setetesmatcha

Kedua tungkai Zhanghao melangkah menuju ruangan sekretariat. Tangannya membawa dua buah buku milik Jiwoong.

“Kak...” Netranya memindai sekeliling, malas jika ada orang lain.

“Gak ada siapa-siapa kok.” Jiwoong paham betul apa yang dipikirkan sang mantannya yang malas basa-basi dengan orang lain itu.

“Masuk dulu aja, gerimis tuh.” Titah Jiwoong dan Zhanghao segera masuk ke dalam ruangan tersebut.

“Udah makan? Kelas dari jam 7 kan?” Tanya Jiwoong, sementara yang ditanya menatapnya beberapa saat dan tersenyum kecil.

You still remember my schedule.” Balas Zhanghao.

“Kita baru pisah dua bulan, masa aku udah lupa.” Jemari Jiwoong bergerak merapikan anak rambut Zhanghao yang sedikit basah karena gerimis.

“Jadi? Udah makan?”

“Belum, aku langsung kesini kan.”

“Mau pesen makan? Aku juga belum makan.”

Your treat, soalnya aku udah bawain buku kamu.” Jiwoong terkekeh mendengar ucapan Zhanghao, lantas tangannya mengacak surai sang mantan kekasih.

“Iya, mau makan apa?”

Delivery kan? Aku pengen soto aja, enak lagi hujan gini.”

“Oke, kalau gitu samain aja.”

Dan keduanya kembali diam sambil menunggu makanan mereka.

“Sini dong duduk sebelah aku.” Jiwoong menepuk ruang kosong di sebelahnya.

Dan seketika memori beberapa malam yang lalu terputar di kepalanya, saat ia dan Hanbin saling berbagi cumbu hingga kehabisan nafas. Saat ia dan Hanbin saling memanggil nama satu sama lain karena beepacu dengan nafsu. Dan saat ia dan Hanbin sama-sama merasakan puncak kepuasan bersama. Semuanya masih sangat jelas untuk Zhanghao.

“Hey? Kok ngelamun?”

“Ya?” Semua memorinya buyar.

“Kenapa ngelamun?” Jiwoong mengulang pertanyaannya.

“Laper.” Jawabnya asal dan membuat Jiwoong terkekeh.

“Sini duduk samping aku.” Lagi-lagi Jiwoong mengulang ucapannya.

Or you wanna sit on my lap?” Kedua bola matanya berputar mendengar pertanyaan Jiwoong.

“Kenapa? Kan biasanya suka.”

When we were still together.

How about last night?

You still want me, don't you?” Zhanghao melipat kedua tangannya sembari menatap tepat pada obsidian Jiwoong, sementara yang ditatap hanya tersenyum.

You always change the topic.” Jiwoong mendekat ke arah Zhanghao yang duduk di atas meja.

Keduanya kini berada pada jarak yang sangat dekat. Mereka beradu tatap cukup lama, hingga satu suara menginterupsi keduanya.

Sorry, ini makanan kalian?”

Netra Zhanghao sedikit membelo saat melihat sumber suara, namun detik selanjutnya ia mencoba untuk tetap tenang.

“Mana abangnya?” Tanya Zhanghao.

“Tadi di depan fakultas, kebetulan gue mau ke sekre, jadinya sekalian aja gue ambil.”

“Lu mau makan juga, Bin?” Giliran Jiwoong yang bertanya.

“Iya, Bang.”

“Ya udah bareng aja.”

Seketika hening. Hanya ada suara derasnya hujan yang mengisi kecanggungan di antara mereka bertiga. Bibir mereka terkatup rapat. Jiwoong menatap Hanbin, sementara Hanbin menatap Zhanghao yang juga menatapnya.

“Boleh.” Jawab Hanbin dengan senyumnya dan fokus yang tidak lepas dari Zhanghao.

Sementara satu lelaki yang tadi duduk di atas meja hanya diam tak bergeming. Kepalanya tiba-tiba tidak bisa berpikir dengan situasi sekarang.

“Hao? Gak akan turun?” Tanya Jiwoong.

“Ya?” Otaknya benar-benar alami disfungsi setiap Hanbin muncul di hadapannya.

Or do you want to be eaten?” Pertanyaan ambigu Jiwoong lagi-lagi membuat ketiganya hanya terdiam canggung.

Hanbin tersenyum, pun juga Jiwoong, hanya satu orang yang menjadi pusat perhatian yang tidak bisa tersenyum dengan situasi canggung ini.

“Kak? Gak akan turun? Beneran mau dimakan, ya?”

Seketika pandangan Jiwoong yang tadinya menatap Zhanghao, berpindah fokus pada Hanbin yang tersenyum.

Dalam sekejap, ruangan yang hanya terisi tiga orang itu terasa sesak. Hawanya terasa panas padahal cuaca sedang dingin-dinginnya sebab hujan deras.

“Bin, makanan kita udah datang be....lum?” Ada beberapa pasang netra yang menangkap kejadian canggung di antara tiga orang di dalam sana.

Zhanghao yang kesadarannya sudah kembali, segera turun dari meja dan duduk di atas kursi.

“Udah nih.” Jawab Hanbin.

“Oh... Udah ya... Makan dimana?” Jongwoo terlihat canggung juga saat melihat siapa saja yang ada di dalam.

“Disini aja, bareng-bareng yuk.” Kali ini Jiwoong yang membuka suara.

Dan akhirnya meja itu terisi oleh lima orang. Zhanghao yang sedari tadi hanya diam, Hanbin yang diam-diam memperhatikan Zhanghao, Jiwoong yang memperhatikan bagaimana Hanbin menatap Zhanghao, serta Jongwoo dan Seunghwan yang menatap ketiganya.

“Hujannya belum berhenti, ya?” Zhanghao membuka suara setelah semuanya selesai makan.

“Belum, dek.” Jawab Jiwoong.

“Mau pulang, kak?” Tanya Hanbin.

“Iya.”

“Mau dianter?”

Jiwoong dan Hanbin saling bertatapan. Sementara Hao diam-diam menikmatinya ketika keduanya bertanya secara bersamaan.

Lagi-lagi atmosfer dalam ruangan sekretariat itu terasa sesak dan mencekat tenggorokan hingga tidak ada yang berani bersuara.

“Tapi gue bawanya motor sih, kak. Kasian deh kalau lu kehujanan.”

Harapan yang sudah memupuk itu seketika dihempas begitu keras hingga Zhanghao hanya bisa menatap Hanbin dengan tatapan dinginnya yang sarat kekecewaan.

“Ya udah sama aku aja, aku bawa mobil. Sekarang aja, ayo.” Jiwoong langsung berdiri dari duduknya, sementara Zhanghao masih diam dan menatap Hanbin yang juga menatapnya.

“Nanti aja tunggu reda.” Jawaban Zhanghao membuat situasi semakin canggung.

“Kita duluan, ya.” Jongwoo yang sedari tadi menikmati pertunjukan di depannya itu akhirnya pamit, sebab merasa tensi disana semakin mencekik.

“Balik sekarang?” Tanya Hanbin.

“Iya, Bin. Duluan, yak. Bang Jiwoong, Kak Hao, duluan.” Dan Jongwoo serta Seunghwan keluar bersama walaupun sebenarnya mereka masih penasaran dengan pertunjukan dengan tiga pemeran utama itu.

Kini kembali hanya tersisa tiga orang di dalam sana yang justru malah membuat ruangan itu kembali menyesakkan.

“Mau pulang sama Abin?” Pertanyaan langsung dilempar saat hanya ada mereka sendiri.

“Kenapa nanya gitu?” Balas Hao.

You rejected my offer.

Hanbin belum berniat menginterupsi, membiarkan kedua orang di hadapannya untuk berbicara. Sedangkan Zhanghao mengerutkan keningnya.

Bukan, bukan dia tak mengerti dengan ucapan Jiwoong, justru dia bingung karena Jiwoong bisa mengerti jika ia memang menunggu Hanbin untuk menawarkan tebengan pulang lagi.

“Aku kan bilang kalau udah reda. Dari sini ke parkiran tuh jauh, aku gak mau kehujanan.” Bukan Zhanghao namanya jika ia tidak miliki alibi.

“Bin, mau anterin Hao?” Senyumnya terukir, lantas netranya melirik ke arah Zhanghao yang menatapnya dengan segala asa yang tersirat.

“Ya mau aja, Bang.” Jawab Hanbin.

Rahang Jiwoong sedikit mengeras, sementara Hanbin masih tersenyum dan Hao yang mengulum bibir untuk menahan senyumnya.

“Ya udah, hati-hati. Gue duluan.” Jiwoong melengang pergi.

Kini hanya tinggal Hanbin dan Zhanghao. Netra mereka menjadi fokus satu sama lain, seakan tidak ada hal yang lebih menarik dari presensi orang di hadapannya.

Lengkung bibir Hanbin masih disana, menghias bibirnya. Sementara lelaki yang lebih tua masih mengatup bibirnya dengan tatapan intens.

Sebenarnya ada banyak hal yang ingin ia tanyakan. Tentang mengapa Hanbin tidak mengirimnya pesan dan tentang mantan Hanbin yang Rui ucapkan.

Tapi... Haruskah ia bertanya? Kepalanya sibuk bergelut dengan hatinya. Masih ada ego yang ia pertahankan untuk tidak tanyakan hal itu.

Seems like there's something you want to say.

Why do you assume so?

“*Then, no?” Hanbin mengangkat sebelah alisnya dengan senyum yang semakin merekah. Sementara Zhanghao menggigit bibirnya, dilema.

Don't bite your lips, pretty.” Giliran Hao yang mengangkat sebelah alisnya dengan tangan yang menyilang di depan dada.

Why can't I? You also did it.” Zhanghao tersenyum sembari menatap Hanbin yang duduk. “On that sofa.

Sepertinya intensitas mereka saling bertatap mata dengan penuh gejolak hasrat akan selalu meningkat setiap keduanya ditinggal bersama.

Nafas yang semula tenang dan teratur menjadi bergemuruh. Kilatan mata

“Rui, balikin hoodie gu—”

Mematung saat kedua netranya bertemu dengan senyum yang beberapa hari ini penuhi tiap ruang di kepalanya.

“Hai, Kak.”

“Oh, ada lu.” Lelaki yang dipanggil kakak itu hanya menatapnya sekilas lantas alihkan fokus ke sahabatnya yang sedang tersenyum jahil sebab ia yang salah tingkah.

“Bin, tunggu dulu, ya. Hoodienya masih di laundry, gue ambil dulu.” Rui menatap Zhanghao yang saat ini menatap tajam padanya.

“Sama Hao dulu, ya. Kalian udah saling kenal kan.”

Hanbin melirik Zhanghao seraya tersenyum. “Udah kenal kok.” Balas Hanbin.

“Oke, gue turun dulu.”

Dan kala Rui melangkah menjauh dari mereka, seketika atmosfer berubah. Ada sebuah tensi yang bergejolak di antara dua insan yang hanya berdiri saling tatap.

“Mau masuk?” Akhirnya Zhanghao memutus keheningan sebab otaknya sudah mengirim sinyal bahaya ketika kedua matanya itu turun menatap bibir Hanbin.

“Boleh?”

“Makanya gue tawarin.” Hanbin tertawa mendengar jawaban Zhanghao yang terkesan acuh.

“Duduk aja.” Si pemilik kamar menarik kursi dari meja.

“Mau minum apa?” Tanya Zhanghao lagi saat Hanbin kembali menatapnya dengan senyum.

“Gak usah, kak. Gue sebentar juga kan.” Jawab Hanbin. Zhanghao mengedikan bahunya lantas memperhatikan Hanbin yang bajunya sedikit basah.

“Gue bikinin teh anget.”

“Ah, oke. Makasih, kak.”

Zhanghao tidak membalas, ia berjalan ke dapur bersama yang ada di ujung lorong. Ia mempertanyakan dirinya sendiri mengapa ia melakukan ini, bahkan saat Jiwoong dulu mampir ke kosnya, ia tidak pernah suguhkan minum, ia hanya memberi tahu mantannya itu jika ingin membuat minum, pergilah ke dapur di ujung lorong.

Hao segera kembali ke kamar setelah ia selesai buatkan chamomile tea untuk Hanbin.

Why are you smiling?” Tanya Zhanghao, sebab senyum itu sangat berbahaya baginya.

You know it's always good to see beautiful things and make me can't help but keep smiling.

Satu kosong.

I'm sure you know the feeling when you take a look at yourself in the mirror.

Dua kosong.

Zhanghao memutar bola matanya sebab ia tidak ingin terus menerus menatap bola mata legam milik Hanbin yang sukses ciptakan debar kencang.

“Lu selalu gini, ya?” Hanbin mengangkat kedua alisnya mendengar pertanyaan Hao.

Being a sweet mouth.

Senyum Hanbin makin merekah. Untuk beberapa saat, Hanbin hanya diam tidak menjawab pertanyaan Zhanghao, pun dengan Zhanghao, ia hanya diam, menunggu jawaban Hanbin.

Lagi, bibir mereka terkatup rapat. Hanya ada suara detik jarum jam yang diiringi dengan pendingin ruangan menggema di dalam kamar itu.

Sejak pertemuan pertama atau lebih tepatnya obrolan pertama mereka di acara welcoming party, keduanya lebih sering bertukar tatap untuk berkomunikasi, dan setiap bola mata mereka merefleksikan bayangan masing-masing, selalu ada nafas yang berderu, debar jantung yang berpacu, pun hasrat yang berseru.

Seperti saat ini, apalagi kala Hanbin mencondongkan badannya kepada Zhanghao yang terduduk di kasur. Hingga keduanya bisa rasakan nafas satu sama lain, Zhanghao menatap bibir Hanbin yang ukirkan senyum.

I bet you know it more than myself, you tasted it before.

Tiga kosong dengan kemenangan telak di tangan Hanbin.

Kala jarum jam tunjuk angka tujuh, acara welcoming party untuk sambut mahasiswa baru dimulai. Meskipun begitu, ada banyak kakak tingkat yang datang; salah satunya Hanbin.

Lelaki itu kini berada di tengah kerumunan baik mahasiswa baru, teman satu angkatan, pun kakak tingkat. Ya, begitulah Hanbin, si people's people.

Di lain sudut, ada seorang lelaki di tahun ketiganya yang sedang menyesap minuman bersoda sendirian dengan netra yang tertuju pada sesosok laki-laki lain yang sedang mengobrol dengan lelaki asing, dan saat itu, kedua mata Hanbin menangkapnya.

Hanbin menatap Zhanghao yang sedang memperhatikan Jiwoong dan Matthew yang sedang tenggelam dalam obrolan.

“Gue samperin temen gue dulu, ya.” Hanbin pamit sambil tersenyum.

Kakinya membawa ia melangkah mendekati lelaki yang sedari tadi menjadi fokusnya.

“Boleh gabung?” Hanbin tersenyum, senyum andalannya yang biasanya mampu membuat lawan bicaranya salah tingkah.

“Iya.”

Hanbin tak begitu kaget saat Zhanghao hanya membalasnya singkat bahkan melirik pun hanya sedetik. Ia sudah tau konsekuensi ketika ia bertekad untuk mendekati kakak tingkatnya itu.

Hanbin masih terus memperhatikan Zhanghao yang fokusnya tidak terlepas dari sosok sang mantan.

“Panas nanti punggungnya Bang Jiwoong diliatin segitunya, kak.”

Berhasil, Zhanghao alihkan perhatiannya pada Hanbin.

“Gue gak ngeliatin dia.” Zhanghao mendelik lantas meminum sodanya. Hanbin lagi-lagi tersenyum.

“Oh, nggak, ya.” Hanbin ikut meminum minumannya.

“Tumben ikutan, kak.” Hanbin membuka obrolan.

“Diajak Rui.”

“Terus ditinggal sendirian, kak?” Zhanghao hanya anggukan kepalanya sebagai jawaban.

“Kenapa gak ikutan ngumpul?” Tanya Hanbin lagi.

“Capek.”

“Batre sosial lu tinggal berapa persen, kak?” Canda Hanbin.

“Sisa 20%.” Lagi, Hanbin terkekeh.

“Cepet banget abisnya? Padahal baru sejam dimulai loh, kak.” Balas Hanbin sembari melihat jamnya yang tunjukkan pukul delapan.

“Dari awal berangkat juga batrenya gak penuh. Cuma mikirin bakalan banyak orang aja udah berkurang 30%.”

“Se-introvert itu?”

“Yep.”

“Mau keluar dulu?”

“Kemana?”

“Ke tempat yang sepi.” Jawab Hanbin dengan senyumnya, sementara Zhanghao menaikkan sebelah alisnya.

“Tempat sepi? Mau apa?” Tebak saja apa yang dipikirkan Zhanghao. Sementara Hanbin terdiam beberapa saat, masih dengan senyumnya.

“Istirahat, emang mau apa lagi, kak?” Dan Hanbin cukup mengerti apa yang dipikirkan oleh Zhanghao.

Dan Zhanghao tidak bodoh untuk mengetahui intensi Hanbin; menggodanya. Maka Zhanghao ikuti arah permainannya. Ia sudah tidak tertarik dengan mantannya itu.

What can I call you?” Tanya Zhanghao dan menciptakan senyum lebar di bibir Hanbin.

