Perseteruan
Sesuai prediksi Haechan, Renjun langsung tumbang begitu mereka disuruh lari keliling lapangan yang besarnya bikin ngelus dada. Meski kesel karena sikap bandel Renjun yang hadir gak tau tempat, tapi tetep aja dia yang paling khawatir dan panik saat badan Renjun roboh: jatuh pingsan. Kakinya langsung berlari begitu matanya tangkap badan Renjun yang jatuh, tanpa disuruh pun dia langsung pergi ke UKS begitu Renjun udah ada digendongannya.
Rasanya pengen marah, pengen mencak-mencak, kalau perlu sampai liurnya muncrat.
“Gimana? Enak pingsan?”
Renjun mulai sadar begitu mereka sampai di UKS, lelaki itu lagi berbaring di atas ranjang. Wajahnya pucat, badannya panas, udah dipastikan Renjun lagi demam.
“Gak enak lah, enak mah seblak kali.” Renjun cemberut, suaranya terdengar parau. Kepalanya pusing, tenggorokannya sakit dan pas sadar bukannya disuguhi air, malah kena semprotan sama tatapan tajam. Kasian.
“Bandel banget, heran.” Greget banget gak sih? Haechan rasanya pengen nabok Renjun, tapi sayang.
Sayang nanti dia ditabok balik maksudnya.
“Ini minumnya, Kak.”
Mereka berdua noleh begitu suara lembut terdengar. Ada sosok perempuan cantik yang nyodorin gelas berisi air putih yang langsung Haechan ambil. Adik kelas yang bertugas jaga UKS di jam sekarang, Lami namanya.
“Makasih ya, Dek.” Haechan senyum, dagunya bergerak tunjuk Renjun yang masih terbaring. “Dia beneran gakpapa, 'kan?”
“Iya, Kak Renjun cuma demam. Minum obat pereda panas sama makan juga mendingan.” Lami tersenyum kikuk, bergerak gusar. Maklum, ditatap sedemikian rupa sama kedua kakak kelasnya cukup bikin gugup, padahal itu jelas bukan tatapan apa-apa tapi tetap aja rasanya terintimidasi, belum lagi salah satu kakak kelasnya 'kan terkenal berandalan. “Ta-tapi kalo dalam beberapa jam panasnya masih belum turun mending dibawa ke rumah sakit aja, Kak. Takutnya jadi parah,” cicitnya gugup.
Haechan mengangguk, bantu Renjun buat duduk dan langsung nyodorin gelas berisi air.
“A-aku ambil obatnya dulu ya, Kak.”
Entah karena gugup atau karena tampang Haechan yang terlalu preman, Lami langsung pergi menuju ujung ruangan di mana lemari penyimpanan obat berada, meninggalkan Haechan yang mendengkus dan Renjun yang terkekeh.
“Sekarang lagi penilaian bulanan, mending lo balik sana, gue bisa sendiri.” Renjun berucap begitu isi gelasnya tandas, dia tatap Haechan yang simpan gelas di atas nakas samping ranjang.
Haechan menggeleng, bersedekap tatap Renjun tajam. “Gak mau, nanti lo sendiri di sini.”
“Hyuck, jangan mulai.”
“Jangan mulai apa?”
Ah, mulai lagi mereka.
Renjun harus mendongak biar bisa tatap Haechan yang berdiri menjulang di depannya. Tatapannya datar, Renjun paling benci saat mereka harus beradu argumen kayak gini. Segala adu argumentasi mereka selalu berakhir gak baik.
“Bisa berhenti gak memperlakukan gue kayak orang lemah? Gue gak suka. Sikap lo terlalu berlebihan, gue bukan anak kecil, gue juga bukan manusia berpenyakitan, Hyuck.”
Kalimat itu mungkin udah gak terhitung berapa kali keluar dari mulut Renjun, tapi tetep aja saat mendengarnya Haechan masih gak percaya, rasanya tetep kesal bercampur amarah. Haechan bahkan gak pernah nganggap Renjun lemah, tapi kenapa Renjun seolah diperlakukan kayak manusia lemah? Haechan hanya khawatir, apa itu salah?
