setetesmatcha

24 jam sudah Wonwoo berada di Jakarta. Oh, mungkin kalian bingung apa maksudnya? Selama dua tahun terakhir setelah wisuda, Wonwoo memilih Negeri Paman Sam sebagai tempat tinggalnya.

Penyebabnya? Tentu saja kalian tau, atau mungkin tidak?

Jika tidak, mari kita jelajahi kilas balik dimana kedua netra Wonwoo hanya bisa menatap lelaki yang pernah —ralat, masih ia sayangi bersanding dengan teman terdekatnya, dalam balutan fabrik serba putih di sebuah taman dengan berbagai hiasan bunga yang cantik. Senyuman senang dari kedua orang di atas pelaminan itu sungguh kontradiksi dengan ekspresi Wonwoo yang bercucuran sudah air matanya.

Disaat video meriahnya sorai para tamu yang hadir dan kala kamera menyorot bibir Mingyu yang mengecup kening Joshua penuh afeksi, Wonwoo segera menutup media sosialnya mendeinstalasinya.

Bulan pertama hingga bulan ketiga Wonwoo menetap di Amerika, tak banyak yang ia lakukan selain binge watching yang sebenarnya tidak ada satupun yang bisa ia selesaikan sebab otaknya enggan berpindah dari memori lama yang ujungnya mengirim sinyal ke sistem lakrimal untuk menghasilkan air mata.

Gelayut kantung matanya sudah memprihatinkan, itu sebabnya di bulan ke empat, ia memilih untuk mencari pekerjaan 'tuk sibukan diri. Meskipun awalnya sulit, namun lama kelamaan Wonwoo terbiasa, malah terlalu terbiasa hingga kesehatannya terkadang cepat menurun; kausalitas yang tidak baik.

Meskipun sekelebat kilas balik acap kali merundungnya, namun Wonwoo sudah merasa lebih baik selama dua tahun ini, dan disinilah Wonwoo, kota metropolitan, ibukota, Jakarta.

Oh, Wonwoo belum seberani itu untuk pergi ke Bandung, sebab ia tidak ingin meningkatkan probabilitas bertemu dengan mereka.

Akhir pekan yang cerah, Wonwoo putuskan untuk berjalan-jalan karena terlalu bosan mengurung diri di apartemennya. Wonwoo mengambil satu buah kemejanya dari salam koper, dan ia tertegun.

Kemeja yang ia pakai saat pertama kali Wonwoo bertemu Mingyu di club —iya, yang terkena muntahan dan Mingyu yang mencucinya.

Perlahan, ia pakai kemeja itu dan saat mematut diri di depan cermin, Wonwoo diam. Rasa sesak kini naik ke dadanya hingga wajahnya merah. Wonwoo mengambil kunci mobilnya dan segera pergi.

Entah apa yang dipikirkan Wonwoo, kakinya terus menekan gas hingga memasuki tol Cikampek. Ia mencengkram stir kuat-kuat hingga kukunya memutih.

Lantas tol Padaleunyi, lalu tol Cipularang. Sepertinya Wonwoo sudah di luar kendali, ia baru menyadari jika ada tulisan 'Bandung'. Tapi hal itu tetap tidak membuat Wonwoo menghentikan mobilnya. Kakinya menuruti perintah impulsif dari otak untuk terus menginjak gas.

Dan sampailah Wonwoo di sebuah toko roti di daerah Buah Batu yang masih sama eloknya, bahkan beberapa bunga sudah tumbuh lebih besar dibanding dua tahun sebelumnya.

Wonwoo tidak ingin turun dari mobil, ia hanya menatapnya dari balik kaca yang tidak terlalu gelap itu.

Dan di saat itu, jantung Wonwoo rasanya mencelos, cengkraman di setir mobilnya menjadi lemas, dadanya berdenyut nyeri, nafasnya memburu hingga membuat udara dalam mobil menguap.

Mas Mingyu.

Lamat-lamat Wonwoo menatap Mingyu dari dalam mobil, hingga ia tak sadar jika klakson di belakang mobilnya sudah berbunyi tiga kali.

Wonwoo panik, bukan karena klakson, tapi karena Mingyu yang berjalan mendekat ke arah mobilnya. Ia tidak ingin Mingyu melihat keberadaannya. Tapi bukannya segera pergi, Wonwoo justru membeku sampai Mingyu mengetuk jendelanya, dan mau tidak mau, ia membuka jendelanya karena sudah dipastikan Mingyu mengetahui jika itu dirinya karena kaca mobilnya yang tidak begitu gelap.

“Saya pergi kok. Maaf—”

“Mampir dulu aja.”

Wonwoo terdiam saat Mingyu tersenyum padanya. Seulas senyum yang selalu ia mimpikan akan selalu hadir sepanjang dia hidup. Ya... Tapi harapan itu tentu saja sudah irrelevan.

“Wonwoo? Ayok, itu orang di belakang mau masuk juga.”

“Ah— Oh... Iya.” Wonwoo gelagapan.

Ketika tungkainya melangkah masuk ke toko roti itu, ada banyak memori yang memenuhi kepalanya. Interiornya tidak banyak berubah, masih sama seperti dua tahun yang lalu ketika Mingyu membawanya pertama kali kesana.

Netra Wonwoo menatap berbagai jenis pastry yang dipajang di etalase dengan cantiknya. Muffin dengan saus blueberry yang menggiurkan, danish pastry dengan buah-buah segar. Mata Wonwoo berbinar saat melihat satu kue kesukaannya.

Choux green tea?” Wonwoo menatap Mingyu dan menganggukan kepalanya. Lagi-lagi Mingyu tersenyum.

Lavender latte or hot chocolate?” Wonwoo terdiam untuk beberapa saat. Mingyu masih ingat kesukaannya.

Dalam kepalanya ada satu probabilitas dimana jika ia yang menjadi teman hidup Mingyu, pasti isi catatan di ponselnya penuh tentang trivia tentang dirinya. Mungkin di ponselnya itu ada catatan tentang dirinya yang suka choux green tea milik ibunya.

“Wonwoo?”

“Ah, iya. Maaf, lavender latte aja.” Jawab Wonwoo.

“Oke, kamu tunggu aja, nanti saya anterin.” Ujar Mingyu dengan senyumnya.