“Hanbin, kak.” Jawab lelaki yang lebih muda.

“Oke, Hanbin. Gue Zhanghao.”

I bet everyone knows your name.

But I myself don't know.

Really?” Hanbin mengangkat kedua alisnya, dan Zhanghao tertawa kecil hingga sukses membuat jantung Hanbin melompat dari tempatnya.

Well, I bet not everyone knows me, but mostly people know me. I know it sounds self-centered.” Zhanghao tersenyum dan membuat Hanbin mati-matian agar tidak mengecup bibir merona itu.

Perhaps mind center is more accurate.” Hanbin menjawab dengan santai, dan Zhanghao semakin paham jika lawan mainnya ini seru untuk diajak bermain-main. Maka ia langkahkan kakinya hingga kedua ujung sepatu mereka bersentuhan.

Mind or mine?” Seulas senyum tercipta di bibir Zhanghao. Kedua matanya tidak melepas kontak dari netra legam Hanbin. Namun sepertinya Zhanghao tidak tau jika lawannya ini sama tangguhnya dengan dirinya, bahkan bisa menjadi lebih berbahaya, seperti saat ini, ketika Hanbin mencondongkan badannya sedikit hingga bibirnya sejajar dengan indra pendengar Zhanghao.

My mind.

Zhanghao akui (dalam hatinya) jika Hanbin cukup membuatnya berdebar dan ia bersemangat untuk melanjutkan permainan mereka.

Well, who doesn't?” Mendengar jawaban Zhanghao, Hanbin tertawa. Persentasenya untuk mendekati Zhanghao semakin naik sebab respon si kakak yang tak mudah terjatuh pada ucapannya.

You're right. This pretty eyes, high bridge nose, and...” Hanbin memindai wajah Zhanghao, dari matanya, hidung mancungnya dan ranum merah muda yang sedari tadi membuat Hanbin sulit fokus.

And?” Satu alis Zhanghao terangkat, ia tau jika Hanbin akan menjawab bibirnya ketika kedua matanya menatap jika pandangan Hanbin tertuju pada bibirnya.

Tapi, kata selanjutnya membuat mata Zhanghao sedikit membulat, dan kedua alisnya terangkat.

Your under eyes mole.

Zhanghao semakin kaget lagi saat ia rasakan jemari Hanbin yang mengusap mole yang berada di bawah matanya itu.

Tapi bukan Zhanghao jika ia tidak membalas. Ketika Hanbin memutuskan untuk menyentuhnya, maka Zhanghao juga sudah putuskan jika ia harus naikkan level permainannya.

Nice tattoos, anyway.

Hanbin merasa seluruh bulunya berdiri saat jemari Zhanghao secara perlahan menari di atas tato yang berada di tulang selangkanya.

Seketika riuh yang menggema seakan perlahan senyap. Hanya ada suara detak bertarung dengan detik. Nafas mereka sama-sama berpacu. Bola mata keduanya merefleksikan bayangan masing-masing sebab jarak mereka yang berdekatan. Kontak mata mereka terlepas ketika Hanbin lagi-lagi menatap bibir Zhanghao, dan tentu saja si kakak menyadarinya lantas tersenyum.

Senyum itu tertangkap oleh kedua sorot Hanbin, dan ia kembali menatap mata Zhanghao, meminta izin.

I'm not an exhibitionist.

Setelah kalimat itu keluar, Hanbin menarik Zhanghao keluar dari ruang aula, lantas memasuki lift secara tergesa. Jika tidak ada CCTV, mungkin adegan lumat melumat akan terjadi di dalam sana, namun mereka masih miliki akal untuk tidak melakukannya.

Maka Hanbin membawa Zhanghao memasuki ruang sekretariat himpunan yang kuncinya ia pegang.

“Boleh?” Bukan Hanbin jika ia tidak meminta izin.

I think it's enough to holding yourself for one hours.” Satu kalimat itu sudah cukup untuk Hanbin mendekap pinggang Zhanghao, sementara satu tangan lainnya ia gunakan untuk mengunci pintu agar aktivitas mereka tidak ada yang mengganggu.

Keduanya memejamkan mata, dengan khidmat melumat bibir satu sama lain. Hanbin bisa merasakan manis dari bibir Zhanghao yang berasal dari soda yang tadi diminumnya dan sedikit rasa stroberi yang menurut tebakan Hanbin berasal dari lipbalm yang digunakan Zhanghao.

Tangan Hanbin dengan lihainya mengusap pinggang ramping Zhanghao, merematnya perlahan saat lidah mereka saling melilit, dan kembali mengusap pinggangnya kala ia hisap bibir manis itu.

Sementara Zhanghao mengalungkan tangannya di leher Hanbin, meremas bahu yang lebih muda saat ujung lidah Hanbin bermain menggelitik langit-langit mulutnya, dan mengusap punggungnya saat bibir dihisap kuat.

Hanbin melepas tautan mereka untuk mengambil nafas. Hidung bangir mereka masih saling bersentuhan. Bahkan mereka bisa merasakan nafas mereka berhembus menyapu kulit mereka masing-masing.

Kedua mata mereka saling menatap sayu. Hanbin mengusap mole Zhanghao dengan sangat lembut, lantas ia mengecupnya. Kemudian turun mengecup bibirnya, berpindah ke rahangnya, lantas leher jenjangnya. Sementara si kakak hanya bisa pejamkan mata dengan jari jemari yang berada di sela surai Hanbin, merematnya guna lampiaskan nikmat.

Sesaat, Hanbin menyudahi aktivitasnya, dan membuat Zhanghao membuka kedua matanya. Tanpa melepas pandang, Hanbin melepas dua kancing kemeja Zhanghao, pun sebaliknya.

Sang kakak sedikit menunduk, mencium tulang selangka Hanbin tepat di sebelah tatonya. Menghisapnya cukup kuat, menggigit pelan sampai sebuah bercak kemerahan terlihat.

My tattoo.” Bisik Zhanghao dan membuat Hanbin tersenyum dan kembali mendekap pinggang Zhanghao yang kemudian ia tarik agar si kakak terduduk di atas pahanya.

Tangan Hanbin terulur 'tuk menarik dagu Zhanghao hingga jarak wajah mereka kembali intim. Hingga akhirnya kedua bibir mereka kembali bertemu, kali ini lebih bergairah dari sebelumnya.

Hanbin memagut bibir Zhanghao lebih kasar, menghisap bibirnya dengan kuat, lantas menggigitnya hingga bibir si kakak terbuka dan membuat lidah Hanbin mendapatkan akses untuk mengeksplor. Lidah mereka melilit satu lain. Zhanghao melepas pagutan mereka kala pantatnya diremas dan membuat Hanbin kaget.

“Maaf, kak.” Hanbin sedikit panik melihat tatapan Zhanghao.

No, keep going.” Balas Zhanghao dan membuat senyum Hanbin kembali merekah.

Would you rather?

This?” Satu tangan Hanbin kembali meremas pantat Zhanghao yang membuat lelaki yang di atasnya itu meremat bahunya.

Or this?” Telunjuk Hanbin menggesek puting Zhanghao dari luar kemeja yang digunakannya membuat badan Zhanghao menggelinjang.

“Both.*”

Or... This one?

Remasan pada bahu Hanbin makin kuat kala ia menggesek sela-sela anal Zhanghao dengan gundukannya di bawah sana. Hanbin tak berhenti menggesekkan kejantanannya yang sedari tadi terkurung. Ia tersenyum, sebab tau jika Zhanghao sedari tadi menahan lenguhannya.

“Semuanya... Hanbin, mau semua.” Zhanghao menatap Hanbin sayu, tangannya meremas bahu Hanbin dengan kuat.

Beg, first.” Seringai Hanbin tercipta saat ia melihat jakun Zhanghao turun. Ia tau jika lelaki di atasnya itu tidak mudah untuk takluk begitu saja.

Hanbin perlu sekitar tiga puluh detik untuk menunggu satu kata yang ingin ia dengar. Sebuah cicitan kecil keluar dari bibir Zhanghao, “please.

Dan sekon selanjutnya, Hanbin memasukan satu tangannya ke dalam mulut Zhanghao dan si kakak dengan tatapan sayunya mengulum jari Hanbin itu lantas menjilatinya hingga jari tengah Hanbin dipenuhi saliva.

“Pinter.”

Hanbin bisa rasakan Zhanghao meremat bahunya setelah ia mengucapkan satu kata tadi.

He likes to be praised. Noted.

Dan remasan kembali terasa di bahu Hanbin, kali ini makin kuat dari sebelumnya. Zhanghao masih tidak ingin melenguh, ia menahannya. Maka Hanbin semakin menggodanya, ia kembali gesekkan gundukan miliknya dengan milik Zhanghao.

Oh—shit. Why you're so good—” Nafas Zhanghao semakin tersengal.

Hanbin menambahkan satu jarinya dan membuat tubuh Zhanghao semakin menggliat hebat. Kedua jari itu mengoyak anal si kakak dengan cepat, bahkan urat tangan Hanbin menonjol sebab saking kuatnya ia bertekad membuat Zhanghao melenguh.

Ada orang gak?

Dan keduanya panik setelah mendengar suara ketukan dan orang di luar sana. Hanbin dan Zhanghao saling menatap. Jantung mereka berdebar kencang.

Kuncinya di Hanbin kan?

Zhanghao dan Hanbin hanya diam, bahkan untuk bernafas pun rasanya sulit. Sebisa mungkin mereka tidak mengeluarkan suara apapun.

Kayaknya Hanbin masih di atas.

Tapi tadi gak ada deh kayaknya.

Udah balik kali?

Coba telpon.

Hanbin dengan cepat menyambar ponselnya yang tergeletak di atas sofa dan ia segera ubah menjadi mode senyap. Hanya berselang dua detik, telpon masuk dan keduanya hanya menatap ponsel itu menunggu sampai telponnya mati.

Gak diangkat, kayaknya masih di atas. Gak kedengeran kali.

Ya udah ke atas aja lagi, jangan lama-lama tapi, kalau Hanbin gak ada suruh Jongwoo aja kesini, kos dia 15 menit doang dari kampus.

Dan suara derap kaki perlahan menjauh dari sana. Hembusan nafas panjang keluar dari keduanya setelah lima menit yang menegangkan.

We only have fifteen minutes.” Ucap Hanbin sambil kembali menggerakkan kedua jarinya di dalam anal Zhanghao.

Replace your fingers.” Meskipun kaget, Hanbin masih bisa mengontrol ekspresinya.

Replace with?” Sebelah alis Hanbin terangkat.

“Hanbin. Cuma 15 menit.” Zhanghao terlihat sangat tergesa.

“Iya, 15 menit, dan sekarang tinggal 14 menit.” Sementara Hanbin tersenyum santai, menunggu Zhanghao meminta.

“Mau gini aja?”

“Tergantung.” Hanbin mengusap tahi lalat Zhanghao yang berada di bawah mata.

“Tergantung Kak Hao mau minta atau gak.”

Zhanghao kembali menelan ludahnya. Di balik wajah tenangnya, ada batin yang menjerit frustasi sebab ia ingin Hanbin segera melakukannya.

“Tadi udah bilang. Replace your fingers.

It's an order, pretty. Call my name and beg me.” Zhanghao menggigit bibirnya, dia sangat menginginkan Hanbin mengoyak analnya dengan kepunyaannya.

“13 menit.” Hanbin melirik jamnya.

Hanbin, please.

Sebenarnya Hanbin masih ingin membuat Zhanghao takluk, tapi karena setiap jarum jam berdetik sangat berarti untuk saat ini, maka Hanbin menurutinya, karena ia berpikir masih ada lain kali.

“Pinter.” Hanbin mengecup bibir Zhanghao.

Ia melepas celananya sebatas lutut. Jujur saja, Zhanghao menelan ludahnya saat ia melihat ukuran Hanbin yang sudah menegang dengan sempurna.

“Kayaknya bakal sedikit sakit, kak.”

“Gak ada lube?”

“Gak ada. Just pull my hair to vent it.” Zhanghao mengangguk.

Ketika waktu mereka tersisa 12 menit, Hanbin langsung menelusupkan kejantanannya hingga tenggelam sempurna di dalam anal Zhanghao. Ia sedikit meringis saat si kakak menarik rambutnya cukup kuat.

Is it hurt?

A bit, but we don't have any time.

I think there's someone really horny here.” Hanbin mencoba mengalihkan rasa sakit Zhanghao dengan menggodanya.

We're running out of time.” Hanbin menyeringai lantas ia percepat pergerakan pinggulnya, beruntung Hanbin masih sempat melakukan fingering sebelumnya, mengurangi rasa sakit di anal si kakak.

“Kayaknya susah kalau gini, kak.”

Dan Hanbin mengubah posisi, ia rebahkan Zhanghao di atas sofa dengan kedua kaki Zhanghao yang ia naikan ke atas bahunya.

Hanbin mempercepat genjotannya. Ia menghujam anal Zhanghao tanpa ampun bahkan si kakak yang awalnya kesakitan kini merasa lebih rileks dan justru meminta semakin cepat.

Tubuh Zhanghao membusur hebat saat Hanbin menghentakkan penisnya dengan sangat kuat hingga suara kulit mereka menggema, bahkan tubuh Zhanghao naik turun sebab pinggul Hanbin yang tak hentinya menyodok anal si kakak semakin cepat.

“Ahh— Hanbin.”

Dan Hanbin bersumpah jika lenguhan Zhanghao tadi adalah suara paling indah yang pernah ia dengar, juga tubuh si kakak yang membusur, kepala yang mendongak, mata yang menatapnya sayu, wajah yang merona adalah pemandangan yang paling cantik yang pernah ia lihat.

The time.” Zhanghao berbicara dengan susah payah, sebab nafasnya yang tersengal.

Hanbin melirik jamnya lagi dan ia mengerang karena waktu mereka tersisa tiga menit. Maka ia mengeluarkan setengah penisnya dan menghantam liang anal Zhanghao dengan sangat kuat dan sukses membuat si kakak kembali mendesah.

“Ahh—” Zhanghao menggigit bibirnya.

Hanbin melakukannya lagi; menghentak penisnya dengan kuat sampai ia bisa merasakan jika penis miliknya berkedut di dalam sana, pun dengan milik si kakak yang nampaknya sudah mengeluarkan cairan precum.

Dan saat tersisa satu menit terakhir, Hanbin menyentak anal Zhanghao tanpa ampun dan ia hentak bertubi-tubi hingga putihnya keluar bersamaan dengan milik Hao yang menyembur ke perut keduanya.

“Hhh— Kak...”

Mereka berdua memejamkan mata sembari mengatur nafas. Hanbin segera menjangkau tisu yang berada di meja sebelah sofa yang memang selalu ada di ruang sekre.

Ia lantas membersihkan cairan putih Zhanghao di perut si kakak, lantas perut miliknya. Zhanghao segera melepas penis Hanbin yang masih berada di dalam analnya.

“Perlu di lap?” Wajah Zhanghao merah padam mendengar pertanyaan Hanbin yang menatap analnya yang sudah pasti terpampang dengan jelas di depan matanya.

Si kakak lantas segera bangun dan memakai celananya. Ia tidak bisa dikurung terlalu lama dengan Hanbin. Selain karena waktu, jantungnya juga berpacu terlalu cepat.

“Biar gue cek, kak.”

Hanbin perlahan membuka pintunya dan tidak ada siapapun disana. Kemudian ia berpaling ke arah si kakak yang terlihat canggung. “Aman, kak.” Ujarnya sembari tersenyum.

Si kakak lantas melengos pergi meninggalkan Hanbin yang tersenyum dengan debar jantung yang hampir meledak dan senyum yang enggan luntur.

Timeless and Bath Bomb

Dari skala satu sampai sepuluh, Hanbin beri sembilan untuk hari ini. Konser yang sukses, zerose yang antusias, serta teman kamar yang sesuai dengan keinginannya; Zhanghao.

Pipinya nampak naik hingga kedua netranya tenggelam, apalagi kala ia sampai di hotel dan menemukan si kakak yang sudah lebih dulu merebahkan diri di kasur seraya mainkan ponsel.

“Matanya gak capek, kak?” Hanbin lantas langkahkan tungkai, mengambil ponsel si kakak dan menindihnya dengan siku yang menjadi tumpuan.

“Capek banget, ngantuk.” Zhanghao merengek dan buat Hanbin bubuhkan kecup di bibir Zhanghao sebab gemas.

“Mandi dulu, kak.” Lelaki dengan tahi lalat di bawah mata itu memejamkan matanya dengan nafas panjang dan itu sukses buat si leader terkekeh.

“Aku bawa bath bomb yang kemaren itu.” Kedua netra Hao terbuka dan nampak berbinar.

“Mau coba?” Si kakak mengangguk semangat.

Keduanya segera masuk ke dalam toilet. Kucuran air terdengar, sementara Hanbin mengambil bath bomb-nya. Hingga seluruh bathtub penuh, akhirnya Hanbin masukan bath bomb-nya.

Ah! That's friend! That chubby friend!” Zhanghao tersenyum antusias, pun juga Hanbin.

Water pokemon?” Hao anggukan kepalanya tanpa melepas pandang dari bath bomb yang kini menyisakan busa-busa disana.

“Yuk!” Ajak Hanbin.

“Berdua?” Tanya Zhanghao.

