TW // Harsh word, dirty talk, angry sex
.𖥔 ݁ ˖✮ ⋆ ˚。𖦹 ⋆。°✩.𖥔 ݁ ˖
Beneath the resplendent twilight sky, two souls long entwined in silent yearning finally unveil their hidden love, merging in a symphony of confessions that echo through the depths of their being.
.𖥔 ݁ ˖ ✮ ⋆ ˚。𖦹 ⋆。°✩.𖥔 ݁ ˖
Semenjak pagi, Jewe terlihat lebih tegang dari biasanya. Padahal Jewe adalah anggota Nirwana Rimba yang paling tenang dan santai saat di atas panggung. Namun tidak dengan hari ini, sebab ia akan tampil di hadapan teman-temannya.
Sebenarnya, teman-teman Kiming, Deka, Nyong, Hao pun hadir menonton untuk mendukung mereka, namun memang didominasi oleh teman Jewe.
“Hahaha kalem aja sih, kak.” Deka terkekeh melihat Jewe yang masih saja mondar-mandir seraya melakukan pemanasan vokal.
“Minum dulu, kak.” Kiming menyodorkan segelas air minum yang langsung ditenggak habis.
“We, awas nanti kebelet.” Peringatan dari Joshua. Hanya sebuah anggukan sebagai jawaban dari Jewe.
Mereka kini sudah berkumpul di apartemen Hao, termasuk Jun dan Jihoon, setelah latihan tadi siang.
Pukul 5 sore, akhirnya mereka semua pergi ke kampus untuk bersiap-siap terlebih dahulu dan melakukan briefing meskipun mereka tampil pukul 8 nanti malam.
“Bisa, kak. Santai aja.” Kiming menenangkan Jewe yang sedari tadi menghela nafasnya.
“Rambut gue gak aneh kan, ya?” Tanya Jewe. Secara refleks Kiming mengacak rambut Jewe.
“Cakep.” Jawaban Kiming sukses ciptakan semburat merah pada pipi Jewe, beruntung karena gelapnya malam samarkan ronanya.
“Guys, stand by, ya. Bentar lagi tampil.” Ucap Joshua.
Lagi-lagi Jewe menghela nafas panjang. Kiming merangkulnya. Tapi entahlah, mengapa keduanya merasa ada yang aneh. Degup jantung mereka kini melonjak naik. Saat kedua netra mereka tidak sengaja saling bersirobok, disitu juga ledekan-ledekan terdengar dan membuat Kiming segera melepas rangkulannya.
“Kan, udah mulai go public kan.” Sindir Nyong.
“Biarin aja biarin, abis ini juga ngelak lagi. Gitu aja terus sampe salah satunya ada yang jadian, nanti musuhan lagi, kita lagi yang kena sama Kak Josh.” Hao ikut menimpali.
“Bener kata Bang Nyong, harus dikunciin di kamar dulu biar skidipapap.” Celetuk Deka dan mendapat cubitan dari sang kekasih.
Tidak seperti biasanya, kedua pihak yang diledek tidak berkomentar. Diam-diam ada hati yang bergemuruh riuh yang harus ditenangkan.
Hingga akhirnya pemandu acara memanggil grup mereka dan kelimanya pun naik. Terdengar teriakan-teriakan memanggil nama Jewe dan yang lainnya. Sementara itu Jewe hanya tertawa dan mereka mulai dengan lagu pertama.
Kali ini mereka bawakan lima lagu, dan tentu saja lagu terbaru dibawakan terakhir. Sorak penuh semangat mengisi energi mereka. Jewe dan Kiming lantas mengambil mic.
“Udah siap lagu terakhir?” Tanya Jewe dan serempak menjawab 'belum'. Jewe tertawa karena antusiasme teman-temannya yang berada di barisan paling depan.
“Gak mau disadarin dari rasa denial, ya?” Lanjutnya lagi sementara teman satu grupnya hanya tertawa melihat Jewe yang santai berkomunikasi dengan teman-temannya.
“Oke, karena gue liat-liat banyak korban dari perasaannya sendiri, kita bakal bawain lagunya buat kalian.”
Dan musik pun mengalun diiringi dengan sorakan. Jewe mulai menyanyikan bait pertama dan semua orang ikut bernyanyi dengan tangan yang melambai. Para muda mudi terhanyut dengan melodi, saling bernyanyi lirih ikuti lirik.
Begitu juga dengan kedua vokalis yang kini tilik matanya penuh dengan afeksi yang tersembunyi di balik hati yang tanpa disadari sudah saling terkoneksi.
Keduanya resapi setiap frasa begitu khidmat, dengan segala rasa yang tersemat.
Hingga lagu selesai, keduanya dikembalikan pada dimensi dunia nyata dengan tepuk tangan yang meriah. Jewe dan Kiming memalingkan pandangan mereka dan menatap penonton yang riuh memanggil nama grup mereka.
“Selalu keren!” Apresiasi dari Joshua selalu menyambut mereka. Keenam lelaki itu berpelukan, kemudian memeluk kekasihnya masing-masing —tentunya kecuali Jewe dan Kiming yang sekarang mengeluh.
“Jajan dulu, ya! Jangan langsung pulang, please.” Pinta Jun karena sedari tadi ia menemani Hao yang juga gugup tampil di depan teman-temannya.
“Hahaha iya iya, gue juga mau jajan!” Joshua ikut menimpali.
“Kalian mau apa?” Tanya Joshua.
“Kak, titip minum, kak. Energi gue udah abis. Yang manis terus seger, ya. Makasih.” Pinta Jewe.
Sementara yang lain berburu makanan, Jewe pergi ke depan fakultasnya untuk merokok. Namun, ternyata ia lupa membawa pemantik. Jewe memanggil panitia yang kebetulan lewat dan meminjam pemantiknya hanya untuk menyalakan batang nikotin miliknya itu.