Wonwoo kembali melangkah hingga ke halaman belakang toko roti itu. Ada cukup banyak bunga baru yang belum pernah ia lihat dua tahun yang lalu, dan bunga-bunga yang masih ada sejak dua tahun lalu beberapa ada yang sudah tergantikan, tapi ada juga yang masih ada dan tumbuh semakin tinggi, dan Wonwoo cukup beruntung sebab bunga-bunga disana sedang mekar.

Lagi-lagi sungguh kontradiksi dengan keadaannya sekarang. Bunga yang mekar dengan indah seakan mengejek hayat Wonwoo yang layu.

“Ini pesenan kamu, sekalian saya bonusin menu barunya.” Wonwoo hanya mengangguk.

“Ehm... Boleh duduk?” Tanya Mingyu dan Wonwoo diam. Kedua mata mereka saling menatap untuk beberapa saat, hingga akhirnya Wonwoo mengangguk kecil.

“Dimakan dulu, Wonwoo.”

“Iya, makasih.” Wonwoo tidak memakan kuenya langsung, ia hanya menyeruput lavender latte miliknya.

Hening untuk beberapa saat. Keduanya terlihat sangat canggung. Wonwoo hanya menatap pastry miliknya dengan tatapan kosong. Sementara Mingyu menatap Wonwoo yang sedang menunduk.

How's life?” Wonwoo mengangkat kepalanya dan menatap tepat ke arah Mingyu yang sedang tersenyum.

All good, just doing this and that for living life.” Tentu saja sebuah narasi kebohongan, meskipun tidak sepenuhnya berbohong. All good? Sejak kapan Wonwoo merasa baik-baik saja?

“Mas... Ah, Pak Mingyu gimana?” Tanya Wonwoo. Mingyu terdiam sejenak.

“Sangat baik.” Jawabnya dengan senyum yang semakin lebar. Anggukan diberi sebagai jawaban Wonwoo dengan senyum tipis meskipun hatinya menangis.

“Kamu... Kemana aja?” Tanya Mingyu lagi. Wonwoo menelan ludahnya, terdiam sejenak untuk memilah kata.

“Ada aja.” Hanya itu jawaban yang bisa dikeluarkan Wonwoo.

“Udah gak tinggal di Bandung?” Wonwoo mengulum bibirnya dan menghela nafas.

“Nggak. Neither Bandung nor Indonesia.” Jawaban Wonwoo membuat Mingyu mengerutkan dahinya.

“Kamu gak di Indonesia?” Wonwoo menggeleng.

“Terus dimana?”

“US.” Mingyu melongo mendengarnya.

“Sendiri?” Wonwoo senyum dan menganggukan kepalanya.

“Iya, sendirian.”

“Dari kapan?”

Wonwoo tidak langsung menjawab. Menatap kosong ke arah lavender latte yang masih penuh.

“Dua tahun yang lalu.”

Mingyu diam, pun Wonwoo. Keduanya sibuk dengan pikirannya masing-masing. Segala kilas balik, rasa menyesal, bersalah kembali menyeruak. Bukan hanya Wonwoo yang merasa sesak, namun Mingyu juga merasakan hal yang sama.

Bukan, bukan karena ia menyesal tidak memberi kesempatan kepada Wonwoo, dia sama sekali tidak menyesal, namun lebih ke perasaan bersalah yang merundung sebab dia cukup yakin alasan Wonwoo pindah adalah dirinya dan suaminya; Joshua.

Dan Mingyu juga yakin alasan dari tatapan sendu dan senyum yang terlihat sedih itu masih karena dirinya.

Is it hard? Live alone?” Tanya Mingyu.

No, because I've always been alone.” Jawab Wonwoo.

Honestly, it's hard for the first time living alone there because for the past two years, I've always been with someone to kill the time.

Mingyu meneguk ludahnya mendengar penuturan Wonwoo. Lagi-lagi ia merasa bersalah karena meninggalkan Wonwoo sendiri, yang sebenarnya ia tidak perlu merasa bersalah, sebab Wonwoo sendiri yang lebih dulu membuatnya terluka. Namun kita berbicara tentang Kim Mingyu; tentang seorang lelaki dengan hati yang lembut yang tidak pernah ada intensi untuk menyakiti siapapun.

Ah, sorry for rambling non sense.” Ucap Wonwoo.

“Saya juga minta maaf.” Mingyu menatap Wonwoo, begitu juga Wonwoo.

“Saya minta maaf kalau dua tahun yang lalu saya kasar sama kamu dan bikin kamu ngerasa sendirian lagi. Maaf, Wonwoo.”

Permintaan maaf Mingyu justru membuat dada Wonwoo berdenyut nyeri, rasanya dada Wonwoo diremas dengan sangat kuat hingga nafasnya kembali tercekat, ia merasa kekurangan oksigen.

Bibir Wonwoo bergetar, kedua netranya mulai dilapisi cairan bening yang ketika ia mengedip, luruh sudah menciptakan jejak di pipinya.

Mingyu panik sementara Wonwoo hanya menunduk dengan bahu yang bergetar. Mingyu bingung harus melakukan apa.

Jika dua tahun lalu Mingyu melihat Wonwoo menangis, ia akan segera memberi pelukan hangatnya, meminjamkan bahunya hingga kemeja yang ia gunakan basah sebab air mata, mengusap punggung Wonwoo untuk menyalurkan afeksi hingga Wonwoo tenang dan tertidur pulas dalam dekapnya.

Tapi, lagi-lagi ini hanya sebuah jika, sebuah pengandaian yang tidak akan terjadi pada realita.

“Aku... Aku yang harusnya minta maaf, Mas.” Wonwoo mengucap dengan terbata.

I am sorry I made you feel horrible two years ago. I'm truly sorry. I apologize for messing with your feelings.” Wonwoo terisak dan membuat Mingyu merasa sedih.

I'm stupid, I don't know how to be grateful when you show me affection and your whole attention, but instead I make you sad. I'm deeply sorry.

Tatapan sendu Wonwoo yang penuh air mata itu membuat Mingyu ikut merasakan nyeri di dadanya. Kembali teringat dengan bagaimana hidupnya yang berantakan dua tahun yang lalu. Tapi tentu saja Mingyu sudah memaafkan Wonwoo, meskipun tidak ia ucapkan langsung kepada Wonwoo, sebab ia tidak ingin goyah disaat ia sudah bersama Joshua.

