senofyou

“Everyday feels like hell.”

Itu yang Karen rasain selama satu kelas dengan Panca. Bukan apa-apa, si ular panca jadi-jadian ini ternyata gak pernah absen gangguin Karen, entah dengan tingkah jahil dan usil Panca yang super duper nyebelin atau dengan komentar tajam dan terkadang sinis yang selalu berhasil bikin Karen naik darah.

Kadang Karen mikir, dia tuh ada salah apa sih sampai Panca gangguin dia kaya gini??? Apa salahnya sampai Panca kaya orang yang punya dendam kesumat sama dia???

Ada juga harusnya Karen yang punya dendam kesumat—ralat, emang udah punya sih dari awal mereka ketemu—sama cowok nyebelin itu.

“Karennnn, udah sehat kah???? Aaa gue kangen banget sama looo~~”

Itu Karin yang menyambut Karen masuk kelas dengan suara hebring miliknya. Chairmate Karen ini gak tanggung langsung meluk Karen begitu si cowok Adhyakta sampai di depan meja mereka.

“Lebay lo , Rin. Gue cuma gak masuk dua hari karna sakit, lagak lo kaya udah gak ketemu gue setahun.” komentar Karen setelah Karin puas meluk.

“Gak ada lo tuh kayanya sepi banget hidup gue, Ren. Gak ada yang bisa gue agak gossip sambil makan cilok soalnya hahaha...” sahut Karin diakhiri dengan tawa renyah.

Karen menggeleng dan mendudukkan diri di kursi miliknya, membuka tas dan menaruh buku paket miliknya ke bawah meja.

“Eh,” tidak sengaja Karen menemukan satu kotak pensil berwarna gelap yang ramai dengan coretan gravity juga stiker.

Karen menatap Karin yang ternyata sedang asik menoleh ke belakang sambil senyum-senyum.

“Katanya hidup lo sepi kalo gak ada gue, taunya lo udah nemu aja pengganti gue, Karinnn Karinnn...” cetus Karen seraya memukul puncak kepala Karin dengan kotak pensil tadi.

“Aduh! Apaan sih??” respon Karin.

“Selama gue gak masuk, Yosi duduk sini kan??” tanya Karen dengan mata yang menatap penuh selidik.

Karin tidak menjawab tapi menyengir lebar.

“Hadeehhhhh...” Karen kemudian berdecak dan menyerahkan kotak pensil yang ia ketahui milik Yosi pada Karin. “Nih, balikin sana ke anaknya.”

Dengan senang hati Karin menerima kotak pensil itu dan mengembalikannya pada sang pemilik, siapa lagi kalau bukan Yosi.

“Oh, udah masuk?”

Karen mengangkat kepala, mendapati Panca berdiri di samping mejanya. Dengan tangan terlipat di depan perut masih lengkap dengan tas ransel yang disampirkan di pundak. Sepertinya baru datang.

“Udah sembuh, sakitnya?” tanya Panca lagi, sebelah alisnya bergerak naik.

“Menurut lo????” respon Karen dengan bola mata berputar malas.

Ayolah, masih pagi. Karen gak mau pagi harinya dirusak si ular panca jadi-jadian.

“Gue pikir bakal sakit selama seminggu, abisnya lo lemah banget, kena lempar bola dikit aja pingsan.” celoteh si pemuda Wicaksana. Setelah berhasil menyunggingkan senyum miring, tungkai kakinya bergerak—

Tapi belum bergerak terlalu jauh, tas ranselnya tiba-tiba ditarik.

“Minta maaf,” itu Karen, berdiri sambil menarik tas ransel Panca.

“Hah, apaan sih?” Panca memberengut.

“Minta maaf, ular panca. Gara-gara lo gue jadi sakit dua hari!” sungut Karen dengan mata melotot galak.

“Kok jadi gue??!!”

“Kan elo yang lusa kemarin lempar bola!!”

“Kata siapa?!!”

“Karin, dan ada banyak saksi mata. Cepetan minta maaf!!!” paksa Karen.

“I-itu kan permainan, wajar kalo ada insiden—”

“Minta maaf aja susah banget sih, dasar cupu!” Karen kesal, menarik tas ransel milik Panca sampai terlepas dari punggung pemiliknya.

Lalu tanpa pikir panjang, melempar benda warna merah itu ke arah kepala si Wicaksana.

DUK

“ARGH!” Panca meringis nyaring. Kepalanya membentur botol minum yang disimpan di samping tasnya.

“Karen anjing—”

Karen mendengus tanpa rasa bersalah. “Satu sama. Kita impas. Bye.”

Panca misuh-misuh di tempatnya, Karen gak peduli malah berjalan riang keluar dari kelas.

“Mampus! Masih untung gue lempar pake tas, belum aja gue lempar pake batu bata!” gumam si Adhyakta.

“Misii, Jihoon nya ada?”

Suara ketukan pintu disusul dengan suara lembut membuat seisi sekret refleks menoleh, sedikit terkejut melihat eksistensi Junkyu di depan daun pintu.

Tersenyum tipis sambil sesekali mengusap anak rambutnya ke belakang.

“Kak Jihoon~~ dicari Mas Pacar nihhhh!!” teriak Yujin, anggota himpunan yang kebetulan sedang ngerumpi bareng Sungchan dkk.

Yang diteriaki bangkit dari sofa di sudut sekret, beranjak dengan alis saling bertaut.

“Udah gua bilangin, jangan pernah ngusap rambut kaya gitu di depan umum!” langsung bersungut-sungut di depan Junkyu.

“Kenapa sih emangnya?” bingung Junkyu. Hampir mengusap kembali anak rambutnya yang sudah panjang, tapi Jihoon lebih dulu menepis tangan si Kim.

“Terakhir kali lo kaya gitu di atas panggung, chatroom imes lo udah kaya asrama putri.” cetus Jihoon.

“Pfftt!” Junkyu menahan senyum lebarnya. “Cemburu ternyata...”

“Ck!” Jihoon melengos keluar dari sekret. “Mau ngapain sih kesini?”

“Dibilang kangen, gak peka banget.” kata Junkyu frontal, sukses membuat langkah kaki ringan Jihoon terhenti.

Si Park menoleh dengan dahi berlipat banyak. “Frontal banget!”

“Lo dikodein gak peka soalnya, guanya capek kode terus.” cetus Junkyu. Tiba-tiba merapat dengan Jihoon, lantas berbisik pelan. “Beneran kangen ini, mau ciuman.”

Jihoon tercengang. “Hah?”

Junkyu mendengus dan tanpa kata merangkul pundak kekasihnya, menyeret pemuda empat belas maret itu.

“Mau kemana?!”

“Studio sepi, anak-anak tadi baru pada pulang.”

“Ya terus?????”

“Biar agenda kangen-kangenan kita gak ada yang ganggu, Jihoon sayang~~”

“Sumpah, kok lo akhir-akhir ini malah agresif sih?!”

Junkyu menoleh sekilas. “Gak boleh?”

“Gua yang gak siap. Pusing banget kalo lo tiba-tiba gini.”

Tawa ringan Junkyu menguar lembut. “Yaudah, lo harus membiasakan diri kalo gitu.”

“Hah? Gimana???”

Junkyu tidak menyahut, hanya mengulas senyum kecil dan kembali memberi Jihoon satu kecupan di atas pangkal hidung.

“G-gue kan udah suruh lo minum yakult!” Jihoon menghindar gugup, senyum Junkyu semakin melebar soalnya.

Dan si Park merinding. Belum lagi jantungnya yang ikut merinding disko.

Gak siap dia tuh kalau Junkyu berubah agresif gini!!!

“Udah,” Junkyu kembali meraih lengan Jihoon, semakin menyeret yang lebih tua. “Tapi gak mempan. Gue pengennya bibir lo, Park Jihoon.”

“K-kim Junkyu udah sinting ya?!!” teriak Jihoon.

Junkyu terkekeh santai. “Iya, sinting karena elo.”

Hesitation

“Aku gak butuh mereka, aku hanya butuh kamu. Hanya kamu.

“Jihoon...”

Kasur berderit pelan saat dia bergerak membalik badan, langsung merengkuh badan polosku yang ada di hadapannya.

“Hmm...” suara serak dengan kelopak mata yang bahkan tidak sampai separuhnya terbuka itu menjadi tanda khas seorang Park Jihoon yang baru membuka mata.

“Mungkin, kamu tidak bisa seutuhnya merasa bahagia kalau tetap kukuh bersamaku.” suaraku yang juga terdengar serak itu lebih berat dari yang biasanya. Seiringan dengan lengan kuat yang merengkuh badan, telapak tanganku sendiri justru saling mengepal. Pun sesuatu yang berat terasa mengganjal di tenggorokan membuatku merasa urung saat hendak memperlengkap kalimat yang sebelumnya terdengar ambigu.

“Hmm??” dehaman yang aku dapat tapi kali ini diikuti dengan kepala yang menunduk, disusul dengan bola mata coklat pekat menatap begitu intens. Dari matanya saja aku bisa menyimpulkan kalimat apa yang sebentar lagi akan keluar dari mulutnya, “maksudnya apa?”

“Aku bukan wanita, tapi laki-laki.” gerah dan gelisah saat matanya menatap mataku aku memutuskan untuk melingkari lehernya dengan tangan, memeluk dengan erat hingga kulit badan kami saling bersentuhan di bawah gelungan selimut.

Kemudian berbisik tepat di telinganya, “kita harusnya gak boleh seperti ini kan??”

Tanganku terbilang cukup kuat tapi hanya dengan satu gerakan tarikan rengkuhan tanganku pada leher Jihoon terlepas. Dia bahkan menarik mundur badannya, memberi jarak hingga mata kami kembali saling menatap.

“Kita terlalu sering bahas ini, Junkyu sayang.” ujar Jihoon dengan kening mengkerut antara heran dan bingung juga lelah yang bercampur menjadi satu.

“Keputusan kamu yang ingin mengikatku seumur hidup, sepertinya perlu dipikirkan kembali.” ujarku. “Agaknya kamu perlu berpikir ulang soal itu—”

“Kenapa, kamu gak mau nikah sama aku?” potong Jihoon. Air mukanya berubah sayu.

“Aku mau.” jawabku pasti. Tapi langsung mengalihkan mata pada hal lain selain iris coklat pekat milik Jihoon. “Tapi aku mungkin gak bisa.”

