“Di malam tanpa lelap yang ke sekian kalinya, dua anak adam bertanya-tanya mengapa sulit untuk menunjukkan pada dunia bahwa mereka sedang jatuh cinta.”
I am waiting for you
I’m at the same spot, at the same place
Junkyu terbangun dengan badan penuh keringat. Dadanya bergerak naik turun dengan cepat, agak tersengal saat mengatur napas. Telapak tangan besar itu bergerak naik mengusap wajah kasar lalu naik lagi hanya untuk mencengkeram anak rambutnya sendiri.
Kelopak matanya terpejam erat. Mulutnya meringis, bukan karena nyeri atas jambakan rambut, melainkan meratapi nasib buruknya sendiri.
Mimpi.
Itu mimpi buruk yang sama, yang selalu datang setiap kali Junkyu berusaha tidur dengan nyenyak. Mengganggu serta menghantui setiap malam Junkyu.
Setelah menghembuskan napas kencang—guna membuang sesak yang menyelimuti dada, Junkyu beranjak dari tempat paling nyaman miliknya. Dengan langkah gontai mendekati lemari pendingin bersama gelas yang ia dapat dari atas meja makan.
Ternyata dinginnya air tidak bisa menurunkan suhu badannya—yang entah sejak kapan mulai meningkat drastis.
“Ck,” ia berdecak sarkas lalu mulai meninju dadanya dengan tinjuan kecil.
Jantungnya mulai berdebar tidak normal, suhu tubuh yang makin naik, serta kepalanya yang mendadak pening—oh, Junkyu bisa gila jika terus seperti ini.
Obat. Iya, Junkyu butuh obat.
Benda kaca yang mudah pecah itu sengaja di taruh secara asal ke atas meja, tungkai kaki panjangnya kembali bergerak. Menghampiri meja nakas di sebelah layar tv.
Junkyu mulai membedah setiap laci, mencari obat yang ia butuhkan. Namun nihil. Yang ia dapat justru plastik obat yang sudah kosong tidak berisi.
“Hah!” mendengus kasar lalu mulai meruntuki kebodohan diri sendiri, itu yang Junkyu lakukan detik ini.
Nyuttt~~
Kepalanya bagai dihantam dengan benda tumpul keras-keras, Junkyu lantas terhuyung sampai dahi polos itu menubruk ujung nakas.
“S-sial...” geramnya tertahan.
Tak tahan, tanpa sempat dikendalikan sesuatu dalam dirinya tiba-tiba menyeruak dan mengambil alih. Badannya bergerak cepat ke arah jendela, membuka kasar lantas segera melompat turun tanpa pikir panjang.
SRAK!
Dua kaki Junkyu menapak tanah. Tampak tegak seolah melompat turun dari jendela lantai sepuluh bukanlah hal besar. Setelah itu badannya bergetar lembut, diiringi dengan bulu kuduknya yang mulai meremang hebat.
Junkyu mendecih lantas segera berlari kencang. Memasuki kawasan hutan lebat yang gelap. Berbekal sinar sang purnama Junkyu memincingkan mata dan mengerjap cepat, saat itu juga bola matanya berubah membiru.
Sebuah tanda bahwa ia tengah berada pada batasnya.
“Hahh...hahh...ha...a....”
Langkah kaki cepat dan seringan kapas itu mulai melambat, dan terus melambat sampai akhirnya tungkai kakinya berhenti berayun. Junkyu terkapar di tanah bergabung dengan daun serta batang kering pepohonan.
Mata birunya memandang sang purnama yang bersembunyi di balik awan tipis, tanpa sadar Junkyu mulai mengagumi langit malam yang penuh dengan bintang.
Malam yang indah tapi nahas ia justru berada di ambang batas hidupnya.
Di saat pandangannya mulai kabur, indra penciuman Junkyu samar-samar mencium aroma citrus yang bercampur dengan menthol. Makin dihirup aromanya semakin kuat seolah sumbernya tengah bergerak mendekat.
“Rupanya di sini...”
Junkyu terbelalak, agaknya kaget saat menyadari keberadaan orang lain. Pemuda tegap dengan surai coklat gelap—sumber dari aroma citrus bercampur menthol—tengah berdiri sejauh satu meter dengan mata yang menatap tajam.
“Kenapa, bisa sekarat begini sih?”
Yang ditanya tidak menjawab melainkan memejamkan mata erat, diam-diam mencoba menepis aroma citrus dan menthol yang semakin lama semakin menguat. Memenuhi rongga hidungnya.
