senofyou

Are you okay?

Jihoon sedikit berbisik, menyadarkan Junkyu dari rasa gugup yang mulai menelan fokusnya. Diam-diam Jihoon mengulurkan tangan, mengusap punggung lebar Junkyu, mencoba menenangkan kekasihnya yang dilanda gugup.

Saat ini mereka tidak hanya berdua di dalam laboratorium, ada Ketua song beserta lima orang anggota pengawas yang akan menjadi audience persentasi project mesin waktu oleh Junkyu dan Jihoon.

“Releks, by.” lagi, bisikan itu anehnya sedikit demi sedikit membuat Junkyu meraih ketenangannya.

Dan berkat perhatian kecil Jihoon, Junkyu berhasil membuka persentasi dengan baik.

“Ada dua rules yang perlu diperhatikan selama menggunakan mesin waktu. Pertama, jangan berbuat sesuatu yang bisa merubah masa lalu atau masa depan. Kedua, jangan biarkan dirimu bertemu dengan dirimu yang lainya.” jelas Junkyu.

“Maksudnya, kita tidak boleh bertemu dengan diri kita di masa lalu atau masa depan?” tanya Ketua Song.

“Benar, sesuatu yang buruk mungkin akan terjadi jika hal itu terjadi.”

“Selanjutnya,” Junkyu melangkah masuk ke dalam Kokpit, diikuti dengan Jihoon dan juga yang lainnya. “Ini Kokpit, mesin waktu yang telah kami rancang.”

“Bentuknya unik,” komentar salah satu anggota pengawas. “Tidak seperti mesin waktu yang ada di film.”

Perkataan itu direspon dengan tawa renyah.

“Kami mencari design unik yang tidak biasa,” sahut Jihoon. “Untuk membuktikan kalau alat kami lain dari yang lain.”

Junkyu tersenyum. “Selanjutnya kami akan melakukan percobaan kembali ke masa lalu.”

“Ketua Song beserta anggota pengawas silahkan duduk di kursi yang telah kami sediakan,” Jihoon mempersilahkan para petinggi perusahaan itu duduk di atas kursi di dalam Kokpit.

Kokpit yang mereka rancang lebih lebar dan luas dari yang kalian bayangkan.

“Kalian bisa menyaksikan perjalanan kami,” Junkyu menerima gopro yang Jihoon sodorkan. “Kamera ini telah kami setting secara live.”

“Apa sudah terhubung?” tanya Junkyu pada Jihoon.

“Sudah, lihat, wajahmu tertampang jelas di layar.” ujar Jihoon.

Wajah Junkyu yang bulat tertampang jelas di layar, kebetulan laki-laki itu mengangkat gopro nya tepat ke depan wajahnya. Tawa renyah kembali menguar di dalam Kokpit.

Mereka memulai dengan suasana hangat, tanpa tahu kalau sebuah musibah menanti mereka.


“25 juni 2021, pukul 10.42.”

Jihoon membacakan keterangan waktu yang tertera di layar ponsel orang asing-yang tadi Jihoon berhentikan untuk bertanya perihal sekarang tanggal berapa dan jam berapa.

“Kita benar kembali ke masa lalu, Kyu.” ujar Jihoon setelah tadi mengucapkan kalimat 'Terimakasih' pada orang asing yang berbaik hati meminjamkan ponselnya.

“Bukankah hari ini, hari festival project perusahaan?” tanya Junkyu.

“Benar,” Jihoon merangkul Junkyu. “Waktu itu kita sama-sama tidak bisa datang karena ada masalah di lab, iya kan?”

Junkyu merespon dengan anggukan. “Mau kesana? Kalau tidak salah ingat, Hyunsuk bilang festivalnya sangat meriah.”

Sure,”

Dengan segera Jihoon merangkul Junkyu ke halte terdekat.

“Terimakasih sudah jadi pelengkap hidup kami.”


“AYAH BANGUN!!! AYO BANGUN TERUS JEMPUT AKU DI SEKOLAH!! CEPETAN YA!! GAK BOLEH TELAT ATAU AKU MARRRAAHHH!!!”

Kasur bergerak saat seorang manusia di atasnya melompat bangun. Park Jihoon, laki-laki tiga puluh tujuh tahun itu terbangun dalam keadaan acak-acakan—rambut kusut bagai sangkar burung, kantung mata yang agak gelap juga kemeja biru terang yang jauh lebih kusut dari rambutnya.

Masih dengan nyawa terkumpul setengah Jihoon meraih ponsel yang masih terus berdering nyaring. Omong-omong itu suara anaknya—si kecil yang sudah genap tujuh tahun itu kelewat pintar, entah sejak kapan merekam teriakannya lalu sengaja dijadikan alarm agar sang Ayah tidak lagi terlambat menjemput.

Jihoon melirik jam, pukul sebelas lewat lima. Masih tersisa lima puluh lima menit sebelum jam keluar sang anak maka Jihoon segera beranjak dari atas kasur, namun seketika pusing mendera. Oh, sepertinya efek kurang tidur ditambah dengan efek hangover atas satu botol alkohol semalam.

“AYAHHHH JANGAN TERLAMBAT JEMPUT ATAU AKU BENERAN MARAHHHHHH!!!!!”

Aduh.

Jihoon yang kaget—ditambah langkah kakinya yang terhuyung—tak bisa menahan diri, harus rela jidatnya bertemu sapa dengan permukaan lemari.

Ringisan sesekali lolos dari mulutnya. Pusing mendera kepala dan nyeri dirasa dari jempol kakinya yang membentur kaki lemari, nyut-nyutan.

“Yuji tahu Ayah pasti capek dan kurang tidur tapi khusus hari ini Yuji mau ditemenin Ayah di pembagian medali, Ayah jangan telat oke? Yuji sayang Ayah banyak-banyakk!!”

Tidak seperti sebelumnya, alarm yang terakhir tidak diisi dengan teriakan putranya melainkan permintaan tulus dengan nada bicara lembut yang diakhiri dengan bunyi muach!

Punggung laki-laki kepala tiga itu langsung tegak dengan bola mata yang membuka lebar, bagai didorong sesuatu badannya melesat masuk ke dalam kamar mandi.

Putra kesayangannya tengah menunggu dan Jihoon tidak boleh mengecewakan anak itu.


“Udah di jalan?”

Jihoon meletakkan ponselnya dalam keadaan loud speaker di samping kursi kemudi yang kosong, tepat di sebelah kotak donat yang lengkap dengan boba milktea favorit putranya.

“Udah, barusan mampir sebentar beli hadiah kecil buat Yuji.” jawab Jihoon. “Kenapa kamu gak bilang sih, kalau hari ini Yuji ada pembagian medali?”

“Aku juga lupa. Anaknya baru bilang semalam, dadakan. Aku mau kasih tahu kamu lupa banget, maaf deh.”

“Untung anaknya ngingetin aku, yah, walaupun pake cara yang sedikit aneh sih...” tawa kecil menyudahi kalimat Jihoon barusan.

“Aneh gimana?”

“Yuji nyetel alarm di hapeku, nada deringnya pake suara dia. Pinter banget anak itu, aku langsung melek yang bener-bener melek.”

Gantian suara tawa terdengar lewat sambungan telepon dengan kontak sederhana bernama Teman Hidup💙.

“Yaudah hati-hati nyetirnya, salam buat Yuji.”

“Gak mau titip salam juga buat Ayahnya Yuji nih?”

“Males. Gak perlu dan gak penting juga.”

Jihoon mendecih, melirik sekilas layar ponselnya dengan seulas senyum tipis. “Jangan lupa makan siang, vitaminnya juga jangan lupa diminum.”

“Aku bukan anak kecil,” protes Junkyu di seberang sana, refleks Jihoon jadi membayangkan wajah Junkyu yang tengah cemberut dengan hidung mengkerut dan bibir maju.

“Aku tahu, gak ada salahnya ngingetin karna aku tahu kamu agak pelupa dan teledor soal jaga kondisi badan sendiri.”

“Cerewet banget deh Ayahnya Yuji,”

“Iya, sayang juga sama Papihnya Yuji.”

“Yaudah! Aku tutup telponnya deh, kliennya udah datang.”

“Tunggu! Kata kuncinya mana deh???”

“Ck, ily.”

Ily too,” Jihoon terkekeh. “Udah, matiin aja telponnya. Aku udah mau sampai di sekolah Yuji.”

“Oke.”

Bersamaan dengan sambungan yang terputus dari pihak Junkyu, mobil sedan Jihoon mulai memasuki kawasan sekolah ternama. Setelah memastikan mobilnya terkunci, Jihoon berjalan dengan langkah lebar dan pasti.

Meski terbilang jarang mengantar Yuji ke sekolah—karena putranya itu memang lebih senang diantar Papih nya ketimbang Ayah nya—tapi Jihoon cukup hapal di luar kepala, dimana kelas anaknya itu berada.

Kelas yang berada di tengah-tengah koridor.

Jihoon berhenti di jendela yang berjarak dua kaca dengan pintu kelas, memandang seisi kelas yang mulai ramai dengan anak-anak juga orang tua murid. Pindai mata Jihoon tak menemukan sosok kesayangannya, mengernyit bingung.

“Ayah!”

Sampai seruan nyaring disusul dengan kakinya yang dipeluk erat, Jihoon baru sadar kalau eksistensi yang dicari-cari sekarang ada di depan mata.

Hello Lil' Captain Park!” dengan mudah tubuh anak umur tujuh itu diangkat hanya dengan satu tangan. Senyum Jihoon mengembang lebar.

“Ayah telat lima menit tiga puluh tujuh detik!” seru Yuji, tidak ada raut marah di wajahnya yang ada justru wajah secerah matahari pagi.

Jihoon mengangkat kantung plastik di tangannya tinggi. “Sogokan! Hehe!”

Senyum cerah Yuji bertambah cerah melihat makanan favoritnya. “Donat! Boba!” dalam hitungan detik kantung plastik itu berpindah tangan, menyusul kecupan cepat yang mendarat di pipi Jihoon. “Makasih banyak Ayah ganteng!”

“Sama-sama sayang...”

Sang ayah tak henti-hentinya menatap dengan tatapan bangga. Apalagi saat Yuji minta diturunkan dan Jihoon ditarik ke arah lapangan indoor yang tak jauh dari kelas sang anak.

“Hari ini Yuji dapat medali dari perlombaan taekwondo. Ayah, Yuji dapet medali emas!” seruan senang sang anak sedikit menggema di sepanjang koridor membuat Jihoon tak tahan untuk mendaratkan telapak tangan di atas kepala Yuji, mengusak bangga surai hitam sang anak.

Congratulations, My Boy!

Jihoon ada di sana saat nama Park Yuji disebutkan sebagai atlet peraih medali emas. Menyaksikan anaknya menaiki tangga podium hingga disambut dengan kalungan medali emas oleh pembina ekstrakurikuler.

Gemuruh tepuk tangan menyusul setelah itu. Dan ingatan Jihoon akan kenangan berarti di masa lalu hinggap di kepalanya.

Tujuh tahun lalu, waktu dimana pertama kalinya Jihoon berani menyentuh bayi berjenis kelamin laki-laki dengan tubuh yang tidak lebih besar dari ukuran lengannya. Tampak rapuh tapi juga menggemaskan di saat yang bersamaan.