“Kenapa?” tanya Jihoon, “kenapa? Kenapa? Kenapa kamu gak bisa? Kenapa?” setiap kali mulutnya mengucap kata kenapa tatapan matanya semakin berubah lebih menuntut agar aku segera menjawab rasa penasarannya.

Aku menutup mata ketika tidak lagi bisa menghindar dari tatapan matanya. Bibirku gemetar pelan, “aku gak mau orang-orang menilai kita dengan buruk. Apalagi kamu, kamu terlalu baik untuk mereka hina.”

Hening.

Yang terdengar hanya detik jarum jam. Meski penasaran dengan ekspresi wajah Jihoon aku tak berniat membuka mata, terlalu takut untuk melihat wajah kecewanya.

“Kita pergi. Pergi ke tempat yang bisa terima kita apa adanya.” putus Jihoon sepihak.

Akhirnya aku membuka mata dan tatapan wajah Jihoon yang terlihat tegas adalah hal pertama yang aku lihat. Melenceng dari dugaanku yang berpikir dia akan memasang wajah kecewa.

Aku segera menggeleng. “Tapi keluarga kamu ada di sini,”

“Aku gak peduli sama yang namanya keluarga. Buat apa disebut keluarga kalau mereka gak pernah berusaha support dan terima aku apa adanya.” Jihoon mengehela napas kasar. “Yang mereka lakukan sejak dulu hanya menuntut banyak hal padaku.”

“Tapi mereka tetap keluarga kamu.” aku balas menatap mata Jihoon. “Seburuk apa mereka, mereka yang akan selalu ada di sisi—

“Aku punya kamu, kan?” Jihoon menyela seraya mengerlingkan mata, lantas mencuri satu kecupan di atas pelipisku. “Aku gak butuh mereka. Aku hanya butuh kamu.”

“Tapi aku lelah...” tanpa sengaja aku langsung menunduk menghindari kontak mata dengan sepasang mata boba milik Jihoon.

“Aku terima semua caci-makian bahkan hinaan mereka,” bisa kurasakan telapak tangan Jihoon yang mengelus punggungku, rasanya hangat dan menenangkan mengingat aku selalu merasa tertekan setiap harus mengingat kejadian buruk itu.

“Tidak masalah selama mereka hanya menghinaku, tapi kalau mereka sampai melakukan hal yang sama padamu aku, aku gak bisa menerimanya, Jihoon.”

“Dan lagi... aku laki-laki. Mustahil untuk melahirkan anak.” aku memberanikan diri menatap ke arah Jihoon. Tanpa sadar mengulas senyum sedih. “Kalau menikah denganku, kamu gak akan pernah bisa punya keturunan—”

Cup!

Bibir tebal itu menyela kalimat yang bahkan belum selesai dilontarkan. Dengan mata yang membulat kaget aku menatap Jihoon, tapi yang ditatap justru tersenyum lalu kembali menyatukan bibir kami.

Jihoon mencium dengan lembut. Lebih lembut dari yang semalam dia lakukan, hingga aku merasa seperti lilin yang mulai meleleh. Gerakan bibirnya pelan sekali tapi tidak melewatkan setiap bagian dari bibirku.

Jarak yang sebelumnya dia ciptakan kini hilang dalam hitungan detik. Kulitku terasa panas setiap kali bibirnya menciumku, menyentuh titik terlemah hingga desahan tak bisa kutahan lagi. Lolos begitu saja.

Bibirnya mulai bergerak turun. Mengecup tengkuk, leher, tulang selangka, dada serta seluruh badan sampai ujung kakiku. Aku bahkan tidak sadar kalau selimut yang sebelumnya membungkus sudah tersibak sepenuhnya.

Wajahku semakin panas saat sejenak merasa malu. Dan Jihoon terkekeh pelan saat aku mencoba menutupi dada dengan tangan, merapatkan kedua kaki serta membuang wajah.

Jihoon mendekat, badannya yang tak tertutupi sehelai benang pun sedikit menindih tapi tidak sepenuhnya menindih. Tujuannya adalah berbisik tepat di telingaku. “Sudah terlambat untuk merasa malu, aku sudah sering melihatnya.”

Saat aku menoleh untuk menatapnya justru bibirnya kembali mendarat di atas bibirku. Memberi kecupan serta lumatan memabukkan. “Pertama, aku minta maaf kalau keluargaku bersikap buruk padamu, aku minta maaf.”

“Kedua, kita menikah bukan semata untuk punya anak. Kalau kamu mau kita bisa adopsi anak, suatu saat nanti.” Jihoon mengubah posisi, membiarkan aku duduk di atas pinggulnya dengan napas tersenggal. Kusentuh dada bidangnya yang bergerak naik turun tak teratur, dia sama tersenggal juga sepertiku. “Tapi poin utamanya hanya satu, aku mau menghabiskan sisa hidupku sama kamu.”

Telapak tangan besar itu memijat sekitar punggung bawahku. Area yang memang kerap kali terasa pegal setiap kali selesai melakukan kegiatan seperti ini. Aku tersipu haru.

“Capek?” dia bertanya dengan lembut bahkan mengusap wajahku dengan gerakan pelan. Aku meraih tangannya, membiarkan telapak tangannya menempel di wajahku yang terasa panas.

Inginnya menggeleng tapi kepalaku justru mengangguk kecil. Aku buru-buru melirik Jihoon, “tapi gak apa-apa lanjut—”

“Lanjut tidur aja ya,” tangannya bergerak menarik punggungku hingga badanku kini berbaring di atas badannya.

“Tapi tanggung nanti kamu—”

“Aku gak apa-apa,” Jihoon menyahut cepat. “Lagian aku juga capek, tapi pasti lebih capek kamu kan. Udah ya, kita lanjut tidur, mumpung masih jam tujuh.”

Aku menghela napas, tidak punya argumen untuk menyela ucapan Jihoon karena jujur saja rasanya memang lelah karena semalam dia gak kasih kendor sedikit pun.

Masih dengan memelukku dengan erat Jihoon memiringkan badan ke samping, menidurkan ku secara pelan dengan tetap menjadikan tangannya sebagai bantalan kepalaku.

“Aku suka, sayang dan cinta sama kamu. Only you, Kim Junkyu.” dia berbisik lembut mengecup bibirku sebelum akhirnya ikut tertidur.

Rasanya mungkin aneh, tapi sekarang Jihoon benar-benar melihat Kim Junkyu di antara para Caba lainnya.

Kim Junkyu yang ia kenal tidak akan sanggup menyelesaikan tiga putaran lapangan besar, tapi sekarang lihat, setelah lima putaran lapangan besar Junkyu masih terlihat kuat. Meski wajahnya sudah banjir dengan keringat.

Jihoon dengan seragam hariannya berdiri di pinggir lapangan dua, tempat yang biasa dijadikan latihan fisik para calon bintara selama masa pendidikan.

“Ngeliatin siapa sih, Ji?” tanya Hyunsuk, tiba-tiba muncul di sebelahnya.

Jihoon nampak tidak terlalu terkejut, agaknya sudah terbiasa dengan kehadiran tiba-tiba si pemuda Choi.

“Iseng aja liat Caba, Bang.” jawab Jihoon sama sekali tidak mengalihkan atensi dari lapangan. Tepatnya pada satu sosok yang baru saja menyelesaikan putaran ke enam.

“Iseng kok setiap hari sih, Ji.” goda Hyunsuk. “Kenapa sih, ada temen lo ya di antara Caba tahun ini?”

Sekarang Jihoon mengangguk. “Iya, sahabat saya Bang.”

“Oh ya, yang mana?” malah Hyunsuk yang sekarang heboh, memaksa Jihoon menunjukkan yang mana sahabatnya.

“Ada lah pokoknya yang itu!” tidak mau Hyunsuk tambah heboh Jihoon segera menyeret Hyunsuk menjauh dari lapangan. Kebetulan mereka harus segera ke pintu gerbang, ganti shift di posko.

“Ayo ke posko, nanti kita bisa telat. Duh jangan sampe deh kena omel Bang Junhoe, saya capek denger omelan bataknya!” seru Jihoon.

Hyunsuk hanya terkekeh, dengan santai berjalan di samping Jihoon sambil sesekali menimpali keluhan yang lebih muda.

Interaksi kecil itu secara tidak sengaja dilihat salah satu Caba, siapalagi kalau bukan Kim Junkyu.


Satu bulan pertama Jihoon habiskan untuk memantau Junkyu dari jauh. Hanya memantau sebab ia masih belum punya nyali yang cukup untuk menghampiri si Kim.

Menurut Jihoon, Junkyu banyak berubah.

Dengan proposi badan yang ideal serta wajah yang rupawan agaknya sudah sangat cukup untuk membuat Junkyu tampak mencolok daripada Caba lainnya.

Jihoon tidak tahu apa yang terjadi, tapi Junkyu yang ia kenal payah dalam olahraga kini berubah 180 derajat. Hasil yang mengejutkan, Junkyu tidak pernah lepas dari peringkat tiga besar saat latihan fisik.

Tidak hanya itu, Junkyu yang introvet yang malu-malu dengan orang asing kini terlihat mudah berbaur sehingga memiliki banyak teman. Semakin membuatnya terlihat berkilau.

Entahlah, tapi apapun itu Jihoon merasa bangga dengan perubahan positif Junkyu.

Meski begitu Jihoon tetap saja khawatir. Orang ketika tersenyum belum tentu benar tersenyum dari dalam hati, maksudnya kita tidak pernah tahu bagaimana kondisi seseorang sebenarnya.

Jihoon tidak tahu, tapi Jihoon yakin Junkyu tidak sepenuhnya baik-baik saja.

Siang ini Jihoon dapat tugas dadakan, memimpin latihan para Caba di lapangan dua. Jihoon ingin menolak, tapi ia tidak bisa membantah perintah senior. Ayolah, Jihoon belum siap bertemu secara langsung dengan Junkyu.

“Bang, saya nemenin aja ya.” kata Jihoon, menyengir lebar pada Seunghun salah satu rekan bintaranya. Satu angkatan tapi terpaut setahun lebih tua. Kebetulan hari ini ditugaskan bersama dengan Jihoon.

“Kenapa gitu?” tanya Seunghun heran.

Jihoon menggeleng dan mempersilahkan Seunghun mengambil alih komando. Sementara Seunghun memimpin latihan, Jihoon hanya mengawasi. Sesekali menegur Caba yang membuat kesalahan.

BRUKK!!

Di tengah lapangan tiba-tiba seseorang jatuh tersungkur memegangi kakinya. Dalam sedetik jadi pusat perhatian, Jihoon bergerak cepat menghampiri.