“Wonwoo, saya udah maafin kamu. Maaf gak langsung ngehubungin kamu dan omongin ini. Sorry for being a coward. I'm afraid that if I contact you and talk to you directly while my heart is still unstable, I'm afraid Joshua will get hurt too. I won't lose him, I love him wholeheartedly.

Dan kalimat terakhir Mingyu sukses meruntuhkan segala pertahanan Wonwoo. Menghancurkan segala keyakinan Wonwoo jika ia baik-baik saja.

Nyatanya Wonwoo masih belum bisa lupa. Tidak, bukan belum bisa, tapi dia tidak ingin lupa. Wonwoo refleks memegang dadanya. Selama dua tahun, masih Mingyu yang menjadi poros dunianya sekaligus pusat rasa sakitnya. Masih Mingyu yang bertahta di singgasana hatinya.

Wonwoo, please. Please find your own happiness. I beg you.” Suara Mingyu sedikit bergetar, ia tidak sanggup melihat Wonwoo menangis hingga tubuhnya bergetar.

Wonwoo menggelengkan kepalanya. Tangisnya betul-betul menyayat hati. Derai air mata Wonwoo bahkan membasahi celana yang ia kenakan.

“G—gak bisa, Mas.” Jawab Wonwoo sesenggukan.

“Bisa, Wonwoo. Kamu udah coba?” Wonwoo menggelengkan kepalanya.

I won't.” Mingyu menghela nafasnya.

Wonwoo, please.” Pinta Mingyu yang masih menatap Wonwoo penuh rasa sesak.

I still love you, Mas.” Mingyu mengusap wajahnya.

“Wonwoo, tolong jangan gini. Saya udah nikah sama Joshua.”

Do you still love me, Mas?” Tanya Wonwoo. Mingyu lagi-lagi menghela nafasnya. Dia tidak ingin menjawab pertanyaan Wonwoo sebab pasti akan menyakitinya. Tapi Mingyu rasa ia harus mengatakannya, karena jika tidak, Wonwoo akan semakin sulit melenyapkan bayang-bayangnya.

I don't. I'm sorry.” Wonwoo merasa lemas. Benar-benar lemas. Ia sudah tahu jika Mingyu sudah tak lagi menaruh hati padanya, tapi tidak ia sangka jika mendengar langsung dari Mingyu, hatinya akan tercabik-cabik seperti ini. Wonwoo tidak menyangka jika rasanya akan sesakit ini hingga sulit bernafas.

Sorry for disturb you, I'll go now.” Wonwoo pergi begitu saja dengan wajah berderai air mata, hidung yang merah dan perasaan yang dibinasakan.

Di dalam mobil, Wonwoo menangis sekencang-kencangnya. Tubuhnya bergetar hebat. Kepalanya terasa sangat pusing, dadanya tidak berhenti berdenyut sakit, suaranya pun semakin serak. Wonwoo benar-benar merasa hancur. Ia tidak sangka jika kesalahannya dua tahun yang lalu akan membuatnya sehancur ini dan tidak bisa diperbaiki lagi.

Saat Wonwoo menatap kembali ke arah toko roti itu, Mingyu yang awalnya menatap ke arah mobilnya dengan tatapan sendu, kini menatap ke arah lain dengan senyum yang lebar dan hangat.

Dua sosok perempuan setinggi lututnya berlari ke arah Mingyu dan membuat lelaki itu berlutut sembari merentangkan kedua tangannya.

Sayup Wonwoo mendengar kedua anak itu memanggil Mingyu ayah.

Lantas disusul kehadiran Joshua yang juga tersenyum lebar dan memeluk Mingyu. Kemudian dikecupnya puncak kepala Joshua penuh rasa sayang.

Wonwoo meremat dadanya menyaksikan pemandangan itu. Tatapan Mingyu masih sama, masih sorotkan kasih sayang. Senyum Mingyu juga masih sama, masih salurkan kehangatan.

Namun satu yang tidak sama; semua itu bukan lagi untuk Wonwoo.

Kedua sudut bibir Kana naik ketika matanya nangkap sosok Mingyu yang keliatan agak gugup. Mereka emang sengaja ketemu di TSM, Mingyu yang minta karena katanya masa pacaran tapi gak datang bareng. Berhubung dalam regulasi gak boleh jemput di tempat tinggal talent, jadi Mingyu yang inisiatif buat ketemuan.

“Maaf, ya, bikin kamu nunggu.” Mingyu gelengin kepalanya kuat.

“Gak apa-apa!” Jawab Mingyu agak nyentak dan bikin Kana kaget, tapi sekon selanjutnya, Kana ketawa karena Mingyu keliatan gugupnya.

“Ya udah, ayok, ganteng.” Secara natural, Kana kaitin tangannya ke lengan kekar Mingyu yang pasti bikin lutut Mingyu lemes sampai dia sendiri cuma mematung di tempat.

“Migu? Ayok.” Kana natap Mingyu yang cuma diem natap Kana.

Tinggi mereka gak terlalu jauh. Rasanya pas banget kalau Mingyu mau cium keningnya Kana. Tapi sayangnya gak boleh.

“Ayok.” Akhirnya keduanya jalan ke arah parkiran, dan segera masuk mobilnya Mingyu.

Seharusnya dari Gatot Subroto ke Dago Pakar itu cuma setengah jam, tapi karena akhir pekan, jadinya macet dengan kendaraan yang di dominasi oleh plat B dan F.

“Orang-orang pada ke Bandung atas.” Sebenernya ini cuma monolog Mingyu karena dia sering begitu kalau nyetir sendiri, tapi berhubung ada Kana, monolog dia kini jadi sebuah dialog.

“Soalnya weekend, Gu. Lagian Bandung kayaknya rame terus, apalagi daerah Dago Pakar sampe Punclut sana.” Balas Kana.

“Kamu suka jalan-jalan juga gak, Kana?”

“Suka! Aku sering jalan-jalan muter Bandung hampir tiap weekend.” Jawab Kana.

“Oh iya? Aku kira kamu gak suka tempat rame gitu.” Bales Mingyu.

“Kenapa emangnya?” Kekeh Kana.

“Soalnya kamu introvert.” Kana ketawa renyah sampai hidungnya ngerut dan itu jadi pemandangan yang bikin perut Mingyu geli karena saking gemesnya Kana.

