senofyou

Past ver.

🐼 : “Terus sekarang gimana?!!” 🐨 : “Kunci motor lo mana?” 🐼 : “Nih, lo mau ngapain?!!” 🐨 : “Bukain gerbang cepetan! Abis gua keluar terus gembok lagi gerbang lo.” 🐨 : “PARK JIHOON BURUAN NAIK!” 🐼 dengan panik naik ke atas boncengan 🐨 🐨 segera tancap gas dari halaman rumah 🐼 🐼 : “FIX BANGET SEMALEMAN GUA GAK BAKAL BISA TIDUR!!” 🐨 : “Lagian elo sih gaya banget mau nonton horror segala!” 🐼 : “GAK MAU TAU MALEM INI LO HARUS TIDUR SAMA GUE YA KYU!!” 🐨 : “Gak usah teriak plis, gua gak budek!” 🐼 : meluk 🐨 erat-erat “HUHUUU GUE TAKUT BANGET KYUUUUU~~” 🐨 : “Untung sayang, kalo engga lu udah gue tendang dari motor nih.”


Future ver.

🐨 : “Kok lo keliatannya gak takut ya? Tumben.” 🐼 : “Takut gimana?” 🐨 : “Biasanya kalo abis nonton horror kan lo gelisah galau merana gitu...” 🐼 : “Tau deh. Tadi gue gak ngikutin banget filmnya, ketiduran ehe.” 🐨 : “Ye anjing kenapa gak ngomong, sia-sia dong gua jauh-jauh ke sini????” 🐼 : “Gak ada yang sia-sia sih.”

🐨 tiba-tiba dihimpit ke tembok

🐨 : “Park Jihoon...” 🐼 : “Pilih satu, kfc atau mcd?” 🐨 : melotot 🐼 : smrik “Pilih aja sih, yang...” 🐨 : mengalihkan wajah sambil gigit bibir “I think kfc is better...” 🐼 : “Good choice, My Kyu~~”

—Chapter Five—

Jihoon tidak terlalu terkejut mendapati Junkyu berdiri sambil bersandar pada dinding di depan ruangannya.

Si sulung Kim hari ini datang dengan pakaian serba hitam. Celana training hitam, hoodie bertudung warna hitam serta masker berwarna hitam.

'Dia habis pergi ke pemakaman atau bagaimana sih?' komentar Jihoon dalam hati.

“Eung... ada apa ya, Tuan Muda?” tanya Jihoon ragu-ragu.

Agaknya gugup begitu menyadari tatapan mata Junkyu saat ini terlihat lebih redup dari biasanya. Karena biasanya si Kim akan datang dengan wajah semangat dan binar cerah untuk menggangu hari tenang Jihoon.

Tapi hari ini Junkyu terlihat muram, seperti warna pakaiannya saat ini.

Alih-alih menjawab Junkyu justru melangkah mendekat, mengikis jarak sampai keduanya saling berhadapan. Tanpa satu kata, Junkyu sengaja menyandarkan dahi pada pundak Jihoon.

Jihoon kaget. Tentu saja. Refleks memegangi dua lengan Junkyu, “Tuan Muda.., anda baik-baik saja???”

“Kepalaku pusing...” sergah Junkyu. Suaranya terdengar serak dan berat, tidak nyaring seperti biasanya.

Agaknya Juna merasa canggung dengan semua tindakan care yang Jian berikan. Keluar dari rumah sakit Jian yang berhenti atau melepas rangkulannya pada pundak lebar Juna.

“Ji, gue masih sanggup jalan kok.” kata Juna, berusaha lepas dari rangkulan Jian.

“Iya tahu, gue cuma mengantisipasi aja siapa tau lo tiba-tiba oleng sendiri.” balas Jian.

Tapi Jian dengan lengan berototnya justru mempererat rangkulan, hingga Juna pasrah saja dirangkul sampai ke parkiran.

“Lo tidur aja deh,” Juna agaknya kaget saat Jian dengan tanpa aba-aba memakaikan seatbelt untuknya.

Belum lagi saat wajahnya tiba-tiba maju mendekat, Juna jadi kelimpungan sendiri. Buru-buru memalingkan wajah ke arah lain.

Srek!

Ternyata Jian sengaja menyetel kursi yang diduduki Juna condong ke belakang, agar si Mahardika bisa nyaman saat terlelap.

“Kurang ke belakang gak, kursinya?” tanya Jian.

Juna melihat lurus ke depan, Jian masih pada posisinya, condong ke arahnya seolah menunggu jawaban darinya.

“U-udah, cukup.” Juna menjawab pelan.

“Oke. Tidur ya, nanti gue bangunin kalau udah sampe.” satu kalimat terakhir sebelum Jian menutup pintu dan beralih ke kursi kemudi.

Mesin mobil mulai menyala. Juna melirik ke samping, melihat Jian yang tengah membuka jaket bomber miliknya.

“Dingin gak?” tanya Jian, tiba-tiba menoleh.

Juna refleks menggeleng. “Enggak.”

“Pake ini aja kalo dingin,” Jian menyampirkan jaketnya pada paha dan sebagian perut Juna.

'Agaknya gue udah pakai hoodie, ya kali masih kerasa dingin.' batin Juna.

“Bandung dingin, jaga-jaga aja.” imbuh Jian.

Setelah obrolan berakhir sepihak mobil sedan milik Jian melaju keluar dari parkiran rumah sakit.

Semakin lama mobil bergerak Juna mulai merasa berat pada kelopak matanya. Tak lama selepas mobil memasuki jalan tol bola mata bulat Juna terpejam erat.


Jian tidak terbiasa dengan suasana hening. Biasanya ia akan menyalakan radio atau memutar lagu lewat ponselnya, tapi berhubung ia tidak sedang sendirian, ada Juna yang masih butuh istirahat lebih, Jian mengalah.

Memilih bersenandung pelan—yang nyaris seperti bisikan, dengan mulutnya.

Perjalanan ke Bandung tidak sebentar. Butuh setidaknya dua jam lebih lima belas menit, itu pun kalau tidak ada macet.

Mengingat sekarang weekend, agaknya akan memakan waktu yang lebih lama dari perkiraan.

Jian melirik ke samping. Selama empat puluh lima menit mengemudi selama itu pula Juna tertidur.

Pemuda Mahardika itu tidur agak menyamping menghadap ke arahnya, dengan dua tangan yang memeluk jaket bomber milik Jian.

Tanpa sadar Jian mengulas senyum samar, pun tangannya terjulur menyentuh dahi polos Juna.

“Demamnya udah turun,” gumam Jian. Menyempatkan untuk mengusap kening serta pelipis Juna dari keringat.

Mata sipit Jian bergerak memindai dashboard, mulai menyadari tidak ada air minum di mobilnya. Beruntung seratus meter di depan ada rest area.

Jian menepikan mobilnya, mengambil jalur paling kiri karena tidak mau melewatkan rest area.


Juna terbangun dari tidur singkatnya. Sadar kalau mobil berhenti bergerak, pun sosok di balik kemudi kini tidak ada di tempatnya.

Baru akan merogoh kantung celana untuk meraih gawainya—dengan niat ingin menghubungi Jian—yang dicari datang, membuka pintu kemudi dengan sekantung besar tas belanja yang nampak penuh.

“Oh!” Jian agak terkejut melihat Juna kini sudah bangun dan duduk tegak. Kursinya pun sudah kembali ke posisi semula. “Kapan bangun?” tanya Jian kemudian.

“Barusan,” Juna menjawab sambil lalu, mengusap mata bantalnya.

“Nih,”

“Apa?” Juna menerima ragu-ragu tas belanja penuh dari Jian. “Ini apa?”

“Roti sama minum,” jawab Jian. “Buat lo, dimakan, habisin kalo bisa.”

Bola mata Juna membulat kaget. “Gila aja. Gimana caranya gue habisin roti sebanyak ini??!”

Jian mengangkat bahu acuh, terkekeh pelan seraya menyalakan kembali mesin mobilnya. “Siapa tahu lo lapar, lagian orang sakit butuh makan banyak. Biar cepat pulih.”

“Ya tapi gak sebanyak ini juga dong, Ji.” keluh Juna, memijit pelipisnya. Pusing sendiri melihat belasan roti di dalam tas belanja di pangkuannya.

“Sebanyak ini astaga... gimana bisa habis??” Juna mendumal tapi tangannya meraih satu bungkus roti mocca.

Juna mengunyah potongan roti, melirik ke samping. “Mau gak?” tawarnya pada Jian.

Jian melirik sebentar. “Gue gak begitu suka roti,”

“Gak laper?” tanya Juna.

Jian menggeleng. “Lo aja makan, habisin.”

“Habis itu minum yang banyak, biar gak seret.” lanjut Jian. “Nanti setengah jam lagi jangan lupa minum obat sama vitaminnya.”

“Plastik obatnya gue taruh di dashboard tuh, depan lo, liat kan?”

Juna diam tak menyahut.

Jian jadi harus menoleh sekilas, “Jun.., denger gak?” tanya Jian lagi.

Juna sengaja memiringkan badan ke arah Jian. Beralih menatap si Nataprawira lekat.

“Udah ngomongnya?”

“Hah?” Jian mendelik.

“Lo cerewet deh,” ceplos Juna.

Jian makin mendelik. “Anjir...???”

Juna tertawa kemudian. “Bercanda Ji,” lalu sengaja mendorong tangannya yang memegang potongan roti ke depan mulut Jian. “Buka mulut, cepet.”

“Gue gak suka roti—” ucapannya terputus sebab Juna memaksa potongan roti itu masuk ke dalam mulutnya.

“Makan aja sih, gue tahu lo laper.” kata Juna tersenyum puas.

•°•

Yang namanya Panca Wicaksana itu sejak awal sudah masuk daftar hitam milik Karen.

Semalam suntuk Karen habiskan untuk berdoa supaya ia tidak berada di kelas yang sama dengan si ular panca nyebelin. Sial banget, sialll banget doa Karen gak dikabulkan.

Karen Adhyakta, ada di daftar kelas X IPA 5,

Lalu lima baris setelah namanya,

Panca Wicaksana.

“Sial!” umpat Karen.

Pemuda kelahiran sembilan september itu masih belum beranjak dari depan pintu, meratapi nasib sialnya sambil melihat-lihat daftar nama teman sekelasnya.

“Geser dong,”

Karen bergeser, bukan karena keinginan sendiri melainkan karena bahunya yang sengaja di dorong ke samping.

“Santai dong-” Karen menoleh tapi langsung mendengus begitu saja.

Yang sejak tadi ia umpati kini berdiri di sampingnya, sedang melihat daftar nama.

“Oh, elo yang jatoh ke got waktu itu kan?” Panca melihat ke arahnya dengan alis naik sebelah.

Karen mendecih dan membuang wajah, memilih mengabaikan orang menyebalkan itu lantas masuk ke dalam kelas.