“Iya.” Hanbin terkekeh lantas membuka kaos tanpa lengannya.

I don't think I can sleep right away.” Kekehan tercipta dari bibir Hanbin, dan dengan cekatan, tangan itu segera mendekap pinggang Zhanghao.

But I swear you'll have a good rest.” Bisik Hanbin.

Kedua netra Zhanghao tertutup, seluruh bulunya berdiri kala satu tiupan pada telinganya terhembus. Bibir Hanbin menjelajah dari belakang telinga Zhanghao, rahang tegasnya, hingga leher jenjangnya yang membuat Zhanghao refleks sedikit memiringkan kepalanya.

Satu tangan Hanbin menelusup ke dalam piyama yang digunakan Zhanghao, menari di atas kulit mulus sang kakak, membelainya sensual hingga Zhanghao secara suka rela mengeluarkan lenguhan pelan.

Selesai dengan leher jenjang Hao, Hanbin lantas menatapnya tepat di kedua obsidian Hao, lalu turun ke bibir merah muda yang selalu mengkilap itu. Hanya dalam hitungan detik suara kecapan memenuhi bilik kamar mandi mereka.

Hanbin melumat bibir Zhanghao dengan lembut. Si kakak mengalungkan tangannya ke bahu yang lebih muda. Tangan Hanbin mendekap pinggang Zhanghao lagi, menghapus jarak.

Setelah lumatan pelan, Hanbin menaikkan level permainannya. Ia gigit bibir Zhanghao, melilitkan lidah mereka hingga saliva saling bertukar. Sesekali Hanbin hisap bibir Zhanghao yang selalu manis untuknya. Hanbin membuka matanya, melihat si kakak yang masih memejamkan kedua netra dan itu berhasil membuat Hanbin tersenyum di sela aktivitasnya.

Lantas Hanbin kembali memejam, memagut bibir Zhanghao lebih intens hingga suara kecupan mereka memenuhi bilik toilet yang berlapis kaca.

Tangan si kakak mulai meraba perut atletis Hanbin. Hingga pagutan mereka terlepas, keduanya masih berada di posisi yang sangat intim, bahkan kedua hidung mereka masih saling bersentuhan, dengan nafas yang terengah dan kedua mata yang enggan memutus kontak.

Pretty, as usual.” Bisik Hanbin dan bibir mereka kembali saling memagut sementara tangan Hanbin mulai melepas kancing piyama Zhanghao satu persatu.

Hingga keduanya terbebas dari fabrik, Hanbin mulai masuk ke dalam bathtub dan segera berendam, lantas ia ulurkan tangannya untuk Zhanghao gapai.

Sit on my lap.” Si kakak menurutinya dan duduk di atas pangkuan Hanbin.

Busa-busa yang mengambang menutupi sesuatu yang keras di bawah sana, namun mereka bisa merasakan satu sama lain ada ketegangan di antara keduanya.

Jemari Zhanghao menari di atas tato milik Hanbin yang sudah lebih dari cukup untuk membuat sang leader merasakan kepakan kupu-kupu mengepakan sayapnya di dalam perut.

I always like your tattoos.” Ucap Zhanghao tanpa mengalihkan pandangannya dari tiga tato yang ada di bawah tulang selangka Hanbin. “Sometimes I wanna gatekeep this tattoos, so no one can see it except me.” Hanbin menatap si kakak dengan senyumnya.

Why?

Since you are so damn hot with these tattoos, this is mine.” Kekehan kembali terdengar dari bibir Hanbin.

And I can't help but take a glance, and every time I see these tattoos, I feel I have an urgent to kiss you.” Dan Hanbin mempertemukan bibir mereka kembali, hanya dalam hitungan sekon saja. Kemudian ia menatap Zhanghao.

Hanbin selalu suka menatap wajah Zhanghao dari sedekat ini, ia suka menatap kedua netra coklat si kakak, mengecup hidung bangirnya, mengecup bibir ranumnya, dan mengusap tahi lalat yang berada tepat di bawah matanya.

We have different opinions in this case.” Kerutan kecil muncul di dahi Hao.

When people see this pretty mole, they say you are gorgeous, and I love to hear that because only I who can kiss this pretty mole of yours.” Dan Hanbin mengecup tahi lalat Zhanghao.

You're indeed Sung Hanbin, the expert sweet talker.” Keduanya tertawa dan si kakak kembali mengalungkan tangannya untuk lantas mencium bibir lelaki yang lebih muda.

Busa-busa disana hampir lenyap sebab sudah hampir 20 menit mereka habiskan waktunya. Sampai ketika Hanbin menarik pinggang Zhanghao, keduanya lantas melenguh karena adanya friksi yang dirasa di bawah sana.

“Kak... Boleh, ya?”

Can we go vanilla tonight? I'm in the mood to do it at a slow pace.

I'll take the notes, princess.

Perlahan tangan Hanbin meremas pantat Zhanghao, dan bergerak makin masuk hingga menemukan lubang anal Zhanghao. Lantas ia masukan ke dalamnya secara perlahan, tidak ingin si kakak tercintanya merasa sakit.

“Hhh...” Zhanghao meremat bahu Hanbin. Matanya terpejam merasakan sedikit rasa sakit yang menjalar. Namun semakin Hanbin menggerakkan jemarinya, semakin dekat rasa nikmat itu datang.

Melihat si kakak yang semakin menikmati pergerakannya, Hanbin menambahkan satu jarinya lagi agar liang anal Zhanghao tidak terlalu sakit ketika kejantannya menghujam.

“Hanbin...” Lenguhan Zhanghao membuat birahi Hanbin semakin naik. Maka ia percepat pergerakan tangannya hingga air berkecipak sebab tangan Hanbin yang mengoyak anal Zhanghao makin kuat dan cepat.

Please... Masukin aja punya kamu, I can't wait any longer.

“Gak apa-apa?” Tanya Hanbin. Zhanghao mengangguk dengan yakin, lubangnya di bawah sana sudah ingin merasakan sesuatu yang lebih besar.

“Kalau sakit bilang, ya.”

Hanbin merekahkan lubang anal Zhanghao, ia posisikan penisnya yang sudah tegang, lantas secara perlahan ia masukkan ke dalam lubang Zhanghao.

“Ahh—” Lenguhan panjang keluar dari bibir keduanya secara bersamaan.

Is it hurt?” Tanya Hanbin sambil membelai pipi Zhanghao.

A little.” Jawab si kakak terbata.

Maka Hanbin menarik dagu Zhanghao, memagut bibirnya untuk si kakak melupakan rasa sakitnya. Satu tangan lainnya bergerak dengan nakal di puting si kakak, mengusap pelan dan memberikan stimulus dengan memutarinya dengan gerakan berputar. Zhanghao membusungkan dadanya dan refleks melepas pagutan bibir Hanbin.

Sementara di bawah sana Hanbin terus menggerakkan pinggulnya perlahan. Volume air dalam bathtub semakin berkurang sebab berceceran di lantai setiap Hanbin mendorong masuk penisnya ke dalam lubang Zhanghao.

Kini giliran lidah Hanbin yang memanjakan si kakak yang terlihat sudah lebih rileks dan menikmati permainannya. Hanbin menundukkan kepalanya, lantas ia julurkan lidahnya untuk menekan-nekan puting Hao yang sudah tegang. Lidahnya mengitari titik pusat rangsang Hao membuat si kakak hanya bisa menggelinjang nikmat.

Kemudian Hanbin meraup dada Hao, menghisapnya dengan sedikit kuat dan menggesekkan giginya dengan puting si kakak tersayangnya. Dalam mulutnya itu, lidahnya bergerak acak menyalurkan rasa nikmat untuk Zhanghao, dan sebagai akibat, desahan-desahan erotis semakin kencang dan menggema di bilik kaca tersebut.

“Ahh, kak... Sempit.” Refleks Hanbin saat ia merasakan jika lubang Zhanghao semakin ketat membungkus kejantanannya dengan sempurna.

And you're so fucking big—” Racau Zhanghao.

Keduanya beradu tatap dengan nafas yang tersengal. Sesekali bola mata mereka berputar ke atas merasakan friksi yang semakin intens.

“Ahh... Hanbin—” Kepala Zhanghao mendongak merasakan urat-urat penis Hanbin yang menggesek dinding analnya.

Netra Hanbin tidak memutus kontaknya dari Zhanghao, ia tidak ingin melewatkannya. Dibiarkan matanya mereka pemandangan cantik dan sensual di hadapannya, membuat memori di otaknya.

Hanbin mencengkram pinggang Zhanghao, ia tidak menaikkan level kecepatannya, tapi ia dorong penisnya hingga titik terdalam lubang Zhanghao dan sukses membuat penis si kakak berkedut. Hanbin dapat merasakan jika penis Zhanghao yang bergesekan dengan perutnya makin membengkak, pun dengan miliknya di dalam anal si kakak.

Semakin banyak air yang berjatuhan, tanda jika Hanbin semakin kuat menyodok masuk penisnya. Zhanghao hanya bisa mengerang. Kepalanya terasa pusing sebab nikmat yang tertahankan.

“Bin... “I'll cum.” Bisik Zhanghao sebab ia sudah tidak miliki kekuatan untuk berbicara.

“Bareng, kak.”

Kemudian Hanbin mempercepat genjotannya, dan tangannya juga membantu si kakak agar bisa merasakan nikmat yang sama. Dikocoknya penis si kakak seirama dengan hentakan penis Hanbin di dalam sana. Hingga akhirnya...

“AHH—” Keduanya mengeluarkan putihnya. Kepala si kakak langsung terjatuh di atas bahu Hanbin, sementara yang lebih muda terkekeh kemudian mengecupi bahu polos si kakak yang lemas.

I love you and am sorry for keeping you up late.” Hanbin mengecup kening Zhanghao lembut.

No need to sorry. Lagian kan emang bagus.” Hanbin menatap si kakak bingung namun masih ada senyum kecil di bibirnya.

It's good to have you here so we can release endorphins together, no?

Keduanya kembali berbagi tawa lantas menyelesaikan mandi mereka sebab sudah terlalu di dalam air. Hanbin menggendong Zhanghao setelahnya; permintaan si kakak yang selalu bilang jika ia tidak bisa berjalan. Meskipun Hanbin tau jika itu hanya alasan, tapi ia dengan senang hati memgabulkan pinta si sayangnya itu. Bahkan ketika Zhanghao memintanya untuk memakaikan baju, Hanbin menurutinya sembari mengecup bibir si kakak setiap kali selesai mengancingkan satu kancing piyamanya.

Dan Hanbin juga akan membiarkan si kakak menjadikan lengannya sebagai bantalan, dan menyembunyikan wajahnya di dada Hanbin.

Dan keduanya akan selalu begitu; menyalurkan hangat setelah melewati satu hari yang panjang.

Ayah itu sosok yang paling baik, paling sabar, paling bisa diandalkan buat kita!

Ayah gak pernah lelah setiap kita minta untuk digendong walaupun ayah baru pulang dari kampus. Oh iya, katanya Papa Nyu, ayah itu kerjanya guru, tapi guru buat orang gede! Beda dengan Miss Cath, guru kita di SD.

Oh iya, ayah juga baik karena ayah selalu nurutin apa yang kita mau. Ayah itu selalu nemenin kita bobo dulu, tapi sekarang kita udah besar, kita bobo sendiri!

Ayah juga sabar, meskipun kita kadang suka minta tolong beliin alat buat kerajinan di jam 10 malam, ayah bakal tetap cariin tanpa marahin kita, beda sama Papa Nyu (tolong jangan aduin ke Papa Nyu, nanti Papa Nyu sedih).

Nah, kalau Papa Nyu itu dia lebih tegas dari pada ayah, bukan galak, tapi tegas.

Papa Nyu itu tau mana yang baik dan yang gak baik. Bukan berarti ayah gak tau, ya, tapi ayah itu gak bisa marah, sementara Papa Nyu bakal kasih tau kita biar gak ngulangin kesalahan, tapi Papa Nyu selalu minta maaf kalau abis marah, Papa Nyu suka bikinin kita muffin buat permintaan maaf.

Ayah dan papa kita baik kan?

Kalau kita cerita gimana ketemu ayah dan papa, kita gak ingat, karena kita masih kecil, kata ayah, kita masih sekecil telapak tangannya waktu itu. Tapi kita yakin kalau hari dimana kita ketemu ayah dan papa itu pasti kita senyum karena punya orang tua yang super menyenangkan!

Gimana gak menyenangkan kalau setiap hari ada Papa Nyu yang bacain kita cerita sebelum bobo.

Atau ada ayah yang selalu ajak kita main ice skating kalau lagi libur?

Oh iya, Papa Nyu sama Ayah Mas juga pinter! Kita suka belajar sama papa dan ayah. Kalau ayah banyak ngajarin kita tentang hafalan, papa bisa ngajarin kita tentang hitungan.

Keren kan?

Kita pernah liat Papa Nyu belajar siang-siang, waktu kita tanya kenapa papa belajar, katanya biar kalau kita bingung, papa bisa bantu jelasin dan jawab. Keren kan? Papa Nyu mau belajar demi kita!

Ayah juga gak kalah keren, ayah selain ngajarin hal yang ada di sekolah, ayah juga yang ngajarin tentang etika dan kepercayaan diri ke kita! Ayah itu selalu kasih tau kita sepintar apapun kita, jangan lupa menjunjung terus yang namanya etika.

Oh iya (lagi), kalau kakak-kakak bingung kenapa kosa kata kita luas buat anak SD, ini juga karena ayah dan papa yang selalu beliin kita Majalah Bobo dan buku-buku lainnya!

Kayaknya kita beneran mirip sama ayah dan papa, karena kita sama-sama suka baca buku! Kadang-kadang kita juga pergi ke Gramedia buat beli buku (Suji awalnya ndak bisa ngomong Gramedia, dia selalu bilang Glademia).

Ayah sama papa juga selalu luangin waktu buat kita. Ayah walaupun kerja, tapi tetap bisa main sama kita. Kalau ayah pulang kerjanya malam, ayah biasanya ke kamar kita buat bacain dongeng, gantian sama papa. Kalaupun ayah pulangnya malem banget dan kita berdua udah bobo, kata papa, ayah selalu cium kening kita pas lagi bobo. Ayah kita so sweet kan?

Kalau papa, papa itu katanya dulu ndak bisa masak, tapi setelah ada kita, papa belajar, dan sampe sekarang chiken katsu bikinannya papa masih juara satu!

Kadang papa dan ayah juga debat kecil, kayak dulu kita pengen mandi hujan, tapi Papa Nyu gak ngebolehin karena takut sakit, sementara ayah ngebolehin, karena kasian kita cuma bisa ngeliatin temen-temen kita mandi hujan.

Akhirnya Papa Nyu bolehin kita mandi hujan. Ayah juga ikut! Sementara Papa Nyu ngeliatin sambil foto dan videoin kita. Katanya buat disimpen dan dijadiin kenang-kenangan.

Kita berkali-kali mandi hujan, dan setiap kali selesai mandi hujan juga, Papa Nyu pasti sediain air anget buat kita mandi, sweater pink punya Suji, dan sweater kuning punya Sua, serta susu coklat panas, lengkap sama cookies atau cream soup!

Ayah sama papa itu selalu perhatiin kita. Ayah sama papa cintanya super besar buat kita, dan kita bisa ngerasain hangatnya keluarga karena ayah dan papa. Cintanya ayah dan papa itu banyak, jadi mereka bagiin juga ke kita.

Kalau ditanya apa yang mau kita ungkapin ke ayah dan papa, terimakasih adalah kata yang paling tepat. Katanya ayah, terimakasih itu adalah ucapan sebagai bentuk syukur. Makanya kita berterimakasih kepada ayah dan papa karena mereka sudah menjadi orang tua yang menjadikan rumah sebagai tempat pulang yang menyenangkan.

It's a bit awkward to write about my feelings, but I'll try.

Sejujurnya aku bingung harus mulai dari mana. Apakah aku harus mulai dari bagaimana aku memberanikan diri untuk membawa kiddos ke rumah?

Atau apakah aku harus memulai dari aku yang merelakan segala pekerjaan dan jabatanku demi mengalah untuk Mas dosenku itu?

Sebentar, kalimat tadi terbaca seperti aku tidak ikhlas.

But, if I speak the truth, at first, yes, I find it difficult to let go of everything I have achieved. I really loved my job and enjoyed working. I cried in silence for three days (I didn't want Mas to know I cried a lot; it'd make him overwhelmed).

Tapi perlahan aku bisa terima kiddos, meskipun tentu saja butuh waktu untukku menerima mereka.

Jika aku bisa mengulang waktu, mungkin aku akan meminta untuk mengulangnya di lima tahun yang lalu, tepat ketika kembar cantikku itu datang. Aku ingin menghabiskan banyak waktu dengan mereka.

Jika diingat bulan-bulan pertama Sua Suji datang ke rumah, aku sungguh ingin meminta maaf kepada anak-anak lucuku itu. Bisa-bisanya aku tak banyak bermain dengan mereka. Aku masih terlalu berpikir apakah memang ini adalah jalan yang aku mau? Aku terlalu kalut dalam pikiran menyedihkan itu.

Hingga ketika Sua Suji memanggilku papa untuk pertama kalinya, aku tersadar, aku begitu menyayangi kedua putri cantikku ini.

