Another Life
⚠️Warnings : DRAMA! Angst. Pernah dipublish di akun jaemrennation.
“Mengapa?”
Tak ada jawaban.
Pertanyaannya tak terjawab, atau mungkin sosok mungil di depannya terlalu kalut untuk menjawab.
“Aku tak mengerti,” suaranya terdengar sangat lirih di indra pendengarannya sendiri. Jaemin menatap sosok kekasihnya dengan pandangan memburam dan netra bergetar.
“Mengapa? Apa aku berbuat salah?”
Mungkin ia memiliki banyak kesalahan, terlalu banyak, jika bahkan ia bisa menghitungnya.
“Aku tak mengerti, Renjun.”
Renjun, sosok kekasihnya hanya terdiam dengan lelehan air mata yang perlahan mengalir keluar dari mata indah kesukaannya dan itu semakin membuat Jaemin tak mengerti. Hatinya sakit, dia ingin melakukan apa yang selalu dia lakukan; memeluk dan menenangkan sosok di hadapannya dengan kasih sayang. Namun kini, dirinya bahkan terlalu kalut untuk melakukan.
Ini semua karena satu kalimat yang keluar dari bibir tipis yang ia cinta. Kalimat yang membuat udara disekitarnya seperti dirampas paksa.
“Jaemin,” suara Renjun sama lirihnya, terdengar lelah dan pilu, “ini adalah apa yang terbaik untuk kita.”
Jaemin terkekeh di tengah rasa sesak yang menghimpit dada, dia bahkan terlalu dungu untuk mengerti apa yang terbaik tentang yang Renjun ucapkan. Jaemin tak mengerti, atau itu hanyalah sebuah penyangkalan darinya karena tak siap untuk menghadapi sebuah realita.
“Jelaskan.”
“Aku lelah.”
Jaemin tersenyum miris dengan mata yang terasa panas, melihat bagaimana wajah kekasihnya dihiasi air mata dengan sorot luka. “Pemboho—”
“Aku lelah dipandang rendah, Jaemin.” Renjun menyela dengan suara rendah yang masih mampu untuk dirinya dengar. Netra selayak rubah itu bergerak acak dengan bibir yang empunya gigiti, mungkin untuk menahan tangis yang semakin deras ingin keluar membasahi pipi atau mungkin untuk menahan sakit hati.
Namun ucapan itu, kalimat yang keluar dari belah bibir merah itu membuat dirinya tertegun seketika, membuat dadanya semakin berdetak menyakitkan.
“Aku lelah mendapat caci makian.”
Renjunnya lelah.
“Aku lelah bersembunyi.”
Renjunnya menangis semakin deras, tersendat.
“Aku lelah harus berbohong pada dunia.”
Renjunnya kesakitan, namun bukan hanya dia.
Itu adalah sore hari, di tengah taman sepi dipinggir jalan yang ramai. Taman itu sunyi, hanya ada mereka berdua dengan sebuah tangisan yang tertahan. Jaemin sedang mengerjakan tugas kuliahnya saat Renjun memintanya untuk datang kemari, dengan tiba-tiba, dengan sebuah kalimat yang langsung tertodong padanya, sebuah kalimat yang membuat detak jantungnya terhenti seketika.
Sebuah kalimat perpisahan.
Renjunnya meminta untuk berpisah setelah bertahun-tahun mereka menjalani hubungan. Renjunnya meminta untuk berpisah dengan lelah yang menjadi alasan.
Lelah yang Jaemin tahu telah kekasihnya lama rasakan.
Namun bukan hanya dia, bukan hanya Renjun, karena Jaemin pun merasakannya.
“Aku mencintaimu Jaemin, sangat. Namun itu tak cukup, tak akan pernah cukup, kita tak cukup kuat untuk menantang dunia.”
“Sayang—” Renjunnya menggeleng, meminta dirinya untuk berhenti, untuk hanya mendengarkan dan melihat.
Mendengarkan tangisan dan melihat rapuhnya yang membuat Jaemin semakin terluka dan kesakitan.