Jewe menunggu yang lain sambil duduk dan menyesap rokoknya, tak lama, Kiming datang dengan segelas minuman berwarna biru yang terlihat segar.
“Gue cariin, kirain masih di backstage.” Ucap Kiming sembari menyimpan minumannya di depan Jewe.
“Capek gue liat banyak orang, Ming.” Kekehan terdengar dari bibir Kiming, jawaban yang sangat Jewe.
“Udah lega, kak?” Tanya Kiming yang juga meminum minuman miliknya.
“Lega anjir. Gak ada salah kan, ya?”
“Gak ada sih, kak. Keren keren.” Kiming menepuk bahu Jewe.
“Udah jiper duluan aja gue, padahal emang gue selalu keren.” Kiming menatap Jewe sambil mengerutkan keningnya sementara Jewe tertawa.
“Kak, bagi sebat dong. Punya gue ketinggalan di apartemen Hao.”
“Gak modal lu.” Cibir Jewe namun ia tetap mengeluarkan rokoknya dan memberikan kepada Kiming.
“Hehehe, sekalian korek.”
“Gak ada korek, tadi gue pinjem ke temen gue.” Jawab Jewe sambil menyesap rokoknya. Kiming menyelipkan rokoknya di antara bibir, lantas mendekat ke arah Jewe hingga rokok mereka bersentuhan, Kiming menyesap batang nikotinnya hingga terlihat titik merah yang menandakan rokoknya menyala.
“Anjir ciuman!” Teriak Deka dan membuat keduanya tersedak. Beruntung rokok mereka tidak jatuh dan membakar celana.
“ANJING! Gue jadi keselek.” Umpat Kiming sambil menepuk-nepuk dadanya.
“Tolol banget, Deka.” Jewe segera meminum minumannya.
“Lagi ngapain sih lagian?” Kekeh Deka.
“Nyalain rokok, goblok.” Balas Kiming yang masih kesal.
“Lagian dari belakang kayak ciuman.” Jawab Deka santai.
“Otak lu ciuman mulu.” Kiming memukul bibir Deka sementara yang lain hanya tertawa.
“Udah jajannya?” Tanya Jewe.
“Udah! Gue kalap, banyak banget deh sponsornya.” Jawab Jun yang membawa berbagai macam makanan.
“Keren kan jurusan gue.” Ujar Jewe bangga.
“Jewe!” Refleks, semua orang disitu menoleh ke sumber suara, dan menemukan Lyana yang sedang berjalan menghampiri mereka.
“Eh, Ly. Kenapa?” Tanya Jewe dengan senyumnya.
“Mau keliling gak?” Ajak Lyana.
“Boleh kok.” Jewe segera bangkit dari duduknya dan mematikan rokoknya. Kemudian ia pamit sebentar kepada teman-temannya tanpa ia sadari jika ada sepasang mata yang menatap mereka tidak suka.
“Biasa aja liatinnya, coy.” Celetuk Nyong dengan mulut yang penuh.
“Susah sih dibilangin.” Ujar Hao.
“Gak apa-apa, yang. Kita udah bilangin berkali-kali.” Timpal Jun.
“Apa sih?” Kiming membalas sewot.
“Kalem dong, bang.” Deka ikut meledek. Namun Kiming tidak meresponnya lagi. Ia hanya menyesap rokoknya dengan perasaan kesal yang melanda.
20 menit berlalu, mereka memutuskan untuk pulang. Joshua menyuruh Kiming untuk mencari Jewe, karena mereka harus berpamitan dengan panitia.
Sembari menghela nafas, Kiming melangkahkan tungkainya mencari Jewe. Ia kelilingi semua stand makanan disana, namun tak kunjung temuka Jewe. Ketika Kiming berjalan di lorong sastra yang sepi, netranya menangkap adegan Jewe dan Lyana yang saling melumat. Lyana meremat bahu Jewe.
Ketika dilepasnya tautan bibir mereka untuk mengambil jeda bernafas selama beberapa sekon, Lyana kembali menarik tengkuk Jewe dan keduanya kembali saling memagut.
Gemuruh bisa dirasakan dalam dada Kiming. Tangannya mengepal, tidak suka dengan adegan yang sedang ia lihat. Kemudian Kiming melakukan hal yang sama seperti Jewe —menjatuhkan kunci motornya, hingga kedua insan yang saling bercumbu itu kaget dan melepas tautan bibir mereka.
“Ah... Eh, Kiming...” Lyana terlihat salah tingkah. Sementara Jewe hanya mengulum bibirnya dan berusaha terlihat tenang.
“Sorry ganggu. Gue tadi kaget aja.” Ujar Kiming sembari menatap Jewe dingin. “Tadi Kak Josh nyuruh gue nyari lu, soalnya kita mau ketemu panitianya dulu sebelum balik.” Lanjut Kiming.
“Oh... Iya.” Lyana menatap Jewe.
“Kamu juga pulang, We. Pasti kamu capek.” Lyana kembali berucap. Jewe menatapnya dan tersenyum, kemudian mengusap rambut Lyana.
“Mau dianterin pulangnya?” Tanya Jewe.
“Aku bawa mobil, We. Gak apa-apa kok.”
“Oke, hati-hati, ya, Ly. Sampe ketemu lagi, Ly.”
Lyana segera pergi dengan rasa malu yang masih bergejolak ketika bertatapan dengan Kiming. Setelah Lyana pergi, Jewe juga melangkah ke arah Kiming dengan ekspresi tenang.
“Bisa-bisanya gantian ketauan.” Kekeh Jewe. Namun Kiming sama sekali tidak tertawa mendengar ucapannya.