Dan kesadaranku kembali, akal sehatku di bawa ke dimensi realita setelah berbulan-bulan. Aku ingin kembali menjadi Wonwoo yang bersungguh-sungguh dalam hal apapun, termasuk dalam mengurus kedua anakku ini.

Aku yang memilih untuk membawa Sua dan Suji ke rumah, meskipun awalnya karena Mas, tapi lambat laun aku menerima kembar cantikku itu karena mereka Sua dan Suji.

Aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk menjadi orang tua yang baik, aku tidak mau menjadi orang tua seperti kedua orang tuaku sendiri, that's the thing I avoid the most, karena aku tau bagaimana rasanya ditelantarkan orang tua sendiri.

“Sayang? Bukunya ini aja? Ada lagi gak?”

Aku menoleh dan mendapati Mas yang sudah membawa beberapa buku di tangannya.

Oh ya, semenjak umur kiddos menginjak dua tahun lebih delapan bulan, mereka sudah bisa membaca. Aku mengikutinya dari buku parenting yang aku baca, serta saran-saran dari psikolog anak yang pernah aku temui.

Hubunganku dan kiddos yang awalnya cukup terasa jarak juga semakin terkikis sebab aku disarankan untuk membacakan dongeng setiap kembar cantikku itu akan tidur, dan itu sangat berhasil dalam memperbaiki komunikasiku dengan Sua Suji.

Setelahnya, kedua kembar cantikku itu selalu memintaku untuk membacakan dongeng, padahal sebelumnya selalu meminta ayahnya yang menemani mereka tidur.

Saat Sua Suji berkata jika mereka ingin aku yang tidur bersama mereka, tak ada kata yang tepat untuk mendeskripsikan bagaimana bahagianya aku menjadi seorang papa.

Aku dan si kembar cantik semakin hari semakin dekat; membaca buku bersama, memasak, makan bersama, belanja, mengunjungi nenek si kembar (tentu saja ibunya Mas, tidak mungkin orang tuaku), hingga kiddos menginjak taman kanak-kanak, kiddos tidak bisa jauh dariku.

Aku sangat senang, tentu. Namun ada kalanya aku terkadang merasa lelah. Wajar bukan? Wajar kan merasa lelah sebab tangisan di sepertiga malam membangunkanku? Wajar kan aku merasa lelah ketika mainan berserakan di setiap sudut ruangan padahal aku baru membereskannya setengah jam yang lalu?

Wajar kan jika aku ingin memiliki waktu sendiri tanpa perlu menahan segala emosiku?

Bukan, bukan karena rasa sayangku ini fana, tapi tidak apa kan merasa lelah? Tidak apa bukan merasa rindu masa-masa aku masih bebas tanpa perlu memikirkan keperluan anak dan berbagai printilan sekolahnya. Wajar bukan?

Meskipun lelah, aku tidak ingin mengutarakannya, musabab si ayah yang selalu terlihat bahagia dan tidak pernah terbebani dengan urusan rumah tangga dan mengurus anak.

Tapi entah bagaimana bisa Mas ku itu tau isi kepalaku. Mas ku itu dapat merasakan jika aku lelah. Maka si Mas memesan dua buah tiket ke Bali untukku dan untuknya.

“Cah ayu, Mas kan udah bilang kalau capek, bilang aja, ndak apa-apa kok. Wajar kalau capek, wajar kalau kamu ngerasa overwhelmed sama urusan rumah tangga kita. Wajar banget, sayang, semua orang pasti punya fase lelah dalam hidupnya.” Ucap si Mas tempo hari sambil mengusap pipiku.

“Besok kita titip si kembar sama ibu, kita jalan-jalan dulu, ke Bali. Nanti disana kalau kamu butuh waktu sendirian juga boleh. Ini Mas ikut ke Bali biar kalau kamu tiba-tiba kangen Mas, Mas bisa langsung datang.” Kekehnya.

Ya, Mas dan segala magisnya yang tercipta dari segala kata yang keluar dari bibirnya selalu bisa buatku lebih tenang dan nyaman. Mas selalu bisa mengartikan segala gerak-gerikku tanpa perlu aku memberi tahunya.

Suatu malam, aku pernah temui Mas yang tertidur di samping baby box Sua Suji. Mas tidur di atas kursi kayu yang keras, sebab si kembar menangis hebat. Ketika di cek, ternyata mereka demam. Meskipun panik, Mas masih bisa berpikir rasional, maka ia kompres si kembar dengan fever patch dan menyuruhku untuk kembali tidur. “Si kembar gak apa-apa kok, biar Mas yang jaga, kamu kan seharian udah jagain. Tidur aja ya, maaf Mas nemenin si kembar dulu malem ini.” Itu katanya dan berakhir dengan badannya yang pegal pada pagi hari.

Mas Mingyu itu selalu berusaha agar aku merasa nyaman dalam menjalani keseharianku.

Kalau lagi capek masak, Mas aja yang masak.

Padahal dia juga baru saja pulang setelah 12 jam mengajar.

Kalau cuciannya kebanyakan, Mas aja yang cuci.

Padahal dia juga baru saja pulang seminar dari luar kota.

Jarang sekali telingaku ini mendengar keluhannya. Mas ku itu akan menampakan senyumnya ketika tungkainya memijak fondasi rumah.

Mas juga miliki tutur yang baik. Pada suatu hari, aku terpukul hebat akibat kelalaianku menjaga si kembar, dan membuat Sua hampir saja celaka. Ah, aku enggan mengingatnya sebab hanya akan membuatku menyalahkan diri sendiri.

Tapi, Mas saat itu justru memelukku dengan erat, menenangkan aku dengan segala kalimat baiknya. Mas menyuruhku berhenti menyalahkan diri sendiri, dan menjadikannya pelajaran dalam hidup.

Acap kali aku buat kesalahan, Mas akan selalu bilang untuk diingat, tapi bukan untuk menyalahkan diri sendiri, melainkan menjadi silabus hidup yang perlu dipelajari.

So dosen of him, right?

Mas Mingyu itu pusat dari duniaku. Aku rasa tanpa Mas Mingyu, aku tidak bisa menjalani hidup dengan baik.

Mas Mingyu selalu tawarkan tenang kala kalut menyerang.

Mas Mingyu itu adalah hal terbaik dari segala yang baik yang Tuhan berikan kepadaku.

His presence is half of my life. His existence helps me to breathe. He is my everything. 

“Sua, Suji, ayo sarapan dulu. Papa bikin katsu.”

Senyumku merekah mendengarnya. Rutinitas keluarga kecil kami di pagi hari selalu seperti ini; Wonwoo yang sibuk siapkan sarapan (sekarang dia sudah bisa memasak chicken katsu tanpa bantuanku), lantas menyuruh si kembar mengecek kembali apakah ada buku pelajaran yang tertinggal. Jika aku ada jadwal mengajar, maka Wonwoo yang akan mengantar si kembar dengan mobilnya, jika jadwalku siang, aku yang akan mengantar si kembar.

“Mas, sarapan dulu.” Si dia berucap seraya rapikan kemeja yang ku pakai.

“Kamu udah makan?”

“Nanti aja gampang.”

“Papa, makan dulu.” Sua berucap dengan pipi gembulnya yang penuh makanan.

“Papa Nyu, ayok sarapan, kan katanya harus bareng.” Suji ikut beri komentar. Jika sudah begitu, cah ayuku itu tidak bisa menolak, sebab memang itu ajaran Wonwoo; jika makan, harus di meja makan, dan makan bersama-sama, boleh sambil bercengkrama, karena itu kegiatan yang Wonwoo suka, katanya terasa hangat dan utuh.

“Sua, Suji, udah semua kan bukunya?” Si kembar acungkan jempol mungilnya sambil tersenyum.

“Ya udah yuk.”

Kebetulan hari ini jadwalku mengajar masih nanti siang, jadi aku bisa antarkan si kembar ke sekolah dengan Wonwoo. Oh iya, ini sudah tahun kelima si kembar tinggal bersama kita, mereka sekarang sudah menduduki bangku sekolah dasar. Aku merasa lengkap dengan hadirnya si kembar.

Tunggu, aku takut mengira jika hadirnya Wonwoo tidak melengkapi hidupku, tentu saja eksistensi Wonwoo benar-benar sebuah anugrah bagiku, dan sekarang dengan bertambahnya dua malaikat kecil yang cantik dan pintar merupakan bentuk kesempurnaan bagiku. Keluarga kecil kita lengkap.

“Bekalnya udah dibawa?” Tanya Wonwoo.

“Udah, papa.” Jawab si kembar bersamaan dan buatku terkekeh sebab terlalu menggemaskan. Wonwoo juga tersenyum mendengarnya.

Dan ketika sampai di depan sekolah, aku akan mencium kedua pipi gembil dan bersemu si kembar. Wonwoo masih sulit melakukannya. Namun aku tau, Wonwoo itu selalu mencium si kembar ketika keduanya tidur.

Cah ayuku itu mengaku jika memang masih sulit baginya untuk menjadi seseorang yang affectionate sepertiku, tapi ketika Wonwoo mengatakannya, justru aku yang bingung, sebab aku tau seberapa banyak pengorbanan Wonwoo untuk si kembar.

Tiga tahun yang lalu, Wonwoo berbicara padaku, tepat setelah kita berkunjung ke rumah Seokmin dan Shua untuk bermain dengan Ayun Arin, ditambah dengan Kylo, anak Jeonghan dan Seungcheol. Katanya dia ingin dan sudah siap miliki anak.

Aku meyakinkannya kembali, aku tidak mau jika si dia terpaksa lakukannya hanya karenaku. Aku juga bilang padanya kalau pernikahan ini dijalani oleh dua orang, dan keduanya harus nyaman. Cah ayuku itu lantas menjawab dengan tenang dan hangat.

“Mas, aku udah siap. Aku udah belajar banyak, dan aku udah gak takut. Aku ngerasa semuanya bisa dan semuanya mungkin selama sama kamu. Mungkin nantinya aku masih banyak kekurangan, jadi tolong bantu dan tuntun aku kalau aku ada salah dalam ngedidik, ya?”

Aku masih ingat kalimatnya, bahkan ekspresinya yang tersenyum hangat dan tangannya yang menggenggam tanganku erat.

Tapi aku masih memiliki kekhawatiran, bukan khawatir karena takut Wonwoo tidak bisa mengurus anak kita kelak, tentu saja aku percaya Wonwoo bisa dan mampu menjadi sosok orang tua yang baik, tapi perihal pekerjaan.

“Terus kerjaan kamu gimana?” Aku tau Wonwoo itu seseorang yang sangat menikmati pekerjaannya. Bahkan sekalipun ada masalah atau dia harus lembur, Wonwoo tidak banyak mengeluh. Wonwoo itu sangat passionate dalam pekerjaan, dia selalu bersungguh-sungguh, aku selalu senang ketika mendengarkan kisahnya di kantor, mata kucingnya itu selalu berbinar, nada bicaranya juga sangat menggebu ketika ia memberi tahuku perihal ide-idenya yang dia dedikasikan untuk pekerjaannya.

Karena itu, aku takut, aku takut jika nanti binar matanya redup. Aku takut tidak ada lagi Wonwoo yang menggebu-gebu ketika bercerita mengenai harinya.

Tapi ternyata aku salah. Binar itu masih terpancar, bahkan semakin terang ketika ia pertama kali mendengar Sua dan Suji memanggilnya 'papa'.

Wonwoo juga masih menggebu-gebu ketika ia berbagi kisah tentang bagaimana Sua dan Suji bisa membaca dan berhitung setelah ia ajarkan berbulan-bulan.

Dan aku akan selalu bersedia mendengarkannya, kedua runguku akan selalu terpasang dengan baik untuk menampung semua cerita menyenangkan Wonwoo, tentang dirinya, dan tentang si kembar.

“Mas?” Aku menoleh padanya.

“Kenapa, sayang?”

“Kenapa ngelamun?” Tanya si dia penasaran. Aku tersenyum dan membelai pipinya.

“Gak apa-apa. Udah beli bukunya?”

“Udah nih, Sua Suji suka cerita rakyat sama fantasi gitu. Semalem Sua Suji bilang kalau mereka pengen denger cerita tentang putri kerajaan.” Aku terkekeh sebab ini yang aku maksud; Wonwoo itu selalu menggebu-gebu ketika menceritakan si kembar.

“Yah, Majalah Bobonya gak ada.” Si dia menekuk bibirnya. “Sua Suji suka cerita Nirmala sama Oki, mereka kalau baca Majalah Bobo sampe iklan-iklannya juga dibaca, lucu banget.” Cah ayuku itu terkekeh.

“Ya udah ini dibayar dulu bukunya, kita cari lagi Majalah Bobonya ke tempat lain, ya?” Wonwoo mengangguk dan kami segera membayarnya.

Dan kedua matanya kembali berbinar saat menemukan Majalah Bobo. “Si kembar tuh setiap pulang sekolah di hari Kamis bakalan selalu nanya, Majalah Bobonya ada atau nggak.” Katanya cah ayuku itu sambil tersenyum.

“Mas, lusa ke rumah ibu, kan?” Tanya cah ayuku ketika kita menuju perjalanan pulang.

“Jadi kok, kenapa emangnya?”

“Aku kangen ibu, hehehe.” Si dia tertawa, hidungnya selalu mengerut lucu setiap dia tertawa. “Tapi ibu sekarang nanyainnya Sua Suji terus, aku gak pernah ditanyain.” Sekon selanjutnya bibirnya mengerecut dan aku bukanlah orang yang bisa menahan rasa gemas, lantas aku curi satu kecup ketika lampu merah menyala.

“Loh ibu kan telpon ke kamu, cah ayu. Berarti itu ibu kangen kamu, sama Mas aja gak pernah telpon. Kalau nanyain Mas padahal tinggal telpon Mas aja, tapi ibu lebih suka nelpon kamu buat nanyain Mas, nanyain si kembar. Ini harusnya Mas loh yang iri.” Lagi-lagi si cah ayuku itu tertawa, jika kita sedang berbincang di sofa ruang tengah, sudah dipastikan aku sedang menghujani wajahnya dengan kecupan.

Oh iya, membicarakan ibu, aku jadi ingat. Saat itu, tiga bulan setelah Sua dan Suji tinggal bersama kita, Wonwoo mendadak ingin belajar membuat kue dengan ibu. Saat ditanya alasannya, tentu saja karena si kembar sangat menyukai kue, apalagi muffin.

Dan cah ayuku itu mempelajarinya dengan tekun. Aku tadi bilang jika Wonwoo itu memiliki determinasi yang besar dalam bekerja, pun dalam mengurus anak. Wonwoo benar-benar mempelajari banyak hal baru agar ia dapat memberikan yang terbaik untuk si kembar.

Pernah suatu saat, dia gagal membuat roti, hingga Sua Suji yang masih kecil itu tidak mau memakannya, tapi bukannya sedih, Wonwoo malah kembali membuatnya lagi, bahkan selama tiga hari, Wonwoo selalu datang ke toko ibu, membantu sekaligus mempelajari cara membuat roti.

Mungkin Wonwoo belum sempurna, tapi dia selalu berusaha, dia selalu belajar dari kesalahannya agar tak mengulangnya.

Pernah saat itu Wonwoo menangis sebab Sua yang tiba-tiba menghilang. Ternyata Sua yang masih berumur dua tahun itu berjalan ke luar sebab pintunya terbuka. Beruntung Sua masih berada di depan pagar, belum terlalu jauh, dan Wonwoo menangis kencang karena merasa bersalah. Dipeluknya Sua dengan erat, dan Wonwoo tidak hentinya merapalkan kata maaf. Bahkan sampai si kembar tidur pun, Wonwoo kembali menangis dan meminta maaf hingga ketiganya tertidur lelap.

Setelah kejadian itu, Wonwoo selalu pastikan pintu terkunci jika ia hendak mengerjakan sesuatu. Dan dia akan mengecek Sua Suji beberapa menit sekali untuk memastikan tidak ada hal buruk yang terjadi.

Pernah juga Wonwoo merajuk karena Sua Suji dulu hanya inging bermain denganku. Sebab awal-awal si kembar datang, Wonwoo itu masih kaku dalam berkomunikasi dengan anak kecil. Ia masih belum tau bagaimana cara merayu Sua Suji. Saat itu aku tidak tau jika Wonwoo sebegitu sedihnya, cah ayuku itu memang suka memendam semua perasaannya sendiri. Sampai pada suatu malam, Wonwoo bercerita padaku jika ia ingin si kembar bergantung padanya juga. Wonwoo ingin anak-anaknya itu memanggilnya ketika menangis, karena selama ini jika Sua Suji menangis, mereka hanya memanggil 'ayah'.

Dan Wonwoo dengan segala caranya mencari tau apa yang harus dia lakukan agar si kembar mau bermain dengannya, mau dekat dengannya. Wonwoo bahkan sampai mendatangi psikolog anak demi mendapat hati si kembar.

Lagi-lagi harus kuucapkan, jika Wonwoo itu miliki determinasi yang besar, bukan hanya pekerjaan, tapi dalam menjadi orang tua. Bukan hanya menjadi orang tua saja, tapi juga sebagai suamiku, Wonwoo benar-benar memperhatikan apapun. Bahkan Wonwoo lebih hafal jadwalku selama satu semester dibanding diriku sendiri. Wonwoo tau kapan aku menjadi pembicara di seminar. Wonwoo mengingat semuanya.