Renjunnya menatapnya lembut, disertai luka yang bahkan mampu untuk Jaemin lihat. “Apa yang salah dari kita, Jaemin? Aku selalu bertanya pada diriku; apa yang salah dari kita?”
Tak ada, Jaemin ingin menjawab; tak ada. Tak ada yang salah dari mereka berdua.
“Apa yang salah dari cinta kita?”
Dan Jaemin merasakannya.
Merasakan tetesan air mata yang mengalir dari kedua mata, tak mampu untuk ia tahan lebih lama saat mendengar pertanyaan yang kekasihnya lontarkan.
Jaemin ingin menjawab; tak ada, tak ada yang salah dari cinta mereka.
“Mengapa seluruh dunia menganggap kita sangat berdosa hanya karena sebuah rasa cinta?”
Mengapa?
Wajah Renjunnya memerah, disertai air mata yang deras mengalir membasahi wajahnya yang sering Jaemin ciumi penuh cinta, “Apa karena kita lelaki, Jaemin?”
Jaemin tak tahu.
“Apa karena kita lelaki dan saling mencinta, maka kita adalah sebuah dosa? Tapi kita tak membunuh, Jaemin. Aku tak pernah berbuat jahat, aku tak pernah lupa dengan Tuhan, aku selalu berusaha berbuat baik meski itu berakhir dicampakkan. Apa memiliki sebuah rasa cinta kepada seseorang yang tak seharusnya adalah sebuah kesalahan besar, Jaemin?”
Satu langkah di ambil namun sosok yang menangis tersendat di depannya malah mengambil langkah mundur, berlawanan, menjaga jarak dan Jaemin merasakan dadanya semakin sesak.
Dia hanya ingin merengkuh Renjun ke dalam pelukannya, dia hanya ingin menghapus air mata yang membasahi wajah terkasihnya.
Jaemin ingin menenangkan Renjunnya.
“Tak ada yang salah dari kita, sayang. Tak ada yang salah dengan cinta kita. Manusia hanya menjadi terlalu jahat dengan apa yang menjadi minoritas di antara mereka.” Suaranya keluar setelah beberapa saat, dengan serak dan lirih. Jaemin menatap Renjunnya lembut meski air mata menghalangi penglihatan. “Kita pulang ya? Aku akan mengantarmu ke rumah, kau pasti sedang merasa stres karena tugas kuliah.”
Bukan anggukan disertai senyuman manis, bukan pula jawaban dengan suara lembut yang dia inginkan. Renjunnya menggeleng lemah, menggigiti bibir bawah hingga memerah, menolak ajakannya.
“Jaemin, ayo berpisah.”
Kata-kata itu lagi.
Kata-kata yang membuat detak jantungnya seperti berhenti bekerja, yang membuat tubuhnya lemas luar biasa.
Mereka pernah bertengkar hebat, pernah mendapat masalah dihubungan bertahun-tahun yang sudah terjalin. Saling melempar makian, ejekan, amarah, pernah mereka lakukan. Namun seberapa pun parahnya itu, seberapa pun lelahnya itu, kata perpisahan tak pernah terucap di antara mereka, tidak pernah. Seolah itu menjadi kata-kata haram di antara keduanya untuk diucapkan. Namum kini, mengapa Renjunnya mengucapkan itu? Mengapa Renjunnya mengucapkan kalimat haram itu?
Dia menggeleng kencang hingga helaian rambutnya terbawa gerakan, “Tidak sayang, kumohon. Apa aku melakukan kesalahan? Aku akan meminta maaf, jika perlu aku akan bersujud padamu—”
“TIDAK, JAEMIN! TIDAK!”
Renjunnya berteriak, Renjunnya menangis semakin keras, tersendat, menggeleng frustrasi.
Dan dadanya sakit, dada Jaemin terasa sakit.
“Tidak ada yang salah denganmu. Yang salah hanyalah kehidupan ini, kehidupan kejam dan memuakkan ini.” Badan mungil Renjunnya bergetar, mencoba mengais udara di antara belah bibirnya yang terbuka.