Perlu keberanian juga pertimbangan untuk membawa sosok kecil itu ke dalam gendongan. Saat itu Jihoon terlalu takut akan menyakiti si kecil, tapi begitu sudah berada dalam gendongan—Jihoon mendekapnya lembut dan erat

Rongga dadanya seakan penuh dengan gemuruh hangat yang menggebu, dan ia terlanjur terbawa suasana sampai tidak sadar telah menangis. Menangis haru kala si kecil merespon eksistensinya dengan sebuah senyum juga kedipan mata yang lambat.

Sungguh, momen berharga itu tidak akan pernah lepas dari ingatannya.

Dan lihatlah sekarang, waktu begitu cepat berlalu. Bayi kecil itu kini telah tumbuh menjadi anak laki-laki yang pintar, aktif, lucu dan tampan juga berbakat.

“Ayah!!”

Sosok Yuji terlihat berlari saat menuruni anak tangga. Jihoon sempat panik seraya menyeru, “hati-hati sayang!” tapi anak kecil itu tampak tidak terlalu peduli, justru langkah kaki kecilnya semakin bergerak cepat.

Jihoon merendah untuk menyambut sang anak. Kembali membawanya ke dalam dekapan hangat penuh kasih sayang.

“Medali ini buat Ayah sama Papih!” kata Yuji seraya mengalungkan medali emas miliknya ke leher sang ayah.

“Kenapa gitu?” Jihoon memandang bingung.

“Ucapan terimakasih Yuji, karena berkat Ayah dan Papih, Yuji bisa tumbuh jadi anak yang sehat dan kuat!”

Sungguh, senyum Jihoon mengembang lebar saat itu juga. Wajahnya bergerak maju menerjang wajah yang lebih kecil, mendaratkan banyak kecupan sayang.

“Ayah kok nangis?”

Ups, entah apa yang salah dengan Jihoon siang itu sampai tidak sadar air matanya telah meleleh.

“Ayah bangga sama Yuji. Park Yuji, anak kesayangan Ayah dan Papih. Sehat terus sayang, makasih... makasih banyak...”


Tahu apa yang paling ampuh untuk melepas penat? Refreshing ke tempat berhawa sejuk? Itu mungkin berfungsi, tapi ada hal yang lebih sederhana dari itu.

Dan Junkyu merasakannya lagi dalam waktu tujuh tahun terakhir.

“Papih!”

Adalah menemukan orang tersayang kalian yang berkumpul di dalam ruangan yang sama, menyambut kedatangan kalian dengan senyum bahkan peluk hangat yang disertai dengan kecup sayang.

Hal kecil yang terlihat sepele tapi nyatanya mampu mengangkat semua peluh dan penat.

“Apa ini?” tanya Junkyu, agak bingung begitu sadar Yuji mengalungkan sesuatu di lehernya.

“Medali emas, buat Papih!”

Karena jawaban dari sang anak membuat Junkyu memindai sekilas benda berwarna emas di tangan, menyadari satu tulisan di sana. “Tapi ini kan punya Yuji?”

“Iya, tapi Yuji kasih buat Ayah dan Papih. Makasih banyak Ayah dan Papih, berkat kalian Yuji tumbuh jadi anak yang pintar, sehat dan kuat!”

Wow, ada apa dengan hari ini? Selain disambut dengan senyum, peluk juga kecup hangat tapi Junkyu juga mendapat sebuah medali. Tapi lebih dari itu, apa yang diucapkan Yuji jauh lebih berharga dari logam emas di tangan.

“Yuji sayang Papih banyak-banyak!” tangan pendek itu merengkuh erat leher panjang Junkyu, menyusul wajah sang anak yang bersembunyi di perpotongan lehernya.

Masih kaget sampai tidak tahu harus merespon apa, Junkyu melemparkan tatapan pada sosok Jihoon yang bangkit dari duduknya di atas kasur. Kemudian Junkyu dituntun untuk duduk di pinggiran kasur.

“Jihoon?” makin kaget dan bingung saat suaminya ikut melingkari pinggangnya dengan tangan. Merengkuh dua sosok tersayangnya dalam sekali kesempatan.

“Papih..,” panggil Yuji.

“Hm? Kenapa sayang?” respon Junkyu.

“Ayah..,” panggil Yuji lagi.

“Iya, dalem?”

Yuji melepas pelukan akan leher Junkyu, beralih menegakkan punggung dan menatap dua wajah orang tuanya secara bergantian.

“Terimakasih banyak sudah jadi orang tua yang hebat untuk Yuji. Yuji sayang Ayah dan Papih banyak-banyak!”

Tatapan mata Junkyu bergulir ke samping, bertemu tatap dengan mata berair milik Jihoon. Sambil tertawa lembut Junkyu kembali menatap malaikat kecilnya, menciumi pipinya dengan gemas.

“Terimakasih juga, sayang. Terimakasih sudah jadi pelengkap hidup kami.”

Ternyata bahagia itu sederhana. Cukup dengan dikelilingi orang-orang tersayang rasanya hidupmu telah utuh.

Jihoon benar menyesal membiarkan Junkyu membaca maps.

tw // harsh and frontal words.


“Kaki lo gak kenapa-kenapa?”

Siang hari Junkyu muncul di balik pintu kost Jihoon, menyengir lebar sambil bertanya hal di luar dugaan.

Sambil melirik kakinya sendiri Jihoon menjawab, “emangnya kaki gue kenapa? Gak kenapa-kenapa tuh.”

“Oh, bisa jalan tapi?” tanya Junkyu lagi.

“Bisa lah.” Jihoon menjawab langsung tanpa tahu dirinya telah dijebak.

“Oke. Kalo gitu sekarang aja kita jalan-jalannya,”

Sedetik kemudian Jihoon mendengus keras. Baru sadar kalau dia jatuh pada trik murahan gak berkelas Junkyu, pun dia baru sadar kalau Junkyu yang biasanya nyentrik dengan kaus longgar dan celana training kali ini datang dengan pakaian rapi.

Celana jeans, kaus putih ditimpa kemeja yang dibiarkan tidak terkancing dan rambut yang sudah rapi setelah dibalur gel rambut. Bahkan samar-samar Jihoon bisa mencium parfumnya.

Beneran niat ngajak jalan ternyata.

“Lo gak takut gue tolak lagi?” tanya Jihoon aneh.

Junkyu menunduk menatap jari-jarinya seakan tengah berhitung. “Gue gak akan nyerah sebelum lo genap nolak gue untuk yang ke seratus kalinya.” imbuhnya seraya mengulas cengiran lebar.

Menghela napas, Jihoon membuka pintu kostnya agak lebar. “Masuk, tunggu bentar gue ganti baju.”

Meski matahari bersinar terik di luar sana sepertinya mood Jihoon sedang bagus sampai ajakan jalan Junkyu—yang biasanya ditolak mentah-mentah—kini direspon positif.

'Itung-itung menghargai niat besar dia buat datang di tengah terik dan panasnya siang, lagian kasian juga anaknya udah dandan rapi gitu.' batin Jihoon.


“Jujur, gue gak expect lo setuju gue ajak jalan...” ada jeda sebentar saat cowok itu menarik napas. “Gue kira gue bakal ditolak lagi—alias jujur banget ini mah gue datang dengan modal nekat tanpa rencana!”

Jihoon melotot, bisa-bisanya Junkyu bilang gitu setelah sepuluh menit mereka berada di tengah jalan—di dalam mobil Junkyu yang melaju pelan dan ternyata bergerak tanpa tujuan.

“Lo tuh—” Jihoon mengusap wajah, menahan umpatan yang sudah ada di ujung lidah. “Minggir dulu sebentar deh kalo gitu, biar gue yang nyetir. Gue kasih lo kesempatan buat mikir tempat tujuannya.”

Junkyu menuruti titah yang lebih tua. Memberhentikan mobilnya di bahu jalan dan bertukar posisi dengan Jihoon.

Mobil kembali melaju, bedanya Jihoon menyetir dan Junkyu duduk di samping dengan fokus dan perhatian jatuh pada ponsel pintarnya. Mencari-cari destinasi tujuan yang kira-kira cocok dijadikan tempat 'kencan dadakan'.

“Lo ada kepikiran mau kemana gak?” tanya Junkyu. Tolong jangan bilang-bilang Jihoon kalau sejujurnya kepalanya saat ini kosong, ALIAS GAK KEPIKIRAN SATU PUN TEMPAT YANG MAU DIKUNJUNGI!

“Gak ada.” jawab Jihoon. “Khusus hari ini gue mau nurutin kemana pun lo mau,”

Gara-gara jawaban itu Junkyu makin panik. Ibu jari dan telunjuknya bergerak-gerak tremor dengan batin yang meraung-raung, mampus mampus mampus mampus mampus!.

“Buruan deh, mau kemana ini?” tanya Jihoon akhirnya, mulai gerah karena Junkyu masih belum menunjukkan arah dan tujuan.

“Lurus terus, nanti ada pertigaan belok kanan.”

“Oke.”

“Abis ini kemana?”

“Dua ratus meter belok kanan lagi, nanti lurus terus sampai ketemu lampu merah.”

“Ambil kanan apa kiri?”

“Kiri, terus belok kiri lagi nanti.”

Terlahir sebagai pisces membuat Jihoon jadi pribadi yang lebih peka, pokonya insting Jihoon tuh peka banget.

Tapi gak tahu kenapa, detik ini kepekaan Jihoon lagi mode tumpul. Tanpa protes dan mikir yang enggak-enggak, dia menuruti semua perkataan Junkyu. Beneran nurut tanpa banyak bicara sama arahan yang Junkyu kasih.

Gak tahu aja oknum yang lagi otak-otik maps dari tadi cuma kasih instruksi asal.

Makin ke sini jalanan ramai tergantikan dengan jalanan sepi. Angkot dan mobil pribadi lainnya yang biasa mereka temui sebelumnya berkurang intensitasnya, sejauh ini hanya ada beberapa motor dan mobil yang lewat. Pertokoan juga rumah warga terganti dengan pohon-pohon besar.

“Sebenernya lo mau bawa kita kemana sih?” tanya Jihoon, akhirnya berada di tahap bingung dan agak curiga juga sadar sama keganjilan yang sudah sejak tadi berlangsung.

“Bosen gak sih kalo jalan ke tempat yang gitu-gitu aja?” Junkyu menatap Jihoon meski yang ditatap hanya sempat melirik sekilas. “Sekali-kali gue mau ajak ke tempat rindang yang teduh gitu, kalo diingat-ingat lo juga udah lama gak hunting foto kan?”

“Tapi gue gak bawa kamera???”

“Di belakang ada kamera gue kok, pake aja.”


Junkyu perlu bersyukur kalau arahan asalnya membawa mereka ke sebuah bukit dengan pemandangan yang asri, indah dan teduh.

Mesin mobil sudah mati sejak setengah jam yang lalu, bahkan Jihoon sudah bergerak kesana kemari dengan kamera Junkyu mengalung di lehernya. Sibuk ngambil gambar pemandangan.

“Dapet referensi tempat dari mana lo?” tanya Jihoon, duduk di atas rumput tepat di samping Junkyu yang menunggu sunset. “Gue gak nyangka lo bisa tahu tempat bagus kaya gini.”

“Gak sengaja nemu di maps,” adalah jawaban keren yang keluar dari mulut Junkyu.

Pandangan Junkyu kemudian teralihkan pada sosok Jihoon yang menunduk seraya melihat-lihat hasil jepretannya. “Puas foto-fotonya?”

Kepala Jihoon terangkat. Alih-alih menjawab dia justru kembali mengangkat kamera, membidik wajah Junkyu dan mengambil satu gambar.