Aku selalu bersyukur sebab miliki Wonwoo dalam hidupku. Wonwoo itu benar-benar manifestasi dari rasa bahagia. Jika cinta itu berwujud manusia, maka itu adalah Wonwoo. Bagiku, dicintai dan mencintai Wonwoo itu anugrah yang harus disyukuri setiap hari.

Wonwoo itu adalah jawaban dari doaku; Tuhan kabulkan pintaku. Dan tentu aku sebagai pihak yang meminta akan merawat dan beri kasih penuh untuk hadiah luar biasa yang Tuhan berikan.

Mungkin selamanya adalah mustahil, namun aku berjanji, selama nafasku berhembus, ragaku masih bernyawa, cinta ini tak akan pudar. Bahkan jikalau ada kehidupan kedua, aku akan tetap memilih Wonwoo sebagai pasangan hidupku, aku pasti akan mengenali mata kucingnya, kerutan hidungnya ketika tertawa. Aku pasti akan mengenalinya, aku pasti akan menyayanginya hingga waktu terkikis sendirinya.

Gue ngehela nafas sambil natap panutan diri gue di depan cermin. Berkali-kali gue teguhin hati kalau gak apa-apa datang ke kampus, gue gak usah takut karena gue gak salah. Gue juga sebenernya masih agak takut kalau absen gue abis, ini kesempatan terakhir gue setelah absen 2 kali.

“Kwan, udah belum?” Tanya Bang Mingyu dari luar kamar.

“Ayok, Bang.” Gue keluar dari kamar.

Iya, gue berangkat bareng Bang Mingyu soalnya dia ada bimbingan katanya. Sebenernya Bang Mingyu bimbingan masih sejam lagi, cuma dia bilang mau makan di kantin. Padahal gue yakin kalau Bang Mingyu mau mastiin gue baik-baik aja, soalnya dia dari kemarenan tuh nunjukin banet kalau di khawatir. Dari semua anak kebadutan, Bang Mingyu yang paling bisa nunjukin rasa khawatirnya, kalau yang lain tuh diem-diem tapi peduli.

“Yuk, ah. Gue udah laper.”

Akhirnya kita berdua berangkat naik motor masing-masing. Selama di jalan gue mikir apa gue harus skip hari ini lagi, tapi gue juga takut. Gue mikir lama banget sampe ternyata kita udah sampe di kampus.

“Mau makan apa lu?”

“Gak tau, Bang. Gak selera.”

“Dih, mana ada lu gak selera makan. Kurus gitu lu. Makan makan, gue traktir.” Bang Mingyu ngerangkul gue sampe ke kantin. Baru aja nginjek kaki di kantin, gue bisa rasain kalau pandangan orang-orang tertuju ke kita. Gue mau positive thinking kalau mereka ngeliatin Bang Mingyu seperti biasa.

“Makan apa buru?” Tanya Bang Mingyu setelah kita duduk.

“Nasi goreng katsu aja, Bang.”

“Oke.” Bang Mingyu akhirnya pesenin makanan gue dan makanan dia sendiri. Setelahnya dia duduk lagi sambil nunggu.

“Din!” Gue nengok ke belakang pas Bang Mingyu ngelambai tangannya. Ternyata ada Dino, Jingga, dan.... Maura. Rasa bersalah gue tiba-tiba naik lagi saat liat Maura. Gue waktu itu bisa-bisanya nyalahin Maura atas semua kejadian, padahal Maura gak salah apapun.

“Lah lu ada kelas, Bang?” Tanya Dino yang duduk di sebelah Bang Mingyu, sementara Maura duduk sebelah gue, dan Jingga duduk sebelah Dino.

“Kagak, gue mau bimbingan. Kan gue udah gak ada matkul, Din.”

“Hah? Kakak masih semester tujuh gak sih?”

“Iya emang, makanya pinter biar semester 7 udah daftar sempro.” Canda Bang Mingyu.

“Anjir keren banget lu.” Puji Dino.

“Lu pada udah kelar kelas apa nanti ada lagi?”

“Ada lagi, kak. Masih satu jam lagi, makanya makan dulu.” Jawab Jingga.

“Ohh, ya udah pesen gih makanannya.”

“Traktir, ya?” Tanya Dino.

“Iye, buru. Jingga sama Maura juga.” Ketiga orang itu nyengir lebar dan langsung grasak grusuk pesen makan. Gak lama, mereka balik lagi.

“Makasih, kak!” Katanya Jingga.

“Banyak duit gue liat-liat.” Ledek Dino sambil kasih kembalian.

“Banyak lah gue mah.”

“Sombong anjir.” Yang lain cuma ketawa aja denger ucapan Dino itu.

“Lah ada lu kata gua teh.” Canda Maura sambil nepuk bahu gue.

“Ngibril napa ngibril, diem bae.” Cekikik Maura. Gue yakin Maura tau apa yang terjadi sama gue, tapi dia berusaha biar gak canggung.

“Iya tuh si Seungkwan diem mulu, sariawan lu?” Dino ikut ngeledek.

“Kak, beliin adem sari, kak.” Celetuk Maura ke Bang Mingyu.

“Mau gak, Kwan?” Tanya Bang Mingyu dan gue cuma gelengin kepala.

“Eh, bersuara dong anjir! Pita suara lu pegat ye?”

“Sembarangan.” Bales gue dan bikin Maura ketawa lagi.

“Nah gini dong, ngomel. Sangat Boo Seungkwan.” Katanya lagi.

Pas kita lagi becanda, ada tiga orang yang duduk sebelah kita terus bisik-bisik sambil ngeliatin gue. Walaupun bisik-bisik, kita masih bisa denger apa yang mereka omongin.

'Eh, kok dia masih berani ke kampus?'

'Ngulang gak sih?'

'Beasiswanya dicabut, ya?'

Itu semua bisikan yang gue dan ternyata yang lain juga denger. Bang Mingyu sampe ngedengus kesel. Dino dan Maura juga natap mereka sinis. Sementara Jingga natap gue sambil ngomong 'jangan didengerin'.

“Gak kurang kenceng tuh bisik-bisik?” Sindir Bang Mingyu.

“Tau dah, suci banget gue rasa ngomongin orang.” Dino ikutan.

“Orang yang begitu biasanya gak ada kelebihan lain selain ghibah. Gak ghibah gak hidup.” Kata Maura.

Ketiga orang itu keliatan gelagapan dan langsung diem buru-buru abisin makanannya.

“Anak komunikasi?” Tanya Mingyu ke gue.

“Iya, Bang. Seangkatan sama gue.”

“Gak tau apa ya gue pentolan komunikasi.” Bang Mingyu becanda.

“Najis, Bang.” Bales Dino.

“Tapi emang Kak Mingyu mah dikenal banget, bukan di jurusan aja, fakultas juga. Buktinya anak humas banyak juga yang kenal.” Kata Maura dan disetujuin Jingga yang ngangguk.

“Dikenal php.” Celetuk Dino lagi.

“Balikin duit gue gak?” Dino langsunh nyengir.

“Gak sih, Bang Mingyu terkenal karena emang cakep, ipk 4, mahasiswa berprestasi, mahasiswa hobi rapat dan kepanitiaan.” Yang lain ketawa gara-gara ucapan Dino.

Gak lama, makanan kita semua datang. Kita makan sambil ngobrol-ngobrol. Sebenernya mereka yang ngobrol, gue lebih banyak diem soalnya pikiran gue terlalu banyak kalutnya.

“Makan, Kwan.” Katanya Jingga.

“Makan makan, pipi lu noh tulang doang.” Celetuk Maura sambil ngunyah. Akhirnya gue makan sambil denger mereka ngobrol.

15 menit, kita semua selesai makan. Akhirnya kita mencar karena ada jadwal masing-masing. Selama gue jalan menuju ke kelas, ada banyak pasang mata yang merhatiin gue. Rasanya gue pengen kabur tapi gue harus inget lagi kalau gue tuh gak salah, gue jangan takut.

Sampe depan kelas, gue cuma bisa diem di depan pintu, gue neguk ludah saking takutnya buat masuk ke dalem. Jantung gue berdegup kenceng banget.

“Seungkwan!” Gue nengok dan ternyata itu Binar. Gue lupa kalau kita sekelas di matkul atas ini.

“Yuk, masuk.” Ajak Binar.

Saat pintunya dibuka, gue bisa ngerasa gimana atmosfer tiba-tiba berubah canggung. Gue duduk paling depan, di sebelah Binar.

“Liat deh, aku juga sekarang punya grup sama teteh-teteh lain!” Katanya Binar excited sambil ngeliatin grup mereka.

“Eh, ada? Coba coba liat.” Binar kasihin hp-nya dan gue baca-baca chat mereka yang kocak banget. Sebenernya yang ngelawak itu keseringan Maura, Teh Oris, sama Binarnya sendiri. Teh Odri bagian yang sarkas, tapi ada Teh Aul yang jadi counter. Teh Naya bagian diledek Teh Oris, Jingga sama Helen bagian ketawa, Teh Embun bagian kirim emot nangis, sementara Kak Kinan bagian minta maaf karena baru nimbrung.

“Lucu kan?” Katanya Binar ngeliat gue yang ketawa. Waktu gue lagi asik baca, ada notif dari Maura, isinya...

'Nar, sekelas sama Seungkwan, kan? Jagain! Tadi dia dijahatin! Nanti aku cerita!'

Binar juga kayaknya liat dan dia langsung rebut hp-nya. Keliatan banget kalau dia gelagapan terus senyum kikuk.

“Makasih, ya, Nar.”

“Kebaca, ya? Hehehe.” Binar cuma nyengir.

“Kebaca, makasih, ya.”

“Makasih ke Maura! Dia yang suruh aku ngajak kamu ngobrol terus!”

“Iya, nanti gue bilang makasih ke Maura.” Gue diem sebentar, tapi gimana caranya.

“Tapi, gimana caranya, ya, Nar?”

“Ajak jalan, Maura suka jajan makanan Korea deket Unisba!” Jawab Binar.

“Oke kalau gitu, nanti abis pulang.”

“Nanti update ke aku, ya!” Gue cuma ngangguk. Dalem hati, gue ngerasa bersyukur karena masih ada orang yang perhatian sama gue.

Tiga SKS berlalu, akhirnya pulang. Gue langsung chat Maura buat ajakin dia jalan, dan dia langsung mau. Buat alesan yang gak jelas, gue ngerasa gugup pas nungguin Maura di parkiran.

“Seungkwan!” Maura lari kecil ke arah gue sambil nyengir.

“Kayaknya beneran deh arti mimpi gue semalem.”

“Apa?”

“Gue semalem mimpi ketemu kelinci putih, pas gue googling itu artinya bakal mendapa keberuntungan. Nah, gue hari ini ditraktir lu sama Kak Mingyu tadi.” Katanya sambil nyengir, dan gue ikutan ketawa, refleks gue ngacak rambutnya.

“Dih? Emang boleh bikin deg-degan?” Gue cuma ketawa aja dan segera naik.

“Lah gak ada helm lagi?” Tanya Maura.

“Oh iya.” Gue buka bagasi motor yang selalu ada helm di dalemnya.

“Nih.” Gue kasih helmnya ke Maura tapi dia gak ngambil juga.

“Pakein dong, biar romantis.” Gue mau protes, tapi gak jadi, gue mau nurutin semua omongan Maura walaupun ngaco kayak sekarang. Akhirnya gue pasangin helmnya dan dia malah melongo.

“SEJAK KAPAN LU NURUT SAMA GUE?” Tanya Maura sambil melotot.

“Hari ini doang. Buru naik.” Gue segera naik motor dan Maura juga. Abis itu gue segera jalanin motornya.

“Arahin, ya.”

“Hah?”

“Arahin, gue gak tau jalannya.”

“HAH?” Gue cuma ngehelas nafas.

“ARAHIN JALANNYA!” Gue sedikit teriak biar Maura denger.

“OH. NGOMONG DONG!” Lagi-lagi gue cuma ngehela nafas aja buat sabar.

Selama di jalan, Maura ngomongin banyak hal. Padahal gue juga kadang gak denger dia ngomong apaan, tapi dia tetep ngomong sambil nunjukin arahnya. Sekitar 20 menitan, kita sampe di tempat. Maura segera pesen sekalian buat gue juga.

“Lu sering kesini?”

“Sering! Paling sering sih sama Binar, tapi sama Jingga juga pernah, sama Helen pernah, sama Teh Oris Teh Naya pernah, Teh Odri pernah, Teh Aul aja yang belum sama Teh Embun.” Jawabnya.

“Kalian tuh emang deket, ya?”

“BANGET!” Katanya excited.. “Semenjak tahun baruan di kontrakan itu kita semua jadi deket. Gue sih yang sksd, tapi untungnya teteh-teteh yang lain mau di sksd-in. Jadinya deket deh. Ada grupnya juga tau!” Katanya Maura.

“Iya, diliatin sama Binar tadi.”

“Seru kan? Bisa lah diadu sama grup kebadutan.”

“Lu yang paling gak bener di grup.”

“Dih, gue mah paling menghibur.”

TW // Harsh word, dirty talk, angry sex

.𖥔 ݁ ˖✮ ⋆ ˚。𖦹 ⋆。°✩.𖥔 ݁ ˖

Beneath the resplendent twilight sky, two souls long entwined in silent yearning finally unveil their hidden love, merging in a symphony of confessions that echo through the depths of their being.

.𖥔 ݁ ˖ ✮ ⋆ ˚。𖦹 ⋆。°✩.𖥔 ݁ ˖

Semenjak pagi, Jewe terlihat lebih tegang dari biasanya. Padahal Jewe adalah anggota Nirwana Rimba yang paling tenang dan santai saat di atas panggung. Namun tidak dengan hari ini, sebab ia akan tampil di hadapan teman-temannya.

Sebenarnya, teman-teman Kiming, Deka, Nyong, Hao pun hadir menonton untuk mendukung mereka, namun memang didominasi oleh teman Jewe.

“Hahaha kalem aja sih, kak.” Deka terkekeh melihat Jewe yang masih saja mondar-mandir seraya melakukan pemanasan vokal.

“Minum dulu, kak.” Kiming menyodorkan segelas air minum yang langsung ditenggak habis.

“We, awas nanti kebelet.” Peringatan dari Joshua. Hanya sebuah anggukan sebagai jawaban dari Jewe.

Mereka kini sudah berkumpul di apartemen Hao, termasuk Jun dan Jihoon, setelah latihan tadi siang.

Pukul 5 sore, akhirnya mereka semua pergi ke kampus untuk bersiap-siap terlebih dahulu dan melakukan briefing meskipun mereka tampil pukul 8 nanti malam.

“Bisa, kak. Santai aja.” Kiming menenangkan Jewe yang sedari tadi menghela nafasnya.

“Rambut gue gak aneh kan, ya?” Tanya Jewe. Secara refleks Kiming mengacak rambut Jewe.

“Cakep.” Jawaban Kiming sukses ciptakan semburat merah pada pipi Jewe, beruntung karena gelapnya malam samarkan ronanya.

Guys, stand by, ya. Bentar lagi tampil.” Ucap Joshua.

Lagi-lagi Jewe menghela nafas panjang. Kiming merangkulnya. Tapi entahlah, mengapa keduanya merasa ada yang aneh. Degup jantung mereka kini melonjak naik. Saat kedua netra mereka tidak sengaja saling bersirobok, disitu juga ledekan-ledekan terdengar dan membuat Kiming segera melepas rangkulannya.

“Kan, udah mulai go public kan.” Sindir Nyong.

“Biarin aja biarin, abis ini juga ngelak lagi. Gitu aja terus sampe salah satunya ada yang jadian, nanti musuhan lagi, kita lagi yang kena sama Kak Josh.” Hao ikut menimpali.

“Bener kata Bang Nyong, harus dikunciin di kamar dulu biar skidipapap.” Celetuk Deka dan mendapat cubitan dari sang kekasih.

Tidak seperti biasanya, kedua pihak yang diledek tidak berkomentar. Diam-diam ada hati yang bergemuruh riuh yang harus ditenangkan.

Hingga akhirnya pemandu acara memanggil grup mereka dan kelimanya pun naik. Terdengar teriakan-teriakan memanggil nama Jewe dan yang lainnya. Sementara itu Jewe hanya tertawa dan mereka mulai dengan lagu pertama.

Kali ini mereka bawakan lima lagu, dan tentu saja lagu terbaru dibawakan terakhir. Sorak penuh semangat mengisi energi mereka. Jewe dan Kiming lantas mengambil mic.

“Udah siap lagu terakhir?” Tanya Jewe dan serempak menjawab 'belum'. Jewe tertawa karena antusiasme teman-temannya yang berada di barisan paling depan.

“Gak mau disadarin dari rasa denial, ya?” Lanjutnya lagi sementara teman satu grupnya hanya tertawa melihat Jewe yang santai berkomunikasi dengan teman-temannya.

“Oke, karena gue liat-liat banyak korban dari perasaannya sendiri, kita bakal bawain lagunya buat kalian.”