“Kita hanya hidup di kehidupan yang salah, Jaemin.”
Jaemin tak mengerti, “Sayang—”
“Jaemin,” Renjunnya berbisik lirih, memanggil namanya dengan air mata yang tak kunjung berhenti, kekasihnya memanggil namanya hingga di mana itu membuat Jaemin sakit karena mendengar lirihan pilu itu.
“Ayo bertemu di kehidupan lain. Di kehidupan yang bisa menerima diri kita, yang bisa menerima cinta kita.”
Dia tak mengerti, langkah kaki bergerak maju namun Renjun mengambil langkah mundur dengan gelengan kepala, Jaemin tak mengerti, dia hanya ingin memeluk Renjunnya.
“Mungkin Jaemin, ada kehidupan di mana kita bisa bersama dan saling mencinta tanpa mendapat hinaan. Mungkin ada kehidupan lain di mana kita bisa tertawa bersama dan berpelukan tanpa mendapat sindiran.”
Apa kehidupan ini terlalu kejam?
Renjunnya tersenyum, “Mungkin ada kehidupan lain di mana aku bisa leluasa memelukmu, mengucapkan kata cinta padamu tanpa beban pandangan orang lain terhadap kita.”
Mengapa?
Mengapa harus begitu kejam hingga di mana membuat Renjunnya kesakitan?
“Jaemin, mungkin ada kehidupan di mana cinta kita tak salah, di mana kasih sayang kita diterima oleh orang-orang. Mungkin ada kehidupan di mana kita tak dipandang rendah, di mana kita tak perlu menyembunyikan jati diri kita. Mungkin ada kehidupan lain di mana kita tak akan merasakan sakit.”
Apa rasanya semenyakitkan itu sayang?
“Mungkin ada kehidupan lain di mana kita bisa leluasa bergandengan tangan tanpa mendapat tatapan heran, di mana kita bisa menunjukkan pada dunia tentang cinta kita tanpa mendapat ucapan menyakitkan.”
Dia ingin menghentikan racauan itu, dia ingin memeluk Renjunnya yang semakin menangis deras, Tuhan.
“Atau mungkin, ada kehidupan lain di mana aku adalah seorang perempuan,” Renjunnya terkekeh, mengusap kedua pipi dengan kasar, mencoba tersenyum yang malah berakhir terlihat menyakitkan, “dan kau tetap seorang lelaki, di mana itulah yang seharusnya. Di kehidupan itu kita bisa leluasa mencintai, Jaemin, kita tak perlu merasakan takut akan caci maki, karena aku seorang perempuan, bukan lelaki. Kita tak akan merasakan sakit hati karena tatapan jijik, hinaan keji, kita bisa leluasa mencintai, Jaemin. Dan aku harap di kehidupan itu aku menjadi seorang perempuan yang cantik agar bisa berdampingan dengan dirimu yang tampan.”
Siapapun, tolong hentikan omong kosong ini.
“Mungkin, ada kehidupan lain di mana kita tak perlu berbohong pada dunia tentang jati diri kita, di mana kita tak harus bersembunyi mengucapkan cinta.”
Omong kosong menyakitkan ini, siapapun.
“Mungkin ada kehidupan lain—”
“Renjun,” kini giliran dirinya yang memanggil nama itu dengan lirih, nama yang sangat indah diindra pengucapnya, nama yang sering ia lantunkan dalam do'a dan keluh kesahnya, nama yang membuat dadanya berdebar menyenangkan, nama seorang lelaki yang begitu ia cintai dan sangat ingin ia limpahi dengan kasih sayang. “Aku mencintaimu, sayang.”
Dan Renjunnya menangis keras, menutup wajah dengan badan yang bergetar hebat. Tangisan Renjun menyakiti hatinya, mengapa Renjunnya menangis begitu pilu? Dadanya kesakitan, sangat kesakitan.
“Aku mencintaimu Renjunku, sangat.”
Dia mencintai Renjun begitu banyak hingga itu membuatnya kewalahan.
