REONBY

⚠️Warnings : DRAMA! Angst. Pernah dipublish di akun jaemrennation.


“Mengapa?”

Tak ada jawaban.

Pertanyaannya tak terjawab, atau mungkin sosok mungil di depannya terlalu kalut untuk menjawab.

“Aku tak mengerti,” suaranya terdengar sangat lirih di indra pendengarannya sendiri. Jaemin menatap sosok kekasihnya dengan pandangan memburam dan netra bergetar.

“Mengapa? Apa aku berbuat salah?”

Mungkin ia memiliki banyak kesalahan, terlalu banyak, jika bahkan ia bisa menghitungnya.

“Aku tak mengerti, Renjun.”

Renjun, sosok kekasihnya hanya terdiam dengan lelehan air mata yang perlahan mengalir keluar dari mata indah kesukaannya dan itu semakin membuat Jaemin tak mengerti. Hatinya sakit, dia ingin melakukan apa yang selalu dia lakukan; memeluk dan menenangkan sosok di hadapannya dengan kasih sayang. Namun kini, dirinya bahkan terlalu kalut untuk melakukan.

Ini semua karena satu kalimat yang keluar dari bibir tipis yang ia cinta. Kalimat yang membuat udara disekitarnya seperti dirampas paksa.

“Jaemin,” suara Renjun sama lirihnya, terdengar lelah dan pilu, “ini adalah apa yang terbaik untuk kita.”

Jaemin terkekeh di tengah rasa sesak yang menghimpit dada, dia bahkan terlalu dungu untuk mengerti apa yang terbaik tentang yang Renjun ucapkan. Jaemin tak mengerti, atau itu hanyalah sebuah penyangkalan darinya karena tak siap untuk menghadapi sebuah realita.

“Jelaskan.”

“Aku lelah.”

Jaemin tersenyum miris dengan mata yang terasa panas, melihat bagaimana wajah kekasihnya dihiasi air mata dengan sorot luka. “Pemboho—”

“Aku lelah dipandang rendah, Jaemin.” Renjun menyela dengan suara rendah yang masih mampu untuk dirinya dengar. Netra selayak rubah itu bergerak acak dengan bibir yang empunya gigiti, mungkin untuk menahan tangis yang semakin deras ingin keluar membasahi pipi atau mungkin untuk menahan sakit hati.

Namun ucapan itu, kalimat yang keluar dari belah bibir merah itu membuat dirinya tertegun seketika, membuat dadanya semakin berdetak menyakitkan.

“Aku lelah mendapat caci makian.”

Renjunnya lelah.

“Aku lelah bersembunyi.”

Renjunnya menangis semakin deras, tersendat.

“Aku lelah harus berbohong pada dunia.”

Renjunnya kesakitan, namun bukan hanya dia.

Itu adalah sore hari, di tengah taman sepi dipinggir jalan yang ramai. Taman itu sunyi, hanya ada mereka berdua dengan sebuah tangisan yang tertahan. Jaemin sedang mengerjakan tugas kuliahnya saat Renjun memintanya untuk datang kemari, dengan tiba-tiba, dengan sebuah kalimat yang langsung tertodong padanya, sebuah kalimat yang membuat detak jantungnya terhenti seketika.

Sebuah kalimat perpisahan.

Renjunnya meminta untuk berpisah setelah bertahun-tahun mereka menjalani hubungan. Renjunnya meminta untuk berpisah dengan lelah yang menjadi alasan.

Lelah yang Jaemin tahu telah kekasihnya lama rasakan.

Namun bukan hanya dia, bukan hanya Renjun, karena Jaemin pun merasakannya.

“Aku mencintaimu Jaemin, sangat. Namun itu tak cukup, tak akan pernah cukup, kita tak cukup kuat untuk menantang dunia.”

“Sayang—” Renjunnya menggeleng, meminta dirinya untuk berhenti, untuk hanya mendengarkan dan melihat.

Mendengarkan tangisan dan melihat rapuhnya yang membuat Jaemin semakin terluka dan kesakitan.

Renjunnya menatapnya lembut, disertai luka yang bahkan mampu untuk Jaemin lihat. “Apa yang salah dari kita, Jaemin? Aku selalu bertanya pada diriku; apa yang salah dari kita?”

Tak ada, Jaemin ingin menjawab; tak ada. Tak ada yang salah dari mereka berdua.

“Apa yang salah dari cinta kita?”

Dan Jaemin merasakannya.

Merasakan tetesan air mata yang mengalir dari kedua mata, tak mampu untuk ia tahan lebih lama saat mendengar pertanyaan yang kekasihnya lontarkan.

Jaemin ingin menjawab; tak ada, tak ada yang salah dari cinta mereka.

“Mengapa seluruh dunia menganggap kita sangat berdosa hanya karena sebuah rasa cinta?”

Mengapa?

Wajah Renjunnya memerah, disertai air mata yang deras mengalir membasahi wajahnya yang sering Jaemin ciumi penuh cinta, “Apa karena kita lelaki, Jaemin?”

Jaemin tak tahu.

“Apa karena kita lelaki dan saling mencinta, maka kita adalah sebuah dosa? Tapi kita tak membunuh, Jaemin. Aku tak pernah berbuat jahat, aku tak pernah lupa dengan Tuhan, aku selalu berusaha berbuat baik meski itu berakhir dicampakkan. Apa memiliki sebuah rasa cinta kepada seseorang yang tak seharusnya adalah sebuah kesalahan besar, Jaemin?”

Satu langkah di ambil namun sosok yang menangis tersendat di depannya malah mengambil langkah mundur, berlawanan, menjaga jarak dan Jaemin merasakan dadanya semakin sesak.

Dia hanya ingin merengkuh Renjun ke dalam pelukannya, dia hanya ingin menghapus air mata yang membasahi wajah terkasihnya.

Jaemin ingin menenangkan Renjunnya.

“Tak ada yang salah dari kita, sayang. Tak ada yang salah dengan cinta kita. Manusia hanya menjadi terlalu jahat dengan apa yang menjadi minoritas di antara mereka.” Suaranya keluar setelah beberapa saat, dengan serak dan lirih. Jaemin menatap Renjunnya lembut meski air mata menghalangi penglihatan. “Kita pulang ya? Aku akan mengantarmu ke rumah, kau pasti sedang merasa stres karena tugas kuliah.”

Bukan anggukan disertai senyuman manis, bukan pula jawaban dengan suara lembut yang dia inginkan. Renjunnya menggeleng lemah, menggigiti bibir bawah hingga memerah, menolak ajakannya.

“Jaemin, ayo berpisah.”

Kata-kata itu lagi.

Kata-kata yang membuat detak jantungnya seperti berhenti bekerja, yang membuat tubuhnya lemas luar biasa.

Mereka pernah bertengkar hebat, pernah mendapat masalah dihubungan bertahun-tahun yang sudah terjalin. Saling melempar makian, ejekan, amarah, pernah mereka lakukan. Namun seberapa pun parahnya itu, seberapa pun lelahnya itu, kata perpisahan tak pernah terucap di antara mereka, tidak pernah. Seolah itu menjadi kata-kata haram di antara keduanya untuk diucapkan. Namum kini, mengapa Renjunnya mengucapkan itu? Mengapa Renjunnya mengucapkan kalimat haram itu?

Dia menggeleng kencang hingga helaian rambutnya terbawa gerakan, “Tidak sayang, kumohon. Apa aku melakukan kesalahan? Aku akan meminta maaf, jika perlu aku akan bersujud padamu—”

“TIDAK, JAEMIN! TIDAK!”

Renjunnya berteriak, Renjunnya menangis semakin keras, tersendat, menggeleng frustrasi.

Dan dadanya sakit, dada Jaemin terasa sakit.

“Tidak ada yang salah denganmu. Yang salah hanyalah kehidupan ini, kehidupan kejam dan memuakkan ini.” Badan mungil Renjunnya bergetar, mencoba mengais udara di antara belah bibirnya yang terbuka.

“Kita hanya hidup di kehidupan yang salah, Jaemin.”

Jaemin tak mengerti, “Sayang—”

“Jaemin,” Renjunnya berbisik lirih, memanggil namanya dengan air mata yang tak kunjung berhenti, kekasihnya memanggil namanya hingga di mana itu membuat Jaemin sakit karena mendengar lirihan pilu itu.

“Ayo bertemu di kehidupan lain. Di kehidupan yang bisa menerima diri kita, yang bisa menerima cinta kita.”

Dia tak mengerti, langkah kaki bergerak maju namun Renjun mengambil langkah mundur dengan gelengan kepala, Jaemin tak mengerti, dia hanya ingin memeluk Renjunnya.

“Mungkin Jaemin, ada kehidupan di mana kita bisa bersama dan saling mencinta tanpa mendapat hinaan. Mungkin ada kehidupan lain di mana kita bisa tertawa bersama dan berpelukan tanpa mendapat sindiran.”

Apa kehidupan ini terlalu kejam?

Renjunnya tersenyum, “Mungkin ada kehidupan lain di mana aku bisa leluasa memelukmu, mengucapkan kata cinta padamu tanpa beban pandangan orang lain terhadap kita.”

Mengapa?

Mengapa harus begitu kejam hingga di mana membuat Renjunnya kesakitan?

“Jaemin, mungkin ada kehidupan di mana cinta kita tak salah, di mana kasih sayang kita diterima oleh orang-orang. Mungkin ada kehidupan di mana kita tak dipandang rendah, di mana kita tak perlu menyembunyikan jati diri kita. Mungkin ada kehidupan lain di mana kita tak akan merasakan sakit.”

Apa rasanya semenyakitkan itu sayang?

“Mungkin ada kehidupan lain di mana kita bisa leluasa bergandengan tangan tanpa mendapat tatapan heran, di mana kita bisa menunjukkan pada dunia tentang cinta kita tanpa mendapat ucapan menyakitkan.”

Dia ingin menghentikan racauan itu, dia ingin memeluk Renjunnya yang semakin menangis deras, Tuhan.

“Atau mungkin, ada kehidupan lain di mana aku adalah seorang perempuan,” Renjunnya terkekeh, mengusap kedua pipi dengan kasar, mencoba tersenyum yang malah berakhir terlihat menyakitkan, “dan kau tetap seorang lelaki, di mana itulah yang seharusnya. Di kehidupan itu kita bisa leluasa mencintai, Jaemin, kita tak perlu merasakan takut akan caci maki, karena aku seorang perempuan, bukan lelaki. Kita tak akan merasakan sakit hati karena tatapan jijik, hinaan keji, kita bisa leluasa mencintai, Jaemin. Dan aku harap di kehidupan itu aku menjadi seorang perempuan yang cantik agar bisa berdampingan dengan dirimu yang tampan.”

Siapapun, tolong hentikan omong kosong ini.

