tentang sepasang kekasih yang melintas bergandengan tangan

Untuk Bel.

Ketika kaucoba menyusun wajahku, kau seakan-akan membaca puisi Sylvia Plath pada pukul tiga pagi. Kau tidak bisa tidur dan aku satu-satunya nyawa yang kauhirup sebelum berangkat ke kantor.

Aku tak mengerti. Durasi kita tinggal bersama sudah tak lagi masuk dalam kategori sedikit, tetapi hatiku masih saja menggedor-gedor rongga perutku ketika kau membalurkan kayu putih ke bagian-bagian dari aku yang barusan kukeluhkan sakit. Kau membiarkan jemarimu menari di sana, melukis, seolah punggungku adalah kertas dan tulang belakangku easel yang menyangganya.

Tak tahan dengan rasa penasaran yang menggelora atas ujung telunjukmu yang terus-menerus membentuk pola, aku bertanya. “Lagi nulis apa, sih?”

Kau mendengung, lalu terkekeh. “Buku resep,” celetukmu. Aku bisa membayangkan lengkung yang tengah menghiasi bibirmu, kurva yang sama seperti setiap kali kau bermain dengan mangkuk-mangkuk kecil penuh dengan bumbu. “Kamu nanti siang mau makan apa?”

“Apa aja,” aku membalas seadanya, menoleh untuk menangkap pandangan matamu yang berbinar-binar diselimuti cahaya. Kontradiktif, pikirku. Pigmen yang mengisi setiap sudut netramu adalah hitam, tetapi yang direfleksikan oleh mereka adalah warna. Kuning dan merah jambu, seperti padang bunga. “Kamu gak usah repot-repot.”

Alismu berkerut, tak puas dengan jawabanku. “Sup krim, ya,” kau menawarkan, lalu melanjutkan. “Dan jangan ngomong gitu pas aku lagi rawat kamu. Aku gak repot. Gak capek. Aku seneng, selama itu kamu.”


Kauingat ketika mencintaiku segampang menghirupembuskan napas. Aku berhenti merokok karena tidak tega melihat dadamu nyeri. Aku mengganti parfum beraroma ayahmu yang mati oleh peluru nyasar polisi. Aku lebih rajin memotong kuku. Aku mengurangi waktu main Twitter dan game online yang tidak kautahu namanya.

Aku tak sengaja menciptakan empat ceruk kembar di pergelangan tanganmu karena terlalu bersemangat mencengkramnya. Perutku nyeri sekali tadi siang. Kau menyodorkan kenyamanan lewat usap halus di punggung tangan, menyalurkan tenang dengan serentetan kecupan. Ada gema suaramu yang membisikkan “tidak apa-apa,” di telingaku yang penuh dengan rintihan. Sakit, kuulang-ulang, tetapi kau di sana dan tanpa lelah mengingatkan aku untuk terus percaya pada kesembuhan.

Aku mengutuk diri sendiri ketika bertemu pandang dengan lecet di lenganmu yang telah kuku-kukuku ciptakan. Teringat kau yang selalu mewarnai tubuhku dengan keindahan, dan aku yang kini membalasnya dengan kerusakan.

Aku menyambar gunting kuku dalam satu kejapan. Tak mau lagi menyakitimu. Tak ingin melihatmu biru.

Kau diam saja melihat aku grasak-grusuk seperti orang linglung. Pergelanganku gemetaran, bunyi klik klik klik yang tercipta dari titik temu dua keping besi susul-menyusul memenuhi ruangan. Setelah aku selesai, kau menyodorkan tangan. Aku kebingungan. “Guntingin kukuku juga,” kau meminta dengan senyuman, “sekalian.”

Ujung lidahku buru-buru menyatakan penolakan. “Nggak mau,” aku menyerahkan gunting kukunya langsung ke telapak tanganmu. “Takut—” menyakitimu. Membuat ruam dan luka baru.

Kau presisten dengan tangan yang tak mau dikembalikan. “Gyu, mau diguntingin.”

Kali ini, aku sudah siap dengan alasan. Beberapa milisekon sebelum lagi-lagi melayangkan pertentangan, aku tak sengaja berpapasan dengan kedua matamu yang (selalu) menakjubkan. Aku merasakan dadaku menghangat dengan apa yang tengah memenuhi mereka sekarang. Kepercayaan. Tiba-tiba, aku merasa seperti disambar keajaiban. Seolah aku punya kekuatan di tangan, bahwa aku tak perlu ragu-ragu dalam apapun yang ingin kulakukan.

Aku meraih ibu jarimu dan mulai memotong kukunya secara perlahan.


Ke mana-mana kaugenggam jariku, kaurasakan jantung kita berkedut kecil di telapak tanganmu yang mudah basah. Ketika aku diam, kau menghitung dalam hati. Satu. Dua. Tiga. Empat. Lima. Enam. Kau tersenyum menyadari jantung kita adalah penyanyi dan musik pengiring yang serasi.

Setelah gosok gigi, kita sama-sama terbaring di kasur 2x2 meter ini dengan jari bertautan. Bulan seolah melambaikan tangan dari gorden balkon kita yang sengaja kau singkap—kau paham betul aku tak begitu suka tidur dalam gelap—dan cantik sinarnya berseri-seri menyelimuti kita.

“Terima kasih untuk hari ini,” aku menyuarakan isi hatiku yang terus-menerus mendegupkan syukur. “Aku hutang budi sama kamu.”

“Kamu gak hutang apa-apa sama aku,” kau mengucap, helai rambut mampir ke kening dan aku mengusapnya. Mengembalikan mereka ke tempat semula. “That’s what you and me do. We take a good care of each other tanpa diminta, dengan sukarela.”

Aku tersenyum, kau membalasnya. Kita diam dan membiarkan degup-degup ini saling bercengkrama dengan bahasa mereka.


Lalu kau tiba-tiba menemukan kesimpulan. Cinta adalah hidangan di atas meja.

Pagi kembali melayangkan sapa. Aku dibangunkan oleh hangatnya.

Aku duduk dan merasakan hangat yang lain menguar entah dari mana. Melangkah keluar, aku segera tahu bahwa dapurlah asal muasalnya. Ada aroma santan yang bersatu padu dengan kaldu, gelagak air dan ketuk talenan bertalu-talu. Aku tersenyum dan pergi menyusulmu.

“Pagi,” kau menyeru ketika merasakan aku datang. “Udah baikan?”

“Banget,” kubalas tanpa kebohongan. Aku mengintip dan menyaksikan kau menari dalam elemenmu, ditemani nyala kompor dan gagang wajan. “Mau makan.”

“Sebentar lagi jadi,” kau mengacungkan telunjuk pada serentetan sup yang siap dihidangkan. “Tunggu aku di meja makan?”

Aku melaksanakan apa yang kau minta, menghitung detik yang berlalu tanpa kenal jeda. Kau datang tak lama kemudian, membawa mangkuk yang dikelilingi oleh kepul asap yang membumbung tinggi. Ada sup dalam naunganmu, potongan daging yang membentuk dadu dan hijau seledri ditabur merdu. Kau terkekeh melihat antusiasme yang menguar dari aku, menyiapkan sepiring penuh dengan kelezatan itu buatku.

Aku menyantapnya. Sedetik kemudian, aku bisa mengecap cinta memenuhi indera perasa.

Tentang Sepasang Kekasih yang Melintas Bergandengan Tangan, oleh M. Aan Mansyur.