Barisan paling depan hampir semua terisi oleh murid perempuan, Karen menghela napas kecil, padahal ia berniat duduk di depan. Kalau duduk di belakang ia agak kesulitan sebab matanya yang minus.

Tapi ada satu kursi kosong, di meja yang berhadapan langsung dengan meja guru.

Karen berjalan mendekat, menegur dengan ragu gadis kuncir kuda yang tampak asik dengan gawainya.

“Eung, sorry... kursinya kosong gak?” tanya Karen.

Gadis kuncir kuda itu menoleh. “Eh, kosong kok...”

“Gue boleh duduk sini?”

“Boleh sih, tapi gak apa-apa kalo lo duduk sama gue?” sahut si gadis.

“Gak masalah sih. Gue gak bisa duduk di belakang, mata gue minus.” balas Karen.

“Yaudah, duduk aja.” sambil tersenyum dan memindahkan tas miliknya gadis itu mempersilahkan Karen duduk.

“Thank's,” Karen akhirnya duduk. “Kenalin gue Karen Adhyakta. Panggil aja Karen.”

Gadis itu meraih uluran tangan Karen. “Karina Adytha Aldryanti. Panggil aja Karin”

Bola mata Karen membulat lucu. “Nama kita mirip,” respon Karen.

“Oh ya?”

Karen mengangguk semangat. “Gue Karen Adhyakta.” lalu menunjuk gantian menunjuk Karin. “Karina Adytha.”

“Bener juga!”

“Jangan-jangan kita....” Karen sengaja menggantungkan kalimatnya.

Karin tertawa kecil. “Jodoh????”

Karen menggeleng tapi ikut tertawa. “Soulmate kayanya,”

“Kalo soulmatenya seganteng elo sih, gue gak masalah.” ceplos Karin.

Karen tertawa semakin keras, menarik perhatian murid lainnya, termasuk Panca yang kebetulan lewat di samping mejanya.

“Duh, berisik. Bikin polusi suara aja.” komentar Panca.

Tawa Karen lenyap dalam sedetik, wajah penuh senyumnya pias digantikan dengan lirikan sinis.

“Bodo amat.” respon Karen sinis. “Ular panca diem aja deh, gak usah sok komentar.”

Panca yang mendengar celetukan keras itu berhenti di depan kelas. Menoleh cepat, “lo bilang apa tadi??!”

“Rin, lo denger sesuatu gak sih?” Karen malah menatap Karin sambil menggaruk telinga. “Kayanya tadi ada suara-suara aneh gitu gak sih??”

Karin mengerjap bingung. Tapi tertawa kecil, menertawakan Panca dengan wajah asemnya di depan kelas.

•°•

Hari yang sial.

Itu yang Karen simpulkan setelah mengalami serentetan kesialan pada hari ini. Mulai dari terlambat datang—hingga ia harus menerima hukuman—sampai kejadian paling memalukan yaitu terjatuh ke dalam got berlumpur.

Karena itu Karen terpaksa nyeker sebab sepatunya sangat-sangat kotor terkena lumpur got.

Makanya Karen saat ini berjalan dengan gontai ke jalan raya, bahu lebarnya merosot dengan kedua tangan yang memegang sepatu dengan lumpur yang mulai mengering.

Orang tuanya tidak ada yang bisa datang untuk menjemput, terpaksa ia harus pulang dengan angkot.

Karen sengaja menunggu angkot agak jauh dari gerbang sekolah. Menghindari gerombolan siswa baru lainnya yang sama-sama menunggu angkot.

Cukup tahu diri, dengan penampilan berantakan begini Karen tidak bisa bergabung di sana. Toh, Karen juga tidak bisa terbiasa dengan orang asing.

Lima belas menit menunggu akhirnya satu angkot berhenti. Karen mengubah posisi tasnya ke depan sebelum beranjak,

“Eh eh eh!” tiba-tiba banget ada suara heboh di belakang Karen, Karen tentu noleh.

Lalu mendelik begitu saja saat melihat siapa yang baru saja bersuara, Panca Wicaksana.

Orang yang membuatnya jatuh ke got berlumpur.

“Apa?!” sahut Karen, sewot.

“Lo nginjek apa tuh??” Panca menunjuk ke bawah, Karen ikut melihat ke bawah.

“Apaan sih gak ada apa-apa!”

“Ada, lo mundur deh!”

“Mana gak ada!”

“Emang gak ada,”

Karen noleh kesal, tapi yang menyebalkan sudah tidak ada di tempatnya. Melainkan sudah duduk nyaman di dalam angkot.

Karen melotot. Kursi angkot sudah penuh sekarang.

“Panca anjing—”

“Gue duluan ya, dadahhh~~”

Melihat Panca yang tersenyum lebar sambil melambaikan tangan justru menambah dendam membara di hati Karen.

“Dasar ular panca nyebelin!!!”

•°•

“AYO DEK CEPET GERAKNYA!! DALAM HITUNGAN KE TIGA HARUS SUDAH SAMPAI DI PINGGIR LAPANGAN!”

“SATU!”

Karen menoleh kanan-kiri dengan cepat, panik sendiri saat peserta MOPD lain mulai bergerak rusuh mencari tempat untuk diduduki.

“DUA!”

Karen akhirnya bergerak mencari tempat kosong untuk dirinya sendiri. Sialnya, setiap sedikit lagi ia duduk, selalu ada orang lain yang menyerebot.

“TIGA!”

Karen mendecih dan mengumpat begitu saja. Dua kaki panjangnya segera berlari ke pojok lapangan saat ekor matanya melihat masih ada spot kosong di sana.

“SEMUA HARUS DUDUK GAK ADA YANG GAK DUDUK!!”

Suara anggota OSIS—alias panitia MOPD—membuat tungkai kaki Karen bergerak lebih cepat.

Tinggal satu meter lagi sampai, sedikit lagi, nahas...

Tiba-tiba tubuh Karen terpental ketika ada orang lain yang menubruk, keras sampai Karen kini terjeblos masuk ke dalam got berlumpur di pinggir lapangan.

Karen meringis merasakan punggungnya yang berdenyut karena menghantam pinggiran got, tapi rasa malunya lebih besar dari rasa sakit.

Sebab saat ini dirinya sudah jadi tontonan orang banyak. Teman satu angkatannya, panita MOPD, serta guru-guru yang diam-diam mengintip di depan ruang guru.

“Ppfftt! Ahahahaha...”

Karen mendongak, menatap orang yang membuatnya terpental hingga jatuh ke got berlumpur.

Orang itu malah tertawa, iya menertawakan Karen yang terdiam meratapi nasib—tepatnya syok.

Marah serta kesal langsung mengumpul di ubun-ubun kepala Karen.

Bisa-bisanya dia ngetawain gue, bangsat! Batin Karen.

“Elo ngapain sih sampai bisa jatuh gitu?” orang yang membuatnya jatuh sekarang mengulurkan tangan untuk membantu Karen bangkit.

Meski marah dan kesal Karen tetap meraih uluran tangan itu, setelah berhasil bangkit Karen menunduk, melihat sepatunya yang sangat kotor dengan lumpur.

“Ahahaha...” lantas segera menoleh, melihat pelaku kejadian sial ini kembali tertawa.

“Gara-gara elo ya, anjing!” umpat Karen tak lagi bisa menahan kesal.

Karen melirik name tag besar milik orang itu,

Panca Wicaksana.

Oke, mulai detik ini Karen menyimpan dendam pada manusia bernama Panca ini.

Prolog

•°•

Harusnya hari ini jadi hari yang menyenangkan buat Karen, harusnya, kalau aja pagi ini Karen gak telat bangun karena alarmnya yang mendadak error.

Ddrrtt… ddrrtt…

Sambil menyisir rambut dengan gerakan tergesa Karen meraih gawai miliknya, sudah ada banyak chat dari grup kelasnya.


Karen tercenung sambil mengigiti bibir bagian dalamnya. “Dari semua orang, kenapa harus dia sih?” gumam Karen kemudian.

Hari ini Karen dan teman sekelasnya pergi menonton festival musik di Bandung, tapi karena pagi tadi Karen terlambat bangun alhasil ia ditinggal oleh teman-temannya.

Karen bisa aja sih pergi ke tempatnya sendiri, tapi Karen gak bisa nyetir mobil tanpa izin dari Mamih.

Kalo naik taxi kayanya gak mungkin, Bogor-Bandung udah pasti ongkosnya gak murah.


Karen mendengus. Sebenarnya males banget kalau berurusan sama yang namanya Panca ini, tapi… kalo dipikir-pikir, kalo ditolak sayang juga tiketnya.

Lima ratus ribu guys, itu uang tabungan Karen yang mati-matian Karen sisihkan.

Ddrrtt…ddrrtt…ddrrtt…

Di tengah dilema itu benda kotak di genggaman Karen bergetar,

Incoming call from Panca…

Karen terlonjak dengan mata membelalak kaget. Bisa-bisanya si Panca telepon dia tiba-tiba.

“Halo—”

“Lima menit lagi gue sampe di rumah lo, kalo lo belum siap waktu gue datang gue tinggal.”

Tut!

Karen bahkan belum sempat merespon satu kata pun, tapi Panca keburu memutus sambungan secara sepihak.

Sudut bibir Karen berkedut, hidungnya mendengus keras begitu saja. Kalau ini film animasi, pasti wajah Karen saat ini akan digambarkan memerah dengan asap yang mengepul di atas kepalanya.

“Dasar Panca kurang ajar—”

TIN TIN TIN!!

Suara klakson mobil yang tidak sabaran terdengar nyaring dari ruang tengah, pun disusul oleh teriakan keras Mamih.

“KAREENN! INI ADA TEMEN KAMU DATANG!”

Menurut Karen, Panca itu menyebalkan. Gak cuma menyebalkan aja, ada banyak alasan lain yang bikin Karen semakin merasa gak suka sama teman sekelasnya itu.

Pokoknya, semua yang ada di diri Panca, di mata Panca itu menyebalkan.

Penah tidak kamu kehilangan satu hal, hanya satu hal tapi membawa dampak besar buat hidupmu?

Agaknya sepele, tapi apa yang telah hilang membawa serta separuh hidup dan nyawamu. Membuatmu merasa kehilangan jati diri, tujuan, motivasi serta semangat hidup yang berarti.

Itu yang dirasa Kim Junkyu saat ini.

Hidup bagaikan mayat berjalan dengan tampang yang membuat orang lain menyebutnya dengan sebutan, 'Hidup segan mati pun tak mau'

Padahal kenyataannya kalau saja bisa mati saat ini juga Junkyu akan dengan sangat senang hati menyerahkan nyawanya pada malaikat pencabut nyawa, tapi sayang malaikat pencabut nyawa masih belum mau menemuinya sebab-mungkin-sisa waktu hidupnya masih banyak.