“Mungkin, ada kehidupan lain di mana kita tak perlu berbohong pada dunia tentang jati diri kita, di mana kita tak harus bersembunyi mengucapkan cinta.”

Omong kosong menyakitkan ini, siapapun.

“Mungkin ada kehidupan lain—”

“Renjun,” kini giliran dirinya yang memanggil nama itu dengan lirih, nama yang sangat indah diindra pengucapnya, nama yang sering ia lantunkan dalam do'a dan keluh kesahnya, nama yang membuat dadanya berdebar menyenangkan, nama seorang lelaki yang begitu ia cintai dan sangat ingin ia limpahi dengan kasih sayang. “Aku mencintaimu, sayang.”

Dan Renjunnya menangis keras, menutup wajah dengan badan yang bergetar hebat. Tangisan Renjun menyakiti hatinya, mengapa Renjunnya menangis begitu pilu? Dadanya kesakitan, sangat kesakitan.

“Aku mencintaimu Renjunku, sangat.”

Dia mencintai Renjun begitu banyak hingga itu membuatnya kewalahan.

“Aku mencintaimu sayang, kumohon. Tak peduli apapun pendapat dan pandangan orang, aku tetap mencintaimu. Jika kau ingin kita leluasa menunjukkan afeksi cinta kita, ayo lakukan! Aku akan menghajar semua orang yang menyakitimu, aku akan berbalik mencaci orang yang mencacimu, aku akan—”

Tangisannya membuat dada Jaemin sesak, hingga di mana ia bahkan tak bisa melanjutkan ucapannya. Dia menangis, bersahutan dengan tangisan Renjun di sore hari yang terasa dingin, terlalu dingin.

“Kita hanya hidup di kehidupan yang salah.”

“Hentikan sayang—”

Namun Renjunnya tak berhenti.

Renjunnya hanya tersenyum meski air mata terus mengalir. “Ayo bertemu di kehidupan itu, Jaemin. Ayo bertemu di kehidupan yang bisa menerima cinta kita. Ayo saling jatuh cinta di kehidupan itu, kita bisa memperbaiki diri kita menjadi lebih baik, kita bisa—”

Dan Jaemin melakukannya.

Mengambil langkah cepat untuk meraih tubuh bergetar itu kedalam pelukannya, untuk ia dekap erat; untuk ia harap bisa memberi ketenangan, karena Renjunnya pernah mengatakan jika pelukannya memberi ketenangan dikala gundah dan gelisah datang.

Dan ia berharap pelukannya kini bisa meluruhkan segala gelisah yang datang menghampiri Renjunnya.

“Berhenti sayang, ayo kita pulang.” Jaemin bergumam lirih di antara tubuh kekasihnya yang bergetar karena tangis. Dia menekan bibirnya pada dahi Renjunnya yang menangis kencang, memeluknya erat.

Namun mengapa pelukan ini terasa sangat menyakitkan?

Pelukan dan getaran pada tubuh kekasihnya membuat air matanya kembali luruh dengan rasa sesak yang semakin menghimpit dada.

Tangisan mereka bersahutan setelah beberapa saat yang terasa sangat lama. Renjun yang pertama bergerak melepaskan pelukan itu dengan lembut, Jaemin ingin menahannya, ingin menahan tubuh Renjunnya agar tetap berada dalam pelukan, tetap berada dalam jangkauan. Dia mengerjap linglung saat tangannya ditarik dengan lembut bersamaan Renjunnya yang mengambil langkah mundur disertai sebuah senyuman kecil yang tersemat pada bibir.

Ada sebuah kertas berwarna pastel di sana, di tangannya yang sempat Renjun tarik. Itu sebuah undangan dengan pita merah yang terlihat cantik.

Netra basahnya menatap pada undangan dan pada Renjunnya secara bergantian. Ada sebuah ketakutan dan ketidakpercayaan yang menghampiri, dia melirik Renjunnya dengan tatapan heran. Dengan tangan yang bergetar, Jaemin membuka undangan itu hanya untuk menemukan hatinya semakin kesakitan, hanya untuk menemukan dunianya runtuh perlahan, dia menatap tak percaya pada deretan nama yang tertera di sana.

Ini tak benar, ini lelucon.

“Sayangku, a-apa ini?” Kekehannya terdengar mengerikan, dia menggeleng kencang menatap Renjunnya yang hanya menangis menunduk. “Ini bukan April Mop, Renjun. Berhenti melakukan hal yang tak terduga.”

Tolong berhenti membuatnya kacau secara tiba-tiba.

“A-aku akan bertunangan Jaemin, bersama perempuan yang telah Ayahku pilih.”

Renjunnya terisak pilu, wajah cantiknya memerah dan basah hingga membuat hatinya sakit, namun perkataan itu, perkataan yang tak pernah terlintas akan terucap dari bibir merah muda itu membuat hatinya lebih dari kesakitan.

“Pertunangan itu akan dilaksanakan seminggu lagi.”

Hatinya hancur, Jaemin terkekeh bersamaan wajahnya yang semakin terasa basah, dia menggeleng kencang, meremat kasar kertas itu hingga lusuh tak berbentuk.

“Mengapa? Mengapa kau melakukan ini? Apa salahku, Renjun? Apa kesalahan yang telah ku perbuat hingga aku harus mendapatkan hal ini?”

“Maafkan aku,” Renjunnya menangis semakin kencang. “Maafkan aku, Jaemin,” bersamaan dengan gelengan kepala dan langkah menjauh, tertatih.

“Aku mencintaimu namun dunia tak mengizinkanku untuk itu. Maka ayo, kita bertemu di dunia lain, dunia di mana kita bisa bersama selamanya. Aku mencintaimu, Jaemin. Aku mencintaimu dengan seluruh hatiku. Aku mencintaimu—”

Perkataan itu tak selesai karena Renjunnya berbalik pergi, berlari meninggalkannya sendiri bersama air mata dan rasa sakit yang tak terkira.

Dengan pandangan memburam, kedua netra basahnya mengikuti langkah Renjun yang terburu meninggalkan taman, sesekali menghapus air matanya disaat badannya bergetar. Jaemin mengikuti langkah Renjun yang menjauh dengan hatinya yang hancur tak terkira.

Renjunnya menjauh meninggalkannya bersama rasa sakit.

Namun dari semua itu ada hal yang membuat nyawanya seperti direnggut paksa dari tubuh, ada hal yang membuatnya berteriak kencang dan berlari sekuat tenaga tanpa sadar, ada hal yang membuatnya seperti mati, seperti dibunuh dengan keji.

Tubuh mungil yang selalu dia dekap dengan hangat itu terpental, terseret dan menabrak aspal dengan keras saat sebuah mobil mewah berkekuatan cepat menghantam tubuh Renjunnya.

Renjunnya.

Kekasihnya.

Dunianya.

Tubuh Renjunnya berdarah begitu banyak. Merah ada di mana-mana, Jaemin berlari secepat yang ia bisa, menerobos kerumunan serta jeritan dan bisikan panik orang-orang. Dia terjatuh saat kakinya tak mampu untuk menopang tubuh saat melihat kesayangannya terbaring kaku diselimuti darah, banyak darah, terlalu banyak.

“He-hei sayang.” Jaemin tersedak karena tangisannya, dia membawa tubuh itu pada dekapannya dengan hati-hati, sebelah tangannya menangkup pipi berhias darah itu lembut; mencoba membuat tatapan Renjun terarah padanya.

“Kau mendengarku sayang? Kau mendengarku?”

Kelopak mata Renjun terbuka dan tertutup dengan berat, napasnya sangat lemah. Jaemin menatap orang-orang yang berkerumun itu dengan nyalang. “CEPAT PANGGIL AMBULANS, SIALAN! DUNIAKU SEDANG SEKARAT! TOLONG PANGGIL AMBULANS, TOLONG.” Tangisannya mengeras, dia menangkup wajah Renjunnya yang sedang tersenyum lemah.

“Jaemin.”

“Ya sayangku? Tolong tunggu sebentar lagi, oke? A-aku akan menyelamatkanmu. Tunggu sebentar sayangku, tolong.”

Renjunnya tersenyum lembut bersamaan air nata yang membasahi wajah; menghapus sekilas noda darah. Tangan mungil itu terangkat, mencoba meraih pipinya yang langsung Jaemin genggam dan cium dengan badan yang bergemetar hebat.

“Aku mencintaimu.”

Jaemin menangis tertahan, dia membawa telapak tangan Renjunnya pada sebelah pipinya. “Aku juga mencintaimu sayang, dengan banyak.”

Renjunnya tersenyum tipis, napasnya semakin melemah. “Aku sangat mencintaimi Jaemin, aku mencintai ... mu.”

Dan dunia Jaemin benar-benar runtuh, tak bersisa.

Tangisannya mengencang bersamaan dengan detak jantung Renjunnya yang tak terdengar, bersamaan dengan kelopak mata yang tertutup damai, bersamaan dengan hatinya yang kesakitan, bersamaan dengan dunianya yang direnggut darinya dengan kejam dan menyakitkan.

Sangat menyakitkan.

“Hei, hei! Kau sedang bercanda bukan? Ayo buka matamu sayang, ti-tidakkah ini terlalu berlebihan? Berhenti membuat lelucon, Renjun. Ayo pulang sayang, a-aku ingin memakan masakanmu, aku ingin—kumohon … buka matamu.”

Namun kelopak mata itu tak kunjung terbuka membuat Jaemin memeluk Renjunnya erat dan mengeraskan tangisannya hingga tersedak.

Hatinya kesakitan, seluruhnya.

Dia menatap marah dan nyalang orang-orang. Manusia-manusia yang telah menyakiti Renjunnya. “Mengapa kalian mengambil Renjunku, mengapa kalian merebutnya dariku?! Tak cukupkah semua hinaan dan caci maki itu? Mengapa kalian juga harus mengambil kehidupanku? Mengapa? Apa dosa besar yang telah aku lakukan hingga aku pantas mendapatkan semua ini? Mengapa? Tolong, rasanya sakit. Sangat sakit “

Sangat sakit hingga membuatnya tak bisa merasakan apa-apa.

“Tolong bangunkan aku.” Jaemin berbisik lirih, membawa wajah indah Renjunnya pada dada dan mendekapnya erat, sangat erat. “Bangunkan aku, tolong siapapun bangunkan aku.”

Jaemin mencoba meyakini bahwa ini adalah mimpi, bahwa nanti dia akan terbangun dan akan mendapatkan Renjunnya berada dalam pelukannya; meringkuk serta memeluknya erat seperti apa yang sering kekasihnya lakukan. Jaemin mencoba meyakini bahwa semua ini hanyalah mimpi terburuknya hingga ia akan terbangun dengan napas terengah dan akan ada Renjunnya yang menenangkannya, memeluknya erat disertai bisikan penuh cinta yang mendebarkan dan terasa hangat. Dia mencoba meyakini, mencoba percaya bahwa semua ini hanyalah mimpi.