Haechan terkekeh hambar, tatap Renjun gak percaya. “Gue berlebihan?”
“Hyuck, please.”
Suasana terasa tegang, keduanya bertatapan dengan ekspresi yang berbeda. Haechan jelas eskpresi kesal yang malah kelihatan kayak mau ngajak seseorang buat berantem, disisi lain wajah Renjun terlihat memelas dan pucat.
“Lo memohon buat apa, Renjun?”
Bibir Renjun terkatup rapat, kelopak mata terpejam bersama embusan napas yang keluar pelan. Banyak hal yang gak bisa Renjun tangani sendiri, salah satunya adalah hal ini: sikap Haechan yang kayak gini.
Di sisi lain Haechan tertawa, terdengar sendu. Kelopak mata Renjun terbuka dan mereka bertatapan.
“Oke, fine.”
Langkah menjauh Haechan adalah satu-satunya yang buat beban dipunggungnya terasa memberat.
Ah, kenapa selalu berakhir kayak gini?
“Eum, Kak Renjun?”
Renjun noleh, ada sosok Lami yang berdiri gugup dengan obat ditangan. Oh, pasti perempuan itu lihat pertengkarannya sama Haechan. Renjun coba tarik bibirnya buat senyum. “Maaf harus bikin lo ngelihat hal tadi, tolong anggap aja gak pernah terjadi, ya?”
Lami mengangguk kaku, berjalan mendekat. “Kak Renjun udah makan belum? Perutnya harus terisi dulu sebelum minum obat.”
“Udah sih tadi pagi bubur dua suap.”
“Berarti perut Kak Renjun kosong, bentar ya aku beli nasi dulu.”
Belum sempat jawab, Lami udah keburu pergi bikin Renjun menghela napas panjang. Suasana UKS itu sepi, cuma ada dia doang di ruangan yang gak terlalu besar dan bau obat-obatan ini. Kepalanya pusing, badannya agak panas saat dahinya Renjun raba, belum lagi rasa lemas luar biasa. Sial, Renjun bener-bener benci saat dia ada di posisi lemah kayak gini.
Punggung nyentuh permukaan ranjang, matanya terpejam, udah siap-siap buat tidur sebentar. Tapi tiba-tiba pintu terbuka, bikin Renjun mendengkus saat intip siapa pelakunya.
“Dimana yang jaga UKS?”
“Cari makan.” Renjun jawab tanpa buka matanya, dia bisa ngerasain langkah kaki mendekat dan ranjang di sebelahnya ditempati, belum lagi kedengar suara ringisan.
Meski dikenal sebagai orang yang cuek tapi Renjun masih punya sisi kemanusiaan, dia masih bisa ngerasain simpati saat lihat orang yang hidungnya berlumuran darah. Renjun mendengkus, lirik sosok anak baru yang nutupin hidungnya pake tangan sampai tangannya berlumuran darah. Shit, apa ini manusia gak tau yang namanya air sama tisu?
“Di atas meja ada tisu, di pojok kiri ada pintu kamar mandi.”
Kalau sosok anak baru itu punya otak atau setidaknya sedikit kepintaran pasti dia ngerti apa maksud Renjun, 'kan?
Tapi bukannya segera ngambil tisu atau pergi ke kamar mandi, sosok anak baru itu—Jeno, malah terdiam natap Renjun sangsi.
“Lo ngomong sama gue?”
Ya kali ngomong sama setan. Renjun mendengkus pelan, lebih milih memejamkan mata dan mengabaikan lelaki di sampingnya.
Keadaan langsung hening, cuma ada suara AC dan suara siswa dari luar ruangan. Jeno berdecak karena diabaikan, dia ngambil tisu dan elap hidungnya yang berdarah. Ini gara-gara Hyunjin yang gak sengaja ngelempar bola tepat ke hidungnya sampe mimisan kayak gini, sebenernya ini salah Jeno juga yang bengong karena beberapa saat lalu lihat Renjun yang pingsan dan digendong sama Haechan. Dia udah sadar dari jam pelajaran pertama wajah Renjun udah pucat, tapi sedikit gak nyangka juga kalo lelaki itu bakal pingsan.
