Penah tidak kamu kehilangan satu hal, hanya satu hal tapi membawa dampak besar buat hidupmu?
Agaknya sepele, tapi apa yang telah hilang membawa serta separuh hidup dan nyawamu. Membuatmu merasa kehilangan jati diri, tujuan, motivasi serta semangat hidup yang berarti.
Itu yang dirasa Kim Junkyu saat ini.
Hidup bagaikan mayat berjalan dengan tampang yang membuat orang lain menyebutnya dengan sebutan, 'Hidup segan mati pun tak mau'
Padahal kenyataannya kalau saja bisa mati saat ini juga Junkyu akan dengan sangat senang hati menyerahkan nyawanya pada malaikat pencabut nyawa, tapi sayang malaikat pencabut nyawa masih belum mau menemuinya sebab-mungkin-sisa waktu hidupnya masih banyak.
“Kim Junkyu.”
Nama itu sudah disebut sebanyak tiga kali dan ketika panggilan tadi berakhir tanpa sahutan, pria paruh baya di depan kelas tanpa pikir panjang membuat garis silang pada baris absen.
“Ada yang tahu kabar Kim Junkyu?” tanya sang Dosen kemudian. Kini mengangkat wajah untuk menatap mahasiwa di kelas, menunggu jawaban.
Tapi yang didapat justru gelengan kepala dan tatapan bingung.
Prof. Lee menghela napas pendek, agaknya cukup kecewa menerima fakta bahwa salah satu mahasiswa kesayangannya telah melewatkan lebih dari tiga kali kelas mata kuliahnya.
“Sayang sekali, padahal dia mahasiswa pintar yang punya potensi besar.” gumam Prof. Lee, bola mata beliau kemudian bergulir memindai daftar absen di tangan. Tertarik dengan satu nama di bagian akhir absen.
“Bagaimana dengan Park Jihoon?”
Salah satu mahasiswa yang duduk di barisan paling depan menggeleng, “Park Jihoon memutuskan untuk cuti kuliah Prof.”
Helaan napas kembali terdengar. “Jadi, Kim Junkyu juga ikut ambil cuti seperti Park Jihoon?”
Mahasiswa tadi sempat membuka mulut tapi terlihat ragu untuk menjawab, “sepertinya tidak begitu Prof, Junkyu masih aktif kuliah. Hanya saja setelah Jihoon cuti dia tidak pernah lagi menampakkan diri di area kampus.”
Prof. Lee mengangguk mengerti. Dengan penjelasan singkat tadi pria paruh baya itu sudah menarik kesimpulan sendiri, tidak perlu repot berpikir keras,
Sebab Kim Junkyu sudah seperti bagian lain Park Jihoon.
Satu paket yang tidak bisa dipisahkan.
Yang satu pergi, maka yang satu akan ikut pergi.
Penasaran dimana Kim Junkyu berada saat ini?
Satu bulan ke belakang pemuda Kim itu memang tidak bisa ditemukan di area kampus, keberadaannya hampir tidak pernah dirasakan karena yang dicari saat matahari bertahta lebih senang mengurung diri di dalam kamar, dan keluar rumah ketika purnama menguasai langit.
Lalu kemana?
Sebuah tempat dengan alunan musik yang membuat telinga pengang, bau alkohol yang menyengat kuat serta diisi dengan berbagai macam orang yang memenuhi lantai dansa. Saling beradu ombak badan satu sama lain.
Kelab malam.
“Oh! Hello again, Jun!”
Junkyu menurunkan tudung hoodie miliknya, menarik satu kursi tinggi lebih mendekat dengan meja serta mengulas senyum samar guna merespon sapaan hangat si bartender.
“Shiho, aku pesan seperti biasa.” adalah kalimat pertama yang keluar dari mulut Junkyu hari ini.
Mashiho, si bartender berbadan mungil itu tersenyum lebar lantas tanpa perlu menyahut segera menyiapkan apa yang Junkyu inginkan.
Menunggu minumannya siap Junkyu memejamkan mata erat. Merasakan alunan musik yang sangat keras dibarengi dengan tawa riuh orang banyak, menyapa dan memenuhi pendengarannya. Berisik. Suasana yang tidak Junkyu sukai.
Kelab malam seharusnya jadi tempat yang paling ia hindari tapi anehnya sebulan terakhir justru menjadi tempat yang selalu ia datangi. Tidak pernah lewat sehari pun Junkyu absen, sampai Mashiho salah satu bartender di sana hapal betul kebiasaan si pemuda Kim.
“Milikmu datang, Jun!” Mashiho berkata riang saat mendorong satu gelas rum bersama satu kaleng coca-cola.
Setelah mengucap terimakasih dengan suara pelan Junkyu meraih minuman kaleng bersoda lalu sengaja menuang cairan hitam pekat itu ke dalam gelas rum miliknya.
Mata bulat dengan tatapan kosong itu terfokus pada gelembung-gelembung soda yang bercampur dengan cairan alkohol, tidak sengaja satu kejadian terlintas di dalam kepalanya.
“Tebak gue bawa apa?”
“Apaan, cireng perempatan?”
“Nih-“
“Apaan nih, amer??? Lo mau mabok?? Gua laporin nyokap lo nih-”
“Nyobain doang! Emangnya lo gak penasaran gimana rasanya amer????”
“Gak. Gak sama sekali.”
“Ck, cupu!”
TAK!
“Sumpah kalo lo mabok, gue gak mau direpotin!”
“Yaelah Kyu, minum sekali gak bakalan mabok. Cobain deh,”
“Gak dulu-UHUK!”
“Enak gak Kyu?”
“PAIT ANJING!”
“Ahahahahaha, abisin nih tanggung-”
“GAK. GAK MAU!”
“Tanggung Kyuuuu~ Abisin dong. Aaaaaa~~~”
DAK!