Namun mengapa semua ini terasa terlalu nyata hanya untuk sebuah mimpi?

“Hei sayang,” Jaemin menangkup pipi Renjunnya, bibirnya mengecup ujung hidung mungil itu tak mempedulikan darah yang berhias, “Ayo bertemu!”

“Ayo bertemu di kehidupan yang kau inginkan. Ayo bertemu di mana kita bisa saling mencintai dan menunjukkan pada dunia tentang betapa kuatnya dan besarnya cinta kita. Sayangku, kau dengar itu? Ayo bertemu di kehidupan itu, kau pasti sedang menungguku, iya kan? Maka tunggu aku sayang, tunggu aku. Aku akan menjemputmu, kita akan bersama. Kita akan bahagia.”

Ini menyakitkan menyadari bahwa dunianya telah pergi, menyakitkan saat menyadari kekasih hatinya pergi meninggalkannya sendiri bersama perasaan dan rasa cintanya yang tak pernah sekalipun mengurang, ini sangat menyakitkan, hatinya kesakitan.

Tangisannya mereda, Jaemin membawa tubuh mungil yang berhias darah itu untuk ia dekap erat. Pipinya menekan pelipis kekasihnya, menggerakkan tubuh kaku itu perlahan bersamaan senyuman kecil yang terbit pada belah bibir, bersamaan matanya yang terpejam dan bersamaan jantungnya yang berdetak kencang.

“Ya sayangku, tunggu aku. Aku akan menemuimu, kita akan bertemu di kehidupan yang kau inginkan. Tunggu aku sayang, tunggu aku.”

Mereka akan bertemu dan mendapatkan kehidupan yang mereka inginkan, iya kan?

In another life, I would be your girl We'd keep all our promises, be us against the world In another life, I would make you stay So I don't have to say you were the one that got away The one that got away


Terinspirasi dari lagu Katty Perry – The One That Got Away versi cover Brielle Von Hugel – The One That Got Away.

“Lo kayaknya mau bikin gue gendut.”

Renjun cemberut, tatap sedih piring-piring kosong yang ada di atas meja. Meski makanannya gak dia makan semua (karena makannya bareng sama Jeno) tapi tetep aja dia abis makan banyak.

“Kenapa emang sih? Diet lo? Kayak cewek aja,” Jeno mendecih, lirik Renjun yang kayak udah mau nangis histeris. Padahal itu cowok suka-suka aja dijejelin makanan enak meski di awal nolak keras.

Iya, Renjun di awal nolak buat makan tapi pas Jeno jejelin langsung makanan ke mulutnya, itu bocah langsung diem dan makan meski cemberut.

“Gue gak terbiasa makan banyak, biasanya kalo makan banyak beberapa jam kemudian suka muntah.”

Jeno ngernyit. “Kok gitu?”

Renjun angkat bahu, mundurin badannya dan lurusin kakinya, pengennya goleran tapi baru aja makan, gak baik. Dia gak ada niatan jawab pertanyaan Jeno, sebagai gantinya cuma senyum kecil, tatap takjub matahari yang terbenam. Langit mulai berubah gelap, udara pun semakin dingin tapi anehnya Renjun gak ngerasain dingin sama sekali.

Aneh, kenapa rasanya damai? Padahal ada lelaki di sampingnya, dalam jarak yang dekat pula. Seharusnya Renjun gak ngerasain hal kayak gini, seharusnya dia gak ngerasain kedamaian ini.

Renjun termenung tatap langit yang menghitam, gak peduli sosok Jeno di sampingnya. Alunan lagu yang sedari tadi menemani mereka makan bikin suasana jadi semakin menenangkan dan damai. Belum lagi lampu remang yang menyala di sekitar mereka. Benar-benar sempurna.

Sadar kalau dirinya di abaikan bikin Jeno mendengkus kesal. Kakinya berselonjor dibawah meja, tepat di samping kaki Renjun. Dia raih sesuatu di jaketnya, sesuatu yang dia butuhkan untuk menyempurnakan semua ini.

Sebungkus sigaret.

“Mau?”

Bungkus rokok warna putih tersodor tepat di depan wajah Renjun yang sekarang mengernyit terganggu. Dia menggeleng, nyingkirin tangan Jeno buat menjauh.

“Gak.”

Senyum mengejek Jeno berikan tapi Renjun terlihat gak peduli sama sekali. “As expected dari siswa baik-baik, huh?”

Satu batang dinyalakan, Jeno menghisap rokoknya perlahan, dia bukan perokok aktif, dalam sehari paling abis dua atau tiga biji, tapi ada waktu di mana saat udah selesai makan Jeno emang butuh banget sebatang rokok, kayak sekarang aja. Tanpa peduli Renjun yang mungkin terganggu, Jeno tetap mengembuskan asap rokok ke udara. Ketenangan menyapa mereka.

“Gue pernah ngerokok kok,” suara berat Renjun tiba-tiba terdengar di antara lagu yang berkumandang, lelaki itu menatap fokus langit-langit hitam. “Tapi bukan perokok aktif juga, paling seminggu abis lima batang, itu juga disaat-saat tertentu doang. Gue juga bukan murid baik-baik, gue gak sepolos itu.”

Jeno ngangguk paham. Tentu, gak ada manusia yang bener-bener murni di dunia ini, pasti ada sisi buruk yang gak diperlihatkan pada dunia, contohnya kayak Renjun ini. Sigaret dihisap penuh hikmat, lalu asapnya diembuskan perlahan. Jeno tatap Renjun yang sekarang juga menatapnya, mereka bertatapan di tengah langit gelap dan udara dingin.

Banyak bintang dikedua mata Renjun, Jeno diam-diam memuji takjub.

“Kalo gitu pernah ciuman?”

Pertanyaan frontal Jeno dibalas sebelah alis yang terangkat. Renjun tatap Jeno seolah cowok itu adalah alien.

“Dan apa urusannya buat lo?”

Sudut bibir Jeno terangkat mengejek. “Belum pernah, ya?”

Renjun cuma mendengkus, bangkit berdiri dan berjalan menuju pagar tembok. Pemandangan kota langsung menyambutnya. Gedung-gedung tinggi, dan perumahan penduduk, berwarna kerlap-kerlip, Renjun memandang takjub. Padahal ini pemandangan yang udah sering dia lihat, tapi entah kenapa pemandangan ini lain hal lagi. Mungkin karena perpaduan langit hitam yang masih ada warna jingganya, atau karena hal lain pula.

Jeno tanpa diduga berdiri di sisi Renjun, sebatang sigaret masih terapit di antara sela jari. Keduanya kelihatan berantakan, seragam sekolah masih melekat, rambut gak tertata sama sekali, tapi anehnya malah nyaman-nyaman aja.

“Gue ganti pertanyaannya,” Jeno berbisik, kedua siku bertumpu dipagar. “Lo pernah pacaran?”

Tanpa diduga Renjun tertawa bikin Jeno mengerjap. Renjun tertawa, tapi jenis tawa pahit dan mengejek. Bahu mereka melekat tanpa sekat, ada kehangatan yang tanpa sadar merambat masuk, namun keduanya tepis tanpa minat.

“Gue aja gak percaya cinta, gimana bisa pacaran?”

“Lo ... gak percaya cinta?” Jeno pandang takjub sosok Renjun yang terlihat indah di sampingnya, cahaya dari neon membuat wajah Renjun terlihat apa ya ... cantik?

Renjun menyeringai lebar. “Cinta itu bullshit!

“Gimana bisa gitu?”

Bahu Renjun terangkat tak acuh. “Gue gak pernah pacaran, gak pernah patah hati, tapi menurut gue cinta itu bullshit.”

Menarik. Jeno terkekeh pelan, setia menghisap rokoknya tanpa peduli Renjun terganggu atau engga.

“Sebenernya itu perspektif yang aneh dan terkesan egois. Gue gak tau apa yang terjadi sampe lo bisa ngomong gini, tapi apa lo pernah jatuh cinta, Renjun?”

Renjun terdiam, tatap Jeno yang juga menatapnya. Cukup lama, sebelum Renjun mendengkus dan berpaling.

“Belum pernah.”

Terus atas dasar apa sampai lo bisa ngomong kalo cinta itu bullshit disaat lo sendiri belum pernah jatuh cinta?

Jeno pengen ngomong gitu, menodongkan pertanyaan yang dia yakini pasti bikin Renjun terdiam, tapi pertanyaan itu cuma tertelan di ujung lidah, karena dia punya satu hal yang lebih menarik sekaligus melewati batas untuk dilakukan.

“Kalo gue bikin lo jatuh cinta gimana?”

Pergerakan leher Renjun yang menoleh terlalu cepat, pun tatapan gak percayanya. Renjun terdiam cukup lama, tatap kedua mata Jeno yang terlihat liar dan penuh tantangan.

Tapi juga terlihat hangat disaat bersamaan.

Senyum mengejek perlahan hadir. “Lo mau tau satu hal pasti, Jeno?” Renjun berbisik, mengambil lintingan sigaret ditangan Jeno secara kasar.

Gue benci cowok, benci setengah mati.”

Bukan hal yang mengejutkan, Jeno udah memprediksi hal ini, tapi ngelihat Renjun yang berucap begitu tajam dan penuh kebencian cukup bikin bergidik tanpa sadar.

“Gue bahkan pernah minta sama semesta supaya makhluk yang cuma mentingin selangkangan itu musnah dari dunia. Gue benci cowok gak peduli gue juga cowok sekalipun. Dan jatuh cinta sama cowok itu jelas adalah hal terakhir yang bakal terjadi di kehidupan gue. Jadi, seberapapun besar upaya lo buat bikin gue jatuh cinta, itu gak akan berhasil. Gak akan pernah, Jeno.”

Renjun menghisap rokok tepat ditempat Jeno juga menghisapnya. Dia tatap Jeno dengan sorot penuh ejekan, lalu mengembuskan asap rokok tepat ke wajah Jeno yang gak terlihat terganggu sama sekali.

“Apapun yang ada dipikiran lo sekarang, berhenti.”

Jeno terdiam, tertawa pelan dan menjilat bibirnya. “Lo takut kalo lo bisa aja jatuh cinta sama gue, iya 'kan?”

Itu jelas kalimat provokasi, dan sesuai dugaannya, Renjun langsung terpancing, Jeno diam-diam menyeringai penuh kemenangan.

“Lo nantangin?”

“Kalo iya, gimana?”

Hening. Renjun terdiam cukup lama, saling tatap sama Jeno tanpa ekspresi berarti.

Dan tanpa diduga suara tawa Renjun menguar bebas bersama angin di malam hari yang berembus pelan. Renjun membungkuk, buang rokok sembarangan. Gak ada hal yang lucu, tapi suara tawa Renjun kedengar keras, miris dan pahit secara bersamaan.

“Berusahalah, dan lo bakal tetap kalah sampai akhir.”