“Aku emang introvert, tapi suka tempat rame, suka juga ketemu orang baru, kan introvert bukan melulu tentang kesendirian, sayang.” Dan Mingyu rasanya meleleh, kakinya gak kuat buat nginjek pedal gas sampai dia di klakson mobil belakang karena mobil depannya udah maju.

“Migu, maju dulu.” Kata Kana dan akhirnya Mingyu maju.

“Mau aku aja yang nyetir?” Tanya Kana.

“Gak usah, gak apa-apa kok, tadi kaget aja.” Balas Mingyu.

“Kaget kenapa, sayang?”

“Nah itu, itu yang bikin aku kaget sampe lutut aku lemes, kamu manggil aku sayang.” Jawaban Mingyu bikin Kana senyum lagi.

“Ya kan kamu pacarnya aku, sayangnya aku loh, Gu.” Balas Kana yang bikin Mingyu rasanya pengen gigit setir mobil.

“Kamu tuh gemes banget kenapa sih? Saltingan banget, aku suka.” Kekeh Kana.

“Maaf maaf, udah lama gak pacaran.”

“Kapan terakhir pacaran?” Tanya Kana.

“2 tahun yang lalu, sama mantan yang tunangan ini.” Jawaban Mingyu bikin mata Kana membelo.

For real? Abis itu kamu gak pernah pacaran lagi?” Tanya Kana yang masih kaget, dan lebih kaget ketika Mingyu gelengin kepalanya.

Wow, I thought you had a lot of exes, boy.” Jawaban Kana bikin Mingyu noleh dan ketawa kecil.

“Kamu orang keseribu yang bilang gitu, mantanku cuma tiga aja kok, yang dua cinta monyet jaman SMA, satunya lagi alias yang tunangan ini dari maba sampe semester empat.” Jawab Mingyu.

I see, but I totally understand why people think you had a lot of exes.

“Kenapa emang?” Tanya Mingyu.

Sweetheart, I never found someone as attractive as you are.” Jawab Kana sambil rapiin rambut Mingyu yang sedikit tutup dahinya.

And gladly, you're mine.” Kana senyum, manis banget sampai dada Mingyu rasanya gedebag-gedebug gak karuan.

“Migu, kamu kebanyakan bengong ih, jalan lagi.” Dan Mingyu segera nurut dan jalanin lagi mobilnya dan sekitar satu jam perjalanan, akhirnya mereka sampai.

“Aku udah rapi belum?” Tanya Kana sebelum turun.

“Udah, tapi kecakepan, nanti orang pada naksir.” Kana terkekeh.

“Ya udah, aku kan naksirnya sama kamu aja, ganteng.” Jawab Kana.

“Kamu tuh... Aku lemes banget, Kana.”

“Lemes kenapa, sayang?”

“Kamu, kamu yang bikin aku lemes. Manis banget, ya Tuhan.” Kana ketawa karena respon Mingyu.

“Sini pipi kamu.” Mingyu tiba-tiba tegang, kepikiran ucapannya yang bilang dicium.

“Bukan dicium, gak boleh.” Kekeh Kana. “Aku tadinya pengen unyel-unyel kamu, tapi lia kamu ganteng gini, mending aku usap-usap aja.” Kana ngusap pipi Mingyu, lembut banget. Dia rapiin lagi bajunya Mingyu.

“Yuk, ganteng.”

“Sebentar.” Mingyu turun duluan dari mobilnya dan segera bukain pintu mobilnya Kana. Senyum manis nyambut Mingyu waktu Kana turun dari mobilnya.

“Makasih, sayang.”

Kana kaitin lagi tangannya ke lengan Mingyu dan segera masuk.

“Ucapin selamat, gak, ya?” Tanya Mingyu.

Of course, you should. You're already this handsome, dear. Probably your ex regrets her decision after seeing you so damn fine.” Jawab Kana, dan bikin Mingyu senyum dengernya.

“Kamu ikut ucapin gak?”

With pleasure, dear.” Jawab Kana.

Dan mereka segera ucapin selamat. Kana gak ngelepas kaitan tangannya sama sekali, senyumnya pun tetap on point sampai di depan mantannya Mingyu.

“Selamat, ya!” Kana senyum, sementara mantan Mingyu itu ngelirik sekilas dan kembali natap Mingyu.

“Selamat.” Mingyu juga senyum, tulus, karena Kana yang bilang, katanya dia harus senyum setulus mungkin.

“Ini siapa, Gyu?”

“Pacar aku, Kana namanya.” Perempuan itu kembali noleh ke arah Kana yang masih senyum.

“Udah berapa lama pacarannya?”

Not so long ago, but worry less, I'm taking good care of him.” Kana ambil alih, dan karena bukan pertama kalinya dia datang ke acara tunangan bahkan pernikahan, Kana udah ahli buat jawab pertanyaan-pertanyaan yang mendadak. Dia juga bisa jawab semuanya dengen tenang.

Setelah itu, keduanya mereka berdua pergi, karena Mingyu ngajak Kana buat cafe hopping sekalian cari makan siang mereka.

How's your feeling?” Tanya Kana saat mereka udah di mobil lagi.

“Biasa aja, udah lama juga putusnya.” Jawab Mingyu santai.

Good to know that. Lagian kamu juga udah ada aku.”

“Kana, tolong ini jantung aku gak dikasih istirahat sama kamu dari ketemu tadi.”

Tapi kelakuan Kana selanjutnya malah bikin Mingyu makin gak tau deh mau deskripsiinnya lagi bingung.

Kana deketin kepalanya ke dada Mingyu, terus dia usap, dan dia noleh ke atas, tatap Mingyu dengan polosnya. “Oh iya, ternyata kenceng banget, ya, deg-degannya.” Setelah itu Kana jauhin lagi kepalanya dari dada Mingyu.

“Gu? Kamu baik-baik aja? Wajah kamu merah banget.” Kana segera nyalain AC mobil.

“Gak baik-baik aja, butuh kamu selamanya di hidup aku.” Tawa Kana pecah denger ucapan Mingyu yang ngawur itu. Kana bahkan sampe pegangin perutnya karena menurut dia omongannya Mingyu lucu banget.

“Kamu pasti gak pernah dapet klien jamet, ya?” Pertanyaan Mingyu bikin Kana makin ketawa.

“Miguuu! Kamu tuh gemes banget tau gak sih? Sayang banget aku sama kamu.” Kana unyel-unyel pipinya Mingyu karena udah kepalang gemes.