Junkyu menggebrak gelas miliknya ke atas meja, menyadarkan dirinya sendiri dari lamunan singkat yang tidak diinginkan. Hidungnya mendengus kasar lantas segera meneguk cairan di dalam gelas, hingga setengah tandas.
Park Jihoon sialan! Kapan kau bisa pergi dari kepalaku?!
Hari ini Junkyu pergi kuliah.
Setelah dapat surat peringatan dari Dosen Pembimbing Akademik Junkyu dengan terpaksa kembali pada rutinitas membosankannya. Menghabiskan seperempat hari untuk mendengarkan manusia tua menjelaskan tentang pasal-pasal dan aturan yang diselingi dengan sharing pengalaman.
Dulu Junkyu menikmati hal seperti itu, sharing pengalaman para dosennya. Tapi sekarang rasanya tak lagi sama. Junkyu seolah kehilangan kemampuan mencecap rasa dan kehilangan emosi karena kini tidak ada senyum cerah yang menghiasi wajah si Kim. Tergantikan dengan wajah datar yang terkesan muram serta dingin.
Kim Junkyu dikenal identik dengan hoodie pink atau pakaian cerah lainnya tapi penampilannya berubah 180 derajat ketika Junkyu kembali, nuansa pakaiannya lebih gelap. Tidak lepas dari warna hitam. Kelabu.
“Kim Junkyu,”
Yang dipanggil mendongak, menemukan Prof. Lee sudah berdiri di depan mejanya dengan tangan yang memegang selembar kertas. Junkyu melirik lembar kertas itu, tahu betul kalau kertas yang penuh dengan tulisan tangan acak-acakan itu adalah miliknya.
“Ya Prof...” Junkyu berdeham pelan, mencoba menghilangkan nada serak di tenggorokannya.
“Ini sungguh milikmu?” lembar kertas itu disodorkan, tanpa perlu memastikan Junkyu menganggukkan kepala. “Benar, Prof.”
Kerutan halus pada dahi Prof. Lee bertambah tanpa sadar, sorot mata pria tua itu terlihat kecewa. “Kau yakin?”
Sekali lagi Junkyu mengangguk. “Itu milik saya Prof, di ujung sudah jelas tertulis nama saya.”
Prof. Lee menghela napas dan tanpa menyahut kembali berbalik menuju meja di depan kelas sambil terus memandangi tugas essai Junkyu.
Agaknya masih belum mempercayai bahwa tulisan acak-acakan yang terkesan dipaksakan dan tidak jelas ini adalah hasil tangan seorang Kim Junkyu, salah satu mahasiswa kesayangannya.
“Uhuk! Uhuk!“
Junkyu terbatuk saat asap rokok miliknya selalu tidak sengaja tertelan, terpaksa menjauhkan batang nikotin yang terbakar di jarinya, berusaha mengatur napasnya kemudian.
Di saat itulah seseorang datang menepuk pundaknya, membuat Junkyu menoleh sedikit.
“Halo bro, boleh gabung gak?” ternyata itu Sunwoo—teman yang dulu sempat satu kelas dengannya pada mata kuliah Pengantar Ilmu Hukum—dengan rombongannya yang mengekor di belakang. “Gak ada yang kosong.”
Junkyu mengangguk kecil, bergeser serta menarik tas ranselnya ke depan. “Silahkan...”
“Makan, Jun.” tawar Eric, salah satu dari rombongan Sunwoo. Dan Junkyu hanya merespon dengan senyum serta anggukan kepala, kembali menyesap rokoknya yang sisa setengah.
“Lusa jadi gak sih?”
“Jadi lah, gue udah kabarin temen gue. Lokasinya di Jalan Raya Bogor.”
“Siapa aja yang turun?”
“Gue skip dulu lah,”
“Kenapa gitu anjir???”
“Tangan gue masih cidera, nyet, kalo lo lupa.”
“Lah iya juga gua baru inget wkwkwk.”
Meja yang sebelumnya hening mulai berisik karena obrolan teman-teman Sunwoo. Junkyu diam saja, toh tidak ada yang mengajaknya bicara. Lagi pula sebentar lagi rokoknya habis nanti ia akan segera angkat kaki dari sini.
“Jun, kalo gak salah dulu lo pernah ikut balapan kan ya?” tanya Sunwoo saat rokok Junkyu sudah hampir habis. Cowok dengan bibir tebal itu sedikit bergeser mendekat ke arah Junkyu.
“Dulu, udah lama banget.” jawab Junkyu seadanya. Otaknya hampir saja mengingat kejadian ia pertama kalinya terjun ke arena balap, tapi segera ditepis sebab Junkyun tidak mau mengingat hal yang berkaitan dengan orang itu.
“Lo gak pengen balapan lagi, gitu?” tanya Sunwoo lagi.
Junkyu berpikir sebentar, bola matanya berpendar saat memindai suasana kantin siang ini. “Pernah kepikiran sih, cuma gue males.”
Sunwoo tertawa kecil. “Gak ada temen? Ikut gue aja gimana?”
Junkyu tahu betul siapa Kim Sunwoo, ini laki-laki yang digadang-gadang jadi pentolan jurusan hukum yang katanya raja arena balap.
“Gak deh. Nanti gue malah malu-maluin lo,” tolak Junkyu.
“Santai aja kali,” Sunwoo mulai merangkul Junkyu akrab. “Lusa gue ada balap di Jalan Raya Bogor, balap biasa kok gak ada embel-embel taruhan. Gimana, lo mau ikut gak?”
Kim Junkyu yang biasanya pasti akan langsung menolak, lebih memilih menghabiskan waktu dengan kasur kesayangan. Tapi Junkyu yang sekarang justru langsung mengiyakan tanpa pikir panjang.