Apa artinya Renjun setuju?

Jeno mengerjap, tersenyum lembut saat Renjun menatapnya dengan senyum penuh ejekan.

“Maaf, gue gak suka kalah.”

Tengkuk diraih dan bibir bertabrakan.

Udah Jeno bilang kalau dia gak suka kalah, maka saat bibirnya meraup bibir Renjun kedalam ciuman lembut yang terkesan polos, dia yakin kalau dinding yang Renjun jaga mati-matian bakal hancur perlahan.

Saking fokusnya ngerjain tugas mereka gak sadar kalau matahari mulai terbenam menyisakan langit yang mulai menggelap.

“—gak perlu dibawa deh, Ren. Gak terlalu penting ya gak sih? Kalau mau bagian ini aja, tapi yang dialog ininya jangan dibawa.”

Bahkan saking fokusnya mereka juga gak sadar kalau gak ada jarak di antara keduanya. Bahu saling melekat, paha menempel dan jarak wajah jangan ditanya lagi.

Renjun ngangguk, ambil pulpennya. “Bener juga, kalo mau dibawa bagian ini aja nih, tapi cuma nyampe sini doang terus dilanjut ke sini.”

“Hn hn, okey.”

“Ya udah langsung ketik aja, biar gue—”

BRAK!

Ucapan Renjun langsung terhenti saat Jeno tiba-tiba menutup buku dan mengerang keras. Dia ngerjap pelan saat Jeno banting badannya ke atas sofa yang untungnya tepat ada di belakang mereka.

“Napa lo?”

“Udah dulu, ya? Capek banget buset, mata gue perih. Lagian kita juga udah nyelesain satu bab.”

Meja dilirik, terlihat berantakan sama buku, ada dua gelas kosong sama kaleng cola. Mata Renjun juga udah capek karena harus liat layar laptop sama buku terus. Dia ngangguk, tutup laptop setelah simpen tugas, terus ambil gawai buat bales beberapa chat temennya, lumayan lama juga merasa fokus sama tugas sampai gawai gak dilirik sama sekali.

Mata Jeno yang tadi tertutup perlahan terbuka, udara sore bener-bener sejuk, dia tatap Renjun yang fokus sama gawainya. Rambutnya hitamnya berterbangan gara-gara angin, wajahnya kelihatan kusut.

Renjun itu ganteng, imut juga, tapi kadang malah kelihatan cantik. Serakah emang, semuanya dia ambil.

Jeno yang masih tiduran tanpa sadar memerhatikan wajah Renjun, dari bulu matanya yang lentik, hidungnya yang mancung, dan bibirnya yang terlihat sedikit penuh dan berwarna pucat, kelihatan kering.

“Ren?”

Renjun bergumam, masih fokus sama layar gawai. “Hn?”

Sial, gue ngapain?!

“Engga jadi.”

Dengusan Renjun keluar kasar, cowok itu lirik Jeno sinis sebelum fokus lagi sama gawai. Sedangkan Jeno cuma mengumpat dalam hati.

BANGSAT! APA TADI GUE BARU AJA MENGAGUMI MUKA RENJUN?!

Mengerang pelan, tatapan Jeno gak sengaja terhenti ke arah tangan Renjun.

Ah ....

“Tangan lo cantik,” bisiknya pelan, bibirnya menyeringai kecil.

“Bacot!”

Tangan yang gak pegang gawai itu Jeno raih sampai badan Renjun tersentak kaget, tapi Jeno gak peduli meski Renjun coba narik tangannya buat terlepas, dia malah pegang kuat tangan yang berhias kutek itu erat.

Yep, tangan Renjun kelihatan lucu karena banyak animasi dan hiasan yang biasanya dipake perempuan. Jeno ketawa kecil, bangkit duduk sampai pahanya nimpa paha Renjun, dia mainin jari-jari Renjun yang terlihat mungil di genggamannya.

“Jari-jari lo lucu banget.”

“Ngeledek lo, ya?” Renjun menggeram, coba tarik tangannya tapi gak bisa. “Lepasin bangsat!”

Jeno ketawa, lepasin genggamannya, sebagai gantinya dia tatap Renjun geli, sedangkan Renjun cuma cemberut sambil ngumpetin kedua tangannya di belakang badan.

“Ini ulah Shuhua sama Saeron, ya! Gue cuma korban! Gak usah ketawa lo!”

“Dih, siapa yang ketawa?” Jeno terkekeh, kenapa Renjun yang mendumal ini kelihatan lucu? Kayaknya ada yang salah sama otaknya. Dia menggeleng pelan dan berdehem, wajahnya berubah datar. Suasana juga jadi aneh. “Mau makan gak? Gue laper,” tawarnya sambil lihat gawainya tapi dia taruh lagi di atas meja.

Renjun cuma ngangguk.

“Mau makan apa?”

“Apa aja.”

Kayak cewek lo. Jeno mendengkus pelan, bangkit berdiri dan mengerang, bayangin aja duduk berjam-jam, apa gak pegel itu badan?

“Anjing, pegel amat!”

Sambil mendumal gak jelas Jeno berjalan pergi ninggalin Renjun sendiri yang natap kuku-kukunya kesel.

“Gue kayak bencong dah ah sial!”

“Gimana?”

Jeno bertanya sedetik setelah mereka masuk ke dalam kafe yang gak terlalu ramai. Renjun mengerjap, tatap area kafe yang didominasi warna cokelat itu menyeluruh.

“Hangat, bau kopi dimana-mana,” jawabnya, senyum kecil. “Gue baru tau ada kafe ini.”

Jeno ngangguk puas. “Emang bukanya belum lama ini sih, baru setahun lebih mungkin,” katanya, sambil jalan lebih dalam, dia lagi nyari Hendery, salah satu pegawai kepercayaan Lucas di sini.

Dan tanpa nunggu lama sosok cowok berperawakan tinggi datang menghampiri, wajahnya kelihatan berkeringat, tapi senyum lebarnya udah seperti mencerahkan dunia.

“Baru datang, Jen?”

Keduanya langsung salaman dan pelukan a la cowok, Jeno senyum lebar. “Iya nih, baru banget. Lo abis dari mana dah Bang? Keringetan gitu.”

“Abis beresin rooftop, kata Lucas mau lo pake, kebetulan baru gue pake tidur semalem, belum diberesin,” Hendery senyum lebar, terus lirik sosok di samping Jeno yang baru dia sadari ada di sana, cuma berdiri kikuk, mana badannya mungil. “Eh siapa nih? Pacar lo?” tanyanya main-main.

Jeno yang baru sadar keberadaan Renjun cuma ketawa canggung, dia narik tangan temen sebangkunya itu buat berdiri di samping. “Bukanlah anjir, temen gue nih, sokin kenalan lah.”

Hendery yang orangnya emang terkenal ramah itu langsung nyodorin tangan dan senyum lebar, “Gue Hendery, panggil Dery aja. Mau ditambahin abang juga boleh.”

Renjun senyum kikuk, dia raih tangan Hendery, “Renjun,” terus langsung dia lepas, raut terganggu kelihatan sangat jelas di wajahnya.

Jeno yang sadar kalau Renjun gak biasa sama sosok baru terlebih lelaki langsung ambil inisiatif tepuk pundak Renjun, dan senyum sungkan ke arah Hendery yang gak terlihat terganggu sama sekali sama respon temennya.

“Ya udah nih Bang, kita mau ngerjain tugas, tempatnya mau gue pake dulu hari ini ya, maaf lho ngerepotin sampe tempatnya diberesin dulu.”

“Lo sama siapa aja dah, santai, lagian emang niatnya mau gue beresin,” Hendery ketawa, nonjok bahu Jeno main-main. “Btw, mau disediain apa nih?”

Jeno lirik Renjun yang lagi memerhatikan area kafe, cowok itu agak bergerak menjauh dari mereka. Yah, Jeno maklum sih, masih mending Hendery saat perkenalanku ditanggapi, lah Jeno? Malah disuruh jauh-jauh dan membatasi diri.

“Kayaknya minum aja deh Bang, nanti kalo mau makanan mah gue pesen aja.”

Hendery ngangguk. “Oke-oke, ya udah kalo gitu gue lanjut kerja dulu ya, nanti minumannya di anterin,” ucapnya ramah, dia pamitan, tapi sebelum pergi menjauh, Hendery kedip jahil ke arah Jeno dan pasang senyum nyebelin. “Awas lho jangan maksiat ntar di atas, nanti digrebek.”

“Anjing bang! Mana ada?!”

Lihat Jeno yang kesel bercampur malu bikin Hendery ngakak dan langsung pergi menjauh ninggalin Jeno yang memerah dan Renjun yang kelihatan biasa aja, malah cowok itu malah terlihat gak minat.

“Ayo dah!” Tanpa nunggu respon Renjun, Jeno langsung pergi menuju tempat tujuan. Agak malu sebenarnya sana perkataan temen abangnya itu, tapi kalau dipikir-pikir ngapain juga Jeno harus malu disaat Renjun malah kelihatan biasa aja?

Masalahnya bukan itu sih, Jeno cuma keinget aja beberapa saat lalu abis denger suara desahan kakak kandungnya sendiri sama desahan Lucas, agaknya kelakuan mereka bikin Jeno trauma.

“Lo udah akrab sama pegawai sini, ya?

Jeno tersentak kaget saat suara Renjun terdengar jelas di sampingnya. Mereka lagi jalan di atas tangga menuju rooftop, Renjun yang heran pun langsung menyuarakan pertanyaannya, apalagi sepanjang perjalanan tadi banyak yang nyapa Jeno.

“Hn, keseringan ke sini sih jadi akrab aja tanpa sadar.”

Pantes. Renjun cuma ngangguk, mereka jalan diisi keheningan sebelum tiba-tiba Jeno berhenti di depan pintu kayu warna coklat, dan begitu pintu kayu terbuka embusan angin langsung menyapa.

“Wow.” Renjun jalan lebih dulu diikuti Jeno yang senyum sombong di belakangnya.

“Yep, wow.”

Rooftop itu gak terlalu besar ataupun kecil, ada beberapa tempat duduk di tengah-tengah yang mengelilingi meja pendek. Lantainya dilapisi karpet berbulu warna putih pucat, ada beberapa tanaman, lampu-lampu. Dan bagian tengah yang terdapat sofa itu di atasnya di lindungi kain putih membentang yang mungkin berfungsi agar panas matahari gak secara langsung menyengat kulit. Sebenarnya terlihat sederhana, tapi Renjun tetap aja takjub. Belum lagi pemandangan kota yang terlihat jelas.

Jeno lebih dulu duduk di atas karpet dan mulai ngeluarin laptop, novel serta buku yang dibutuhkan. Jaketnya di lepas beserta tas dan ditaruh sembarangan. Renjun langsung duduk di samping Jeno begitu sadar dari kekagumannya.