“Aku mencintaimu sayang, kumohon. Tak peduli apapun pendapat dan pandangan orang, aku tetap mencintaimu. Jika kau ingin kita leluasa menunjukkan afeksi cinta kita, ayo lakukan! Aku akan menghajar semua orang yang menyakitimu, aku akan berbalik mencaci orang yang mencacimu, aku akan—”
Tangisannya membuat dada Jaemin sesak, hingga di mana ia bahkan tak bisa melanjutkan ucapannya. Dia menangis, bersahutan dengan tangisan Renjun di sore hari yang terasa dingin, terlalu dingin.
“Kita hanya hidup di kehidupan yang salah.”
“Hentikan sayang—”
Namun Renjunnya tak berhenti.
Renjunnya hanya tersenyum meski air mata terus mengalir. “Ayo bertemu di kehidupan itu, Jaemin. Ayo bertemu di kehidupan yang bisa menerima cinta kita. Ayo saling jatuh cinta di kehidupan itu, kita bisa memperbaiki diri kita menjadi lebih baik, kita bisa—”
Dan Jaemin melakukannya.
Mengambil langkah cepat untuk meraih tubuh bergetar itu kedalam pelukannya, untuk ia dekap erat; untuk ia harap bisa memberi ketenangan, karena Renjunnya pernah mengatakan jika pelukannya memberi ketenangan dikala gundah dan gelisah datang.
Dan ia berharap pelukannya kini bisa meluruhkan segala gelisah yang datang menghampiri Renjunnya.
“Berhenti sayang, ayo kita pulang.” Jaemin bergumam lirih di antara tubuh kekasihnya yang bergetar karena tangis. Dia menekan bibirnya pada dahi Renjunnya yang menangis kencang, memeluknya erat.
Namun mengapa pelukan ini terasa sangat menyakitkan?
Pelukan dan getaran pada tubuh kekasihnya membuat air matanya kembali luruh dengan rasa sesak yang semakin menghimpit dada.
Tangisan mereka bersahutan setelah beberapa saat yang terasa sangat lama. Renjun yang pertama bergerak melepaskan pelukan itu dengan lembut, Jaemin ingin menahannya, ingin menahan tubuh Renjunnya agar tetap berada dalam pelukan, tetap berada dalam jangkauan. Dia mengerjap linglung saat tangannya ditarik dengan lembut bersamaan Renjunnya yang mengambil langkah mundur disertai sebuah senyuman kecil yang tersemat pada bibir.
Ada sebuah kertas berwarna pastel di sana, di tangannya yang sempat Renjun tarik. Itu sebuah undangan dengan pita merah yang terlihat cantik.
Netra basahnya menatap pada undangan dan pada Renjunnya secara bergantian. Ada sebuah ketakutan dan ketidakpercayaan yang menghampiri, dia melirik Renjunnya dengan tatapan heran. Dengan tangan yang bergetar, Jaemin membuka undangan itu hanya untuk menemukan hatinya semakin kesakitan, hanya untuk menemukan dunianya runtuh perlahan, dia menatap tak percaya pada deretan nama yang tertera di sana.
Ini tak benar, ini lelucon.
“Sayangku, a-apa ini?” Kekehannya terdengar mengerikan, dia menggeleng kencang menatap Renjunnya yang hanya menangis menunduk. “Ini bukan April Mop, Renjun. Berhenti melakukan hal yang tak terduga.”
Tolong berhenti membuatnya kacau secara tiba-tiba.
“A-aku akan bertunangan Jaemin, bersama perempuan yang telah Ayahku pilih.”
Renjunnya terisak pilu, wajah cantiknya memerah dan basah hingga membuat hatinya sakit, namun perkataan itu, perkataan yang tak pernah terlintas akan terucap dari bibir merah muda itu membuat hatinya lebih dari kesakitan.
“Pertunangan itu akan dilaksanakan seminggu lagi.”
Hatinya hancur, Jaemin terkekeh bersamaan wajahnya yang semakin terasa basah, dia menggeleng kencang, meremat kasar kertas itu hingga lusuh tak berbentuk.