“Bentar, kasih aku lima menit biar gak lemes nyetirnya.” Kana senyum dan genggam tangannya Mingyu.

“Iya, ditungguin.”

“Kalau begini mah kamu harus nunggu sejam, Kana.”

“Gak apa-apa, aku seneng lama-lama sama kamu.”

“Nanti aku telpon mama aku dulu, minta uang 800 juta buat nikah kita. Mau dimana? Rancaupas? Jangan deh, nanti diseruduk rusa. Nanti kita liat aja sambil cafe hopping, kan banyak tuh kafe yang sediain sekalian buat nikahan.”

“Iya, boleh, sayang.”

“Ah, Kana mah dibolehin aja.” Rengut Mingyu.

“Siapa yang gak mau nikah sama pacar sendiri? Semuanya mau pasti, Migu.”

“Abis ini aku mau ke dokter jantung, mau periksa, soalnya gak normal ini detaknya.”

“Mau aku temenin gak, ganteng?”

“Justru kamu penyebabnya.”

“Aku bikin kamu sakit?” Kana cemberut.

“Sakit soalnya cuma pacar sewaan.” Kana senyum tipis.

“Udah ayok jalan, udah mendung ini, Migu.” Katanya Kana.

Akhirnya Mingyu jalanin mobilnya, mereka mampir ke satu kafe ke kafe lainnya sampai matahari redup dan langit semakin gelap. Jam delapan malem, akhirnya mereka putusin buat pulang, tentunya gak dianter, Kana pesen ojol dan tentu aja yang bayarnya Mingyu. Sampai akhirnya ojol datang, Mingyu berat banget buat pisah sama Kana, udah dipastiin Mingyu kejerat sama magisnya pesona Kana.

Pagi itu, matahari belum muncul, meski jarum jam menunjuk angka tujuh lewat lima belas menit. Tubuh Wonwoo menggeliat, sebab rasakan dingin. Tangannya bergerak untuk memeluk suaminya, namun hadirnya tak ada disana, dengan terpaksa mata rubahnya itu ia buka, dan benar saja, ia tidak dapat menemukan kehadiran suaminya.

Rungunya bisa mendengar suara suaminya yang sedang berbicara. Kala kedua telapak kakinya menyentuh lantai marmer, ia bergidik, belum lagi angin yang sedikit menelusup buat bulunya merinding.

Wonwoo menyeret kakinya gontai, masih dengan fabrik kebesaran milik Mingyu yang hanya bisa menutup selangkangannya sebab... ehem... Kegiatan mereka tadi malam.

Digesernya pintu menuju balkon kamar dengan lanskap sejukkan mata. Gunung dengan gumpalan kapas yang menggantung.

Sepoi angin kembali membelai seluruh kulit Wonwoo yang terekspos, membuat gejolak aneh dalam diri Wonwoo. Pipinya tiba-tiba merona. Angin pagi bawa kilas balik aktivitas mereka semalam. Saat Wonwoo di bawah dominasi Mingyu, rapalkan bisikan erotis

Di bawah hamparan langit nirbatas, di antara harum kelopak bunga, berdiri seorang pria yang semenjak subuh tadi tak hentinya merapal ucap sumpah yang akan mengikatnya sehidup semati, sebab ia tidak ingin lakukan kesalahan.

Kemelut menemaninya sedari malam, meski akhirnya lenyap ditelan lelap. Namun nyatanya, saat sang mentari sorotkan kirananya, jantung Mingyu kembali disuruh bekerja lebih ekstra untuk memompa darah hingga debaran demi debaran buatnya ingin meledak.

“Tarik nafas, Mas. Buangnya pelan-pelan.” Titah ibu yang mencoba menenangkan anak sulungnya.

“Ibu, doain Mas biar gak gagap, ya.”

“Ibu doain semuanya lancar.”

“Ibu udah liat Wonwoo?” Senyum terukir di bibir ibu.

“Mas, kamu pasti banyak ngucap syukur karena jodohnya Mas cantik banget.”

Debarnya kini bercampur, gugup, namun tidak sabar melihat Wonwoo menjadi alasan yang lebih dominan.

Jarum jam tunjukan pukul 8, dan Mingyu sudah menempatkan cagaknya di tempat ia akan mengucap sumpah yang hanya akan ia ucapkan sekali dalam seumur hidup.

Dan netranya menangkap sosok Wonwoo dalam balutan fabrik serba putih. Dan lututnya terasa lemas kala kedua manik Wonwoo menatapnya. Dan air matanya lolos tanpa izin ketika Wonwoo berada di hadapannya dengan senyum gugup.

Hening menjajal untuk beberapa detik. Mingyu terkesima dengan elok rupa Wonwoo.

Bibirnya mulai bergerak, mengucap sumpah yang buatnya cemas bukan main sedari gulitanya tadi malam. Dan akhirnya Mingyu ucapkan ikatan janji sakral itu.

Kini sebuah lingkar emas menghias jari manis keduanya, sebagai tanda dari asa yang dipanjatkan, dan seluruh hati yang diserahkan.

Bulir kristal jatuh, namun sudut bibir mereka terangkat sebelum akhirnya saling menyentuh dengan perasaan yang utuh.

Sorak penuhi ruang terbuka itu. Kicau burung seakan ikut rayakan kebahagiaan Mingyu dan Wonwoo. Langit yang cerah dengan matahari yang sedikit bersembunyi dibaliknya awan seakan mendukung penyatuan ikatan mereka.

“Mempelai dipersilakan sampaikan kata-kata untuk pasangannya.”

Hening kembali, menunggu keduanya berbicara. Mingyu mengambil mic dan mulai berbicara dengan tangan Wonwoo yang masih ia genggam.

“Sebelum acara dimulai, tadi ibu bilang kalau Mas harus bersyukur punya pasangan yang cantik, dan ibu bener, Mas bersyukur banget. Bahkan gak ada kata yang bisa deskripsiin gimana bahagianya Mas punya kamu, Wonwoo.” Ibu jari Mingyu mengusap punggung tangan Wonwoo yang ia genggam.

“Wonwoo, fase kita baru mulai, ke depannya mungkin akan banyak hal yang harus kita hadapin, tapi apapun itu, Mas janji buat selalu genggam tangan kamu, apapun yang terjadi.” Mingyu senyum dan semakin mengeratkan genggamannya.