Terkejut. Ternyata Junkyu yang terjatuh.

“Dimana yang sakit?!” tanya Jihoon.

Junkyu tidak menjawab tapi menunjuk pada telapak kakinya. Tanpa aba-aba, Jihoon melepas sepatu hitam itu, mendapati kaki Junkyu yang kaku. Oh, kram ternyata.

“Luruskan kaki kamu,” titah Jihoon.

“Yang lain lanjutkan latihan!” perintah Seunghun, kini berdiri di sebelah Jihoon. “Kenapa?”

“Kram, Bang.” jawab Jihoon seraya menggoyang-goyangkan kaki Junkyu yang terangkat.

“Kamu gak pemanasan?” tanya Jihoon.

“Pemanasan, Senior.” Junkyu menjawab sambil sesekali merintih.

“Kenapa bisa kram gini?” tanya Seunghun langsung dijawab dengan gelengan kepala oleh Junkyu.

“Bawa ke unit kesehatan aja, Ji. Kayanya kramnya gak akan cepet hilang.” saran Seunghun.

Jihoon mengangguk dan melihat ke arah Junkyu. “Kamu masih bisa jalan?”

Junkyu mengangguk ragu.

“Oke. Ayo saya antar ke unit kesehatan.”

Pada akhirnya Junkyu dipapah Jihoon menuju unit kesehatan. Meski saling mengenal dengan baik keduanya hanya diam menutup mulut rapat-rapat.

Entah karena canggung, atau karena sekarang suasananya tak lagi sama seperti dulu.

“Duduk sini,” Jihoon mendudukan Junkyu di salah satu kursi di dalam unit kesehatan.

Sialnya, ruangan yang penuh alat medis sederhana itu kosong. Jihoon terpaksa harus mencari krim penghilang kram.

Setelah menemukan apa yang dicari Jihoon duduk di lantai dan meraih kaki Junkyu, menarik-narik jari kakinya. “Kerasa gak?”

“Tidak, Senior.” Junkyu menjawab dibarengi dengan gelengan kepala.

Jihoon mulai membaluri kaki Junkyu dengan krim penghilang kram. Awalnya mereka membiarkan keheningan menyelimuti keduanya, tapi lama-lama Jihoon merasa gerah.

“Apa kabar, Kyu?” akhirnya pertanyaan yang sebulan lalu ingin Jihoon tanyakan keluar dari mulutnya.

Junkyu mengalihkan pandangan ke samping, menghindari kontak mata Jihoon.

Melihat itu Jihoon tersenyum sedih. Menyadari kalau hubungan yang renggang tidak bisa kembali seperti semula dengan begitu saja.

“Gimana, udah baikan? Kram nya masih kerasa?”

“Lebih baik, terimakasih Senior!” sahut Junkyu.

Jihoon susah payah mempertahankan senyumnya, lantas berdiri tepat di depan Junkyu. Meyakinkan diri sekuat mungkin sampai akhirnya mengelus puncak kepala yang lebih muda.

“Saya gak tahu apa yang membawa kamu sampai ke sini, tapi selamat. Selamat kamu berhasil lolos dari tes yang sangat sulit.” kata Jihoon.

Ketika elusan di kepalanya tak lagi terasa Junkyu memberanikan diri mendongak, langsung bertemu tatap dengan mata sipit Jihoon.

Si Park tersenyum tulus, dari hati.

“Selamat datang, Calon Bintara Kim Junkyu.”


Dua hari setelah kejadian hari itu Jihoon mulai sibuk dengan pendidikannya.

Pendidikan resminya sebagai Bintara memang sudah selesai, tapi masih ada beberapa pendidikan tambahan seperti seminar atau pelatihan bagi para Sersan muda.

Kesibukan itu kembali mendistraksi Jihoon dari pikirannya tentang Junkyu. Yah, meskipun tidak sepenuhnya terdistraksi sebab yang dipikirkan tinggal di lingkungan yang sama sekarang.

Tidak menutup kemungkinan mereka akan bertemu secara tidak sengaja.

Seperti saat ini, Jihoon yang hendak pergi ke aula berpas-pasan dengan Junkyu di lobby asrama.

Dari jauh Jihoon bisa mengenali sosok Junkyu, tengah berbincang akrab dengan temannya.

Sampai ketika mereka berpas-pasan, Jihoon lebih dulu mengulas senyum. Sebab salah seorang teman Junkyu menyapa lebih dulu.

“Siang, Senior!”

Jihoon tersenyum ramah. “Siang juga..” dan berlalu begitu saja tanpa interaksi berlebih.

Ia sedang diburu waktu, hanya tidak ingin terlambat sampai ke aula.

Jihoon tidak tahu kalau Junkyu menghentikan langkah kakinya, berbalik badan hanya untuk menatap punggungnya.


Kantin Bintara adalah tempat umum. Di sini semua Bintara dengan berbagai pangkat berkumpul, termasuk para Caba.

Hari ini Junkyu mendatangi kantin lebih awal. Regunya berhasil menyelesaikan latihan lebih dulu sehingga bisa menerima waktu kosong. Berhubung lapar para Caba itu memutuskan pergi ke kantin.

Tidak sengaja Junkyu melihat Jihoon di meja sudut. Bercengkrama akrab dengan seorang Sersan Dua, rekan seangkatannya, yang Junkyu tahu bernama Choi Hyunsuk.

Satu tahun tidak bertemu, agaknya Junkyu sangsi, apakah Jihoon masih menganggapnya sebagai seorang sahabat. Sebab dari apa yang Junkyu lihat sekarang,

Jihoon sepertinya sudah menemukan yang lain.

Melihat bagaimana cara Jihoon menatap Hyunsuk, merangkul pundak yang lebih kecil, atau tertawa begitu lepas seolah tak punya beban...

Mengingatkan Junkyu dengan perlakuan Jihoon padanya.

“Jun, kok malah melamun??? Jadi makan gak?” tegur Jaehyuk, Caba yang ia kenal sejak hari pertama pendidikan.

“Oh, iya Jae.” Junkyu tersenyum sejenak, menerima uluran nampan makan dari Jaehyuk.

Sedikit demi sedikit Junkyu merasa aneh. Tidak terbiasa dengan rasa sesak di dalam dadanya.


Tengah malam, di bawah sinar purnama Junkyu masih memacu tungkai kakinya bergerak mengelilingi lapangan.

Semilir angin malam yang dinginnya sampai menusuk ke tulang seolah bukan jadi penghalang. Suasana memang dingin, tapi kepalanya terasa panas.

Di saat rekan-rekannya menikmati tidur nyenyak, Junkyu justru tak bisa menemukan kenyamanan di atas kasurnya. Dan berakhir di sini, berlari sendirian memutari lapangan besar.

Merasa jantungnya berdetak terlalu cepat, Junkyu memelankan ayunan kakinya.

Deja vu.

Sensasi yang Junkyu rasakan sangat tidak asing. Mengingatkannya pada struggle yang harus ia lewati untuk bisa berada di sini.

Butuh berbulan-bulan untuk Junkyu mengembalikan kondisi tubuhnya. Meski tidak bisa kembali seperti semula, Junkyu berusaha keras.

Sebab tekadnya telah lama bulat. Ia tidak bisa jauh dari Jihoon. Apapun yang terjadi ia harus berdiri di samping Jihoon.

Obsesi? Kalian boleh menganggapnya begitu, Junkyu yang terlalu terobsesi dengan Jihoon.

Tapi dari kacamata Junkyu, apa yang ia lakukan adalah bentuk usaha untuk selalu dekat dengan poros hidupnya.

Junkyu akan mengakui bahwa dirinya telah lama jatuh hati pada sosok Park Jihoon. Tidak tahu pasti sejak kapan ia punya rasa ini, itu tidak penting.

“Hahhhhh....”

Setelah putaran ke tujuh Junkyu menyerah. Kini berbaring di atas rumput lapangan, menatap sang purnama yang terhalang awan tipis.

Mulutnya tiba-tiba meloloskan sebuah tawa kecil. Agaknya menertawakan diri sendiri yang begitu nekat melewati batas, hanya untuk seorang Park Jihoon.

Lalu lihat sekarang, apa yang susah payah diperjuangkan kini menemukan yang baru. Artinya Junkyu sudah lama dilupakan.

Miris ya.

Iya, miris sekali.

“Bodoh sekali, Kim Junkyu.” hardiknya pada diri sendiri.

Junkyu meletakkan lengannya di atas wajah, membiarkan matanya terpejam barang sesaat.

Junkyu terlalu larut dengan pikirannya sendiri sampai tak menyadari ada orang lain bergerak masuk ke lapangan, kini terduduk di sampingnya.

Orang itu, Park Jihoon, hanya diam memandangi Junkyu yang masih memejamkan mata.

Pemuda empat belas maret itu melipat kaki di depan dada, lantas menyandarkan pipi di atas lutut. Dengan fokus yang masih terarah pada Junkyu, bibir si Park tanpa bisa ditahan tersenyum lebar.

Jihoon tidak pernah merasakan moodnya yang lebih baik lagi dari saat ini—setidaknya dalam jangka waktu setahun terakhir.

Junkyu yang tak tahan dengan dinginnya malam, memilih beranjak tapi justru terkejut ketika mendapati Jihoon duduk di sampingnya. Memandangnya begitu intens.

“S-senior...”

Senyum Jihoon merekah semakin lebar, tanpa aba-aba membuka tangannya lebar-lebar hanya untuk melingkari badan Junkyu.

Junkyu lagi-lagi terkejut, Jihoon tiba-tiba memeluknya dengan erat.

“Hai Kyu~” bahkan berbisik dengan suara pelan di daun telinganya.

Junkyu merinding.

Ini sungguhan Park Jihoon atau Park Jihoon jadi-jadian????!!!

Tapi merasakan bagaimana hangatnya pelukan Jihoon, Junkyu yakin ini sungguhan Jihoon.

“Jihoon...”

Pelukan terurai ketika Junkyu mendorong Jihoon. Meski sedikit kecewa, Jihoon tak bisa melunturkan senyum lebarnya.

“Hm? Kenapa?”

“Gu—saya minta maaf.,”

“Maaf? Buat apa?” bingung Jihoon.

“Semuanya. Maaf atas semua perkataan jahat saya, maaf, saya gak pernah bisa ngerti ka—”

“Yang lalu biar saja berlalu, dijadikan pelajaran untuk masa depan. Ya?” selak Jihoon, si Park merasa tidak ada gunanya membahas masa lalu.