“Kim Junkyu.”

Nama itu sudah disebut sebanyak tiga kali dan ketika panggilan tadi berakhir tanpa sahutan, pria paruh baya di depan kelas tanpa pikir panjang membuat garis silang pada baris absen.

“Ada yang tahu kabar Kim Junkyu?” tanya sang Dosen kemudian. Kini mengangkat wajah untuk menatap mahasiwa di kelas, menunggu jawaban.

Tapi yang didapat justru gelengan kepala dan tatapan bingung.

Prof. Lee menghela napas pendek, agaknya cukup kecewa menerima fakta bahwa salah satu mahasiswa kesayangannya telah melewatkan lebih dari tiga kali kelas mata kuliahnya.

“Sayang sekali, padahal dia mahasiswa pintar yang punya potensi besar.” gumam Prof. Lee, bola mata beliau kemudian bergulir memindai daftar absen di tangan. Tertarik dengan satu nama di bagian akhir absen.

“Bagaimana dengan Park Jihoon?”

Salah satu mahasiswa yang duduk di barisan paling depan menggeleng, “Park Jihoon memutuskan untuk cuti kuliah Prof.”

Helaan napas kembali terdengar. “Jadi, Kim Junkyu juga ikut ambil cuti seperti Park Jihoon?”

Mahasiswa tadi sempat membuka mulut tapi terlihat ragu untuk menjawab, “sepertinya tidak begitu Prof, Junkyu masih aktif kuliah. Hanya saja setelah Jihoon cuti dia tidak pernah lagi menampakkan diri di area kampus.”

Prof. Lee mengangguk mengerti. Dengan penjelasan singkat tadi pria paruh baya itu sudah menarik kesimpulan sendiri, tidak perlu repot berpikir keras,

Sebab Kim Junkyu sudah seperti bagian lain Park Jihoon.

Satu paket yang tidak bisa dipisahkan.

Yang satu pergi, maka yang satu akan ikut pergi.


Penasaran dimana Kim Junkyu berada saat ini?

Satu bulan ke belakang pemuda Kim itu memang tidak bisa ditemukan di area kampus, keberadaannya hampir tidak pernah dirasakan karena yang dicari saat matahari bertahta lebih senang mengurung diri di dalam kamar, dan keluar rumah ketika purnama menguasai langit.

Lalu kemana?

Sebuah tempat dengan alunan musik yang membuat telinga pengang, bau alkohol yang menyengat kuat serta diisi dengan berbagai macam orang yang memenuhi lantai dansa. Saling beradu ombak badan satu sama lain.

Kelab malam.

“Oh! Hello again, Jun!”

Junkyu menurunkan tudung hoodie miliknya, menarik satu kursi tinggi lebih mendekat dengan meja serta mengulas senyum samar guna merespon sapaan hangat si bartender.

“Shiho, aku pesan seperti biasa.” adalah kalimat pertama yang keluar dari mulut Junkyu hari ini.

Mashiho, si bartender berbadan mungil itu tersenyum lebar lantas tanpa perlu menyahut segera menyiapkan apa yang Junkyu inginkan.

Menunggu minumannya siap Junkyu memejamkan mata erat. Merasakan alunan musik yang sangat keras dibarengi dengan tawa riuh orang banyak, menyapa dan memenuhi pendengarannya. Berisik. Suasana yang tidak Junkyu sukai.

Kelab malam seharusnya jadi tempat yang paling ia hindari tapi anehnya sebulan terakhir justru menjadi tempat yang selalu ia datangi. Tidak pernah lewat sehari pun Junkyu absen, sampai Mashiho salah satu bartender di sana hapal betul kebiasaan si pemuda Kim.

“Milikmu datang, Jun!” Mashiho berkata riang saat mendorong satu gelas rum bersama satu kaleng coca-cola.

Setelah mengucap terimakasih dengan suara pelan Junkyu meraih minuman kaleng bersoda lalu sengaja menuang cairan hitam pekat itu ke dalam gelas rum miliknya.

Mata bulat dengan tatapan kosong itu terfokus pada gelembung-gelembung soda yang bercampur dengan cairan alkohol, tidak sengaja satu kejadian terlintas di dalam kepalanya.

“Tebak gue bawa apa?”

“Apaan, cireng perempatan?”

“Nih-

“Apaan nih, amer??? Lo mau mabok?? Gua laporin nyokap lo nih-”

“Nyobain doang! Emangnya lo gak penasaran gimana rasanya amer????”

“Gak. Gak sama sekali.”

“Ck, cupu!”

TAK!

“Sumpah kalo lo mabok, gue gak mau direpotin!”

“Yaelah Kyu, minum sekali gak bakalan mabok. Cobain deh,”

“Gak dulu-UHUK!”

“Enak gak Kyu?”

“PAIT ANJING!”

“Ahahahahaha, abisin nih tanggung-”

“GAK. GAK MAU!”

“Tanggung Kyuuuu~ Abisin dong. Aaaaaa~~~”

DAK!

Junkyu menggebrak gelas miliknya ke atas meja, menyadarkan dirinya sendiri dari lamunan singkat yang tidak diinginkan. Hidungnya mendengus kasar lantas segera meneguk cairan di dalam gelas, hingga setengah tandas.

Park Jihoon sialan! Kapan kau bisa pergi dari kepalaku?!


Hari ini Junkyu pergi kuliah.

Setelah dapat surat peringatan dari Dosen Pembimbing Akademik Junkyu dengan terpaksa kembali pada rutinitas membosankannya. Menghabiskan seperempat hari untuk mendengarkan manusia tua menjelaskan tentang pasal-pasal dan aturan yang diselingi dengan sharing pengalaman.

Dulu Junkyu menikmati hal seperti itu, sharing pengalaman para dosennya. Tapi sekarang rasanya tak lagi sama. Junkyu seolah kehilangan kemampuan mencecap rasa dan kehilangan emosi karena kini tidak ada senyum cerah yang menghiasi wajah si Kim. Tergantikan dengan wajah datar yang terkesan muram serta dingin.

Kim Junkyu dikenal identik dengan hoodie pink atau pakaian cerah lainnya tapi penampilannya berubah 180 derajat ketika Junkyu kembali, nuansa pakaiannya lebih gelap. Tidak lepas dari warna hitam. Kelabu.

“Kim Junkyu,”

Yang dipanggil mendongak, menemukan Prof. Lee sudah berdiri di depan mejanya dengan tangan yang memegang selembar kertas. Junkyu melirik lembar kertas itu, tahu betul kalau kertas yang penuh dengan tulisan tangan acak-acakan itu adalah miliknya.

“Ya Prof...” Junkyu berdeham pelan, mencoba menghilangkan nada serak di tenggorokannya.

“Ini sungguh milikmu?” lembar kertas itu disodorkan, tanpa perlu memastikan Junkyu menganggukkan kepala. “Benar, Prof.”

Kerutan halus pada dahi Prof. Lee bertambah tanpa sadar, sorot mata pria tua itu terlihat kecewa. “Kau yakin?”

Sekali lagi Junkyu mengangguk. “Itu milik saya Prof, di ujung sudah jelas tertulis nama saya.”

Prof. Lee menghela napas dan tanpa menyahut kembali berbalik menuju meja di depan kelas sambil terus memandangi tugas essai Junkyu.

Agaknya masih belum mempercayai bahwa tulisan acak-acakan yang terkesan dipaksakan dan tidak jelas ini adalah hasil tangan seorang Kim Junkyu, salah satu mahasiswa kesayangannya.


Uhuk! Uhuk!

Junkyu terbatuk saat asap rokok miliknya selalu tidak sengaja tertelan, terpaksa menjauhkan batang nikotin yang terbakar di jarinya, berusaha mengatur napasnya kemudian.

Di saat itulah seseorang datang menepuk pundaknya, membuat Junkyu menoleh sedikit.

“Halo bro, boleh gabung gak?” ternyata itu Sunwoo—teman yang dulu sempat satu kelas dengannya pada mata kuliah Pengantar Ilmu Hukum—dengan rombongannya yang mengekor di belakang. “Gak ada yang kosong.”

Junkyu mengangguk kecil, bergeser serta menarik tas ranselnya ke depan. “Silahkan...”

“Makan, Jun.” tawar Eric, salah satu dari rombongan Sunwoo. Dan Junkyu hanya merespon dengan senyum serta anggukan kepala, kembali menyesap rokoknya yang sisa setengah.

“Lusa jadi gak sih?”

“Jadi lah, gue udah kabarin temen gue. Lokasinya di Jalan Raya Bogor.”

“Siapa aja yang turun?”

“Gue skip dulu lah,”

“Kenapa gitu anjir???”

“Tangan gue masih cidera, nyet, kalo lo lupa.”

“Lah iya juga gua baru inget wkwkwk.”

Meja yang sebelumnya hening mulai berisik karena obrolan teman-teman Sunwoo. Junkyu diam saja, toh tidak ada yang mengajaknya bicara. Lagi pula sebentar lagi rokoknya habis nanti ia akan segera angkat kaki dari sini.

“Jun, kalo gak salah dulu lo pernah ikut balapan kan ya?” tanya Sunwoo saat rokok Junkyu sudah hampir habis. Cowok dengan bibir tebal itu sedikit bergeser mendekat ke arah Junkyu.

“Dulu, udah lama banget.” jawab Junkyu seadanya. Otaknya hampir saja mengingat kejadian ia pertama kalinya terjun ke arena balap, tapi segera ditepis sebab Junkyun tidak mau mengingat hal yang berkaitan dengan orang itu.

“Lo gak pengen balapan lagi, gitu?” tanya Sunwoo lagi.

Junkyu berpikir sebentar, bola matanya berpendar saat memindai suasana kantin siang ini. “Pernah kepikiran sih, cuma gue males.”

Sunwoo tertawa kecil. “Gak ada temen? Ikut gue aja gimana?”

Junkyu tahu betul siapa Kim Sunwoo, ini laki-laki yang digadang-gadang jadi pentolan jurusan hukum yang katanya raja arena balap.

“Gak deh. Nanti gue malah malu-maluin lo,” tolak Junkyu.

“Santai aja kali,” Sunwoo mulai merangkul Junkyu akrab. “Lusa gue ada balap di Jalan Raya Bogor, balap biasa kok gak ada embel-embel taruhan. Gimana, lo mau ikut gak?”

Kim Junkyu yang biasanya pasti akan langsung menolak, lebih memilih menghabiskan waktu dengan kasur kesayangan. Tapi Junkyu yang sekarang justru langsung mengiyakan tanpa pikir panjang.

“Boleh deh,” kata Junkyu.

Sunwoo tersenyum lebar. “Good,” lalu menatap ke arah teman-temannya. “Guys lusa besok kita nambah personel!”


Ketagihan.

Itu yang dirasakan Junkyu beberapa bulan terakhir.