“Mengapa? Mengapa kau melakukan ini? Apa salahku, Renjun? Apa kesalahan yang telah ku perbuat hingga aku harus mendapatkan hal ini?”
“Maafkan aku,” Renjunnya menangis semakin kencang. “Maafkan aku, Jaemin,” bersamaan dengan gelengan kepala dan langkah menjauh, tertatih.
“Aku mencintaimu namun dunia tak mengizinkanku untuk itu. Maka ayo, kita bertemu di dunia lain, dunia di mana kita bisa bersama selamanya. Aku mencintaimu, Jaemin. Aku mencintaimu dengan seluruh hatiku. Aku mencintaimu—”
Perkataan itu tak selesai karena Renjunnya berbalik pergi, berlari meninggalkannya sendiri bersama air mata dan rasa sakit yang tak terkira.
Dengan pandangan memburam, kedua netra basahnya mengikuti langkah Renjun yang terburu meninggalkan taman, sesekali menghapus air matanya disaat badannya bergetar. Jaemin mengikuti langkah Renjun yang menjauh dengan hatinya yang hancur tak terkira.
Renjunnya menjauh meninggalkannya bersama rasa sakit.
Namun dari semua itu ada hal yang membuat nyawanya seperti direnggut paksa dari tubuh, ada hal yang membuatnya berteriak kencang dan berlari sekuat tenaga tanpa sadar, ada hal yang membuatnya seperti mati, seperti dibunuh dengan keji.
Tubuh mungil yang selalu dia dekap dengan hangat itu terpental, terseret dan menabrak aspal dengan keras saat sebuah mobil mewah berkekuatan cepat menghantam tubuh Renjunnya.
Renjunnya.
Kekasihnya.
Dunianya.
Tubuh Renjunnya berdarah begitu banyak. Merah ada di mana-mana, Jaemin berlari secepat yang ia bisa, menerobos kerumunan serta jeritan dan bisikan panik orang-orang. Dia terjatuh saat kakinya tak mampu untuk menopang tubuh saat melihat kesayangannya terbaring kaku diselimuti darah, banyak darah, terlalu banyak.
“He-hei sayang.” Jaemin tersedak karena tangisannya, dia membawa tubuh itu pada dekapannya dengan hati-hati, sebelah tangannya menangkup pipi berhias darah itu lembut; mencoba membuat tatapan Renjun terarah padanya.
“Kau mendengarku sayang? Kau mendengarku?”
Kelopak mata Renjun terbuka dan tertutup dengan berat, napasnya sangat lemah. Jaemin menatap orang-orang yang berkerumun itu dengan nyalang. “CEPAT PANGGIL AMBULANS, SIALAN! DUNIAKU SEDANG SEKARAT! TOLONG PANGGIL AMBULANS, TOLONG.” Tangisannya mengeras, dia menangkup wajah Renjunnya yang sedang tersenyum lemah.
“Jaemin.”
“Ya sayangku? Tolong tunggu sebentar lagi, oke? A-aku akan menyelamatkanmu. Tunggu sebentar sayangku, tolong.”
Renjunnya tersenyum lembut bersamaan air nata yang membasahi wajah; menghapus sekilas noda darah. Tangan mungil itu terangkat, mencoba meraih pipinya yang langsung Jaemin genggam dan cium dengan badan yang bergemetar hebat.
“Aku mencintaimu.”
Jaemin menangis tertahan, dia membawa telapak tangan Renjunnya pada sebelah pipinya. “Aku juga mencintaimu sayang, dengan banyak.”
Renjunnya tersenyum tipis, napasnya semakin melemah. “Aku sangat mencintaimi Jaemin, aku mencintai ... mu.”
Dan dunia Jaemin benar-benar runtuh, tak bersisa.
Tangisannya mengencang bersamaan dengan detak jantung Renjunnya yang tak terdengar, bersamaan dengan kelopak mata yang tertutup damai, bersamaan dengan hatinya yang kesakitan, bersamaan dengan dunianya yang direnggut darinya dengan kejam dan menyakitkan.