“Lo sering ke sini?” Tanya Renjun penasaran sambil ngeluarin laptop dan novelnya.

“Engga sering juga sih, paling tiap akhir pekan atau kalo lagi bosen. Biasanya sering nyantai di sini kalo kafe terlalu rame. Kenapa? Nyaman, ya?”

“Huum! Di atas sini kayak tenang aja suasananya.”

Jeno senyum geli, Renjun kelihatan banget tertarik sama kafe ini meski responnya terlihat biasa aja. Tapi kedua matanya gak bisa bohong, selalu kelihatan berbinar saat lihat setiap sudut kafe milik Lucas ini.

Jam tangan dilirik, jam 3 sore, mungkin hari ini mereka bakal nyelesain satu atau dua bab. “Gimana tugasnya? Lo mau lanjut ngetik atau baca dulu?”

“Baca dulu aja kayaknya, dua bab lagi gue selesai baca.”

“Oke, berarti gue ngetik ringkasan punya lo.”

Dan yah, kerja kelompok itu dimulai lagi, berlatarkan langit yang perlahan menjingga dan angin yang berembus pelan.

Nyaman, tenang, setenang perasaan mereka.

“Gila lo!”

Renjun tatap horor benda yang ditunjuk Jeno di depannya, mengucek mata berharap benda itu berubah tapi gak sama sekali. Motor Jeno masih sama saat detik pertama ini dia melihatnya.

Jeno, disisi lain yang sedang mengeluarkan motornya dari barisan parkiran hanya melirik bingung. “Kenapa dah? Kasar amat ngatain gila.”

*Karena lo emang gila! *

“Kenapa gak bilang motor lo motor gede kayak gini?!” Renjun nyaris menjerit, tapi untungnya gak dia lakukan, malulah, parkiran masih rame gini, harga dirinya bisa anjlok.

“Ya emang kenapa sih?” Wajah Jeno kelihatan terganggu, tapi Renjun mana peduli. Cowok itu malah menyodorkan helm ke arahnya. “Pake, takut ditilang polisi, berabe.”

Lah, apalagi ini, Renjun mau nangis aja.

“Helmnya gak ada yang lain?”

MASALAHNYA KENAPA HELMNYA HARUS GAMBAR HELLO KITTY?!

“Itu punya Yeji, tadi gue pinjem Hyunjin, katanya Yeji-nya mau pulang naik mobil,” Jeno menjelaskan tanpa diminta, sebelah tangannya masih menyodorkan helm ke depan wajah Renjun yang kayak udah mau nangis histeris. Kepala Jeno sendiri udah terpasang helm full face. “Buruan pake, jangan buang-buang waktu!”

Ya kalo gini Renjun bisa apa? Masa ngesot di tanah sambil nangis histeris? Gak manly banget.

Sambil cemberut, Renjun ambil helm itu kasar, gak apa-apa, cuma hari ini doang dia naik motor gede sama pake helm Hello Kitty, iya kan?

LAGIAN KENAPA YEJI HARUS BELI HELM HELLO KITTY WARNA PINK SIH?!!

“Pegangan.”

Renjun semakin cemberut, bersedekap, badannya menegak, gak sudi kalau harus nungging-nungging kayak para cewek yang biasanya naik motor sejenis kayak gini, apalagi harus meluk pinggang Jeno, dih, harga dirinya bisa turun.

“Gak.”

Jeno mendengkus, mulai menjalankan motornya menjauhi sekolahan. Terserah Renjun ajalah, kalau terbawa angin pun bukan kesalahan Jeno ini, 'kan Renjun sendiri yang bandel.

Yah, perjalanan yang penuh kekesalan, huh?

“Bang?”

Apa, Jen?

“Gue mau ke kafe lo nih, minjem rooftop-nya mau ngerjain tugas.”

Hhh, sokin aja, tumben izin.”

“Soalnya gue bawa temen.”

Eh, banyakan?

“Kagak, satu doang, tapi bisa sampe malem, makanya gue izin dulu. Soalnya hari ini lo pasti gak ada di kafe.”

Terdengar kekehan. “Tau aja lo.”

Ya jelas tau, udah kebiasaan Lucas dari dulu pasti gak ada di kafenya sendiri tiap hari Senin.

Jeno mendengkus, parkiran sekolah terlihat ramai, dia lagi nunggu Renjun, duduk di atas motornya sambil minta izin sama Lucas selaku pemilik kafe yang bakal dia tempati rooftop-nya.

“Hn, jadi gue boleh nih?”

“Boleh-boleh hhh, nanti gue kasih tau Hendery biar di beresin dulu.”

“Lo sakit ya Bang? Dari tadi suara napas lo kedengaran jelas banget anjir, kayak abis lari maraton,” tanya Jeno heran. Ya abis dari awal nelpon suara Lucas kedengar serak, belum lagi suara napasnya yang jelas banget. Ah, dan ada suara aneh kayak derit ranjang dan becek. Jeno mengernyit, jangan bilang ....

Lucas diseberang sana ketawa. “Coba tebak gue lagi ngapain?”

A-ahh! Lu-luke pelanh!

“ANJING!”

Teriakan Jeno bikin dirinya jadi pusat perhatian, tapi bodo amat, dia lebih milih tatap horor layar gawainya yang masih menampilkan panggilannya sama Lucas. Bener, gak salah lagi, itu tadi suara abangnya, Mark. Jeno hapal betul.

Dan sial, Mark mendesah, bung!

“LO LAGI NGENTOT YA ANJING?!” Duh, urat malu Jeno kayaknya udah putus. Tapi ya sekali lagi, bodo amat. Jeno mengernyit jijik saat suara becek dan desahan Mark kedengar jelas. Ya gusti, dosa apa dia harus denger ini di siang hari kayak gini? “Siang-siang malah main kuda-kudaan anjir, di azab lo ntar!”

Jeno bergidik ngeri saat suara desahan Mark dan tawa Lucas terdengar semakin jelas. Buru-buru dia matiin sambungan telepon, gak kuat Jeno kalau harus denger suara desahan abangnya sendiri lebih lama lagi, yang penting dia udah minta izin sama Lucas kalau rooftop-nya mau dipake.

Layar gawai yang menghitam ditatap tajam.

“Katanya gak pacaran tapi malah grepe-grepean, sarap!”

“Lo bawa makanannya kebanyakan.”

Renjun menyeruakan (sedikit) kekesalannya, gawai ditaruh dekat buku yang berserakan di atas meja. Mereka lagi istirahat sebentar, lama-lama puyeng juga ngerjain tugas merangkum ini. Tapi Renjun lebih puyeng lagi saat plastik pemberian Jeno dia keluarkan semuanya di atas meja.

Jeno mengalihkan pandangannya dari gawai, raut wajah terlihat bingung. “Uh, maaf?”

Geez, masalahnya snack yang Jeno bawa kebanyakan sedangkan Renjun sendiri gak terlalu suka ngemil. Bisa sih dikasih ke Winwin atau Haechan tapi malah keenakan dong mereka.

“Lain kali gak usah terlalu banyak bawa makanan, gak enak ngerepotin lo.”

Sebenarnya gak terlalu ngerepotin juga, tapi Jeno cuma ngangguk, dia simpen gawainya di atas meja dan tatap Renjun yang kelihatan terganggu karena snack yang dia bawa. Aneh, biasanya orang bakal seneng karena dibawain banyak makanan, kenapa Renjun malah terganggu?

Ah, tapi setelah Jeno inget-inget Renjun emang jarang makan jajanan di luar kayak snack kayak gini, meski baru sebentar Jeno sekolah di sini tapi dia sadar Renjun jarang ke kantin, cowok itu malah sering bawa bekal dan makan di kelas bareng cewek-cewek. Malah kayaknya Jeno belum pernah liat Renjun ada di kantin.

“Ngomong-ngomong,” Jeno memecah keheningan, berdehem, usap cangkir berisi cokelat panas yang tadi dibikin Renjun. Langit mulai mendung dan suasana di antara mereka terasa aneh. “Maaf buat yang waktu itu, tentang omongan gue di Gramed. Anggap aja gue gak pernah ngomong gitu,” bisiknya, wajahnya kelihatan serius.

Sebelah alis Renjun terangkat, agak kaget karena Jeno ngangkat topik ini. Topik yang sebenernya gak mau dia bahas. Karena sejujurnya, ucapan Jeno waktu itu cukup mempengaruhinya.

“Oke?” Suaranya kedengar ragu, tapi Renjun emang gak tau harus merespon gimana. Ada rasa marah? Ya, tentu aja. Ucapan Jeno tentang ingin mendobrak pertahanannya tentu aja bikin dia marah dan belingsatan. Itu terdengar gak sopan dan brengsek sebenarnya, bahkan mereka baru bertemu gak lama ini dan Jeno dengan beraninya nantang dirinya secara gak langsung.

Renjun benci saat dia sadar kalau ucapan Jeno waktu itu mempengaruhinya. Seharusnya dari awal dia abaikan kehadiran cowok itu kayak apa yang dia lakukan sama cowok lain.

“Yah, lo pasti tau remaja kayak gue sering penasaran sama banyak hal, dan lo cukup bikin gue penasaran.”

Terkekeh, Renjun menoleh ke sisi kanannya tepat di mana pintu yang terbuat dari kaca memperlihatkan pemandangan kolam renang dan langit mendung. Gelisah, itu yang Renjun rasakan sekarang. Hujan udah pasti bakal datang sebentar lagi dilihat gimana langit dan angin yang mulai berembus kencang.

Permasalahannya adalah sosok Jeno yang masih di sini.

Renjun gak mau Jeno ada tepat di dekatnya saat hujan datang. Diusir? Renjun masih punya hati dan sopan santun, dia gak mungkin semerta-merta langsung nyuruh Jeno pulang gitu aja, itu jelas gak sopan.

Menghela napas, cangkir berisi cokelat panas yang mulai habis itu Renjun genggam, dia tatap Jeno dan tersenyum kecil. “Gue tau rasa penasaran itu hal yang wajar karena gue juga sering ngalamin itu. Tapi ada beberapa hal yang emang seharusnya gak disentuh. Rasa penasaran lo wajar, Jen. Gue tau. Tapi sekali lagi, kalo lo gak bisa bertanggung jawab saat rasa penasaran lo terjawab, mending berhenti sampai di sini.”

Jeno sama kayak cowok sekelasnya. Penasaran. Bedanya, saat Renjun mendorong mereka menjauh, mereka langsung menjauh. Tapi Jeno enggak, cowok itu malah kukuh dan itu yang bikin Renjun belingsatan. Jeno gak menyerah, itu yang bikin Renjun benci.

“Lagian lo gak bakal nemuin apa-apa saat rasa penasaran lo terjawab selain kerusakan sesuatu yang udah gue jaga mati-matian. Thanks kalo lo emang beneran ngerasa bersalah dan gue harap interaksi kita beneran berakhir saat kerja kelompok ini berakhir.”