“Lawak banget sih muka kaget lo,” lantas tertawa saat menunjukkan muka meme Junkyu yang barusan diabadikan.

Junkyu bergerak maju untuk mengintip layar kamera. “Ganteng kok,” katanya kelewat percaya diri.

“Emang ganteng. Yang bilang jelek sih buta.” respon Jihoon frontal. Gak tahu aja gara-gara omongan itu ada yang langsung jedag-jedug jantungnya.

Sunset tuh, gak mau difoto?” tanya Junkyu membelokkan topik.

Jihoon mengangkat kamera lagi kali ini membidik langit oren yang indah. “Kalo memori lo penuh, gak apa-apa kan?”

“Santai. Pake aja sepuas lo—gak akan penuh juga karna itu memori baru, masih kosong.”

Puas memotret senja, pun sang mentari mulai terus merangkak turun alias terbenam, Jihoon bangkit seraya menepuk-nepuk pantatnya yang sedikit kotor dengan pasir. “Pulang yuk, mampir tempat makan deh gue laper. Gantian lo yang nyetir tapi,”

“Siap Kapten!”

Cobaan kembali datang saat Junkyu mencoba menyalakan mesin mobil. Berkali-kali di starter mesin tidak mau menyala.

“Duh kenapa ya?” tanya Junkyu entah pada siapa. “Tadi gak kenapa-napa perasaan.”

“Mogok?” tanya Jihoon.

Junkyu melirik sekilas. “Gak tahu, gue cek dulu deh.” lalu turun dari mobil hanya untuk mengecek kap mobilnya.

Jihoon yang masih ada di dalam mobil melirik. Sadar akan sesuatu, lantas menghela napas kasar.

“Gak ada yang aneh—”

“Tangki bensin lo kosong, bego.” potong Jihoon, kesal.

Junkyu yang baru kembali refleks melihat ke pedometer bensin, benar, habis bensin ternyata.

“Salah gue juga sih gak isi bensin tadi,” sesal Junkyu.

“Gue juga salah gak sadar kalau bensin lo sekarat.” keluh Jihoon.


Gak mau berakhir di tengah hutan apalagi hari mulai semakin gelap, akhirnya Jihoon dan Junkyu mencari bantuan.

Sekian ratus berjalan kaki mereka bertemu sebuah motel sederhana.

“Bentar, gue tanya ada yang jual bensin atau engga.” kata Junkyu, dengan inisiatif dia masuk ke dalam motel untuk bertanya.

Jihoon masih di posisi—berdiri di depan motel—seraya memperhatikan suasana sekitar. Hanya ada beberapa rumah warga dan sejauh ini dia gak melihat ada satu pun kendaraan bermotor lewat.

“Duh,”

Lantas menoleh untuk mendapati wajah panik Junkyu. “Kenapa?”

“Gak ada yang jual bensin di sini,” jawab Junkyu. “Paling deket sepuluh km dari sini.”

“Hah?!”

“Biasanya ada yang jualan tapi ngider gitu, tapi cuma siang. Gue udah tanya-tanya sekiranya ada yang punya motor atau sepeda, tapi katanya gak ada warga yang punya kendaraan di sini.”

Apa-apaan?!!!!

Sejelek itu transportasi di daerah sini????!!

“Jadi...”

Jihoon mau marah tapi terjeda karena sepertinya Junkyu belum selesai dengan ucapannya. “Apalagi?!”

“Barusan gue check-in satu kamar,” Junkyu menggaruk rambutnya canggung. “Telepon di dalem udah lama gak berfungsi terus hape gue juga gak ada sinyal samsek, gimana kalo malam ini kita stay di sini? Besok pagi baru cari bantuan lagi?”

Jihoon yang biasanya pasti udah ngomel. Tapi gak tahu kenapa, apa yang beda dengan dirinya sendiri hari ini, Jihoon menelan semua kemarahannya—memilih mengekori Junkyu masuk ke motel dengan wajah ditekuk.


“Jun, ngaku sama gue. Kemarin lo nunjukin jalan asal-asalan kan?”

Junkyu kaget. Jihoon tahu dari mana?!

“Hah—enggalah! Bener kok-”

“Gak usah bohong. Semalem waktu tidur lo ngigo minta maaf udah bikin nyasar ke tempat antah-berantah.”

Skakmat.

Gak punya bakat ngeles Junkyu milih menghindari Jihoon, mendekati penjual bensin keliling yang masih mengisi tangki mobilnya.

Full tank ya Pak.”

“Iya Mas,”

“Beneran deh, next time gue gak mau jalan sama lo kalau lo masih bego baca maps.” cetus Jihoon.

“Jadi gini ya rasanya... jatuh cinta pada pandangan pertama?”.

tw // harsh word, typos, 2044 words


Jihoon merasa ditipu.

Tadi keluar dari kelas Pendidikan Karakter Hyunsuk tiba-tiba narik tangannya sambil bilang, “temenin gue ketemu vendor HT.”

Tapi bukannya ketemu vendor HT seperti yang dijanjikan di awal Hyunsuk justru membelokkan mobilnya masuk ke area SMA Negeri 1.

“Ternyata yang kasih sewa HT lagi ada keperluan, barusan dia kirim pesan. Dari pada perjalanan kita sia-sia mending mampir sini, kebetulan SMA gue lagi ada acara nih.” jelas Hyunsuk lebih dulu, mendahului Jihoon yang hendak protes.

“Lo bebas jajan sepuasnya deh, gue traktir.”

Muka ditekuk Jihoon langsung sirna digantikan dengan raut wajah chill. Lumayan banget dapet traktiran unlimited di tengah tanggal tua gini, gak boleh disia-siakan.

“Acara apaan nih? Kok banyak mahasiswa juga?” tanya Jihoon.

Keduanya telah turun dari mobil, sekarang tengah berjalan menuju lapangan pusat dimana panggung berada dan selama itu pula Jihoon baru sadar kalau banyak mahasiswa dengan berbagai warna almamater seliweran di antara siswa SMA yang mendominasi.

Campus Fest,” jawab Junkyu.

“Oalah pantes, dari kampus kita ada gak?”

“Ada dong,”

“Siapa yang kebagian jaga stand?” tanya Jihoon lagi.

“Duo bucin.”

“Yoshi sama ceweknya?”

“Iye,” jawab Hyunsuk sambil lalu.

Jihoon melirik yang lebih tua lantas tersenyum jahil. “Biasa aja dong mukanya, masa begitu gue nyebut nama Yoshi muka lo langsung sepet. Masih gak terima ya doi lebih milih cewek ketimbang elo?”

Hyunsuk berhenti dengan kepala menoleh cepat. Bibirnya tersenyum tapi Jihoon tahu betul itu bukan senyum manis karena vibenya nyeremin. “Lo bisa diem gak? Atau gue lempar sepatu?”

Terkekeh pelan, Jihoon segera merangkul Hyunsuk dan kembali menyeret yang lebih pendek ke arah lapangan.

“Rame nih, kaya ada yang mau ngisi acara.” kata Jihoon gak penting, basa-basi aja sih sebenernya. Usaha dikit balikin mood Hyunsuk yang udah dia bikin jelek.

“Ya kan dari tadi emang ada yang ngisi acara, tolol.” komentar Hyunsuk pedas.

Jihoon meringis, Hyunsuk mode maung tuh emang nyeremin. “Ya maksud gue kayanya ada guest star gitu barang kali...”

Guest star utama nanti datangnya jam 3 sore,”

“Siapa guest starnya?” tanya Jihoon.

“HIVI,”

“Anjrit, Campus Fest doang sampai ngundang HIVI? Sultan kali sekolah lo,”

“Iyalah, gue gak pernah tuh masuk sekolah jelek.” cetus Hyunsuk menohok.

Jihoon kesel sih sebenernya, kepengen banget dorong Hyunsuk jauh-jauh siapa tahu nyusrug nyium aspal tapi jangan deh nanti dia gak dapet traktiran unlimited.

“Selamat siang semuanya!”

Bertepatan dengan sampainya Jihoon dan Hyunsuk di lapangan, terjadi pergantian pengisi acara di atas panggung. Beberapa siswa berseragam putih abu-abu kini digantikan dengan tiga orang laki-laki.

“Yoshi bukan sih itu?” Jihoon bertanya seraya mencolek lengan Hyunsuk, menunjuk ke arah panggung dengan dagunyaㅡterarah pada sosok laki-laki berambut coklat gelap tengah menyetel gitar bass warna biru langit.

“Iya.” jawab Hyunsuk sangat singkat.

“Ngapain dia di sana?” seolah tidak mengerti dengan mood buruk Hyunsuk setiap membicarakan laki-laki bernama Yoshi, Jihoon terus saja bertanya.

“Menurut lo ngapain? Dagang bakso kayanya,” sahut Hyunsuk nyeleneh. “Mikir lah, dia megang gitar ya berarti mau ngeband.”

“Sejak kapanㅡ”

“Lo nanya sekali lagi, mulut lo gue jahit aja deh ya Ji?”

Jihoon buru-buru balik melihat ke depan sambil menutup rapat mulutnya. Hyunsuk masuk mode maung yang senggol-bacok, bahaya.

“Perkenalkan kami Orenji, band dari Universitas Altavia. Sambil nunggu ready boleh kenalan dulu?”

“BOLEHH KAK!!! BOLEH BANGET!!!”

“KAKAK GANTENG NAMANYA SIAPAA???!!”

Jihoon bergidik, agak ngeri melihat reaksi siswi SMA yang sekarang memenuhi panggung bagian depan. Agak rusuh dan bar-bar ternyata.

“Ahaha oke oke, kita kenalan satu-satu. Kayanya sebagian udah ada yang kenal gue tapi gak papa kita kenalan lagi. Kenalin gue Junkyu, vokalis Orenji. Mahasiswa Arsitektur masih tingkat satu sih, kuliah dimana? Universitas Altavia, yang mau kepoin kampus gue boleh! Langsung mampir aja ke stand kita yang ada di pojok kiri nih.”

“Junkyu? Mahasiswa jurusan arsi... tingkat satu?? Seangkatan dong sama gue???” dengan mata yang masih fokus pada panggungㅡdimana Junkyu, si vokalis, tengah memperkenalkan Yoshi sebagai bassist. “Kok gue hampir gak pernah liat dia di kampus ya? Padahal seangkatan???”

“Main lo kurang jauh,” celetuk Hyunsuk. Ternyata cowok Choi itu dari tadi ngedengerin gumaman Jihoon. “Fakultas bahasa ke fakultas teknik kan dari ujung ke ujung, wajar kalau elo gak pernah liat Junkyu.”

“Lo kenal?” tanya Jihoon.

“Adek kelas gue di SMA, pernah satu ekskul juga. Ya bisa dibilang gue cukup akrab sama dia.”

“Oh.”

“Oke, lagu pertama hari ini Peterpan – Langit Tak Mendengar.”

Sejak intro lagu mulai dimainkan fokus dan perhatian Jihoon tersedot dan terkunci hanya pada satu titik. Laki-laki tinggi semampai yang berdiri di tengah dengan kaus putih berbalutkan jaket jeans navy tersenyum lebar dengan tangan yang memegang erat stand mic.

Jadi hidup telah memilih Menurunkan aku ke bumi Hari berganti dan berganti Aku diam tak memahami

Gelenyar aneh mulai dirasa ketika suara merdu itu mulai menyapa.