Toh tidak akan ada yang berubah juga.

“Kamu, kenapa bisa sampai kesini?” tanya Jihoon tiba-tiba.

Agaknya aneh menggunakan saya-kamu mengingat mereka terlalu sering menggunakan gue-elu. Tapi setahun kebelakang Jihoon sudah terbiasa dengan saya-kamu.

“Nyusul Jihoon, apalagi?” jawab Junkyu.

“Jihoon gak perlu khawatir, saya nyusul kesini karena gak mau kehilangan sahabat—”

“Tapi seharusnya kamu gak sampai senekat ini kalau cuma karena gak mau kehilangan sahabat, kan?”

Junkyu menunduk memandangi rumput halus lapangan.

“Sejak dulu, Jihoon sudah jadi poros hidup saya. Gak ada Jihoon, saya sama saja seperti layang-layang tanpa tuan.”

“Maaf kalau Jihoon merasa risih, tapi saya mau bilang ini setidaknya walaupun hanya sekali. Saya—saya gak bisa hidup jauh dari Jihoon.”

“Satu tahun saya lewati tanpa Jihoon, rasanya tersiksa. Saya gak mau tersiksa makanya saya nyusul sampai ke sini.”

“Tapi kenapa??? Kenapa kamu harus senekat ini Kyu?” tanya Jihoon.

Junkyu mendengus. “Bukanya seharunya udah jelas? Saya sayang sama kamu, Park Jihoon.”

“Sayang sebagai teman, sahabat, juga sebagai laki-laki.”

“Maaf kalau kamu risih—”

“Saya gak risih.” selak Jihoon tersenyum begitu manis.

“S-syukur kalau Jihoon gak merasa risih—tapi, izinkan saya tetap jadi sahabat buat kamu ya, Jihoon? Seperti yang saya bilang, saya gak bisa jauh dari kamu.”

“Apa kamu bisa tahan kalau hanya sebagai sahabat?”

Pertanyaan dari Jihoon membuat Junkyu bingung.

“Tadi saya datang ke kamar kamu, tapi kamu gak ada, saya malah ketemu sama Jaehyuk, teman sekamar kamu.” cerita Jihoon.

“Jaehyuk tadi sempat mengeluh, katanya akhir-akhir ini kamu selalu memutar lagu Sewindu, setiap saat.”

Jihoon meraih dua tangan Junkyu, digenggam erat. “Maaf ya, Kyu. Saya selama ini gak pernah peka. Maaf selama ini saya mengabaikan perasaan kamu—”

“Iya. Gak apa-apa, Jihoon.” Junkyu menyela dan ikut mengulas senyum tipis. “Asal masih bisa bareng sama Jihoon, gak masalah, apapun itu saya bersyukur.”

“Mulai sekarang saya akan berusaha mengatur perasaan—”

“Kamu sudah berlari sejauh ini, yakin mau berhenti?” selak Jihoon.

Ah, Junkyu mulai paham kemana arah pembicaraan mereka.

“Agaknya saya gak punya kesempatan, kamu udah sama yang lain. Perasaan gak bisa dipaksa kan?”

Jihoon tertawa.

“Kamu salah paham, Kyu.”

“Hah?” Junkyu clueless.

Jihoon meredakan tawanya, dan bergerak maju ke depan. Meraih bibir Junkyu yang terasa dingin. Dikecup ringan.

“Gak apa-apa kalau kamu mau berhenti. Artinya, sudah saatnya untuk saya yang bergerak.”

“Jangan khawatir, kamu cukup diam di tempat. Saya yang akan datang padamu, Kim Junkyu.”

Satu kamar.

Juna pasti akan merasa biasa aja, kalau aja si Kevin gak asal ngomong yang enggak-enggak. Jadilah, sejak tadi Juna gak berhenti menggerutu dan mendumal.

“Masih aja, ngedumelin Kevin.” kata Jian. Cowok itu tengah duduk di pinggiran kasurnya, melipat jaket. “Kasian nanti kupingnya panas.”

“Biar aja, sekalian simulasi panas neraka.” cetus Juna sewot.

“Lagian lo harusnya gak perlu marah, toh gak ada apa-apa kan di antara kita?” ucap Jian, sekarang melihat ke arah Juna.

Juna mengalihkan pandangan, tak sengaja langsung bertatapan dengan mata sipit layaknya boba milik Jian. Mendelik begitu saja.

“Kenapa ngomong gitu?” tanya Juna.

“Ya abisnya lo keliatan sewot banget.” sahut Jian.

“Kan emang Kevin ngeselin.” sungut si Mahardika. “Elo jangan kegeeran, gua emang selalu kaya gini sama Kevin, ribut terus soalnya dia emang ngeselin.”

Gantian Jian yang mendelik. “Gue biasa aja tuh????”

Juna memutar bola matanya malas, lantas menghempas badan ke atas kasur. “Terserah.”

Aneh batin Jian, memilih mengangkat bahu acuh lalu mengambil handuk serta alat mandi yang tadi dia beli.

Badannya sudah terlalu gatal, dia perlu mandi segera mungkin.


Shittt!!”

Jian gak sengaja menjerit ketika handuk yang hendak dia gunakan justru jatuh, basah total.

Cowok kelahiran empat belas maret itu berdecak keras, “gimana coba ini gua ngelap badan?? Fuck!”

Karena Jian tipe yang gak nyaman kalau gak handukan, dia terpaksa menyembulkan kepala di celah pintu kamar mandi yang terbuka.

“Jun! Juna! Arjuna!” panggil Jian kemudian.

“Arjuna!!” kini mengeraskan suaranya saat tak mendapat balasan dari Juna. “Jun! Denger gak?!! Heh!”

Samar-samar Jian mendengar suara decakan keras, disusul dengan suara derap kaki yang sengaja dihentak kuat.

“Apa?!” Juna berdiri di depan pintu kamar mandi, dengan wajah mengkerut kesal. “Gue baru aja mau tidur!”

Sorry... handuk gue jatuh, basah total. Gue pinjem handuk lo dong...” pinta Jian dengan wajah memelas.

Juna mendelik. “Gue gak bawa handuk cadangan.”

“Handuk lo aja, nanti gue cuci!”

Juna diam menimbang. Handuk itu benda pribadi yang gak bisa sembarangan dipinjamkan gitu aja.

“Jun... gua bisa mati kedinginan ini.” kata Jian, Juna jadi menatap cowok itu. Melihat mulutnya mulai bergelatuk.

Mendesah kecil, Juna melengos pergi meninggalkan Jian yang melongo di tempat.

Sepertinya Juna gak akan kasih pinjam handuknya, dengan kesimpulan sepihak itu Jian hendak menutup pintu kamar mandi. Sudah pasrah kalau harus merelakan kausnya untuk dijadikan lap.

“Nih, jadi gak?” tapi suara Juna terdengar jelas.

Jian kembali menyembulkan kepalanya, ada Juna di depan pintu dengan handuk di tangannya.

“Buruan ambil, gue ngantuk!” seru Juna kemudian.

“Makasih, nanti gue cuci—”

“Gak usah dicuci nanti gak kering besok!” katanya sebelum melengos pergi.

Jian menutup pintu kamar mandi setelahnya. Buru-buru membalut tubuh dengan handuk milik Juna.

'Arjuna tuh gak bisa ditebak. Galak dan sensian tapi ternyata baik,' batin Jian selagi dia mengelap badan dengan handuk dan memakai pakaiannya.


'Faakkk gua malah gak bisa tidur sekarang!' batin Juna menjerit kesal.

Memang paling menyebalkan itu ketika nyaris terlelap tapi dipaksa sadar lagi, itu ngeselin banget kan!

Jadilah Juna sibuk mencari video lullaby di youtube, sebagai usaha mendapatkan kembali rasa kantuknya.

Ceklek!

Suara pintu kamar mandi yang terbuka diam-diam membuat Juna melirik, awalnya hanya melirik tapi mata bulatnya seketika membola.

'FAAKKK JIAN KELUAR KAMAR MANDI SHIRTLESS, ALIAS GAK PAKE BAJU, CUMA BOXERAN!!'

Sedetik terkejut, sedetik langsung mengalihkan pandangan. Gak mau ketahuan melihat badan putih polos itu.

“Jun, handuk lo gue jemur ya—”

“Iya terserah lo.” selak Juna.

Jian duduk di pinggiran kasur, meraih tas ranselnya, mencari kaus miliknya.

“Sengaja ya, biar masuk angin?” tanya Juna tiba-tiba.

Jian berhenti mencari kausnya. “Hah?” menoleh ke arah Juna.

“Baju lo kemana? Kenapa gak dipake?” tanya Juna.

“Jatoh di kamar mandi—”

“Ceroboh banget.” cetus Juna.

Jian hampir emosi kalo aja dia gak inget ini cowok udah kasih pinjem handuknya. “Gantungan di kamar mandinya gak bener, jatohan semua jadinya.” elak si Nataprawira.

“Oh.” Juna menarik selimut sampai sebatas dada, memilih melanjutkan menonton pada gawainya.

Jian berhasil menemukan kausnya, tapi ketika hendak dipakai gawainya bergetar, ada pesan singkat masuk.

Cowok itu jadi terdistraksi, melupakan bahwa dirinya belum sempat mengenakan kaus.

Di kasur yang lain lagi-lagi Juna mendecih, sebab ia tidak bisa menahan diri untuk tidak melirik. Memandang punggung lebar yang nampak kokoh itu.

'SHITT ARJUNA LO MIKIR APA HAH??!!'

Ya, entah gara-gara perkataan asal Kevin ditambah Jian yang seenaknya pamer badan, semalam suntuk Juna terpaksa membantin keras.


Karma does exit.

Karma datang pada Juna, pagi ini handuk baru miliknya—yang ia dapat setelah meminta pada staf hotel—terjatuh saat hendak digunakan.

“Anjinggg!!” umpat si Mahardika. Menatap miris handuk basah di tangannya.

Tidak punya pilihan, Juna terpaksa membuka pintu sedikit, mengintip keluar.

“Ji! Jian!”

Tidak seperti dirinya semalam, Jian langsung datang menghampiri meski dengan wajah bantalnya.

“Kenapa?” tanya Jian lengkap dengan suara serak dan beratnya, khas bangun tidur.

Juna terbatuk kecil. “Handuk gue jatuh dan basah. Pinjem handuk.”