Dan musik pun mengalun diiringi dengan sorakan. Jewe mulai menyanyikan bait pertama dan semua orang ikut bernyanyi dengan tangan yang melambai. Para muda mudi terhanyut dengan melodi, saling bernyanyi lirih ikuti lirik.

Begitu juga dengan kedua vokalis yang kini tilik matanya penuh dengan afeksi yang tersembunyi di balik hati yang tanpa disadari sudah saling terkoneksi.

Keduanya resapi setiap frasa begitu khidmat, dengan segala rasa yang tersemat.

Hingga lagu selesai, keduanya dikembalikan pada dimensi dunia nyata dengan tepuk tangan yang meriah. Jewe dan Kiming memalingkan pandangan mereka dan menatap penonton yang riuh memanggil nama grup mereka.

“Selalu keren!” Apresiasi dari Joshua selalu menyambut mereka. Keenam lelaki itu berpelukan, kemudian memeluk kekasihnya masing-masing —tentunya kecuali Jewe dan Kiming yang sekarang mengeluh.

“Jajan dulu, ya! Jangan langsung pulang, please.” Pinta Jun karena sedari tadi ia menemani Hao yang juga gugup tampil di depan teman-temannya.

“Hahaha iya iya, gue juga mau jajan!” Joshua ikut menimpali.

“Kalian mau apa?” Tanya Joshua.

“Kak, titip minum, kak. Energi gue udah abis. Yang manis terus seger, ya. Makasih.” Pinta Jewe.

Sementara yang lain berburu makanan, Jewe pergi ke depan fakultasnya untuk merokok. Namun, ternyata ia lupa membawa pemantik. Jewe memanggil panitia yang kebetulan lewat dan meminjam pemantiknya hanya untuk menyalakan batang nikotin miliknya itu.

Jewe menunggu yang lain sambil duduk dan menyesap rokoknya, tak lama, Kiming datang dengan segelas minuman berwarna biru yang terlihat segar.

“Gue cariin, kirain masih di backstage.” Ucap Kiming sembari menyimpan minumannya di depan Jewe.

“Capek gue liat banyak orang, Ming.” Kekehan terdengar dari bibir Kiming, jawaban yang sangat Jewe.

“Udah lega, kak?” Tanya Kiming yang juga meminum minuman miliknya.

“Lega anjir. Gak ada salah kan, ya?”

“Gak ada sih, kak. Keren keren.” Kiming menepuk bahu Jewe.

“Udah jiper duluan aja gue, padahal emang gue selalu keren.” Kiming menatap Jewe sambil mengerutkan keningnya sementara Jewe tertawa.

“Kak, bagi sebat dong. Punya gue ketinggalan di apartemen Hao.”

“Gak modal lu.” Cibir Jewe namun ia tetap mengeluarkan rokoknya dan memberikan kepada Kiming.

“Hehehe, sekalian korek.”

“Gak ada korek, tadi gue pinjem ke temen gue.” Jawab Jewe sambil menyesap rokoknya. Kiming menyelipkan rokoknya di antara bibir, lantas mendekat ke arah Jewe hingga rokok mereka bersentuhan, Kiming menyesap batang nikotinnya hingga terlihat titik merah yang menandakan rokoknya menyala.

“Anjir ciuman!” Teriak Deka dan membuat keduanya tersedak. Beruntung rokok mereka tidak jatuh dan membakar celana.

“ANJING! Gue jadi keselek.” Umpat Kiming sambil menepuk-nepuk dadanya.

“Tolol banget, Deka.” Jewe segera meminum minumannya.

“Lagi ngapain sih lagian?” Kekeh Deka.

“Nyalain rokok, goblok.” Balas Kiming yang masih kesal.

“Lagian dari belakang kayak ciuman.” Jawab Deka santai.

“Otak lu ciuman mulu.” Kiming memukul bibir Deka sementara yang lain hanya tertawa.

“Udah jajannya?” Tanya Jewe.

“Udah! Gue kalap, banyak banget deh sponsornya.” Jawab Jun yang membawa berbagai macam makanan.

“Keren kan jurusan gue.” Ujar Jewe bangga.

“Jewe!” Refleks, semua orang disitu menoleh ke sumber suara, dan menemukan Lyana yang sedang berjalan menghampiri mereka.

“Eh, Ly. Kenapa?” Tanya Jewe dengan senyumnya.

“Mau keliling gak?” Ajak Lyana.

“Boleh kok.” Jewe segera bangkit dari duduknya dan mematikan rokoknya. Kemudian ia pamit sebentar kepada teman-temannya tanpa ia sadari jika ada sepasang mata yang menatap mereka tidak suka.

“Biasa aja liatinnya, coy.” Celetuk Nyong dengan mulut yang penuh.

“Susah sih dibilangin.” Ujar Hao.

“Gak apa-apa, yang. Kita udah bilangin berkali-kali.” Timpal Jun.

“Apa sih?” Kiming membalas sewot.

“Kalem dong, bang.” Deka ikut meledek. Namun Kiming tidak meresponnya lagi. Ia hanya menyesap rokoknya dengan perasaan kesal yang melanda.

20 menit berlalu, mereka memutuskan untuk pulang. Joshua menyuruh Kiming untuk mencari Jewe, karena mereka harus berpamitan dengan panitia.

Sembari menghela nafas, Kiming melangkahkan tungkainya mencari Jewe. Ia kelilingi semua stand makanan disana, namun tak kunjung temuka Jewe. Ketika Kiming berjalan di lorong sastra yang sepi, netranya menangkap adegan Jewe dan Lyana yang saling melumat. Lyana meremat bahu Jewe.

Ketika dilepasnya tautan bibir mereka untuk mengambil jeda bernafas selama beberapa sekon, Lyana kembali menarik tengkuk Jewe dan keduanya kembali saling memagut.

Gemuruh bisa dirasakan dalam dada Kiming. Tangannya mengepal, tidak suka dengan adegan yang sedang ia lihat. Kemudian Kiming melakukan hal yang sama seperti Jewe —menjatuhkan kunci motornya, hingga kedua insan yang saling bercumbu itu kaget dan melepas tautan bibir mereka.

“Ah... Eh, Kiming...” Lyana terlihat salah tingkah. Sementara Jewe hanya mengulum bibirnya dan berusaha terlihat tenang.

Sorry ganggu. Gue tadi kaget aja.” Ujar Kiming sembari menatap Jewe dingin. “Tadi Kak Josh nyuruh gue nyari lu, soalnya kita mau ketemu panitianya dulu sebelum balik.” Lanjut Kiming.

“Oh... Iya.” Lyana menatap Jewe.

“Kamu juga pulang, We. Pasti kamu capek.” Lyana kembali berucap. Jewe menatapnya dan tersenyum, kemudian mengusap rambut Lyana.

“Mau dianterin pulangnya?” Tanya Jewe.

“Aku bawa mobil, We. Gak apa-apa kok.”

“Oke, hati-hati, ya, Ly. Sampe ketemu lagi, Ly.”

Lyana segera pergi dengan rasa malu yang masih bergejolak ketika bertatapan dengan Kiming. Setelah Lyana pergi, Jewe juga melangkah ke arah Kiming dengan ekspresi tenang.

“Bisa-bisanya gantian ketauan.” Kekeh Jewe. Namun Kiming sama sekali tidak tertawa mendengar ucapannya.

“Kok lu diem aja sih? Masuk angin lu?” Jewe masih mencoba untuk mencairkan suasana yang canggung.

Tidak mendapat jawaban, Jewe memilih untuk diam. Dalam hatinya, ia merasa ada perasaan bersalah dan takut...? Jewe bingung mengapa ia harus merasa seperti itu. Tapi di sisi lain, dia juga bingung, mengapa Kiming terlihat marah padanya sampai-sampai dia enggan berbicara.

“Lama banget.” Protes Deka.

“Maaf maaf, keasikan berduaan sama Lyana.” Jewe menggaruk tengkuknya. Sementara Kiming melengos begitu saja meninggalkan teman-temannya.

“Kenapa tuh, kak?” Bisik Hao. Sementara Jewe hanya mengangkat bahunya.

“Perasaan tadi baik-baik aja. Tapi pas tadi ketemu gue, udah ditekuk mukanya.” Jawab Jewe.

“Kegep ciuman sama Lyana?” Celetukan Joshua membuat Jewe membelalakan matanya.

“Bener?” Tanya Joshua yang juga ikut terbelalak.

“Kak? Anjir... Tadinya gue mau diem-diem aja, tapi gue gak bisa kontrol emosi gue gara-gara kaget.” Jawab Jewe.

“Oh, cemburu.” Balas Jun.

“Apaan cemburu?” Jewe kembali ke mode denial, meskipun jauh di lubuk hatinya, ia memang berharap jika Kiming cemburu.

“Gue yakin lu sama Kiming juga udah paham sama perasaan masing-masing sih, kak.” Hao yang bijak memberi komentar.

“Paham apa sih? Perasaan apaan lagi?”

“Kalau kalian berdua tuh saling suka, masa harus dikasih tau terus?” Jihoon ikut yang mendengar ikut menimpali.

“Gue—”

“Gak, kak. Lu tuh suka Kiming, gak usah ngeyel lagi.” Hao memotong ucapan Jewe yang semua orang sudah tau kalimat template yang akan diucapkan tiap kali ia dituduh menyukai Kiming.

“Lama banget sih.” Mereka yanh sedari tadi mengobrol, segera menatap Kiming yang terlihat kesal.

“Sabar.” Sahut Jewe. Sementara yang lain hanya saling bertatapan.

Setelah mereka bertemu dengan panitia, akhirnya mereka berpamitan dan kembali ke apartemen Hao. Kurang dari sepuluh menit, mereka sampai dan segera mengistirahatkan diri di atas sofa, ataupun lantai, asal tidak di kasur —Hao melarang keras.

“Laper gak sih?” Tanya Deka yang tertidur di atas paha Joshua.

“Asli sih, Ka. Tadi kita cuma makan cemilan, gak ada nasi.” Balas Nyong.

“Orang Indonesia banget, gak nasi gak makan.” Kekeh Jun.

“Mandi dulu kali ya baru kita makan?” Tanya Hao

“Makan dulu anjir, di luar yuk.” Ajak Nyong.

“Emang ada yang masih buka, ya, jam segini?” Tanya Jihoon.

“Ada, sayangku. Banyak kalau sekitar kampus, atau mau motoran juga hayu aku mah.”

“Motoran gak sih?” Ajak Jun.

“Kamu emang hobi keluyuran malem.” Hao mencubit hidung Jun.

“Ya udah ayok dah.”

“Gue tidur aja, ya. Capek.” Ucap Kiming.

“Lah tumben, biasanya paling semangat lu.”

“Males aja.”

“Mau titip gak, Ming?” Tawar Joshua.

“Gak usah, kak. Makasih.”

“Gue nyusul, ya. Sumpah gue gak bisa kalau gak mandi dulu.” Kali ini Jewe yang berbicara.

“Heran banget ada orang hobi mandi.” Celetuk Deka.

“Biar wangi lah.” Balas Jewe.

“Ya udah kita duluan, ya. Nanti kunci kasih ke Kak Jewe aja, ya, Ming.” Kiming hanya mengangguk.

Dan akhirnya hanya ada mereka berdua disana. Kiming menatap Jewe masih dengan tatapan dinginnya, sementara Jewe mengerutkan keningnya, heran. Apakah ia berbuat salah?

“Kenapa sih, Ming?” Tanya Jewe.

“Kenapa?”

“Lah gak tau.”

“Apa sih gak jelas, kak.”

Jewe tidak menanggapi dan melengos menuju tasnya yang ada di dekat sofa untuk mengambil handuknya. Namun, ia mendengar suara pintu kamar mandi yang ditutup. Kiming memakai kamar mandinya. Jewe menghela nafas.

5 menit, 10 menit, sampai 20 menit, Kiming belum juga keluar. Jewe segera mengetuk pintu kamar mandinya.

“Ming, ngapain sih? Mandi juga kagak.” Teriak Jewe dari luar kamar mandi. Tak ada balasan dari dalam kamar mandi.

“Ming, gak pingsan kan lu?” Jewe kembali mengetuk setelah 5 menit kemudian Kiming masih belum keluar. Namun setelahnya terdengar suara gejebur air tanda jika Kiming sedang mandi.

“Berisik.” Hanya itu yang diucapkan Kiming ketika ia keluar dari kamar mandi. Emosi Jewe mulai naik, namun ia memilih untuk diam dan segera mandi karena harus menyusul teman-temannya.

Sekitar 20 menit, akhirnya Jewe menyelesaikan mandinya. Saat ia berjalan di ruang tengah dengan kaos tanpa lengan. Ia menemukan ada Kiming disana, duduk diam memangku tangan. Ia hanya menggunakan kaos hitam yang menonjolkan otot-ototnya, dan membuat Jewe memalingkan wajahnya sebab tiba-tiba pipinya terasa panas. Jewe semprotkan parfumnya dan berhasil membuat Kiming mengalihkan perhatian menjadi tertuju kepadanya. Jewe pun menatap Kiming.

Ia bisa merasakan adanya tatapan marah pada kedua netra Kiming, tapi itu tidak membuat Jewe takut, ia malah semakin intens menatap Kiming dengan matanya yang kian sayu. Laki-laki yang lebih muda beranjak dari duduknya, Jewe tetap tidak melepas pandanganya dari segera pergerakan Kiming.

“Gue gak suka liatnya.” Setelah sepuluh menit hanya saling menatap sengit, Kiming akhirnya berbicara, sementara Jewe hanya merespon dengan menaikan sebelah alisnya.

“Gue gak suka lu ciuman sama Lyana.” Jewe masih tidak berbicara, dalam hatinya ada perasaan menang dan puas.

“Gue gak suka lu deket sama siapapun, gue gak suka. Paham gak sih lu?”

“Gak.” Kata pertama yang keluar dari Jewe dan berhasil membuat Kiming mendengus.

“Gue gak suka banget tiap lu cerita gebetan lu, kak. Gue benci tiap lu bawa gebetan lu tiap kita latihan. Gue gak suka lu deket sama orang lain.” Suara Kiming mulai meninggi. Jewe tetap bergeming, egonya terasa dipenuhi oleh pernyataan Kiming.

“Emang lu siapa? Kenapa juga gue harus ngikutin ucapan lu?” Tangan Kiming mengepal.

“Karena gue cemburu, anjing, kak!” Teriak Kiming. Jewe mendekat ke arah Kiming. Kepalanya sedikit mendongak karena perbedaan tinggi mereka.

“Kenapa cemburu?” Tanya Jewe setengah berbisik. Kiming mendengus kasar dan membuang wajahnya.

“Kenapa, Gyu?” Jewe menekan nada bicaranya, ada satu kalimat yang ingin Jewe dengar dari bibir Kiming secara langsung.

“Karena gue suka sama lu, kak!” Bentakan Kiming membuat senyum tipis Jewe tercipta, karena kalimat yang dia tunggu akhirnya terucap secara sadar oleh Kiming.

“Terus gue harus apa?” Kiming bungkam mendengar pertanyaan Jewe. Ada sebuah desperasi yang merundungnya, sebab ia berpikir jika ia salah telah mengakui perasaannya.

“Lupain aja, kak.”

“Kalau gue gak mau?”

“Apa sih mau lu, kak?”

“Mingyu, itu yang gue mau.”

Sekon selanjutnya, Kiming langsung menjatuhkan Jewe hingga berbaring di atas sofa. Kiming dengan rakusnya memagut bibir Jewe penuh nafsu. Ia melumat, menjilat, dan menggigit bibir Jewe, memberikan isyarat agar lelaki di bawahnya itu membuka mulut.

Kala Kiming mendapat apa yang ia mau, dengan lihai, ia menelusupkan lidahnya ke dalam mulut Jewe, pun sebaliknya. Lidah mereka saling melilit, sesekali dihisap dengan kuat sampai saliva menetes, entah milik siapa, tidak ada yang tau milik siapa, sebab pertarungan lidah mereka yang sengit benar-benar membuat saliva mereka berceceran di sekitar dagu.

Sampai Kiming melepas tautan mereka hingga benang transparan tercipta. Tentu saja tidak berhenti disitu, Kiming mengecup rahang tegas Jewe, turun ke lehernya yang beraroma cherry.

Fuck, you smell so delicious.” Kiming menjilati leher Jewe. Sementara Jewe melenguh saat merasakan gigi taring Kiming menggigitnya, lantas menghisapnya dengan kuat hingga ia hanya bisa meremas bahu Kiming.

“Ming... Nanti ketauan yang lain.” Lenguh Jewe dengan netra yang terpejam.

“Jadi lu pengen gue berhenti?” Giliran Kiming yang menggoda Jewe, karena ia tau jika sebenarnya lelaki yang lebih tua itu menikmati segala aktivitasnya.

“Ng—nggak... Lanjutin.” Kimig tersenyum puas, lantas ia mengecupi seluruh leher Jewe dan membuat Jewe merinding sebab rasakan hembusan angin hangat dari nafas Kiming. Kemudian bibir tebal Kiming mengecupi tulang selangka Jewe yang diam-diam sering ia perhatikan ketika Jewe hanya menggunakan kaos tanpa lengan ketika sedang latihan.

Tanpa meminta izin, Kiming semakin turun, mengecupi puting Jewe yang masih terbalut kaos putihnya.