“Jangan,” suara serak Junkyu mengudara ketika yang lain mulai melangkah mendekat.Tapi tak dihiraukan, sebab pemuda itu kini berjongkok di sampingnya.
Menjulurkan tangan guna mengelus pipinya dengan gerakan lembut. Bukan sekedar usapan belaka sebab Junkyu merasakan kehangatan berbalut sensasi aneh mulai menjalar dari pipinya.
Junkyu meringis, tahu betul apa yang ingin pemuda itu lakukan. “Jangan... biarkan saja aku mati.. di sini.”
Usapan di atas pipinya berhenti dan Junkyu merasa tangan itu menjauh dari pipinya. Junkyu sedikit kecewa, tapi ia pun bergeming dengan keputusannya sendiri.
Mati dengan sendirinya detik ini juga.
Tapi dewa berkehendak lain sebab usapan hangat pada pipinya digantikan dengan sentuhan lembut di atas bibirnya.
Bibir yang tampak pucat itu dikecup berkali-kali tanpa henti. Membangkitkan sensasi aneh penuh gelenyar yang menggelitik perut.
“Park Jihoon...” tangan Junkyu meraih wajah itu, mendorongnya hingga tercipta jarak sekian centi di antara ujung hidung satu sama lain.
Dua pasang mata itu saling menatap dengan arti tatapan yang berbeda.
Sebisa mungkin Junkyu menyembunyikan binar kesenangannya, sebab ini kali pertama ia bisa memandang iris coklat pekat itu dalam jarak sedekat ini. Setelah melewatkan dua kali purnama, akhirnya, Tuhan seperti memberi satu kesempatan terakhir sebelum ia mati.
Bertemu dengan sang pujaan hati.
“Ayo pulang...”
Tubuh Junkyu terangkat. Bagaikan karung beras ditaruh di atas pundak kokoh si pemuda Park.
Junkyu meringis kecil. “Tidak berubah ya, memangnya aku ini karung beras heh?”
Kekehan pelan keluar dari mulut si Park. “Kau itu berat, begini lebih baik.”
Diam sejenak.
Park Jihoon namanya. Laki-laki yang bertahta kuasa di hati Junkyu. Punya badan sekeras batu namun hati selembut kapas. Menyingkirkan fakta bahwa dia seorang alpha tunggal terikat, ada kalanya feromon yang menguar dari tubuhnya tercium manis bagaikan permen.
Beruntungnya hanya Kim Junkyu yang pernah mencium feromon manis si King Elder.
“Kau mau membawaku kemana?” tanya Junkyu di saat Jihoon hendak mengambil langkah menjauh dari tempat semula.
“Tentu saja pulang—”
“Aku bahkan tidak punya rumah untuk pulang.” Junkyu berdesis lirih, tangannya yang menjuntai tanpa diminta mencengkeram kemeja polos si Park.
“Kau punya,” genggaman tangan pada paha Junkyu mengerat. “Rumah tidak harus sebuah tempat. Akan aku tunjukan apa arti rumah yang sesungguhnya.”
Junkyu tidak bisa mengerti apa yang sedang dibicarakan sang King Elder, semakin lama pendengarannya berangsur memburuk. Ia hanya bisa mendengar secara putus-putus bagaikan sambungan telepon dengan jaringan yang buruk.
Mengesampingkan kepalanya yang kembali berdenyut pening, pandangannya ikut memburam. Menyadari berada pada ambang batas justru membuat senyum Junkyu mengembang lebar, terkekeh pelan.
Sebelum kesadaran si Kim benar-benar hilang feromon citrus dan menthol milik si Park tiba-tiba menguar hebat.
“Jangan... jangan sekarang. Kim Junkyu!”
Hal terakhir yang Junkyu ingat sebelum matanya terpejam adalah suara berat Jihoon yang menyerukan namanya.
I am in love with you, can’t you see my heart?
Hangat.
Adalah yang Junkyu rasakan ketika kesadarannya kembali. Bukan karena selimut tebal yang membungkus tubuh polosnya, melainkan karena sepasang tangan yang melingkar dengan erat.
Hangat dan panas ketika ia sadar kulitnya bersentuhan langsung dengan kulit lainnya, tanpa perantara apa pun.
Bola mata Junkyu membulat. Kaget, terkejut dan tercengang secara bersamaan. Tangannya bergetar saat menggapai wajah yang berhadapan dengannya, “Jihoon...” bahkan suara yang keluar dari mulutnya sama bergetar dengan tangannya.
