REONBY

Sesuai prediksi Haechan, Renjun langsung tumbang begitu mereka disuruh lari keliling lapangan yang besarnya bikin ngelus dada. Meski kesel karena sikap bandel Renjun yang hadir gak tau tempat, tapi tetep aja dia yang paling khawatir dan panik saat badan Renjun roboh: jatuh pingsan. Kakinya langsung berlari begitu matanya tangkap badan Renjun yang jatuh, tanpa disuruh pun dia langsung pergi ke UKS begitu Renjun udah ada digendongannya.

Rasanya pengen marah, pengen mencak-mencak, kalau perlu sampai liurnya muncrat.

“Gimana? Enak pingsan?”

Renjun mulai sadar begitu mereka sampai di UKS, lelaki itu lagi berbaring di atas ranjang. Wajahnya pucat, badannya panas, udah dipastikan Renjun lagi demam.

“Gak enak lah, enak mah seblak kali.” Renjun cemberut, suaranya terdengar parau. Kepalanya pusing, tenggorokannya sakit dan pas sadar bukannya disuguhi air, malah kena semprotan sama tatapan tajam. Kasian.

“Bandel banget, heran.” Greget banget gak sih? Haechan rasanya pengen nabok Renjun, tapi sayang.

Sayang nanti dia ditabok balik maksudnya.

“Ini minumnya, Kak.”

Mereka berdua noleh begitu suara lembut terdengar. Ada sosok perempuan cantik yang nyodorin gelas berisi air putih yang langsung Haechan ambil. Adik kelas yang bertugas jaga UKS di jam sekarang, Lami namanya.

“Makasih ya, Dek.” Haechan senyum, dagunya bergerak tunjuk Renjun yang masih terbaring. “Dia beneran gakpapa, 'kan?”

“Iya, Kak Renjun cuma demam. Minum obat pereda panas sama makan juga mendingan.” Lami tersenyum kikuk, bergerak gusar. Maklum, ditatap sedemikian rupa sama kedua kakak kelasnya cukup bikin gugup, padahal itu jelas bukan tatapan apa-apa tapi tetap aja rasanya terintimidasi, belum lagi salah satu kakak kelasnya 'kan terkenal berandalan. “Ta-tapi kalo dalam beberapa jam panasnya masih belum turun mending dibawa ke rumah sakit aja, Kak. Takutnya jadi parah,” cicitnya gugup.

Haechan mengangguk, bantu Renjun buat duduk dan langsung nyodorin gelas berisi air.

“A-aku ambil obatnya dulu ya, Kak.”

Entah karena gugup atau karena tampang Haechan yang terlalu preman, Lami langsung pergi menuju ujung ruangan di mana lemari penyimpanan obat berada, meninggalkan Haechan yang mendengkus dan Renjun yang terkekeh.

“Sekarang lagi penilaian bulanan, mending lo balik sana, gue bisa sendiri.” Renjun berucap begitu isi gelasnya tandas, dia tatap Haechan yang simpan gelas di atas nakas samping ranjang.

Haechan menggeleng, bersedekap tatap Renjun tajam. “Gak mau, nanti lo sendiri di sini.”

“Hyuck, jangan mulai.”

“Jangan mulai apa?”

Ah, mulai lagi mereka.

Renjun harus mendongak biar bisa tatap Haechan yang berdiri menjulang di depannya. Tatapannya datar, Renjun paling benci saat mereka harus beradu argumen kayak gini. Segala adu argumentasi mereka selalu berakhir gak baik.

“Bisa berhenti gak memperlakukan gue kayak orang lemah? Gue gak suka. Sikap lo terlalu berlebihan, gue bukan anak kecil, gue juga bukan manusia berpenyakitan, Hyuck.”

Kalimat itu mungkin udah gak terhitung berapa kali keluar dari mulut Renjun, tapi tetep aja saat mendengarnya Haechan masih gak percaya, rasanya tetep kesal bercampur amarah. Haechan bahkan gak pernah nganggap Renjun lemah, tapi kenapa Renjun seolah diperlakukan kayak manusia lemah? Haechan hanya khawatir, apa itu salah?

Haechan terkekeh hambar, tatap Renjun gak percaya. “Gue berlebihan?”

“Hyuck, please.”

Suasana terasa tegang, keduanya bertatapan dengan ekspresi yang berbeda. Haechan jelas eskpresi kesal yang malah kelihatan kayak mau ngajak seseorang buat berantem, disisi lain wajah Renjun terlihat memelas dan pucat.

“Lo memohon buat apa, Renjun?”

