tentang kau dan purnama

Kau menyukai bulan. Aku menyukaimu.

“Dia bawa tenang,” jawabmu ketika aku bertanya pada suatu waktu. “Diam-diam menghadirkan terang di langit malam, tanpa selebrasi maupun perayaan.”

Aku berpikir keras dalam hati. Tenang? Mengapa membutuhkannya ketika kau sendiri punya segudang?

Kau membaca air mukaku dalam sekejap mata, sekilas mengingatkanku pada kemampuan bunda yang bisa memahami isi hati puterinya tanpa sepatah pun kata. Kau tersenyum. “Di sini,” kau mengambil telapak tanganku dan menempatkannya di puncak kepala. “Berisik sekali. Terkadang, aku perlu yang tenang-tenang supaya mereka reda.”

Oh, iya.

Isi kepalamu parade. Di sana selalu ada pesta, kembang api, dan petasan. Keramaian. Mungkin ricuh yang tengah menggema di rongga tengkorakmu itu membungkam semua yang hatimu hendak utarakan. Aku ingin bersuara juga, dadamu meronta-ronta, namun karnaval tidak pandai dalam menindaklanjuti unjuk rasa. Terbiasa menerima, kau mengangguk dan menomorduakan keinginanmu untuk yang ke sekian kalinya.

Aku, juga, bukanlah orang yang mahir melafalkan perasaan dengan suara. Bukan karena apa-apa, aku memang dari sananya takut bicara. Pernah menyakiti satu-dua, kurasa aku sudah cukup membiarkan lidahku bekerja dan lagi-lagi menorehkan luka.

Begitu, sampai kita saling lihat-lihatan di bawah satu atap emperan yang sama.

Kau tak suka pasar malam. Aku ingat posisi dudukmu di malam pertama kita bertemu pandang. Berkutat dengan buku tebal di tangan, sibuk membaca ketika aku bolak-balik memilih gulali dan gorengan. Aku juga ingat telunjukmu yang berulang kali membenahi posisi kacamata, lalu berhati-hati melipat halaman dan menutup kaver buku yang tengah kau baca. Senyum canggung mengudara. Anehnya, aku menemukan ketulusan terpatri di sana seolah aku tak pernah mengenal kata itu sebelumnya.

Aku bisa menyaksikan konstelasi di kedua netramu yang bak kanvas sepolos samudera. (Atau itu cuma cerminan lampu minyak gerobak mendoan yang berdiri tak jauh dari tempat kita bersua, aku tak tertarik menganalisa. Yang jelas, aku terpesona). Dua detik denganmu bercengkrama, aku seolah telah bertahun-tahun jadi pendongeng. Berbagai cerita dan rinai bunga yang tadinya aku tak persilahkan melihat cahaya, kini mekar dan merona. Kisah-kisah keluar dari bibirku tanpa hambatan, kau memperbolehkan mereka mengenal apresiasi dan pengakuan. “Ah, aku suka sekali caramu menjelaskan yang barusan,” lalu, “beritahu aku lebih jauh sambil kita jalan pulang?”


Kecil dulu, aku pernah menabrak tiang beton karena lalai mengendarai sepeda. Ada sendi di pundakku yang mengalami dislokasi, rasanya ngilu setiap kali aku mandi. Aku kehilangan kepercayaan terhadapnya. Kupikir, bahuku tidak akan pernah lagi dapat piala atas apa-apa, karena kemampuannya yang tak lagi sama.

Sampai kau bersender padanya di suatu sore, tertidur pulas seolah ia punya kekuatan dan kekokohan yang dimiliki bahu pada umumnya.

Karenanya, aku tau bahuku tidak berbeda. Aku tidak apa-apa.


Kalau buatmu bulan mendatangkan lega, kuharap tiap malam ia bisa membelai wajahmu lewat sela-sela genting kaca. Kalau suatu hari nanti kita tak lagi ada, semoga cahayanya bisa mengingatkanmu pada hati yang pernah kau jadikan bahagia. Kalau esok hari semua tentangmu sudah terbang jauh sampai ke luar kuasa, mudah-mudahan satelit itu bisa menyelimutimu dengan makna kesetiaan yang sesungguhnya.

Tapi sebelum itu semua terjadi, moga-moga aku masih bisa menyaksikan kilat di kuku-kukumu ketika tertimpa sinar purnama sampai waktu yang lama.

Memangnya siapa aku kalau bukan burung gereja yang tengah menyelami angkasa, mengepakkan sayap yang merekah atas nama cinta?