“Boleh deh,” kata Junkyu.
Sunwoo tersenyum lebar. “Good,” lalu menatap ke arah teman-temannya. “Guys lusa besok kita nambah personel!”
Ketagihan.
Itu yang dirasakan Junkyu beberapa bulan terakhir.
Pertama ia ketagihan nongkrong di kelab malam, menghabiskan waktu di sana sampai wested. Kedua ia ketagihan dengan rokok, sehari bisa menghabiskan kurang lebih sepuluh sampai dua belas bungkus. Ketiga ia mulai aktif lagi di arena balap, bermula dari ajakan iseng Sunwoo kini Junkyu jadi bagian dari rombongan si pentolan hukum 17.
“Kalo lo berhasil finish ketiga, lo boleh bawa pulang motor gue.” itu perkataan Sunwoo sepuluh menit yang lalu, mendatangi Junkyu yang bersiap dengan motor kesayangannya dan menawarkan hadiah yang cukup menggiurkan.
Ninja ZX-25R keluaran baru, siapa yang tidak tergiur.
Dan itu jadi alasan kenapa Junkyu tiba-tiba merasakan adrenalin mulai menguasai dirinya. Semangatnya menguar tidak terkira sekarang.
Seorang gadis—dengan pakaian minim dan ketat—mulai berjalan ke tengah garis start, membawa bendera di tangannya.
Satu kali dikibas ke atas, semua peserta balap menggeber motor mereka.
Satu kali dikibas ke bawah,
BRUMMMMMMMMM
Adalah tanda bahwa balapan telah dimulai.
Junkyu dengan motor hitam pekatnya berada di posisi lima. Dari balik helm fullface warna hijau stabilo itu Junkyu tersenyum miring, lantas menarik gas lebih dalam sembari sedikit membelokkan stang motor, menyalip dua motor sekaligus.
Posisi ketiga.
Seharusnya Junkyu cukup mempertahankan posisi dan dia bisa membawa pulang ninja baru milik Sunwoo, tapi Kim Junkyu dengan sifat ambisiusnya tiba-tiba mengincar posisi pertama.
Junkyu mengubah gigi mesin dan memacu motornya lebih cepat. Putaran pertama telah selesai dilewati, ketika akan memulai putaran kedua, keributan mulai menguasai arena balap.
Semua yang berkumpul untuk menonton berubah panik saat suara sirine mobil polisi mulai terdengar keras.
Adalah polisi yang ditakutkan para pembalap liar.
Situasi berubah kacau hingga balapan terpaksa dihentikan.
Junkyu ikut panik, berniat melarikan diri dari lokasi tapi saat itulah kecelakaan terjadi. Motornya tiba-tiba ditabrak dengan keras dari belakang hingga tubuhnya terpental dari atas motor.
Di tengah kerusuhan orang-orang yang panik melarikan diri Junkyu terkapar lemas. Dengan sisa tenaga ia melepas helm fullface miliknya. Kepalanya pening, meski memakai helm benturan kepala dengan aspal sangatlah keras, berhasil membuat pandangan Junkyu tiba-tiba buram.
Dunia terasa berputar untuk Junkyu. Satu ringisan lolos dari mulutnya kala tangan panjangnya tidak sengaja terinjak orang. Dari banyaknya orang yng berlalu lalang tidak ada satu pun yang berniat membantu.
Junkyu tersenyum miris.
Ia sudah berpikir akan mati saat pandangannya mulai menggelap. Samar-samar, sebelum kelopak matanya sepenuhnya menutup Junkyu melihat seseorang dengan seragam army berlari mendekat, pun Junkyu merasa badannya tiba-tiba diguncang.
“Junkyu!”
Sebatas itu saja. Sebab sedetik kemudian Junkyu kehilangan kesadaran.
Putih, adalah yang Junkyu lihat ketika membuka mata. Ah, ternyata itu langit-langit atap, rupanya ia masih hidup.
Junkyu pikir ia telah mati tapi ternyata tidak.
Bola mata bulat itu mengerjap beberapa kali menyesuaikan dengan cahaya terang di ruangan, dan bergulir ke samping. Menyadari ada sekat—dari kain panjang berwarna coklat gelap—yang membatasi.
Ah, rupanya ia berada di rumah sakit. Junkyu juga melihat tiang infus makanya ia menyimpulkan begitu.
Merasa pegal di belakang lehernya, Junkyu mulai menggerakkan kepala ke kanan dan kiri, di saat itulah ia tidak sengaja bertemu tatap dengan seseorang.
Ternyata sejak tadi setiap pergerakannya diperhatikan, oleh laki-laki tegap berbalutkan seragam army.
“Hai, Kyu.” suara ringan itu terdengar pelan tapi mampu menggapai pendengaran Junkyu.
Junkyu memutus kontak mata, lantas mendecih. “Cih, bisa-bisanya dia menyapa dengan santai?” dumalnya.
“Gimana kabar lo?”
Mengabaikan respon dingin Junkyu laki-laki berseragam itu menarik kursi dan duduk di samping ranjang rawat si Kim. Tangan kekarnya ditaruh di atas pinggiran kasur, kepalanya mendongak menatap Junkyu yang kini sengaja berbaring menyamping. Membelakanginya.
Tapi seulas senyum tipis tetap menghiasi wajahnya.
“Lo keliatan berantakan, Kyu.”
Kelopak mata Junkyu tiba-tiba menutup cepat, ia menggeram dalam diam.
“Lo juga keliatan banyak berubah ya,”
Junkyu tak tahan. Ia tiba-tiba beranjak bangun, tidak tanggung-tanggung mencabut selang infus di tangannya. Berbalik badan, langsung menatap sosok berseragam tadi dengan amarah tertahan.
“Jangan komentari hidup gue, Park Jihoon.”