Bibir Renjun terkatup rapat, kelopak mata terpejam bersama embusan napas yang keluar pelan. Banyak hal yang gak bisa Renjun tangani sendiri, salah satunya adalah hal ini: sikap Haechan yang kayak gini.

Di sisi lain Haechan tertawa, terdengar sendu. Kelopak mata Renjun terbuka dan mereka bertatapan.

“Oke, fine.”

Langkah menjauh Haechan adalah satu-satunya yang buat beban dipunggungnya terasa memberat.

Ah, kenapa selalu berakhir kayak gini?

“Eum, Kak Renjun?”

Renjun noleh, ada sosok Lami yang berdiri gugup dengan obat ditangan. Oh, pasti perempuan itu lihat pertengkarannya sama Haechan. Renjun coba tarik bibirnya buat senyum. “Maaf harus bikin lo ngelihat hal tadi, tolong anggap aja gak pernah terjadi, ya?”

Lami mengangguk kaku, berjalan mendekat. “Kak Renjun udah makan belum? Perutnya harus terisi dulu sebelum minum obat.”

“Udah sih tadi pagi bubur dua suap.”

“Berarti perut Kak Renjun kosong, bentar ya aku beli nasi dulu.”

Belum sempat jawab, Lami udah keburu pergi bikin Renjun menghela napas panjang. Suasana UKS itu sepi, cuma ada dia doang di ruangan yang gak terlalu besar dan bau obat-obatan ini. Kepalanya pusing, badannya agak panas saat dahinya Renjun raba, belum lagi rasa lemas luar biasa. Sial, Renjun bener-bener benci saat dia ada di posisi lemah kayak gini.

Punggung nyentuh permukaan ranjang, matanya terpejam, udah siap-siap buat tidur sebentar. Tapi tiba-tiba pintu terbuka, bikin Renjun mendengkus saat intip siapa pelakunya.

“Dimana yang jaga UKS?”

“Cari makan.” Renjun jawab tanpa buka matanya, dia bisa ngerasain langkah kaki mendekat dan ranjang di sebelahnya ditempati, belum lagi kedengar suara ringisan.

Meski dikenal sebagai orang yang cuek tapi Renjun masih punya sisi kemanusiaan, dia masih bisa ngerasain simpati saat lihat orang yang hidungnya berlumuran darah. Renjun mendengkus, lirik sosok anak baru yang nutupin hidungnya pake tangan sampai tangannya berlumuran darah. Shit, apa ini manusia gak tau yang namanya air sama tisu?

“Di atas meja ada tisu, di pojok kiri ada pintu kamar mandi.”

Kalau sosok anak baru itu punya otak atau setidaknya sedikit kepintaran pasti dia ngerti apa maksud Renjun, 'kan?

Tapi bukannya segera ngambil tisu atau pergi ke kamar mandi, sosok anak baru itu—Jeno, malah terdiam natap Renjun sangsi.

“Lo ngomong sama gue?”

Ya kali ngomong sama setan. Renjun mendengkus pelan, lebih milih memejamkan mata dan mengabaikan lelaki di sampingnya.

Keadaan langsung hening, cuma ada suara AC dan suara siswa dari luar ruangan. Jeno berdecak karena diabaikan, dia ngambil tisu dan elap hidungnya yang berdarah. Ini gara-gara Hyunjin yang gak sengaja ngelempar bola tepat ke hidungnya sampe mimisan kayak gini, sebenernya ini salah Jeno juga yang bengong karena beberapa saat lalu lihat Renjun yang pingsan dan digendong sama Haechan. Dia udah sadar dari jam pelajaran pertama wajah Renjun udah pucat, tapi sedikit gak nyangka juga kalo lelaki itu bakal pingsan.

Dan jujur aja saat cowok itu ngomong pertama kali padanya setelah kepindahannya ke sini itu cukup ... Mengagetkan?

Mereka gak pernah bertukar obrolan sejak terakhir kali Renjun nyuruh Jeno buat gak ngajak ngobrol. Meski mereka sebangku tapi keduanya bersikap seolah duduk sendiri. Jujur sejujurnya, sebenarnya Jeno gak nyaman kayak gini, dia ngerasa jadi manusia jahat meski dia gak ngelakuin apa-apa. Bisa aja dia terus bersikap seolah Renjun gak ada, tapi emangnya mereka bakal bertahan di keadaan kayak gitu terus?