“Kok lu diem aja sih? Masuk angin lu?” Jewe masih mencoba untuk mencairkan suasana yang canggung.
Tidak mendapat jawaban, Jewe memilih untuk diam. Dalam hatinya, ia merasa ada perasaan bersalah dan takut...? Jewe bingung mengapa ia harus merasa seperti itu. Tapi di sisi lain, dia juga bingung, mengapa Kiming terlihat marah padanya sampai-sampai dia enggan berbicara.
“Lama banget.” Protes Deka.
“Maaf maaf, keasikan berduaan sama Lyana.” Jewe menggaruk tengkuknya. Sementara Kiming melengos begitu saja meninggalkan teman-temannya.
“Kenapa tuh, kak?” Bisik Hao. Sementara Jewe hanya mengangkat bahunya.
“Perasaan tadi baik-baik aja. Tapi pas tadi ketemu gue, udah ditekuk mukanya.” Jawab Jewe.
“Kegep ciuman sama Lyana?” Celetukan Joshua membuat Jewe membelalakan matanya.
“Bener?” Tanya Joshua yang juga ikut terbelalak.
“Kak? Anjir... Tadinya gue mau diem-diem aja, tapi gue gak bisa kontrol emosi gue gara-gara kaget.” Jawab Jewe.
“Oh, cemburu.” Balas Jun.
“Apaan cemburu?” Jewe kembali ke mode denial, meskipun jauh di lubuk hatinya, ia memang berharap jika Kiming cemburu.
“Gue yakin lu sama Kiming juga udah paham sama perasaan masing-masing sih, kak.” Hao yang bijak memberi komentar.
“Paham apa sih? Perasaan apaan lagi?”
“Kalau kalian berdua tuh saling suka, masa harus dikasih tau terus?” Jihoon ikut yang mendengar ikut menimpali.
“Gue—”
“Gak, kak. Lu tuh suka Kiming, gak usah ngeyel lagi.” Hao memotong ucapan Jewe yang semua orang sudah tau kalimat template yang akan diucapkan tiap kali ia dituduh menyukai Kiming.
“Lama banget sih.” Mereka yanh sedari tadi mengobrol, segera menatap Kiming yang terlihat kesal.
“Sabar.” Sahut Jewe. Sementara yang lain hanya saling bertatapan.
Setelah mereka bertemu dengan panitia, akhirnya mereka berpamitan dan kembali ke apartemen Hao. Kurang dari sepuluh menit, mereka sampai dan segera mengistirahatkan diri di atas sofa, ataupun lantai, asal tidak di kasur —Hao melarang keras.
“Laper gak sih?” Tanya Deka yang tertidur di atas paha Joshua.
“Asli sih, Ka. Tadi kita cuma makan cemilan, gak ada nasi.” Balas Nyong.
“Orang Indonesia banget, gak nasi gak makan.” Kekeh Jun.
“Mandi dulu kali ya baru kita makan?” Tanya Hao
“Makan dulu anjir, di luar yuk.” Ajak Nyong.
“Emang ada yang masih buka, ya, jam segini?” Tanya Jihoon.
“Ada, sayangku. Banyak kalau sekitar kampus, atau mau motoran juga hayu aku mah.”
“Motoran gak sih?” Ajak Jun.
“Kamu emang hobi keluyuran malem.” Hao mencubit hidung Jun.
“Ya udah ayok dah.”
“Gue tidur aja, ya. Capek.” Ucap Kiming.
“Lah tumben, biasanya paling semangat lu.”
“Males aja.”
“Mau titip gak, Ming?” Tawar Joshua.
“Gak usah, kak. Makasih.”
“Gue nyusul, ya. Sumpah gue gak bisa kalau gak mandi dulu.” Kali ini Jewe yang berbicara.
“Heran banget ada orang hobi mandi.” Celetuk Deka.
“Biar wangi lah.” Balas Jewe.
“Ya udah kita duluan, ya. Nanti kunci kasih ke Kak Jewe aja, ya, Ming.” Kiming hanya mengangguk.
Dan akhirnya hanya ada mereka berdua disana. Kiming menatap Jewe masih dengan tatapan dinginnya, sementara Jewe mengerutkan keningnya, heran. Apakah ia berbuat salah?
“Kenapa sih, Ming?” Tanya Jewe.
“Kenapa?”
“Lah gak tau.”
“Apa sih gak jelas, kak.”
Jewe tidak menanggapi dan melengos menuju tasnya yang ada di dekat sofa untuk mengambil handuknya. Namun, ia mendengar suara pintu kamar mandi yang ditutup. Kiming memakai kamar mandinya. Jewe menghela nafas.
5 menit, 10 menit, sampai 20 menit, Kiming belum juga keluar. Jewe segera mengetuk pintu kamar mandinya.
“Ming, ngapain sih? Mandi juga kagak.” Teriak Jewe dari luar kamar mandi. Tak ada balasan dari dalam kamar mandi.
“Ming, gak pingsan kan lu?” Jewe kembali mengetuk setelah 5 menit kemudian Kiming masih belum keluar. Namun setelahnya terdengar suara gejebur air tanda jika Kiming sedang mandi.
“Berisik.” Hanya itu yang diucapkan Kiming ketika ia keluar dari kamar mandi. Emosi Jewe mulai naik, namun ia memilih untuk diam dan segera mandi karena harus menyusul teman-temannya.
Sekitar 20 menit, akhirnya Jewe menyelesaikan mandinya. Saat ia berjalan di ruang tengah dengan kaos tanpa lengan. Ia menemukan ada Kiming disana, duduk diam memangku tangan. Ia hanya menggunakan kaos hitam yang menonjolkan otot-ototnya, dan membuat Jewe memalingkan wajahnya sebab tiba-tiba pipinya terasa panas. Jewe semprotkan parfumnya dan berhasil membuat Kiming mengalihkan perhatian menjadi tertuju kepadanya. Jewe pun menatap Kiming.