“Terimakasih karena udah mau jadi pendampingnya Mas, ayok kita sama-sama terus sampai waktu yang gak ditentuin. Mas sayang Wonwoo.” Kalimat Mingyu diiringi oleh tepuk tangan dari para tamu yang datang.

“Mas Wonwoo, ada yang mau disampaikan?” Anggukan Wonwoo berikan sebagai jawaban, dan Mingyu berikan mic-nya kepada Wonwoo.

First and foremost, I also want to say thank you. Thank you for accepting my flaws and completing them with your love. Thank you for bringing me a bliss that I've never felt before. And thank you for the love that doesn't make me feel lonely.” Senyum keduanya tetep utuh, tidak luntur barang sedetikpun.

As long as this ring lingers, you're still my center of attention, you're the owner of my whole affection. And as long as I step on this earth, I promise this ring will always linger.

“Aku juga sayang Mas Mingyu.”

Dan bibir mereka kembali bertemu, memagut lembut usir kemelut yang tadi berkecamuk.

Keduanya tenggelam dalam dekap kamarasa, siap jemput asa, mendera nelangsa. Selama mereka bersama, nirwana akan dirasa.

Sepertinya baru kemarin mereka bertemu dengan segala drama yang dilalui. Namun, biarlah segala komplikasi dari kisah mereka itu menjadi saksi perjalanan mereka yang kini dapat cipta asmaraloka penuh cerita.

Mungkin kisah ini usai, tapi perjalanan mereka baru dimulai.

The end

CW // broken home , family issue

Dan disini lah Wonwoo, di depan rumah besar yang mungkin total lusanya bisa sampai 2000 meter persergi, bareng Mingyu dan juga ibunya. Rasanya Wonwoo pengen balik lagi dan bawa kedua orang yang dia sayang ngejauh dari rumah itu apalagi dari apa yang ada di dalam sana. Wonwoo takut Mingyu dan ibunya dibikin sakit hati sama kelakuan dan ucapan dari orang tuanya.

Di tengah rasa kalutnya, Mingyu genggam tangan Wonwoo dan senyum, ibu juga ngerangkul Wonwoo dan natap Wonwoo, ngeyakinin kalau mereka bakal baik-baik aja.

Saat Wonwoo masuk, dia langsung disambut sama beberapa asisten rumah tangga yang ada disana. Mingyu dan ibu senyum ramah, sementara Wonwoo masih aja keliatan tegang.

“Mereka ada?” Tanya Wonwoo. Mingyu dan ibunya agak kaget waktu Wonwoo bilang 'mereka', dan bikin keduanya mikir, sesakit hati apa Wonwoo sampai enggan nyebut mereka ibu bapak.

“Ada, Won.” Asisten rumah tangganya emang manggil Wonwoo pakai nama, karena katanya Wonwoo gak nyaman kalau dipanggil pake honorifik yang terlalu ngeliatin kalau dia adalah seorang 'atasan'.

“Dimana?” Tanya Wonwoo.

“Nyonya di kamarnya, tuan di ruang kerja.” Jawab bibi ART.

“Oh oke. Makasih, ya, bi. Oh iya, sekalian tolong bikinin minum, ya. Dua aja, teh manis. Makasih.” Kata Wonwoo.

Akhirnya Mingyu dan ibunya duduk di ruang tamu yang dindingnya banyak dipajang hiasan yang kalau dijual mungkin bisa belasan sampai puluhan juta.

Saat Wonwoo sampai di depan kamar sang mama, dia diem dulu beberapa saat, setelah itu langsung buka pintunya.

“Ruang tamu.” Cukup dua kata itu dan Wonwoo kembali keluar dan segera ke ruangan kerja papanya.

“Ruang tamu.” Sama, Wonwoo juga hanya mengatakan dua kata itu dan dia langsung turun ke ruang tamu lagi.

Disana, Wonwoo bisa liat Mingyu dan ibunya ngobrol kecil dan langsung nengok ketika Wonwoo datang. Mereka langsung senyum.

Kalau ini ada di situasi biasa, Wonwoo bakal ngerasa hangat, tapi buat sekarang, Wonwoo ngerasa takut, takut kalau senyum itu luntur setelah pulang dari rumahnya.

Wonwoo duduk di antara ibu dan Mingyu. Gak lama, mamanya Wonwoo muncul, disusul sama papanya. Wonwoo natap mereka tajam waktu mereka duduk berhadapan sambil natap Mingyu dan ibu dari atas sampai bawah, sementara Mingyu segera bangun dan cium tangan kedua orang tua Wonwoo yang bikin Wonwoo kaget karena Wonwoo sendiri gak pernah begitu. Jangankan cium tangan, natap mata aja udah bikin Wonwoo marah.

Sebenernya bukan cuma Wonwoo yang kaget, tapi kedua orang tua Wonwoo juga sama kagetnya.

“Kenalin, saya Mingyu, pacarnya Wonwoo. Ini ibu saya.” Mingyu ngenalin dirinya dan ibunya dengan tenang dan senyumnya masih belum luntur dari dia datang tadi.

“Saya ibunya Mingyu.” Ibunya Mingyu juga masih tetep senyum.

Sementara Wonwoo sama sekali udah gak bisa senyum. Dia ngeremes sofa yang lagi dia dudukin karena ngeliat kedua orang tuanya yang cuma diem sambil lipat tangan di dada.

“Ada apa?” Tanya papa Wonwoo yang akhirnya buka suara. Mingyu ngulum bibirnya, karena gak bohong, Mingyu juga gugup ketemu orang tuanya Wonwoo, apalagi posisi dia disini mau izin buat nikahin Wonwoo.

“Saya sama ibu saya datang kesini mau minta izin. Izin buat jagain Wonwoo, nikahin Wonwoo, nafkahin Wonwoo.” Mingyu bener-bener tenang banget selama ngomong, dia juga natap mata kedua orang tua Wonwoo buat nunjukin seyakin itu dia bisa jagain Wonwoo.

“Kerjaan saya dosen dan freelancer juga. Mungkin uang saya gak sebanyak yang dikasih ibu bapak buat Wonwoo, tapi saya janji, saya bakal berusaha buat Wonwoo serba berkecukupan dan bahagia.” Lanjut Mingyu. Wonwoo ngusap punggung tangan Mingyu, dan Mingyu segera sambut tangan Wonwoo dan dia genggam erat. Mingyu bisa ngerasain gimana basah dan dinginnya telapak tangan Wonwoo.