“Sebenernya gue gak ngerti kenapa lo bersikap sinis sama gue dari awal, padahal kita baru aja ketemu.” Jeno meringis saat usap hidungnya yang gak keluar darah sebanyak tadi, dia masih ngusapin tisu di sekitaran hidungnya. “Kalo gue bikin lo gak nyaman atau punya salah sama lo, gue minta maaf. Jujur aja sih gue gak nyaman seolah duduk sama tembok, kalo kita gak bisa jadi temen seenggaknya kita gak harus bersikap kayak musuh gini, kan? Gue cuma pengen sisa masa sekolah gue berjalan tenang dan sikap lo malah bikin gue gak tenang.”

Sekaligus penasaran.

Jeno gak bohong kalo dia mulai penasaran sama Renjun, tapi bukan berarti dia mau menyentuh ranah kehidupan teman sebangkunya itu juga. Jeno hanya penasaran sama beberapa hal akan lelaki itu, dan lagi, dia berharap rasa penasarannya hanya sementara.

Selama beberapa saat gak ada balasan apapun. Renjun masih tiduran di atas ranjang dengan mata terpejam dan deru napas tenang, yang mana bikin Jeno mendengkus pelan. Kayaknya percuma, iya 'kan? Tisu di ambil lagi, kali ini buat menjejalkan ke dalam lubang hidungnya, tangannya udah lumayan bersih dari darah tapi hidungnya masih mengeluarkan darah meski sedikit. Lemparan bola Hyunjin gak main-main, hidung Jeno rasanya mau patah.

Jeno nyerah, sekarang dia gak peduli Renjun mau bersikap gimanapun. Kayaknya emang tindakan yang sia-sia ngomong kayak gini, Renjun gak akan pernah peduli. Dengan rasa kesal didada, Jeno turun dari kasur dan berjalan ke arah pintu, tindakan yang sia-sia ternyata datang ke UKS, urusan hidungnya bisa diobati di rumah nanti, ekstensi Renjun malah bikin dia muak.

“Hanya ....”

Langkah Jeno terhenti saat suara parau terdengar di belakangnya, pintu udah di depan mata tapi Jeno lebih memilih berbalik badan, kedua matanya langsung disuguhi Renjun yang sedang duduk, menatapnya ... Kosong?

Tatapan Renjun terlihat kosong dan itu bikin hati Jeno mencelos.

“Hanya gak usah ngomong sama gue, abaikan kehadiran gue. Lakukan hal yang kayak anak lelaki di kelas lakukan. Gue minta maaf kalo perlakuan gue bikin lo tersinggung dan marah, gue gak bermaksud bikin kita jadi musuh, hanya ....” Kalimat Renjun menggantung, lelaki itu mengambil napas sambil memejamkan matanya, terlihat begitu lelah. “Hanya cukup abaikan kehadiran gue, bersikap gue gak ada, jangan peduliin gue kayak anak-anak cowok lain, lo pasti bisa ngelakuin itu, 'kan?” Napas diembuskan pelan, Renjun mendongak dan natap Jeno, tersenyum kecil.

“Lagian kita orang asing, Jeno. Kita gak saling kenal, harusnya itu bukan tindakan yang susah buat dilakukan. Lo juga pasti pernah ngelakuin ini, kan? Nganggap orang lain gak ada atau gak peduli sama kehadirannya, harusnya ini bukan masalah gede.”

Jeno terdiam, sejujurnya terkejut sama kata-kata Renjun. Juga, ini pertama kalinya sejak kepindahannya ke sini dia denger teman sebangkunya itu menyebut namanya, bener-bener nyebut namanya.

Dan untuk alasan yang gak diketahui, Jeno suka saat Renjun menyebut namanya.

“Gue gak ngerti,” suara Jeno mengalun pelan, dia mengerjap bingung. Kenapa bisa ada orang se ... apatis ini?

Renjun terkekeh hambar. “Gue tau lo penasaran tapi gue mohon, kubur dalam-dalam rasa penasaran lo kalo lo bahkan gak bisa bertanggungjawab atas konsekuensinya.”

Ya, Jeno gak menyangkal kalo dia emang penasaran, tapi bahkan dia melupakan poin pentingnya sebelum Renjun mengucapkan tadi: sebuah konsekuensi.

“Jangan mendobrak dinding yang orang buat susah payah, Jeno.”

Lagi, lagi, lagi.

Jeno mengerjap, kebingungan sendiri saat telinganya malah terpaku sama kata “Jeno” yang terucap dibelah bibir Renjun. Dia terdiam, memerhatikan Renjun yang mulai bergerak untuk turun dari ranjang, dari sekali lihat pun Jeno tau kalo Renjun membutuhkan usaha yang lebih untuk itu, dan ya, badan yang jatuh ke lantai itu udah dia prediksi akan terjadi saat lihat badan Renjun yang lemah.