Ia bisa merasakan adanya tatapan marah pada kedua netra Kiming, tapi itu tidak membuat Jewe takut, ia malah semakin intens menatap Kiming dengan matanya yang kian sayu. Laki-laki yang lebih muda beranjak dari duduknya, Jewe tetap tidak melepas pandanganya dari segera pergerakan Kiming.
“Gue gak suka liatnya.” Setelah sepuluh menit hanya saling menatap sengit, Kiming akhirnya berbicara, sementara Jewe hanya merespon dengan menaikan sebelah alisnya.
“Gue gak suka lu ciuman sama Lyana.” Jewe masih tidak berbicara, dalam hatinya ada perasaan menang dan puas.
“Gue gak suka lu deket sama siapapun, gue gak suka. Paham gak sih lu?”
“Gak.” Kata pertama yang keluar dari Jewe dan berhasil membuat Kiming mendengus.
“Gue gak suka banget tiap lu cerita gebetan lu, kak. Gue benci tiap lu bawa gebetan lu tiap kita latihan. Gue gak suka lu deket sama orang lain.” Suara Kiming mulai meninggi. Jewe tetap bergeming, egonya terasa dipenuhi oleh pernyataan Kiming.
“Emang lu siapa? Kenapa juga gue harus ngikutin ucapan lu?” Tangan Kiming mengepal.
“Karena gue cemburu, anjing, kak!” Teriak Kiming. Jewe mendekat ke arah Kiming. Kepalanya sedikit mendongak karena perbedaan tinggi mereka.
“Kenapa cemburu?” Tanya Jewe setengah berbisik. Kiming mendengus kasar dan membuang wajahnya.
“Kenapa, Gyu?” Jewe menekan nada bicaranya, ada satu kalimat yang ingin Jewe dengar dari bibir Kiming secara langsung.
“Karena gue suka sama lu, kak!” Bentakan Kiming membuat senyum tipis Jewe tercipta, karena kalimat yang dia tunggu akhirnya terucap secara sadar oleh Kiming.
“Terus gue harus apa?” Kiming bungkam mendengar pertanyaan Jewe. Ada sebuah desperasi yang merundungnya, sebab ia berpikir jika ia salah telah mengakui perasaannya.
“Lupain aja, kak.”
“Kalau gue gak mau?”
“Apa sih mau lu, kak?”
“Mingyu, itu yang gue mau.”
Sekon selanjutnya, Kiming langsung menjatuhkan Jewe hingga berbaring di atas sofa. Kiming dengan rakusnya memagut bibir Jewe penuh nafsu. Ia melumat, menjilat, dan menggigit bibir Jewe, memberikan isyarat agar lelaki di bawahnya itu membuka mulut.
Kala Kiming mendapat apa yang ia mau, dengan lihai, ia menelusupkan lidahnya ke dalam mulut Jewe, pun sebaliknya. Lidah mereka saling melilit, sesekali dihisap dengan kuat sampai saliva menetes, entah milik siapa, tidak ada yang tau milik siapa, sebab pertarungan lidah mereka yang sengit benar-benar membuat saliva mereka berceceran di sekitar dagu.
Sampai Kiming melepas tautan mereka hingga benang transparan tercipta. Tentu saja tidak berhenti disitu, Kiming mengecup rahang tegas Jewe, turun ke lehernya yang beraroma cherry.
“Fuck, you smell so delicious.” Kiming menjilati leher Jewe. Sementara Jewe melenguh saat merasakan gigi taring Kiming menggigitnya, lantas menghisapnya dengan kuat hingga ia hanya bisa meremas bahu Kiming.
“Ming... Nanti ketauan yang lain.” Lenguh Jewe dengan netra yang terpejam.
“Jadi lu pengen gue berhenti?” Giliran Kiming yang menggoda Jewe, karena ia tau jika sebenarnya lelaki yang lebih tua itu menikmati segala aktivitasnya.
“Ng—nggak... Lanjutin.” Kimig tersenyum puas, lantas ia mengecupi seluruh leher Jewe dan membuat Jewe merinding sebab rasakan hembusan angin hangat dari nafas Kiming. Kemudian bibir tebal Kiming mengecupi tulang selangka Jewe yang diam-diam sering ia perhatikan ketika Jewe hanya menggunakan kaos tanpa lengan ketika sedang latihan.
Tanpa meminta izin, Kiming semakin turun, mengecupi puting Jewe yang masih terbalut kaos putihnya.
“Kiming— Gak... Jangan.” Sebuah kontradiksi ketika bibirnya ingin menolak, namun justru tubuhnya melengkung ke atas, tanda jika ia menikmati.
Kiming tidak mempedulikannya, ia menekan-nekan puting Jewe dengan ujung lidahnya dan membuat kaos Jewe menjadi basah hingga Kiming dapat melihat dengan samar puting yang menegang itu.
“Yakin mau gue berhenti, kak?” Tanya Kiming sambil mencubit dan memilin puting Jewe.
“No, please— Keep going.” Pinta Jewe yang sudah tidak peduli dengan segala pertanyaan perihal seksualitasnya.
Kiming menggesek puting Jewe dengan kukunya, membuat tubuh Jewe menggeliat di atas sofa, dengan tangan yang meremat surai Kiming.
“Kak, panggil nama gue.” Titah Kiming.
“Ming— Ahh...” Kiming menyentil puting Jewe dengan kuat sampai ia meringis dan refleks menjambak rambut Kiming.
“Yang bener.”