Itu terdengar egois tapi gak ada yang bisa Jeno lakukan selain mengangguk.

Keadaan jadi benar-benar canggung. Dan air hujan pun mulai berjatuhan. Renjun berdiri, tutup gorden sampai langit hitam dan hujan gak terlihat lagi, semua gorden di rumah udah dia tutup tadi. Dia hanya berharap gak ada petir atau angin kencang hari ini, karena Renjun jelas gak mau Jeno lihat kelemahannya.

“Lo mau cokelat lagi?” Tanyanya, berdiri gugup dan coba senyum ke arah Jeno yang terlihat santai. Sial, Renjun bener-bener berharap gak ada petir sampai Jeno gak sadar sama keanehannya.

Jeno menggeleng. “Punya gue masih banyak.”

Mengangguk, Renjun langsung pergi menuju dapur yang gak jauh dari sana. Saat ini emang cuma cokelat panas yang bisa dia andalkan, Renjun jelas gak mungkin minta Haechan buat ke sini disaat cowok itu juga pasti lagi sibuk sama tugas kelompok. Nelpon Winwin dan anak-anak cewek pun gak mungkin, jadi Renjun cuma berharap hujan kali ini gak besar, apalagi sampai ada guntur dan petir.

DUAR!

PRANG!

Jeno tersentak, hampir meloncat dari duduknya saat terdengar suara petir yang disusul suara benda jatuh. Hujan di luar sana mulai membesar.

“Renjun?”

Gak ada jawaban, suara benda jatuh itu pasti ulah Renjun. Jeno cepat-cepat mematikan laptop mereka dan berjalan ke tempat tadi Renjun pergi, tapi baru aja beberapa langkah diambil, lampu malah mati.

Shit! Ren lo di sana?”

Senter gawai dinyalakan, Jeno jalan terburu ke arah dapur tapi gak nemuin Renjun di sana. Keningnya berkerut, aneh, Renjun pasti ada di sini, kan?

“Renjun?”

Kakinya berjalan ke arah pantri dan yah, saat Jeno arahin senter gawainya ke bawah ada sosok Renjun di sana, berjongkok sambil tutupin kedua telinga, dan yang bikin Jeno kaget adalah badannya yang bergetar hebat.

“RENJUN!” Hujan semakin deras, teriakan Jeno gak digubris sama sekali, yang ada Renjun malah mulai meracau gak jelas. Jeno mulai jongkok dan tarik wajah Renjun buat menghadap ke arahnya. “Hei, Renjun? Renjun?! Ini gue, Jeno. Lo takut gelap? Hei, hei! Bernapas!!”

Panik. Jeno bahkan gak ngerti situasi apa yang lagi dia hadapi. Badan Renjun masih gemetar, kedua tangannya masih tutupin telinga, wajahnya ketakutan; berkeringat, napasnya tersendat, tapi syukurnya gak ada air mata yang keluar.

Hanya tatapan ... ketakutan?

“—mar.”

Jeno ngernyit, agak kesusahan karena satu tangannya pegang gawai. “Hah, apa?”

“Ka-kamar.”

Kamar, katanya. Jeno langsung paham dan coba nuntun Renjun buat berdiri dan jalan. “Kamar lo di mana?” Tanyanya agak teriak, sebelah tangannya meluk punggung Renjun yang bergetar.

“Atas,” suara Renjun kedengar kecil, tapi untungnya Jeno masih bisa dengar. Dia langsung nuntun Renjun ke lantai atas tempat di mana kamar Renjun ada.

Dan begitu udah sampai di kamar yang Renjun tunjuk, Jeno langsung banting pintu kamar dan bantu Renjun buat duduk di atas kasur.

Kacau. Rasanya panik liat Renjun kayak gini buat pertama kali. Jeno mendesah pelan, tatap Renjun yang lagi sibuk cari sesuatu disaku celananya, badan cowok itu masih gemetar meski gak sekencang tadi.

“Lo nyari apa?”

E-earphone,” jawabnya terbata. Karena sedikit kasian liat Renjun yang kesusahan nyari earphone, Jeno langsung bantu nyari dan memakaikannya langsung ke telinga Renjun, dia sambungin earphone itu ke gawainya, putar lagu random di sana.

Feel better?

Ngangguk. Renjun cuma mengangguk dan menunduk. Posisi Jeno lagi jongkok di depan Renjun, memerhatikan wajah Renjun yang memerah, bibir pucat dan mata redup yang terlihat menyedihkan. Gemetar lumayan hilang tapi itu tetap gak menghilangkan serangan panik yang baru aja Renjun alami.

Jeno mendongak, tatap Renjun yang mencoba bernapas tenang, mata lelaki itu terpejam, kedua tangan mencengkeram pahanya sendiri. Jeno gak tau apa yang terjadi sama Renjun, entah cowok itu takut sama gelap atau petir, meski penasaran, dia gak punya hak buat bertanya. Jadi yang Jeno lakukan setelahnya adalah menghela napas panjang dan berdiri, dia baru sadar suara hujan gak terdengar sama sekali di sini, hening dan lampu di kamar ini menyala terang.

Bau jeruk dan susu bubuk memenuhi indra penciumannya.

Bau Renjun.

“Lo berdarah,” bisiknya pelan, Jeno mengerjap saat sadar ada jejak darah di lantai kamar, dia tatap kaki Renjun yang gak terbalut sendal rumahan dan tangannya yang masih mencengkeram paha.

Ah, pasti gara-gara gelas tadi.

“Lo berdarah, sakit gak?” Suaranya kali ini lebih keras karena Jeno yakin Renjun gak dengar ucapannya tadi, earphone masih menyumbat telinga cowok itu.

“Gakpapa.”

Jeno mendengkus. Gakpapa apanya? Itu jelas sakit meski darahnya gak banyak. “Ada kotak P3K?”

“Kamar mandi,” suara Renjun kedengar capek dan pasrah, tapi Jeno gak peduli, dia jalan ke arah pintu yang dia yakini kamar mandi dan balik lagi saat udah dapetin apa yang dia inginkan.

Gak ada protesan saat Jeno tarik kaki Renjun dan duduk di lantai tepat di depannya. “Gue obatin kaki lo dulu, ya? Tangannya jangan dipake dulu buat ngapa-ngapain,” ucapnya pelan bahkan terkesan lembut. Dia mulai mengobati kaki Renjun dalam keheningan.

Jeno sadar kalo kamar ini dibuat kedap suara karena suara hujan atau petir gak terdengar sama sekali di dalam sini. Dan dengan itu dia bisa menyimpulkan satu hal ... Renjun takut petir.

Tangannya bergerak perlahan balut kaki Renjun pakai perban, luka Renjun gak terlalu parah sih, tapi ada beberapa bekas keramik tadi yang menancap terlalu dalam. Herannya Renjun gak meringis sama sekali saat Jeno cabut beberapa keramik yang nempel di sana, mungkin masih terlalu kalut karena tadi?

Don't ask anything,” cicitan Renjun bikin Jeno mendongak, sebelah alisnya terangkat saat Renjun menatapnya datar. Jeno taruh kedua kaki Renjun yang udah terbalut perban ke atas keramik dengan pelan, dia beralih ngambil sebelah tangan Renjun dengan paksa karena empunya sempat berontak.

Mengangguk. “Oke.”

Tangan Renjun gak terluka, itu cuma bekas darah yang mungkin dari telapak kakinya tadi, jadi Jeno cuma membersihkannya dengan lap basah.

“Jangan bicarain hal ini sama siapapun.”

Jeno terkekeh. Lagian siapa juga yang mau ngomongin hal ini ke semua orang? Itu bukan urusannya. Tentang Renjun yang ketakutan sama petir atau hal lain itu jelas bukan urusannya, bukan ranahnya buat ikut campur, mereka bukan siapa-siapa. Dan Jeno jelas jenis manusia yang gak suka mencampuri urusan orang lain.

Dibandingkan jawab ucapan Renjun, Jeno lebih milih mendongak, tatap lelaki di depannya lembut dan senyum kecil. Wajah Renjun masih pias, rambutnya lepek, tatapannya masih terlihat lelah, dan keringat ... Renjun berkeringat banyak.

“Lo keringetan.”

Tanpa sadar tangan Jeno terangkat usap dahi Renjun yang keringatan. Lembut, usapan Jeno benar-benar lembut sampai Renjun cuma bisa terpaku ditempatnya; menegang. Cepat-cepat dia singkirin tangan Jeno saat telapak tangan cowok itu mendarat di pipinya.

Sentuhan Jeno terasa aneh.

Don't touch me,” bisiknya tajam. “Dan bisa lo menjauh?” Karena Renjun jelas terganggu sama jarak mereka yang dekat, bau Jeno bener-bener mengganggunya. Percuma kalau Renjun pakai earphone dengan lagu yang bervolume tinggi, ada di dalam kamarnya yang jelas kedap suara kalau bau Jeno menginvasi penciumannya.

Badan Jeno tercium kayak hujan.

Udara segarnya saat hujan berhenti, tanah basahnya, dedaunannya, suasananya. Bau Jeno seperti itu, persis.

Itu memang bukan bau hujan beneran, tapi tetap aja itu berhubungan sama hujan; sesuatu yang Renjun benci setengah mati.

Jeno terkekeh kecil, bangkit berdiri dan nunduk tatap Renjun yang mendongak. Dia lirik jendela yang gordennya tertiup angin, hujan masih besar dan terlihat kilat di langit sana. Untungnya ruangan ini kedap suara.

“Masih hujan, lo mending tidur biar gue ngelanjutin tugasnya.”

Renjun gak dengar apa yang Jeno omongin karena earphone yang tersumpal ditelinganya, tapi dia bisa lihat dari gerak bibir Jeno yang ngomong tentang tidur. Tanpa bicara lebih jauh dia naik ke atas kasur, bungkus badannya pakai selimut tutup kaki sama kepala dan peluk guling erat. Gak peduli apa yang bakal Jeno lakukan di rumahnya.

Telinganya masih disuguhi lagu dengan volume keras. Lagu-lagu dari gawai Jeno yang sekarang duduk di atas lantai berbalut karpet.

Tori Kelly – Dear No One.

Renjun tersenyum kecut, semakin meringkuk peluk guling, berharap mimpi cepat menjemput dan hujan cepat berhenti.

But sometimes, I just want somebody to hold.

Yah, terkadang.


Penjelasan

Di penciuman Renjun, bau Jeno tuh emang kayak gitu. Udara sesudah hujannya, tanah basahnya, pepohonannya, tau 'kan? Jenis bau menenangkan tapi engga buat Renjun.

BRAK!

Jeno mengalihkan pandangannya dari layar gawai begitu suara gerbang terbuka lebar, ada sosok Renjun yang menyambutnya, berwajah muram; bibir cemberut dan mata yang terlihat malas, belum lagi rambut berantakan.