Lagi, Jian tanpa mendebat pergi mengambil handuk dan kembali untuk menyerahkannya pada Juna.

“Nih,”

Thank's.”

Jian hanya mengangguk kecil dan melengos tanpa satu kata pun. Juna akhirnya memakai handuk pemberian Jian.

Sadar atau tidak, mereka sudah sharing handuk.

Gak tahu ke depannya bagaimana, kira-kira bakal sharing apa lagi?

Festival musik.

Sebelum pukul tujuh member Orenji telah siap berangkat ke vanue. Penampilan Juna sudah jauh lebih baik, setelah mandi tadi wajah pucatnya sedikit hilang digantikan dengan aura segar.

Berbeda dengan Juna yang kelihatan segar, Jian justru agak loyo.

“Ji, lo ikut mobil kita aja, jangan misah.” kata Yosi, menahan Jian yang hendak menghampiri sedan Camry miliknya.

Agaknya Yosi cukup peka saat menyadari aura loyo si Nataprawira.

“Emang muat?” tanya Jian balik.

“Muat, gue duduk bertiga di belakang bisa kok.” sahut Yosi sedikit menarik—tepatnya menuntun—yang lebih tua ke pintu penumpang samping kemudi.

“Biar Cak Kusnan yang nyetir, lo keliatan capek, Ji. Istirahat aja.” imbuh si pemuda Purnawijaya.

Jian hendak menolak tapi melihat Yosi dengan wajah kukuhnya, dia mau tak mau menurut. Masuk dan duduk dengan nyaman di kursi samping kemudi, lantas memejamkan mata.

Si leader Orenji tidak sepenuhnya salah, matanya memang sedikit lelah, menuntut minta diistirahatkan barang sejenak.

“Kak Juna, mau duduk dimana?”

Pertanyaan dari Mahesa membuat Juna terkejut, langsung mengerjap cepat saat menatap yang lebih mungil.

“Iya, kenapa Mahes?” Juna malah bertanya balik.

Mahesa mendelik. “Kak Juna mau duduk dimana?” terpaksa mengulang pertanyaan. “Kenapa berdiri di samping mobil gitu kaya orang-orangan sawah, aneh.”

“Ngeliatin apa sih?” imbuh Mahesa, penasaran.

“Oh engga, dibelakang aja.” jawab Juna, menyengir lebar lalu masuk ke dalam mobil.

“Duduk di tengah ya Jun,” niatnya mau duduk di kursi paling belakang, tapi gara-gara Yosi si Mahardika jadi berakhir di kursi tengah. Tepat di belakang kursi supir.

“Udah lengkap semua?” tanya Cak Kusnan.

Jian membuka matanya, lantas menoleh ke belakang dan dalam hati menghitung jumlah kepala di sana.

“Gak ada yang ketinggalan kan?” tanya Jian.

Dijawab gelengan kompak para member Orenji.

Jian terbatuk kecil sebelum kembali pada posisi awal. “Oke, berangkat sekarang Cak.” katanya serak.

Mobil mulai melaju keluar dari area hotel. Dan Jian sibuk berdeham, merasa tidak nyaman dengan tenggorokannya.

“Ekhem..,”

“Nih,” Jian merasakan pundaknya ditepuk, ketika menoleh dia melihat botol air mineral bersegel disodorkan padanya.

“Jaga-jaga kalo haus,” kata Juna. Iya, yang menyodorkan air mineral itu Juna.

Setelah mengucapkan makasih Juna kembali melihat ke depan. Memandangi sebentar botol di tangannya. Hanya sebentar sebab dia segera meneguk cairan itu hingga setengah tandas.

Tenggorokannya telah lebih baik setelah itu. Ingatkan Jian untuk mengucap terimakasih lagi pada Juna, sebab Jian bisa istirahat sejenak dengan nyaman selama perjalanan singkat menuju vanue.


Orenji berada di atas panggung sekarang. Membawakan lagu-lagu hits andalan mereka, membuat suasana festival semakin riuh.

Sadar atau tidak jumlah penonton bertambah signifikan. Selain karena jam manggung yang pas, karena ini Orenji. Band yang tengah naik daun.

Suasana tengah riuh sebab Juna sedang memilih penonton untuk di ajak naik ke panggung dan menyanyikan satu lagu bersama, sudah jadi kebiasaan Orenji setiap manggung sih.

Jian memantau dari backstage. Ketika lagu ketiga mulai dimainkan Jian menyadari kalau perutnya berbunyi nyaring. Baru teringat sejak sore dia belum makan apapun, terakhir dia hanya menerima roti yang Juna suapkan.

Jian terlalu sibuk mengingatkan member Orenji untuk makan tepat waktu, tapi dia sendiri sering melewatkan makan.

“Cak Kusnan!” tak kuat menahan lapar, akhirnya Jian menghampiri Cak Kusnan, supir yang kebetulan sengaja Jian ajak menonton di backstage.

“Kenapa, Mas?” tanya Cak Kusnan.

“Saya ijin keluar sebentar, tolong pantau mereka selama saya gak ada, bisa?” tanya Jian.

“Bisa Mas, bisa.”

“Makasih ya Cak Kusnan, nanti kalau ada sesuatu hubungi saya secepatnya.” kata Jian. “Saya balik lagi sebelum mereka selesai kok.”

“Iya Mas,”

Tapi setelah Orenji selesai manggung pun Jian belum kembali.

“Jian mana, Cak?” tanya Yosi, yang pertama menyadari ketidakadaan si manajer.

“Tadi ijin keluar sebentar, Mas Yosi. Tapi belum balik sampai sekarang.” jawab Cak Kusnan.

“Biar gue telpon—”

Kevin baru akan mengeluarkan gawainya untuk menghubungi Jian, tapi yang dicari justru datang dengan sendirinya.

“Udah selesai manggungnya?” tanya Jian.

“Lo darimana?” tanya Juna, menyela Yosi yang berniat menanyakan hal yang sama.

“Minimarket, beli roti.” Jian menjawab seraya menunjukkan kantung belanja ukuran kecil di tangannya.

Juna mendelik. “Gue gak mau roti. Gumoh.”

Jian menatap bingung, tapi langsung tertawa kecil. “Gue gak beli buat lo, gue beli buat sendiri.” katanya sukses membuat Juna menunduk malu.

“Ada teh apa nihhh???” celetuk Kevin, kepo.

“Pengen tau banget lo,” dijawab oleh Angkasa disertai dengan sikutan di perut. “Foto dulu ayok, tuh panitia ngajak foto.”

Juna bergerak lebih dulu menghampiri panitia acara, disusul member lain di belakang.

Dan Jian jadi relawan yang mengabadikan momen singkat itu.

“Sebelum balik ke hotel cari makan dulu dong,” rengek Mahesa.

“Mahes mau makan apa emangnya?” sahut Jian.

Mahes menoleh pada Jian. “Malem-malem gini enaknya makan nasi goreng gak sih?”

“Gak. Martabak enak banget ini.” celetuk Kevin.

Mahes menoleh pada Kevin. “Kita kan nyari makanan berat????”

“Batu tuh, berat.” celetuk Angkasa ikut-ikutan.

Mahes mendelik saat menoleh pada Angkasa. “Elo aja situ makan batu!” lantas memajukan bibirnya, lucu.

Jian yang memperhatikan interaksi itu tidak sanggup menahan gerakan tangannya, mengelus puncak kepala si Bramantyo. “Lucu banget sih, Mahesa.”

Mulut Mahes sudah terbuka hendak menyahut, tapi

“Cepetan deh cabut, gue laper!” cetus Juna, memilih menyeret Cak Kusnan untuk berjalan lebih dulu.

Lima orang lainnya saling melempar pandang barang sedetik, lalu menyusul dengan langkah santai.

Fuck!!” adalah kata pertama yang keluar dari mulut gue setelah membuka pintu kamar adik gue. Niat hati ingin mengambil barang yang ketinggalan tapi justru mendapati dua anak adam dengan keadaan bugil menggelepar di atas kasur.

“PARK JIHOON!!!”

Jihoon juga cowok-yang gue duga sebagai pacarnya-sibuk menarik selimut, berusaha menutupi tubuh polos mereka.

“Kak-”

“KESINI Gak boleh pacaran sebelum gue dapet pacar!

“Huftt!”

Jian tidak tahan untuk tidak menoleh, pasalnya sudah kebelasan kali Juna menghela napas berat. Jian jadi penasaran, ada apa dengan si vokalis kesayangan Orenji?

Sakit lagi kah?

“Kenapa?” tanya Jian akhirnya, kembali menatap ke depan. Menginjak pedal gas lebih dalam untuk mendahului mobil lainnya.

“Hah?” Juna membeo. “Apa?”

“Lo kenapa deh, dari tadi ngehela napas terus. Pusing lagi kah? Atau demam lo tiba-tiba balik?” tanya Jian lagi kali ini tanpa menoleh.

“Ah, enggak, cuma kepikiran hal random aja.” jawab Juna.

Jian tak merespon, tapi kepalanya diam-diam penasaran sendiri. Dia mikirin hal random apa deh kok sampe keliatan frustasi gitu batin si Nataprawira.

“Btw, Ji...” panggil Juna.

Jian berdeham sebagai respon. Entah dapat feeling dari mana dia tiba-tiba mengambil jalur lambat, entahlah, Jian hanya merasa Juna akan banyak berbicara makanya lebih baik dia mengambil jalur lambat untuk mengurangi resiko kecelakaan.

“Kenapa, Jun? Kok malah diem?” Jian sekali menoleh dan melirik, kerutan di atas dahinya mulai timbul. “Kalo beneran pusing, bilang aja.”

“Lima belas menit yang lalu kan gue baru aja minum obat, gak pusing kok!”

“Terus... mau ngomong apa?”

Diam lagi. Juna kembali menutup mulutnya rapat-rapat.

Karena tidak ada jawaban Jian akhirnya meraih botol mineral, tenggorokannya terasa kering.

“Ji, sebenernya gue...” saat Juna membuka mulut, Jian tengah membuka tutup botol air mineralnya.

“Lo kenapa?” potong Jian gak sabaran.

“Gue mau minta maaf, Ji.” kata Juna akhirnya. Melirik ke arah Jian yang baru selesai minum, menutup kembali botol minumnya.

“Minta maaf? Buat apa?” bingung Jian.

“Maaf karna bikin kerepotan hari ini, gara-gara gue lo jadi harus nyetir jauh gini kan.” jelas Juna.

“Gak perlu minta maaf sih, kan ini udah jadi kerjaan gue juga.”