“Gyu— Mingyu.” Mingyu tersenyum puas dan melanjutkan kegiatannya. Ia gigit puting Wonwoo dan menggeseknya dengan gigi, lantas kembali menghisapnya dengan kuat hingga dada Wonwoo membusung.
Ketika Mingyu dengan rakusnya melahap dada Wonwoo, dengan sengaja, Wonwoo menggesekan lututnya dengan kejantanan Mingyu.
“You're already hard.“
“Anjing, kak. Ngilu.” Lenguh Mingyu saat Wonwoo semakin menggesekkan lututnya dengan penis milik Mingyu yang masih terbungkus boxernya.
Mingyu menahan kaki Wonwoo agar diam, kemudian ia melebarkannya dan menggesekan selangkangannya dengan milik Wonwoo.
“Ahh...” Lenguhan keluar bersamaan dari bibir mereka akibat friksi yang tercipta.
“Anjing, sange banget, kak.” Erang Mingyu sambil memijat-mijat penisnya sendiri.
“Buka, Gyu.” Giliran Wonwoo yang memberi titah.
“Serius?”
“Lu bilang lu sange.”
Meskipun merasa malu, Mingyu tetap melepas celananya dan membuat Wonwoo cukup terbelalak saat melihat ukuran Mingyu yang... Besar.
“Kak, kocokin.” Pinta Mingyu.
Wonwoo diam sejenak, baru kali ini ia mengocok penis orang lain, karena tentu saja sebelumnya ia hanya memberikan kenikmatan untuk dirinya sendiri.
Beberapa detik setelah berpikir, akhirnya Wonwoo memegang penis Mingyu dan mulai mengocoknya. “Is it good?” Wonwoo menatap Mingyu yang memejamkan matanya.
“Fucking good. Cepetin, kak.” Entah mengapa, Wonwoo sangat menuruti segala perkataan Mingyu. Tangannya bergerak makin cepat dan sesekali ia gesek lubang kencing Mingyu dengan kukunya yang sukses membuat lelaki yang lebih muda itu membanting kepala ke belakang dengan erangan penuh nikmat.
Melihat Mingyu, nafsu Wonwoo juga ikut naik. Ia bisa merasakan jika kejantan miliknya ikut menegang bahkan berkedut saat Mingyu menatapnya dengan tatapan sayu dan bibirnya yang terbuka.
“Sepongin, kak.” Wonwoo membelalakan matanya, tangannya juga berhenti.
“Gila, ya?”
“Iya.”
Wonwoo meneguk ludahnya, menatap penis Mingyu yang masih mengacung dengan gagahnya. Dadanya berdetak kencang karena ia melakukan ini untuk pertama kalinya.
Ketika Wonwoo masih bergelut dengan pikirannya, Mingyu menekan kepala Wonwoo hingga penisnya bersarang di mulutnya hinhga Wonwoo sedikit tersedak. Ada perasaan aneh yang mengusai ketika benda besar dan keras itu masuk ke mulutnya.
“Kak— Move your head.” Mingyu lagi-lagi memberi perintah dan Wonwoo mengikutnya.
Kepala Wonwoo bergerak naik turun, dibantu dengan satu tangannya yang mengocok penis Mingyu.
Bola mata Mingyu berputar, kepalanya bersandar pada sofa, tangannya meremas rambut Wonwoo. Semakin lama, ia dapat merasakan jika penisnya makin berkedut.
“Suck it.“
Wonwoo menghisap penis Mingyu dengan kuat sampai tubuh Mingyu bergetar dan akhirnya memuntahkan cairan putihnya dalam mulut Wonwoo.
“I didn't know if you were good at sucking, even better than my exes.” Sebuah komparasi yang entah mengapa membuat rona merah tercipta di pipi Wonwoo.
Mingyu kembali menidurkan Wonwoo di sofa, ia membuka celana Wonwoo dan melemparnya sembarang.
Untuk beberapa saat, Mingyu tertegun melihat betapa mulusnya tubuh Wonwoo. Sementara yang ditatap hanya bisa memalingkan wajahnya yang terasa semakin panas.
“You're painfully gorgeous.” Sebuah pujian kembali keluar dari bibir Mingyu.
“Gue masukin, ya, kak.”
Wonwoo langsung meremat lengan Mingyu. Ia menatap lelaki yang lebih muda, kemudian menggigit bibirnya. Masih ada rasa berkecamuk sebab lagi-lagi ia belum pernah menjadi pihak bottom karena selama ini ia tidak pernah berhubungan dengan pria.
“Gue?” Tanya Wonwoo.
Mingyu tidak menjawab, namun ia kembali ciptakan gesekan melalui penisnya ke lubang anal milik Wonwoo dan sukses membuat tubuh Wonwoo kembali melengkung.
“Mau?” Tanya Mingyu memastikan. Wonwoo meneguk salivanya.
“Slowly, this is my first time.” Cicit Wonwoo.
“Menurut lu gue bakal bisa pelan?”
Tanpa aba-aba, Mingyu menusukan setengah penisnya ke dalam anal Wonwoo dan sukses membuat Wonwoo menjerit kencang karena perih yang menyerang tubuh bagian bawahnya.
“Gyu... Pelan-pelan, please.” Rengek Wonwoo.
“Ahh! Kim Mingyu!” Jeritan Wonwoo semakin kencang kala Mingyu menghentak masuk seluruh penisnya. Air mata Wonwoo menetes karena seluruh tubuhnya terasa remuk.
“Gyu— Please, I beg you.” Wonwoo sedikit terisak.
“Sakit?” Tanya Mingyu sementara Wonwoo hanya mengangguk. “Itu yang gue rasain pas liat lu ciuman, kak. Sakit.” Mingyu kembali menghentak kejantanannya hingga tubuh Wonwoo bergetar.