BRUK!

Langkah kakinya tanpa sadar mendekat cepat, menangkap badan Renjun, membantunya untuk gak semakin jatuh.

Dekat, terlalu dekat jarak mereka. Jeno pegang kedua bahu Renjun erat, hawa badan lelaki itu terasa panas, dalam jarak dekat Jeno bisa lihat wajah Renjun yang pucat dan berkeringat, sedikit menggigil.

“Apa lo kira semua manusia itu apatis kayak lo, Renjun?”

Renjun mendongak, tersenyum sinis. “Bukannya emang kayak gitu?”

Ah, sekarang Jeno paham poin pentingnya.

“Tapi bukan berarti bisa lo sama ratakan semuanya,” ucap Jeno penuh penekanan, tanpa sadar pegangannya dibahu Renjun menguat. Rasanya kesel bercampur marah tanpa alasan yang jelas. Bukan berarti Jeno peduli juga, tapi pemikiran Renjun yang kayak gini malah bikin dia muak.

Jeno hanya gak tau alasannya.

Renjun terdiam, mengernyit risih saat hidungnya mencium bau tubuh lelaki di depannya, tanpa sadar dia dorong badan Jeno kasar sampai jatuh ke lantai.

Fuck—”

“Lo bau hujan.”

Jeno terkejut. “Hah?”

Ketiaknya Jeno cium, dia natap Renjun aneh, dibandingkan hujan, badannya malah bau keringat. Sedangkan Renjun sendiri terlihat gelisah, bola matanya bergerak acak, cowok itu bangkit berdiri dan natap Jeno ... ketakutan? Wajah Renjun kelihatan takut dan risih.

“Sekarang ada satu alasan lagi kenapa kita emang gak seharusnya deket. Jauhin gue, please? Kalo kita deket pun gak ada untungnya buat lo ini, 'kan? So, jauhin gue.” Tanpa ngomong lebih jauh lagi Renjun langsung melesat pergi dari UKS, meninggalkan Jeno yang masih duduk menatap kepergian Renjun dengan bingung.

Apa itu tadi?

Hidungnya mengendus-endus badannya lagi, Jeno gak ngerti bau hujan yang Renjun maksud. Badannya malah lebih ke bau asem dan keringat karena tadi sempat lari dan main bola. Lagian emang ada gitu bau hujan? Emang hujan berbau? Jeno berdecak, bangkit berdiri, dari tadi hidungnya masih tersumpal tisu.

“Emang aneh itu orang.”

“Eh, kak Renjun-nya mana?”

Begitu berbalik Jeno langsung disuguhi perempuan cantik yang pegang piring, terlihat kebingungan. Ah, pasti penjaga UKS.

“Ke Wakanda mau mulung akhlak.”

Ngaco!

Saat Haechan datang, Renjun sedang bersembunyi dibalik selimut di atas sofa ruang tamu. Dengan tubuh yang bergetar dan headphone terpasang ditelinga, Renjun meringkuk seperti bayi tak berdosa, berhias lelehan air mata pada wajahnya. Satu kata yang terlintas dikepala Haechan saat itu:

Menyedihkan.

Hujan turun sangat lebat, disertai petir dan angin kencang, maka gak heran saat kedua matanya disuguhi keadaan sahabatnya yang kayak gini. Untungnya gak mati lampu, kalau beneran iya, itu udah jadi masalah.

Renjun dan hujan gak pernah bersahabat.

I'm here.” Haechan berbisik, tarik badan Renjun dan peluk tubuhnya yang masih bergetar. Terdengar isakan kecil, Renjun langsung balas peluk Haechan erat; membenamkan wajahnya dileher sang sahabat.

You're here, you're here.”

“Mau pindah ke kamar?”

Renjun langsung mengangguk cepat, Haechan tersenyum sendu. Tanpa banyak kata dia tarik kedua paha Renjun supaya kakinya melilit pinggangnya. Saat Renjun udah siap, dia langsung berdiri dan pergi ke arah kamar sahabatnya dilantai atas. Rumah Renjun itu gak terlalu besar tapi juga gak terlalu kecil, bertingkat dua. Tapi Haechan tau, disaat kayak gini, rumah Renjun jadi terasa lebih luas dan besar, lebih terasa menyeramkan, mencekik, untuk Renjun sendiri.

“Kenapa gak di kamar aja?”

“Nunggu lo.”

