dalam perjalanan

Untuk Dina.

“Kenapa kaubawa aku kemari, Saudara?”; sebuah stasiun di dasar malam. Bayang-bayang putih di sudut peron menyusur bangku-bangku panjang; jarum-jarum jam tak letihnya meloncat, merapat ke Sepi. Barangkali saja kami sedang menanti kereta yang biasa tiba setiap kali tiada seorang pun siap memberi tanda-tanda; barangkali saja kami sekedar ingin berada di sini ketika tak ada yang bergegas, yang cemas, yang menanti-nanti; hanya nafas kami, menyusur batang-batang rel...

Sayup-sayup interkom di kejauhan, desing roda yang bergesekan, dan nyaring peluit yang memekakkan telinga. Segalanya terasa asing bagiku—aku memang bukan anak kereta dari sananya, tetapi kamu familiar. Ada kegembiraan dan antusiasme di balik kedua matamu setiap memandangiku, kilau yang berbinar-binar, dan aku tak bisa tidak tersipu. Bagaimana bisa hal kecil yang kau sebut pupil itu menopang segenap tata surya? Aku tak akan pernah tahu. “Stasiunnya jadi lengang karena kita dateng malam-malam begini,” kamu bilang, tetapi lagi-lagi, aku tidak mengerti. Dari segenap tubuhku kutafsir keramaian, gaduh dan gegap gempita, diiringi talu hati yang tak henti-hentinya berdebar setiap senyummu tertangkap mata. Aku hidup, dadaku seolah berkata, jangan kira aku tidak bisa berekspresi dan mengeluarkan suara.

“Kecil,” aku menggodamu yang tampak kelelep, tak sepadan dengan ransel gunung ekstra besar yang asyik bertengger di kedua pundakmu.

Kamu bersungut-sungut seketika. “Roti lapismu ada di tasku, lho. Kumakan nanti kalo godain terus.” Aku tidak bisa tak tertawa.

Kereta kita tiba. Selepas masuk dan menata barang-barang, kita bersenderan. Memesan tiket jurusan malam adalah paham bahwa kita akan tidur sepanjang perjalanan. Aku merogoh saku untuk mengambil earphone, kamu langsung menjulurkan tangan untuk meminta salah satunya. Aku tersenyum sebelum menyumpalkan ujung yang kiri ke dalam telinga, kamu yang kanan. Kini, kita terikat alunan lagu yang sama. Aku terkekeh dalam hati sembari menertawakan rona yang muncul di pipi tanpa aba-aba. “Kamu bikin aku jatuh cinta kayak anak SMA,” aku ingat menggerutu, lalu kamu tertawa malu. Rasanya hangat dan nyaman dan segala yang mesra.

Di luar jendela, dunia melewati kita seperti dalam film. Cepat sekali pohon-pohon itu berlari, mengejar tiang listrik, menjauhi gunung. Yang lalu terbirit-birit meninggalkan kita, sementara aku menggenggam pergelanganmu untuk merasakan denyut nadimu dan membandingkannya dengan punyaku. Seirama.


“Masuklah ke telingaku,” bujuknya. agar bisa mendengar apa pun secara terperinci—setiap kata, setiap huruf, bahkan letupan dan desis yang menciptakan suara.

Dari kereta, ke bis, ke angkutan kota, lalu kembali ke alat tansportasi manusia yang paling sederhana.

Kita tengah menyusuri setapak entah ke mana. Aku ingat sayup-sayup pembicaraan kita perihal perjalanan ini beberapa minggu lalu: hendak ke mana, bawa apa saja, sedia ongkos berapa. Namun, ketika sudah ada di sini dan menjalaninya, aku jadi lupa sebagian besarnya. Biarlah kaki ini ikut saja dengan semua petunjuk dan langkahmu, orang yang paling kupercaya.

“Ada telaga!” Kamu memekik, menunjuk-nunjuk perairan kecil dalam jangkauan mata, tampak luar biasa sumringah di tengah keringat dan gurat kelelahan yang juga sama jelasnya. “Mampir ke sana?”

“Ayo,” sahutku. Aku bersumpah kebahagiaan serupa penyakit menular.

