waktu dan prolognya

Seperti kita, alam semesta juga menua. Alih-alih keriput dan presbiopi, antariksa menunjukkan pendobelan usianya lewat jarak. Benda-benda, dari meteor sampai matahari, berbondong-bondong lari menjauhi pusat galaksi. Mengapa? Kalau dunia memang bekerja sesuai Einstein’s theory of relativity, kita memang seharusnya mengembang. Tapi, mengapa? Bagaimana? Sampai mana?

Masa depan dan misteri yang sembunyi di balik tirai jendelanya. Kemungkinan dan kebolehjadian berbaris rapi untuk ditelaah dan ditimbang-timbang. Tapi, aku tak terlalu suka ketidakpastian. Lagipula, apa yang akan aku dapat dari menelisik genggam atas apa yang akan datang? Lalu, seperti aksi-reaksi, aku mulai berangan-angan tentang memutarbalikkan waktu. Bukan sampai masa di mana aku belum mengenalmu, pun saat segalanya masih baik-baik saja di antara ayah dan ibuku. Aku mengacak linimasa sampai jauh lebih dari itu.

What had happened at the beginning of time itself? Begitu Stephen Hawking bertanya-tanya. Setelah mengeruk ilmu dari kelas-kelas fisika kuantum yang diikutinya, ia berkata. “If I keep winding back the clock, I will see the universe getting smaller and smaller, denser and denser. If I keep winding and winding, winding and winding—I’ll get a singularity. A space-time singularity!

Alam semesta, termasuk kita berdua, singuler? Menjadi satu. Satu, kuucap kembali dalam hati seolah ini semua hanyalah fragmen kecil dari mimpi. Angka yang pasti, angka yang menepati janji. Aku dan kamu, seperti kebahagiaan yang kukenal dan pelajari saat kecil dulu, tersenyum. Bersempit-sempit, dalam sehat maupun sakit, terkait. Aku yang membuat sketsa wajahmu dalam tidur, memahami gerak bibirmu tanpa mendengar maupun meraba. Kita, mengindra tanpa kata, mencerna tanpa suara.

Apa yang kulakukan ketika itu terjadi, aku tak tahu. Aku sudah pernah melaluinya. Masa lalu, bukan? Ini semua? Apabila besar nanti kita sudah tak sama-sama lagi, berarti kau sudah jadi bagian dari memoriku dua kali. Satu ketika alam semesta masih jadi jabang bayi, satunya lagi saat ini. Kau yang kucintai, kau yang baik hati. Kau yang mendoakan keselamatan umat manusia setiap hari, kau yang mendengarkan kami menyerocos tanpa henti. Ini dan itu dan yang lainnya. Kau buka bola mata, tersenyum dan ada. Begini, begitu, berbagai cara.

Waktu adalah wahana yang mengerikan. Sampai kapan? Aku bergidik ketika membayangkan. Semua hal datang dengan limitasi dan batasan, tetapi dalam cinta, terlebih yang kau sampaikan pada dunia, aku tak bisa mengendus epilognya. Tak paham bendungan, seperti likuid yang mustahil ditahan-tahan. Waktu yang mengizinkan kita untuk berpelukan, ia pula yang nanti akan mencegat memisahkan. Ketika saatnya tiba, harapku hanya satu saja: semoga kau tak kedinginan.