“Jadi, saya minta izin buat nikahin anak ibu bapak, saya izin nikahin Wonwoo.”

Hening buat waktu yang cukup lama, dan itu bikin jantung Mingyu bener-bener mau meledak. Tenggorokannya juga kecekat. Dia juga ngerasa gak bisa nafas dengan baik selagi nunggu jawaban kedua orang tua Wonwoo.

“Ya, silakan.” Jawab sang mama dan bikin jantung Mingyu rasanya mencelos.

“Udah kan? Saya ada urusan lagi.” Rahang Wonwoo mengeras, tapi dia sebisa mungkin nahan emosinya karena ada ibu disana.

“Makasih banyak, ya, bu, pak. Makasih udah izinin saya buat nikahin Wonwoo. Saya janji buat jagain Wonwoo.” Mingyu senyum tulus.

“Makasih banyak, ya, ibu, bapak. Semoga hubungan kita ke depannya baik, ya.” Ibu juga ikut ngomong dengan lembut dan senyum.

“Saya pamit dulu, ada urusan.” Papa Wonwoo segera pergi gitu aja, mamanya pun ikut kembali naik ke kamarnya. Bahkan mereka belum pamit sama sekali.

“Mas, bu, Wonwoo izin ke atas dulu, ya.”

“Iya, nak.” Jawan ibunya Mingyu.

Wonwoo segera masuk ke kamar orang tuanya, dan pas banget keduanya lagi ada di kamar, siap-siap buat pergi lagi dari rumah.

“Minta tolong satu lagi, tolong datang buat hargain pacar aku dan keluarganya, nanti aku kirim tanggal sama harinya. Datang sebentar gak apa-apa, tapi tolong, jangan sama selingkuhan kalian, aku gak mau hari paling bahagianya aku rusak.” Pinta Wonwoo tanpa basa-basi.

“Sekalian aku mau bilang, makasih udah kasih aku luka dan trauma yang besar di hidup aku. Kata orang, kalau mau tau rasanya bahagia, harus tau rasanya sedih dulu. Sekarang aku tau rasanya bahagia, mungkin karena terlalu lama sakit hati dan sedih, aku sekarang jadi gampang bahagia karena hal sederhana, padahal aku udah skeptis sama semua orang gara-gara kalian. It turns out, I found a lot of people who appreciate my presence and handle me with so much love.” Akhirnya Wonwoo keluarin semua hal yang pengen dia ucapin ke orang tuanya walaupun sebenernya ada banyak yang masih pengen dia omongin.

“Aku pamit.”

Wonwoo segera keluar dari kamar kedua orang tuanya itu. Meskipun Wonwoo ngomong dengan nada yang tenang, tapi sebenernya ada banyak sesak yang dia rasa, ada air mata yang dia tahan.

“Ayok, bu, Mas.” Ajak Wonwoo sambil senyum dan Mingyu segera ngegenggam tangan Wonwoo lagi, begitu juga ibu yang langsung ngerangkul Wonwoo.

Selama di jalan, Wonwoo cuma diem aja, dia cuma ngomong kalau ibu ataupun Mingyu nanya sesuatu. Setelah sampai di rumah ibu, Mingyu dan Wonwoo ikut turun juga, katanya Wonwoo kangen kuenya ibu.

“Mas aja yang ambilin, bu.” Mingyu segera jalan buat ambil beberapa kue yang emang selalu ada di rumahnya, sementara Wonwoo dan ibu di ruang tamu.

“Nak, kamu sakit? Kok diem aja?” Tanya ibu sambil ngusap kepalanya Wonwoo. Denger suara ibu yang lembut, Wonwoo gak bisa ngebendung lagi rasa sesaknya.

Tangisan Wonwoo pecah. Mingyu yang lagi di dapur langsung lari kecil ke arah ruang tamu. Ibu meluk Wonwoo erat sambil usapin punggungnya Wonwoo. Ibu isyaratin ke Mingyu buat ambil air minum dan Mingyu langsung ambil, setelah itu dia duduk di samping Wonwoo yang masih nangis di pelukan ibu sambil minta maaf berkali-kali.

Wonwoo ngerasa bersalah banget karena orang tuanya gak perlakuin ibu dan Mingyu dengan baik. Wonwoo malu ke ibu dan Mingyu.

“Ibu, Mas, maaf, maafin orang tuanya Wonwoo yang gak bisa ngehargain orang lain. Maaf, Wonwoo minta maaf banget.” Wonwoo ngomong kepotong-potong karena sesenggukan.

“Wonwoo malu banget, maafin Wonwoo. M—maaf ibu sama Mas jadi harus ngehadapin orang kayak mereka.” Lanjut Wonwoo yang bikin Mingyu juga ikut pilu dengernya.

“Maafin karena Wonwoo dari keluarga yang gak baik. Maaf, bu. Maaf, Mas.”

Wonwoo lepasin pelukan ibu dan terus minta maaf, sementara ibu masih terus ngusap punggungnya Wonwoo sampai Wonwoo udah lumayan tenang.

“Nak... Wonwoo... Udah selesai minta maafnya?” Tanya ibu lembut, Wonwoo anggukin kepalanya.

“Ibu sama Mas gak apa-apa kok, gak ada sakit hati sama sekali ke kamu ataupun keluarga kamu, nak. Kan ibu juga sudah bilang, dari keluarga kaya gimanapun, ibu tetep sayang sama Wonwoo, soalnya Wonwoonya anak baik, Wonwoo bikin anaknya ibu bahagia juga.” Katanya ibu, Wonwoo dengerin baik-baik walaupun masih sesenggukan.

“Justru ibu ini khawatir sama kamu, nak, soalnya yang paling sakit hati karena diabaikan orang tua itu anak sendiri.” Lanjut ibu lagi.

“Ibu mau nanya, Wonwoo baik-baik aja gak setelah ketemu orang tua Wonwoo tadi?”

Wonwoo gak jawab, dia cuma natap ibu lama dan air matanya jatuh lagi sambil dia gelengin kepalanya.

“Wonwoo... Wonwoo gak baik-baik aja, bu. Wonwoo sakit hati.” Wonwoo nangis lagi, kali ini lebih kenceng dari sebelumnya.

