senofyou


Selama pergi dan kembali dari kantor konsultan hukum gak ada obrolan yang bener-bener ngobrol.

Perjalanan singkat dua anak adam ini terkadang ditemani dengan pertanyaan seputar pekerjaan, seperti 'pagi tadi gue ngecek piutang klien sama pihak ketiga ada yang beda, gue jadi harus confirm ke pihak ketiga.' atau 'tadi gue kena damprat Pak Janit, soalnya gue teledor ngecek berkas.'

Gak ada obrolan menyangkut masalah kejadian sore hari kemarin di apartemen Junkyu, jadinya Jihoon bisa menarik sedikit napas lega. Iya karena sejak tadi si Park udah deg-degan takutnya Junkyu ungkit-ungkit kejadian itu.

“Hoon, gue mau lagi deh.” Junkyu tiba-tiba ngomong setelah mobil masuk basement kantor mereka.

“Apaan?” tanya Jihoon balik, mata dan tangannya sibuk memarkirkan mobilnya.

“Ciuman.”

Pyarrrrrrr

Selain karena fokus Jihoon yang pecah dalam hitungan detik, mobil Jihoon gak sengaja nabrak dinding basement. Gak keras sih, tapi kayanya bagian belakang mobilnya bakalan lecet.

“Lo—” Jihoon noleh, natap Junkyu yang nyengir dengan tatapan super tajam. “—beneran udah gila, anjing.”

“Serius, gue kepengen lagi—”

“Diem.” Jihoon buru-buru mematikan mesin mobilnya dan melepas seatbelt yang mengikat badannya. Sudah akan membuka pintu tapi lagi-lagi kalah cepat dengan tangan panjang Junkyu. “Kim Junkyu astaga—bisa gak sih sekali aja gak bikin gue sinting???!!!!!”

Cengiran Junkyu bertambah lebar. “Hoon, gue kaya gini bukan tanpa sebab.” sambil ngomong gitu Junkyu pindah posisi ke atas pangkuan Jihoon.

Iya beneran, Junkyu nekat duduk di atas pada keras Jihoon.

“Junkyu—” sumpah, Jihoon udah mau melebur aja sewaktu Junkyu menyugar rambut dan melingkarkan tangan ke lehernya.

“Kenapa sih, gue cuma mau ciuman tapi lo tegang banget gitu.” kata Junkyu setengah mengejek. “Gak usah tegang bisa gak Hoon, gue mau ciuman yang beneran ciuman. Gak cuma asal nempel kaya kemarin.”

“Sadar gak sih, lo yang kaya gini lagi-lagi nyakitin gue kaya yang dulu lo lakukan ke gue?” sahut Jihoon. Mata sipit dengan bola mata coklat pekat itu menatap intens iris mata Junkyu.

“Lo jangan kaya gini—kalo ujungnya lo cuma kasih harapan palsu.”

Meski suasana berubah semakin tegang dan canggung, Kim Junkyu tampak tidak peduli justru mulai mengikis jarak sampai bibirnya mengecup ringan bibir tebal Jihoon.

“Gue bilang, gue kaya gini bukan tanpa alasan.” Junkyu kembali menekan bibirnya di atas milik Jihoon, memberikan lumatan secara bergantian pada bibir atas dan bawah si Park secara bergantian.

“Lo tahu gak... kenapa setelah bertahun-tahun bareng terus, tapi gue masih gak bisa suka sama lo?”

“Karena lo udah gak punya hati?” respon Jihoon ragu.

“Bener sih, tapi ada alasan lain.”

Sebelah alis Jihoon terangkat. “Apa?”

Sebelum menjawab Junkyu membenarkan posisi duduknya—agak pegal juga di posisi ini, karena dua kaki panjangnya terpaksa ditekuk—dan Jihoon yang peka akan hal itu mendorong kursi ke belakang agar Junkyu bisa lebih leluasa.

Tapi posisi mereka jatuhnya malah makin intim.

Bahasa cinta kita kayanya beda,”

“Gimana????”

“Gue gak tahu love language lo apa, tapi punya gue physical touch.”

“Terus?”

Tidak langsung menjawab, Junkyu maju dan bersandar pada dada bidang Jihoon—tepatnya menempelkan sebelah daun telinganya pada dada Jihoon, berusaha mendengarkan detak jantung si Park.

Senyum si Kim merekah. “Jantung gue juga segila ini kemarin,”

“Hoon...”

“Hm?”

“Kalau lo mau bikin gue suka balik sama lo, coba deh, yang serius waktu cium gue—”

“Lo ngomong mulu, gimana gue bisa serius?” celetuk Jihoon.

Junkyu melotot tapi langsung balik senyum. Jihoon ikut senyum dan menarik wajah Junkyu mendekat—mempertemukan kembali bilah bibir mereka.

Sejak awal posisi mereka berubah intim sebenarnya jutaan kupu-kupu mulai bersarang di perutnya, dan ketika bibirnya menyentuh milik Junkyu jutaan kupu-kupu itu mengepak secara bersamaan, membawa afeksi geli yang membuncah.

Apalagi ketika Junkyu merespon ciuman lembutnya, bergerak aktif mengikuti alur gerak bibir yang lebih tua.

Hembusan napas hangat saling menerpa kulit wajah keduanya—yang makin detik makin berubah terburu. Bunyi cup! terdengar saat tautan terlepas disusul dengan wajah yang lebih muda tenggelam di ceruk leher yang lebih tua.

“Jantung lo berisik.” komentar Junkyu.

“Punya lo juga, bajingan.”

Lalu keduanya sama-sama terkekeh.

“Lo berat, minggir.” sampai komentar Jihoon memecah suasana hangat mereka.

Junkyu berdecak sebal, sebelum pindah ke kursi samping dia mendaratkan satu kecupan di atas garis rahang Jihoon.

“Jadi, ajakan nikah gue... lo masih mau pertimbangin gak?” tanya Junkyu tiba-tiba.

Jihoon yang merapikan sebentar kemejanya melirik, “gak. Lo ngajak nikah kaya ngajak beli kuaci.”

“Yaudah, kalo ngewe gimana? Mau gak?”

After All This Time.


“Lo mau cerita apa deh?”

Satu pernyataan memutus hening di dalam mobil yang Junkyu kendarai. Mobil Jihoon sebenarnya tapi Junkyu berbaik hati menyetir—yah, hitung-hitung ucapan maaf karena memaksa si Park kerja di hari cutinya.

“Banyak sih—”

“Dasar biang onar, hidup lo penuh masalah banget kayanya.” sergah Jihoon, kepalanya agak pening setelah seharian bolak-balik pindah tempat, jadi ia memilih bersandar seluruhnya pada kursi seraya memejamkan mata.

“Gak gitu juga, nyet.” Junkyu menyahut setelah tadi menyalip sebuah truk angkut semen. “Tapi yang bikin gua pusing, nyokap nyinyirrr terus bibirnya. Mirip burung beo.”

“Itu nyokap lo, bego.” komentar Jihoon terpaksa membuka mata untuk melempar tatapan tak habis pikir pada sosok di balik kemudi. “Gue bilangin Tante Kim mampus lo.”