“Kiming— Gak... Jangan.” Sebuah kontradiksi ketika bibirnya ingin menolak, namun justru tubuhnya melengkung ke atas, tanda jika ia menikmati.

Kiming tidak mempedulikannya, ia menekan-nekan puting Jewe dengan ujung lidahnya dan membuat kaos Jewe menjadi basah hingga Kiming dapat melihat dengan samar puting yang menegang itu.

“Yakin mau gue berhenti, kak?” Tanya Kiming sambil mencubit dan memilin puting Jewe.

No, please— Keep going.” Pinta Jewe yang sudah tidak peduli dengan segala pertanyaan perihal seksualitasnya.

Kiming menggesek puting Jewe dengan kukunya, membuat tubuh Jewe menggeliat di atas sofa, dengan tangan yang meremat surai Kiming.

“Kak, panggil nama gue.” Titah Kiming.

“Ming— Ahh...” Kiming menyentil puting Jewe dengan kuat sampai ia meringis dan refleks menjambak rambut Kiming.

“Yang bener.”

“Gyu— Mingyu.” Mingyu tersenyum puas dan melanjutkan kegiatannya. Ia gigit puting Wonwoo dan menggeseknya dengan gigi, lantas kembali menghisapnya dengan kuat hingga dada Wonwoo membusung.

Ketika Mingyu dengan rakusnya melahap dada Wonwoo, dengan sengaja, Wonwoo menggesekan lututnya dengan kejantanan Mingyu.

You're already hard.

“Anjing, kak. Ngilu.” Lenguh Mingyu saat Wonwoo semakin menggesekkan lututnya dengan penis milik Mingyu yang masih terbungkus boxernya.

Mingyu menahan kaki Wonwoo agar diam, kemudian ia melebarkannya dan menggesekan selangkangannya dengan milik Wonwoo.

“Ahh...” Lenguhan keluar bersamaan dari bibir mereka akibat friksi yang tercipta.

“Anjing, sange banget, kak.” Erang Mingyu sambil memijat-mijat penisnya sendiri.

“Buka, Gyu.” Giliran Wonwoo yang memberi titah.

“Serius?”

“Lu bilang lu sange.”

Meskipun merasa malu, Mingyu tetap melepas celananya dan membuat Wonwoo cukup terbelalak saat melihat ukuran Mingyu yang... Besar.

“Kak, kocokin.” Pinta Mingyu.

Wonwoo diam sejenak, baru kali ini ia mengocok penis orang lain, karena tentu saja sebelumnya ia hanya memberikan kenikmatan untuk dirinya sendiri.

Beberapa detik setelah berpikir, akhirnya Wonwoo memegang penis Mingyu dan mulai mengocoknya. “Is it good?” Wonwoo menatap Mingyu yang memejamkan matanya.

Fucking good. Cepetin, kak.” Entah mengapa, Wonwoo sangat menuruti segala perkataan Mingyu. Tangannya bergerak makin cepat dan sesekali ia gesek lubang kencing Mingyu dengan kukunya yang sukses membuat lelaki yang lebih muda itu membanting kepala ke belakang dengan erangan penuh nikmat.

Melihat Mingyu, nafsu Wonwoo juga ikut naik. Ia bisa merasakan jika kejantan miliknya ikut menegang bahkan berkedut saat Mingyu menatapnya dengan tatapan sayu dan bibirnya yang terbuka.

“Sepongin, kak.” Wonwoo membelalakan matanya, tangannya juga berhenti.

“Gila, ya?”

“Iya.”

Wonwoo meneguk ludahnya, menatap penis Mingyu yang masih mengacung dengan gagahnya. Dadanya berdetak kencang karena ia melakukan ini untuk pertama kalinya.

Ketika Wonwoo masih bergelut dengan pikirannya, Mingyu menekan kepala Wonwoo hingga penisnya bersarang di mulutnya hinhga Wonwoo sedikit tersedak. Ada perasaan aneh yang mengusai ketika benda besar dan keras itu masuk ke mulutnya.

“Kak— Move your head.” Mingyu lagi-lagi memberi perintah dan Wonwoo mengikutnya.

Kepala Wonwoo bergerak naik turun, dibantu dengan satu tangannya yang mengocok penis Mingyu.

Bola mata Mingyu berputar, kepalanya bersandar pada sofa, tangannya meremas rambut Wonwoo. Semakin lama, ia dapat merasakan jika penisnya makin berkedut.

Suck it.

Wonwoo menghisap penis Mingyu dengan kuat sampai tubuh Mingyu bergetar dan akhirnya memuntahkan cairan putihnya dalam mulut Wonwoo.

I didn't know if you were good at sucking, even better than my exes.” Sebuah komparasi yang entah mengapa membuat rona merah tercipta di pipi Wonwoo.

Mingyu kembali menidurkan Wonwoo di sofa, ia membuka celana Wonwoo dan melemparnya sembarang.

Untuk beberapa saat, Mingyu tertegun melihat betapa mulusnya tubuh Wonwoo. Sementara yang ditatap hanya bisa memalingkan wajahnya yang terasa semakin panas.

You're painfully gorgeous.” Sebuah pujian kembali keluar dari bibir Mingyu.

“Gue masukin, ya, kak.”

Wonwoo langsung meremat lengan Mingyu. Ia menatap lelaki yang lebih muda, kemudian menggigit bibirnya. Masih ada rasa berkecamuk sebab lagi-lagi ia belum pernah menjadi pihak bottom karena selama ini ia tidak pernah berhubungan dengan pria.

“Gue?” Tanya Wonwoo.

Mingyu tidak menjawab, namun ia kembali ciptakan gesekan melalui penisnya ke lubang anal milik Wonwoo dan sukses membuat tubuh Wonwoo kembali melengkung.

“Mau?” Tanya Mingyu memastikan. Wonwoo meneguk salivanya.

Slowly, this is my first time.” Cicit Wonwoo.

“Menurut lu gue bakal bisa pelan?”

Tanpa aba-aba, Mingyu menusukan setengah penisnya ke dalam anal Wonwoo dan sukses membuat Wonwoo menjerit kencang karena perih yang menyerang tubuh bagian bawahnya.

“Gyu... Pelan-pelan, please.” Rengek Wonwoo.

“Ahh! Kim Mingyu!” Jeritan Wonwoo semakin kencang kala Mingyu menghentak masuk seluruh penisnya. Air mata Wonwoo menetes karena seluruh tubuhnya terasa remuk.

“Gyu— Please, I beg you.” Wonwoo sedikit terisak.

“Sakit?” Tanya Mingyu sementara Wonwoo hanya mengangguk. “Itu yang gue rasain pas liat lu ciuman, kak. Sakit.” Mingyu kembali menghentak kejantanannya hingga tubuh Wonwoo bergetar.

“Gue gak suka liatnya. Paham gak?” Satu hentakan lagi.

Wonwoo meremat sofa sangat kuat. Air matanya tak berhenti keluar karena Mingyu yang lampiaskan amarahnya.

“Iya, paham, Mingyu. Please, udah, sakit banget, Gyu.” Semakin Wonwoo merengek, semakin kuat hentakannya.

“Janji dulu gak akan gitu lagi.” Mingyu menggerakan pinggulnya dengan penuh nafsu birahi dan amarah. Sementara Wonwoo hanya bisa pasrah sambil menangis.

“J—janji, Mingyu. Gak akan gitu lagi. Ahh— gak akan ciuman lagi sama yang lain.” Isak Wonwoo yang semakin kencang.

Mingyu yang egonya sudah terpenuhi lantas memperlambat temponya. Ia mendiamkan penisnya di dalam anal Wonwoo. Kemudian menundukan badannya dan melumat bibir Wonwoo dengan sangat lembut.

Sementara itu Wonwoo menggigit bibir Mingyu untuk melampiaskan sakitnya ketika Mingyu bergerak perlahan. Semakin lama, rasa sakit itu terkonversi dengan rasa nikmat. Isak tangis kini berubah menjadi lenguhan-lenguhan panjang.

I'm sorry I hurt you.” Bisik Mingyu lembut, ia menghapus sisa-sisa air mata Wonwoo.

Should I just stop?” Mingyu mendapat penolakan keras dari Wonwoo.

Keep going, please. It's getting better.” Desahan Wonwoo membuat Mingyu tersenyum dan mempercepat ritme permainannya.

Can I move faster?” Tanya Mingyu.

Please.

Mingyu semakin mempercepat genjotannya. Semakin lama, semakin dalam, bahkan suara kulit mereka yang saling beradu memenuhi ruang tengah apartemen itu berkolaborasi dengan melodi yang berbentuk dalam desahan erotis keduanya.

Fuck, I don't know if fucking an ass will be this good.” Racau Mingyu.

“Gyu— I think I wanna cum.

Mingyu mengangkat kedua kaki Jewe ke atas bahunya dan menyodok anal Wonwoo semakin dalam dan kuat, bahkan kedua testis mereka saling bertemu dan membuat keduanya bergetar.

Mingyu keluarkan setengah batang penisnya, sekon selanjutnya ia menghentak dengan sangat kuat hingga cairan putih milik Wonwoo keluar mengotori perutnya, sementara cairan Mingyu keluar di dalam anal Wonwoo.

“Anjing, enak banget, kak.”

Dengan mulut yang terbuka, keduanya berlomba untuk meraup oksigen sebanyak mungkin. Keduanya saling menatap sayu, wajah mereka sama-sama bersemu. Tangan Wonwoo bergerak untuk membelai pipi Mingyu, lantas rahangnya.

Shit, you're so hot, till I can't resist asking you for another round.

Mingyu menganggapnya sebagai sebuah jackpot, karena dirinya sendiri masih ingin membuat Wonwoo menjerit penuh rasa nikmat di bawah dominasinya. Sekejap, ia membuat Wonwoo terbangun dari posisi tidurnya dan terduduk di atas pangkuannya masih dengan penisnya yang bersarang sempurna dalam anal Wonwoo. Pergerakan itu tentu saja membuat keduanya kembali melenguh.

As your ask, princess.” Mingyu membenamkan wajahnya di antara ceruk Wonwoo. Menghirup dalam-dalam aroma cherry yang seduktif.

Mingyu melepas satu-satunya fabrik yang digunakan Wonwoo; kaos putih yang bagian putingnya sudah basah karena saliva. Jemari Mingyu yang sedikit kasar karena frekuensi ia menekan senar gitar akhir-akhir ini membuat gesekan pada putingnya itu terasa semakin membangunkan gairah Wonwoo.

Satu tangan Mingyu mencengkram pinggang Wonwoo, dan ia cukup kaget sebab pinggang Wonwoo begitu ramping. “Your waist is perfectly wrapped in my grip.” Bisik Mingyu kemudian ia kecupi daun telinga Wonwoo yang membuat lelaki di pangkuannya itu menggeliat.

Tanpa ucapan apapun, Mingyu menghentak penisnya dan membuat Wonwoo meremas bahu Mingyu kuat.

Move your hip.

“Ahh... I have a request.*” Ucapannya terbata-bata sambil ia menggerakkan pinggulnya. “Pake Indo, Gyu. Do it in Bahasa.” Lanjut Wonwoo dan membuat Mingyu cukup kaget, namun tetap berhasil menyembunyikannya.

You're hotter when you frontally cursing in Bahasa.” Pinta Wonwoo lagi.

Are you also asking me to degrade you?

Yes... Yes, please. I beg you.

“Jadi emang lu suka direndahin, ya, kak?” Wonwoo mengangguk dengan matanya yang menatap Mingyu penuh nafsu.

Tangan Mingyu bergerak, jemari-jemarinya membungkus leher Wonwoo dengan ibu jari dan leher yang menekan rahangnya.

“Selama ini lu gak bisa nemu enaknya ngewe sama cewek—” Mingyu menjeda kalimatnya, menghentak penisnya dengan kuat sampai kepala Wonwoo terbanting ke belakang.

“Karena lu lebih suka anal lu dikontolin, gitu?” Rintihan lain keluar dari bibir Wonwoo karena analnya yang ditusuk makin dalam oleh Mingyu.

“Jawab, kak. Jangan kayak orang tolol.” Mingyu semakin menekan rahang Wonwoo.

“I—iya, Mingyu.”

“Iya, apa?”

“Iya, gue lebih suka anal gue dikontolin sama lu.”

Wonwoo berhasil memberi makan ego Mingyu. Kedua tangan Mingyu kini berada di pinggang Wonwoo. Ia menghentak penisnya makin kuat hingga titik terdalam Wonwoo yang berhasil membuat tubuh Wonwoo melenting dengan jeritan-jeritan yang penuhi ruangan. Nafsu birahi suah membakar keduanya, bahkan ketika ponsel mereka berdering, mereka memilih untuk tidak peduli.

“Anjing, jangan diketatin, kak.” Mingyu bisa merasakan jika penisnya semakin terhimpit oleh dinding anal Wonwoo.

Pinggulnya bergerak maju mundur, menggoyangkannya dengan agresif hingga seluruh penis Mingyu dapat ia rasakan menyentuh prostatnya.

“Mingyu— besar banget.” Racau Wonwoo.

“Enak disodok kontol gini, kak?” Mingyu kembali menghentak, hingga cairan precum Wonwoo keluar.

Fucking good.” Suara Wonwoo semakin serak.

Mingyu dekap pinggang Wonwoo hingga penis Wonwoo yang mengacung itu menggesek perutnya. Kaki Wonwoo ia kaitkan pada pinggangnya, sementara kakinya sendiri ia tekuk bersila, dan hal itu sukses membuat jeritan Wonwoo menggila sebab Mingyu bagai kerasukan, menyodok analnya lebih brutal. Sementara penisnya terus menggesek perut Mingyu yang bergelombang hasil gym setiap minggunya.

“Mingyu... Please, please suck my nipple.” Rengek Wonwoo.

“Bangsat lu binal banget, kak.”

For you only.

Dan Mingyu menjilati puting Wonwoo, menggeseknya, menariknya dengan gigi, lantas menghisap penuh nafsu. Tak lupa untuk tinggalkan jejak keunguan di sekitar dada Wonwoo.

Sementara Mingyu bekerja di dadanya, si lelaki yang duduk di atas semakin liar menggoyangkan pinggulnya. Bergerak maju mundur hingga naik turun dan ciptakan suara kulit yang menggema, beradu dengan desahan serak dari keduanya. Lengan besar Mingyu meremas bokong Wonwoo dengan kuat, memberinya tamparan keras hingga Wonwoo merintih. Semakin kuat tamparannya, semakin ketat dinding anal Wonwoo menjepit penis Mingyu.

“Gyu... Mingyu, kontol gue kedutan lagi.” Kalimatnya tersendat.

“Gampang banget lu keluarnya.”

“Ahh... Biasanya— ahh... Gak secepet ini.”

“Soalnya lu lebih suka diewe kontol, kak, daripada ngewe memek.”

“Anjing, gue sange banget. Mau keluar, Gyu—”

Mata yang tadinya tertutup kini menatap Mingyu kecewa sebab ia menghentikan permainannya. Sebuah rengekan keluar, bentuk dari desperasinya.

“Gyu... Kenapa berhenti? Gue udah mau keluar lagi, Gyu.” Rengek Wonwoo.

Seringai kecil menghias wajah Mingyu. Sambil memainkan puting Wonwoo yang sudah membengkak. Mingyu suka mendengar rengekan Wonwoo. Ia suka ketika Wonwoo menjadi sangat submisif dan meminta untuk mendominasinya.

Beg me.

“Mingyu— Tolong, genjotin lagi, gue mau keluar lagi, Gyu. Please, I beg you, I want you to wreck my anal.

Persetan dengan gengsi, Wonwoo hanya ingin mencapai klimaksnya. Ia hanya ingin Mingyu membawanya terbang ke nirwana dengan hentakan-hentakan yang buatnya pusing dan memabukan. Namun, bukannya lanjut bergerak, Mingyu justru mencabut penisnya dari anal Wonwoo.

“Gyu, kok dica— Ahh...”

Belum selesai kalimat protes dilayangkan, Mingyu segera membungkam Wonwoo dengan tamparan pada pantatnya. Kini punggung Wonwoo menjadi pemandangan Mingyu. Ia gesekan kepala penisnya pada permukaan anal Wonwoo yang membuat lelaki yang sedang menungging itu bergetar.

“Cuma digesekin aja lu udah gemeteran gini, kak, gimana kalau gue ngehentak kayak gini—”

“Ahh! Mingyu...”

Satu hentakan yang sangat kuat hingga tubuh Wonwoo terdorong ke depan. Ia meremat sofa sebagai tumpuan agar ia tidak terjatuh, sekaligus untuknya lampiaskan rasa nikmat. Hentakan Mingyu kali ini tidak secepat sebelumnya, namun lebih dalam dan kuat sampai Wonwoo hanya bisa menjeritkan namanya. Kemudian ia kembali menggenjot anal Wonwoo dengan tempo cepat, dan kembali melambat. Genjotan acaknya itu sukses membuat lutut Wonwoo yang menjadi tumpuan badannya terasa bergetar.

“Anjing, kontol lu makin besar, Mingyu. Sesek banget.”

