segalanya

Untuk Bel.

Segalanya masih akan bersamamu: awan yang suka terserak, warna senja yang selalu baru, wajah telaga di belakang rumah, bahkan angin, yang tak pernah kausapa tetapi yang suka menyombongkan diri sebagai yang paling setia.

Aku sempat kebingungan atas hal apa yang ingin kuasosiasikan denganmu. Kau hadir dalam berbagai spektrum—aku kewalahan mengkategorikan kamu. Kupikir kau panadol: bermanfaat dan tak perlu diragukan lagi kegunaannya, satu untuk semua, cocok menjadi pendamping di segala suasana. Namun, kutarik lagi kata-kataku tak lama setelahnya. Kau tidak sombong seperti panadol, yang sering merasa superior dibandingkan obat penangkal pusing lain yang tak sepopuler ia. Kau baik hati. Aku mencintaimu.

Aku pernah menyangkutpautkan kamu dengan matras tidur ibuku: lembut, nyaman, setia, dan tak pernah absen dalam membalutku dengan hangat. Setelah beberapa waktu kupikir-pikir, aku berakhir membuang juga pendapatku yang satu itu. Kau tidak lelah seperti matras yang telah bertahun-tahun jadi tempat berbaring dan berguling-guling. Kau bersemangat. Aku mencintaimu.

Kau, aku simpulkan di lain waktu, adalah dirimu. Dirimu yang di sebagian kecil waktu kubenci, kau yang di sebagian lainnya kucintai. Kau hidup, kau utuh, dan setiap aku ingat kenyataan itu sebelum tidur, aku mengaduh-aduh. Dulu, kau dan semua keutuhanmu itu turut menyempurnakan aku. Di masa kecilku, aku melakukan banyak hal dengan pamrih—aku diajari segudang tentang konsep timbal-balik. Kurasa, aku bukan orang baik. Lalu kau, sembari tersenyum, berkata. “Mingi, kau rendah hati sekali..” Mulai hari itu, aku belajar untuk jadi tak egois. Aku belajar, belajar, belajar, lalu aku sadar: aku ingin membawa berkah juga buatmu.


Kalau nanti aku, alhamdullillah, harus pergi semua masih akan tetap tinggal bersamamu; ketika kau batukbatuk dan buru-buru mencari obh, ketika kau mengecilkan volume ampli ingat tetangga sebelah sedang sakit, ketika kau mendengar jerit air mendidih dan buru-buru menuangkannya ke dalam ember untuk mandi pagi; ya, semua itu masih akan bersamamu ketika aku tak lagi di rumah ini.

Kau sempat pergi. Aku mengerti. Kau meyakinkan aku saat itu, ini semua bukan salahku. Aku percaya padamu.

Mungkin kita adalah salah satu jenis cinta yang punya batas waktu. Ketika kita iseng bercengkrama soal ini, kau bilang, manusia hanya akan satu kali merasakan cinta yang abadi. Adil, bukan? Setidaknya, meskipun ketidakadilan ada di mana-mana: pelaku kejahatan yang belum mendapat sanksinya dan barang-barang curian yang tak kunjung kembali ke pemiliknya, Tuhan menitipkan satu keadilan yang ada di luar kuasa kita. Cinta namanya.

Cinta. Kalau boleh jujur, aku banyak dibuat bingung oleh keberadaannya. Kupikir aku telah mengenal ia lebih dari yang aku kira, karena dia ada di mana-mana. Angin musim panas, pekik gembira ketika aku bermain di pantai bersama sanak saudara. Lalu perihal gelenyar bahagia di dada ketika kita belanja bersama, memetik bunga, dan memasak bakpia, apa itu semua juga cinta? Saat itu, aku tak berpusing-pusing memikirkannya. Yang jelas aku senang melihatmu tertawa, habis perkara.

Kita sering menonton film bersama. Ketika kau pergi, aku ingat ada satu dialog dari The Hobbit yang tak henti-hentinya memenuhi rongga kepala: “If this is love, I do not want it.