“Dih,” Junkyu menoleh sekilas. “Kaya bocah aja mainnya aduan.”

Melihat Jihoon membuka kemeja luarannya, menyisakan kaus singlet yang agak ketat di badan, membuat Junkyu tergerak untuk ikut melepas kemejanya—mumpung mobil sedang berhenti untuk menunggu giliran berbelok di perempatan.

“Lo ngapain sih???” tanya Jihoon. Barusan mobil di belakang mengklakson karena mobil mereka tidak kunjung jalan.

Setelah menoleh supir sore ini sibuk membuka kemejanya. “Asli, lo ngapain sih Jun—”

“Duh, bantuin lepasin kemeja gue—”

TINN!! TINNN!!!

“Berisik anjing! Sabar napa!!!” sungut Junkyu, dia melempar kemeja yang berhasil di lepas ke samping. Beralih melajukan mobil dengan sedikit drama,

TINNNNN TIINNNNN TINNNNNNN!!!!!!

“Nih makan nih klakson dasar gak sabaran!!!”

Junkyu balas mengklakson mobil yang tadi tidak sabaran dengan tak kalah keras. Tingkah aneh itu direspon decakan dan gelengan kepala oleh Jihoon.

“Ya lo yang salah, lagi nyetir kok ya banyak tingkah.” kata Jihoon seraya menaruh kemeja milik Junkyu ke kursi belakang.

“Gak tahu—gua kaya ketrigger gitu waktu liat lo lepas kemeja.”

“Bocah banget bocahhhhh!” decak Jihoon.

Yang dikomentari merespon dengan tawa.

“Dulu jaman kuliah juga lo pernah gini kan,” Jihoon tiba-tiba teringat dengan masa lalu mereka. “Ternyata emang dari jaman dulu lo udah gak jelas ya, aneh. Lebih aneh lagi gue mau-mau aja temenan awet sama lo bertahun-tahun.”

Menyingkirkan permasalahan yang pernah terjadi semasa pendidikan kuliah, masih ingat tidak kalau Jihoon sudah berupaya menarik diri?

Benar, Jihoon sudah bertekad memberi sekian jarak antara dirinya dengan Junkyu. Ia bahkan rela menukar perkuliahan pagi nya menjadi kelas karyawan, yang mana kelas karyawan dikhususkan bagi mahasiswa yang aktif bekerja yang jam kuliahnya dimulai pukul tujuh malam.

Sebulan pertama berhasil, tercipta sekian jarak antara dirinya dengan Junkyu.

Tapi suatu hari Jihoon dikejutkan dengan kehadiran Junkyu di kantor KAP tempat ia melaksanakan intership.

“Ini kantor Om gue,” kira-kira begitu jawaban Junkyu sewaktu Jihoon tanya apa yang dilakukan si Kim di Kantor Akuntan Publik ini.

Selepas itu banyak sekali kebetulan-kebetulan lain yang mempertemukan Jihoon dengan Junkyu secara tidak sengaja.

“Sekali dua kali sih masih bisa disebut kebetulan, tapi kalo keterusan gini ini mah namanya takdir, Da.” perkataan Lucas kala itu membuat Jihoon pening sesaat.

Kenapa sih Semesta gak bisa bikin dia lega dikit aja? Kenapa suka banget nyiksa Jihoon???

Finalnya adalah ketika Jihoon memutuskan pindah tempat kerja—dengan niat mencari pengalaman baru—ia harus terima fakta kalau Junkyu juga bekerja di tempat yang sama.

“Anjing—dari sekian banyak KAP, bisa-bisanya gue satu tempat kerja sama Junkyu??????”

Tapi ya kalau takdir sudah tertulis, Tuhan sudah berkehendak dan Semesta telah mendukung, Jihoon si manusia biasa ini bisa apa sih?

Tidak ada, kecuali menerima dengan lapang dada.

Jadi begitulah, untuk kalian yang bertanya bagaimana bisa Jihoon menempel dengan orang yang dulunya berada di posisi pertama sebagai orang yang ingin ia hindari, ya ceritanya begitu. Ceritanya panjang—sepanjang jalan kenangan—dan kalau singkatnya sih,

Singkatnya Tuhan, takdir dan semesta memang tidak mengizinkan mereka berjauhan terlalu lama.


“Hoon, nyokap gue nyinyir terus, nanyain kapan gue nikah.”

Suara Junkyu yang terdengar seperti anak kecil yang tengah mengadu terdengar samar di telinga Jihoon yang ada di dalam dapur—sedang ambil gelas dan air untuk minum, tenggorokannya terasa kering.

“Yaudah sana cari cewek, terus nikah—”

“Masalahnya gua gak punya cewek.” seru Junkyu dari ruang tengah.

“Oh, mau gue cariin cewek?” tanya Jihoon sambil menekan tombol di dispenser. “Tadi resepsionis yang digodain Jaehyuk kayanya cantik—”

“Cewek tuh di mata gue ngerepotin, gue gak mau.” selak Junkyu.

“Yaudah, lo mati aja sana.” cetus Jihoon lalu meneguk air minumnya.

“Lo aja gimana—nikah sama gua???”

Byurrrr

Air di dalam mulut Jihoon menyembur keluar dari mulut—persis selang air yang dipakai Tante Kim waktu nyiram tanaman sore hari.

“Apa lo bilang?????????”

“Lo aja nikah sama gua, Hoon mau gak?” Junkyu yang menyusul ke dapur mengulang pertanyaannya.

“Sinting, ngajak nikah kaya ngajak beli kuaci.” sungut Jihoon gak habis pikir.

Junkyu mengendikkan bahu lantas merebut gelas di tangan Jihoon, meminum habis air yang tersisa di sana. “Karena cewek terlalu 'merepotkan', cowok kayanya boleh juga.”

“Sinting. Beneran sinting kayanya otak lo.” dengus Jihoon lalu melengos dari dapur ke sofa ruang tengah.

Diam-diam Junkyu menertawakan muka panik bestie nya itu, gak tahu kenapa muka panik Jihoon itu lucu. Jarang-jarang juga Junkyu lihat Jihoon panik mengingat si Park punya kepribadian yang agak tenang.

“Ini ajakan nikah gua, ditolak?”

Demi Tuhan, Jihoon refleks loncat kedepan begitu Junkyu bertanya—tepatnya berbisik rendah—di depan telinganya.

“Bangsat!!!!!” kesal, Jihoon melempari si Kim dengan bantal sofa.

Junkyu dengan mudah menghindar sampai bantal sofa di dekat Jihoon habis, yang lebih muda langsung loncat ke atas sofa—ambil tempat di sebelah Jihoon.

“Lo masih suka gue kan, Hoon.”

“Kata siapa?”

“Tadi siang lo keceplosan kalo lo lupa,”

“Sialan.”

Junkyu terkikik kecil. “Gue mau pastiin satu hal deh,” katanya dengan badan yang tiba-tiba maju mendekati Jihoon.

Si Park agak kaget sampai tak sadar mundur ke belakang—karena dia duduk di pojok, seketika punggungnya menyentuh pinggiran sofa.