Mingyu menunduk hingga dadanya bersentuhan dengan punggung Wonwoo. Kedua kaki Wonwoo dihimpit oleh lutut Mingyu yang membuat penis Mingyu semakin dalam menyodok anal Wonwoo. Sementara tangannya kembali mencekik leher Wonwoo sambil ia kecupi daun telinganya dan membisikan segala kata kotor yang buat Wonwoo akhirnya mengeluarkan putihnya dan mengotori sofa milik Hao.

“Gyu... Gue udah keluar, lemes, Gyu—”

Bukannya berhenti, Mingyu justru semakin brutal menggerakan pinggulnya, menekannya hingga ke ujung. Ia dapat rasakan jika penisnya semakin membengkak di dalam anal Wonwoo. Genjotannya kini semakin acak, terkadang ia menggenjot pelan namun dalam, terkadang ia naikan kecepatannya, menambah friksi yang mampu membuat bola matanya bergulir.

“Ahh... Sebentar lagi, kak. Tahan, gue mau pejuin anal lu.”

“Mingyu— Ahh!” Mingyu kembali menekan rahang Wonwoo acap kali ia membuka suara.

Mingyu keluarkan setengah penisnya, menggenjotnya pelan, dan dalam sekali hentakan, ia bisa merasakan cairannya mulai keluar. Pinggulnya bergerak semakin tak karuan. Ia tarik tubuh Wonwoo yang sudah lemas hingga dada dan punggung mereka kembali bertemu. Lutut Wonwoo masih bergetar, namun Mingyu terus menghujani titik terdalamnya tanpa ampun. Mingyu kembali menghentak dengan sangat kuat hingga erangan panjang tak bisa tertahankan saat seluruh putihnya menyembur.

“Kak— Enak banget.”

Mingyu mendudukan dirinya tanpa melepas kontak, dan membuat Wonwoo duduk di atasnya dengan punggung polos Wonwoo yang jadi pemandangan Mingyu.

Sia-sia mandi mereka, sebab keringat yang menbuat tubuh mereka kembali lengket, bercampur dengan cairan keduanya. Belum lagi sofa Hao penuh dengan gurat-gurat jejak putihnya Wonwoo.

“Lu gila banget, Gyu.” Wonwoo masih dengan nafas yang tersengal dan mata yang terpejam.

“Gara-gara lu, kak.”

“Geli.”

Mingyu terkekeh mendengarnya. Ia mengecupi bahu Wonwoo hingga ke lehernya. Kemudian ia menarik dagu Wonwoo hingga mendongak. Lumatan pelan mereka bagi, hanya sebentar, sebab nafas mereka pun masih tersengal. Wonwoo menyandarkan punggungnya ke dada Mingyu.

“Gyu, sofanya Hao gimana?” Tanya Wonwoo masih dengan mata yang terpejam.

“Udah gak usah dipikirin dulu anjir. Gampang itu.”

“Bukan gitu... Nanti mereka tau dong kita ngewe?”

Mingyu yang tadi memejamkan mata langsung menatap Wonwoo yang ternyata matanya juga sudah terbuka dan menatap kosong ke atas.

“Kak... Jangan bilang abis kita ngewe gini lu masih denial?” Tanya Mingyu. Wonwoo meliriknya, ia dapat melihat ada sedikit kekhawatiran dari nada suara Mingyu.

“Loh, emang kita ngewe gini bukan karena lagi capek, ya?”

“Kak... Lu serius gak sih?”

“Ya serius lah. Kayak pertama kali kita ciuman juga itu gara-gara capek kan?”

Dari skala satu sampai sepuluh, nilai ketakutan Mingyu berada di angka maksimal. Ia takut jika Wonwoo memang hanya iseng melakukan ini semua semata-mata hanya untuk mengusir lelah. Mingyu takut Wonwoo akan kembali menjadi seseorang yang straight.

Mingyu takut jatuh seorang diri.

“Kak... Lu literally dari tadi minta gue ngewein lu, minta biar gue ngegenjot makin—”

Bibir Mingyu dibungkam oleh bibir Wonwoo, namun Mingyu segera melepasnya lagi.

“Kak, jangan gini, kak. Please bilang sama gue kalau lu becanda, kak.”

“Lu mau gue serius?”

“Iya.”

Beg me.

Mingyu menghela nafasnya. Ia mengacak rambutnya frustasi. Sementara Wonwoo hanya tertawa melihatnya.

“Iya iya, gue gak akan denial lagi.” Dan binar di mata Mingyu tercipta.

“Serius, kak?”

“Nanya gitu lagi, gue ciuman depan lu.”

“Gue konto—”

Lagi-lagi bibir Wonwoo menutup bibir Mingyu agar tidak berbicara kotor lagi. Bukan apa-apa, mereka bisa memasuki ronde tiga jika Mingyu terus memberi kata-kata tidak senonoh.

“Gara-gara lu, gue jadi keringetan lagi, percuma mandi sama pake parfum.”

“Masih wangi, kak.”

“Masa sih?”

“Wangi peju.”

“Mingyu!”

Lelaki yang lebih muda terkekeh dan kembali mengecup bibir Wonwoo.

“Anjir, sayang banget gue sama lu, kak.”

“Dih, baru juga ngewe sekali udah sayang. Gampangan, ya, lu?”

“Kalau gue ngatain lu gampangan, lu bakal turn on, ya, kak?”

“Mingyu!”

“Aduh gemes banget anjir. Dari dulu pengen bilang lu gemes tapi ketahan gengsi sama denial.”

“Emang manusia.”

“Satu lagi yang pengen gue bilang semenjak lu ganti warna rambut kemaren.”

“Apaan?”

“Cantik, kak.”

“Tai.” Umpat Wonwoo tapi dengan pipinya yang merona.

“Eh, ada satu lagi, kak.”

“Apa lagi sih?”

I love you.

“Hmm...”

“Dih, kok hm doang sih?”

Mingyu tidak tahu jika dada Wonwoo sekarang sebenarnya sedang berdebar kencang hingga ia tidak bisa mengeluarkan kalimat apapun untuk membalasnya.

“Bales kali.”

“Kata siapa gue love sama lu?”

“Gue lah.”

“Pede.”

“Bales dong, kak.”

Beg me.

Please, kak.”

I love you too.

Sebuah kalimat yang sudah lama keduanya nanti, namun baru sempat terucap.

Gue baru satu tahun jadi penghuni kontrakan, tapi gak tau udah berapa kali gue bersyukur masuk kontrakan ini. Gue bersyukur banget punya abang-abang yang baik dan pengertian banget. Contohnya ya kayak Bang Mingyu, gue tau dia ngajakin gue bareng karena beberapa hari yang lalu gue cerita ke dia kalau gue sebenernya masih takut buat ke kampus, dan sekarang Bang Mingyu ngajakin bareng walaupun emang dia ada bimbingan, tapi gue tau Bang Mingyu kalau berangkat kuliah tuh biasanya 15 menit sebelum jamnya, sementara sekarang dia rela nungguin satu jam sebelum bimbingannya mulai. Belum lagi dia ajak gue makan plus traktir gue.

Anak kontrakan itu saking deketnya jadi gengsi mau ngungkapin rasa sayang, termasuk gue. Padahal gue tau kok kalau kita semua sebenernya saling bersyukur punya orang yang awalnya asing tapi malah jadi keluarga gini. Walaupun emang sempet berantem, tapi gue yakin banget, abis berantem ini, kita semua bakal makin deket.

“Kwan, udah belum?” Bang Mingyu ngetuk kamar gue.

“Udah, Bang.” Gue keluar dan liat Bang Mingyu udah rapi.

“Ya udah ayok dah.” Ajak dia.

“Masih lama, Bang.” Gue gak mau harus nunggu masuk kelas kelamaan, karena gue bisa ngerasain kalau orang-orang selalu natap gue.

“Elah, di kantin aja. Gue laper.” Katanya.

“Ya udah.” Akhirnya setelah mikir, gue mau aja berangkat awal. Selama sama Bang Mingyu, aman sih.

Sebenernya gak perlu waktu lama buat sampe ke kampus. 15 menit juga sampe. Kita berdua langsung ke kantin.

Dan lagi... Gue bisa rasain banyaknya tatapan mata yang nyorot ke arah gue. Meskipun gue coba positif kalau tatapan itu buat Bang Mingyu, tapi ternyata gue gak bisa sepositif itu. Gue tadi gak sengaja saling tatap sama orang yang gue aja gak kenal. Dia diem-diem natap ke arah gue.

“Din!” Gue ikut nengok pas Bang Mingyu lambai-lambai tangan, ternyata ada Dino bareng Jingga, sama... Maura. Mereka emang sekelas. Dan ketiganya langsung samperin kita.

“Udah kelar lu?” Tanya Bang Mingyu.

“Nanti ada kelas lagi, padat jadwal gue hari ini.” Jawab Dino.

“Kak Mingyu ada kelas?” Tanya Maura.

“Nggak, gue ada bimbingan aja, Mau.” Jawab Bang Mingyu.

“Ya udah duduk dah, gue traktir.” Katanya Bang Mingyu.

“ASIK.” Dino duduk di sebelah Bang Mingyu. Maura duduk sebelah gue terus sampingnya lagi ada Jingga.

“Lu kemana aja sih? Buset dah udah kayak artis gue rasa, susah banget dihubungin.” Maura mukul bahu gue. Biasanya gue bakal sewot, tapi sekarang gue malah ngerasa bersalah sama dia, keinget waktu gue debat sama Dino, gue main salahin Maura.

“Eh lu sakit? Diem aja biasanya emosian.” Katanya sambil cekikikan terus minum milo dinginnya.

Di saat gue cuma diem, gue bisa denger dengan jelas ada bisik-bisik kalau mereka ngomongin gue yang baru masuk kuliah lagi, belum lagi masih ada aja yang bilang kalau beasiswa gue bakal dicabut.

“Hadeh.” Bang Mingyu yang lagi makan batagor langsung ngehembusin nafasnya kasar. Maura sama Dino juga langsung nengok ke arah orang yang ngomong dengan muka sewot.

“Gak kurang kenceng tuh ngomong?” Kata Maura galak.

“Sekalian tuh pake toa anak BEM.” Dino ikutan.

“Kalau gak bisa ngomong yang baik-baik, mendingan diem aja, adek-adek.” Bang Mingyu ikutan. Kalian harus tau, Bang Mingyu emang cengagas cengeges anaknya, gue akuin emang anaknya ramah banget walaupun gue suka ngeledek dia tebar pesona, tapi aslinya mah emang seramah itu, senyum sama nyapa siapa aja. Tapi kalau udah kesel, jangan harap dia senyum, bakal langsung kepikiran apa salah lu sampe dia bisa semarah itu, ekspresinya bener-bener nunjukin kalau dia gak suka. Makanya sekarang itu orang yang ngomong keliatan langsung senggol-senggolan.

“Aku juga setuju sama Kak Mingyu. Lebih baik jaga lisan dari pada buka mulut tapi nyakitin orang.” Sampe Jingga juga ikutan ngomong.

Seketika ketiga orang yang bisik-bisik tadi langsung pindah duduk. Padahal awalnya mereka mau duduk di meja sebrang kita. Kata gue sih keburu jiper duluan dengerin Maura, Dino, Jingga, Bang Mingyu.

“Belum aja gue siram tuh muka pake cuko pempek.” Maura masih aja ngomel meskipun orangnya udah pergi.

“Anak komunikasi bukan?” Tanya Bang Mingyu.

“Iya, Bang.” Jawab gue.

“Tau gak namanya?”

“Gak tau, gak kenal. Biarin aja dah.”

“Siapa tau mau masuk klub jurusan, gue nanti ngomong sama ketua-ketuanya biar ditandain tuh bocah-bocah.”

“Weits, jagoan ikom.” Ledek Dino.

“Emang anak sundel.” Dino, Maura, sama Jingga malah ketawa denger balesan Bang Mingyu.

“Kalian udah kelar kelas?” Tanya Bang Mingyu lagi.

“Masih ada kelas, tadi gue udah bilang, ya, anjim.” Jawab Dino emosi.

“Ya, maap, lupa tadi gara-gara emosi.” Timpal Bang Mingyu lagi.

“Kelarnya jam berapa?” Semuanya nengok ke gue, mungkin karena kaget gue inisiatif nanya duluan soalnya dari tadi diem aja.

“Jam 4-an lah, tapi semoga gak lama-lama, tugas Bu Ani belum kelar anjir.” Kata Dino.

“Ckckck, mahasiswa apa begini? Untung gue udah kelar.” Saut Maura. Gue diem aja.

Setelah selesai makan, kita semua balik ke gedung fakultas, terus mencar karena Dino, Jingga, Maura ya anak humas, gue ikom, sementara Bang Mingyu mau bimbingan di lantai dua.

Saat gue sampe depan kelas, gue ngehela nafas dulu, keliatannya orang-orang lagi pada ngobrol. Hari ini kelas matkul atas, jadinya mahasiswanya campuran dari berbagai kelas.

Gue beneran takut banget sampe diem beberapa saat di depan pintu kelasnya. Gue mikir apa mereka lagu ngomongin gue. Apa mereka lagi ngejelekin gue. Semua pikiran negatif hinggap di kepala gue.

“Seungkwan!” Gue nengok dan ada Binar disana sambil senyum lebar.

Kenapa gue bisa lupa kalau gue sekelas sama Binar. Untung aja ada dia, gue jadi gak takut-takut banget buat kelas hari ini.

“Kenapa gak masuk?” Tanyanya.

“Lu tau sendiri, Nar.” Jawab gue dan gue langsung nyesel jawab gitu, karena jawaban gue ngeselin banget. Tapi Binar tetep senyum aja.

“Ya udah ayok, masuk. Duduk deket aku aja!” Ajak Binar ceria.

Akhirnya kita berdua masuk dan keadaan kelas seketika agak hening. Pikiran negatif gue hinggap lagi. Biasanya kalau kayak gitu orang-orang yang ketangkap basah lagi ngomongin orang yang lagi diomonginnya kan?

“Udah makan?” Tanya Binar. Gue cuma ngangguk karena pikiran gue masih gak bisa dikontrol.

“Makan sama apa?” Binar terus ngajak gue ngobrol.

“Ayam bakar madu.”

“Oh, makan di kantin?” Gue ngangguk lagi.

“Sama siapa?”

“Dino, Jingga, Maura, Bang Mingyu.” Pas sebutin nama Bang Mingyu, gue langsung ngelirik Binar. Ya, walaupun gue akhir-akhir ini diem aja, bukan berarti gue gak tau ada masalah apa aja di kontrakan, apalagi setelah kemarenan ngobrol semua, gue seenggaknya tau.

“Eh, maaf...” Binar ngerutin dahinya.

“Kenapa minta maaf?”

“Soalnya gue sebut Bang Mingyu...”

“Emang kenapa? Gak apa-apa lah! Aku kan gak ada masalah sama Kak Mingyu, jadi gak ada alesan juga buat aku ngehindarin Kak Mingyu, kalaupun ada masalah, lebih baik aku hadapin langsung.”

Jawaban Binar bikin gue tertegun. Bener, gue gak punya masalah sama orang-orang ini. Kenapa gue harus takut dan ngehindarin mereka?

“Eh, aku punya grup sama cewek-ceweknya anak kontrakan tau.” Kata Binar lagi dan nunjukin grup mereka. Gue kaget tapi juga ketawa-ketawa baca grupnya. Grupnya didominasi sama Teh Oris sama Maura yang ngelucu terus, Binar juga sama aja. Teh Naya bagian diledekin, Teh Odri bagian yang nyerang dengan fakta tapi ada Teh Aul yang jadi counter buat Teh Odri. Jingga sama Helen bagian ketawa, Teh Embun bagian kirim emot nangis buat nanggapin semua buble chat, Bu Kinan bagian ngomong 'maaf baru nimbrung'.

“Lucu banget kan? Harus beneran makasih sama kakak-kakak kontrakan soalnya aku jadi punya temen banyak dan lucu ini.” Katanya Binar lagi.

Pas gue masih baca-baca grup mereka, tiba-tiba ada notif masuk. Gue gak sengaja baca, notifnya dari Maura yang isinya tuh...

'Naarrr, Seungkwan gimanaa moodnyaa?'

Binar langsung buru-buru ambil hp-nya dan dia ngelirik ke gue panik. Terus dia keliatan bales chat Maura abis gitu senyum kikuk ke arah gue.

“Makasih, ya, udah perhatian.”

“Hehehe kebaca, ya?” Binar nyengir sambil garuk kepalanya. Gue ngangguk sambil senyum kecil.

“Maura nanyain terus katanya aku sekelas sama kamu gak? Kamu gimana keadaannya kalau kuliah? Aku sering liat kamu atau nggak. Pokoknya dia nanya terus, tapi tenang aja, aku juga gak capek kok ditanya gitu.” Binar nyengir lebar sambil anggukin kepalanya bangga.

Gue ngehela nafas panjang, rasanya gue pengen nangis, tapi gak mungkin gue nangis di kelas. Gue beneran berterimakasih banget sama Tuhan karena dikasih temen-temen yang baik dan mau percaya sama gue.

“Makasih, Nar. Makasih banyak.” Suara gue sedikit bergetar pas ngomong gitu, dan Binar senyum.

“Kalau aku bilang buat jangan nangis, pasti malah kebalikan, ya? Jadi aku mau bilang, sama-sama!” Gue ketawa denger balesannya Binar.