Junkyu menyibak gorden coklat tua yang menjadi sekat IGD, refleks meringis ketika merasakan ngilu pada pergelangan tangannya.
Ah, ia baru sadar kalau pergelangan tangan kirinya berbalut perban.
“Tanganmu terkilir—”
Seolah tidak mau mendengar suara itu lagi Junkyu segera melengos pergi. Ia melewati koridor IGD dengan langkah lebar-lebar, tapi selebar apa langkah kaki Junkyu, Park Jihoon dapat dengan mudah menyusul.
Tangan Junkyu digapai, dipegang erat agar tidak lepas dengan mudah.
“Junkyu—”
“Stop.” Junkyu buru-buru menyela. “Stop. Jangan pernah sebut nama gue lagi—”
“Kim Junkyu. Kita butuh bicara.” Jihoon dengan berani mengabaikan ultimatum Junkyu. Seolah tidak gentar dengan tatapan tajam penuh amarah milik si Kim.
“Fuck! Gue gak mau bicara sama lo!” Junkyu mendorong Jihoon dan menarik tangannya, tanpa pikir panjang segera berlari keluar dari gedung rumah sakit.
Jihoon terdiam.
Yang dia lakukan hanya memandangi punggung lebar Junkyu yang semakin menjauh.
Jihoon pikir Junkyu butuh waktu sendiri. Oke, Jihoon akan mengabulkannya.
Tapi Jihoon keliru.
Junkyu bukan membutuhkan waktu sendiri, melainkan memang tidak mau bertemu lagi dengannya.
Segala cara Jihoon lakukan untuk mengajak bicara si Kim. Dan segala cara Junkyu lakukan untuk menghindari si Park.
Putus asa, Jihoon memilih nekat mendatangi kelab malam yang biasa Junkyu datangi. Tidak peduli dengan konsekuensi besar yang membayanginya kalau ketahuan nanti, Jihoon tidak mau memikirkannya sekarang.
Ia hanya butuh bicara dengan Junkyu. Hanya itu.
Park Jihoon semakin bergerak masuk, melewati orang-orang yang saling bercumbu mesra. Mengeratkan jaket bomber miliknya, Jihoon mempercepat gerak kakinya.
Sebenarnya ia tidak terlalu asing dengan suasana kelab malam. Dulu, sesekali ia pernah masuk sini dengan beberapa temannya, termasuk Junkyu. Itu dulu, sebelum akhirnya Jihoon menjauhi hal-hal buruk seperti alkohol dan kelab malam.
Ah, itu dia.
Di ujung meja bar, Junkyu berada. Duduk bertopang dagu sambil minum alkohol.
Jihoon duduk di samping si Kim, untungnya kosong.
Menyadari seseorang baru saja duduk, Junkyu menoleh, sedikit terkejut melihat Jihoon duduk di sampingnya, ikut memesan satu gelas rum beserta satu kaleng Coca-Cola.
Keduanya hanya diam layaknya orang asing, tepatnya Junkyu yang berlagak tidak saling mengenal.
Sebenarnya si Kim sudah ingin pergi, tapi agaknya mulai lelah menghindar terus pun dia baru saja sampai di sini, sayang kalau harus pergi lebih dulu.
“Gue kira lo bakal ada di arena, tapi ternyata ada di sini.” ujar Jihoon, berusaha membuka obrolan.
Seperti yang diprediksi Junkyu hanya diam, menandaskan minuman miliknya dan memesan yang baru.
Jihoon menghela pendek, sedikit menoleh untuk menatap sang sahabat.
“Gue minta maaf, Kyu.” ucap Jihoon, nada bicaranya terdengar frustasi. Dan Junkyu menyadari hal itu meski suasana bising oleh alunan musik DJ.
Hanya mendengar tanpa ingin merespon.
Belum ada respon dari Junkyu. Jihoon melihat gelas rum yang sudah tercampur sempurna dengan Coca-Cola, lantas menegak habis cairan di dalam gelas bening itu.
Sungguh ia hanya berniat memesan tidak terpikirkan untuk meminumnya. Entahlah, Jihoon butuh sesuatu untuk melampiaskan sesak yang ada di dadanya.
“Maaf kalau keputusan gue bikin lo merasa kecewa.” Jihoon kembali berujar setelah sepuluh menit hanya diam.
Kepalanya tiba-tiba terasa berat, sengaja menyandarkan dahi pada permukaan meja bar.
Toleransi alkohol nya sangat rendah, lihat hanya minum segelas Jihoon merasa kesadarannya sudah terkikis habis.
Terakhir, si Park kembali meracau.
“Gue gak bermaksud pergi dari lo, gue cuma.... gue cuma mau ngejar mimpi gue, Kyu. Sorry.....”
Pukul empat dini hari saat Jihoon terbangun. Rasa pusing langsung datang menerjang, membuatnya mendesah kasar.
Kepala Jihoon menggeleng, semakin menyembunyikan wajah ke bawah bantal. Ia pikir itu bantal, sampai kemudian bibirnya menyentuh permukaan kulit.
Kelopak mata Jihoon terbuka pelan. Terbelalak ketika melihat sebuah leher mulus, penglihatannya bergulir dan jatuh pada wajah lelap Kim Junkyu.
Oh, rupanya ia berakhir di kamar Junkyu. Tertidur sambil memeluk si Kim.
Logikanya kalah dengan keinginan hati, alih-alih bangun Jihoon justru mengeratkan pelukan tangan pada badan Junkyu. Matanya kembali terpejam saat menghirup harum dari leher Junkyu.
“Geli, Ji.” suara serak barusan sontak membuat Jihoon membuka mata dan menarik wajah, mendapati Junkyu yang juga terjaga.