Yah, gak aneh, namanya juga bangun tidur.

“Masuk, bawa motornya.”

Dan judesnya pun masih sama, kayaknya gak bakal hilang-hilang.

Tanpa nunggu jawaban Jeno, lelaki itu nyelonong masuk lagi bikin Jeno otomatis mendengkus, dia masukin motornya ke halaman rumah Renjun yang terlihat asri, banyak pepohonan dan tanaman hias.

“Masukin garasi aja, takutnya ada maling,” ujar Renjun sambil buka garasi rumahnya, mempersilahkan Jeno buat masukin motornya ke sana.

“Lah? Komplek lo rawan pencopetan?”

Renjun menggeleng, “Engga juga, tapi seminggu yang lalu ada yang kemalingan kucing.”

Mata Jeno memicing, jelas gak percaya. Mana ada orang yang masuk ke kawasan perumahan elit tapi cuma maling kucing doang, paling kucingnya kabur nyari suasana baru, lagian berarti bego banget malingnya gak memanfaatkan kesempatan.

Motor udah ditaruh, garasi udah ditutup, mereka berdiri hadapan. Tangan Jeno tersodor ke arah Renjun yang angkat alisnya dengan pandangan bertanya.

“Apa nih?” Renjun raih plastik putih itu dan intip sedikit. “Eh?”

“Gua masih tau sopan santun kali, masa bertamu ke rumah orang gak bawa apa-apa.”

Renjun cuma ngangguk, “Padahal gak perlu, kemarin abis belanja makanan kok, tapi makasih,” katanya, terus jalan lebih dulu masuk ke dalam rumah diikuti Jeno di belakangnya.

Rumah Renjun bertingkat dua, gak terlalu megah tapi gak bisa dikatakan kecil juga. Jeno mengikuti Renjun menuju entah kemana, sejauh mata memandang cuma ada keheningan, rumahnya terasa sepi.

“Lo sendiri doang?” Tanyanya, penasaran. Di depannya Renjun cuma ngangguk, mereka belok sedikit ke arah kiri dan langsung disuguhi ruang keluarga yang bersebalahan sama kolam renang.

“Iya, bonyok lagi kerja, abang lagi ngerjain tugas kuliah entah apa,” jawab Renjun, dia simpen plastik putih pemberian Jeno tadi di atas meja kecil yang di kelilingi sofa. “Tunggu dulu ya, gue belum mandi, kalo haus minum aja itu,” dagunya nunjuk gelas dan beberapa kaleng minuman di atas meja yang baru Jeno sadari ada di sana, si pemilik rumah langsung pergi begitu Jeno ngangguk dan simpen tas nya di sofa.

Well, cukup mengherankan karena Renjun gak bersikap judes kayak biasanya. Belum lagi rasanya agak aneh liat temen sebangkunya itu dalam balutan pakaian rumahan; kaus kuning kebesaran, celana pendek selutut dan rambut acak-acakan.

Kalau boleh jujur, itu cukup imut.

Oke, kayaknya ada yang salah sama otaknya.

Jeno mendengkus, duduk di atas lantai yang dilapisi karpet berbulu warna coklat. Laptop dan novel dia keluarin, sebenarnya novel ini udah dia baca berkali-kali, tapi bakal dia baca lagi buat membunuh waktu, gimana pun Jeno pengen tugas ini cepat selesai, ketemu sama Renjun disetiap waktu gak baik buat dirinya.

Sorry lama.”

Pergelangan tangan dilirik, sebelah alis Jeno terangkat tatap Renjun yang udah duduk di depannya dengan baju warna merah, celana selutut dan rambut basah. “Cuma 15 menit,” bisiknya, buku di tutup, sekarang Jeno fokus ke arah Renjun yang terlihat risih.

“Gak usah liatin gue kayak gitu.”

“Emang gue ngeliatin kayak gimana?” Sebelah alis Jeno terangkat, perasaan dia lihat Renjun pakai tatapan biasanya deh, gak memuja atau penuh kebencian.

Bahu Renjun terangkat, novel dibuka acak. “Jadi gimana cara kerja kelompoknya?”

Jeno terkekeh denger Renjun mengalihkan percakapan, kentara banget, tapi dia lebih milih abai.

Jelas, di sini mereka masih asing dan kaku. Canggung. Interaksi ini bahkan gak pernah mereka harapkan untuk terjadi.

“Lo udah selesai baca sampe BAB berapa?”

“Baru sampe BAB 5 sih,” jawab Renjun, dia lirik novel di depannya lalu ke arah Jeno. Rambutnya masih terlihat basah, bahkan tetesan air turun membasahi baju. “Gue juga udah rangkum dan catet beberapa poin penting.”

Jeno ngangguk ngerti, wajahnya terlihat puas. “Oke, hari ini lo lanjut baca sedangkan gue mulai ngetik BAB 1 yang udah lo rangkum sambil gue periksa. Gue juga udah ngerangkum dan catet poin-poin pentingnya sih, jadi kita selang-seling ngetik per-bab, gue meriksa punya lo dan lo meriksa punya gue. Jadi kalo ada yang gak terlalu kita suka, bisa langsung didiskusikan. Ngerti gak?”

Renjun ngangguk. “Ngerti kok,” bisiknya sambil nyodorin buku ke arah Jeno. Dia kira hari ini bakal berjalan chaos karena percakapan mereka di Gramedia waktu itu. Itu bukan percakapan yang bagus, malah terkesan seperti pertengkaran, Renjun udah ngira kalau cowok itu bakal bersikap nyebelin tapi ternyata Jeno sosok yang bisa diandalkan.

Yah, seengaknya saat disituasi kayak gini.

“Oke, ayo bekerja sama.”

⚠️TW// penuh DRAMA kayak sinetron!

Sore itu mereka bener-bener ketemu ditempat yang udah Jeno janjikan.

Padahal Jeno gak berharap banyak, dia gak berekspektasi kalo Renjun bakal datang lima menit setelah dia duduk di meja yang paling ujung. Jeno bahkan udah nyusun kata-kata buat nyari alasan ke gurunya seandainya Renjun gak berpartisipasi ditugas kelompok merangkum novel yang bakal mereka kerjakan ini, dalam pikirannya Jeno udah ngebayangin dirinya yang mohon-mohon buat gak satu kelompok sama manusia aneh dan nyebelin itu.

Tapi yah, Renjun datang juga meski terlambat 5 menit.

“Minum?” Tawarnya, angkat gelas berisi jus jeruk. Gimanapun Jeno masih punya sopan santun buat nawarin minum.

Renjun menggeleng, simpan tasnya dikursi sampingnya, mereka duduk berhadapan. Keduanya juga masih pakai seragam sekolah, “Udah pesen tadi,” matanya berpendar ke sepenjuru kafe yang gak terlihat ramai sebelum kembali ke arah Jeno yang menatapnya. “Mau novel apa?”

Jeno mengangkat bahu. “Lo punya referensi?”

“Gue lebih suka baca komik daripada novel.”

Yang artinya Renjun gak punya referensi atau pendapat apapun tentang itu.

Jeno mendengkus, aduk jus jeruknya perlahan, pesanan Renjun datang gak lama kemudian dan mereka hanya diam.

Canggung.

Aneh, padahal biasanya suasana dan aura diantara mereka lebih ke penuh permusuhan dan kekesalan daripada canggung kayak gini.

Renjun berdehem, sedot milkshake yang dibelinya sambil buka gawai, mau cari referensi novel yang cocok buat tugas mereka. “Novel Dilan emang gak bisa?” Tanyanya, lirik Jeno sekilas.

“Kayaknya lo gak dengerin waktu guru ngomong,” Jeno berdecak, terlihat kesal. “Guru nyuruhnya novel terjemahan, apapun itu yang penting novel terjemahan, novel dari luar Indonesia.”

“Ck, ribet!”

Jeno ngangguk setuju. Keduanya diam, wajah Renjun kelihatan kesal, telunjuknya scroll layar gawainya yang tergeletak di atas meja.

“Sebenernya ada satu novel yang gue pikirin sih, tapi gak tau lo bakal setuju atau engga,” celetuknya tiba-tiba bikin Renjun angkat alis bingung. Yah, Jeno mikirin ini dari semalam, gak mungkin dia datang ke sini tanpa amunisi, emangnya Renjun?

“Novel apa?”

The Tale of Two Cities.”

Kepala Renjun memiring tanpa sadar bikin Jeno mengerjap kaget.

Karena ... Shit! KOK IMUT?!

“Gak pernah denger.”

“Itu novel klasik.”

Gawai diambil, Renjun langsung ketik novel yang tadi Jeno sebutkan sambil minum milkshake-nya.

“Ada satu kutipan di sana yang gue suka,” Jeno tiba-tiba bersuara bikin Renjun tatap Jeno penasaran. Yang ditatap cuma berdehem, sedot jusnya dan mulai bersuara.

A wonderful fact to reflect upon, that every human creature is constituted to be that profound secret and mystery to every other.”

“Ah ....” Renjun mengangguk pelan, fokus ke gawainya lagi.

Canggung, rasanya bener-bener canggung.

Aneh sebenarnya, biasanya mereka cuma diam-diaman seolah gak ada, seolah gak peduli sama kehadiran keduanya, saat ngobrol pun berakhir cekcok kayak pertemuan awal dan di UKS waktu itu. Selebihnya? Ya mereka terbiasa mengabaikan eksistensi masing-masing, dan sekarang duduk saling hadapan tanpa cekcok atau pun hal lain rasanya bener-bener aneh. Apalagi kemarin mereka baru aja cekcok juga di chat.

“Konfliknya berat.”

Jeno ngangguk setuju, yang dia lakukan dari tadi cuma diem, nyereput jus, ngeliatin orang-orang dan Renjun. “Seru, kok. Tapi kalo lo mau yang lain boleh aja.”

Renjun tatap Jeno heran, simpan gawainya di atas meja. “Gak usah, ini aja, setor judul novelnya besok, kan? Kayaknya anak-anak di kelas gak bakal pilih ini juga,” katanya, tatapan heran masih dilayangkan. Heran aja, Renjun kira Jeno tipe orang yang suka mengambil alih semuanya sendiri, gak peduli pendapat atau perasaan orang lain. Tipe orang yang gak suka saat pekerjaannya dicampuri orang lain. Maklum, wajah Jeno tipe-tipe kayak gitu.

Atau Renjun nya aja yang dari awal emang udah mandang Jeno negatif.

“Oke.”

Dan balasan singkat Jeno bikin keadaan tambah canggung.

Berdehem pelan, Renjun nyeruput milkshake-nya sampai habis, dia pengen cepet-cepet pergi dari sini, berduaan doang sama Jeno gak nyaman sama sekali.

“Gue mau langsung beli novelnya, mau bareng atau engga?” Jeno bangkit, pakai jaketnya tatap Renjun bertanya.