“Kalo gitu gue mau bilang terimakasih deh,” sebelum Jian menyahut dengan kalimat yang sama, 'buat apa?', Juna segera menambahkan. “Kalo aja lo gak nekat masuk apart, mungkin aja gue mati karna demam.”

Jian terbatuk kecil. Tangannya mengusak pucuk rambutnya sendiri, salah tingkah sekaligus tidak tahu harus merespon bagaimana.

Kan, dia terkejut tiba-tiba banget Juna mengucap kata maaf dan terimakasih.

“Sama-sama...” Jian berdeham, menoleh sekilas dan tanpa sadar menepuk pundak lebar si Mahardika. “Lain kali kalau ada sesuatu jangan sungkan hubungin gue, ya?”

Juna mengangguk, langsung mengalihkan wajah ke jendela kamar.

Dengan puas menarik napas lega.


“Masih ada satu jam sebelum festival nya mulai,”

Jian melirik ke samping, melihat Juna yang menyandarkan kepala pada jendela. Matanya terbuka setengah, entah sadar atau tertidur.

Makanya Jian menjulurkan tangan. Mengusap dahi si Mahardika, berkeringat ternyata. Padahal AC mobil cukup dingin.

“Gak panas, tapi kok keringetan???” diam-diam Jian panik sendiri. Ini Juna pipinya beberapa kali ditepuk anaknya gak sadar. Jelas Jian panik.

deja vu

“Jun! Arjuna! Heh!”

“Hm?” Juna tersadar setelah hidungnya ditekan-tekan dengan bar-bar. “Apasih?!”

“Sumpah! Gue kira lo pingsan!” seru Jian.

“Gue tidur!”

“Tapi gue usap-usap jidat lo, diem aja tuh!”

Juna melotot. “Elo ngapain pake segala usap-usap jidat gue?!!”

“Gue cuma mau mastiin aja kalo demam lo beneran udah turun! Gak usah mikir macem-macem!” cetus Jian, agaknya risih dengan mata bulat yang menatapnya tajam itu.

“Dari tadi juga demamnya udah turun kali!” sungut Juna.

“Tapi lo keringetan tuh!” Jian menyodorkan tangannya, bekas keringat Juna yang ia usap masih membekas di sana. “Kalo pusing atau apapun itu kasih tau gue pliss!”

“Gue baik-baik aja, Jiandra!”

“Lo tuh—”

TINN!! TIINNN!! TINNN!

Dua orang di dalam sedan Camry sama-sama terkejut. Jian buru-buru kembali pada posisi awal, baru teringat kalau tadi mobilnya berhenti karena lampu merah.

Iya, beberapa saat lalu mereka sudah keluar dari tol.

“Kita ke hotel dulu. Elo gak bisa langsung manggung dengan kondisi berantakan kaya gitu.” jelas Jian.

Juna tidak menyahut tapi sibuk mengusap dahi dan wajahnya.

Mendadak kembali merasa pusing.

'Kenapa ya, apa karna kebanyakan tidur? Terus posisinya gak nyaman?' batin Juna.


Mesin mobil baru saja mati.

Mobil yang mengangkut manajer dan vokalis band Orenji itu berhenti di parkiran sebuah hotel ternama di Bandung.

Jian tengah memakai jaket tebalnya—jaga-jaga kalau cuaca di Bandung terasa dingin—ketika pintu samping kemudi dibuka oleh Juna.

Juna hendak keluar tapi kakinya tidak berpijak dengan benar, tubuh tinggi itu terhuyung, Jian menyadari hal kecil tersebut. Dengan refleks memegangi lengan Juna dari dalam mobil.

“Duh!” Jian meringis, merasakan sakit sebab pahanya yang dipaksa bergerak tadi sempat berbenturan dengan setir mobil.

Tapi fokusnya tetap pada punggung Juna. “Lo gak apa-apa?!!”

“I-iya...” jawab Juna sambil lalu, melepas pegangan Jian dan sengaja menyandarkan badannya pada body mobil.

“Diem disitu! Jangan banyak gerak!” titah Jian.

Si Nataprawira segera meraih barang-barang miliknya di dalam mobil. Menutup dan memastikan mobil pribadinya telah terkunci rapat, setelah itu menghampiri Juna yang menaikan tudung hoodienya.

“Nih pake,” Jian menyodorkan jaket tebal miliknya—kebetulan ada lebih di mobil.

“Gak usah—”

“Pake.”

Sadar Jian tidak bisa dibantah Juna terpaksa memakai jaket tebal itu.

“Pusing lagi kah?” tanya Jian.

“Dikit.” jawab Juna. “Kayanya kebanyakan tidur tadi.”

“Yaudah ayo masuk, yang lain nungguin.” Jian merangkul pundak Juna dengan erat.

“Ji—”

Baru akan berkomentar Jian lebih dulu melirik tajam. “Nurut aja, Arjuna.”

Juna mendengus. Dengan terpaksa menyeimbangi langkah kaki Jian masuk ke dalam area hotel.

Little did they didn't know, di ujung area parkir ada yang diam-diam mengambil gambar keduanya.


“Di malam tanpa lelap yang ke sekian kalinya, dua anak adam bertanya-tanya mengapa sulit untuk menunjukkan pada dunia bahwa mereka sedang jatuh cinta.”


I am waiting for you I’m at the same spot, at the same place

Junkyu terbangun dengan badan penuh keringat. Dadanya bergerak naik turun dengan cepat, agak tersengal saat mengatur napas. Telapak tangan besar itu bergerak naik mengusap wajah kasar lalu naik lagi hanya untuk mencengkeram anak rambutnya sendiri.

Kelopak matanya terpejam erat. Mulutnya meringis, bukan karena nyeri atas jambakan rambut, melainkan meratapi nasib buruknya sendiri.

Mimpi.

Itu mimpi buruk yang sama, yang selalu datang setiap kali Junkyu berusaha tidur dengan nyenyak. Mengganggu serta menghantui setiap malam Junkyu.

Setelah menghembuskan napas kencang—guna membuang sesak yang menyelimuti dada, Junkyu beranjak dari tempat paling nyaman miliknya. Dengan langkah gontai mendekati lemari pendingin bersama gelas yang ia dapat dari atas meja makan.

Ternyata dinginnya air tidak bisa menurunkan suhu badannya—yang entah sejak kapan mulai meningkat drastis.

“Ck,” ia berdecak sarkas lalu mulai meninju dadanya dengan tinjuan kecil.

Jantungnya mulai berdebar tidak normal, suhu tubuh yang makin naik, serta kepalanya yang mendadak pening—oh, Junkyu bisa gila jika terus seperti ini.

Obat. Iya, Junkyu butuh obat.

Benda kaca yang mudah pecah itu sengaja di taruh secara asal ke atas meja, tungkai kaki panjangnya kembali bergerak. Menghampiri meja nakas di sebelah layar tv.

Junkyu mulai membedah setiap laci, mencari obat yang ia butuhkan. Namun nihil. Yang ia dapat justru plastik obat yang sudah kosong tidak berisi.

“Hah!” mendengus kasar lalu mulai meruntuki kebodohan diri sendiri, itu yang Junkyu lakukan detik ini.

Nyuttt~~

Kepalanya bagai dihantam dengan benda tumpul keras-keras, Junkyu lantas terhuyung sampai dahi polos itu menubruk ujung nakas.

“S-sial...” geramnya tertahan.

Tak tahan, tanpa sempat dikendalikan sesuatu dalam dirinya tiba-tiba menyeruak dan mengambil alih. Badannya bergerak cepat ke arah jendela, membuka kasar lantas segera melompat turun tanpa pikir panjang.

SRAK!

Dua kaki Junkyu menapak tanah. Tampak tegak seolah melompat turun dari jendela lantai sepuluh bukanlah hal besar. Setelah itu badannya bergetar lembut, diiringi dengan bulu kuduknya yang mulai meremang hebat.

Junkyu mendecih lantas segera berlari kencang. Memasuki kawasan hutan lebat yang gelap. Berbekal sinar sang purnama Junkyu memincingkan mata dan mengerjap cepat, saat itu juga bola matanya berubah membiru.

Sebuah tanda bahwa ia tengah berada pada batasnya.

“Hahh...hahh...ha...a....”

Langkah kaki cepat dan seringan kapas itu mulai melambat, dan terus melambat sampai akhirnya tungkai kakinya berhenti berayun. Junkyu terkapar di tanah bergabung dengan daun serta batang kering pepohonan.

Mata birunya memandang sang purnama yang bersembunyi di balik awan tipis, tanpa sadar Junkyu mulai mengagumi langit malam yang penuh dengan bintang.

Malam yang indah tapi nahas ia justru berada di ambang batas hidupnya.

Di saat pandangannya mulai kabur, indra penciuman Junkyu samar-samar mencium aroma citrus yang bercampur dengan menthol. Makin dihirup aromanya semakin kuat seolah sumbernya tengah bergerak mendekat.

“Rupanya di sini...”

Junkyu terbelalak, agaknya kaget saat menyadari keberadaan orang lain. Pemuda tegap dengan surai coklat gelap—sumber dari aroma citrus bercampur menthol—tengah berdiri sejauh satu meter dengan mata yang menatap tajam.

“Kenapa, bisa sekarat begini sih?”

Yang ditanya tidak menjawab melainkan memejamkan mata erat, diam-diam mencoba menepis aroma citrus dan menthol yang semakin lama semakin menguat. Memenuhi rongga hidungnya.

“Jangan,” suara serak Junkyu mengudara ketika yang lain mulai melangkah mendekat.Tapi tak dihiraukan, sebab pemuda itu kini berjongkok di sampingnya.

Menjulurkan tangan guna mengelus pipinya dengan gerakan lembut. Bukan sekedar usapan belaka sebab Junkyu merasakan kehangatan berbalut sensasi aneh mulai menjalar dari pipinya.

Junkyu meringis, tahu betul apa yang ingin pemuda itu lakukan. “Jangan... biarkan saja aku mati.. di sini.”

Usapan di atas pipinya berhenti dan Junkyu merasa tangan itu menjauh dari pipinya. Junkyu sedikit kecewa, tapi ia pun bergeming dengan keputusannya sendiri.

Mati dengan sendirinya detik ini juga.

Tapi dewa berkehendak lain sebab usapan hangat pada pipinya digantikan dengan sentuhan lembut di atas bibirnya.

Bibir yang tampak pucat itu dikecup berkali-kali tanpa henti. Membangkitkan sensasi aneh penuh gelenyar yang menggelitik perut.