Pertama ia ketagihan nongkrong di kelab malam, menghabiskan waktu di sana sampai wested. Kedua ia ketagihan dengan rokok, sehari bisa menghabiskan kurang lebih sepuluh sampai dua belas bungkus. Ketiga ia mulai aktif lagi di arena balap, bermula dari ajakan iseng Sunwoo kini Junkyu jadi bagian dari rombongan si pentolan hukum 17.

“Kalo lo berhasil finish ketiga, lo boleh bawa pulang motor gue.” itu perkataan Sunwoo sepuluh menit yang lalu, mendatangi Junkyu yang bersiap dengan motor kesayangannya dan menawarkan hadiah yang cukup menggiurkan.

Ninja ZX-25R keluaran baru, siapa yang tidak tergiur.

Dan itu jadi alasan kenapa Junkyu tiba-tiba merasakan adrenalin mulai menguasai dirinya. Semangatnya menguar tidak terkira sekarang.

Seorang gadis—dengan pakaian minim dan ketat—mulai berjalan ke tengah garis start, membawa bendera di tangannya.

Satu kali dikibas ke atas, semua peserta balap menggeber motor mereka.

Satu kali dikibas ke bawah,

BRUMMMMMMMMM

Adalah tanda bahwa balapan telah dimulai.

Junkyu dengan motor hitam pekatnya berada di posisi lima. Dari balik helm fullface warna hijau stabilo itu Junkyu tersenyum miring, lantas menarik gas lebih dalam sembari sedikit membelokkan stang motor, menyalip dua motor sekaligus.

Posisi ketiga.

Seharusnya Junkyu cukup mempertahankan posisi dan dia bisa membawa pulang ninja baru milik Sunwoo, tapi Kim Junkyu dengan sifat ambisiusnya tiba-tiba mengincar posisi pertama.

Junkyu mengubah gigi mesin dan memacu motornya lebih cepat. Putaran pertama telah selesai dilewati, ketika akan memulai putaran kedua, keributan mulai menguasai arena balap.

Semua yang berkumpul untuk menonton berubah panik saat suara sirine mobil polisi mulai terdengar keras.

Adalah polisi yang ditakutkan para pembalap liar.

Situasi berubah kacau hingga balapan terpaksa dihentikan.

Junkyu ikut panik, berniat melarikan diri dari lokasi tapi saat itulah kecelakaan terjadi. Motornya tiba-tiba ditabrak dengan keras dari belakang hingga tubuhnya terpental dari atas motor.

Di tengah kerusuhan orang-orang yang panik melarikan diri Junkyu terkapar lemas. Dengan sisa tenaga ia melepas helm fullface miliknya. Kepalanya pening, meski memakai helm benturan kepala dengan aspal sangatlah keras, berhasil membuat pandangan Junkyu tiba-tiba buram.

Dunia terasa berputar untuk Junkyu. Satu ringisan lolos dari mulutnya kala tangan panjangnya tidak sengaja terinjak orang. Dari banyaknya orang yng berlalu lalang tidak ada satu pun yang berniat membantu.

Junkyu tersenyum miris.

Ia sudah berpikir akan mati saat pandangannya mulai menggelap. Samar-samar, sebelum kelopak matanya sepenuhnya menutup Junkyu melihat seseorang dengan seragam army berlari mendekat, pun Junkyu merasa badannya tiba-tiba diguncang.

“Junkyu!”

Sebatas itu saja. Sebab sedetik kemudian Junkyu kehilangan kesadaran.


Putih, adalah yang Junkyu lihat ketika membuka mata. Ah, ternyata itu langit-langit atap, rupanya ia masih hidup.

Junkyu pikir ia telah mati tapi ternyata tidak.

Bola mata bulat itu mengerjap beberapa kali menyesuaikan dengan cahaya terang di ruangan, dan bergulir ke samping. Menyadari ada sekat—dari kain panjang berwarna coklat gelap—yang membatasi.

Ah, rupanya ia berada di rumah sakit. Junkyu juga melihat tiang infus makanya ia menyimpulkan begitu.

Merasa pegal di belakang lehernya, Junkyu mulai menggerakkan kepala ke kanan dan kiri, di saat itulah ia tidak sengaja bertemu tatap dengan seseorang.

Ternyata sejak tadi setiap pergerakannya diperhatikan, oleh laki-laki tegap berbalutkan seragam army.

“Hai, Kyu.” suara ringan itu terdengar pelan tapi mampu menggapai pendengaran Junkyu.

Junkyu memutus kontak mata, lantas mendecih. “Cih, bisa-bisanya dia menyapa dengan santai?” dumalnya.

“Gimana kabar lo?”

Mengabaikan respon dingin Junkyu laki-laki berseragam itu menarik kursi dan duduk di samping ranjang rawat si Kim. Tangan kekarnya ditaruh di atas pinggiran kasur, kepalanya mendongak menatap Junkyu yang kini sengaja berbaring menyamping. Membelakanginya.

Tapi seulas senyum tipis tetap menghiasi wajahnya.

“Lo keliatan berantakan, Kyu.”

Kelopak mata Junkyu tiba-tiba menutup cepat, ia menggeram dalam diam.

“Lo juga keliatan banyak berubah ya,”

Junkyu tak tahan. Ia tiba-tiba beranjak bangun, tidak tanggung-tanggung mencabut selang infus di tangannya. Berbalik badan, langsung menatap sosok berseragam tadi dengan amarah tertahan.

“Jangan komentari hidup gue, Park Jihoon.”

Junkyu menyibak gorden coklat tua yang menjadi sekat IGD, refleks meringis ketika merasakan ngilu pada pergelangan tangannya.

Ah, ia baru sadar kalau pergelangan tangan kirinya berbalut perban.

“Tanganmu terkilir—”

Seolah tidak mau mendengar suara itu lagi Junkyu segera melengos pergi. Ia melewati koridor IGD dengan langkah lebar-lebar, tapi selebar apa langkah kaki Junkyu, Park Jihoon dapat dengan mudah menyusul.

Tangan Junkyu digapai, dipegang erat agar tidak lepas dengan mudah.

“Junkyu—”

Stop.” Junkyu buru-buru menyela. “Stop. Jangan pernah sebut nama gue lagi—”

“Kim Junkyu. Kita butuh bicara.” Jihoon dengan berani mengabaikan ultimatum Junkyu. Seolah tidak gentar dengan tatapan tajam penuh amarah milik si Kim.

Fuck! Gue gak mau bicara sama lo!” Junkyu mendorong Jihoon dan menarik tangannya, tanpa pikir panjang segera berlari keluar dari gedung rumah sakit.

Jihoon terdiam.

Yang dia lakukan hanya memandangi punggung lebar Junkyu yang semakin menjauh.

Jihoon pikir Junkyu butuh waktu sendiri. Oke, Jihoon akan mengabulkannya.


Tapi Jihoon keliru.

Junkyu bukan membutuhkan waktu sendiri, melainkan memang tidak mau bertemu lagi dengannya.

Segala cara Jihoon lakukan untuk mengajak bicara si Kim. Dan segala cara Junkyu lakukan untuk menghindari si Park.

Putus asa, Jihoon memilih nekat mendatangi kelab malam yang biasa Junkyu datangi. Tidak peduli dengan konsekuensi besar yang membayanginya kalau ketahuan nanti, Jihoon tidak mau memikirkannya sekarang.

Ia hanya butuh bicara dengan Junkyu. Hanya itu.

Park Jihoon semakin bergerak masuk, melewati orang-orang yang saling bercumbu mesra. Mengeratkan jaket bomber miliknya, Jihoon mempercepat gerak kakinya.

Sebenarnya ia tidak terlalu asing dengan suasana kelab malam. Dulu, sesekali ia pernah masuk sini dengan beberapa temannya, termasuk Junkyu. Itu dulu, sebelum akhirnya Jihoon menjauhi hal-hal buruk seperti alkohol dan kelab malam.

Ah, itu dia.

Di ujung meja bar, Junkyu berada. Duduk bertopang dagu sambil minum alkohol.

Jihoon duduk di samping si Kim, untungnya kosong.

Menyadari seseorang baru saja duduk, Junkyu menoleh, sedikit terkejut melihat Jihoon duduk di sampingnya, ikut memesan satu gelas rum beserta satu kaleng Coca-Cola.

Keduanya hanya diam layaknya orang asing, tepatnya Junkyu yang berlagak tidak saling mengenal.

Sebenarnya si Kim sudah ingin pergi, tapi agaknya mulai lelah menghindar terus pun dia baru saja sampai di sini, sayang kalau harus pergi lebih dulu.

“Gue kira lo bakal ada di arena, tapi ternyata ada di sini.” ujar Jihoon, berusaha membuka obrolan.

Seperti yang diprediksi Junkyu hanya diam, menandaskan minuman miliknya dan memesan yang baru.

Jihoon menghela pendek, sedikit menoleh untuk menatap sang sahabat.

“Gue minta maaf, Kyu.” ucap Jihoon, nada bicaranya terdengar frustasi. Dan Junkyu menyadari hal itu meski suasana bising oleh alunan musik DJ.

Hanya mendengar tanpa ingin merespon.

Belum ada respon dari Junkyu. Jihoon melihat gelas rum yang sudah tercampur sempurna dengan Coca-Cola, lantas menegak habis cairan di dalam gelas bening itu.

Sungguh ia hanya berniat memesan tidak terpikirkan untuk meminumnya. Entahlah, Jihoon butuh sesuatu untuk melampiaskan sesak yang ada di dadanya.

“Maaf kalau keputusan gue bikin lo merasa kecewa.” Jihoon kembali berujar setelah sepuluh menit hanya diam.

Kepalanya tiba-tiba terasa berat, sengaja menyandarkan dahi pada permukaan meja bar.

Toleransi alkohol nya sangat rendah, lihat hanya minum segelas Jihoon merasa kesadarannya sudah terkikis habis.

Terakhir, si Park kembali meracau.

“Gue gak bermaksud pergi dari lo, gue cuma.... gue cuma mau ngejar mimpi gue, Kyu. Sorry.....”


Pukul empat dini hari saat Jihoon terbangun. Rasa pusing langsung datang menerjang, membuatnya mendesah kasar.

Kepala Jihoon menggeleng, semakin menyembunyikan wajah ke bawah bantal. Ia pikir itu bantal, sampai kemudian bibirnya menyentuh permukaan kulit.

Kelopak mata Jihoon terbuka pelan. Terbelalak ketika melihat sebuah leher mulus, penglihatannya bergulir dan jatuh pada wajah lelap Kim Junkyu.

Oh, rupanya ia berakhir di kamar Junkyu. Tertidur sambil memeluk si Kim.

Logikanya kalah dengan keinginan hati, alih-alih bangun Jihoon justru mengeratkan pelukan tangan pada badan Junkyu. Matanya kembali terpejam saat menghirup harum dari leher Junkyu.