Yang dipanggil mengulas senyum tipis, wajahnya terlihat sayu dan binar tatapnya seolah sarat akan lelah. Sangat bertolak belakang dengan yang Junkyu lihat pada awal pertemuan mereka tadi.
“Hmm?”
“Harusnya kau biarkan saja aku mati...” Junkyu meringsak maju, dengan sengaja menyembunyikan wajah pada leher panjang sang elder, menghirup aroma tubuh itu dalam-dalam. Menyadari bahwa feromon citrus dan menthol si Park tak lagi tercium.
Digantikan dengan feromon semanis permen kapas.
“Mana bisa, aku membiarkan separuh jiwaku mati?” suara serak dan berat itu terngiang di telinga Junkyu.
Junkyu tersenyum miris. “Tapi aku bukan lagi separuh jiwamu, Elder.” lalu rengkuhan tangannya pada badan sang alpha mengerat dengan sendirinya.
Jihoon menghela napas berat. Telapak tangannya bergerak naik, mengusap rambut bagian belakang si Kim. Gerakannya pelan dan lembut.
“Sekali telah bertahta, sampai mati pun akan terus bertahta.”
Sang Elder menarik diri, sengaja mendongakkan kepala Junkyu. Membiarkan dua pasang mata mereka saling menatap lalu meraih bilah bibir sang kasih, memulai permainan hati, healing.
Dulu sekali—jauh sebelum sang Elder mendapat gelarnya—mereka tidak lebih dari dua orang alpha yang saling memperebutkan hal yang sama. Gelar agung, King Elder.
Seperti namanya, King Elder adalah hierarki tertinggi di bawah Moon Goddes—dewa para serigala—dimana semua akan tunduk padanya.
Hanya ada satu King Elder pada setiap generasi, sebab King Elder hanya lahir dari pasangan alpha tunggal, yaitu male alpha x female alpha. Seharusnya hanya ada satu elder yang lahir pada generasi ini, tapi enam bulan sejak kelahiran elder pertama lahirlah elder kedua.
Mereka adalah Park Jihoon dan Kim Junkyu.
Dua alpha dengan kepribadian yang bertolak bekalang bagaikan air dan api, sangat berbeda, tidak cocok satu sama lain.
Sejak kecil keduanya tumbuh dalam ruang lingkup yang ambisius, terlebih si Kim, ayahnya mendorong sang putra dengan keras. Memberi peringatan bahwa gelar King Elder harus jatuh padanya.
Sesungguhnya Junkyu tidak tertarik dengan gelar agung tersebut, kepribadiannya yang tertutup membuatnya sadar bahwa dirinya tidak pandai kalau harus berhadapan dengan orang lain. Junkyu lebih senang berkelana ke alam bebas, menghabiskan waktunya untuk mengagumi alam semesta.
Tapi ayahnya yang keras membuat Junkyu terpaksa harus bersandiwara, menampilkan dirinya yang ambisius.
Lain lagi dengan Park Jihoon, anak yang lahir pada empat belas maret ini menikmati kompetisi yang tercipta di antara keduanya.
Sejak lahir Jihoon sering dikaitkan dengan elder yang lebih muda. Terpaut enam bulan, Jihoon diam-diam menghabiskan banyak waktu untuk memperhatikan si Kim. Mencari tahu bagaimana rupa wajah si Kim yang semakin hari semakin memukau, bagaimana sifat serta kebiasaan kecilnya, atau mencari tahu bagaimana perkembangan kemampuan yang lebih muda.
Terlalu banyak waktu yang Jihoon habiskan untuk memperhatikan Junkyu dari jauh, hingga kemudian ia sadar bahwa semua perhatiannya berkembang tanpa diminta.
That he's falling in love, with his rival.
Pagutan serta lumatan bibir tanpa nafsu itu terlepas sejenak. Jihoon menatap lekat Junkyu yang kini tersenyum samar. Sang elder ikut tersenyum dan menyambut pagutan bibir si Kim.
Pening mulai Junkyu rasakan saat feromon si elder kembali menguar, bercampur dengan feromon miliknya. Permen dan kopi. Perpaduan yang aneh memang, tapi keduanya tidak peduli.
Mereka hanya ingin melepas rindu—setelah dua purnama tak bertemu.
“Hhnnghh...”
Desahan halus keluar dari mulut yang lebih muda saat telapak tangan yang lebih tua menyentuh titik sensitif tubuhnya. Sang elder menggeram, tanda bahwa pergulatan keduanya dimulai.