“Gue gak suka liatnya. Paham gak?” Satu hentakan lagi.
Wonwoo meremat sofa sangat kuat. Air matanya tak berhenti keluar karena Mingyu yang lampiaskan amarahnya.
“Iya, paham, Mingyu. Please, udah, sakit banget, Gyu.” Semakin Wonwoo merengek, semakin kuat hentakannya.
“Janji dulu gak akan gitu lagi.” Mingyu menggerakan pinggulnya dengan penuh nafsu birahi dan amarah. Sementara Wonwoo hanya bisa pasrah sambil menangis.
“J—janji, Mingyu. Gak akan gitu lagi. Ahh— gak akan ciuman lagi sama yang lain.” Isak Wonwoo yang semakin kencang.
Mingyu yang egonya sudah terpenuhi lantas memperlambat temponya. Ia mendiamkan penisnya di dalam anal Wonwoo. Kemudian menundukan badannya dan melumat bibir Wonwoo dengan sangat lembut.
Sementara itu Wonwoo menggigit bibir Mingyu untuk melampiaskan sakitnya ketika Mingyu bergerak perlahan. Semakin lama, rasa sakit itu terkonversi dengan rasa nikmat. Isak tangis kini berubah menjadi lenguhan-lenguhan panjang.
“I'm sorry I hurt you.” Bisik Mingyu lembut, ia menghapus sisa-sisa air mata Wonwoo.
“Should I just stop?” Mingyu mendapat penolakan keras dari Wonwoo.
“Keep going, please. It's getting better.” Desahan Wonwoo membuat Mingyu tersenyum dan mempercepat ritme permainannya.
“Can I move faster?” Tanya Mingyu.
“Please.“
Mingyu semakin mempercepat genjotannya. Semakin lama, semakin dalam, bahkan suara kulit mereka yang saling beradu memenuhi ruang tengah apartemen itu berkolaborasi dengan melodi yang berbentuk dalam desahan erotis keduanya.
“Fuck, I don't know if fucking an ass will be this good.” Racau Mingyu.
“Gyu— I think I wanna cum.“
Mingyu mengangkat kedua kaki Jewe ke atas bahunya dan menyodok anal Wonwoo semakin dalam dan kuat, bahkan kedua testis mereka saling bertemu dan membuat keduanya bergetar.
Mingyu keluarkan setengah batang penisnya, sekon selanjutnya ia menghentak dengan sangat kuat hingga cairan putih milik Wonwoo keluar mengotori perutnya, sementara cairan Mingyu keluar di dalam anal Wonwoo.
“Anjing, enak banget, kak.”
Dengan mulut yang terbuka, keduanya berlomba untuk meraup oksigen sebanyak mungkin. Keduanya saling menatap sayu, wajah mereka sama-sama bersemu. Tangan Wonwoo bergerak untuk membelai pipi Mingyu, lantas rahangnya.
“Shit, you're so hot, till I can't resist asking you for another round.“
Mingyu menganggapnya sebagai sebuah jackpot, karena dirinya sendiri masih ingin membuat Wonwoo menjerit penuh rasa nikmat di bawah dominasinya. Sekejap, ia membuat Wonwoo terbangun dari posisi tidurnya dan terduduk di atas pangkuannya masih dengan penisnya yang bersarang sempurna dalam anal Wonwoo. Pergerakan itu tentu saja membuat keduanya kembali melenguh.
“As your ask, princess.” Mingyu membenamkan wajahnya di antara ceruk Wonwoo. Menghirup dalam-dalam aroma cherry yang seduktif.
Mingyu melepas satu-satunya fabrik yang digunakan Wonwoo; kaos putih yang bagian putingnya sudah basah karena saliva. Jemari Mingyu yang sedikit kasar karena frekuensi ia menekan senar gitar akhir-akhir ini membuat gesekan pada putingnya itu terasa semakin membangunkan gairah Wonwoo.
Satu tangan Mingyu mencengkram pinggang Wonwoo, dan ia cukup kaget sebab pinggang Wonwoo begitu ramping. “Your waist is perfectly wrapped in my grip.” Bisik Mingyu kemudian ia kecupi daun telinga Wonwoo yang membuat lelaki di pangkuannya itu menggeliat.
Tanpa ucapan apapun, Mingyu menghentak penisnya dan membuat Wonwoo meremas bahu Mingyu kuat.
“Move your hip.“
“Ahh... I have a request.*” Ucapannya terbata-bata sambil ia menggerakkan pinggulnya. “Pake Indo, Gyu. Do it in Bahasa.” Lanjut Wonwoo dan membuat Mingyu cukup kaget, namun tetap berhasil menyembunyikannya.
“You're hotter when you frontally cursing in Bahasa.” Pinta Wonwoo lagi.
“Are you also asking me to degrade you?“
“Yes... Yes, please. I beg you.“
“Jadi emang lu suka direndahin, ya, kak?” Wonwoo mengangguk dengan matanya yang menatap Mingyu penuh nafsu.
Tangan Mingyu bergerak, jemari-jemarinya membungkus leher Wonwoo dengan ibu jari dan leher yang menekan rahangnya.
“Selama ini lu gak bisa nemu enaknya ngewe sama cewek—” Mingyu menjeda kalimatnya, menghentak penisnya dengan kuat sampai kepala Wonwoo terbanting ke belakang.
“Karena lu lebih suka anal lu dikontolin, gitu?” Rintihan lain keluar dari bibir Wonwoo karena analnya yang ditusuk makin dalam oleh Mingyu.
“Jawab, kak. Jangan kayak orang tolol.” Mingyu semakin menekan rahang Wonwoo.
“I—iya, Mingyu.”
“Iya, apa?”