Haechan menghela napas panjang saat belakang bajunya diremat kuat berbarengan dengan petir yang menggelegar. Langkah kakinya dia percepat menuju kamar Renjun dan saat dirinya udah ada di dalam, rasa lega menghampiri, sedikit. Kamar Renjun dibuat kedap suara, jadi suara hujan dan petir diluar sana gak terlalu terdengar, kalau dalam keadaan biasa Haechan pasti udah marah-marah, kenapa Renjun gak berdiam diri dikamar aja? Tempat yang setidaknya lebih buat rasa takutnya menurun. Tapi ini Huang Renjun, sosok sahabat yang punya sifat keras kepala yang terkadang buat Haechan frustasi sendiri. Menghela napas panjang, Haechan menurunkan badan Renjun di atas kasur, badan lelaki itu masih bergetar meski gak sekencang tadi.

“Hujan dan petirnya terlalu gede, gue gak bisa.” Ucapan Renjun terbata-bata, bibir bergetar, matanya berair, hati Haechan mencelos, dia berjongkok di depan Renjun, lepas headphone yang masih terpasang ditelinga sahabatnya dan tangkup kedua pipi yang terasa dingin ditelapak tangannya.

“Lo bisa, Huang Renjun selalu bisa, perlahan Cil, perlahan, oke?”

Bukannya tenang, Renjun malah semakin keras menangis, dia tarik badan Haechan buat dipeluk. Satu-satunya yang dia perlukan sekarang adalah pelukan dan kata penenang.

Ini bahkan udah terlewat beberapa tahun, tapi dampaknya masih sama, meski gak terlalu parah tapi Haechan tetap gak bisa lihat sahabatnya saat ada diposisi kayak gini. Haechan seolah bisa ngerasain rasa sakit Renjun, segala ketakutannya, dan itu bikin dadanya sesak.

Tanpa banyak kata Haechan naik ke atas kasur, tarik Renjun buat berbaring dan dipeluk erat. Lelaki itu menelusupkan wajahnya di perpotongan leher Haechan dan melilitkan kedua tangan di pinggangnya yang langsung Haechan balas peluk erat. Selimut ditarik buat membungkus tubuh keduanya, tangan Haechan perlahan mengelus rambut Renjun dan nekan sebelah pipinya ke kepala lelaki itu.

“Mau dinyanyiin?”

Renjun mengangguk, mata terpejam, pelukannya mengerat. “Hu'um.”

Terdiam sebentar, Haechan berdehem.

Daydream Life feels like a daydream And I just wish that I could wake up I just wish that I could wake up My mind Whispers in the nighttime Voices always keeping me up Telling me that I should give up

Dan suara Haechan langsung mengisi pendengarannya. Suara yang selama ini menemani malam-malam dan harinya disaat hujan datang, disaat mimpi buruknya datang. Renjun mencelos, air mata mengalir membasahi leher sahabatnya, dadanya sesak, ketakutan akan hal yang sangat dibencinya sungguh membuatnya seperti manusia gak berdaya, menyedihkan. Renjun benci saat dia harus jadi lemah hanya karena hal sepele, hanya karena hal yang pasti bikin orang tertawa.

Renjun benci hujan, tapi juga ketakutan akan hal itu.

Segala hal tentang hujan membuatnya mengingat kenangan yang gak pernah dia ingin untuk ingat. Renjun benar-benar benci hujan yang membuatnya merasakan takut.

I don't wanna be sad forever I don't wanna be sad no more I don't wanna wake up and wonder What the hell am I doing this for? I don't wanna be medicated I don't wanna go through that war I don't wanna be sad, I don't wanna be sad I don't wanna be sad anymore

Kenapa? Bahkan udah terlewat beberapa tahun, tapi kenapa rasa takut itu selalu ada? Kenapa rasa takut itu kukuh menetap? Kenapa rasa takut itu masih menguasai?

Don't go.”

Haechan menghentikan nyanyiannya saat lirihan terdengar, dia usap punggung Renjun. “I'm here, always with you,” bisikannya mengalun lirih, dia bisa ngerasain basah di pipinya.

Thank you.”

Even though you never saw me.

“Renjun, bawa kuas gak? Boleh pinjem?”

Suara berat Felix diantara teriakan anak-anak yang sedang bermain perang-perangan membuat Jeno mendongak dari gawai yang dipegangnya. Hal yang mengherankan, ini pertama kalinya dia melihat lelaki lain dikelas ini kecuali Haechan yang mengajak atau setidaknya bertanya pada Renjun.

“Ada dilaci meja, ambil aja.”

“Oke,” Felix tersenyum lebar meski Renjun hanya melirik sekilas dan kembali menatap kukunya yang menjadi korban kekejaman Shuhua dan Saeron yang sedang cekikikan.