Dan jujur aja saat cowok itu ngomong pertama kali padanya setelah kepindahannya ke sini itu cukup ... Mengagetkan?
Mereka gak pernah bertukar obrolan sejak terakhir kali Renjun nyuruh Jeno buat gak ngajak ngobrol. Meski mereka sebangku tapi keduanya bersikap seolah duduk sendiri. Jujur sejujurnya, sebenarnya Jeno gak nyaman kayak gini, dia ngerasa jadi manusia jahat meski dia gak ngelakuin apa-apa. Bisa aja dia terus bersikap seolah Renjun gak ada, tapi emangnya mereka bakal bertahan di keadaan kayak gitu terus?
“Sebenernya gue gak ngerti kenapa lo bersikap sinis sama gue dari awal, padahal kita baru aja ketemu.” Jeno meringis saat usap hidungnya yang gak keluar darah sebanyak tadi, dia masih ngusapin tisu di sekitaran hidungnya. “Kalo gue bikin lo gak nyaman atau punya salah sama lo, gue minta maaf. Jujur aja sih gue gak nyaman seolah duduk sama tembok, kalo kita gak bisa jadi temen seenggaknya kita gak harus bersikap kayak musuh gini, kan? Gue cuma pengen sisa masa sekolah gue berjalan tenang dan sikap lo malah bikin gue gak tenang.”
Sekaligus penasaran.
Jeno gak bohong kalo dia mulai penasaran sama Renjun, tapi bukan berarti dia mau menyentuh ranah kehidupan teman sebangkunya itu juga. Jeno hanya penasaran sama beberapa hal akan lelaki itu, dan lagi, dia berharap rasa penasarannya hanya sementara.
Selama beberapa saat gak ada balasan apapun. Renjun masih tiduran di atas ranjang dengan mata terpejam dan deru napas tenang, yang mana bikin Jeno mendengkus pelan. Kayaknya percuma, iya 'kan? Tisu di ambil lagi, kali ini buat menjejalkan ke dalam lubang hidungnya, tangannya udah lumayan bersih dari darah tapi hidungnya masih mengeluarkan darah meski sedikit. Lemparan bola Hyunjin gak main-main, hidung Jeno rasanya mau patah.
Jeno nyerah, sekarang dia gak peduli Renjun mau bersikap gimanapun. Kayaknya emang tindakan yang sia-sia ngomong kayak gini, Renjun gak akan pernah peduli. Dengan rasa kesal didada, Jeno turun dari kasur dan berjalan ke arah pintu, tindakan yang sia-sia ternyata datang ke UKS, urusan hidungnya bisa diobati di rumah nanti, ekstensi Renjun malah bikin dia muak.
“Hanya ....”
Langkah Jeno terhenti saat suara parau terdengar di belakangnya, pintu udah di depan mata tapi Jeno lebih memilih berbalik badan, kedua matanya langsung disuguhi Renjun yang sedang duduk, menatapnya ... Kosong?
Tatapan Renjun terlihat kosong dan itu bikin hati Jeno mencelos.
“Hanya gak usah ngomong sama gue, abaikan kehadiran gue. Lakukan hal yang kayak anak lelaki di kelas lakukan. Gue minta maaf kalo perlakuan gue bikin lo tersinggung dan marah, gue gak bermaksud bikin kita jadi musuh, hanya ....” Kalimat Renjun menggantung, lelaki itu mengambil napas sambil memejamkan matanya, terlihat begitu lelah. “Hanya cukup abaikan kehadiran gue, bersikap gue gak ada, jangan peduliin gue kayak anak-anak cowok lain, lo pasti bisa ngelakuin itu, 'kan?” Napas diembuskan pelan, Renjun mendongak dan natap Jeno, tersenyum kecil.
“Lagian kita orang asing, Jeno. Kita gak saling kenal, harusnya itu bukan tindakan yang susah buat dilakukan. Lo juga pasti pernah ngelakuin ini, kan? Nganggap orang lain gak ada atau gak peduli sama kehadirannya, harusnya ini bukan masalah gede.”