“Gue kira lo tidur,” sahut Jihoon lalu dengan sadar menarik diri menjauh dari Junkyu, memberi jarak di antara keduanya.
“Gak biasa tidur jam segini,” balas Junkyu seraya mengubah posisi menjadi terlentang menatap langit-langit kamar.
“Oh, biasanya jam segini masih di kelab ya. Gak akan pulang sebelum wasted.”
Junkyu diam. Dan diamnya Junkyu sama saja dengan mengiyakan.
Jihoon mendengus. “Alkohol gak bagus buat badan, Kyu.”
“I know,”
“Tapi tetep lo minum, dalam jumlah banyak.”
“Gue butuh sesuatu yang baru, Ji.”
“Buat apa?”
Junkyu menolehkan kepala, balas menatap Jihoon. “Menghapus eksistensi lo di ingatan gue,” adalah yang ingin Junkyu katakan, tapi yang keluar justru, “seneng-seneng aja. Cari suasana baru.”
“Sinting.” respon Jihoon sarkas. “Elo itu ngerusak diri sendiri.”
“Kan, emang gue berharap cepet mati.” pungkas Junkyu.
“Kyu—”
“Hidup pun percuma gak sih, karna gue gak pernah tahu apa itu tujuan hidup.”
“Tujuan hidup lo kan jadi orang sukses—”
“Seriously Ji, itu cita-cita bocah umur sebelas. Lagian sukses itu artinya terlalu luas, gak tahu lah gue cuma capek jadi orang dewasa.” keluh Junkyu.
Si Kim menutupi wajahnya dengan lengan tangan, berkali-kali menghembuskan napas kasar.
“Kim Junkyu yang gue tahu gak pernah kelihatan se-frustasi ini,”
'Lo gak pernah lihat karna lo adalah alasan kenapa gue bisa se-frustasi ini, Ji.'
“Frustasi boleh, tapi jangan kehilangan motivasi hidup dong.” Jihoon bergerak, menarik tangan Junkyu, memaksa si Kim menghadapnya.
Tangan Jihoon kini menangkap wajah Junkyu.
“Kalau satu motivasi hilang, find another. Oke?”
Junkyu menghela napas panjang. Mulutnya terbuka tapi kembali menutup, membiarkan satu senyum tipis menjadi penutup obrolan pada dini hari.
'Apakah bisa?'
“How's your life?”
Satu kalimat tanya dari Junkyu membuka obrolan pukul delapan pagi.
Jihoon menjawab dengan anggukan, “not bad.” sambil mengaduk bubur ayam miliknya.
Junkyu berdecak. “Makan bubur kok diaduk,” menatap sangsi pada mangkuk bubur milik Jihoon.
Jihoon balas mendelik. “Dimana-mana tuh makan bubur diaduk!”
“Cih, yang ada gue gak nafsu, bentuknya mirip muntahan lo semalem!”
“Gue gak muntah ya semalem!”
“Muntah! Kena baju gua, anjir!”
“Mana ada, ngaco! Gue gak inget semalem muntah!”
“Elo udah gak sadar ya, udah tipsy cuma karna segelas rum. Payah!”
Keduanya berdebat, membuat heboh flat Junkyu yang biasanya sepi. Merasa perdebatan mereka semakin alot dan mulai ngalur-ngidul keduanya tiba-tiba tertawa.
Tertawa lepas tanpa beban menguar secara bersamaan.
Di sela tawanya Jihoon bernapas lega, setidaknya ia masih bisa membawa tawa lepas Junkyu kembali-meski hanya sementara.
“Nanti sore ada kelas kan, jangan skip kelas lagi, Kyu.” tegur Jihoon ketika mereka bersama-sama merapikan meja makan.
“Malah nanti siang kayanya gue mau ke kampus, nyari kelas pengganti.” sahut Junkyu. “Gue terancam gak bisa ikut ujian, kebanyakan skip kelas.”
“Mampus!” langsung direspon cepat oleh Jihoon. “Siapa suruh jadi mahasiswa nakal!”
“Ya gimana ya Ji, setelah lo pergi gue ngerasa kalo hukum bukan passion gue.” Junkyu merespon sesantai mungkin.
Jihoon menghela. “Mau sampai kapan lo ngikut gue terus, Kyu?”
Junkyu yang memungut sampah plastik berhenti sebentar, melihat Jihoon sekilas dan mendengus pelan. “Gak tahu, kan dari dulu gue udah terbiasa ngikut lo, Ji.”
“Jangan kaya gitu, Junkyu.” Jihoon tiba-tiba menarik Junkyu ke arah satu-satunya sofa pendek di flat, memaksa yang lebih tinggi untuk duduk. “Inget gak dulu gue bilang apa sama lo? Passion lo itu teknik, tapi lo kukuh mau ambil hukum sama kaya gue. Lihat sekarang lo nyesel kan?”
“Harusnya gak nyesel, kalau aja lo gak tiba-tiba out,” ujar Junkyu. Tidak berniat untuk menyindir sebenarnya tapi Jihoon merasa tersindir.
“Kyu, lo gak bisa selamanya bergantung sama gue-”
“Kalo gitu kasih tahu gimana caranya supaya gue berhenti bergantung sama lo, Park Jihoon.” selak Junkyu. Alis si Kim sekarang saling bertaut tanpa sadar.
“Junkyu-”
“Kalau boleh mengulang waktu, lebih baik kita gak pernah saling kenal gak sih? Dibilang menyesal apa engga, iya gue nyesel kenal sama lo-”
“Anjing.” umpatan yang keluar dari mulut Jihoon serta merta membuat mulut Junkyu terkatup rapat. “Jahat banget mulut lo. Kenapa sih, kenapa gue selalu keliatan salah di mata lo?”
Melihat Jihoon yang sudah mengepalkan kedua tangan, Junkyu menghela napas. Bangkit berdiri dan beranjak menjauh dari sofa.