Badan Jeno menegak saat Felix berjalan ke arahnya, lelaki ber-frekless itu tersenyum. “Pasti masih canggung, ya?”

“Ah, iya,” Jeno mengangguk kaku. “Lagian baru dua hari, gue butuh beradaptasi.” Ucapnya, memerhatikan Felix yang berjongkok di sisi kiri meja mencari kuas dilaci Renjun.

“Asal jangan gila kayak yang di depan aja ya?” Felix terkekeh, “biasanya Jaemin pasti ngajak orang buat kumpul dan ngobrol ngalur-ngidul, biar bisa beradaptasi gitu soalnya gue juga anak baru waktu kelas 10. Tapi kayaknya dia lagi seru main catur sama Seungmin, mereka emang gak bisa diganggu kalo main catur.”

“Ah, I see.”

Seusai mendapatkan barang yang dicari, bukannya segera beranjak, Felix malah duduk dibangku Renjun dan menatap Jeno, tersenyum kecil. Kelas mereka dipenuhi teriakan anak lelaki yang sedang bermain perang-perangan layaknya anak kecil, bahkan terdengar gebrakan meja pula. Disebelah kiri Jeno, ada Ryujin, Yeji dan Siyeon yang sedang mabar sambil menggebrak meja, tentunya diiringi umpatan. Keadaan kelas sebenarnya cukup kacau, apalagi Jaemin sendiri yang selaku ketua kelas terlihat masa bodo melihat kelasnya tak kondusif.

“Mau nanya apa? Kali aja lo mau nanya sesuatu tentang kelas kita, berhubung Jaemin kayaknya emang gak bisa diganggu,” tanya Felix, menawarkan diri menjadi informan dadakan. Jeno terkekeh, lelaki itu terlihat ramah sangat beda dengan sosok yang menjadi teman sebangkunya.

Oke, stop it, Jeno.

Eum, sebenernya ada yang bikin gue penasaran banget sih.”

Tatapannya terarah ke meja Shuhua dan Saeron di depan sana, lebih tepatnya ke arah Renjun yang kedua tangannya sedang dihiasi berbagai macam kuteks warna warni. Felix yang mengikuti arah pandangan Jeno langsung mengerti, dia terkekeh.

“Ah, Renjun ya?” Felix berbisik, “Gak heran sih, hal pertama yang lo herankan di kelas ini pasti dia, apalagi kalian satu meja. Tapi kalo lo mau tanya hal tentang Renjun, bukan sama gue orangnya. Lo bisa tanya Haechan, mereka sahabatan dari kecil, rumah mereka aja satu komplek. Tapi kayaknya Haechan gak bakal ngasih tau lo semudah itu, karena semua orang di kelas ini tau gimana Haechan ngejaga dan ngelindungin Renjun.”

Ah, gak mengherankan melihat dari grup chat malam tadi.

“Tapi kalo lo penasaran banget bisa tanya sama Jaemin, dia lumayan tau hal tentang Renjun karena mereka emang lumayan deket.”

Jeno terkekeh kecil, melirik Renjun sekilas lalu pada Felix di sampingnya, dia menggeleng pelan. “Gue gak sepenasaran itu kok, cuma ya heran aja kenapa dia gak gabung sama cowok sementara semua cowok di kelas ini pada berbaur. Dia gabungnya malah sama cewek.”

“Ah, itu.” Felix mengangguk seolah paham, jari-jarinya mengetuk permukaan meja, dia menatap Renjun lalu pada Jeno dan tersenyum. “Lo bakal tau nanti kok.”

Bakal tau apa?

Sebelah alis Jeno terangkat, lalu mengangguk. Sejujurnya dia gak sepenasaran itu, lagipula itu urusan orang, belum lagi orangnya juga nyebelin. Dia hanya sekadar penasaran, gak lebih. Jeno gak suka mencampuri urusan hidup orang lain karena dia juga gak suka saat urusan hidupnya dicampuri. Selama ini dia hanya mencari ketenangan, dan kayaknya dia harus berhenti penasaran sama chairmate-nya sendiri kalau mau hidupnya tenang seperti apa yang dia harapkan.

“Ngomong-ngomong tentang grup chat semalam, jangan diambil ke hati ya? Maksudnya tentang Hyunjin sama Eric yang nyebelin dan mancing-mancing Renjun. Sebenarnya mereka baik kok, apalagi Hyunjin. Itu cowok mulutnya emang nyebelin, tapi saat lo akrab dia bakal jadi orang yang asik, meski yaa sikapnya emang drama king.”