“Mau ngapain?” tanya Jihoon, mencoba setenang mungkin meski dalam hati ASDFGHJKLLSGAFAKDJLAJSLAJALAKAAL.

“Terakhir kali gue ciuman, enam bulan setelah lulus kuliah. Mau bantuin gue gak—ingetin gimana rasanya ciuman?”

Seingat Jihoon, tangannya bergerak lebih cepat mendorong wajah Junkyu menjauh. Tapi nyatanya justru bibir Junkyu yang lebih dulu mendarat di atas miliknya.


“Lo lama banget sih,” komentar yang agak nyerempet sungutan itu menyambut kedatangan Jihoon.

Berbekal mandi bebek dan menarik kemeja juga celana bahan asal-asalan dari dalam lemari Jihoon langsung menyetir mobilnya ke lokasi yang telah Junkyu kirim—satu lembar roti tawar menemani perjalanan singkatnya, sebuah sarapan terlambat, halah persetan yang penting perutnya terisi meski sedikit.

“Ngapain sih?” gerutu Jihoon seraya mengusak-usak rambutnya yang tidak sempat disisir.

“Berantakan banget lo, mirip anak kos mati listrik.” Junkyu memperhatikan Jihoon dari ujung sepatu sampai ke ujung rambut, sedetik setelahnya menarik bestie nya itu ke tempat sepi.

“Mau ngapain sih lo?” tanya Jihoon, setengah menggerutu tapi setengah bingung.

“Mau ketemu pihak ketiga tapi dandanan lo berantakan gini,”

Beruntung perbedaan tinggi badan mereka tidak terlalu banyak, karena dengan sangat mudah Junkyu membenarkan kerah kemeja Jihoon. Mengencangkan dan merapikan ikat pinggangnya, sampai menyisir surai kecoklatan Jihoon dengan sisir kecil yang selalu ada di kantung belakang celananya.

Jihoon sudah tidak kaget dengan tindakan baik serta perhatian Junkyu. Sekian tahun berlalu, agaknya ia sudah mulai terbiasa.

Meski faktanya hatinya masih sering berdesir tanpa diminta.

“Itu si Jaehyuk bajunya berantakan dikit, gak lo rapihin juga?” tanya Jihoon, iseng menunjuk anggota tim mereka yang tampak asik menggoda resepsionis kantor pihak ketiga.

“Ngapain amat—bukan urusan gue itu sih,” seloroh Junkyu seraya mengibas pelan noda debu yang hinggap di kemeja Jihoon, tepatnya di bagian pundak.

“Terus sejak kapan kerapihan gue jadi urusan lo?”

Junkyu menarik diri dengan wajah mengekerut. “Kita kan bestie,”

Bola mata Jihoon berputar malas, agaknya jengah dengan ucapan keramat yang sangat tidak ingin Jihoon dengar. “Iya dah, buruan deh kelarin urusan di sini. Gue ada jadwal liburan—”

“Abis dari sini lo temenin gue ke konsultan hukum.” potong Junkyu.

Jihoon melotot. “Ngapain lagi astaga??????”

“Klien punya kasus tanah sengketa, kita harus tanya ke ahlinya.” Junkyu mengangkat bahu acuh. “Abis itu mampir kantor bokap gue ya, ambil worksheet rekon fiskal. Terus—”

“Halah bajingan, alamat seharian gue jadi budak.”

“Emang.” sambil terkekeh Junkyu merangkul pundak sang karib. “Gak usah lemes gitu lo, gantinya nanti gue kasih tiket konser—”

“Gak perlu. Gue bisa beli sendiri.”

“Yakin? Ini tiket konser Blackpink yang dalam sedetik open ticketing udah sold out.”

Jihoon mendelik. “Gue gak pernah bilang suka Blackpink????? Lo salah orang kali.”

“Terus lo sukanya apa?”

“Elo. Gue sukanya elo.”

Rangkulan Junkyu mengerat. “Hah, Jihoon?”

Jihoon menoleh, mengernyit kecil. “Apa?”

“Lo... masih suka gue?” tanya Junkyu.

Jihoon menghela napas panjang. Sepertinya ia kelepasan. Jihoon pikir ia hanya menjawab dalam hati sampai tidak sadar kalau mulutnya berujar dengan jelas.

“Lupain aja,” rangkulan yang lebih muda terlepas. “Tuh, Pak Hajatnya udah datang.”

Jihoon melengos, meninggalkan Junkyu yang masih berdiri di tempat, sama sekali tidak bergerak.

“Kak Junkyu!! Ngapain diem di situ, ayo!” sampai seruan Jaehyuk membawanya kembali ke dunia.

Si Kim mendekati sosok Jihoon yang tampak mengobrol dengan Pak Hajat—koordinator pihak ketiga—berjalan sedikit di belakang, mencondongkan wajah untuk bisa berbisik di telinga Jihoon.

“Selesai kerja mampir apart gue ya, ada yang mau gue ceritain.”


Di pojok kedai kopi dua anak adam duduk saling berhadapan. Meski dua badan itu saling menghadap belum tentu atensi keduanya jatuh pada masing-masing wajah, nyatanya, keduanya sejak tadi memandang sekitar.

Menatap apapun kecuali wajah diam yang disuguhkan keduanya. Iya, saling menghindari tatapan satu sama lain.

Dua gelas minuman dingin itu sudah berembun. Dingin dari batu es di dalam gelas membuat embun menumpuk di luar gelas, seolah mengatakan secara tidak langsung kalau minuman itu sudah ada di sana dalam waktu yang cukup lama.

Tapi sang pemilik—entah pemilik es kopi atau lemon tea—sama sekali terlihat tidak berminat pada minuman itu. Dua gelas di sana seperti hanya pajangan semata.

“Gue minta maaf.” hingga akhirnya, salah satu dari keduanya memecah keheningan yang mencekik itu lebih dulu.

Sepasang mata sipit dengan bola mata coklat pekat itu bergerak, menatap yang lebih tua dengan bibir masih terkatup rapat.

“Omongan gue emang gak pantes buat lo denger. Gue lagi dikuasain emosi—sampai lupa dengan fakta kalau orang sebaik elo, gak seharusnya dipojokin. Jihoon gue beneran minta maaf banget—”

“Lo bener kok. Apa lo bilang ada benarnya, gue emang cowok gak tahu diri yang gak bisa hargain perasaan orang lain—”

“Jihoon gue harus apa supaya lo maafin gue?” yang lebih tua memotong dengan cepat. Dari nada bicaranya terdengar ke-frustasian di sana.

“Maafin gue juga. Karna seperti apa yang lo bilang—gue gak tahu diri, seharusnya disukai dan dijadikan pusat perhatian sama lo bisa bikin gue bales perasaan lo. Tapi gue malah gak tahu diri, suka sama orang lain yang jelas-jelas belum tentu bisa kasih apa yang lo kasih cuma-cuma.”

“Seunghun makasih banyak. Makasih atas seluruh perhatian yang lo kasih ke gue—dan maaf banget gue gak bisa balas perasaan lo.”

“Gak apa-apa...” dua tangan Jihoon yang terkepal di atas meja diraih Seunghun untuk digenggam santai. Diusap-usap punggungnya, mencoba menenangkan sang empu yang sudah berkaca-kaca.