“Geli, Ji.” suara serak barusan sontak membuat Jihoon membuka mata dan menarik wajah, mendapati Junkyu yang juga terjaga.

“Gue kira lo tidur,” sahut Jihoon lalu dengan sadar menarik diri menjauh dari Junkyu, memberi jarak di antara keduanya.

“Gak biasa tidur jam segini,” balas Junkyu seraya mengubah posisi menjadi terlentang menatap langit-langit kamar.

“Oh, biasanya jam segini masih di kelab ya. Gak akan pulang sebelum wasted.”

Junkyu diam. Dan diamnya Junkyu sama saja dengan mengiyakan.

Jihoon mendengus. “Alkohol gak bagus buat badan, Kyu.”

I know,”

“Tapi tetep lo minum, dalam jumlah banyak.”

“Gue butuh sesuatu yang baru, Ji.”

“Buat apa?”

Junkyu menolehkan kepala, balas menatap Jihoon. “Menghapus eksistensi lo di ingatan gue,” adalah yang ingin Junkyu katakan, tapi yang keluar justru, “seneng-seneng aja. Cari suasana baru.”

“Sinting.” respon Jihoon sarkas. “Elo itu ngerusak diri sendiri.”

“Kan, emang gue berharap cepet mati.” pungkas Junkyu.

“Kyu—”

“Hidup pun percuma gak sih, karna gue gak pernah tahu apa itu tujuan hidup.”

“Tujuan hidup lo kan jadi orang sukses—”

Seriously Ji, itu cita-cita bocah umur sebelas. Lagian sukses itu artinya terlalu luas, gak tahu lah gue cuma capek jadi orang dewasa.” keluh Junkyu.

Si Kim menutupi wajahnya dengan lengan tangan, berkali-kali menghembuskan napas kasar.

“Kim Junkyu yang gue tahu gak pernah kelihatan se-frustasi ini,”

'Lo gak pernah lihat karna lo adalah alasan kenapa gue bisa se-frustasi ini, Ji.'

“Frustasi boleh, tapi jangan kehilangan motivasi hidup dong.” Jihoon bergerak, menarik tangan Junkyu, memaksa si Kim menghadapnya.

Tangan Jihoon kini menangkap wajah Junkyu.

“Kalau satu motivasi hilang, find another. Oke?”

Junkyu menghela napas panjang. Mulutnya terbuka tapi kembali menutup, membiarkan satu senyum tipis menjadi penutup obrolan pada dini hari.

'Apakah bisa?'


How's your life?”

Satu kalimat tanya dari Junkyu membuka obrolan pukul delapan pagi.

Jihoon menjawab dengan anggukan, “not bad.” sambil mengaduk bubur ayam miliknya.

Junkyu berdecak. “Makan bubur kok diaduk,” menatap sangsi pada mangkuk bubur milik Jihoon.

Jihoon balas mendelik. “Dimana-mana tuh makan bubur diaduk!”

“Cih, yang ada gue gak nafsu, bentuknya mirip muntahan lo semalem!”

“Gue gak muntah ya semalem!”

“Muntah! Kena baju gua, anjir!”

“Mana ada, ngaco! Gue gak inget semalem muntah!”

“Elo udah gak sadar ya, udah tipsy cuma karna segelas rum. Payah!”

Keduanya berdebat, membuat heboh flat Junkyu yang biasanya sepi. Merasa perdebatan mereka semakin alot dan mulai ngalur-ngidul keduanya tiba-tiba tertawa.

Tertawa lepas tanpa beban menguar secara bersamaan.

Di sela tawanya Jihoon bernapas lega, setidaknya ia masih bisa membawa tawa lepas Junkyu kembali-meski hanya sementara.

“Nanti sore ada kelas kan, jangan skip kelas lagi, Kyu.” tegur Jihoon ketika mereka bersama-sama merapikan meja makan.

“Malah nanti siang kayanya gue mau ke kampus, nyari kelas pengganti.” sahut Junkyu. “Gue terancam gak bisa ikut ujian, kebanyakan skip kelas.”

“Mampus!” langsung direspon cepat oleh Jihoon. “Siapa suruh jadi mahasiswa nakal!”

“Ya gimana ya Ji, setelah lo pergi gue ngerasa kalo hukum bukan passion gue.” Junkyu merespon sesantai mungkin.

Jihoon menghela. “Mau sampai kapan lo ngikut gue terus, Kyu?”

Junkyu yang memungut sampah plastik berhenti sebentar, melihat Jihoon sekilas dan mendengus pelan. “Gak tahu, kan dari dulu gue udah terbiasa ngikut lo, Ji.”

“Jangan kaya gitu, Junkyu.” Jihoon tiba-tiba menarik Junkyu ke arah satu-satunya sofa pendek di flat, memaksa yang lebih tinggi untuk duduk. “Inget gak dulu gue bilang apa sama lo? Passion lo itu teknik, tapi lo kukuh mau ambil hukum sama kaya gue. Lihat sekarang lo nyesel kan?”

“Harusnya gak nyesel, kalau aja lo gak tiba-tiba out,” ujar Junkyu. Tidak berniat untuk menyindir sebenarnya tapi Jihoon merasa tersindir.

“Kyu, lo gak bisa selamanya bergantung sama gue-”

“Kalo gitu kasih tahu gimana caranya supaya gue berhenti bergantung sama lo, Park Jihoon.” selak Junkyu. Alis si Kim sekarang saling bertaut tanpa sadar.

“Junkyu-”

“Kalau boleh mengulang waktu, lebih baik kita gak pernah saling kenal gak sih? Dibilang menyesal apa engga, iya gue nyesel kenal sama lo-”

“Anjing.” umpatan yang keluar dari mulut Jihoon serta merta membuat mulut Junkyu terkatup rapat. “Jahat banget mulut lo. Kenapa sih, kenapa gue selalu keliatan salah di mata lo?”

Melihat Jihoon yang sudah mengepalkan kedua tangan, Junkyu menghela napas. Bangkit berdiri dan beranjak menjauh dari sofa.

“Lo gak salah Ji, sejak awal yang salah adalah gue. Gue salah banget jadiin lo poros hidup gue tanpa izin dari lo.” tapi gengsi serta ego seorang Kim Junkyu lebih besar dari logikanya, hingga yang terlontar dari mulutnya sangat berbanding terbalik.

“Kan emang sejak awal kita gak pernah cocok, bahkan untuk ukuran seorang sahabat.”

“Sebenernya,” badan Junkyu tertarik ke belakang. Jihoon menarik terlalu keras saat mencekal. “Gue ada salah apa sama lo, Kim Junkyu.”

'Salah lo, udah bikin gua jatuh terlalu dalam.'

“Lo ninggalin gue, Ji. Gak inget sama janji lo tempo dulu 'Pokoknya kita harus lulus bareng, gak mau tahu!'????” Junkyu melirik tangan Jihoon yang mencekal tangannya terlalu kuat. Ia balas mencengkeram tangan Jihoon, melakukan hal yang sama. “Elo kan, yang ingkar janji.”

“Elo gak akan ngerti, Jun.” Jihoon mendengus. “Orang yang gak pernah punya mimpi besar kaya lo, gak akan pernah ngerti.”

Pertengkaran yang tak menemukan titik temu menjadi pertemuan terakhir mereka di tahun ini.


Pertama kali Junkyu dan Jihoon bertemu ketika masing-masing dari mereka menginjak masa putih biru, sekolah menengah pertama.

Pertemuan mereka tidak terlalu baik. Saat itu Jihoon memergoki Junkyu yang jadi target pemalakan kakak kelas, tidak hanya sekali Jihoon sering melihat Junkyu dipalak tapi si Kim tidak pernah melawan. Hanya diam dan menyerahkan uang jajannya, dengan sukarela.

Jihoon bingung, kenapa Junkyu tidak pernah melawan? Si Park sebenarnya kesal tapi belum ada niat ingin membantu. Toh, dia tidak bisa berlagak layaknya superhero.

Sampai suatu hari Junkyu mendapat bogem mentah dari kakak kelasnya, sebab tidak bisa menyerahkan uang jajannya. Wajah si Kim tampak belur, tapi hanya diam dan menerima.

Jihoon akhirnya bertindak, memilih melaporkan kejadian itu pada guru konseling sekolah mereka. Kakak kelas tukang palak itu disidang ke ruang konseling, bersama dengan Junkyu.

Jihoon pikir Junkyu akan mengakui semua peristiwa pemalakan yang dialaminya, aneh, si Kim malah berbohong dan mengelak. Bersikukuh kalau luka belur di wajahnya adalah hasil dari kecerobohannya sendiri, jatuh di kamar mandi.

“Lucu banget. Masa yang kaya gini, karena jatuh di kamar mandi?!” Jihoon menghadang Junkyu yang baru saja keluar dari ruang konseling, dengan tidak sopan meraih wajah Junkyu, lalu menatap nyalang kakak kelas tukang palak yang ada di belakang si Kim-hendak keluar juga dari ruang konseling.

“Pak guru! Dia beneran dipalak, Pak! Kemarin saya lihat mereka mukulin dia sampai babak belu gini, saya saksinya!”

Lucunya setelah kejadian Jihoon membela Junkyu, si Park ikut jadi sasaran si kakak kelas tukang palak.

“Salah lo sendiri, kenapa bertingkah jadi pahlawan kesiangan.” kata Junkyu sambil mengusap sudut bibirnya yang berdarah.

“Duh! Aduh bibir gue!” Jihoon meringis saat sadar bibirnya telah sobek karena tinjuan orang. Tak sengaja melihat Junkyu dengan raut wajah datarnya. “Elo gak kesakitan? Agaknya elo yang paling banyak dihajar.”

“Terbiasa.” jawab Junkyu sambil lalu.

Jihoon melotot. “Kenapa lo gak pernah ngelawan??!”

“Percuma. Gue gak akan menang.”

“Karna lo sendirian?”

Junkyu merespon dengan mengangkat bahu acuh.

“Sekarang kan ada gue, gimana kalo kita lawan bareng?!” usul Jihoon.

Dua anak remaja itu mencoba melawan tapi tetap tidak berhasil.

“Kayanya kita harus belajar bela diri gak sih?” tanya Jihoon.

Junkyu mendelik, “gue gak mau.” katanya menyela Jihoon yang sudah membuka mulut. “Gak-”

“Besok kita daftar taekwondo!”

Junkyu tahu sekali kalau tubuhnya itu lemah, tapi karena paksaan Jihoon dia tetap bersedia ikut ekskul taekwondo. Dua minggu berlatih sebenarnya ingin menyerah, tapi sampai lulus tidak pernah dia lakukan.

Junkyu tidak suka taekwondo, tapi dia bertahan karena Jihoon.

“Oh! Udah berani nantangin duluan ya kalian, udah siap mati muda ya?”