Matahari yang bersinar terik di atas kepala membuat para penonton yang mendekat semakin mendusal di bawah tenda biruㅡsaling berebut tempat berteduh untuk menghindar dari panasnya matahariㅡtermasuk Jihoon yang diam-diam ditarik Hyunsuk untuk masuk lebih dalam ke dalam tenda.

Panas begitu menyengat tapi yang dirasa Jihoon justru sebaliknya. Merdu suara sang vokalis bagaikan hembusan angin sejuk yang membawa efek menenangkan pada rongga dadanya.

Mengapa hidup begitu sepi? Apakah hidup seperti ini? Mengapa 'ku selalu sendiri? Apakah hidupku tak berarti?

Sorot matanya begitu kelam.

Bagaimana bisa Jihoon sadar? Entah, dari jarak sekian meter dari depan panggung Jihoon seolah bisa melihat dengan jelas kelam yang memenuhi binar mata sang vokalis. Dan lagi, nyanyian itu terdengar bagaikan suara hati yang mampu menyentuh Jihoon pada titik hati terdalam.

“Mulai sekarang lo gak akan sendirian,” gumam Jihoon.

Coba bertanya pada manusia Tak ada jawabnya Aku bertanya pada langit tua Langit tak mendengar

“Kalau langit gak bisa menjawab semua tanya lo, datang ke gue. Gue siap jawab semua tanya lo.”

Senyum lebar Jihoon merekah tepat ketika sang vokalis menyugar rambutnya secara asal. “Damn it,” tiba-tiba Jihoon mengeluh dan meringis seraya menunduk dalam dengan tangan yang bertengger di depan dadanya. Mengusap dada getaran jantung yang terasa begitu hebat.

“Heh, lo kenapa?!” dan Hyunsuk mulai panik saat Jihoon tiba-tiba jongkok dengan wajah dan mulut yang tidak berhenti meringis.

Yang ditanya mendongak. Binar matanya tampak berkaca-kaca. “Jadi gini ya rasanya... jatuh cinta pada pandangan pertama?”


Satu minggu setelah Campus Fest di SMA Hyunsuk, semua rutinitas berjalan sebagaimana seharusnya.

Namun ada sedikit perbedaan akhir-akhir ini. Apa yang berbeda?

Jawabannya adalah sikap Jihoon.

Cowok yang lusa kemarin diumumkan sebagai Ketua Pelaksana Event Jurusan – Pojok Bahasa, terlihat lebih banyak diam dan melamun.

Hyunsuk yang gerah dengan tingkah aneh anak itu akhirnya bertanya.

“Lo kenapa sih, ngelamunin apa sih dari tadi sampai di ajak ngomong gak ada nyambungnya sama sekali?” tanya Hyunsuk, dari nada bicaranya saja sudah terdengar gondok.

“Hah sorry sorry, lo ngomong apa tadi?”

TAK!

Gak pakai lama pulpen yang Hyunsuk pegang ujungnya membentur dahi lebar Jihoon, sontak sang empunya dahi meringis sakit.

“Sekali lagi lo ngelamun bukan cuma pulpen yang nyium jidat lo, kamus kesayangan gue yang bakal gantian nyium jidat lo!” dan sebelum Jihoon memprotes Hyunsuk sudah lebih dulu mengangkat kamus super tebal yang ada di atas mejaㅡmengancam yang lebih muda.

“Iya iya maaf elah...”

“Serius nih, anak acara udah nyusun rundown kasaran kayanya bakal banyak waktu yang lowong. Saran gue mending diisi sama apa gitu, penampilan dari anak jurusan atau bawa guest star.”

Aslinya sih omongan Hyunsuk cuma masuk kuping kanan terus keluar kuping kiri alias gak didengar bener-bener sama Jihoon, tapi begitu dengar kata guest star Jihoon auto semangat gak tahu kenapa.

“Undang Orenji aja gimana?” saran Jihoon tiba-tiba.

Hyunsuk mendelik. “Orenji?”

“Iya Orenji, band nya Yoshi.”

“Gakㅡ”

“Lo nolak saran gue karena Yoshi? Cih, gak profesional banget lo.” komentar Jihoon.

“Bacot!”

“Lo kenal kan sama vokalisnya, bagi nomornya sini, biar gue aja yang foll up.”

Delikan Hyunsuk kembali, “gue mencium bau-bau amis buaya.”

Yang ditatap dengan delikan tebal itu menyengir lebar. “Langkah pertama pdkt nih,”

“Beneran?” tanya Hyunsuk.

“Apanya yang beneran?”

“Lo beneran naksir Junkyu?”

Jihoon mendelik. “Emang gue keliatan lagi bercanda atau pura-pura hah?” balik bertanya, Jihoon menunjuk wajahnya sendiri dengan jari telunjuk.

“Gue masih gak percaya buaya kaya lo beneran naksir orang,” Hyunsuk menunduk menatap layar ponselnya, membuka roomchat Jihoon untuk mengirim satu kontak. “Junkyu anak baik-baik, awas aja lo macem-macem sama dia.”

“Gak macem-macem gue mah, cukup satu macem.” senyum Jihoon merekah setelah kontak atas nama Kim Junkyu ia terima. “Dan gue bukan buaya seperti apa yang elo bilang.”


Junkyu agak bingung kenapa akhir-akhir ini dia selalu dapat telepon dari nomor gak dikenal. Setiap hari selalu begitu, dan itu sudah berjalan semalam kurang lebih lima hari.

“Siapa sih?” tanya Yoshi, agaknya cukup risih dengan bunyi dering ponsel Junkyu.

“Gak tahu, gak ada namanya.” jawab Junkyu.

“Jawab aja sih,”

“Takut.”

“Takut apaan?”

“Takutnya penipu terus gue dihipnotisㅡ”

“Lebay, angkat gih. Gue liatin nih, kalo bener lo kena hipnotis ada gue.”

“Oke.”

Cuma dengan bujukan tak berdasar Yoshi akhirnya Junkyu menggeser ikon hijau di atas layar ponselnya.

“Halo?”

“Eh diangkat.,”

“Siapa ya? Bukan orang yang suka nipu atau hipnotis kan?”

“Hah? Ya enggak lah, gue Park Jihoon Bahasa 18.”

“Anak bahasa, ngapain ya nelpon gue? Dapet nomor gue dari mamna deh? Ada urusan apa sama gue?”

“Chill bro, satu-satu dong semua pertanyaan lo bakal gue jawab kok haha...”

“Pertama, gue ketupel event pojok bahasa berniat ngundang lo dan Orenji buat ngisi acara di event gue. Kedua, gue dapet nomor lo dari Hyunsuk. Ketiga, ada urusan apa gue sama lo? Jawabannya udah gue sebut di awal kan. Gue berniat jadiin Orenji sebagai pengisi acara di event pojok bahasa.”

“Oh gitu, kenapa lo gak chat atau imess gue aja dari pada lo nelpon gue setiap hari, bikin gue merasa lagi dikejar-kejar sama debtcollector aja.”

“Ahahaha.., sorry sorry, gue sebenernya udah chat atau imess lo tapi gak dibales samsek makanya gue telpon lo aja setiap hari.”

“Aneh, padahal kan kalo lo butuh kepastian banget lo bisa datengin fakultas gue atau member Orenji lainnya.”

“Duh, gue sih pengennya gitu tapi fakultas lo sama fakultas gue ujung ke ujung banget dan gue agak sibuk ngurus ini itu.”

“Jadi gimana, lo setuju atau engga nih jadi pengisi acara di evet gue?”

“Gue rembukin dulu sama anak-anak ya, nanti gue hubungin lagi.”

“Oke. Sorry ya kalau gue terkesan nerror lo, dan gue tunggu kabar dari lo. Makasih, dan salam buat member lainnya.”

“Oke.”

“Siapa?” tanya Yoshi setelah Junkyu selesai dengan telepon.

“Park Jihoon, ketupel event pojok bahasa. Nawarin kita buat ngisi acara di sana.” jawab Junkyu.

“Jihoon? Kok tuh anak gak hubungin gue ya?”

“Lo kenal?”

“Kenal, dulu satu kelompok sama gue pas ospek.” sahut Yoshi. “Aneh banget padahal dia suka jb-jb instastory gue, dia bisa langsung hubungin gue daripada harus nerror lo kan???”

Junkyu mengangkat bahunya acuh, memilih menghempaskan punggungnya pada sofa empuk rumah Yoshi. “Gak tahu, kayanya dia orang aneh deh.”

“Orang aneh gimana?” Yoshi mendelik. “Dia tuh kupu-kupunya fakultas bahasa asal lo tahu,”

“Kupu-kupu apaan? Kupu-kupu malam?” celetuk Junkyu asal, sukses mendapat toyoran keras dari Yoshi.

“Tolol banget mulutnya.” omel Yoshi. “Nanti lo ngerti deh kalo udah kenal sama dia, anaknya asik kok humoris juga.”

Junkyu mendelik. “Tapi gue gak berminat tuh buat kenal lebih jauh sama dia????????”

“Awas nanti kemakan omongan sendiriㅡ”

“Gak akan. Lagian yang mana sih orangnya, coba gue mau liat mukanya.” Junkyu yang malas bangun memilih merangkak menuju sudut sofa lainnya, mendekati sosok Yoshi. “Lo ada fotonya gak?”

“Buka aja ig nya deh,” sahut Yoshi.

“Username nya apa?”

parkjipark,”

Setelah ketik username di kolom search muncul satu profil, Junkyu membuka profil dengan gambar siluet laki-laki dari belakang itu, lantas mendelik. “Apaan nih, fotonya cuma foto langit gak ada foto mukanya, sejelek itu ya si Park Jihoon ini?” cerocos Junkyu.

“Sialan, mulut lo bener-bener dah Jun.” Yoshi geleng-geleng kepala sambil kemudian menyodorkan ponselnya pada sang teman. “Nih gue ada fotonya, yang samping kanan orangnya.”

Junkyu memperhatikan foto itu. Layar ponsel Yoshi berulang kali di zoom in-zoom out. “Biasa aja tuh,”

Ada dua tipe orang, ada yang lebih cantik dan ganteng di foto tapi aslinya biasa aja dan ada yang di foto sih keliatan biasa aja tapi lebih cantik atau ganteng kalau dilihat secara langsung.

Dan menurut Junkyu, si Park Jihoon ini masuk ke tipe kedua.

Karena gak mau mengakui Jihoon yang emang ganteng, Junkyu lebih suka bilang, “Dia punya vibe dan karisma tersendiri.”

Halah, padahal aslinya ada yang ketar-ketir disenyumin mulu pas pertama kali ketemuan. Siapa? Kim Junkyu orangnya.

Hal pertama yang Junkyu lihat setelah membuka pintu kamar kos adalah sosok Jihoon yang berdiri tegak dengan tangan yang melambai sebelah.

Cowok itu datang dengan celana jeans hitam, kaus putih yang ditimpa kemeja garis-garis berbahan flanel, topi hitam juga masker yang menutupi separuh wajahnya.

“Masuk,” ajak Junkyu.

Jihoon mengekor Junkyu masuk ke dalam kamar kos. Sambil itu tangannya melepas atribut di kepalanya—topi juga masker. Dan saat itu lah Junkyu dibuat sedikit terkejut.

“Lo kenapa anjirrrr?????!!” tanya Junkyu agak histeris.

Masalahnya kantung mata Jihoon bener-bener parah banget, hitam berkantung gitu belum lagi rambut yang udah terlepas dari topi tampak acak-acakan. Hal lain yang Junkyu sadari ada bibir Jihoon yang tampak kering dengan kulit yang mengelupas.