Jeno terdiam, sejujurnya terkejut sama kata-kata Renjun. Juga, ini pertama kalinya sejak kepindahannya ke sini dia denger teman sebangkunya itu menyebut namanya, bener-bener nyebut namanya.
Dan untuk alasan yang gak diketahui, Jeno suka saat Renjun menyebut namanya.
“Gue gak ngerti,” suara Jeno mengalun pelan, dia mengerjap bingung. Kenapa bisa ada orang se ... apatis ini?
Renjun terkekeh hambar. “Gue tau lo penasaran tapi gue mohon, kubur dalam-dalam rasa penasaran lo kalo lo bahkan gak bisa bertanggungjawab atas konsekuensinya.”
Ya, Jeno gak menyangkal kalo dia emang penasaran, tapi bahkan dia melupakan poin pentingnya sebelum Renjun mengucapkan tadi: sebuah konsekuensi.
“Jangan mendobrak dinding yang orang buat susah payah, Jeno.”
Lagi, lagi, lagi.
Jeno mengerjap, kebingungan sendiri saat telinganya malah terpaku sama kata “Jeno” yang terucap dibelah bibir Renjun. Dia terdiam, memerhatikan Renjun yang mulai bergerak untuk turun dari ranjang, dari sekali lihat pun Jeno tau kalo Renjun membutuhkan usaha yang lebih untuk itu, dan ya, badan yang jatuh ke lantai itu udah dia prediksi akan terjadi saat lihat badan Renjun yang lemah.
BRUK!
Langkah kakinya tanpa sadar mendekat cepat, menangkap badan Renjun, membantunya untuk gak semakin jatuh.
Dekat, terlalu dekat jarak mereka. Jeno pegang kedua bahu Renjun erat, hawa badan lelaki itu terasa panas, dalam jarak dekat Jeno bisa lihat wajah Renjun yang pucat dan berkeringat, sedikit menggigil.
“Apa lo kira semua manusia itu apatis kayak lo, Renjun?”
Renjun mendongak, tersenyum sinis. “Bukannya emang kayak gitu?”
Ah, sekarang Jeno paham poin pentingnya.
“Tapi bukan berarti bisa lo sama ratakan semuanya,” ucap Jeno penuh penekanan, tanpa sadar pegangannya dibahu Renjun menguat. Rasanya kesel bercampur marah tanpa alasan yang jelas. Bukan berarti Jeno peduli juga, tapi pemikiran Renjun yang kayak gini malah bikin dia muak.
Jeno hanya gak tau alasannya.
Renjun terdiam, mengernyit risih saat hidungnya mencium bau tubuh lelaki di depannya, tanpa sadar dia dorong badan Jeno kasar sampai jatuh ke lantai.
“Fuck—”
“Lo bau hujan.”
Jeno terkejut. “Hah?”
Ketiaknya Jeno cium, dia natap Renjun aneh, dibandingkan hujan, badannya malah bau keringat. Sedangkan Renjun sendiri terlihat gelisah, bola matanya bergerak acak, cowok itu bangkit berdiri dan natap Jeno ... ketakutan? Wajah Renjun kelihatan takut dan risih.
“Sekarang ada satu alasan lagi kenapa kita emang gak seharusnya deket. Jauhin gue, please? Kalo kita deket pun gak ada untungnya buat lo ini, 'kan? So, jauhin gue.” Tanpa ngomong lebih jauh lagi Renjun langsung melesat pergi dari UKS, meninggalkan Jeno yang masih duduk menatap kepergian Renjun dengan bingung.
Apa itu tadi?
Hidungnya mengendus-endus badannya lagi, Jeno gak ngerti bau hujan yang Renjun maksud. Badannya malah lebih ke bau asem dan keringat karena tadi sempat lari dan main bola. Lagian emang ada gitu bau hujan? Emang hujan berbau? Jeno berdecak, bangkit berdiri, dari tadi hidungnya masih tersumpal tisu.
“Emang aneh itu orang.”
“Eh, kak Renjun-nya mana?”
Begitu berbalik Jeno langsung disuguhi perempuan cantik yang pegang piring, terlihat kebingungan. Ah, pasti penjaga UKS.
“Ke Wakanda mau mulung akhlak.”
Ngaco!