Jihoon mendecih, dengan sok menggulung lengan seragam putihnya dan memasang raut segarang mungkin. “Kayanya kalian tuh yang bakal mati muda,”

Di sebelahnya Junkyu hanya diam, melihat dengan cemas. Sampai Jihoon menyikut perutnya kemudian berbisik, “ngomong kali, biar mereka takut!”

“Hah??” tapi Junkyu justru clueless.

Jihoon melotot. “Pasang muka garang! Buruan!”

Junkyu menurut, memasang wajah sok garang. Jihoon melihatnya, berakhir menahan tawa sebab wajah aneh si Kim.

“Muka lu udah kaya bocah nahan berak!” komentar Jihoon.

Junkyu mendelik kesal, baru akan memprotes tapi sebuah sepatu tiba-tiba dilempar ke arah mereka. Jihoon berhasil menghindar, tidak dengan Junkyu. Ujung sepatu itu mengenai dahi mulus si Kim.

“Heh! Kasih tanda dong kalo mau mulai!” celoteh Jihoon.

“Banyak bacot bocah! Sini maju lo!”

Park Jihoon tanpa pikir panjang bergerak maju, menerjang badan si kakak kelas yang jauh lebih besar. Kepalan tangan kuatnya mengenai wajah yang lebih tua.

Senyum Jihoon mengembang lebar. “MAMPUS!”

“Sialan! Serang!”

Sial buat Jihoon karena sedetik setelah itu dia dijadikan target pengeroyokan. Junkyu menatap panik, tanpa sadar melayangkan tendangan keras, meski harus lama ketika mengambil ancang-ancang dia berhasil membuat satu kkak kelasnya jatuh tersungkur.

“MANTAP KIM JUNKYU!” itu Jihoon, berseru heboh sambil mengacungkan dua jari jempolnya.

Dan itu hanya sebuah awalan kisah unik si Kim dan Park.


“Lo mau lanjut kemana?”

Park Jihoon bertanya pada Kim Junkyu, di tengah riuhnya suasana kantin saat jam istirahat.

“Lanjut apaan?” tanya Junkyu balik.

“Kuliah lah dongo, apalagi?!” Jihoon menyahut sewot, hampir melempar tusukan cilok ke muka Junkyu.

“Gak tahu, belum kepikiran.” Junkyu menjawab sambil lalu, dengan santai menyuap cimol terakhir ke dalam mulut.

“Lah, sebulan lagi seleksi SNMPTN! Gimana ceritanya elo belum kepikiran???????”

“Gak tahu ah, jangan bahas itu. Malesin.” jawaban dari Junkyu mendapat getokan botol air kosong dari Jihoon.

“Penting ini! Menyangkut masa depan!” sungut si Park.

“Tapi gue beneran gak tahu mau lanjut kemana, anjing!” protes Junkyu.

“Lo masuk teknik aja. Teknik sipil, mesin atau teknik lainnya. Cocok sama lo yang suka itungan.” tiba-tiba Jihoon memberi saran.

“Siapa bilang gue suka itungan?” Junkyu kembali protes.

“Kalo gak suka itungan kenapa nilai mtk dan ipa lo selalu diatas 88????” Jihoon menggerakkan tangan, menyuruh Junkyu lebih mendekat. “Gue kasih tahu ya, itu artinya lo punya passion disitu. Pilih teknik aja.”

“Iya nanti gue pikirin.” sahut Junkyu malas. “Lo sendiri mau lanjut kemana?”

“Gue sih, gak mau maksa dapet PTN. Dapet PTS juga gak masalah sih, dan gua mau abil Ilmu Hukum.” jawab Jihoon.

“Kenapa gak ambil HI aja?” tanya Junkyu. “Pas buat lo yang suka berdebat, siapa tahu lo bisa jadi diplomat berbakat. Itung-itung lo jadi berguna buat negara.”

“Lo tuh muji atau menghina sih?!” kesal Jihoon.

Junkyu mengangkat bahu acuh. “Dua-duanya.”

Kali ini Jihoon beneran melepar tusukan bekas cilok pada Junkyu, beruntung si Kim berhasil menghindar.

Time flies so fast. Tahu-tahu tahap seleksi SNMPTN telah selesai, hari ini adalah waktu pengumuman kelulusan SNMPTN. Semua murid kelas tiga ribut sendiri.

Jihoon sih santai, sudah tahu kalau dirinya tidak akan lolos. Dan benar, Jihoon tidak lolos SNMPTN.

“Hasil lo gimana, Kyu?” tanya Jihoon. Hendak mengintip layar ponsel milik Junkyu, tapi sang empunya ponsel lebih dulu men-lock layar ponselnya.

“Gak lulus.” jawab Junkyu kelewat santai.

“LAH?! KOK BISA?!” yang heboh justru Jihoon. “Lo salah liat kali Kyu-”

“Engga kok. Bener gak lolos.” sebelum Jihoon makin ribut Junkyu merangkul si Park keluar kelas. “Kantin lah, gue lapar.”

Yang Jihoon tidak tahu adalah Junkyu memang tidak lolos SNMPTN, bukan karena tidak terpilih tapi karena sengaja tidak memilih PTN dan jurusan yang diinginkan. Mungkin kalau Jihoon dan orang lain tahu, Junkyu akan kena kritikan keras.

Bisa-bisanya orang sepinter Junkyu yang nilai rata-rata rapotnya hampir menyentuh angka sembilan puluh, menyia-nyiakan kesempatan emas.

“Terus lo mau daftar PTS mana?” tanya Jihoon, masih belum bosan untuk membawa topik mengenai kuliah pada setiap obrolan mereka.

“Ikut lo aja.”

“Jurusannya?”

Junkyu mengerling. “Liat nanti deh,”

Dan seperti yang kalian tahu, Junkyu berakhir menjadi mahasiswa jurusan Ilmu Hukum, bersama Jihoon.


Lalu dimana semua mulai terasa salah?

Tepatnya pada awal tahun, ketika Jihoon datang pada Junkyu. Membawa kabar gembira-tapi kabar buruk bagi Junkyu.

“Kyu, gue lolos seleksi Bintara!”

Berbeda dengan Jihoon yang kelewat senang, Junkyu memasang wajah bingung.

“Hah???”

“Sebenernya gue nyoba tes Bintara, dan gue lolos tesnya. Gue keterima, Kyu! Gue bakal jadi Bintara!”

Junkyu bingung. Hanya diam ketika Jihoon berhambur memeluknya kelewat erat untuk menyalurkan rasa bahagianya saat ini.

“Terus... kuliah lo gimana, Ji?” tanya Junkyu tiba-tiba.

Masih dengan tangan yang memeluk Junkyu erat Jihoon menjawab santai, “gue mau berhenti kuliah, tapi Bapak bilang mending cuti aja, biar selesai pendidikan gue bisa lanjut kuliah lagi.”

Tidak adil. Kecewa. Marah dan kesal.

Itu yang Junkyu rasakan saat itu.

Park Jihoon, sahabatnya, orang terdekatnya, orang yang Junkyu kagumi dan dijadikan poros hidup tiba-tiba begini, seolah membuang Junkyu, menganggap Junkyu sebagai hal sepele.

Sehari setelah kabar itu Junkyu mengunci diri di dalam kamar. Merenung sendiri.

Adil gak sih buat Junkyu yang selalu setia di sisi Jihoon, mengabaikan semua hal tentang dirinya demi bisa bareng-bareng terus sama Jihoon??

Junkyu rela ikut taekwondo padahal setiap malam setelah selesai latihan ia selalu sulit tidur dan mengeluh sakit badan.

Junkyu rela dimarah Mama sampai uang jajannya dipangkas karena selama seminggu selalu pulang telat demi nemenin Jihoon di warnet-waktu itu kabur dari rumah karena berantem sama Bapak.

Junkyu rela melawan Papa sampai diusir dari rumah, menolak masuk Akademi Sains setelah lulus SMA demi kuliah bareng Jihoon.

Junkyu rela mati-matian belajar soal hukum yang jelas-jelas bukan passionnya. Dan sekarang Jihoon bilang apa? Mau cuti kuliah??

Cih, sia-sia dong Junkyu melawan Papa dan belajar hukum kalau alasan terbesar dia jadi mahasiswa hukum justru pergi tiba-tiba.

Jihoon menyadari tingkah aneh sahabatnya, mengetuk dan membujuk Junkyu keluar dari kamar. Sudah hampir tengah malam tapi Junkyu tidak keluar sama sekali, Jihoon takut sahabatnya mati kelaparan.

Kekhawatiran Jihoon berujung pertengkaran hebat.

Saat itu Jihoon terpaksa mendobrak pintu kamar Junkyu. Sang empunya kamar marah besar. Emosi Junkyu tidak bisa lagi ditahan, akhirnya meluap tidak terkira.

“Elo kenapa sih Kyu, kenapa tiba-tiba marah gak jelas gini?!” tanya Jihoon, sebisa mungkin menahan emosi.

“Elo yang gak jelas!” Junkyu bersungut-sungut. “Tiba-tiba datang bawa kabar mau berhenti kuliah-”

“Gue gak berhenti kuliah, gue cuti kuliah!”

“POIN UTAMANYA SATU, ELO NINGGALIN GUA!!” Junkyu menjerit. Kali pertama bagi Jihoon mendengar nada tinggi keluar dari mulut si Kim.

“Kyu-”

“Elo orang paling egois, Park Jihoon!!”

Pertengkaran itu tidak hanya melukai Junkyu, tapi juga Jihoon. Agaknya cukup sakit hati disebut egois, padahal yang ia inginkan hanya satu, mencapai cita-cita terbesarnya. Menjadi seorang TNI Angkatan Darat.


Satu tahun berlalu.

Tanpa pernah saling mengontak dan bertemu satu sama lain, Junkyu dan Jihoon benar-benar menjalani kehidupan masing-masing. Secara terpisah.

Jihoon tidak pernah tahu bagaimana kabar Junkyu sejak hari itu. Ingin mencari tahu, tapi selalu terdistraksi oleh pendidikannya. Terlalu sibuk sampai si Park melupakan bahwa ia sudah lama tak mendengar kabar sang sahabat terdekat.

Hari ini, satu bulan setelah resmi menyandang pangkat Sersan Dua, Jihoon melaksanakan rutinitas hariannya. Bangun pagi, sikat gigi lalu ikut olahraga bersama teman-temannya.

“Jihoon! Tolong bantu saya angkat ini ke lapangan satu.”

Choi Hyunsuk, salah satu rekan terdekatnya, menunjuk ke arah box-box kardus yang tertutup rapat.

“Apanih, Bang?” tanya Jihoon ketika sampai di depan Hyunsuk.

“Sarapan pagi, buat calon bintara.” jawab Hyunsuk. “Ayo Ji, angkat sekarang udah ditungguin!”