Bersamaan dengan sentuhan lembut yang diikuti dengan desah halus, Junkyu kembali memikirkan masa lalu mereka.
“Hoi, Kim Junkyu!”
Yang dipanggil menoleh panik. “A-apa.. yang k-kau lakukanhh.. di-disini huh?”
Jihoon memiringkan kepala, alisnya terangkat sebelah. “Apa-apaan feromon kuat ini,..” perkataannya terputus sebab ia terbatuk kecil. “Kau rut?”
“P-pergi dari sini!” sergah Junkyu dengan napas memburu cepat, tungkai kakinya bergerak membawa tubuh beratnya menjauh. Memasuki sebuah gua tidak jauh dari sana.
“Mau pergi kemana?!” tapi lengannya tiba-tiba dicekal kuat, tubuh lemahnya jadi ikut tertarik hingga wajah penuh peluh si Kim sejajar dengan si Park. “Kau tahu tidak itu tempat apa?” tanya Jihoon kemudian.
Dibalas gelengan kepala oleh Junkyu.
“Bodoh, itu gua si maut sekali masuk ke sana kau tidak akan pernah bisa kembali.” dengan begitu Junkyu diseret menjauh dari mulut gua, dibawa pada sebuah pohon beringin yang rindang.
Sang purnama bersinar terang serta angin malam berhembus kencang tapi seluruh badan Junkyu terasa panas bagaikan bara api. Rasa sakit akibat rut akan terasa berkali-kali lipat jika terjadi saat purnama. Dan sialnya, Junkyu sudah mengalami hal ini sebanyak tiga kali.
“A-aku harus segera p-pergi dari sini.”
Cengkeraman tangan Jihoon terlepas, Junkyu sudah akan pergi tapi dia kalah cepat dengan yang lebih tua. Tubuh yang beberapa centi lebih tinggi itu kini bersandar pada pohon, dengan lengan kokoh Jihoon yang mengukung.
“A-apa..apaan!” Junkyu melotot.
Tapi Jihoon tetap pada raut wajah datarnya. “Biar kubantu,” katanya.
Junkyu mendelik tidak mengerti. “Apa?”
“Biar kubantu, selesaikan rutmu.”
Selanjutnya si Kim terbatuk hebat, sebab feromon elder lainnya tiba-tiba menguar, saling bertubrukan dengan feromon miliknya.
Junkyu pening. Semakin pening saat dia merasa ada bibir lain yang menyentuh bibirnya, atau tangan lain yang kini bergerak gerilya dibalik pakaiannya.
Umumnya hanya seorang omega yang dapat membantu seorang alpha ketika masa rut. Seharusnya begitu, apa yang dilakukan Jihoon tidak akan berdampak pada Junkyu. Tapi keanehan mulai terjadi.
Semakin lama dua bibir itu saling bercumbu, Junkyu menemukan rasa nyamannya. Pun lambat laun feromon kuat Jihoon bisa sedikit menenangkan dirinya.
Itulah awal kesalahan mereka dimulai.
Please don’t go far away because my tears are about to fall.
Pagi hari yang cerah bagi Junkyu yang terbangun dalam peluk hangat Jihoon.
Kepalanya tidak bersandar pada bantal, tapi pada lengan berotot milik si Park. Pun tubuhnya dipeluk erat dari belakang.
Junkyu meraih tangan kanan Jihoon yang bertengger di pinggangnya, sengaja memainkan jari-jari tangan besar itu. Sampai ia menyadari ada sebuah cincin emas melingkar indah di jari telunjuk sang elder.
Junkyu tersenyum miris. Ia mengangkat tangan besar itu untuk melihat lebih jelas pahatan nama disana. Cincin yang melambangkan status pernikahan dengan nama asing yang terpahat indah, Arraya Jeon.
Oh, jadi namanya Arraya Jeon, omega murni yang Moon Goddes pilihkan untuk sang King Elder.
“Kapan bangun?”
Suara berat yang berbisik tepat di daun telinganya jelas membuat Junkyu terkejut, refleks mencengkeram jari telunjuk sang elder.
“Huh.., baru saja.” Junkyu menjawab seadanya. Bola matanya memindai sekitar, menyadari bahwa sejak semalam mereka habiskan di dalam kamar milik si Park.
Jihoon berdeham pelan dengan tangan kanan yang kini menggenggam tangan Junkyu, sesekali memberi kecupan di atas pelipis si Kim.