“Park Jihoon...” tangan Junkyu meraih wajah itu, mendorongnya hingga tercipta jarak sekian centi di antara ujung hidung satu sama lain.

Dua pasang mata itu saling menatap dengan arti tatapan yang berbeda.

Sebisa mungkin Junkyu menyembunyikan binar kesenangannya, sebab ini kali pertama ia bisa memandang iris coklat pekat itu dalam jarak sedekat ini. Setelah melewatkan dua kali purnama, akhirnya, Tuhan seperti memberi satu kesempatan terakhir sebelum ia mati.

Bertemu dengan sang pujaan hati.

“Ayo pulang...”

Tubuh Junkyu terangkat. Bagaikan karung beras ditaruh di atas pundak kokoh si pemuda Park.

Junkyu meringis kecil. “Tidak berubah ya, memangnya aku ini karung beras heh?”

Kekehan pelan keluar dari mulut si Park. “Kau itu berat, begini lebih baik.”

Diam sejenak.

Park Jihoon namanya. Laki-laki yang bertahta kuasa di hati Junkyu. Punya badan sekeras batu namun hati selembut kapas. Menyingkirkan fakta bahwa dia seorang alpha tunggal terikat, ada kalanya feromon yang menguar dari tubuhnya tercium manis bagaikan permen.

Beruntungnya hanya Kim Junkyu yang pernah mencium feromon manis si King Elder.

“Kau mau membawaku kemana?” tanya Junkyu di saat Jihoon hendak mengambil langkah menjauh dari tempat semula.

“Tentu saja pulang—”

“Aku bahkan tidak punya rumah untuk pulang.” Junkyu berdesis lirih, tangannya yang menjuntai tanpa diminta mencengkeram kemeja polos si Park.

“Kau punya,” genggaman tangan pada paha Junkyu mengerat. “Rumah tidak harus sebuah tempat. Akan aku tunjukan apa arti rumah yang sesungguhnya.”

Junkyu tidak bisa mengerti apa yang sedang dibicarakan sang King Elder, semakin lama pendengarannya berangsur memburuk. Ia hanya bisa mendengar secara putus-putus bagaikan sambungan telepon dengan jaringan yang buruk.

Mengesampingkan kepalanya yang kembali berdenyut pening, pandangannya ikut memburam. Menyadari berada pada ambang batas justru membuat senyum Junkyu mengembang lebar, terkekeh pelan.

Sebelum kesadaran si Kim benar-benar hilang feromon citrus dan menthol milik si Park tiba-tiba menguar hebat.

“Jangan... jangan sekarang. Kim Junkyu!”

Hal terakhir yang Junkyu ingat sebelum matanya terpejam adalah suara berat Jihoon yang menyerukan namanya.


I am in love with you, can’t you see my heart?

Hangat.

Adalah yang Junkyu rasakan ketika kesadarannya kembali. Bukan karena selimut tebal yang membungkus tubuh polosnya, melainkan karena sepasang tangan yang melingkar dengan erat.

Hangat dan panas ketika ia sadar kulitnya bersentuhan langsung dengan kulit lainnya, tanpa perantara apa pun.

Bola mata Junkyu membulat. Kaget, terkejut dan tercengang secara bersamaan. Tangannya bergetar saat menggapai wajah yang berhadapan dengannya, “Jihoon...” bahkan suara yang keluar dari mulutnya sama bergetar dengan tangannya.

Yang dipanggil mengulas senyum tipis, wajahnya terlihat sayu dan binar tatapnya seolah sarat akan lelah. Sangat bertolak belakang dengan yang Junkyu lihat pada awal pertemuan mereka tadi.

“Hmm?”

“Harusnya kau biarkan saja aku mati...” Junkyu meringsak maju, dengan sengaja menyembunyikan wajah pada leher panjang sang elder, menghirup aroma tubuh itu dalam-dalam. Menyadari bahwa feromon citrus dan menthol si Park tak lagi tercium.

Digantikan dengan feromon semanis permen kapas.

“Mana bisa, aku membiarkan separuh jiwaku mati?” suara serak dan berat itu terngiang di telinga Junkyu.

Junkyu tersenyum miris. “Tapi aku bukan lagi separuh jiwamu, Elder.” lalu rengkuhan tangannya pada badan sang alpha mengerat dengan sendirinya.

Jihoon menghela napas berat. Telapak tangannya bergerak naik, mengusap rambut bagian belakang si Kim. Gerakannya pelan dan lembut.

“Sekali telah bertahta, sampai mati pun akan terus bertahta.”

Sang Elder menarik diri, sengaja mendongakkan kepala Junkyu. Membiarkan dua pasang mata mereka saling menatap lalu meraih bilah bibir sang kasih, memulai permainan hati, healing.

Dulu sekali—jauh sebelum sang Elder mendapat gelarnya—mereka tidak lebih dari dua orang alpha yang saling memperebutkan hal yang sama. Gelar agung, King Elder.

Seperti namanya, King Elder adalah hierarki tertinggi di bawah Moon Goddes—dewa para serigala—dimana semua akan tunduk padanya.

Hanya ada satu King Elder pada setiap generasi, sebab King Elder hanya lahir dari pasangan alpha tunggal, yaitu male alpha x female alpha. Seharusnya hanya ada satu elder yang lahir pada generasi ini, tapi enam bulan sejak kelahiran elder pertama lahirlah elder kedua.

Mereka adalah Park Jihoon dan Kim Junkyu.

Dua alpha dengan kepribadian yang bertolak bekalang bagaikan air dan api, sangat berbeda, tidak cocok satu sama lain.

Sejak kecil keduanya tumbuh dalam ruang lingkup yang ambisius, terlebih si Kim, ayahnya mendorong sang putra dengan keras. Memberi peringatan bahwa gelar King Elder harus jatuh padanya.

Sesungguhnya Junkyu tidak tertarik dengan gelar agung tersebut, kepribadiannya yang tertutup membuatnya sadar bahwa dirinya tidak pandai kalau harus berhadapan dengan orang lain. Junkyu lebih senang berkelana ke alam bebas, menghabiskan waktunya untuk mengagumi alam semesta.

Tapi ayahnya yang keras membuat Junkyu terpaksa harus bersandiwara, menampilkan dirinya yang ambisius.

Lain lagi dengan Park Jihoon, anak yang lahir pada empat belas maret ini menikmati kompetisi yang tercipta di antara keduanya.

Sejak lahir Jihoon sering dikaitkan dengan elder yang lebih muda. Terpaut enam bulan, Jihoon diam-diam menghabiskan banyak waktu untuk memperhatikan si Kim. Mencari tahu bagaimana rupa wajah si Kim yang semakin hari semakin memukau, bagaimana sifat serta kebiasaan kecilnya, atau mencari tahu bagaimana perkembangan kemampuan yang lebih muda.

Terlalu banyak waktu yang Jihoon habiskan untuk memperhatikan Junkyu dari jauh, hingga kemudian ia sadar bahwa semua perhatiannya berkembang tanpa diminta.

That he's falling in love, with his rival.

Pagutan serta lumatan bibir tanpa nafsu itu terlepas sejenak. Jihoon menatap lekat Junkyu yang kini tersenyum samar. Sang elder ikut tersenyum dan menyambut pagutan bibir si Kim.

Pening mulai Junkyu rasakan saat feromon si elder kembali menguar, bercampur dengan feromon miliknya. Permen dan kopi. Perpaduan yang aneh memang, tapi keduanya tidak peduli.

Mereka hanya ingin melepas rindu—setelah dua purnama tak bertemu.

“Hhnnghh...”

Desahan halus keluar dari mulut yang lebih muda saat telapak tangan yang lebih tua menyentuh titik sensitif tubuhnya. Sang elder menggeram, tanda bahwa pergulatan keduanya dimulai.

Bersamaan dengan sentuhan lembut yang diikuti dengan desah halus, Junkyu kembali memikirkan masa lalu mereka.

“Hoi, Kim Junkyu!”

Yang dipanggil menoleh panik. “A-apa.. yang k-kau lakukanhh.. di-disini huh?”

Jihoon memiringkan kepala, alisnya terangkat sebelah. “Apa-apaan feromon kuat ini,..” perkataannya terputus sebab ia terbatuk kecil. “Kau rut?”

“P-pergi dari sini!” sergah Junkyu dengan napas memburu cepat, tungkai kakinya bergerak membawa tubuh beratnya menjauh. Memasuki sebuah gua tidak jauh dari sana.

“Mau pergi kemana?!” tapi lengannya tiba-tiba dicekal kuat, tubuh lemahnya jadi ikut tertarik hingga wajah penuh peluh si Kim sejajar dengan si Park. “Kau tahu tidak itu tempat apa?” tanya Jihoon kemudian.

Dibalas gelengan kepala oleh Junkyu.

“Bodoh, itu gua si maut sekali masuk ke sana kau tidak akan pernah bisa kembali.” dengan begitu Junkyu diseret menjauh dari mulut gua, dibawa pada sebuah pohon beringin yang rindang.

Sang purnama bersinar terang serta angin malam berhembus kencang tapi seluruh badan Junkyu terasa panas bagaikan bara api. Rasa sakit akibat rut akan terasa berkali-kali lipat jika terjadi saat purnama. Dan sialnya, Junkyu sudah mengalami hal ini sebanyak tiga kali.

“A-aku harus segera p-pergi dari sini.”

Cengkeraman tangan Jihoon terlepas, Junkyu sudah akan pergi tapi dia kalah cepat dengan yang lebih tua. Tubuh yang beberapa centi lebih tinggi itu kini bersandar pada pohon, dengan lengan kokoh Jihoon yang mengukung.

“A-apa..apaan!” Junkyu melotot.

Tapi Jihoon tetap pada raut wajah datarnya. “Biar kubantu,” katanya.

Junkyu mendelik tidak mengerti. “Apa?”

“Biar kubantu, selesaikan rutmu.”

Selanjutnya si Kim terbatuk hebat, sebab feromon elder lainnya tiba-tiba menguar, saling bertubrukan dengan feromon miliknya.

Junkyu pening. Semakin pening saat dia merasa ada bibir lain yang menyentuh bibirnya, atau tangan lain yang kini bergerak gerilya dibalik pakaiannya.

Umumnya hanya seorang omega yang dapat membantu seorang alpha ketika masa rut. Seharusnya begitu, apa yang dilakukan Jihoon tidak akan berdampak pada Junkyu. Tapi keanehan mulai terjadi.