“Oke?” Jeno mengangguk ragu. Sebenarnya penjelasan Felix bahkan tak dia butuhkan, maksudnya dia juga gak terlalu peduli bagaimana seseorang memperlakukan orang lain, pengecualian saat memperlakukan dirinya. Tapi sepertinya Felix emang berniat baik untuk tak membuat Jeno memandang buruk teman-temannya.

Felix masih belum beranjak. Keadaan kelas lumayan hening, sedikit, karena para lelaki yang bermain tadi kini malah duduk di atas lantai di depan sana sambil mengobrol (alias melempar cacian). Suasana diantara mereka sedikit canggung, atau mungkin itu hanya Jeno saja yang merasakan karena Felix sendiri terlihat santai-santai saja.

“Jangan tertipu sama sikap pendiam dan badan kecilnya Renjun.” Felix bersuara lagi, menghentikan Jeno dari acara menatap gawainya. Dia menatap Felix dengan pandangan bertanya dan bingung.

“Oke?”

Felix terkekeh. “Gitu-gitu Renjun pernah nonjok Hyunjin sampe mimisan, pernah ngehajar dua preman yang gangguin Yeji sama Shuhua sendirian. Tenaganya gak main-main.”

Uhm, itu hal yang wajar, 'kan?” Jeno tatap Felix kebingungan, “Maksudnya ya 'kan dia cowok, mau badannya kecil atau besar, pendiam atau pecicilan pasti minimal dia bisa nonjok orang dan bela diri buat ngejaga dirinya sendiri.”

Felix terdiam cukup lama, tatap Jeno takjub seolah dia adalah alien. Eh, apa Jeno salah berucap?

Ugh, sorry. Gue kira lo jenis orang yang menilai seseorang dari badan atau penampilannya, makanya gue ngasih tau ini. Soalnya Hyunjin pernah ngeremehin badan Renjun yang kecil, dia kira Renjun gak bisa tonjok-tonjokan, eh dia sendiri yang ngerasain tonjokannya.”

Jeno mengangguk paham.

Sorry ya?” Felix garuk tengkuknya, terlihat merasa bersalah yang buat Jeno tersenyum maklum.

“Bukan masalah gede.”

Felix mengangguk, bangkit berdiri, sepertinya dia akan pergi dari bangku Renjun. “Oh iya lo udah tau 'kan kalo istirahat nanti kita sekelas bakal makan bareng di pinggir lapangan bola?” Lelaki itu kembali duduk, tatap Jeno yang pasang wajah kebingungan.

“Engga?”

“Ah, kayaknya Jaemin atau Yeji lupa ngasih tau. Tiap hari Rabu kita emang sering bawa bekal dari rumah dan makan bareng-bareng dipinggir lapangan bola, itu ide Jaemin, katanya biar kita makin akrab. Kalo lupa gak bawa bekal biasanya kita beli di kantin. Lo harus ikut ya? Soalnya ini agenda wajib kelas, Renjun yang gak pernah berbaur sama cowok aja selalu ikut.”

Jeno mengernyit, apa lagi ini? Wajahnya terlihat kebingungan yang buat Felix terkekeh dan menepuk bahunya.

“Santai aja, Jen. Kalo lo udah beradaptasi sama kelas ini, lo bakal nemuin kalo kelas kita itu lebih dari hanya sebuah kelas. Lo beruntung banget masuk kelas ini.”

Beruntung? Sialnya Jeno gak merasa seperti itu. Dia mengangguk dan tersenyum menjawab ucapan Felix, lelaki itu berdiri dan siap-siap pergi.

“Semoga gue emang beruntung.”

Felix tertawa. “Semoga. Dan maaf ya kalo gue banyak omong atau bikin lo gak nyaman. Kasian aja sih gue liat lo duduk sendiri kayak anak ilang.”

“Sialan lo.” Jeno tertawa, agak miris memang karena dia belum akrab dengan teman sekelasnya, lagipula ini baru hari ke dua, masih tersisa hari yang lain untuk mengakrabkan diri

“Ya udah gue pergi ya? Mau nyelesain gambar gue. Dah!”

Jeno hanya mengangguk melihat Felix yang kembali ke tempat duduknya. Well, padahal tempat duduk mereka sangat berdekatan karena meja di kelas ini yang hanya berjumlah 8 buah, maksudnya Felix gak perlu pamitan sampai sebegitunya seolah jarak mereka sangat jauh.

Tanpa sadar Jeno tersenyum kecil, semoga manusia-manusia di kelas ini bisa memberinya ketenangan yang selama ini dia cari. Yah, meski Jeno ragu sebenarnya, mengingat ada satu manusa menyebalkan dan aneh yang seolah telah mengibarkan bendera perang sejak kedatangannya.