“Oke.”

Dua orang Sersan muda itu sama-sama mengangkat box berisikan sarapan bagi para Caba ke lapangan satu.

“Udah mulai ya pendidikan buat Caba baru,” kata Jihoon. “Gak kerasa ya kita udah jadi senior aja, perasaan baru kemarin kayanya kita jadi Caba.”

Hyunsuk terkekeh. “Time flies so fast.”

“Oh! Taruh sini ya! Di sini!”

Dua Sersan muda itu menuruti perintah senior mereka, menaruh kardus berat itu ke depan barisan Caba yang berbaris sangat rapi.

“Makasih ya!”

Hyunsuk dan Jihoon merespon dengan memberi hormat. Sebelum pergi dari sana Jihoon menyempatkan diri melihat ke arah barisan Caba, hanya berniat melihat wajah-wajah baru yang akan mengisi asrama mereka.

Tapi justru terkejut ketika menemukan satu wajah yang sangat familiar.

Jihoon melihat Junkyu.

Iya, Kim Junkyu berdiri tegak di barisan para Caba.

“Ji, kok bengong, ayo balik!” teguran dari Hyunsuk menyadarkan Jihoon.

“Ah, oh, iya Bang!”

Jihoon bergerak menjauh dari lapangan satu. Terus melihat ke belakang. Masih tidak percaya melihat Junkyu di sini, sebagai Calon Bintara.

Kongkow—tongkrongan para mahasiswa hukum—tiba-tiba berubah senyap ketika Karen datang, dan tanpa kata-kata melayangkan satu tinjuan keras di wajah Panca.

Semua meringis. Agaknya ikut merasa nyeri melihat Panca yang jatuh tersungkur, mengusap sudut bibirnya, ada darah di sana.

Panca menatap Karen lamat. Sadar kalau si Adhyakta benar dalam pengaruh emosi yang meluap-luap, terbukti dengan bahunya yang bergerak naik turun pun dua tangannya yang mengepal kuat.

“Ren—”

“Ikut gua lo, bajingan!” Karen tanpa perasaan menarik kerah kemeja Panca.

Si Wicaksana langsung terbangun dan terhuyung mengikuti seretan Karen yang membawanya ke parkiran Kongkow.

“Susulin jangan nih??” tanya Sonu panik. Semua teman Panca memandang ke arah dua orang yang mulai hilang di belokan pintu masuk.

“Susulin aja gak sih?” sahut Bima. “Karen biarpun kurus gitu dulu sempet ikut boxing bareng Panca, gua ngeri mereka malah jadiin parkiran sebagai lahan sparring.”

“Fix kita harus susulin!”

Sonu sudah berdiri hendak menyusul tapi Yosi menahan lengannya, menggeleng seolah menolak ide untuk menyusul Karen dan Panca.

“Biarin aja, biarin mereka selesaiin urusan mereka.” kata Yosi.

“Tapi Yos—”

“Panca gak suka urusannya dicampuri, apalagi soal Karen. Biarin deh.” selak Yosi.

Akhirnya tidak ada yang bergerak menyusul Panca dan Karen, memilih untuk melanjutkan kegiatan mereka yang sempat tertunda. Meski diam-diam mereka bertanya-tanya sendiri,

Apa alasan dibalik tingkah Karen barusan? Kok bisa Karen yang terkenal ceria dan ramah, datang dengan wajah merah padam, pun tanpa ragu menonjok wajah sang sahabat.

Hmm., aneh.

“Btw Yos, elo liat gak sih?” Sonu berbisik-bisik.

Yosi jadi menoleh. “Apa?”

“Gua liat tadi banyak cupang di leher Karen.”


DAK!

Badan Panca membentur body mobilnya sendiri saat Karen menghempas badannya begitu saja. Sontak meringis.

Bukan karena berbenturan dengan body mobil, melainkan menyadari kalau rahangnya sedikit bergeser dari tempat semula akibat tonjokan Karen.

“Tanggung jawab!” kalimat pertama yang keluar dari mulut Karen adalah sentakan keras penuh emosi.

Panca kembali terdorong menghimpit body mobil ketika Karen mencengkeram keras pundaknya.

“Gue beneran diputusin gara-gara lo, sialan!”

DAK!

Sekarang kepala Panca yang membentur body mobil, barusan Karen sengaja mendorong kepalanya.

Tapi Panca hanya diam. Menerima semua perlakuan kasar Karen padanya.

Panca tahu, dia salah. Dirinya salah sudah jadi alasan dibalik kandasnya hubungan Karen dengan sang kekasih. Terbayang di kepalanya se-frustasi apa Karen membujuk sang mantan, mencoba menjelaskan tapi tidak bisa mengatakan kenyataan dan fakta.

Panca mewajari tingkah kasar Karen saat ini, toh ia memang pantas menerimanya.

Karen sangat menyayangi pacarnya—oh mantan maksudnya. Dan Panca menerka-nerka sesakit apa hati si Adhyakta saat ini.

“Sorry... sorry... sorry...”

Dari sekian banyak kalimat yang ada di kepala nyatanya hanya kata maaf yang bisa Panca ucapkan.

Karen mendengus. Mencoba mengendalikan emosi yang sejak tadi berusaha membuatnya lepas kendali. Kalau tidak ingat siapa Panca sudah dipastikan wajah menyebalkan itu berubah babak belur.

“Ucapan maaf lo gak bisa bikin hubungan gue balik.” sahut Karen frustasi. Berkali-kali ia meremat rambutnya sendiri, menjambak dengan harapan rasa sesak di dadanya bisa berkurang sedikit.

Emosi Karen sudah meluap di ujung akhirnya lolos keluar tanpa dicegah, tertuang dalam bentuk air mata.

“Hiks!”

Bukan, itu bukan Karen yang menangis tersedu-sedu. Melainkan Panca Wicaksana.

Sekarang jongkok di depan Karen seraya menutupi wajahnya dengan telapak tangan. Siapapun yang melihat bahu kokoh yang bergetar hebat itu pasti yakin kalau sang empunya tengah menangis kuat.

Karen menatap kesal.

“Gua yang diputusin, gue yang sakit hati KENAPA LO YANG NANGIS SIH ANJING???!!!”

Karen ikut jongkok, sengaja menyandarkan dahinya di atas lipatan tangan. Ikut menangis keras menyaingi isakan si Wicaksana.

“Maaf nyet, maaf bikin lo putus.” setelah berkata begitu Panca menghambur memeluk Karen erat.

Keduanya jadi jatuh terduduk di atas tanah. Menangis tersedu-sedu sambil saling memeluk satu sama lain.

“Astaga....”

Adalah Yosi yang memijat pangkal hidungnya saat melihat pemandangan kekanak-kanakan itu. Niatnya menyusul untuk memastikan kedua teman dekatnya tidak saling melukai satu sama lain, tapi malah begini jadinya...

“Nyesel gue udah ngerasa khawatir,” dengus Yosi.

Park Jihoon dan Kim Junkyu saling mengenal karena tugas kelompok mata kuliah psikologi komunitas, kini menjadi teman bicara di setiap pertengahan malam yang panjang.


Nomor tidak dikenal

Pukul sebelas malam saat Junkyu berniat naik ke atas kasur tapi ponselnya di atas nakas kembali berdering nyaring. Ternyata masih dari nomor tidak dikenal yang sudah menelponnya sebanyak lima kali.

Dan Junkyu akhirnya terpaksa menjawab panggilan dari nomor tidak dikenal tersebut.

🐼 : “Halo...” 🐨 : “Siapa?” 🐼 : “Park Jihoon, Ilkom 17.” 🐨 : “Oh, Jihoon yang satu kelompok tugas Psikologi Komunitas sama gue?” 🐼 : “Jadi bener ini Kim Junkyu?” 🐨 : “Iya gue Kim Junkyu, Sosiologi 17.” 🐼 : “Gue kira Chani kasih nomor yang salah, soalnya telepon gue gak diangkat-angkat.” 🐨 : “Sorry, gue tadi di kamar mandi dan gue agak trauma terima telepon dari nomor gak dikenal, apalagi ini hampir tengah malam.” 🐼 : “Gue ganggu dong ya?” 🐨 : “Iya gitu deh, gue udah ada niat mau langsung tidur juga besok ada kelas pagi.” 🐼 : “Tadinya gue mau bahas soal tugas, tapi nanti aja, bisa besok.” 🐼 : “Lo save ya nomor gue, besok gue hubungi lagi.” 🐨 : “Oke.” 🐼 : “Sip. Sorry udah ganggu, goodnight Junkyu.” 🐨 : “Hah., oh... iya goodnight too Jihoon.”