“Iya, gue lebih suka anal gue dikontolin sama lu.”
Wonwoo berhasil memberi makan ego Mingyu. Kedua tangan Mingyu kini berada di pinggang Wonwoo. Ia menghentak penisnya makin kuat hingga titik terdalam Wonwoo yang berhasil membuat tubuh Wonwoo melenting dengan jeritan-jeritan yang penuhi ruangan. Nafsu birahi suah membakar keduanya, bahkan ketika ponsel mereka berdering, mereka memilih untuk tidak peduli.
“Anjing, jangan diketatin, kak.” Mingyu bisa merasakan jika penisnya semakin terhimpit oleh dinding anal Wonwoo.
Pinggulnya bergerak maju mundur, menggoyangkannya dengan agresif hingga seluruh penis Mingyu dapat ia rasakan menyentuh prostatnya.
“Mingyu— besar banget.” Racau Wonwoo.
“Enak disodok kontol gini, kak?” Mingyu kembali menghentak, hingga cairan precum Wonwoo keluar.
“Fucking good.” Suara Wonwoo semakin serak.
Mingyu dekap pinggang Wonwoo hingga penis Wonwoo yang mengacung itu menggesek perutnya. Kaki Wonwoo ia kaitkan pada pinggangnya, sementara kakinya sendiri ia tekuk bersila, dan hal itu sukses membuat jeritan Wonwoo menggila sebab Mingyu bagai kerasukan, menyodok analnya lebih brutal. Sementara penisnya terus menggesek perut Mingyu yang bergelombang hasil gym setiap minggunya.
“Mingyu... Please, please suck my nipple.” Rengek Wonwoo.
“Bangsat lu binal banget, kak.”
“For you only.“
Dan Mingyu menjilati puting Wonwoo, menggeseknya, menariknya dengan gigi, lantas menghisap penuh nafsu. Tak lupa untuk tinggalkan jejak keunguan di sekitar dada Wonwoo.
Sementara Mingyu bekerja di dadanya, si lelaki yang duduk di atas semakin liar menggoyangkan pinggulnya. Bergerak maju mundur hingga naik turun dan ciptakan suara kulit yang menggema, beradu dengan desahan serak dari keduanya. Lengan besar Mingyu meremas bokong Wonwoo dengan kuat, memberinya tamparan keras hingga Wonwoo merintih. Semakin kuat tamparannya, semakin ketat dinding anal Wonwoo menjepit penis Mingyu.
“Gyu... Mingyu, kontol gue kedutan lagi.” Kalimatnya tersendat.
“Gampang banget lu keluarnya.”
“Ahh... Biasanya— ahh... Gak secepet ini.”
“Soalnya lu lebih suka diewe kontol, kak, daripada ngewe memek.”
“Anjing, gue sange banget. Mau keluar, Gyu—”
Mata yang tadinya tertutup kini menatap Mingyu kecewa sebab ia menghentikan permainannya. Sebuah rengekan keluar, bentuk dari desperasinya.
“Gyu... Kenapa berhenti? Gue udah mau keluar lagi, Gyu.” Rengek Wonwoo.
Seringai kecil menghias wajah Mingyu. Sambil memainkan puting Wonwoo yang sudah membengkak. Mingyu suka mendengar rengekan Wonwoo. Ia suka ketika Wonwoo menjadi sangat submisif dan meminta untuk mendominasinya.
“Beg me.“
“Mingyu— Tolong, genjotin lagi, gue mau keluar lagi, Gyu. Please, I beg you, I want you to wreck my anal.“
Persetan dengan gengsi, Wonwoo hanya ingin mencapai klimaksnya. Ia hanya ingin Mingyu membawanya terbang ke nirwana dengan hentakan-hentakan yang buatnya pusing dan memabukan. Namun, bukannya lanjut bergerak, Mingyu justru mencabut penisnya dari anal Wonwoo.
“Gyu, kok dica— Ahh...”
Belum selesai kalimat protes dilayangkan, Mingyu segera membungkam Wonwoo dengan tamparan pada pantatnya. Kini punggung Wonwoo menjadi pemandangan Mingyu. Ia gesekan kepala penisnya pada permukaan anal Wonwoo yang membuat lelaki yang sedang menungging itu bergetar.
“Cuma digesekin aja lu udah gemeteran gini, kak, gimana kalau gue ngehentak kayak gini—”
“Ahh! Mingyu...”
Satu hentakan yang sangat kuat hingga tubuh Wonwoo terdorong ke depan. Ia meremat sofa sebagai tumpuan agar ia tidak terjatuh, sekaligus untuknya lampiaskan rasa nikmat. Hentakan Mingyu kali ini tidak secepat sebelumnya, namun lebih dalam dan kuat sampai Wonwoo hanya bisa menjeritkan namanya. Kemudian ia kembali menggenjot anal Wonwoo dengan tempo cepat, dan kembali melambat. Genjotan acaknya itu sukses membuat lutut Wonwoo yang menjadi tumpuan badannya terasa bergetar.
“Anjing, kontol lu makin besar, Mingyu. Sesek banget.”
Mingyu menunduk hingga dadanya bersentuhan dengan punggung Wonwoo. Kedua kaki Wonwoo dihimpit oleh lutut Mingyu yang membuat penis Mingyu semakin dalam menyodok anal Wonwoo. Sementara tangannya kembali mencekik leher Wonwoo sambil ia kecupi daun telinganya dan membisikan segala kata kotor yang buat Wonwoo akhirnya mengeluarkan putihnya dan mengotori sofa milik Hao.