Sedangkan Renjun cuma cengo beberapa detik, tatapannya terarah ke luar kafe, tepat di mana Gramedia berada. Oh? Pantes Jeno minta ketemu langsung di sini, supaya lebih gampang langsung beli novelnya. Well, pinter juga.

Renjun mengangguk, bangkit berdiri, siap-siap. “Boleh.”

Keduanya langsung pergi setelah bayar minuman, nyebrang jalanan dan nyari buku yang keduanya inginkan. Renjun cuma diem, ngikutin Jeno kayak anak bebek. Dia jarang ke sini, ke Gramedia pun paling dipaksa Saeron buat nemenin, itu juga gak sampai menjelajah rak-rak buku, Renjun cuma bakal diem di luar sambil mainin gawainya. Dan sekarang, dengan dia yang ngikutin Jeno tanpa protes sungguh gak pernah terpikirkan akan terjadi.

Langkah Jeno berhenti tepat di depan rak khusus novel terjemahan, Renjun cuma diem, menyandar di rak, memerhatikan Jeno yang nyari buku yang mereka inginkan.

“Gue mau ngomong deh.” Suara berat Jeno terdengar setelah beberapa saat cuma ada hening, lelaki itu ngomong tanpa menatap Renjun.

“Hn?”

“Gue heran kenapa pas gue awal masuk wajah lo kayak risih dan sebel. Padahal kita baru aja ketemu, belum lagi sikap lo yang nyebelin dengan gak nyuruh gue ngomong sama lo. Fyi sih, itu nyebelin banget dan terkesan gak sopan. Belum lagi sikap lo di UKS, lo benci sama gue, ya?”

Benci? Dibandingkan benci Renjun malah terlihat menghindari berurusan dan bercengkrama sama Jeno. Meski wajahnya selalu kelihatan kesal, tapi Renjun gak benci.

Atau mungkin seenggaknya belum?

“Gue cuma gak mau berurusan sama lo.”

Sebelah alis Jeno terangkat, badannya menegak, ada dua buku ditangannya. Mereka berhadapan. “Itu doang?” Tanyanya, gak percaya. Ya tentu aja gak percaya, Jeno gak sebego itu setelah ngelihat sendiri gimana sikap Renjun padanya.

Dan alasan itu gak dapat dipercaya gitu aja.

Renjun terkekeh, sudut bibir terangkat. Disekitar rak itu cuma ada mereka, belum lagi hari ini Gramedia emang gak ramai. Dua langkah diambil, sekarang Renjun berhadapan sama Jeno dalam jarak yang lumayan dekat—sekitar tiga langkah—dia harus sedikit mendongak karena perbedaan tinggi mereka yang lumayan kentara.

“Lo gak bego, Jeno. Lo pasti nyadar gimana selama ini gue ngehindarin cowok, gak berurusan sama mereka dan lebih milih main sama cewek. Lo pasti nyadar gimana gue risih tiap deket cowok, termasuk saat deket sama lo sendiri. Sebelum lo datang, gak ada yang melewati batas yang gue buat, semua lelaki di kelas pada menjauh dan gue cuma pengen lo ngelakuin itu juga,” napas Renjun terengah, wajahnya memerah karena amarah. Renjun sendiri bahkan gak tau kenapa dia harus ngerasa marah. “Lo inget kata-kata gue di UKS, kan? Jauhin gue, anggap gue gak ada, ada engganya keberadaan gue di hidup lo gak bakal berpengaruh apa-apa, kita deket pun gak ada untungnya buat lo apalagi buat gue.”

Dadanya sesak, Renjun mengerjap cepat. Rasa amarah mengambil alih perasaannya, sial, Renjun bener-bener gak suka kayak gini.

“Apa itu menjawab segala pertanyaan lo?” Tanyanya. “Lakukan kayak cowok dikelas lakukan, Jen. Kita orang asing,” Renjun tersenyum, lembut, tangannya ngambil satu buku yang ada digenggaman lelaki yang masih terdiam di depannya. “Belum lagi ada beberapa hal yang jadi alasan kuat kenapa lo harus menjauh dari gue, alasan kenapa kita emang gak seharusnya berteman ataupun itu.”

Sebelah alis Jeno terangkat, bertanya. Dan Renjun dengan senang hati bakal menjawab.

“Pertama,” telunjuk terangkat tepat di depan wajah. “Lo bau hujan.”

Jeno mengernyit bingung.

“Kedua,” sekarang jari tengah bergabung sama jari telunjuk. “Lo bau hujan. Dan ketiga,” jari manis terangkat, tapi Renjun gak langsung ngomong, lelaki itu menghela napas panjang, terlihat lelah, terlihat seperti dunia akan berakhir besok pagi dan dia udah keburu pasrah.

“Oke?”

Lo bau hujan, dan sialnya gue benci hujan.”

Jeno gak ngerti kenapa Renjun menyebut tubuhnya bau hujan. Selama ini Jeno gak merasa seperti itu, baunya bau biasa dari parfum dan keringat, tipikal bau cowok yang suka main dan panas-panasan bukan bau hujan yang Renjun maksudkan. Lagipula emang kenapa kalo Jeno bau hujan? Itu bukan masalah besar, kan?

“Ayo kerjasama, Jen. Tetap ada di tempat masing-masing, jangan ngelewatin batas.”

Renjun senyum tipis, lalu berbalik pergi.

Tapi Jeno gak bisa diam gitu aja. Engga, disaat dia merasa terpojokan di sini.

“Lo tau, Renjun?” Suara Jeno tiba-tiba terdengar saat Renjun berbalik melangkah pergi, tapi semua itu terhenti, Renjun lebih milih berbalik lagi dan berhadapan sama Jeno dalam jarak yang jauh. “Gue gak ada niatan buat masuk ke kehidupan lo, mengacaukan segala hal yang udah lo tata, ataupun mengganggu ketenangan lo dan melewati batas yang lo maksudkan. Gue gak peduli kalo badan gue bau hujan dan lo benci itu, gue gak peduli. Tapi jujur aja sih, segala sikap lo saat pertama kali kita ketemu itu mengejutkan dan nyebelin. Seolah lo ngira gue bakal dobrak dinding yang lo jaga mati-matian disaat gue sendiri bahkan gak peduli sama hal itu.”

Jeno tersenyum, hampir menyeringai? Kakinya berjalan maju.

“Tapi gue berubah pikiran, Ren,” lanjutnya. “Selama ini yang gue cari itu ketenangan, dan setelah gue pikir-pikir ketenangan itu ngebosenin, ya gak sih? Apalagi untuk masa-masa terakhir gue di sekolah, masa-masa dimana gue seorang remaja.”

Langkah berhenti tepat dua langkah di hadapan Renjun. Jeno agak membungkuk supaya wajah mereka sejajar, tersenyum lembut.

Gimana kalo gue dobrak dan hancurin dinding yang lo jaga mati-matian?

Renjun berdesis, kedua tangan terkepal erat. Ada rasa amarah dan panik di dalam dirinya. “Gue gak suka main-main.”

“Siapa bilang gue mau main-main?” Jeno tersenyum sampai kedua matanya menyipit membentuk bulan sabit, badan menegak. Sebenarnya daripada terlihat kayak senyum penuh ketulusan, senyum Jeno malah terlihat kayak senyum penuh rasa kesal dan dendam.

Tanpa ngomong lebih jauh lagi, Jeno melangkah pergi setelah tepuk kepala Renjun sekali yang langsung empunya tepis. Tapi lelaki itu cuma senyum dan pergi ninggalin Renjun sendiri yang kesal luar biasa bersiap memaki dunia dan segala isinya.

Renjun gak sebego itu, dia tau apa yang Jeno maksudkan.

“Bajingan!”

Well, kayaknya kehidupan tenang yang selalu Renjun syukuri bakal hilang.

Dan kisah mereka dimulai.

Haechan menghelakan napas panjang saat kedua matanya disuguhi tubuh Renjun yang tertidur di atas kasurnya. Pintu ditutup, jaket dilempar sembarangan, kantung kresek berisi martabak keju pesanan Renjun disimpan di meja belajar, kantung mata terlihat jelas, wajah lelahnya apalagi. Marahan sama Renjun selalu menjadi mimpi buruk, Haechan gak suka saat mereka cekcok karena hal yang sama, selalu sama.

Jam menunjukan pukul 9 malam, gak biasanya Renjun tidur jam segini.

“Lo polos banget kalo tidur kayak gini, Cil,” Haechan senyum kecil, duduk disisi Renjun dan singkap poni yang halangi jidat sahabatnya. Tidur Renjun benar-benar terlihat nyenyak. “Biasanya marah-marah mulu kayak emak-emak di pasar.”

Tapi anehnya Haechan suka, dia gak merasa terganggu sama sekali sama sikap Renjun yang suka menggerutu gak jelas. Padahal belum ada waktu seminggu, tapi rasanya dia udah kangen banget sama suara Renjun saat menggerutu.

Renjun kalau marah-marah itu gemesin.

Tangannya perlahan turun menuju pipi Renjun yang terlihat tirus. “Jarang makan, ya? Tirus gini,” bisiknya lirih sambil elus pipi yang biasanya bulat itu dengan lembut. “Biasanya lo sering ngerengek minta makan sama gue, dua harian ini engga dan pipi lo udah setirus ini? Gimana nanti kalo gue hilang dari hidup lo, Cil?”

Sudut bibirnya terangkat, miris. Selama ini bahkan Haechan gak pernah mikirin hal itu, dia gak pernah mikir gimana nanti Renjun hilang dari sisinya, gimana nanti Renjun punya seseorang yang bisa diandalkan selain dirinya, Haechan gak mau mikirin hal itu, gak bisa.

“Jangan tinggalin gue, ya?”

Desperate.

Dua hari gak ada Renjun di sisinya bikin seorang Haechan resah, mulutnya bau alkohol, padahal dia cuma minum satu gelas. Kepalanya pusing, dan wajah Renjun yang terlihat damai tidur di atas kasurnya bikin seorang Haechan hilang kendali.

Tanpa bisa dia sadari, bibirnya udah menekan dahi Renjun lembut, benar-benar lembut. Sebelah tangannya mengelus pipi sahabatnya perlahan, matanya terpejam bersama detak jantung yang mengencang.

Ini melewati batas, tapi Haechan gak bisa menahan dirinya.

Wajahnya menjauh, Haechan tersenyum sendu dan bangkit berdiri, tatap Renjun yang terlihat gak terganggu sama sekali karena tindakannya. Dia gak pernah gini, gak pernah melewati batas kayak gini, meski mereka sering pelukan tapi Haechan gak pernah sampai tahap mencium Renjun meski itu hanya di jidat, kalau Renjun tau mungkin reaksinya bakal bikin dirinya menyesal udah ngelakuin hal itu.

Sleep well, Junie.”