“Urusan hati gak ada yang bisa ditebak. Dan soal jatuh cinta—gak semua rasa suka harus berakhir berbalas.” Seunghun mencoba mengukir senyum, meski dia tahu, masih ada sesak yang melingkupi rongga dadanya.

“Mungkin gue udah gak punya kesempatan, tapi lo masih punya kesempatan, Ji.”

“Apa?”

“Junkyu.” Seunghun menarik tangannya kala di rasa Jihoon sudah sedikit lebih tenang. “Lo masih bisa kejar dia.”

Kepala yang lebih muda menggeleng. “Sejak awal gue gak punya kesempatan, Hun.” senyumnya terlukis tipis, sangat tipis. “Seperti yang lo bilang—orang kayak Junkyu gak bisa suka sama gue.”

“Jihoon, gue minta maaf banget atas semua kata-kata kasar gue. Sorry Ji, maaf banget—”

“Udah sih. Gue udah maafin elo, gue harap lo juga maafin gue. Udah, masalah kelar kan?”

Punggung lebar Seunghun menyentuh kursi. Kepalanya mengangguk samar dengan mata yang mulai memindai sekitar, fokusnya jatuh pada pemandangan area kampus dari balik jendela transparan Daily Brew.

“Setelah 'kekacauan' yang kemarin terjadi, kita... masih bisa temenan kan?”

Tidak ada jawaban atau respon berarti. Untuk jangka waktu beberapa menit hanya ada keheningan yang menyelimuti, diselingi dengan musik klasik yang diputar pegawai kedai kopi.

Keduanya sangat tahu, bahkan setelah saling memaafkan, untuk memulai kembali pertemanan,

Pertemanan mereka mungkin tidak akan sama seperti yang lama.


Bunyi pintu mobil yang terbuka sedikit menggerakkan Jihoon, pemuda yang semula menghempas kepala pada setir mobil melirik ke samping.

“Makasih Bang—” perkataannya terjeda begitu tahu bukan sosok Lucas yang membuka pintu, melainkan orang yang sangat sangat ingin ia hindari.

“Ngapain?” Jihoon terpaksa bertanya kala sosok itu naik dan duduk di atas kursi samping kemudi.

“Tangan lo mana, sini.” saat pertanyaannya mengudara tanpa respon, Junkyu—sosok itu—meraih lebih dulu sebelah tangan Jihoon.

Jihoon bergerak menarik tangannya, tapi cengkeraman Junkyu sedikit lebih kuat. “Punggung tangan lo luka kan, gara-gara sempet jatoh waktu main basket.”

Yang duduk di balik kursi kemudi sekarang membuang wajah, kembali menenggelamkan wajahnya di atas lengan lain yang bersandar pada setir. Membiarkan Junkyu mengoleskan salep pada luka sobek di punggung tangannya.

“Gue minta maaf,”

Ujaran tiba-tiba Junkyu memecah suasana hening yang terlewat.

“Gara-gara gue pdkt-an lo sama Seunghun berantakan—”

“Bukan salah lo.” Jihoon menarik tangannya yang selesai dibaluri salep. “Gak usah minta maaf.”

“Jihoon... lo suka gue?” tanya Junkyu, kali ini sukses membuat seluruh badan Jihoon menegang kaku.

“Jangan suka gue, Jihoon.” dan timbalan barusan sangat mampu membuat detak jantung Jihoon berhenti barang sedetik. “Gue bukan orang yang tepat buat lo sukai.”

“Iya, emang kayanya orang gak tahu diri kaya gue gak pantes buat jatuh cinta.” Jihoon tiba-tiba menoleh dengan senyum miris melekat di bibirnya. “Makasih Jun buat salepnya, lo bisa pergi.”

“Jihoon gue minta maaf,”

“Iya. Lo gak salah, gak perlu dapat maaf dari gue kok—”

“Jelas, gue salah bikin lo suka sama gue.” potong Junkyu. “Gue minta maaf banget kalo tingkah laku gue—”

“Jun... semakin lo ngomong semakin bikin gue sadar kalau gue emang sejahat itu, se-gak tahu diri itu, dan se-brengsek itu.”

“Seunghun nyalahin gue tadi, sekarang lo juga mau nyalahin gue? Kenapa sih,. kenapa gue gak boleh suka sama orang? Kenapa gue gak boleh jatuh cinta dengan bebas?”

“Salah ya kalau hati gue milih lo sebagai orang yang gue suka?”

“Hoon—”

“Lo bisa pergi aja gak sih? Gue masih nyuruh lo baik-baik, jangan bikin gue kasar juga sama lo Kim Junkyu.”

Seakan tidak takut dengan ultimatum tersebut Junkyu justru membuka lebar tangannya, menarik badan Jihoon mendekat, direngkuh begitu erat.

“Maaf,” dan ada belasan kata maaf lainnya yang Junkyu ucapkan tepat di depan daun telinga Jihoon.

Usapan telapak tangan besar Junkyu terkesan lembut—hingga berhasil memecah dinding pertahanan Jihoon.

Si Park akhirnya balas memeluk tidak kalah erat, mencoba melampiaskan rasa sesak yang bersarang di rongga dadanya.

“Maaf kalau kata-kata gue bikin Lo semakin terpojok, maaf...” Junkyu kembali berbisik saat dirasa wajah Jihoon sudah terbenam pada leher panjangnya.

“Maaf,,.. harusnya gue tahu kalau gue gak berhak mencampuri urusan ranah hati lo, maaf. Maafin gue Park Jihoon.”


Cinta itu buta.

Mungkin itu salah satu alasan kenapa Seunghun dibuat buta sampai tega menyeret, menghempas dan melayangkan satu bogeman ke wajah Junkyu, sepupunya sendiri.

Merasa sekali gak cukup dan gak sebanding dengan beban yang mengganjal rongga dadanya, Seunghun mendaratkan bogeman yang lain.

Lalu bagaimana dengan pihak yang menerima?

Kim Junkyu namanya, terlentang di atas tanah berlapis semen tidak berniat akan bangun—sedang merasakan euforia bogeman sang sepupu yang berhasil membuatnya pening bukan main.

“Lo suka kan sama Jihoon?” akhirnya pertanyaan itu keluar, mengudara dan mengisi keheningan yang menyesakkan dada.

“Jawab gue brengsek!”

Diam nya Junkyu justru semakin menyulut emosi Seunghun, lagi, yang lebih tua seenaknya menarik kerah kaus Junkyu hingga sang empunya terpaksa berdiri tiba-tiba.

“Jawab gue Kim Junkyu!!!!”

“Telinga lo lagi tuli, gue gak yakin lo bakal dengerin jawaban gue.” jawab Junkyu, masih dengan rasa ngilu di sekitar pipinya membalas tatapan mata sang sepupu.

Seunghun mendecih. “Brengsek!” lagi, mendorong kepalan tangannya pada wajah Junkyu. Mendarat di sekitar rahang tegas yang lebih muda.

Bugh!

Oh bahkan tidak hanya di wajah, tapi Junkyu menerima dua sampai tiga tinjuan di atas perutnya.