“Gue mimpi buruk.” sambil menjawab Jihoon sengaja menubrukkan badannya pada badan Junkyu.

Membiarkan yang lebih muda refleks melingkarkan tangannya di sekitar pinggang yang lebih tua.

“Hah? Mimpi buruk gimana?” menahan rasa geli yang mulai merambat saat dirasa deru napas Jihoon menerjang kulit lehernya, Junkyu bertanya.

“The worst nightmare,” setiap kali mengingat bunga tidur yang membuatnya terbangun di tengah malam hingga terjaga semalaman suntuk itu Jihoon refleks mengeratkan rengkuhannya pada leher Junkyu. “I lost my sunshine.”

“Hah?”

“Elo Junkyu. Gue mimpi kehilangan elo—karena alasan yang sangat amat sepele.”

“Itu cuma mimpi—”

“Bener, tapi berkat mimpi buruk itu gue sadar satu hal.” pelukan terurai ketika Jihoon memindahkan tangannya ke atas dua pundak lebar Junkyu. Menatap mata bulat itu lekat. “Gue sadar kalau selama ini gue hampir gak pernah ngaku, sesayang apa gue ke elo.”

Jihoon membawa wajahnya mendekat dengan milik Junkyu. Sengaja mempertemukan ujung hidung bangir mereka, digesek pelan sampai menimbulkan afeksi geli di dalam perutnya.

“Gue sayang sama lo, lebih dari apapun Kim Junkyu.”

“Gue tahu, tanpa perlu lo bilang gue udah paham, Jihoon.”

Sudut bibir Jihoon berkedut sebelum akhirnya terangkat membentuk kurva manis. “Makasih udah jadi orang yang memahami gue.”

“Makasih juga...” Junkyu balas dengan mengecup singkat permukaan pipi kekasih dua tahunnya. “Udah bertahan sama gue apapun kondisinya.”

Kini keduanya saling melempar senyum paling manis dan paling indah yang pernah mereka miliki. Mungkin kelihatannya itu hanya sebuah senyum biasa, tapi keduanya sama-sama paham kalau dibalik lengkungan kurva indah itu tersimpan makna yang dalam.

Bersama dengan usapan lembut di atas pipinya, Jihoon mendadak mendapatkan kembali rasa kantuk.

“Ngantuk?” tanya Junkyu, menyadari kalau kelopak mata kekasihnya mulai mengerjap berat.

“Iya,” jawab Jihoon disertai dengan dehaman lembut.

“Tidur sana.”

Jihoon bergerak menuju satu-satunya kasur di ruangan itu, sebelum benar-benar berbaring dia setengah menarik lengan Junkyu. “Temenin.”

“Hah?”

“Mau tidur sambil peluk elo, biar mimpi buruknya gak datang lagi.” pinta Jihoon. Persis seperti anak TK yang meminta ijin dibelikan mainan.

Telapak tangan besar Junkyu bergerak menyapu surai gelap Jihoon dan tak lupa mengelus alis lebat di atas mata sipit itu. “Oke.”

Akhirnya dua anak adam itu saling merengkuh di balik gelungan selimut. Udara serta cuaca mendadak mendung—tak lama hujan turun dengan deras, seakan mendukung kedua anak adam ini untuk kembali meraih dunia mimpi.


Di samping Juna yang tengah membaluri kaki—yang terluka karena kecerobohannya saat mengantar Mama ke pasar tadi siang—dengan minyak tawon ada sosok Jian, duduk sambil memangku sebuah gitar jadul milik Juna.

Juna sesekali melirik ke samping, berpikir keras karena agaknya terakhir kali ia ingat gitar tua—yang dibeli saat kelas satu masa putih biru itu—tersimpan rapi di dalam gudang. Harusnya gitar jadul dengan banyak coretan spidol permanen juga beragam jenis stiker itu nampak usang atau berdebu, tapi sebaliknya, benda yang ada dalam pangkuan Jian nampak bersih dan terawat.

“Dapet gitar gue dari mana?” tanya Juna akhirnya.

Jian melirik sekilas dengan jari yang sibuk menyetel ulang senar gitar. “Tadi bokap lo kasih pinjem,” jawabnya.

“Papa?” dahi serta alis Juna mengkerut. “Kok bisa?”

“Mana gue tahu...” Jian mengangkat bahu acuh, sama sekali tidak menoleh meski Juna sudah memutar badan menghadap sempurna padanya.

“Emang bisa main gitar?” tanya Juna. Dari nada tanyanya sih terdengar ada sedikit ejekan tersirat di dalamnya. “Jari lo kaku gitu metik senar gitar.”

Jian mengangkat wajah, hal pertama yang Juna lihat adalah kernyitan dahi serta alis menukik tajam—sarat akan ketidaksetujuan atas pertanyaan ejekan barusan. “Ngeremehin nih?” delik Jian. Alis sebelah kanannya terjun bebas alias membiarkan alis lainnya naik semakin tinggi.

“Oh...” raut mengejek yang lebih muda digantikan dengan cengiran. “Bisa main gitar ternyata, coba mainin satu lagu.”

Merasa tertantang dan kebetulan senar gitar selesai disetel ulang, Jian mulai memetik senar gitar jadul milih Juna. Tidak disangka jari-jari tangan yang Juna pikir akan bergerak kaku nyatanya bergerak lihai saat berganti chord, pun jari tangan lainnya tampak lemas memetik senar—meski sedikitnya Juna sadar di awal terlihat kagok.

Intro dimainkan dan demi Tuhan, Juna hampir tertawa keras setelah sadar lagu apa yang Jian bawakan.

Seriously... apa gak terlalu jadul lagunya?” komentar Juna.

Sudut bibir Jian tertarik ke atas. “Why? Kan satu vibe sama gitar jadul lo...”

“Lo nyanyi dong,” pinta Jian tepat setelah bagian intro terlewatkan. Juna hendak protes tapi Jian lebih dulu menambahkan, “nanti lo ketawa kalo denger suara gue.”

Juna tertawa sebentar sebelum akhirnya menuruti permintaan yang lebih tua, bernyanyi mengikuti petikan senar gitar jadul dalam pangkuan Jian.

Dear God the only thing I ask of you is To hold her when I'm not around When I'm much too far away

We all need that person who can be true to you But I left her when I found her And now I wish I'd stayed 'Cause I'm lonely and I'm tired I'm missing you again oh no Once again

Bagian reff lagu milik Avenged Sevenfold berjudul Dear God itu berhasil lewat, alih-alih melanjutkan, setelah menarik napas Juna justru berhenti bernyanyi.

“Kenapa berhenti?” tanya Jian masih tidak berhenti genjreng.

“Matiin tv dulu bentar, remote mana dah?” sahut Juna.

“Ujung sofa tuh, gak keliatan?”

Sambil menghela napas karena harus beranjak bangun untuk ambil remote—fyi, luka lecet bekas jatuh dari motor tadi siang masih terasa agak nyeri makanya Juna mager gerak banyak.

Can't help but think of the times I've had with you Pictures and some memories will have to help me through, oh yeah

Bersamaan dengan tv yang mati suara itu terdengar. Suara canggung itu menyapa indra pendengaran Juna, kaget, Juna menoleh cepat.

Mendapati Jian tengah menunduk. Juna tidak bisa lihat apakah mulut cowok itu bergerak tapi seratus persen Juna yakin yang saat ini bernyanyi adalah Jian.

Ya siapa lagi, toh cuma ada Juna dan Jian di ruang tengah rumah besar orangtuanya.

“Kenapa berhenti?”

Jian agak terlonjak saat Juna tiba-tiba duduk sangat dekat dengannya, tangan kanannya bahkan sampai berhenti bergerak.

“Kaget!” protes Jian.

“Nyanyi lagi,” pinta Juna, sama sekali mengabaikan protesan yang lebih tua.

“Gak mood,” tapi Jian benar-benar berhenti. Si Nataprawira sekarang menjauhkan gitar dari pangkuannya.

“Nyanyi ih.” pinta Juna sekali lagi, menahan Jian menaruh gitar jadulnya ke atas meja. Memaksa sang manajer untuk tetap memangku benda itu.

“Gak.” tolak Jian.

“Kenapa ih, gue mau denger lo nyanyi lagi.” gemas dengan penolakan tegas Jian terpaksa Juna merebut gitarnya, memaksa kedua kakinya bersila untuk memangku gitar dengan nyaman—meski agak nyeri karena luka besut bekas nyeblos selokan yang masih basah itu menyentuh permukaan sofa—lantas segera memetik senar gitar.

Melanjutkan ke bagian dimana Jian berhenti di tengah jalan.

“Nyanyi Ji,” pinta Juna, masih sangat memaksa Jian bernyanyi. Ia bahkan tak segan mendorong-dorong bahu Jian dengan miliknya. “Nyanyi buruan ih!”

Di saat Juna makin ngotot saat menggenjreng gitarnya Jian mendelik aneh, “males!” serunya sambil tiba-tiba beranjak bangun, segera melengos keluar rumah.

“HEH! MAU KEMANA???!!!!”

Bukan jawaban yang Juna dapatkan, tapi lambaian tangan yang disusul dengan bunyi pintu tertutup.

“Sialan, gue ditinggal sendirian.” meninggalkan Juna yang mulai mendumal keras.

tw // dirty talk, kiss scene, harsh and frontal word, mentioning sex habit.

“Apapun itu kita lakuin bareng-bareng.”


“Ini rumah apa gudang sih?“ 

Suara Jihoon terdengar agak keras dari arah ruang tengah. Gak hanya itu, Junkyu juga sempat dengar dumalan Jihoon lainnya yang kurang lebih memprotes kenapa meja dan tv terlihat berdebu.

“Kayanya sih kandang babi,”

Suara Junkyu terdengar menyahuti dari arah dapur. Niat ke dapur mau ambil minum tapi malah dihadapkan dengan cucian piring yang menumpuk, belum lagi di atas meja makan banyak barang seperti gelas dan sendok berserakan. Atau sampah yang belum dibuang entah sejak berapa hari yang lalu.

Sebersih apapun Jihoon atau Junkyu, apasih yang kalian harapkan dari dua orang laki-laki yang sama-sama gila kerja?

Kamar mereka yang bersih dan rapi aja udah syukur banget.

“Park Jihoon!” panggil Junkyu, keluar dari dapur sambil menenteng botol air mineral dingin. “Panggil tukang bersih-bersih kek lo!”

“Hah?” Jihoon noleh. “Kenapa gak kita aja yang bersih-bersih?”

Junkyu mendelik, hampir aja getok kepala Jihoon pakai botol air. “Males. Capek.” katanya. “Mending panggil tukang bersih-bersih aja deh, gue yang bayar kalau lo gak mau bayar. Gak usah kaya orang susah.”

“Duit lo duit gue juga kalo lo lupa.” respon Jihoon seraya meraih ponselnya, lantas menghubungi tukang bersih-bersih yang memang sudah biasa datang ketika mereka panggil.

“Bu Jiah bakal datang sejam lagi katanya.” kata Jihoon setelah selesai menutup sambungan telepon. Ponselnya kembali di taruh di atas meja.

“Bagus deh,”

Junkyu berniat duduk—gak tahu kenapa dari tadi malah berdiri di sebelah sofa waktu liatin Jihoon telepon Bu Jiah—tapi sebelum pantatnya mendarat di atas sofa kosong, tangannya ditarik sampai mendarat di atas paha Jihoon.