“Lunamu mungkin akan datang sebentar lagi,” kata Junkyu, berusaha melepas rangkulan tangan Jihoon pada pinggangnya. “Dia tidak boleh melihat kita dalam kondisi seperti ini.”
Junkyu beranjak bangun. Menyadari badan sekujur tubuhnya kini dipenuhi dengan bercak merah, mahakarya seorang Park Jihoon.
Yang membuat tanda ikut bangun, bersandar pada punggung kasur, memperhatikan Junkyu yang bergerak memakai pakaiannya dengan gerakan pelan. Lantas diam-diam tersenyum bangga dengan semua karya yang ia buat.
“Kau akan pergi?” tanya Jihoon tiba-tiba.
Junkyu yang telah selesai memasang hoodienya duduk di pinggiran kasur, menoleh dan mengulas senyum tipis saat kepalanya mengangguk. “Aku tidak punya alasan untuk tinggal lebih lama di sini,”
“Tapi ini rumahmu, Kyu.”
Junkyu menggelengkan kepala. “Tidak lagi, setelah mereka mengusir orang cacat sepertiku, Jihoon.”
Jihoon mendengus, dengan segera menggapai tangan bebas si Kim. “Mereka telah lama mati, tidak ada lagi yang berpikiran seperti itu padamu. Kumohon... pulanglah, Kyu.”
Tatapan keduanya bersiborok satu sama lain. Junkyu lagi-lagi mengulas senyum dan mengecup punggung tangan Jihoon.
“Sekali dibuang, sampah sepertiku tidak akan bisa kembali lagi.”
“Berhenti menyebut dirimu cacat atau sampah, 'cause you don't!” sentak Jihoon.
“Kau satu-satunya yang mengerti diriku, Ji. Tempat ini bukan lagi tempatku. Aku tidak bisa lagi tinggal di sini—”
“Semua sudah berubah, Kyu. Aku sudah merubah semuanya, untukmu, untuk kita!”
“Kau tahu, we don't have any happy ending here.” gantian Junkyu yang meraih tangan Jihoon, ia menunduk dan menunjuk cincin milik si Park. “And you're already create a new family, without me.”
“Tapi kau tahu dengan baik, my heart just fill with you.”
Menanggapi nada bicara putus asa itu Junkyu bergerak maju, memberikan satu ciuman manis untuk sang elder.
“Saatnya berpisah.” pagutan terputus saat Junkyu menjauhkan diri, beralih bangkit dan berjalan ke sudut kamar. Meletakkan sebuah kalung tanpa bandul ke atas meja rias.
“Bawa itu bersamamu.” kata Jihoon.
Junkyu menggeleng tegas.
“Bawa bersamamu, Kim Junkyu.” Jihoon mengulang titahnya, terpaksa mengeluarkan feromonnya yang kuat agar si Kim menurut.
Orang lain mungkin akan tunduk dan patuh, tapi berhubung Junkyu telah lama cacat feromon kuat itu tidak membawa dampak apapun baginya. Tidak jika untuk membuatnya menurut tanpa kehendak.
“Ini akan jadi yang terakhir kalinya kita bertemu, Ji.” jelas Junkyu. “Aku tidak akan membiarkanmu menemukanku lagi—”
“Kenapa?!” Junkyu terkesiap, memandang Jihoon yang mengusak rambutnya frustasi.
“Cukup aku yang berkorban, Jihoon.” yang lebih muda menarik tudung hoodie hingga menutupi kepalanya.
Mulut Jihoon sudah terbuka dengan niat hendak menyahut tapi suara derit pintu yang terbuka menginterupsinya. Dua orang di dalam kamar lantas menoleh secara bersamaan, mendapati seorang wanita berdiri di depan pintu yang terbuka.
“Oh,” agaknya si wanita terkejut saat mendapati wajah asing di dalam kamar sang suami.
“Halo...” sapa Junkyu tersenyum ramah dan berjalan mendekati wanita itu. “Saya Kim Junkyu,”
Raut terkejut si wanita kembali saat Junkyu menyebutkan namanya. Agaknya tidak percaya bahwa bahan pembicaraan orang-orang kini berdiri di depannya, tersenyum begitu rupawan, meskipun wajahnya terlihat agak pucat.
“Saya Arraya Jeon,” wanita bernama Arraya itu menunduk sedikit. “Senang bertemu denganmu, Junkyu.”
Senyum Junkyu bertambah lebar. “Saya harus segera pergi, ada urusan mendesak.”