“Argh!”

Dan itu sudah sangat cukup membuat Junkyu terkapar.

“Bangun lo anjing! Lawan gue—”

“SEUNGHUN!”

Mengabaikan teriakan barusan Seunghun sengaja menduduki perut sepupunya. “Lawan gua brengsek! Gue tahu lo gak selemah ini!!”

“Urusan lo sama gue!” Seunghun terhuyung ke belakang saat kerah kausnya ditarik begitu kuat.

Dalam hitungan detik Seunghun kini berhadapan langsung dengan Jihoon. Cowok yang lebih pendek itu menatap dengan tatapan sengit, dua tangannya mengepal keras, wajahnya sedikit memerah—entah karena telah berlari atau karena menahan amarah.

“Urusan lo sama gue, Kim Seunghun! Jangan bawa-bawa Junkyu!” Jihoon menyeru keras.

Persetan dengan Seunghun yang jauh lebih tua, lebih besar perawakannya, atau lebih-lebih lainnya dari dirinya. Jihoon sama sekali tidak takut, pun tak lagi segan jika sewaktu-waktu harus melayangkan tinjunya.

“Lo—” dorongan Seunghun terima ketika hendak menarik Junkyu bangun. “GUE BILANG URUSAN LO SAMA GUE, KIM SEUNGHUN!”

“Bang, tolong urus Junkyu.” sahut Jihoon pada sosok Lucas yang datang bersamanya.

Seunghun diam.

Matanya menatap Jihoon juga Junkyu secara bergantian, berpikir keras. Lantas tertawa, tertawa keras.

“Aahhh... sekarang gue ngerti.” sambil meredakan tawanya Seunghun mengusap wajahnya kasar. “Lo suka dia kan, Park Jihoon.”

Seunghun menunjuk ke arah Junkyu dengan dagunya.

“Lo mau dengar jawaban lo kan, gue kasih jawaban lo—”

“Gak butuh.” potong Seunghun. “Gue tahu apa jawaban lo.”

“Lo jahat, Park Jihoon.” kata Seunghun tiba-tiba, balas menatap Jihoon tak kalah sengit. “Kalau dari awal gue gak punya kesempatan buat dapetin hati lo, harusnya waktu itu lo gak kasih gue akses lebih.”

“Puas lo?” tak disangka-sangka Seunghun sengaja mendekatkan wajahnya, bibirnya hampir menyentuh pipi Jihoon kalau saja yang lebih muda tidak cepat melangkah mundur. “Puas lo, bikin hubungan keluargaan gue sama Junkyu pecah, cuma karena cowok centil kaya lo?”

BUGH!!

Seunghun terhuyung menerima pukulan tiba-tiba barusan.

“Sekarang gue ngerti kenapa Hyunsuk lebih milih Yoshi dari pada elo,” Jihoon bergerak maju, terakhir dia meninju badan besar Seunghun terhempas ke bawah. “Lo adalah definisi laki-laki brengsek yang gak bisa menghargai orang lain.”

Seunghun mendecih seraya bangkit terduduk, lalu meludah ke samping. Sebuah senyum miring hinggap di bibirnya yang terluka, “gue juga ngerti kenapa Junkyu gak bisa suka sama cowok kaya lo.”

“Lo adalah definisi laki-laki gak tahu diri yang gak bisa menghargai perasaan orang lain.”


Seperti yang sudah Jihoon duga, pagi ini ia terbangun sendirian di atas kasur.

Kamarnya bersih dan rapi—sama sekali tidak ada tanda-tanda kalau semalam ada orang lain di kamarnya.

Dua tangannya mengepal kuat. Ia sudah begitu baik semalam tapi kenapa masih saja ditinggalkan begini?

“Kim Junkyu itu... awas aja,” Jihoon mendengus kasar, sedikit menendang selimut di sekitar kakinya. “Kalau dapat—gak bakal gue lepas dengan mudah.”


Hari ini Junkyu cukup sibuk, dia punya tiga sampai empat kelas yang harus disambangi tapi sejak menginjakkan kaki di area kampus Junkyu sama sekali tidak bisa tenang.

Tapi yang namanya Junkyu itu pandai berakting—tidak peduli segelisah apa pun pikirannya, wajah yang dia pasang akan selalu datar dan cuek.

“Semalam lo tidur sama siapa?” tanya Noa to the point.

Kedatangan si pemuda Jepang sukses menyentak Junkyu hingga nyaris terjun ke lantai. “Brengsek! Lo ngagetin aja!” sungut Junkyu.

Dengan santai Noa mengindikkan bahu acuh, melihat sahabatnya itu lekat. “Lagian ngapain lo ngendap-ngendap gitu kaya maling?” sebelah alisnya terangkat. “Jawab dulu, semalam lo tidur sama siapa?”

“Gak mungkin langsung balik—lo gak ada di apart waktu tempat tinggal lo gue sambangi.” imbuhan Noa barusan menghancurkan alibi klasik Junkyu.

Hal lain yang membuat Noa yakin kalau sahabatnya ini kembali melakukan rutinitas buruknya adalah pakaian Junkyu yang cenderung longgar. Sangat berbeda dengan Junkyu yang biasanya memilih memakai pakaian ketat guna memamerkan tubuh indahnya—itu sih kata Junkyu, bukan menurut Noa.

“Jawab dong, jangan diem kaya orang gagu.” sahut Noa, gregetan.

“Apasih!” Junkyu melengos setelah membayar minumannya, memilih beranjak dengan mengabaikan Noa begitu saja.

“Lo dengerin kata gue kan, Kyu? Lo gak tidur sama Park Jihoon—”

“Sayangnya itu benar,” suara lain menginterupsi. Menyela dan menarik atensi Noa juga Junkyu.

Kalau Noa menatap sosok itu dengan tatapan bingung lain lagi dengan Junkyu yang diam-diam menarik diri, bersembunyi di belakang badan Noa yang jauh lebih menjulang.

“Kalian semalem tidur bareng?” Noa bertanya dengan nada sebal, melirik Junkyu ogah-ogahan.

“Iya tidur bareng—”

“Enggak!” Junkyu menyela keras.

Park Jihoon yang berdiri di hadapan dua orang itu mendelik, “oh, perlu bukti?”

Si Park hanya mengerling biasa tapi Junkyu gemetarㅡsampai gak sadar megangin ujung kemeja Noa.

“Hah,” seakan sadar jadi orang ketiga yang tidak seharusnya ada di sana Noa menarik diri. “Gue cabut kalo gitu, gak ada urusan sama kalian.”

Junkyu pikir dia bisa dengan mudah angkat kaki dari sana, seperti yang dilakukan Noa, tapi kenyataannya tidak semudah itu.

Lengannya dicekal, genggaman tangan Jihoon erat sekali—seakan tidak membiarkan lepas gitu aja.

“Omongan gue semalam dan chat gue pagi tadi, belum jelas ya?” tanya Jihoon.

“Lepas—lo pasti tahu kan!” karena sama-sama laki-laki, tentu sedikit mengerahkan tenaganya Junkyu berhasil menarik lepas tangannya. “Gue gak mau terikat sama patner one night stand one! Apa yang terjadi semalam gak ada hubungannya sama gue hari ini—so lupain aja!”