“Cium dong, upah gendong lo tadi pas lari.” pinta Jihoon tiba-tiba sambil sengaja badan Junkyu diarahin sempurna saling berhadapan dengan kaki melingkari pinggangnya.

Tumben, Junkyu menuruti permintaan Jihoon tanpa banyak debat.

For your information nih kawan-kawan, mereka tuh emang gak bisa romantis. Kenapa? Gak tahu kenapa, tapi setiap mau ciuman atau cuddle kadang ribut dulu.

Kalau sekelas skinship aja ribut, gimana menyangkut sexual routine mereka? Of course, ribut dulu, bahkan mungkin agak lebih parah.

Ributin apa sih? Jelas, ributin soal posisi.

Sebulan pertama setelah nikah tuh mereka sempet gak saling tegur selama dua hari karena dua-duanya gak ada yang mau ngalah. Sama-sama gak mau menjadi pihak bawah bikin mereka gak pernah bisa lebih dari ciuman selama kurun tiga bulan pertama nikah.

Terus gimana?

Jihoon dengan segala cara yang didukung sama otak encernya plus kemampuan dia persuasif-in orang lain, akhirnya berhasil masuk. Itu pun Junkyu harus dibujuk mati-matian dan disodori janji switch posisi di masa depan—yang tentunya hanya bohong belaka.

Lagian, setelah berhasil masuk siapa juga yang bakal ngebiarin dirinya dimasukin orang lain? Gak ada.

“Hngh!” Junkyu menarik diri di tengah perang lidah barusan. Mendelik sambil megangin bibir bawahnya yang kerasa perih.

Oh, berdarah.

“Ck! Kebiasaan lo gigit-gigit!” yang dipangku mulai mengomel sambil tepuk-tepuk pipi Jihoon agak keras. “Nanti jadi sariawan, tau!”

“Maaf maaf gak sengaja sumpah,” sambil menarik tangan Junkyu menjauh dari bibirnya, Jihoon ganti dengan kecupan lembut. “Udah tuh, udah gue cium. Gak bakal jadi sariawan.”

Junkyu masih berdecak, tapi gak mau mempermasalahkan perih di bibirnya. Dia menunduk, menggapai kulit leher Jihoon. Mencium, menyesap sampai meninggalkan rekam jejak di sana sebagai bentuk balas dendam.

“Oiya Hoon...” panggil Junkyu, mensejajarkan kembali wajahnya dengan wajah Jihoon.

“Hm?” mereka hanya sempat bertatapan beberapa detik sebab wajah Jihoon sudah turun dan terbenam di atas dadanya yang berisi.

“Tadi gue berhasil lari pagi, berarti lo harus turutin satu keinginan gue.” Junkyu mengelus-elus bagian belakang kepala Jihoon, jarinya bermain-main dengan anak rambut yang lebih tua.

“Lo mau apa? Bilang aja...” sahut Jihoon.

Junkyu tidak langsung menjawab sebab mendadak dia merasa dingin kala kaus yang dia pakai ditarik ke atas sebatas dada. Lantas mengerang saat mulut Jihoon bermain-main di dadanya.

“Ji—Hoonn...” gak mau terang-terangan mendesah, Junkyu milih gigit bibirnya kuat-kuat.

Junkyu kasih jeda sekitar lima sampai tujuh menit buat Jihoon main-main, setelah di rasa gak tahan Junkyu langsung tarik mundur kepala Jihoon.

“Gue baru mandi,” kata Junkyu seraya menarik turun kausnya. Mengusap-usap bagian dadanya—ngilangin bekas basah gara-gara Jihoon.

“Oke.” Jihoon mau protes tapi mengingat ia sudah dapat ijin masuk seminggu penuh jadinya ia mengalah. Toh, nanti malam ia bisa dapat lebih. “Tadi, lo mau minta apa?”

“Anak.” jawab Junkyu langsung. Beneran langsung gak ada jeda dari pertanyaan Jihoon. “Gue mau punya anak, Hoon.”

“Maksud lo kita adopsi anak?” tanya Jihoon.

Junkyu mengangguk semangat. Binar matanya yang berkilat tanpa sadar membuat rongga dada Jihoon menghangat.

“Perempuan atau laki-laki?” Jihoon kembali bertanya sembari menyamankan posisinya bersandar pada sofa.

“Laki-laki aja kali ya, biar gak ribet.”

“Bukannya dua-duanya bakalan sama-sama ngeribetin?”

“Emang. Tapi maksud gue di sini, kalau perempuan kita tetep gak bisa jadi wali buat dia sepenuhnya, lo ngerti kan???”

Jihoon berpikir sebentar. “Oh.. iya juga.”

“Makanya laki-laki aja biar gak ribet.” kata Junkyu, mencuri kecupan singkat di atas bibir Jihoon lalu sengaja menyandarkan kepalanya pada pundak yang lebih tua.

“Kemarin gue iseng nanya-nanya kenalan gue yang pegang panti asuhan,” Jihoon merasakan jari telunjuk Junkyu bergerak memutar di atas dadanya. “Dia bilang belum lama ini kedatangan bayi yang dibuang di depan pintu panti. Bayinya masih merah, jahat banget gak sih orang tuanya?”

“Iya, jahat.” respon Jihoon. Telapak tangannya mengusap-usap punggung Junkyu.

“Terus kemarin gue datang ke pantinya, awalnya cuma mau liat-liat. Tapi pas gendong si bayi yang masih merah ini gue ngerasa kasihan, bahkan gak sadar gue ikut nangis waktu dia nangis.”

Rengkuhan Junkyu mengerat tiba-tiba. “Gue gak tega liat dia nangis, Hoon, gak tega banget. Makanya... makanya gue berniat adopsi dia, biar dia gak kesepian.”

“Gue sih gak masalah, Jun. Tapi pertanyaannya, apa kita siap buat jadi orang tua dalam waktu dekat?” tanya Jihoon. “Apalagi ini bayi yang masih merah. Dan lo tahu sendiri, kita sama-sama workaholic.”

Pelukan terlepas. Junkyu tatap mata Jihoon lekat-lekat. “Lo tahu gak Hoon, kenapa akhir-akhir ini kita gak pernah permasalahkan soal posisi atau kenapa gue gak pernah protes lagi lo masuk terus-terusan?”

Gelengan kepala Jihoon yang samar Junkyu dapatkan.

“Itu karena gue udah bisa terima status pihak bawah—”

“Pihak atas atau pihak bawah itu cuma posisi sewaktu sex Junkyu sayang,” selak Jihoon. “Selain urusan sex kita masih sama-sama laki-laki.”

“Tapi—”

“Apapun itu kita lakuin bareng-bareng.” potong Jihoon lagi. “Ngurus rumah, soal kerjaan atau nanti masalah ngurus anak kita lakuin bareng biar balance.”

“Hoon...”

“Kim Junkyu gantengnya Park Jihoon,” Jihoon mengulas senyum lalu melumat singkat bibir Junkyu. “Sebelum kita adopsi anak ada baiknya kita latihan jadi orang tua yang baik dan benar. Dedek bayi nya bisa nunggu sebentar kan, sampai kita bener-bener siap?”

Senyum Junkyu ikut merekah, bahkan matanya sekarang berkaca-kaca. “Iya...”

“Menjadi orang tua itu pekerjaan dan tanggung jawab seumur hidup, Jun. Kita gak boleh ada celah sedikit pun kalau mau anak kita tumbuh jadi pribadi yang hebat, paham kan?”

Bersamaan dengan kepalanya yang mengangguk air mata Junkyu ikut turun.

Jihoon tertawa kecil. “Gak usah nangis dong sayang...” lalu membawa Junkyu kembali ke dalam pelukan hangat.

“Makasih... makasih banyak... makasih banyak... I love you, Park Jihoon. Very very love you...”

Rongga dada Jihoon makin menghangat. Ia mempererat rengkuhannya sambil balas membisikkan kata cinta langsung di depan telinga Junkyu.

More than you, I really love you too.

Namanya juga Teman Hidup.

tw // dirty talk, kiss, mentioning sex, harsh and frontal word.


'BANGUNNN HEIIIIII BANGUNNN'

Ponsel dengan layar lebar yang tergeletak di atas meja nakas itu kembali berbunyi nyaring. Terhitung sudah berbunyi sebanyak tiga kali selama kurun waktu setiap lima menit.

Kasur bergoyang pelan, satu dari dua manusia yang bergelung di dalam selimut terbangun dengan tangan  yang meraba-raba meja nakas di sebelah kasur.

“Ck!” decakan kasar itu terdengar bersamaan dengan berhentinya bunyi teriakan Kim Junkyu yang disetel sebagai bunyi alarm.

Sekarang hari minggu, hari libur dan masih pukul lima lewat lima belas menit. Matahari bahkan masih mengintip malu-malu di atas sana, tapi Park Jihoon dibuat terbangun karena bunyi alarm yang Junkyu pasang setiap lima menit sekali.

“Heh!” dengan sedikit rasa kesal Jihoon menggoyangkan badan besar Junkyu yang tidur di sampingnya, dengan kaki. Tangannya asik memeluk guling jadi pakai kaki aja. “Bangun! Katanya mau lari pagi!”

Lambat laun kaki Jihoon dirasa bukan menggoyangkan badan Junkyu lagi, tapi mulai menendang sampai suaminya itu terpojok ke pinggiran kasur.

Sekali tendangan lagi Junkyu pasti jatuh—

DAK!

Nice! Junkyu beneran jatuh dari kasur.

“Park Jihoon!” dan yang Junkyu teriakan pertama kali—di tengah kesadaran atau nyawa yang belum sepenuhnya terkumpul—adalah nama Jihoon. “Anjinggggg!!!!”

Atas tendangan yang didapat sampai terjatuh dari kasur, Junkyu membalas dengan menampar betis kencang Jihoon—PAAKK!!—dari bunyinya pun semua pasti tahu sesakit apa efeknya.

“Sakit bangsat!!!” Jihoon mengaduh, posisi setengah berbaring nya berubah menjadi terduduk sambil mengelus-elus betis yang memerah. “Kdrt!”

“Elo juga!” karena masih kesal Junkyu melempar bantal ke wajah Jihoon. “Lagian, bisa gak sih lembut dikit kalo bangunin suami??!!!”

“Udah! Lo nya gak mau bangun!” sungut Jihoon gak mau sepenuhnya disalahkan. “Kata gue juga apa, gak usah belaga mau lari pagi kalau bangun pagi aja susah!”

“Lo tuh—gak bisa apa support gue sekali-kali????” dumal Junkyu. “Dasar nyebelin!”

Junkyu beranjak—setelah tadi puas memukuli badan Jihoon secara brutal dengan guling—masuk ke dalam kamar mandi.

Semalam sebelum pergi tidur Junkyu bertekad mau lari pagi. Jihoon sempat sangsi kalau keinginan suaminya itu terpenuhi, gimana ya realistis aja deh. Gak cuma Jihoon, tapi dua-duanya kalau hari libur tuh bakal bablasss bangun siang-siang.

“Kalo gue jadi lari pagi, lo harus kabulin satu keinginan gue, deal?” tantang Junkyu.

Jihoon yang sedang membalas grup chat melirik sekilas. Mendelik dulu sebelum menjawab, “Deal.”

Nice! Gue mau pasang alarm banyak-banyak biar bangun pagi!”

Jihoon geleng-geleng kepala lihat Junkyu beneran nyetel banyak alarm di hapenya. Padahal kan gak perlu bikin taruhan supaya keinginannya dipenuhi, Junkyu minta pun pasti bakalan Jihoon kabulin.