Lucu bagi aku untuk membanding-bandingkan diri dengan Tauriel yang baru saja kehilangan Kili, cinta sejatinya. Namun, di momen itu dan diiringi detik yang berlalu, aku ingin melempar cinta sejauh-jauhnya dariku.

Aku yang tengah bersedih tentu tak terpikirkan apapun selain betapa sia-sianya cinta-cintaan ini. Meskipun Thranduil memperjelas pada Tauriel bahwa alasan dibalik kesakitan yang tengah dirasakannya adalah karena cinta itu nyata (“why does it hurt so much?” / “because it was real.”), itu semua tidak membuat perih ini mereda.

Ralat. Di atas segala yang telah terlaksana, aku rasa, cinta tak pernah sia-sia.

Meskipun di saat-saat tertentu cinta bisa membuatku banting-banting kepala seperti orang dungu, ia juga memperkenalkanku padamu, yang dengan sabar meraih puncuk jidatku sambil bilang, “jangan, nanti benjol,” lalu mengistirahatkannya di pundakmu. Cinta juga mengajarkanku perihal masak-memasak (aku masih punya jalan yang teramat panjang untuk sampai di posisimu, tapi aku tak ragu-ragu), dan membuatku tau tentang bumbu-bumbu. Ini progres yang menakjubkan, mengingat sebelum kenal kamu, aku tak tau bedanya serai dan daun bawang.

Cinta tak sia-sia. Kupikir aku telah dikhianati olehnya, namun khianat itu sendiri adalah kata yang berat. Kotor, dalam hati aku berpendapat, tak sepadan bila disandingkan dengan kau dan senyummu yang menyembuhkan.


Kursi kamar tamu yang dicakar-cakar kucing, lukisan Bali yang miring lagi begitu diluruskan, buku-buku yang bertebaran (seperti sampah!), meja makan rotan yang sudah bosan politur, tempat sepatu yang penuh bekas bungkus plastik, lemari es yang dengan sabar bertahan belasan tahun, cangkir kopi dan mangkuk untuk sarapan bubur, jam dinding yang detaknya tak kedengaran, kasur, bantal, guling, seprei, pesawat telepon di dekat tempat tidur, telepon selular yang biasanya aku bawa ke mana-mana: semua masih akan bersamamu, sayang padamu.

Kau kembali.

Rasanya mustahil menyembunyikan senyumku ketika pulang kerja tempo itu, badan bau apek setelah seharian mandi matahari, dan kau, menyambutku di ambang pintu dengan sekuntum gladioli.

Aku tak ingat apa saja yang kita lakukan, tetapi aku hampir seratus persen yakin sebagian besarnya adalah berpelukan. (Dan, tentu saja, satu-dua kali berciuman. Atau lebih, aku malu dan tak mau tahu). Aku bisa menghirup wangi sampo jerukmu yang kau bangga-banggakan itu, kontras dengan setelan jasku yang sudah kusut dan minta dibubuhi deterjen beli dua gratis satu.

Ketika kau duduk di pangkuanku dan membawa jari-jarimu menelusuri wajahku, yang memenuhi hatiku saat itu hanyalah kekuasaan. Tidak angkuh dan haus materi layaknya politisi, tetapi rendah hati. Seperti puisi. Alunan diksi yang merangkai dirinya sendiri, menjelma kursi untuk aku duduki. Takhta. Kali ini, aku merasa seperti raja.

Segalanya tentangmu masih sama. Tak kurang, tak lebih, dan tak menuntut aku untuk jadi sesuatu yang mustahil kuraih. Kau utuh, dan seperti yang pernah kuutarakan di bagian satu, keutuhanmu itu turut menyempurnakan aku.

Aku mencintaimu. Aku senang kau kembali. Kuharap kali ini, kita bisa saling menyayangi dengan lebih berani, seperti sinar mentari pagi yang dengan lantang memandikan simbolisme cinta kita: gladioli.

Segalanya, karya Sapardi Djoko Damono.