Sangat menyakitkan.
“Hei, hei! Kau sedang bercanda bukan? Ayo buka matamu sayang, ti-tidakkah ini terlalu berlebihan? Berhenti membuat lelucon, Renjun. Ayo pulang sayang, a-aku ingin memakan masakanmu, aku ingin—kumohon … buka matamu.”
Namun kelopak mata itu tak kunjung terbuka membuat Jaemin memeluk Renjunnya erat dan mengeraskan tangisannya hingga tersedak.
Hatinya kesakitan, seluruhnya.
Dia menatap marah dan nyalang orang-orang. Manusia-manusia yang telah menyakiti Renjunnya. “Mengapa kalian mengambil Renjunku, mengapa kalian merebutnya dariku?! Tak cukupkah semua hinaan dan caci maki itu? Mengapa kalian juga harus mengambil kehidupanku? Mengapa? Apa dosa besar yang telah aku lakukan hingga aku pantas mendapatkan semua ini? Mengapa? Tolong, rasanya sakit. Sangat sakit “
Sangat sakit hingga membuatnya tak bisa merasakan apa-apa.
“Tolong bangunkan aku.” Jaemin berbisik lirih, membawa wajah indah Renjunnya pada dada dan mendekapnya erat, sangat erat. “Bangunkan aku, tolong siapapun bangunkan aku.”
Jaemin mencoba meyakini bahwa ini adalah mimpi, bahwa nanti dia akan terbangun dan akan mendapatkan Renjunnya berada dalam pelukannya; meringkuk serta memeluknya erat seperti apa yang sering kekasihnya lakukan. Jaemin mencoba meyakini bahwa semua ini hanyalah mimpi terburuknya hingga ia akan terbangun dengan napas terengah dan akan ada Renjunnya yang menenangkannya, memeluknya erat disertai bisikan penuh cinta yang mendebarkan dan terasa hangat. Dia mencoba meyakini, mencoba percaya bahwa semua ini hanyalah mimpi.
Namun mengapa semua ini terasa terlalu nyata hanya untuk sebuah mimpi?
“Hei sayang,” Jaemin menangkup pipi Renjunnya, bibirnya mengecup ujung hidung mungil itu tak mempedulikan darah yang berhias, “Ayo bertemu!”
“Ayo bertemu di kehidupan yang kau inginkan. Ayo bertemu di mana kita bisa saling mencintai dan menunjukkan pada dunia tentang betapa kuatnya dan besarnya cinta kita. Sayangku, kau dengar itu? Ayo bertemu di kehidupan itu, kau pasti sedang menungguku, iya kan? Maka tunggu aku sayang, tunggu aku. Aku akan menjemputmu, kita akan bersama. Kita akan bahagia.”
Ini menyakitkan menyadari bahwa dunianya telah pergi, menyakitkan saat menyadari kekasih hatinya pergi meninggalkannya sendiri bersama perasaan dan rasa cintanya yang tak pernah sekalipun mengurang, ini sangat menyakitkan, hatinya kesakitan.
Tangisannya mereda, Jaemin membawa tubuh mungil yang berhias darah itu untuk ia dekap erat. Pipinya menekan pelipis kekasihnya, menggerakkan tubuh kaku itu perlahan bersamaan senyuman kecil yang terbit pada belah bibir, bersamaan matanya yang terpejam dan bersamaan jantungnya yang berdetak kencang.
“Ya sayangku, tunggu aku. Aku akan menemuimu, kita akan bertemu di kehidupan yang kau inginkan. Tunggu aku sayang, tunggu aku.”
Mereka akan bertemu dan mendapatkan kehidupan yang mereka inginkan, iya kan?
In another life, I would be your girl We'd keep all our promises, be us against the world In another life, I would make you stay So I don't have to say you were the one that got away The one that got away
Terinspirasi dari lagu Katty Perry – The One That Got Away versi cover Brielle Von Hugel – The One That Got Away.