Aku menghargai kedewasaan. Kata orang sulit hidup dengan seribu sesal, jadi aku perlahan-lahan berbaikan dengan beberapa jenis kenyataan. Menjadi dewasa adalah salah satunya. Aku sadar bahwa aku tak akan kenapa-napa meski kehilangan kaki-kaki kecil dan pesawat-pesawatan, sebab besar kini, aku bisa lebih baik lagi dalam mendengar. Tidak ada lagi keegoisan kanak-kanak, hanya usaha untuk mengasihi orang-orang yang kucintai sebagaimana mereka pantas menerima. Perihal itu, aku banyak belajar dari kamu. Kamu yang pandai mencinta, kamu yang pandai membalas jauh lebih dari apa yang kuberi pada awalnya.

Namun di sini, di tanah antah berantah yang sedang kupijaki bersama orang yang paling kusayangi, aku rasanya seolah disulap kembali jadi anak-anak lagi.

Sukacita yang kupikir tak akan pernah kucecap lagi setelah umurku lepas sepuluh, kini riuh mendidih memenuhi sekujur badanku. Kau tidak pernah kehilangan aku, begitu desir darahku berbisik sembari mengalir, kamu tetap utuh, jauh dari ketakutan terbesarmu. “Yang sampai sana duluan menang!” Aku berteriak, langsung melesat dan terbahak mendengar seruan curang! yang kau lontarkan lima langkah di belakang. Aku jahil, dan kamu tahu itu. Mungkin karena itu pula kamu mencintaiku.

Kita main air sampai lupa waktu. Rambutku sudah serupa gulungan benang kusut dan kau spaghetti, bergumpal-gumpal sebab lembab. Aku sedang rebahan di atas permukaan batu ketika merasakan jemarimu menyelip di sela-sela punyaku.

“Aku senang hari ini,” katamu. Lagi, dengan senyum dan mata yang tulus mengapresiasi. Aku merasakan dadaku memanas atas rasa sayang. Ini semua 'kan perbuatanmu, aku mau bilang. Aku yang seharusnya berterima kasih padamu.

“Aku juga,” aku akhirnya menjawab. Kau menatapku sekali lagi dan aku hanyut dalam pengertian. Mungkin kita sudah menguasai kata-kata hingga bisa menyampaikannya lewat hembus udara.


cahaya bertebaran di sekitarmu butir-butirnya membutakan dua belah matamu “sudah sampaikah kita?” tanyamu tiba-tiba. lupakah kau bahwa baru saja meninggalkan dermaga?

Pasar malam bersimbah cahaya, kontras dengan remang-remang desa. Silau rasanya berada di sini setelah menghabiskan waktu bermalam di kegelapan kampung berkilo-kilo jauhnya dari kota, tetapi aku tidak mengeluh. Mana bisa, ketika kau memantulkan semua sinar itu melalui netra? Kuning di pipi kanan-kiri, kilat di rambut yang kau kuncir satu. Aku mencintaimu.

Aku tidak keberatan atas perjalanan kita yang tak ada habisnya. Dari satu tempat ke tempat lain, satu lompatan ke yang tempat berpijak berbeda, seperti siklus. Di sini, di pasar malam, kita pesan sate ayam berbungkus-bungkus seolah penguasa dunia, membubuhi bumbu kacang seperti orang dua hari tak makan. Kau menertawai aku yang makan (terlalu) lahap sampai belepotan, tetapi tetap mengelap ujung bibirku setelahnya dengan kelembutan terpatri di telunjuk dan ujung tisu. Aku mencintaimu.

Kita paham betul wahana di sini ditujukan untuk anak TK, tetapi kita berdua masih menyala-nyala melihat mainan pancing-pancingan magnet seolah tengah menyaksikan keajaiban. Ada pijar di wajahmu yang membara serupa jilatan api, namun yang kurasakan hanya hangat. Seperti telapak tanganmu tiap mengoleskan counterpain kala pundakku pegal-pegal, seperti opor buatan mama yang tak pernah kurasakan lagi sejak tiga bulan lalu singgah ke kampung halaman. Kita berlari ke sana ke mari, mengutar maaf ketika tak sengaja menabrak satu pilar penuh gantungan kunci, melanglang buana tanpa sekalipun melepas tautan jemari. Kau tampak cantik dalam balutan kemeja ungu itu. Aku mencintaimu.

“Besok kita pergi lagi, ya?” kau berujar, seolah minta konfirmasi atas hal yang terasa mengganjal di pangkal sanubari.

Aku mencintaimu, apa kau tidak tahu?

“Tentu,” aku menjawab. “Tentu, tentu.

Malam itu Kami di Sana, Telinga, dan Cahaya Bertebaran oleh Sapardi Djoko Damono, dalam Hujan Bulan Juni.