Kura-kura dan Kupu-kupu

🐼 : “Hai Junkyu...” 🐨 : “Hai juga Jihoon,” 🐼 : “Gue mau bahas tugas psikologi komunitas, nih.” 🐨 : “Iya. Tahu gak sih gue nungguin lo telepon, gue kira lo gak akan telepon semalam ini.” 🐼 : “Masih jam sebelas kurang, masih sore.” 🐨 : “Matahari udah terbenam lima jam yang lalu ya Park Jihoon, ini hampir tengah malam.” 🐼 : “Hahaha... sorry ya Junkyu, jadwal gue lumayan sibuk akhir-akhir ini. Jadi gue cuma punya waktu luang diatas jam sepuluh.” 🐨 : “Sibuk banget, lo aktif di organisasi atau ukm kampus sih?” 🐼 : “Dua-duanya, wkwkwk.” 🐨 : “Wah beneran mahasiswa aktif ternyata, kuliah rapat-kuliah rapat.” 🐼 : “Kalo lo apa? Kupu-kupu?” 🐨 : “Iya, kuliah pulang-kuliah pulang hahaha.” 🐼 : “Wkwkwk padahal gue cuma asal tebak, ternyata bener.” 🐨 : “Padahal kalau lo pernah liat gue di kelas, lo pasti tahu vibe kupu-kupu tuh gue banget.” 🐼 : “Elo tuh mahasiswa yang setiap kelas pake hoodie hitam atau gak hoodie pink mencolok gak sih?” 🐨 : “Haha iya itu gue, kenapa? Keliatan banget ya freak nya?” 🐼 : “Siapa yang bilang freak, gue gak bilang lo freak. Cuma ya penampilan lo itu agak mencolok, berani banget kelas pake hoodie disaat yang lain pakai kemeja.” 🐨 : “Pak Sudir tuh gak mewajibkan mahasiswanya pakai kemeja kok, beliau tipe dosen yang santai. Makanya gue pede aja pakai pakaian yang nyaman.” 🐼 : “Masa sih? Kalo gitu besok-besok gue juga mau pakai pakaian yang nyaman juga lah, bosen banget pake kemeja terus.” 🐨 : “Asal rapih Pak Sudir gak akan negur kok,” 🐼 : “Oke thank's soal infonya.” 🐨 : “Haha sama-sama. Terus soal tugasnya gimana?” 🐼 : “Oh astaga lupa wkwkwk... sorry gue malah bahas hal yang gak penting.” 🐨 : “Santai santai...” 🐼 : “Elo masih belum ngantuk kan?” 🐨 : “Belum sih, kenapa?” 🐼 : “Takut bahasannya panjang terus lo keburu ngantuk duluan.” 🐨 : “Enggak kok, tadi gue sengaja minum kopi. Emang niat mau begadang juga sekalian ngerjain tugas, deadline lusa.” 🐼 : “Gue juga sambil revisi proposal deh kalo gitu. Santai aja lah ya kita?” 🐨 : “Yaiya santai aja...” 🐼 : “Pak Sudir tuh kasih jangka waktu tugas berapa lama deh? Gue lupa,” 🐨 : “Karna tugasnya menyangkut isu-isu komunitas beliau kasih waktu dua bulan. Agak ribet sih tugasnya, kita harus survei gitu.” 🐼 : “Surveinya sih gampang, gue ada beberapa kenalan komunitas. Mungkin yang ribet nyusun proposalnya.” 🐨 : “Elo anak organisasi masa nyusun proposal masih dibilang susah? Wkwkwk...” 🐼 : “Sesungguhnya gue paling males kalau disuruh buat, atau tinjau proposal, ribet banget. Gue tipe orang yang gak mau ribet soalnya hahaha...” 🐨 : “Tapi lo sekarang lagi revisi proposal tuh...” 🐼 : “Terpaksa ini mah, yang seharusnya revisi proposal lagi sakit makanya gue gak tega limpahin tugasnya.” 🐨 : “Btw kalo boleh tahu, lo aktif di organisasi mana deh?” 🐼 : “BEM, bentar deh... lo ini gak kenal siapa gue ya???” 🐨 : “Elo Park Jihoon dari jurusan Ilkom kan?” 🐼 : “Bener sih... tapi maksud gue lo gak pernah denger nama gue disebut-sebut gitu?” 🐨 : “Engga tuh, emang lo siapa? Orang penting di BEM ya?” 🐼 : “Gue Ketua BEM, asal lo tahu.” 🐨 : “Oh wow...” 🐼 : “Wkwkwkwk... kenapa gitu sih reaksinya? Kagetnya kaya dibuat-buat banget.” 🐨 : “Ahaha keliatan banget ya??” 🐼 : “Oh beneran reaksi terpaksa yang dibuat-buat ternyata.” 🐨 : “Gue gak tau sih harus kasih reaksi kaya gimana, agak gak nyangka ternyata dapet temen kelompok ketua BEM, tapi ya... yaudah gitu...” 🐼 : “Iyasih gak ada yang bisa dibanggain dari jabatan gue-” 🐨 : “Harus bangga dong, jadi ketua BEM kan kesempatan sekali seumur hidup. Menurut gue yang agak anti sosial, itu hebat banget.” 🐼 : “Makasih udah dibilang hebat, balik ke topik tugas deh, ini makin malem tapi kita ngobrolnya melantur wkwk.” 🐨 : “Mau bagi tugas aja?” 🐼 : “Jangan, kerjain bareng aja. Ini tugas agak ribet gue gak enak kalo bagi tugas ternyata malah gak rata pembagiannya.” 🐨 : “Tapi lo pasti sibuk banget,” 🐼 : “Gue bakal luangin waktu kalau untuk tugas, santai.” 🐨 : “Yaudah besok selesai kelas kita diskusi outline kasarannya dulu deh, gimana?” 🐼 : “Boleh, boleh banget.” 🐨 : “Yaudah itu aja gak sih buat sekarang.” 🐼 : “Iya cukup itu aja buat sekarang. Lo... udah ngantuk ya?” 🐨 : “Enggak, dibilang gue lagi nugas ini. Kenapa?” 🐼 : “Keberatan gak kalo jangan tutup teleponnya dulu?” 🐨 : “Butuh temen ngobrol ya?” 🐼 : “Rumah gue mati lampu dan gue rada parno sama gelap,” 🐨 : “Pfftt! Takut sama setan jangan-jangan?!” 🐼 : “Gue bilang parno sama gelap, bukan takut sama setan ya!” 🐨 : “Gue kira takut setan.” 🐼 : “Gak ya. Duh, mana gue laper lagi... tadi gak sempet makan malam.” 🐼 : “Niat gue mau bikin mie malah keduluan mati lampu, sialan.” 🐨 : “Lagian kok bisa sih mati lampu jam segini. Belum bayar tagihan listrik kali.” 🐼 : “Enak aja!” 🐨 : “Ahahaha bercanda doang sumpah, biasa aja dong.” 🐼 : “Kalo emak gue denger barusan lo ngomong gitu, bisa-bisa lo dijadiin ayam geprek sama dia.” 🐨 : “Waduh serem juga...” 🐼 : “Pokoknya jangan ditutup dulu ya, Kyu.” 🐼 : “Gue panggil Kyu aja deh ya, gak apa-apa kan?” 🐨 : “Iya, Ji, santai.” 🐼 : “Wkwkwk aneh banget... wkwkwk...” 🐨 : “Apanya yang aneh?” 🐼 : “Gue biasa dipanggil Hoon, tapi sama lo dipanggil Ji, aneh aja.” 🐨 : “Yaudah gue panggil Hoon juga deh—” 🐼 : “Ji juga gak masalah sih,” 🐨 : “Dih banyak mau ya lo..” 🐼 : “Terserah lo aja deh wkwk.” 🐨 : “Oke. Gue tinggal ke kamar mandi dulu ya Ji—” 🐼 : “Plis jangan lama-lama, Kyu.” 🐨 : “Katanya gak takut setan, gimana sih wkwkwk...” 🐼 : “Buruan deh lo ke kamar mandinya, jangan lama-lama!” 🐨 : “Dih, kok sewot???” 🐼 : “Iya gue takut setan! Puas lo???” 🐨 : “WKWKWKWKWK....”


11.11

It's eleven-eleven...

🐼 : “Junkyuuuuuu, kertas coretan outline tadi ada sama lo gak?” 🐼 : “Di gue kok gak ada ya???? Udah gue obrak-obrak tas tapi gak ada. Kalo ilang gimana dong?????????” 🐨 : “Ada sama gue, Ji wkwkwkwk.” 🐼 : “Kok lo gak bilang sih kalo mau lo bawa?? Asli gua panik banget takut ilangg!” 🐨 : “Agaknya gue udah bilang bakalan gue bawa deh, bolot sih lo.” 🐼 : “Ye anjir gue malah dikatain, beneran panik sumpah.” 🐨 : “Santai... santaiii. Udah gue rapihin outlinenya, barusan gue kirim tuh via email. Coba lo cek.” 🐼 : “Bentar gue nyalain komputer dulu-ADUH!!” 🐨 : “Jiiii???? Lo kenapa anjir? Jatoh?” 🐼 : “Arghh kabel sialan!” 🐼 : “Aduh aduh jempol kaki gua, kabel sialannnnnn!!!” 🐨 : “Halo? Jihoon lo gak apa-apa?” 🐼 : “Jempol gue kepentok meja belajar anjir sakit banget!” 🐨 : “Kok bisa sih, lo ngapain aja?” 🐨 : “Banyak tingkah sih,” 🐼 : “Gue mau nyalain komputer! Kesandung kabel!!” 🐨 : “Bengkak gak jempolnya?” 🐼 : “Otw bengkak sih kayanya...” 🐨 : “Balurin minyak tawon sana, biar gak bengkak.” 🐼 : “Mager banget, nanti aja deh.” 🐨 : “Semoga jempol kaki lo besok bengkak banget—” 🐼 : “Heh anjir kok lo nyumpahin!” 🐨 : “Gak nyumpahin, gue cuma becanda doang wkwkwk.” 🐼 : “Liat jam deh,” 🐨 : “Kenapa?” 🐼 : “Liat aja sekarang jam berapa?” 🐨 : “sebelas sebelas,” 🐼 : “Kata orang kalo minta sesuatu waktu jam sebelas sebelas bakal jadi kenyataan,” 🐨 : “Pfftt! Kok lo bisa percaya takhayul kaya gitu???? Wkwkwk...” 🐼 : “Beneran tau, kalo besok jempol gue beneran bengkak awas aja.” 🐼 : “Gue bakal minta pertanggungjawaban sama lo!” 🐨 : “Kenapa jadi gue??? Kan lo jatoh sendiri, gue gak ngapa-ngapain???” 🐼 : “Soalnya lo nyumpahin gue pas jam sebelas sebelas.” 🐨 : “Yaelah takhayul kok dipercaya???” 🐼 : “Beneran nih kalo bener jempol kaki gue bengkak,lo tanggung jawab!” 🐨 : “Iya dah iya, toh itu cuma takhayul—” 🐼 : “Bener ya??!!!” 🐨 : “Iya bener.” 🐼 : “Awas aja lo kalo kabur pas gue cari,” 🐨 : “Gak akan. Kalo lo gak nemu gue di kelas, cari gue ke kantin jurusan.” 🐼 : “Oke,” 🐨 : “Jadi gimana, outline yang gue kirim udah diliat belum?” 🐼 : “Bentar dong, komputer gue belum konek ke internet nih.” 🐨 : “Oke oke—IYA KENAPA MA?!!” 🐼 : “Buset Kyu, teriakan lo kenceng banget!” 🐨 : “Eh sorry sorry, barusak nyokap gue manggil.” 🐼 : “Yaudah sana samperin—” 🐨 : “Gak perlu, nyokap cuma ngingetin jangan lupa minum vitamin sebelum tidur.” 🐼 : “Gak sekalian ngingetin minum susu terus sikat gigi sebelum tidur juga? WWKWKWKWK” 🐨 : “Sialan lo, gak usah ngeledek!” 🐼 : “Wkwkwk, gak nyangka ya Kim Junkyu ini anak Mami—” 🐨 : “Park Jihoon gue sumpahin beneran nih jempol kaki lo bengkak parah!” 🐼 : “Telat, sebelas sebelas udah lewat AWOKAWOKAWOKAWOK~” 🐨 : “Dasar lo penakut!!” 🐼 : “Penakut, siapa?? Gue?? Enggak tuh!” 🐨 : “Kemarin malem siapa ya yang mohon-mohon jangan mutus telepon soalnya takut sama hantu?????” 🐼 : “Jangan diingetin pliss!!” 🐨 : “AWOKAWOKAOWKAOWK.,” 🐼 : “Gak usah ketawa lo, Kim Junkyu!” 🐨 : “Dasar penakut~” 🐼 : “Dasar anak mami~” 🐨 : “Sialan.” 🐼 : “Lo juga, sialan.” 🐨 : “Wkwkwkwkwkwkwk...” 🐼 : “Wkwkwkwkwk...”