Semakin lama dua bibir itu saling bercumbu, Junkyu menemukan rasa nyamannya. Pun lambat laun feromon kuat Jihoon bisa sedikit menenangkan dirinya.

Itulah awal kesalahan mereka dimulai.


Please don’t go far away because my tears are about to fall.

Pagi hari yang cerah bagi Junkyu yang terbangun dalam peluk hangat Jihoon.

Kepalanya tidak bersandar pada bantal, tapi pada lengan berotot milik si Park. Pun tubuhnya dipeluk erat dari belakang.

Junkyu meraih tangan kanan Jihoon yang bertengger di pinggangnya, sengaja memainkan jari-jari tangan besar itu. Sampai ia menyadari ada sebuah cincin emas melingkar indah di jari telunjuk sang elder.

Junkyu tersenyum miris. Ia mengangkat tangan besar itu untuk melihat lebih jelas pahatan nama disana. Cincin yang melambangkan status pernikahan dengan nama asing yang terpahat indah, Arraya Jeon.

Oh, jadi namanya Arraya Jeon, omega murni yang Moon Goddes pilihkan untuk sang King Elder.

“Kapan bangun?”

Suara berat yang berbisik tepat di daun telinganya jelas membuat Junkyu terkejut, refleks mencengkeram jari telunjuk sang elder.

“Huh.., baru saja.” Junkyu menjawab seadanya. Bola matanya memindai sekitar, menyadari bahwa sejak semalam mereka habiskan di dalam kamar milik si Park.

Jihoon berdeham pelan dengan tangan kanan yang kini menggenggam tangan Junkyu, sesekali memberi kecupan di atas pelipis si Kim.

Lunamu mungkin akan datang sebentar lagi,” kata Junkyu, berusaha melepas rangkulan tangan Jihoon pada pinggangnya. “Dia tidak boleh melihat kita dalam kondisi seperti ini.”

Junkyu beranjak bangun. Menyadari badan sekujur tubuhnya kini dipenuhi dengan bercak merah, mahakarya seorang Park Jihoon.

Yang membuat tanda ikut bangun, bersandar pada punggung kasur, memperhatikan Junkyu yang bergerak memakai pakaiannya dengan gerakan pelan. Lantas diam-diam tersenyum bangga dengan semua karya yang ia buat.

“Kau akan pergi?” tanya Jihoon tiba-tiba.

Junkyu yang telah selesai memasang hoodienya duduk di pinggiran kasur, menoleh dan mengulas senyum tipis saat kepalanya mengangguk. “Aku tidak punya alasan untuk tinggal lebih lama di sini,”

“Tapi ini rumahmu, Kyu.”

Junkyu menggelengkan kepala. “Tidak lagi, setelah mereka mengusir orang cacat sepertiku, Jihoon.”

Jihoon mendengus, dengan segera menggapai tangan bebas si Kim. “Mereka telah lama mati, tidak ada lagi yang berpikiran seperti itu padamu. Kumohon... pulanglah, Kyu.”

Tatapan keduanya bersiborok satu sama lain. Junkyu lagi-lagi mengulas senyum dan mengecup punggung tangan Jihoon.

“Sekali dibuang, sampah sepertiku tidak akan bisa kembali lagi.”

“Berhenti menyebut dirimu cacat atau sampah, 'cause you don't!” sentak Jihoon.

“Kau satu-satunya yang mengerti diriku, Ji. Tempat ini bukan lagi tempatku. Aku tidak bisa lagi tinggal di sini—”

“Semua sudah berubah, Kyu. Aku sudah merubah semuanya, untukmu, untuk kita!”

“Kau tahu, we don't have any happy ending here.” gantian Junkyu yang meraih tangan Jihoon, ia menunduk dan menunjuk cincin milik si Park. “And you're already create a new family, without me.”

“Tapi kau tahu dengan baik, my heart just fill with you.”

Menanggapi nada bicara putus asa itu Junkyu bergerak maju, memberikan satu ciuman manis untuk sang elder.

“Saatnya berpisah.” pagutan terputus saat Junkyu menjauhkan diri, beralih bangkit dan berjalan ke sudut kamar. Meletakkan sebuah kalung tanpa bandul ke atas meja rias.

“Bawa itu bersamamu.” kata Jihoon.

Junkyu menggeleng tegas.

“Bawa bersamamu, Kim Junkyu.” Jihoon mengulang titahnya, terpaksa mengeluarkan feromonnya yang kuat agar si Kim menurut.

Orang lain mungkin akan tunduk dan patuh, tapi berhubung Junkyu telah lama cacat feromon kuat itu tidak membawa dampak apapun baginya. Tidak jika untuk membuatnya menurut tanpa kehendak.

“Ini akan jadi yang terakhir kalinya kita bertemu, Ji.” jelas Junkyu. “Aku tidak akan membiarkanmu menemukanku lagi—”

“Kenapa?!” Junkyu terkesiap, memandang Jihoon yang mengusak rambutnya frustasi.

“Cukup aku yang berkorban, Jihoon.” yang lebih muda menarik tudung hoodie hingga menutupi kepalanya.

Mulut Jihoon sudah terbuka dengan niat hendak menyahut tapi suara derit pintu yang terbuka menginterupsinya. Dua orang di dalam kamar lantas menoleh secara bersamaan, mendapati seorang wanita berdiri di depan pintu yang terbuka.

“Oh,” agaknya si wanita terkejut saat mendapati wajah asing di dalam kamar sang suami.

“Halo...” sapa Junkyu tersenyum ramah dan berjalan mendekati wanita itu. “Saya Kim Junkyu,”

Raut terkejut si wanita kembali saat Junkyu menyebutkan namanya. Agaknya tidak percaya bahwa bahan pembicaraan orang-orang kini berdiri di depannya, tersenyum begitu rupawan, meskipun wajahnya terlihat agak pucat.

“Saya Arraya Jeon,” wanita bernama Arraya itu menunduk sedikit. “Senang bertemu denganmu, Junkyu.”

Senyum Junkyu bertambah lebar. “Saya harus segera pergi, ada urusan mendesak.”

Arraya telah mempersilahkan jalan untuk Junkyu lewati, pun Junkyu sudah bergerak melewati daun pintu. Sampai suara berat Jihoon terdengar menginterupsi.

I really love you, Kim Junkyu.”

Tidak hanya Junkyu yang terkejut dengan pengakuan tiba-tiba Jihoon, sang Luna terlihat jauh lebih terkejut. Apalagi ketika wanita itu melihat ke arah kasur, mendapati sang suami tengah duduk di pinggiran kasur.

Bertelanjang dada, dengan bercak merah di beberapa bagian tubuhnya.

Jihoon masih dengan ekspresi yang sama membalas tatapan mata sang istri. “My Luna...” panggilnya.

We share the same feeling, tapi kenapa dunia selalu melarang kami bersama?”

“Jihoon—”

“Kenapa Moon Goddess hanya memperbolehkan alpha dan omega bersatu?? Kenapa dua orang alpha tidak boleh saling mencintai??”

DEG!

Sang Luna jatuh terduduk, memegangi dadanya yang mendadak sesak sebab feromon kuat King Elder. Tidak hanya feromon yang semakin menguat, Jihoon sangat sadar bahwa jiwa alpha di dalam tubuhnya menggeram hendak mengambil alih.

Terbukti dengan bola matanya yang mulai berubah menjadi merah pekat.

“PARK JIHOON!”

Satu tamparan keras Junkyu layangkan. Berhasil membawa kembali kesadaran Jihoon yang sempat hilang, menyaksikan istrinya yang nyaris kehilangan napas.


Tahu apa yang paling menyakitkan?

Membiarkan pergi orang terkasih?

Melihat yang dicinta terpaksa berakhir dengan orang lain?

Atau menyerah dengan takdir tanpa sempat berjuang?

Semuanya sama-sama menyakitkan. Dan Jihoon juga Junkyu mengalami ketiga hal menyakitkan tersebut, dalam waktu yang sama.

Mungkin kalian berpikir kehidupan Jihoon—yang telah berhak atas status agung, King Elder—berjalan lebih baik dari pada Junkyu—yang harus terbuang bagaikan sampah—memilih berkelana tanpa tujuan. Mengasingkan diri.

Sejujurnya tidak ada yang lebih baik.

Keduanya sama-sama tersiksa oleh rindu yang semakin hari semakin membesar.

Jihoon yang berjuang mati-matian dalam merubah sistem kolot harus mendapat banyak kritikan keras, tapi dia tidak pernah menyerah. Hingga terpaksa mengambil jalan pintas, mengotori tangannya dengan noda darah para tetua kolot.

Merasa menemukan titik terang, saat itulah Jihoon berani mendatangi Junkyu. Rasa rindu yang membuncah di dada langsung buyar begitu tahu sang pujaan hati hampir mati karena diambang batas.

Karena kesalahannya, Junkyu berubah cacat.

Kalau tahu keinginan sesaatnya akan berujung fatal, saat itu Jihoon tidak akan membiarkan dirinya sendiri menandai Junkyu sebagai miliknya.

Karena proses marking itu kehilangan kemampuannya sebagai seorang alpha, berganti menjadi sangat bertergantungan padanya.

Junkyu tidak bisa hidup jika jauh dari Jihoon. Tapi keadaan memaksa Junkyu untuk pergi sejauh mungkin dari jangkauan si Elder.

Junkyu mengalah, memilih pergi dengan konsekuensi bisa mati kapan saja.

Di saat ia hampir mati, Jihoon datang. Menambah waktu hidupnya yang singkat.

Setelah malam itu berakhir, tepatnya pagi ini, Junkyu sudah bertekad akan benar-benar menghilang dari hidup Jihoon. Tapi sepertinya ia tidak perlu repot-repot menjemput maut, karena Jihoon akan langsung mengantarnya pergi menemui malaikat pencabut nyawa.

“J-jihoon...”

Di tengah kondisi kesulitan menarik napas, sebab lehernya dicekik begitu kuat, Junkyu tetap tersenyum. Menatap lurus pada wajah Jihoon yang sudah banjir akan air mata.

“A-aku...j-juga...me-mencintai-mu...”

Tahu apa yang paling menyakitkan?

Melepas pergi orang terkasih, dengan tanganmu sendiri.

Park Jihoon mengira dirinya bisa menyelamatkan Kim Junkyu, tapi yang ia lakukan justru mendorongnya jatuh ke dalam dasar jurang.

Sebuah ironi yang tragis.