“Gak semudah itu, Kim Junkyu.” Jihoon di sana, mengejar langkah kaki Junkyu dengan langkah mundur—mencoba mempertahankan posisi agar keduanya saling berhadapan.

“Lo berurusan sama orang yang salah kali ini,” lelah melangkah mundur Jihoon memutuskan menahan pundak lebar Junkyu dengan dua tangan. “Lo gak bisa tinggalin gue gitu aja.”

“Minggir.”

“Gak.”

“Minggir brengsek—”

“Lo yang brengsek,” selak Jihoon. “Bisa-bisanya setelah dapat apa yang lo mau, pergi gitu aja. Lo ngerti konsep sebab-akibat gak sih? Tahu yang namanya tanggungjawab?”

Sebelah alis Junkyu terangkat, kesal. “Kalau mau ngoceh jangan sama gue, minggir!”

Agak lelah dengan Junkyu yang selalu berhasil lolos dari cekalannya, Jihoon kehabisan cara. Dengan sangat amat terpaksa menggunakan cara di luar nalar.

Junkyu ditarik—tepatnya dipaksa duduk di atas salah satu meja kantin—belum sempat protes, bibirnya sudah ditawan.

Park Jihoon mencium bibirnya.

Di lingkungan kantin kampus, yang notabenenya adalah tempat umum.

Demi Tuhan, MEREKA JADI TONTONAN MAHASISWA LAIN!!

“Lo—”

“Suka gak suka, mulai hari ini lo gak bisa jauh-jauh dari gue, Kim Sayang Junkyu.” dengan seulas senyum tipis Jihoon mengusap bibir bawah Junkyu—sebelum akhirnya kembali mencecap rasa manis di sana.


“Noa... tolongin gue—”

“Gak. Gue udah kasih peringatan di awal, Park Jihoon bukan orang sesimple itu.”

“Aarggghhhhh!!! Lo kan tahu sendiri gue gak suka terikat!”

“Sekarang lo paham kan, kenapa dia berbahaya buat lo?”

“Diem.”

“Jihoon itu tipe orang setia, he's too kind buat cowok brengsek kaya lo—tapi gue pikir mungkin dia bisa bawa lo ke jalan yang benar.”

“Maksud lo apa?! Gue ada di jalan yang gak bener gitu hah?!!”

“Iyalah, dari dulu lu ngikutin jalan setan. Terimakasih sana sama Tuhan—lewat Jihoon lo dikasih karma.”

Fuck up!!”

“Mau kemana? Tuh 'cowok lo' datang, gak usah drama lah gua capek liat kalian drama.”

“Bacot.”


Setelah pizza dan kawanannya ludes gak tersisa, Lucas tiba-tiba banget nyeletuk begini. “Kayanya battle seru nih,”

Direspon sama Seunghun, “Battle gimana? Lo mau ngajak sparring?”

Tentu saja jawaban Seunghun itu sempat mengundang delikan tajam dari Jihoon, makanya Seunghun langsung nyengir, “canda candaa.”

“Itu depan sekret lapangan, ada tiang basket juga.” sahut Lucas. “Battle basket enak gak sih?”

“Main-main aja kan?” tanya Hyunsuk.

“Main-main doang mah gak seru,” kata Lucas. “Pake taruhan dikit lah—”

“Vespa baru lo ya, Bang.” celetuk Yoshi, gak pake lama langsung dipelototin sama yang punya vespa.

“Ngidi-ngidi lu, gua aja belum make.” respon Lucas.

“UKM Taekwon vs. Organisasi DPM seru nih kayanya.” celetuk Junkyu.

Semua pasang mata melihat ke arah cowok itu. “Apa? Gua salah ngomong ya—”

“Ide bagus!” seru Lucas. “Taekwon vs. DPM nih, pas ada enam orang. Tiga orang tiga orang, asik!”

“Yang kalah kudu traktir anggota yang menang selama tiga hari, deal?” tawar Lucas.

Tawaran itu sempat di tolak mentah-mentah, terutama dari pihak Taekwondo. Anggota taekwon agak gak setuju soalnya ace mereka—Mashiho—masih ada kelas, dan jujur aja Junkyu juga secara terang-terangan mengaku dia jelek banget kalo main bola tangan.

“Oke deal,” Seunghun berkata tiba-tiba. Bikin Yoshi juga Junkyu kaget.

“Hun, yang bener aja...” respon Junkyu. “Kalo kalah gimana? Anak DPM kan banyak...”

Junkyu sih gak masalah kalo ngeluarin uang, tapi ya kalo dalam jumlah besar dia juga mikir lagi lah. Nyari duit gak mudah yakali dihamburin gitu aja.

“Pt-pt nanti sama gua kalo kalah,” kata Seunghun. “Lagian belum ketahuan kalah juga, masih ada peluang menang kan.”

“Iyasih, Hyunsuk gak begitu bagus kalo main basket.” imbuh Yoshi. “Paling Lucas sama Jihoon yang aktif cetak poin.”

“Berarti sebisa mungkin kita kawal mereka berdua, jangan sampe lolos. Man to man ya, gak boleh kendor.”

“Gua gak bisa basket anjrit, bagian ngerusuh ajalah gua.” cetus Junkyu.

“Oke, lo jaga Lucas atau siapa pun yang berpotensi cetak angka paling banyak.” kata Seunghun.

Aneh ya anggota taekwondo ini, tadi paling heboh gak setuju tapi malah asik nyusun strategi sendiri. Mana bisik-bisik tetangga gitu.

“Lama amat dah nyusun strategi doangan?” protes Lucas, cowok itu udah lepas jaket jeansnya. Menyisakan kaus putih polos yang lengannya digulung setengah.

Gak jauh dari tempat Lucas berdiri ada Jihoon yang lagi dribble bola basket, udah siap main juga. Rambutnya dikuncir tunas, pakai kaus sleeveless terus wajahnya yang masih babak belur itu jatuhnya makin bikin si cowok Park keliatan maskulin.

Pemandangan itu merangsang dua orang yang sejak tadi memperhatikan Jihoon.

Bukan merangsang dalam artian jorok, tapi membangkitkan sesuatu yang bikin naik darah mungkin.

“Kalian kenapa?” Yoshi menggumam bingung saat Junkyu dan Seunghun bangkit berdiri di saat yang hampir bersamaan.

Bahkan sama-sama melepas luaran—jaket atau cardigan—dan menggulung lengan kaus, mengcopy Lucas.

Junkyu yang kebetulan pakai celana training refleks narik celananya sebatas betis.

“Ngapain Yosh, ayo keluar.” ajak Seunghun sebelum keluar dari sekret dengan Junkyu yang mengekor di belakang.

Yoshi geleng-geleng kepala, tapi tetap mengekor dan menutup pintu sekret rapat-rapat.


Belut.

Itu yang Junkyu pikirkan setiap kali mencoba menghadang atau menghambat pergerakan Jihoon tapi selalu gatot, alias gagal total.

Park Jihoon saat mendribble bola bergerak layaknya belut, lincah banget gerak ke sana-sini nya sampai Junkyu nyaris berseru frustasi.