“Lo gak salah Ji, sejak awal yang salah adalah gue. Gue salah banget jadiin lo poros hidup gue tanpa izin dari lo.” tapi gengsi serta ego seorang Kim Junkyu lebih besar dari logikanya, hingga yang terlontar dari mulutnya sangat berbanding terbalik.
“Kan emang sejak awal kita gak pernah cocok, bahkan untuk ukuran seorang sahabat.”
“Sebenernya,” badan Junkyu tertarik ke belakang. Jihoon menarik terlalu keras saat mencekal. “Gue ada salah apa sama lo, Kim Junkyu.”
'Salah lo, udah bikin gua jatuh terlalu dalam.'
“Lo ninggalin gue, Ji. Gak inget sama janji lo tempo dulu 'Pokoknya kita harus lulus bareng, gak mau tahu!'????” Junkyu melirik tangan Jihoon yang mencekal tangannya terlalu kuat. Ia balas mencengkeram tangan Jihoon, melakukan hal yang sama. “Elo kan, yang ingkar janji.”
“Elo gak akan ngerti, Jun.” Jihoon mendengus. “Orang yang gak pernah punya mimpi besar kaya lo, gak akan pernah ngerti.”
Pertengkaran yang tak menemukan titik temu menjadi pertemuan terakhir mereka di tahun ini.
Pertama kali Junkyu dan Jihoon bertemu ketika masing-masing dari mereka menginjak masa putih biru, sekolah menengah pertama.
Pertemuan mereka tidak terlalu baik. Saat itu Jihoon memergoki Junkyu yang jadi target pemalakan kakak kelas, tidak hanya sekali Jihoon sering melihat Junkyu dipalak tapi si Kim tidak pernah melawan. Hanya diam dan menyerahkan uang jajannya, dengan sukarela.
Jihoon bingung, kenapa Junkyu tidak pernah melawan? Si Park sebenarnya kesal tapi belum ada niat ingin membantu. Toh, dia tidak bisa berlagak layaknya superhero.
Sampai suatu hari Junkyu mendapat bogem mentah dari kakak kelasnya, sebab tidak bisa menyerahkan uang jajannya. Wajah si Kim tampak belur, tapi hanya diam dan menerima.
Jihoon akhirnya bertindak, memilih melaporkan kejadian itu pada guru konseling sekolah mereka. Kakak kelas tukang palak itu disidang ke ruang konseling, bersama dengan Junkyu.
Jihoon pikir Junkyu akan mengakui semua peristiwa pemalakan yang dialaminya, aneh, si Kim malah berbohong dan mengelak. Bersikukuh kalau luka belur di wajahnya adalah hasil dari kecerobohannya sendiri, jatuh di kamar mandi.
“Lucu banget. Masa yang kaya gini, karena jatuh di kamar mandi?!” Jihoon menghadang Junkyu yang baru saja keluar dari ruang konseling, dengan tidak sopan meraih wajah Junkyu, lalu menatap nyalang kakak kelas tukang palak yang ada di belakang si Kim-hendak keluar juga dari ruang konseling.
“Pak guru! Dia beneran dipalak, Pak! Kemarin saya lihat mereka mukulin dia sampai babak belu gini, saya saksinya!”
Lucunya setelah kejadian Jihoon membela Junkyu, si Park ikut jadi sasaran si kakak kelas tukang palak.
“Salah lo sendiri, kenapa bertingkah jadi pahlawan kesiangan.” kata Junkyu sambil mengusap sudut bibirnya yang berdarah.
“Duh! Aduh bibir gue!” Jihoon meringis saat sadar bibirnya telah sobek karena tinjuan orang. Tak sengaja melihat Junkyu dengan raut wajah datarnya. “Elo gak kesakitan? Agaknya elo yang paling banyak dihajar.”
“Terbiasa.” jawab Junkyu sambil lalu.
Jihoon melotot. “Kenapa lo gak pernah ngelawan??!”
“Percuma. Gue gak akan menang.”
“Karna lo sendirian?”
Junkyu merespon dengan mengangkat bahu acuh.
“Sekarang kan ada gue, gimana kalo kita lawan bareng?!” usul Jihoon.
Dua anak remaja itu mencoba melawan tapi tetap tidak berhasil.
“Kayanya kita harus belajar bela diri gak sih?” tanya Jihoon.
Junkyu mendelik, “gue gak mau.” katanya menyela Jihoon yang sudah membuka mulut. “Gak-”
“Besok kita daftar taekwondo!”
Junkyu tahu sekali kalau tubuhnya itu lemah, tapi karena paksaan Jihoon dia tetap bersedia ikut ekskul taekwondo. Dua minggu berlatih sebenarnya ingin menyerah, tapi sampai lulus tidak pernah dia lakukan.
Junkyu tidak suka taekwondo, tapi dia bertahan karena Jihoon.
“Oh! Udah berani nantangin duluan ya kalian, udah siap mati muda ya?”
Jihoon mendecih, dengan sok menggulung lengan seragam putihnya dan memasang raut segarang mungkin. “Kayanya kalian tuh yang bakal mati muda,”
Di sebelahnya Junkyu hanya diam, melihat dengan cemas. Sampai Jihoon menyikut perutnya kemudian berbisik, “ngomong kali, biar mereka takut!”
“Hah??” tapi Junkyu justru clueless.
Jihoon melotot. “Pasang muka garang! Buruan!”
Junkyu menurut, memasang wajah sok garang. Jihoon melihatnya, berakhir menahan tawa sebab wajah aneh si Kim.
“Muka lu udah kaya bocah nahan berak!” komentar Jihoon.
