribadi yang lebih baik, kau masih menjadi segalaku,” segala perkataan Jeno terdengar sangat jelas, lelaki itu tersenyum dan mengusap kedua pipi Renjun dengan ibu jarinya, menikmati kehangatan dan semu merah yang menghiasi wajah sang kekasih.
Tak akan menyangka bahwa Jeno mencintai Renjun sebegitu besarnya. Terdengar penuh bualan, namun peduli setan dengan perkataan orang-orang. Ini tentang dunianya dan Renjun. Ini tentang rasa cintanya yang kini hanya dipersembahkan untuk seseorang yang selalu menemaninya sedari kecil dulu.
“Renjun … ayo berjuang bersama dan bahagia.”
Ini hanya tentang Jeno dan Renjun.
Sorakan dari orang-orang di bawah sana mengejutkan mereka. Suara hitungan mundur terdengar sangat jelas. Jeno tersenyum lebar, menarik tangan Renjun untuk berdiri, dia membawa tubuh berbalut padding coat tebal itu untuk mendekat pada pagar dengan dirinya yang berdiri di belakang Renjun.
“Jeno?”
“Sebentar.”
Jeno memeluk pinggang Renjun dari belakang, membawa dagunya untuk bersandar pada bahu sempit kekasihnya. Kini keduanya menatap pada lautan manusia di dekat sungai yang masih menghitung mundur.
“Aku menerima ajakanmu,” Renjun berbisik, semakin menekan tubuhnya pada Jeno, jemarinya menggenggam tangan Jeno yang memeluk pinggangnya. Letup bahagia pada dadanya begitu menyesakkan, Renjun tersenyum lebar meski pipinya mulai terasa pegal. Perkataan Jeno sungguh menyentuh, padahal Renjun tahu jika lelaki itu bukan sosok yang bisa membicarakan hal yang ia rasakan secara gamblang. Jeno adalah sosok yang lebih suka menyimpan semuanya seorang diri.
Dan menemukan Jeno yang berbicara seperti ini sungguh membuat Renjun senang bukan main.
“Jeno … ayo berjuang bersama dan bahagia.”
Jeno tersenyum lebar, menarik lembut dagu Renjun untuk menoleh ke belakang. “I love you.“
“I love you too.“
DUAR!
DUAR!!
Bersamaan dengan langit yang dihiasi ratusan kembang api berbagai warna, kedua bibir itu menyatu lembut.
Jeno tersenyum dalam ciumannya, menarik perlahan tubuh Renjun untuk menghadapnya agar lebih leluasa menginvasi bibir sang kekasih tercinta. Mereka berpelukan dengan bibir yang saling melumat lembut penuh perasaan.
Itu adalah hal yang sederhana. Segala percakapan ini, segala hal yang terjadi malam ini sungguh sederhana. Namun kebersamaan mereka, setiap perkataan, debaran, genggaman, senyuman, setiap buncahan bahagia pada dada yang merayap perlahan … membuat mereka menyadari bahwa mungkin mencintai memang sesederhana ini.
Renjun dan Jeno hanya ingin menikmati setiap afeksi dan kebersamaan yang sedang terjadi, entah itu penuh canda tawa, tangis luka atau caci maki, mereka hanya ingin menikmati semua hal ini.
Hal yang akan terjadi nanti, biarlah terjadi nanti.
Mereka hanya ingin bahagia dan berjuang bersama. Belajar bersama dan saling mengandalkan. Meski yah, mungkin akan selalu ada hal di luar kendali, seperti caci maki yang tak akan pernah berhenti saling mereka lontarkan disetiap hari.
Ciuman mereka terlepas, keduanya tersenyum lebar bersama hari baru yang menyapa.
“Dan berhentilah untuk bersikap menyebalkan, idiot!”
Dan yep, suara Renjun langsung mengacaukan suasana yang sangat jarang tercipta. Wajah Jeno langsung berubah datar, menggigit keras hidung Renjun hingga teriakan bersahutan dengan suara kembang api yang masih menyala.
“YAAAA LEE JENO IDIOT LEPASKAN HIDUNGKUUU!!”
“Biar saja kau tak punya hidung! Kau menyebalkan.”
“YAAA KAU INGIN MATI?!!”
Ah, kata menyebalkan mungkin tak akan pernah mereka lewatkan untuk terucap.
Mari sejenak lupakan pasangan yang sedang saling mengejar dan melempar teriakan di tengah kembang api yang menghiasi langit. Untuk siapapun yang membaca ini, selamat tahun baru, semoga tahun ini lebih baik dari tahun sebelumnya.
Ayo lebih bahagia, ayo berjuang untuk segala hal yang diinginkan. Ayo untuk tetap sehat dan mempertahankan kewarasan di tengah dunia dan segala kegilaan.
Ayo untuk tetap mencintai dan mendo'akan pasangan kita ….
Lee Jeno dan Huang Renjun tercinta,
Semoga bahagia.