Arraya telah mempersilahkan jalan untuk Junkyu lewati, pun Junkyu sudah bergerak melewati daun pintu. Sampai suara berat Jihoon terdengar menginterupsi.
“I really love you, Kim Junkyu.”
Tidak hanya Junkyu yang terkejut dengan pengakuan tiba-tiba Jihoon, sang Luna terlihat jauh lebih terkejut. Apalagi ketika wanita itu melihat ke arah kasur, mendapati sang suami tengah duduk di pinggiran kasur.
Bertelanjang dada, dengan bercak merah di beberapa bagian tubuhnya.
Jihoon masih dengan ekspresi yang sama membalas tatapan mata sang istri. “My Luna...” panggilnya.
“We share the same feeling, tapi kenapa dunia selalu melarang kami bersama?”
“Jihoon—”
“Kenapa Moon Goddess hanya memperbolehkan alpha dan omega bersatu?? Kenapa dua orang alpha tidak boleh saling mencintai??”
DEG!
Sang Luna jatuh terduduk, memegangi dadanya yang mendadak sesak sebab feromon kuat King Elder. Tidak hanya feromon yang semakin menguat, Jihoon sangat sadar bahwa jiwa alpha di dalam tubuhnya menggeram hendak mengambil alih.
Terbukti dengan bola matanya yang mulai berubah menjadi merah pekat.
“PARK JIHOON!”
Satu tamparan keras Junkyu layangkan. Berhasil membawa kembali kesadaran Jihoon yang sempat hilang, menyaksikan istrinya yang nyaris kehilangan napas.
Tahu apa yang paling menyakitkan?
Membiarkan pergi orang terkasih?
Melihat yang dicinta terpaksa berakhir dengan orang lain?
Atau menyerah dengan takdir tanpa sempat berjuang?
Semuanya sama-sama menyakitkan. Dan Jihoon juga Junkyu mengalami ketiga hal menyakitkan tersebut, dalam waktu yang sama.
Mungkin kalian berpikir kehidupan Jihoon—yang telah berhak atas status agung, King Elder—berjalan lebih baik dari pada Junkyu—yang harus terbuang bagaikan sampah—memilih berkelana tanpa tujuan. Mengasingkan diri.
Sejujurnya tidak ada yang lebih baik.
Keduanya sama-sama tersiksa oleh rindu yang semakin hari semakin membesar.
Jihoon yang berjuang mati-matian dalam merubah sistem kolot harus mendapat banyak kritikan keras, tapi dia tidak pernah menyerah. Hingga terpaksa mengambil jalan pintas, mengotori tangannya dengan noda darah para tetua kolot.
Merasa menemukan titik terang, saat itulah Jihoon berani mendatangi Junkyu. Rasa rindu yang membuncah di dada langsung buyar begitu tahu sang pujaan hati hampir mati karena diambang batas.
Karena kesalahannya, Junkyu berubah cacat.
Kalau tahu keinginan sesaatnya akan berujung fatal, saat itu Jihoon tidak akan membiarkan dirinya sendiri menandai Junkyu sebagai miliknya.
Karena proses marking itu kehilangan kemampuannya sebagai seorang alpha, berganti menjadi sangat bertergantungan padanya.
Junkyu tidak bisa hidup jika jauh dari Jihoon. Tapi keadaan memaksa Junkyu untuk pergi sejauh mungkin dari jangkauan si Elder.
Junkyu mengalah, memilih pergi dengan konsekuensi bisa mati kapan saja.
Di saat ia hampir mati, Jihoon datang. Menambah waktu hidupnya yang singkat.
Setelah malam itu berakhir, tepatnya pagi ini, Junkyu sudah bertekad akan benar-benar menghilang dari hidup Jihoon. Tapi sepertinya ia tidak perlu repot-repot menjemput maut, karena Jihoon akan langsung mengantarnya pergi menemui malaikat pencabut nyawa.
“J-jihoon...”
Di tengah kondisi kesulitan menarik napas, sebab lehernya dicekik begitu kuat, Junkyu tetap tersenyum. Menatap lurus pada wajah Jihoon yang sudah banjir akan air mata.
“A-aku...j-juga...me-mencintai-mu...”
Tahu apa yang paling menyakitkan?
Melepas pergi orang terkasih, dengan tanganmu sendiri.
Park Jihoon mengira dirinya bisa menyelamatkan Kim Junkyu, tapi yang ia lakukan justru mendorongnya jatuh ke dalam dasar jurang.
Sebuah ironi yang tragis.