Love Language.
Selama pergi dan kembali dari kantor konsultan hukum gak ada obrolan yang bener-bener ngobrol.
Perjalanan singkat dua anak adam ini terkadang ditemani dengan pertanyaan seputar pekerjaan, seperti 'pagi tadi gue ngecek piutang klien sama pihak ketiga ada yang beda, gue jadi harus confirm ke pihak ketiga.' atau 'tadi gue kena damprat Pak Janit, soalnya gue teledor ngecek berkas.'
Gak ada obrolan menyangkut masalah kejadian sore hari kemarin di apartemen Junkyu, jadinya Jihoon bisa menarik sedikit napas lega. Iya karena sejak tadi si Park udah deg-degan takutnya Junkyu ungkit-ungkit kejadian itu.
“Hoon, gue mau lagi deh.” Junkyu tiba-tiba ngomong setelah mobil masuk basement kantor mereka.
“Apaan?” tanya Jihoon balik, mata dan tangannya sibuk memarkirkan mobilnya.
“Ciuman.”
Pyarrrrrrr
Selain karena fokus Jihoon yang pecah dalam hitungan detik, mobil Jihoon gak sengaja nabrak dinding basement. Gak keras sih, tapi kayanya bagian belakang mobilnya bakalan lecet.
“Lo—” Jihoon noleh, natap Junkyu yang nyengir dengan tatapan super tajam. “—beneran udah gila, anjing.”
“Serius, gue kepengen lagi—”
“Diem.” Jihoon buru-buru mematikan mesin mobilnya dan melepas seatbelt yang mengikat badannya. Sudah akan membuka pintu tapi lagi-lagi kalah cepat dengan tangan panjang Junkyu. “Kim Junkyu astaga—bisa gak sih sekali aja gak bikin gue sinting???!!!!!”
Cengiran Junkyu bertambah lebar. “Hoon, gue kaya gini bukan tanpa sebab.” sambil ngomong gitu Junkyu pindah posisi ke atas pangkuan Jihoon.
Iya beneran, Junkyu nekat duduk di atas pada keras Jihoon.
“Junkyu—” sumpah, Jihoon udah mau melebur aja sewaktu Junkyu menyugar rambut dan melingkarkan tangan ke lehernya.
“Kenapa sih, gue cuma mau ciuman tapi lo tegang banget gitu.” kata Junkyu setengah mengejek. “Gak usah tegang bisa gak Hoon, gue mau ciuman yang beneran ciuman. Gak cuma asal nempel kaya kemarin.”
“Sadar gak sih, lo yang kaya gini lagi-lagi nyakitin gue kaya yang dulu lo lakukan ke gue?” sahut Jihoon. Mata sipit dengan bola mata coklat pekat itu menatap intens iris mata Junkyu.
“Lo jangan kaya gini—kalo ujungnya lo cuma kasih harapan palsu.”
Meski suasana berubah semakin tegang dan canggung, Kim Junkyu tampak tidak peduli justru mulai mengikis jarak sampai bibirnya mengecup ringan bibir tebal Jihoon.
“Gue bilang, gue kaya gini bukan tanpa alasan.” Junkyu kembali menekan bibirnya di atas milik Jihoon, memberikan lumatan secara bergantian pada bibir atas dan bawah si Park secara bergantian.
“Lo tahu gak... kenapa setelah bertahun-tahun bareng terus, tapi gue masih gak bisa suka sama lo?”
“Karena lo udah gak punya hati?” respon Jihoon ragu.
“Bener sih, tapi ada alasan lain.”
Sebelah alis Jihoon terangkat. “Apa?”
Sebelum menjawab Junkyu membenarkan posisi duduknya—agak pegal juga di posisi ini, karena dua kaki panjangnya terpaksa ditekuk—dan Jihoon yang peka akan hal itu mendorong kursi ke belakang agar Junkyu bisa lebih leluasa.
Tapi posisi mereka jatuhnya malah makin intim.
“Bahasa cinta kita kayanya beda,”
“Gimana????”
“Gue gak tahu love language lo apa, tapi punya gue physical touch.”
“Terus?”
Tidak langsung menjawab, Junkyu maju dan bersandar pada dada bidang Jihoon—tepatnya menempelkan sebelah daun telinganya pada dada Jihoon, berusaha mendengarkan detak jantung si Park.
Senyum si Kim merekah. “Jantung gue juga segila ini kemarin,”
“Hoon...”
“Hm?”
“Kalau lo mau bikin gue suka balik sama lo, coba deh, yang serius waktu cium gue—”
“Lo ngomong mulu, gimana gue bisa serius?” celetuk Jihoon.
Junkyu melotot tapi langsung balik senyum. Jihoon ikut senyum dan menarik wajah Junkyu mendekat—mempertemukan kembali bilah bibir mereka.
Sejak awal posisi mereka berubah intim sebenarnya jutaan kupu-kupu mulai bersarang di perutnya, dan ketika bibirnya menyentuh milik Junkyu jutaan kupu-kupu itu mengepak secara bersamaan, membawa afeksi geli yang membuncah.
Apalagi ketika Junkyu merespon ciuman lembutnya, bergerak aktif mengikuti alur gerak bibir yang lebih tua.
Hembusan napas hangat saling menerpa kulit wajah keduanya—yang makin detik makin berubah terburu. Bunyi cup! terdengar saat tautan terlepas disusul dengan wajah yang lebih muda tenggelam di ceruk leher yang lebih tua.
“Jantung lo berisik.” komentar Junkyu.
“Punya lo juga, bajingan.”
Lalu keduanya sama-sama terkekeh.
“Lo berat, minggir.” sampai komentar Jihoon memecah suasana hangat mereka.
Junkyu berdecak sebal, sebelum pindah ke kursi samping dia mendaratkan satu kecupan di atas garis rahang Jihoon.
“Jadi, ajakan nikah gue... lo masih mau pertimbangin gak?” tanya Junkyu tiba-tiba.
Jihoon yang merapikan sebentar kemejanya melirik, “gak. Lo ngajak nikah kaya ngajak beli kuaci.”
“Yaudah, kalo ngewe gimana? Mau gak?”