Siapa lagi kalau bukan Renjun?

Namanya Lee Jeno.

Anak baru yang jadi objek gosip grup kelasnya kemarin malam itu namanya Jeno. Seperti kata Jaemin, dia laki-laki dan seperti kata Shuhua juga, anak baru itu duduk tepat dibangku Renjun. Karena emang meja yang Renjun tempati itu satu-satunya yang tersisa.

Nah, lalu bagaimana keadaan Renjun sekarang yang bangku di sebelahnya akhirnya gak kosong lagi?

“Pengkhianat!”

Oh, tentu aja kesal, marah, campur aduk.

Haechan terkekeh dengar bisikan di belakangnya, dia menoleh melalui bahu dan nyengir lebar saat melihat wajah sahabatnya yang tertekuk. “I love you too,” bisiknya jahil, yang tentu aja bikin kekesalan Renjun bertambah.

Kalau aja jam pelajaran gak berlangsung dan yang mengajar sekarang itu guru killer, leher Haechan udah pasti bakal jadi korban pitingan mau Renjun.

Yah, selamatlah leher Haechan hari ini.

Tapi ngomong-ngomong tentang anak baru, Renjun belum kenalan sama teman sebangkunya itu. Saat duduk tadi, lelaki itu hanya tersenyum yang Renjun balas dengan senyum terpaksa. Hei, bagaimana pun Renjun masih gak rela singgasananya ada yang menempati.

“Gue boleh pinjem buku catatan lo gak?” Suara berat dari arah kanannya bikin Renjun menoleh, dia tatap lelaki yang senyum lebar sampai kedua matanya menyipit itu dengan datar. “Eh, belum kenalan ya? Gue Jeno.” Tangan tersodor di hadapannya, tapi Renjun hanya diam tatap tangan besar itu dan wajah teman sebangkunya bergantian.

“Renjun, lo bisa pinjem sama sekretaris kelas, catatan dia lebih lengkap,” tangan itu terabaikan, Renjun fokus menulis lagi tanpa peduli wajah kesal lelaki di sampingnya. “Namanya Saeron, duduk di barisan paling depan sama cewek yang kukunya warna-warni.”

Wajah Jeno terlihat kesal, tangannya ditarik lagi. Ya siapa juga yang gak kesal saat sikap ramah tamahnya dibalas sebegini ketusnya? Belum lagi wajah terganggu dari teman sebangkunya yang terlihat sangat jelas. Hei, apa Jeno semengganggu itu apa? Padahal dia cuma bertanya, ya kalau gak mau pun bisa ditolak dengan halus, iya kan?

Well, kayaknya kita gak bakal jadi temen,” Jeno berbisik, matanya mendelik sinis sembari lanjut menulis. Siapa juga yang mau berteman sama manusia yang terlihat sombong dan nyebelin ini? Pasti gak ada, dan Jeno termasuk salah satunya. Dia hanya ingin sisa masa sekolahnya berjalan lancar dan tenang, maka menjauhi Renjun sepertinya adalah tindakan yang benar, lagipula lelaki itu juga gak terlihat mau berteman sama Jeno, jadi buat apa Jeno berusaha mendekat?

Tanpa disangka, Renjun tersenyum lebar dan menatap Jeno dengan mata berbinar. “Bagus, jauhin gue, kita emang gak bakal cocok jadi temen. Kalo kita ketemu nanti dimana pun itu, cukup bersikap pura-pura gak kenal, oke?” Renjun tarik tangan Jeno dengan paksa dan dia ajak salaman, senyumnya semakin melebar. “Ah, bagus! Ternyata lo bisa diajak kerjasama. Jauhin gue, oke? Jauhi gue!”

Selama 18 tahun Jeno menghirup udara, dia baru pertama kali bertemu sama sosok manusia aneh kayak gini.

“Lo aneh,” bisik Jeno pelan, matanya terasa perih disuguhi senyuman lebar (yang sejujurnya terlihat uhuk manis uhuk) itu.

“Semua manusia dikelas ini itu aneh, siap-siap aja lo bakal jadi ikutan aneh.”

Dan wajah Renjun kembali datar seperti semula, cara bicaranya pun sama ketusnya.

Jeno mendengkus. Great, di hari pertama sekolahnya dia udah dapat musuh (atau begitu dia menyebutnya) yang aneh dan menyebalkan. Padahal dia hanya ingin ketenangan.

Ah, kayaknya Jeno harus menjauhi Renjun aja, iya kan?