Junkyu mendelik kesal, baru akan memprotes tapi sebuah sepatu tiba-tiba dilempar ke arah mereka. Jihoon berhasil menghindar, tidak dengan Junkyu. Ujung sepatu itu mengenai dahi mulus si Kim.
“Heh! Kasih tanda dong kalo mau mulai!” celoteh Jihoon.
“Banyak bacot bocah! Sini maju lo!”
Park Jihoon tanpa pikir panjang bergerak maju, menerjang badan si kakak kelas yang jauh lebih besar. Kepalan tangan kuatnya mengenai wajah yang lebih tua.
Senyum Jihoon mengembang lebar. “MAMPUS!”
“Sialan! Serang!”
Sial buat Jihoon karena sedetik setelah itu dia dijadikan target pengeroyokan. Junkyu menatap panik, tanpa sadar melayangkan tendangan keras, meski harus lama ketika mengambil ancang-ancang dia berhasil membuat satu kkak kelasnya jatuh tersungkur.
“MANTAP KIM JUNKYU!” itu Jihoon, berseru heboh sambil mengacungkan dua jari jempolnya.
Dan itu hanya sebuah awalan kisah unik si Kim dan Park.
“Lo mau lanjut kemana?”
Park Jihoon bertanya pada Kim Junkyu, di tengah riuhnya suasana kantin saat jam istirahat.
“Lanjut apaan?” tanya Junkyu balik.
“Kuliah lah dongo, apalagi?!” Jihoon menyahut sewot, hampir melempar tusukan cilok ke muka Junkyu.
“Gak tahu, belum kepikiran.” Junkyu menjawab sambil lalu, dengan santai menyuap cimol terakhir ke dalam mulut.
“Lah, sebulan lagi seleksi SNMPTN! Gimana ceritanya elo belum kepikiran???????”
“Gak tahu ah, jangan bahas itu. Malesin.” jawaban dari Junkyu mendapat getokan botol air kosong dari Jihoon.
“Penting ini! Menyangkut masa depan!” sungut si Park.
“Tapi gue beneran gak tahu mau lanjut kemana, anjing!” protes Junkyu.
“Lo masuk teknik aja. Teknik sipil, mesin atau teknik lainnya. Cocok sama lo yang suka itungan.” tiba-tiba Jihoon memberi saran.
“Siapa bilang gue suka itungan?” Junkyu kembali protes.
“Kalo gak suka itungan kenapa nilai mtk dan ipa lo selalu diatas 88????” Jihoon menggerakkan tangan, menyuruh Junkyu lebih mendekat. “Gue kasih tahu ya, itu artinya lo punya passion disitu. Pilih teknik aja.”
“Iya nanti gue pikirin.” sahut Junkyu malas. “Lo sendiri mau lanjut kemana?”
“Gue sih, gak mau maksa dapet PTN. Dapet PTS juga gak masalah sih, dan gua mau abil Ilmu Hukum.” jawab Jihoon.
“Kenapa gak ambil HI aja?” tanya Junkyu. “Pas buat lo yang suka berdebat, siapa tahu lo bisa jadi diplomat berbakat. Itung-itung lo jadi berguna buat negara.”
“Lo tuh muji atau menghina sih?!” kesal Jihoon.
Junkyu mengangkat bahu acuh. “Dua-duanya.”
Kali ini Jihoon beneran melepar tusukan bekas cilok pada Junkyu, beruntung si Kim berhasil menghindar.
Time flies so fast. Tahu-tahu tahap seleksi SNMPTN telah selesai, hari ini adalah waktu pengumuman kelulusan SNMPTN. Semua murid kelas tiga ribut sendiri.
Jihoon sih santai, sudah tahu kalau dirinya tidak akan lolos. Dan benar, Jihoon tidak lolos SNMPTN.
“Hasil lo gimana, Kyu?” tanya Jihoon. Hendak mengintip layar ponsel milik Junkyu, tapi sang empunya ponsel lebih dulu men-lock layar ponselnya.
“Gak lulus.” jawab Junkyu kelewat santai.
“LAH?! KOK BISA?!” yang heboh justru Jihoon. “Lo salah liat kali Kyu-”
“Engga kok. Bener gak lolos.” sebelum Jihoon makin ribut Junkyu merangkul si Park keluar kelas. “Kantin lah, gue lapar.”
Yang Jihoon tidak tahu adalah Junkyu memang tidak lolos SNMPTN, bukan karena tidak terpilih tapi karena sengaja tidak memilih PTN dan jurusan yang diinginkan. Mungkin kalau Jihoon dan orang lain tahu, Junkyu akan kena kritikan keras.
Bisa-bisanya orang sepinter Junkyu yang nilai rata-rata rapotnya hampir menyentuh angka sembilan puluh, menyia-nyiakan kesempatan emas.
“Terus lo mau daftar PTS mana?” tanya Jihoon, masih belum bosan untuk membawa topik mengenai kuliah pada setiap obrolan mereka.
“Ikut lo aja.”
“Jurusannya?”
Junkyu mengerling. “Liat nanti deh,”
Dan seperti yang kalian tahu, Junkyu berakhir menjadi mahasiswa jurusan Ilmu Hukum, bersama Jihoon.
Lalu dimana semua mulai terasa salah?
Tepatnya pada awal tahun, ketika Jihoon datang pada Junkyu. Membawa kabar gembira-tapi kabar buruk bagi Junkyu.
“Kyu, gue lolos seleksi Bintara!”
Berbeda dengan Jihoon yang kelewat senang, Junkyu memasang wajah bingung.
“Hah???”
“Sebenernya gue nyoba tes Bintara, dan gue lolos tesnya. Gue keterima, Kyu! Gue bakal jadi Bintara!”
Junkyu bingung. Hanya diam ketika Jihoon berhambur memeluknya kelewat erat untuk menyalurkan rasa bahagianya saat ini.