Masalahnya tim Taekwondo ketinggalan poin hampir separuh poin tim DPM.

“Bentar!” teriak Junkyu, dia meluk bola basket yang berhasil direbut dari Lucas tapi sialnya langsung berhadapan sama Jihoon.

Jihoon berupaya merebut bola dari Junkyu.

Dan Junkyu berupaya agar bolanya tidak direbut.

Mau oper ke Seunghun atau Yoshi yang ada di depan—tapi tangan panjang Jihoon selalu berhasil menghalangi—atau sudah menghindar ke kanan dan kiri—tapi gerakannya yang terbaca itu juga berhasil digagalkan oleh Jihoon.

“Bentar dulu plis!” teriak Junkyu lagi, masih kukuh peluk bola basket.

“Kenapa sih?” Jihoon malah ketawa, masih dengan posisi menghadang Junkyu. “Kenapa kenapa?”

“Bentar! Sepatu gua copot nih!” Junkyu ngangkat sepatunya yang memang lepas—atau memang sengaja di lepas. “Kasih gue kesempatan benerin sepatu!”

“Oke!” Jihoon mengangkat tangannya. “Tapi jangan oper bolanya—curang!”

Belum selesai Jihoon bicara Junkyu sudah mengoper bola pada Yoshi, Yoshi menerima bola dengan baik lalu mencetak poin dari garis three point.

“Oh mau main curang ya?” tanya Jihoon seraya mengerling.

Junkyu menaik-turunkan alisnya, lalu berani menjulurkan lidahnya, meledek. “Emang enak ditipu~~” kemudian berlari menghindari Jihoon.

Gara-gara itu selama permainan Junkyu dan Jihoon gak pernah lepas satu sama lain. Entah kenapa bisa dua orang itu selalu berakhir berebut bola.

Jika sebelumnya masih enggan berbuat kasar atau paksa, sekarang keduanya gak segan buat narik kaus atau celana, atau bahkan narik-narik tangan dan pundak.

“Heh! Celana gua jangan ditarik, merosot!!” Junkyu berseru panik waktu Jihoon gak sengaja narik celana trainingnya.

“Gak sengaja!” elak Jihoon seraya mengangkat tangan ke atas.

Junkyu mendongak, merebut dengan mudah bola di tangan Jihoon. Gak mau merasa kecolongan Jihoon refleks meluk Junkyu. Bukan meluk yang begitu, sengaja menabrakkan badannya ke badan Junkyu dengan tangan yang menahan pergerakan si cowok Kim.

Beberapa orang yang lihat itu mungkin ketawa karena dua orang itu heboh banget, tapi buat satu orang situasi itu gak ada lucunya sama sekali.

Entah apa yang mendorongnya saat itu, yang jelas tungkai kakinya melangkah mendekati Jihoon—Junkyu yang masih berebut bola, lalu—

BRUK!

Junkyu jatuh tersungkur, tak siap ketika ada yang menubruk keras badannya.

“Seunghun, lo kenapa sih?” tanya Jihoon, menatap orang itu dengan tatapan tidak mengerti.

“Kalian kelamaan pegang bola, time out.”

“Ya tapi kan gak harus kaya gitu. Jun, lo gak apa-apa kan—Seunghun!”

Jihoon makin gak ngerti kenapa tangannya yang terjulur untuk membantu Junkyu bangun justru ditepis kasar oleh Seunghun.

“Lo kenapa sih?!” tanya Jihoon lagi, sekarang nada bicaranya naik lebih tinggi.

Seunghun gak bersuara tapi bergerak menarik kerah kaus Junkyu. Memaksa sepupunya itu untuk bangun, dan menyeret yang lebih muda entah kemana.

“KIM SEUNGHUN!!!!”

Gara-gara dibilang mirip panda—terus menyimpulkan dibilang lucu secara tidak langsung—mendadak bikin Jihoon berubah ke mode kalem.

Alias jaim, iya Jaga Image.

Park Jihoon yang dikenal berisik kalau latihan tiba-tiba kalem gak ada suaranya tuh jelas bikin heran. Lucas bahkan takut kalau adik tingkatnya itu kena tempel penghuni sanggar.

Bugh!

Lucas makin takut waktu dia sengaja mukul agak keras ke arah perut Jihoon, tapi gak direspon apapun sama Jihoon. Biasanya anak itu udah ngoceh mencak-mencak tapi tadi cuma senyum kecil, tapi Lucas dapet pukulan balik yang lebih keras.

“Beneran kena tempel ini kayanya si Jihoon,” bisik Lucas pada Yangyang—anggota sanggar lainnya.

Yangyang merespon bingung. “Hah gimana?”

“Biasanya dia berisik, tapi tadi pas gua tonjok responnya biasa aja, kan serem.” cerocos Lucas.

“Hah—oh,..” pandangan Yangyang—si cowok darah taiwan yang besar di jerman itu— jatuh pada sosok Junkyu yang menyambut Jihoon turun dari ring. “Lagi berubah mode kalem kali, ada gebetan soalnya.”

“Di chat ngakunya temenan sih,” sahut Lucas, ikut melihat interaksi Junkyu yang nyodorin handuk plus botol minum buat Jihoon, dari jauh. “Setau gua Jihoon juga pdkt-an sama sepupunya Junkyu, bukan Junkyu nya.”

Yangyang mendengus. “Ribet banget, udahlah ngapain amat ngurusin kisah cinta orang lain.” lalu melengos pergi gitu aja.

Ninggalin Lucas yang mendadak asem begitu lihat Junkyu ngusak-ngusak rambut Jihoon pakai handuk. “Sialan, gua jadi kangen pacar...”


Padahal apa yang Lucas lihat gak seromantis itu.

Kenyataannya adalah Junkyu yang gak sengaja—atau emang sengaja—nyiram kepala Jihoon pakai sisa air di dalam botol minum.

“Fakkkkk, maksud lo apa Kim Junkyu????!??” akhirnya keluar juga itu mode mencak-mencak Jihoon. Mata sipitnya bahkan melotot kesal.

Junkyu haha-hehe, setia banget sama cengiran lebarnya. “Kalo gua, keringetan gitu enaknya disiram air Hoon...”

“Ya tapi baju gua basah??!!!!” omel Jihoon. “Rambut gue juga!”

“Yaudah nih gua elap biar gak basah,” kata Junkyu sambil ngusak-ngusak rambut basah Jihoon pakai handuk.

Jihoon gimana?

Jelas langsung menghindar, rebut paksa handuk kecil di tangan Junkyu. “Gue bisa sendiri,” responnya kemudian minggir untuk duduk selonjoran.

“Marah?” tanya Junkyu.

Jihoon mendongak sekilas. “Gak lah, ngapain juga gitu doang marah.”

“Kirain marah,”

“Btw Hoon...”

“Apa?”

“Itu tadi gue gak sengaja denger, katanya Koh Jack mau adain battle?”

“Iya, kenapa? Lo mau nyoba battle?” tanya Jihoon.

“Hah, yakali... bonyok yang ada gue...”

“Ya terus?”