“Malah tidur lagi sih...” keluar dari kamar mandi dengan wajah yang lebih segar, Junkyu mendelik gak suka lihat Jihoon yang justru tidur lagi. “Bangun ih! Lari pagi ayo!”

Seakan tepukan di atas pahanya bukan masalah besar, Jihoon bergeming. Dan Junkyu makin sebal dibuatnya.

“Bangun Park Jihoon! Lari pagi!”

Pertama Junkyu tarik selimut.

“Heh! Bangun!”

Kedua Junkyu tarik paksa guling dan bantal.

Masih gak bangun juga?

“Kim Jihoon!”

PLAK

Junkyu terpaksa nampar pantat Jihoon.

Apakah berhasil?

Tentu saja, buktinya Jihoon langsung duduk dengan mata melotot.

“Lo tuh—” mulutnya gatal mau mengumpat tapi Jihoon telan bulat-bulat umpatannya, masih pagi buat bertengkar. Kasian tetangga mereka. “Ada apa sih, Junkyu sayang?”

“Dih apa-apaan manggil sayang gitu, geli!” protes Junkyu.

Hilih.

Padahal kalau lagi begitu Junkyu paling seneng kalo dipanggil sayang. Dibisikin pake kalimat-kalimat soft di depan telinganya, dicium-cium bibirnya sambil di—STOP KENAPA MALAH NGARAH KESANA SIH??!!!

“Temenin gue lari pagi!” kata Junkyu.

“Di perjanjiannya gak ada nyebut gue harus nemenin lo lari pagi, gak ada. Gue mau tidur, lo lari pagi sendiri—”

“Temenin please....” Junkyu mulai memohon-mohon pakai wajah polosnya.

Jihoon lemah sebenarnya tapi sekarang rasa kantuknya lebih menguasai. “Gak. Gue beneran ngantuk, Jun. Lo tahu sendiri gue baru tidur jam dua pagi—”

“Temenin gue, lo boleh masuk seminggu penuh.”

“—siap kapten!” gak pakai lama lagi Jihoon loncat dari atas kasur, melesat masuk kamar mandi. “Tungguin bentar gue cuci muka sama sikat gigi!”

Melihat Jihoon yang mendadak semangat bikin Junkyu mengumpat. “Emang dasar otak selangkangan!!!”


Terhitung tiga tahun empat bulan mereka menikah, semua berjalan sebagaimana seharusnya. Jihoon tetap menjadi Jihoon yang biasanya, begitu pula Junkyu.

Gak ada yang benar-benar berubah dari Jihoon atau Junkyu yang kalian kenal sebelumnya. Sebenarnya perubahan itu ada sih, hanya saja tidak banyak.

Mereka sekarang tinggal di sebuah rumah minimalis di daerah perumahan bernama Kencana. Sejak menikah mereka berangkat kerja bersama, setahun kebelakang mereka mendirikan sendiri kantor konsultan bersama beberapa rekan kerja lama mereka.

Tidak ada yang percaya kalau Jihoon dan Junkyu ini sepasang yang telah menikah.

Gimana ya, tingkah mereka tuh beneran gak ada romantis-romantisnya—bukannya romantis tapi malah frontal nyerempet mesum gak tahu tempat—gak ada lembut-lembutnya—malah cenderung kasar satu sama lain, bahkan saling mengumpati satu sama lain tuh bukan hal baru lagi.

Wajar sih, namanya juga Teman Hidup. Seperti namanya mereka ini beneran udah kaya temen—tapi punya rasa sayang yang lebih dari kata temen pada umumnya—yang memutuskan bakalan hidup bareng sampai ajal menjemput. Ditambah sama bumbu-bumbu dewasa tentu saja, karena seperti yang kita tahu, mereka ini sudah menikah.

“Yaelah, baru lima puteran udah nyerah sih.” kata Jihoon setengah mengejek.

Sejauh ini mereka berhasil mendapat lima putaran taman area perumahan, tapi di putaran ke enam Junkyu tiba-tiba nyerah. Meluk Jihoon dari belakang, sengaja menumpukan seluruh badannya pada punggung sang suami.

“Capek Hoon...” sahut Junkyu.

Jihoon mau lanjut ngejek tapi gak tega, soalnya Junkyu beneran keliatan secapek itu. Gak aneh sih, biar dulu mantan atlet jaman masih jadi mahasiswa selepas lulus Junkyu gak pernah lagi olahraga. Cuma Jihoon yang masih olahraga, meski gak sering.

“Mau pulang aja?” tawar Jihoon yang langsung direspon anggukan oleh Junkyu.

Jihoon meraba-raba kaki Junkyu. “Gue gendong ya?” sekali lagi Junkyu mengangguk, membiarkan yang lebih tua mengangkat badannya di punggung. Sementara dia sendiri melingkari leher Jihoon dengan tangan.

“Ada bubur Mang Cecep, mau?” tawar Jihoon lagi. Gak sengaja lihat tukang bubur langganan mereka mangkal di taman.

Junkyu mendelik. “Kan, niat gue lari mau ngilangin lemak. Lari aja cuma dapet lima puteran masa langsung lo ajak makan bubur?”

“Ya emang kenapa?” respon Jihoon. “Lo lemes gini ya butuh asupan, biar tenaganya balik lagi.”

“Lagian lemak mana sih yang mau lo ilangin? Badan lo tuh udah proposional, udah bagus gak perlu buang-buang lemak segala.”

Junkyu mendelik. “Elo kok jadi ceramah sih? Kan... elo yang dua hari lalu ngomong, gue gendutan.”

Langkah kaki Jihoon terhenti. Kepalanya yang semula melihat lurus ke depan sekarang menoleh ke samping. Hembusan napas hangat Junkyu menyambut wajahnya.

“Emang iya?” ragu Jihoon. “Gue... pernah ngomong gitu?”

“Iya.” balas Junkyu, sengaja mendusalkan ujung hidungnya ke dalam pipi Jihoon. “Kata lo paha, betis, lengan, sama pipi gue isinya lemak semua.”

“Masa... gue pernah bilang gitu?” Jihoon kaget dong, soalnya dia ngerasa gak pernah ngomong kaya gitu ke Junkyu.

“Lo gak bilang sama gue langsung sih...” kata Junkyu, sekarang memilih mendusalkan wajah di ceruk leher Jihoon. Keringetan sih Jihoon, tapi gak papa, Junkyu tetep suka soalnya Jihoon wangi. “Gue gak sengaja denger obrolan lo sama Jaehyuk.”

Oh itu.

Jihoon ketawa, entah kenapa ia merasa lega.

“Kenapa ketawa?” tanya Junkyu bingung.

“Lo salah paham.” kata Jihoon. “Pasti lo gak denger semua omongan gue kan?”

Iya sih, Junkyu cuma denger sekilas soalnya dia udah terlanjur kesel gitu.

“Waktu itu gue emang bilang kaya gitu,” Jihoon nangkap ujung hidung Junkyu dengan mulut, digigit pelan terus dikecup lembut. “Tapi gue suka. Gue suka lo apa adanya Jun. Baik sifat atau badan lo, gue beneran suka, sayang dan cinta lo apa adanya.”

“Gue suka pipi gendut lo,” Jihoon memaksa dirinya menahan badan Junkyu dengan satu tangan, tangan yang bebas hinggap di pipi Junkyu. Pipi bulat itu ditusuk-tusuk, dicubit-cubit tapi setelah itu diusap-usap sayang.

“Gue suka lengan lo yang berisi,” tangan Jihoon beralih nepuk-nepuk lengan Junkyu. “Enak dijadiin sandaran  dan bantal soalnya.”

“Gue suka paha lo yang banyak lemaknya ini,” dua tangan Jihoon balik menahan badan Junkyu, bedanya telapak tangan si Park bergerak agak naik. Ngelus-ngelus paha Junkyu yang tertutup celana training. “Enak aja gitu digigit-gigit pas lagi begitu hehe.”

Direspon toyoran kepala dari Junkyu, “dasar otak selangkangan!”

Jihoon ketawa terus beralih raba-raba betis Junkyu. “Kalo betis, gak tahu kenapa gue lebih suka liat betis lo berisi. Kalo gak berisi jelek aja di mata gue, kaya ranting, gak suka.”

“Gombal gembel lo!” lagi, toyoran Jihoon dapatkan.

“Salting lo ya?” ejek Jihoon.

“Gak! Mana ada!” elak Junkyu. “Buruan jalan, gue mau makan bubur!”

Jihoon menggeleng. “Cium dulu?????”

Junkyu melotot. “Sinting! Ini banyak orang, tolol!”

“Biasanya juga malu-maluin,” dengus Jihoon kemudian lanjut jalan dengan arah yang belok sedikit terarah menuju gerobak bubur.

“Malu-maluin yang lo sebut beda konteks!”

“Iya iya!”

“Ck, gak usah sok ngambek lo tai. Atau batal masuk seminggu penuh nih—”

“Iya enggak sayang...” senyum Jihoon langsung merekah lebar. Junkyu mendecih, bisa-bisanya senyum paksa Jihoon seganteng itu—padahal Junkyu cuma bisa liat dari samping tapi udah ASDGSJAJSKAJAKAKAKAKA.

“Bacottttt~~ buruan dah, keburu abis buburnya!”

Junkyu mah gitu, sok galak, padahal mah salting hehe.

“Is everything you ever want, is everything you ever need. Is, right in front of you. So... what are you searching for?”


Sejak awal membuka mata sebenarnya perasaan Jihoon udah gak enak, ia lumayan peka untuk mengira-ngira apa aja yang akan terjadi di kesehariannya. Dan untuk hari ini, Jihoon agak ragu, feelingnya agak gak enak gitu.

Biasanya sih kalo udah ngerasa kaya gini, “pasti hari ini bakal jadi hari sial.”

Makanya seharian ini mood Jihoon agak turun, si Park milih lebih banyak diam untuk mengurangi sesuatu yang gak diinginkan terjadi.

Selepas jam makan siang selesai Jihoon kembali ke meja kerjanya, mendapati sebuah file di atas tumpukan list piutang klien yang sedang ia selidiki. Dengan kening mengkerut halus Jihoon meraih file yang ternyata berisikan sebuah proposal.

Proposal yang diprint terus dijilid dengan sampul bening di bagian depan dan kertas warna merah di bagian belakang. Duh, Jihoon jadi teringat kenangan masa kuliah jaman ia masih aktif di organisasi, kan kerjaan Jihoon ngoreksi proposal.

Anehnya—karena sampul jilid bagian depannya warna bening—otomatis halaman pertama proposal keliatan jelas. Kerutan di kening Jihoon makin berlipat saat membaca judulnya,

Analisis Pengaruh Eksistensi Park Jihoon dalam Hidup Kim Junkyu.

Ah, bahkan Jihoon bisa melihat dengan jelas potret dirinya bersama Junkyu dibagian tengah halaman cover.

Dengan rasa penasaran Jihoon meraih proposal tersebut, di bawa ke depannya lalu dibawa perlahan-lahan setiap kata dan kalimat yang tertulis di sana.

Beragam ekspresi wajah Jihoon perlihatkan selama ia membaca proposal dengan jumlah halaman sebanyak empat belas lembar tersebut. Mulai dari kening mengkerut, tersenyum lebar, terkikik sampai tertawa pelan.