“Gyu... Gue udah keluar, lemes, Gyu—”
Bukannya berhenti, Mingyu justru semakin brutal menggerakan pinggulnya, menekannya hingga ke ujung. Ia dapat rasakan jika penisnya semakin membengkak di dalam anal Wonwoo. Genjotannya kini semakin acak, terkadang ia menggenjot pelan namun dalam, terkadang ia naikan kecepatannya, menambah friksi yang mampu membuat bola matanya bergulir.
“Ahh... Sebentar lagi, kak. Tahan, gue mau pejuin anal lu.”
“Mingyu— Ahh!” Mingyu kembali menekan rahang Wonwoo acap kali ia membuka suara.
Mingyu keluarkan setengah penisnya, menggenjotnya pelan, dan dalam sekali hentakan, ia bisa merasakan cairannya mulai keluar. Pinggulnya bergerak semakin tak karuan. Ia tarik tubuh Wonwoo yang sudah lemas hingga dada dan punggung mereka kembali bertemu. Lutut Wonwoo masih bergetar, namun Mingyu terus menghujani titik terdalamnya tanpa ampun. Mingyu kembali menghentak dengan sangat kuat hingga erangan panjang tak bisa tertahankan saat seluruh putihnya menyembur.
“Kak— Enak banget.”
Mingyu mendudukan dirinya tanpa melepas kontak, dan membuat Wonwoo duduk di atasnya dengan punggung polos Wonwoo yang jadi pemandangan Mingyu.
Sia-sia mandi mereka, sebab keringat yang menbuat tubuh mereka kembali lengket, bercampur dengan cairan keduanya. Belum lagi sofa Hao penuh dengan gurat-gurat jejak putihnya Wonwoo.
“Lu gila banget, Gyu.” Wonwoo masih dengan nafas yang tersengal dan mata yang terpejam.
“Gara-gara lu, kak.”
“Geli.”
Mingyu terkekeh mendengarnya. Ia mengecupi bahu Wonwoo hingga ke lehernya. Kemudian ia menarik dagu Wonwoo hingga mendongak. Lumatan pelan mereka bagi, hanya sebentar, sebab nafas mereka pun masih tersengal. Wonwoo menyandarkan punggungnya ke dada Mingyu.
“Gyu, sofanya Hao gimana?” Tanya Wonwoo masih dengan mata yang terpejam.
“Udah gak usah dipikirin dulu anjir. Gampang itu.”
“Bukan gitu... Nanti mereka tau dong kita ngewe?”
Mingyu yang tadi memejamkan mata langsung menatap Wonwoo yang ternyata matanya juga sudah terbuka dan menatap kosong ke atas.
“Kak... Jangan bilang abis kita ngewe gini lu masih denial?” Tanya Mingyu. Wonwoo meliriknya, ia dapat melihat ada sedikit kekhawatiran dari nada suara Mingyu.
“Loh, emang kita ngewe gini bukan karena lagi capek, ya?”
“Kak... Lu serius gak sih?”
“Ya serius lah. Kayak pertama kali kita ciuman juga itu gara-gara capek kan?”
Dari skala satu sampai sepuluh, nilai ketakutan Mingyu berada di angka maksimal. Ia takut jika Wonwoo memang hanya iseng melakukan ini semua semata-mata hanya untuk mengusir lelah. Mingyu takut Wonwoo akan kembali menjadi seseorang yang straight.
Mingyu takut jatuh seorang diri.
“Kak... Lu literally dari tadi minta gue ngewein lu, minta biar gue ngegenjot makin—”
Bibir Mingyu dibungkam oleh bibir Wonwoo, namun Mingyu segera melepasnya lagi.
“Kak, jangan gini, kak. Please bilang sama gue kalau lu becanda, kak.”
“Lu mau gue serius?”
“Iya.”
“Beg me.“
Mingyu menghela nafasnya. Ia mengacak rambutnya frustasi. Sementara Wonwoo hanya tertawa melihatnya.
“Iya iya, gue gak akan denial lagi.” Dan binar di mata Mingyu tercipta.
“Serius, kak?”
“Nanya gitu lagi, gue ciuman depan lu.”
“Gue konto—”
Lagi-lagi bibir Wonwoo menutup bibir Mingyu agar tidak berbicara kotor lagi. Bukan apa-apa, mereka bisa memasuki ronde tiga jika Mingyu terus memberi kata-kata tidak senonoh.
“Gara-gara lu, gue jadi keringetan lagi, percuma mandi sama pake parfum.”
“Masih wangi, kak.”
“Masa sih?”
“Wangi peju.”
“Mingyu!”
Lelaki yang lebih muda terkekeh dan kembali mengecup bibir Wonwoo.
“Anjir, sayang banget gue sama lu, kak.”
“Dih, baru juga ngewe sekali udah sayang. Gampangan, ya, lu?”
“Kalau gue ngatain lu gampangan, lu bakal turn on, ya, kak?”
“Mingyu!”
“Aduh gemes banget anjir. Dari dulu pengen bilang lu gemes tapi ketahan gengsi sama denial.”
“Emang manusia.”
“Satu lagi yang pengen gue bilang semenjak lu ganti warna rambut kemaren.”
“Apaan?”
“Cantik, kak.”
“Tai.” Umpat Wonwoo tapi dengan pipinya yang merona.
“Eh, ada satu lagi, kak.”
“Apa lagi sih?”
“I love you.“
“Hmm...”
“Dih, kok hm doang sih?”
Mingyu tidak tahu jika dada Wonwoo sekarang sebenarnya sedang berdebar kencang hingga ia tidak bisa mengeluarkan kalimat apapun untuk membalasnya.
“Bales kali.”
“Kata siapa gue love sama lu?”
“Gue lah.”
“Pede.”
“Bales dong, kak.”
“Beg me.“
“Please, kak.”
“I love you too.“
Sebuah kalimat yang sudah lama keduanya nanti, namun baru sempat terucap.