“Gak apa-apa sih, gue jadi kepo lihat lo tanding beneran.”

“Jihoon kalau tanding kaya macan lepas dari kandang...” itu Yangyang, datang menghampiri dengan gelas berisi banyak sumpit.

Jihoon memutar bola mata, malas. “Ngapain?”

Yangyang ketawa, “galak bener boss...”

“Ini nih pilih satu, yang dapet warna merah maju battle.”

Setengah malas, Jihoon akhirnya menarik satu sumpit dari gelas yang Yangyang sodorkan.

“Semoga merah,” kata Junkyu.

Belum sedetik Junkyu ngomong, sumpit yang Jihoon pegang beneran punya noda merah di bagian bawahnya.

Junkyu tepuk tangan heboh, Yangyang cuma ketawa lalu nepuk pundak Jihoon—guna memberi semangat. “Semangat, yang maju battle lo sama Bang Lucas tuh.”

“Sialan.” umpat Jihoon begitu saja.

Lucas itu biar tampang dan tingkahnya slengean dan gak jelas, nyatanya kalau udah tanding di atas ring bisa berubah jadi orang gak dikenal. Alias brutal.

Dan Jihoon suruh maju lawan Lucas?

Duh, kayanya selagi punya kesempatan mending dia mundur.

“Koh Jack!”

“Oit, lo ya yang maju battle” sahut Jackson.

“Iya, gue mau mun—”

“Oke, bingkisannya udah gua siapin. Jangan bilang-bilang yang lain, yang menang boleh bawa pulang Vespa matic gue di garasi sanggar.”

Jihoon langsung puter badan, gak sadar narik Junkyu ke arah tas mereka berada.

“Kenapa????” tanya Junkyu bingung. Tadi dia lagi ngobrol sama Yangyang seputar boxing malah diseret.

“Bantuin gue pake hand warp, buruan!” Jihoon maksa Junkyu pegang hand warp miliknya. “Pakein yang kenceng!”

Junkyu bingung tapi tanpa bertanya dia menuruti keinginan Jihoon.

“Dua-duanya?” tanya Junkyu.

“Iya, yang kenceng ya Jun, biar tangan gue kebal dikit waktu mau patah.”

“Hah, gimana????”

Jihoon dongak, keduanya saling menatap sekarang. “Menurut lo mending menang tapi babak belur, atau kalah tapi babak belur?”

“Jelaslah menang tapi babak belur??????”

Senyum tipis terulas singkat di wajah si Park. “Oke, doain gue menang kalo gitu.”

“Yah, meskipun peluangnya 3:7.” bisik Jihoon kemudian.

Junkyu turun dari mobil dengan ransel tersampir di sebelah pundak, sambil menunggu Jihoon parkir motor dia melihat-lihat bangunan di depannya.

Sebelum berangkat mereka sempat debat—Jihoon yang kukuh naik motor aja dan Junkyu yang kukuh mending naik mobil aja—berakhir keduanya naik kendaraan masing-masing. Junkyu mengekor di belakang motor Jihoon.

“Parkir tuh yang bener dong,” komentar Jihoon gak sengaja lihat mobil Junkyu yang parkir asal-asalan.

“Udah bener kok,” eles Junkyu.

“Miring gitu,”

“Lurus, lo liat dari sini dah, lurus!”

“Miring—”

“Eh Jihoon, baru datang?”

Dua orang itu dikagetkan dengan seruan dari dalam sanggar. Lantas menoleh hampir bersamaan.

“Eh Koh Jack,” sapa Jihoon sambil kasih handshake khas anggota sanggar.

Mata Jackson beralih pada sosok Junkyu. “Siapa nih, wajah baru...”

“Junkyu Koh...” Junkyu buru-buru senyum sambil salaman singkat sama si pemilik sanggar.

“Pacar ya Ji—”

“Yang lain mana Koh?” Jihoon buru-buru nyela, tahu banget si kokoh ini bakalan ngomong apaan. Sebelum bikin suasana canggung lebih baik segera dihentikan. “Udah pada datang belum?”

“Udah tuh, rame di dalem.” jawab Jackson. “Masuk sana, gua mau beli minum.”

“Ditemenin jangan?” tawar Jihoon.

“Gak usah lah,” Jackson menyuruh dua anak itu masuk ke dalam dengan dagunya. “Sana masuk aja.”

Jihoon akhirnya mengajak Junkyu masuk ke sanggar. Sembari jalan masuk Junkyu gak berhenti melihat kanan-kiri.

“Suasananya gak kaya sanggar boxing,” kata Junkyu.

“Gedung ini bekas tempat pemotretan gitu,” respon Jihoon. “Si Koh Jack gak rubah bagian depan, cuma bagian dalamnya lo liat aja nanti.”

Sampai di dalam Junkyu dibuat terperangah.

Agak gak menyangka kalau lorong sempit yang tadi dia lalui membawa mereka ke ruangan luas—luas banget kaya lapangan futsal indoor—yang menampung dua ring battle.

Di antara dua ring battle itu ada jarak yang lumayan lebar jadinya ring satu dan satu lagi gak mepet. Terus di pojok belakang ada spot khusus buat pemanasan, Junkyu lihat ada beberapa samsak menggantung di sana.

“Eh Uda Jihoon baru datang nih?”

Sewaktu Jihoon dan Junkyu duduk di pinggir—sedang membongkar tas untuk prepare latihan—datang satu makhluk besar, sebut saja dia manusia jadi-jadian.

“Eh, Kak Lucas...” sapa Junkyu. Agaknya tahu wajah familiar yang barusan menyapa ini salah satu petinggi organisasi di kampus.

“Yo! Junkyu! Apa kabar?”

Junkyu cuma bisa ketawa haha-hehe sambil nyengir lebar waktu Lucas gak pakai aba-aba nubrukin badannya, keras banget badan katingnya itu, Junkyu sampai meringis diam-diam.

“Kasian Bang itu temen gua gak nyaman, hush hush!” usir Jihoon terang-terangan.

“Apa dah gua kan cuma nyapa, iya gak Jun?” Lucas tatap Junkyu sambil naik-turunin alisnya.

Bola mata Jihoon berputar malas, tahu kalau usiran halus lewat kata-kata gak akan bisa menggerakkan Lucas, terpakasa Jihoon kasih tinjuan ringan berkali-kali di belakang punggung cowok berdarah Hongkong itu.

“Hush! Hush! Hush!” usir Jihoon.

“Duh! Heh! Sakit—lu pikir badan gua samsak heh?!” sambil meringis Lucas menghindar dari si Park. “Iya iya ini gua pergi—bae bae dah lu Jun sama macan kaya Jihoon—ADAH! Iya iya ini gua pergi!”

Sambil menyugar rambut bagian depan Jihoon melirik Junkyu harap-harap cemas.

Padahal yang dilirik masih setia dengan cengiran lebarnya. Jihoon mendelik, “ngapain nyengir gitu?”

“Dari pada macan—lo lebih mirip panda gak sih?” respon Junkyu gak nyambung.

“Panda?”

Junkyu mengangguk, gak sadar mendekat cuma buat nunjuk kantung mata Jihoon. “Kantung mata lo mirip panda hehe...”