Meski tidak menutup kemungkinan selama membaca karya Kim Junkyu tersebut, kepalanya kembali mengingat kenangan di masa lampau. Hatinya jadi ikut nano-nano.

Maka saat sampai di halaman terakhir Jihoon segera meraih ponselnya dari dalam saku celana, mengetikkan pesan singkat untuk Junkyu.

Lima belas menit menunggu tanpa ada balasan Jihoon akhirnya beranjak, menghampiri meja kerja Jaehyuk.

“Elo kan, yang naro proposal ini di meja gue?” tanya Jihoon to the point.

Jaehyuk yang merasa sedang didamprat, soalnya muka Jihoon tuh sekarang datar dingin gitu Jaehyuk jadi takut.

“I-iya Kak,”

“Kasih tahu gue, dimana penulisnya sekarang.”

“I-itu...”

“Kasih tahu sekarang atau gue laporin Pak Janit nih kerjaan lo cuma godain klien—”

“Pantry! Kak Jun ada di pantry!” jawab Jaehyuk akhirnya.

“Gitu kek dari tadi,” dumal Jihoon sebelum pergi melengos keluar ruangan dengan langkah lebar.

“Duh, gak yang Virgo gak yang Pisces, sama-sama demen ngancem. Nyebelin!” dumal oknum Yoon Jaehyuk.


“Hoi, Kim Junkyu.”

Panggilan itu tidak hanya menarik perhatian si pemilik nama, melainkan hampir seisi pantry—yang saat ini hanya berisikan tiga orang—menoleh secara bersamaan.

“H-hoi...” Junkyu si pemilik nama yang tadi diserukan merespon dengan cengiran lebar yang kaku. Gak sadar, sekarang tangannya yang memang gelas isi kopi, nyengkerem gelas.

Jihoon mendelik, mengangkat proposal di tangannya dengan alis terangkat sebelah. “Gak mau jelasin ini apa?”

“O-oh itu...”

“Di halaman terakhir katanya gue disuruh temuin elo, ada yang mau diomongin?????”

Junkyu gak jawab tapi dia berdiri dari duduknya, taruh gelas isi kopi yang sisa setengah ke atas meja pantry, terus pamitan sama dua cleaning service yang tadi nemenin dia ngobrol.

“Pamit dulu Pak, ada urusan penting menyangkut masa depan hehe...” pamit Junkyu lengkap dengan cengiran lebarnya.

Tapi sampai di depan Jihoon cengiran lebar itu luntur dikit-dikit. Abisnya muka Jihoon tajem banget, gak ada senyum gitu kan serem.

Junkyu takut sih, tapi mau gimana pun dia tetep Kim Junkyu. Rasa takut itu musnah dalam dua menit, “biasa aja dong tuh muka!” celetuk Junkyu sambil muter badan Jihoon terus dirangkul pundaknya erat-erat.

Wajah si Kim kini bergerak sampai ke depan telinga sebelah kiri si Park. “Pilih satu, mau restoran bintang lima atau hotel bintang lima?”

Bukannya jawaban yang Junkyu terima, melainkan bogeman mentah di atas perutnya.

Junkyu melotot dengan mulut yang terbuka hendak protes, tapi Jihoon lebih dulu menyahut “emang lo harus gua pukul dulu ya? Biar serius dikit hm?” sahut si Park dengan garis rahang yang makin tegas karena sengaja dikeraskan rahangnya, plus tangan yang menyugar rambut asal—yang sebenarnya terkesan frustasi.

Tapi di mata Junkyu, Jihoon malah keliatan makin ganteng, manly, makin-makin mirip sama masa depannya.

“Lo—” mengabaikan rasa nyeri yang hinggap di perutnya, Junkyu maju menerjang Jihoon. Menggapai dan memegang kencang kerah kemeja Jihoon. “—gak mau tahu, lo harus nikah sama gue! GUE SUKA, SAYANG, CINTA SAMA LO! I LOVE YOU FULL PARK JIHOON, PLEASE MARRY ME!!!!!”

Jihoon kaget karena teriakan Junkyu. Tapi lebih kaget dengan refleks dirinya sendiri yang tiba-tiba maju, nyium Junkyu saat itu juga.

“With all my pleasure I'll marry you, Kim Junkyu.”

PLEASE BAWA GUE KE KUA SEKARANG JUGA!!!!”


Gara-gara chat Lucas, Jihoon gak bisa gak kepikiran. Dan makin kepikiran sewaktu liat muka Junkyu.

“Lo kenapa sih?” tanya Junkyu, soalnya Jihoon hari ini aneh banget kaya gak mau gitu liat mukanya. “Di muka gue ada apaan, sampai lo gak mau liat muka gue????”

Akhirnya Junkyu gerak juga. Nyekal dagu Jihoon dan di arahkan supaya bertatap-tatapan, “jawab gue Park Jihoon, lo kenapa?”

Semoga lo di bawah.

“Sialan.” Jihoon refleks ngomong gitu, dan Junkyu refleks tabok bibirnya sampai bunyi Tak! yang agak kenceng.

“Aduh!” si Park jelas meringis, barusan tuh agak sakit.

“Gue ada salah apa sampe lo katain sialan hah?!” protes Junkyu.

Jihoon gak jawab apalagi menjelaskan secara jelas. Yang lebih tua hanya mendumal sambil melengos masuk ke dalam kamar Junkyu—sejak pagi ia ada di apartemen Junkyu, si Kim ini ribut banget minta ditemenin lari pagi.

“Mandi dulu sana, badan lo bau keringet, sat.” komentar Junkyu setelah Jihoon menghempas badan ke atas kasur.

“Bacot bener, nyet.” respon Jihoon.

Junkyu mendecih lalu masuk ke dalam kamar mandi dengan handuk dan pakaian baru di tangan.

Sekitar sepuluh menit kemudian Junkyu keluar dari kamar mandi dengan wajah segar, melihat Jihoon masih di posisi yang sama—melihat ke langit-langit kamar dengan pandangan menerawang jauh.

“Lo mikirin apa sih?” Junkyu bertanya seraya duduk di tepi kasur lainnya, karena tidak ada respon si Kim terpaksa menekan-nekan pipi Jihoon dengan jempol kakinya.

Kebetulan kepala Jihoon ada di dekat kakinya.

“Diem, nyet. Gue lagi mikir.” kata Jihoon sambil mendorong jauh kaki Junkyu dari kepalanya.

“Mikir apa sih, pantesan dari tadi kecium bau gosong.” ledek Junkyu.

Biasanya ledekan itu di balas dengan ledekan lain, tapi kali ini Jihoon hanya diam. Seolah dia memang fokus berpikir dengan entah apa yang ada di dalam kepalanya.

“Gue mikir... kalo kita jadi nikah, siapa di atas siapa di bawah?”

Junkyu hampir kesandung selimut yang belum sempat dilipat sewaktu merubah posisi. Berakhir si Kim membaringkan kepala di sebelah kepala Jihoon.

Posisinya kepala mereka ada di tengah-tengah kasur dengan badan Jihoon lurus ke bawah kasur dan Junkyu sebaliknya.

“Tiba-tiba banget kepikiran begituan, kode gak sih lo mau gue ajak ngewe?”

Gantian mulut Junkyu yang di tabok sama tangan Jihoon.

“Kepala lo tuh—ngeres banget sat, sapu sana.” cetus Jihoon gak habis pikir.

Junkyu mendelik. “Ada juga elo yang ngeres, udah bayangin posisi ngewe!”

“Gue cuma mikirin—”

“Mikirin sekalian bayangin kan, emang semua cowok tuh sama aja. Mesum.”

“Bangsat.” umpat Jihoon. “Tapi bener sih,”

Junkyu ketawa lalu tiba-tiba teringat satu hal. “Oiya Hoon,.”

“Hm?”

“Kemarin kita gak sempet ciuman kan—LO MAU KEMANA?!”

“MANDI!”

“Ciuman gue dulu mana—”

BRAK!

Junkyu kembali tertawa ketika Jihoon membanting pintu kamar mandi. Setelah mendengar bunyi air mengalir Junkyu buru-buru menarik bantal—menghempaskan wajahnya ke benda empuk itu, lantas berteriak kencang.

Junkyu mah, keliatannya doang agresif aslinya tanpa Jihoon tahu, dia bisa frustasi sendiri. Ya kaya gini...


Kalau semasa kuliah Jihoon yang sering di antar pulang, maka sekarang kebalikannya. Hampir setiap hari Junkyu di jemput dan di drop di luar gedung apartemennya—ini kalau Jihoon lagi gak mau mampir.

Khusus hari ini Junkyu gak di drop di luar gedung apartemen, tapi Jihoon—dengan sukarela—mengantar si bestie ke rumah orang tuanya.

“Nyokap ngoceh lagi astaga, gue disuruh pulang ke rumah!” dumalan Junkyu sejak tadi siang masih saja sama, menggerutu perihal sang ibu yang sejak semalam gak berhenti menerornya.

“Yaudah sana pulang,” kata Jihoon. Langsung disahut lagi sama Junkyu, “anterin dong gue lagi males nyetir nih.”

“Lo mah emang tiap hari males, bukan 'lagi'.” tapi ya biar mau dikomen apa Jihoon tetep nganter Junkyu sampai rumah.

“Lo gak mau mampir?” tawar Junkyu, tepat ketika mobil berhenti di pekarangan rumah si Kim.

“Gak dulu deh, lo tahu sendiri kan gue harus lembur hari ini.”

“Yaudah—”

“Kim Junkyu! Akhirnya pulang juga ya kamu!” suara teriakan menyambut Junkyu yang baru aja turun dari mobil.

Junkyu mengernyit, “Apasih Ma, berisik jangan teriak-teriak gitu.”

“Pulang sama siapa kamu—oh, Jihoon!”

Jihoon mulai ngerasa gak enak sewaktu Mama Kim datang nyamperin mobilnya, sekarang berdiri tepat di depan jendela yang terbuka lebar.

“Nak Jihoon gak mau mampir dulu?” tawar Mama Kim.

“Jihoon masih harus lembur—”

“Mampir dulu yuk Nak Jihoon, Mama tadi masak banyak buat makan malam. Yuk mampir, sekalian kita ngobrol... soal pernikahan mungkin.” Mama Kim memotong ucapan sang anak, tersenyum lebar dan mengerling ke arah Jihoon.

Jihoon?

Jihoon terbatuk kecil karena ludahya sendiri. “O-oh, iya Tante—”

“Mama dong, jangan Tante lagi. Otw mantuan kan kita...” Mama Kim tertawa. Jihoon ikut ketawa, tapi tawa canggung. “Yaudah masukin mobilnya ke dalam.”

“Iya Tan—Ma, maksudnya.”

Kemudian Jihoon mulai memarkirkan mobilnya di pekarangan rumah besar keluarga Kim. Sewaktu turun dari mobil si Park segera menyeret Junkyu, “kan gue bilang—jangan ember ke nyokap lo dulu soal nikah!”

“Kenapa?” Junkyu mendelik. “Nyokap lo udah gue kasih tahu, kenapa nyokap gue gak boleh tahu?”

Pegangan tangan Jihoon pada lengan si Kim mengendur. Mulutnya terkatup rapat, tapi hatinya yang menjawab “Gue gak bisa bilang, kalau gue masih ragu buat nikah sama lo.”

“Hoon, lo... masih ragu ya nikah sama gue?”

Ya gimana gak ragu kalau perasaan lo aja masih belum jelas, Jun. Gue gak mau jadi manten sama lo cuma karena 'terpaksa'.