“Terus... kuliah lo gimana, Ji?” tanya Junkyu tiba-tiba.
Masih dengan tangan yang memeluk Junkyu erat Jihoon menjawab santai, “gue mau berhenti kuliah, tapi Bapak bilang mending cuti aja, biar selesai pendidikan gue bisa lanjut kuliah lagi.”
Tidak adil. Kecewa. Marah dan kesal.
Itu yang Junkyu rasakan saat itu.
Park Jihoon, sahabatnya, orang terdekatnya, orang yang Junkyu kagumi dan dijadikan poros hidup tiba-tiba begini, seolah membuang Junkyu, menganggap Junkyu sebagai hal sepele.
Sehari setelah kabar itu Junkyu mengunci diri di dalam kamar. Merenung sendiri.
Adil gak sih buat Junkyu yang selalu setia di sisi Jihoon, mengabaikan semua hal tentang dirinya demi bisa bareng-bareng terus sama Jihoon??
Junkyu rela ikut taekwondo padahal setiap malam setelah selesai latihan ia selalu sulit tidur dan mengeluh sakit badan.
Junkyu rela dimarah Mama sampai uang jajannya dipangkas karena selama seminggu selalu pulang telat demi nemenin Jihoon di warnet-waktu itu kabur dari rumah karena berantem sama Bapak.
Junkyu rela melawan Papa sampai diusir dari rumah, menolak masuk Akademi Sains setelah lulus SMA demi kuliah bareng Jihoon.
Junkyu rela mati-matian belajar soal hukum yang jelas-jelas bukan passionnya. Dan sekarang Jihoon bilang apa? Mau cuti kuliah??
Cih, sia-sia dong Junkyu melawan Papa dan belajar hukum kalau alasan terbesar dia jadi mahasiswa hukum justru pergi tiba-tiba.
Jihoon menyadari tingkah aneh sahabatnya, mengetuk dan membujuk Junkyu keluar dari kamar. Sudah hampir tengah malam tapi Junkyu tidak keluar sama sekali, Jihoon takut sahabatnya mati kelaparan.
Kekhawatiran Jihoon berujung pertengkaran hebat.
Saat itu Jihoon terpaksa mendobrak pintu kamar Junkyu. Sang empunya kamar marah besar. Emosi Junkyu tidak bisa lagi ditahan, akhirnya meluap tidak terkira.
“Elo kenapa sih Kyu, kenapa tiba-tiba marah gak jelas gini?!” tanya Jihoon, sebisa mungkin menahan emosi.
“Elo yang gak jelas!” Junkyu bersungut-sungut. “Tiba-tiba datang bawa kabar mau berhenti kuliah-”
“Gue gak berhenti kuliah, gue cuti kuliah!”
“POIN UTAMANYA SATU, ELO NINGGALIN GUA!!” Junkyu menjerit. Kali pertama bagi Jihoon mendengar nada tinggi keluar dari mulut si Kim.
“Kyu-”
“Elo orang paling egois, Park Jihoon!!”
Pertengkaran itu tidak hanya melukai Junkyu, tapi juga Jihoon. Agaknya cukup sakit hati disebut egois, padahal yang ia inginkan hanya satu, mencapai cita-cita terbesarnya. Menjadi seorang TNI Angkatan Darat.
Satu tahun berlalu.
Tanpa pernah saling mengontak dan bertemu satu sama lain, Junkyu dan Jihoon benar-benar menjalani kehidupan masing-masing. Secara terpisah.
Jihoon tidak pernah tahu bagaimana kabar Junkyu sejak hari itu. Ingin mencari tahu, tapi selalu terdistraksi oleh pendidikannya. Terlalu sibuk sampai si Park melupakan bahwa ia sudah lama tak mendengar kabar sang sahabat terdekat.
Hari ini, satu bulan setelah resmi menyandang pangkat Sersan Dua, Jihoon melaksanakan rutinitas hariannya. Bangun pagi, sikat gigi lalu ikut olahraga bersama teman-temannya.
“Jihoon! Tolong bantu saya angkat ini ke lapangan satu.”
Choi Hyunsuk, salah satu rekan terdekatnya, menunjuk ke arah box-box kardus yang tertutup rapat.
“Apanih, Bang?” tanya Jihoon ketika sampai di depan Hyunsuk.
“Sarapan pagi, buat calon bintara.” jawab Hyunsuk. “Ayo Ji, angkat sekarang udah ditungguin!”
“Oke.”
Dua orang Sersan muda itu sama-sama mengangkat box berisikan sarapan bagi para Caba ke lapangan satu.
“Udah mulai ya pendidikan buat Caba baru,” kata Jihoon. “Gak kerasa ya kita udah jadi senior aja, perasaan baru kemarin kayanya kita jadi Caba.”
Hyunsuk terkekeh. “Time flies so fast.”
“Oh! Taruh sini ya! Di sini!”
Dua Sersan muda itu menuruti perintah senior mereka, menaruh kardus berat itu ke depan barisan Caba yang berbaris sangat rapi.
“Makasih ya!”
Hyunsuk dan Jihoon merespon dengan memberi hormat. Sebelum pergi dari sana Jihoon menyempatkan diri melihat ke arah barisan Caba, hanya berniat melihat wajah-wajah baru yang akan mengisi asrama mereka.
Tapi justru terkejut ketika menemukan satu wajah yang sangat familiar.
Jihoon melihat Junkyu.
Iya, Kim Junkyu berdiri tegak di barisan para Caba.
“Ji, kok bengong, ayo balik!” teguran dari Hyunsuk menyadarkan Jihoon.
“Ah, oh, iya Bang!”
Jihoon bergerak menjauh dari lapangan satu. Terus melihat ke belakang. Masih tidak percaya melihat Junkyu di sini, sebagai Calon Bintara.