“Wonwoo tadi keluarin semuanya, Wonwoo keluarin perasaan Wonwoo, tapi... Tapi mereka gak respon apa-apa, mereka gak peduli. Wonwoo... Wonwoo sakit hati banget.” Ibu ikutan nangis denger curhatannya Wonwoo dan ibu langsung peluk Wonwoo lagi makin erat.

Selama hampir 30 menit Wonwoo nangis, dan akhirnya tangisnya mulai reda. Ibu lepas pelukannya Wonwoo. Dia tatap Wonwoo dan usap air matanya Wonwoo.

“Nak Wonwoo, anak ganteng, mungkin ibu bakal kerasa beda sama mama kamu, tapi Nak Wonwoo boleh kalau mau cerita apapun ke ibu, kan sebentar lagi juga ibu jadi orang tuanya kamu, nak. Kalau ada apa-apa, ke ibu aja. Kalau Mas nakal juga bilangin ke ibu, ibu siap omelin.” Wonwoo ketawa kecil denger kalimat terakhir ibu.

“Makasih banyak, ya, ibu.” Kata Wonwoo.

“Baik-baik, ya, nak. Semoga Wonwoo setelah ini bakal selalu bahagia, ya. Wonwoo cantik kalau senyum terus, ibu suka liatnya.” Wonwoo senyum lagi dan peluk lagi ibu.

“Ibu, Wonwoo boleh tidur disini gak malem ini?” Tanya Wonwoo di pelukan ibu.

“Boleh, nak. Boleh banget, nanti pinjem aja bajunya Mas, ya? Wonwoo disini aja, ibu seneng ada Wonwoo.” Katanya ibu.

Setelahnya, Wonwoo langsung pergi mandi dan pake bajunya Mingyu yang kebesaran di badannya. Wonwoo segera masuk ke kamar Mingyu, buat cari Masnya itu, tapi ternyata Mingyu gak ada disana. Waktu Wonwoo cari ke dapur, Mingyu disana lagi siapin makan malem buat mereka.

“Lucu banget.” Kekeh Mingyu waktu liat Wonwoo yang tenggelam di bajunya.

“Ibu sama Ican kemana, Mas?” Tanya Wonwoo.

“Beli galon, soalnya abis.” Jawab Mingyu. Wonwoo anggukin kepalanya dan liat meja makan yang udah penuh.

Gak lama, ibu dan Ican pulang, mereka semua makan malem di meja makan sambil cerita-cerita. Wonwoo udah lama gak ngerasain makan bareng keluarga di meja makan sambil lempar candaan dan topik ringan yang bikin mereka ketawa-ketawa.

Setelah selesai, Wonwoo dan Mingyu duduk di halaman belakang rumah Mingyu yang ada taman kecilnya.

“Ibu suka bunga, ya, Mas?” Tanya Wonwoo.

“Iya, di rumah, di toko juga ada bunya, katanya ibu bikin bahagia, apalagi kalau udah pada mekar kayak sekarang gini, bikin mata ibu seger katanya.” Jawab Mingyu.

Hening. Gak ada obrolan apapun lagi. Keduanya sibuk dengan pikiran mereka masing-masing. Cuma ada suara angin yang berhembus ngebawa daun-daun kering yang berserakan. Wonwoo eratin jaketnya.

“Sini.” Mingyu nyuruh Wonwoo duduk di antara pahanya dan Wonwoo nurut. Mingyu peluk Wonwoo dari belakang sementara yang dipeluk diem aja karena ngerasa nyaman dan hangat.

“Wonwoo, Mas mau bikin kamu senyum terus. Mas gak bisa liat kamu nangis kayak tadi, Mas juga sakit liatnya.” Wonwoo diem aja dan biarin Mingyu ngomong.

“Mas bakal usaha terus biar kamu bahagia, dari segi apapun itu Mas bakal usahain. Mas janji.” Mingyu ngusap lengan Wonwoo yang dibelai angin karena dia pake baju lengan pendek.

“Mas sayang sama kamu, Wonwoo. Sayang banget.”

“Aku juga sayang Mas Mingyu.” Jawab Wonwoo. Mingyu kecup puncak kepalanya Wonwoo dan Wonwoo kecupin jemarinya Mingyu.

“Bahagia terus, ya, sayang. Tapi, kalaupun sedih, gak apa-apa, kamu punya Mas, kamu bisa ceritain semuanya ke Mas, I'm all ears, and I'll love you in every condition. I'll always be by your side, holding you in every phase of your life. I'll be there.” Lanjut Mingyu.

Dan mereka malam itu lanjut ngobrol dari hati ke hati dalam posisi yang sama sampai waktu nunjukin jam satu malam.

Jam 7 pagi, Wonwoo udah siap buat berangkat ke kampus. Dia bener-bener keliatan santai banget, justru Mingyu yang keliatan agak gugup.

“Mas, kok kamu yang keliatan gugup?” Kekeh Wonwoo.

“Iya, ya?” Tanya Mingyu yang segera ngehembusin nafasnya perlahan.

“Ya udah yuk berangkat aja, kan sejam sebelumnya harus udah ada di kampus, bapak dosen.” Ucap Wonwoo.

Keduanya berangkat dan selama di jalan, Mingyu berkali-kali suruh Wonwoo cek, takut ada yang ketinggalan, dan Wonwoo juga nurut-nurut aja.

Sesampainya di parkiran kampus, Mingyu natap Wonwoo dan senyum. Dia nyuri satu kecupan dari bibirnya Wonwoo.

“Semangat, ya, sayang. Mas yakin kamu setengah jam juga selesai.” Kekeh Mingyu dan diikutin tawa kecil Wonwoo.

Keduanya segera keluar dan diem di lobi buat nunggu Bu Gayes datang. Sambil nunggu, Wonwoo perhatiin sekitarnya, gak begitu banyak mahasiswa, karena udah masuk jadwal libur semester setelah UAS dua minggu yang lalu. Cuma ada mahasiswa angkatan atasnya yang juga mau sidang hari ini.

Mingyu natap ke arah Wonwoo dan ikutin arah pandangannya. Wonwoo natap orang-orang yang ditemenin sama orang tuanya, entah itu cuma ibu atau ayah, ataupun keduanya lengkap hadir disana sambil semangatin anaknya. Wonwoo segera alihin pandangannya dan baca-baca skripsinya.

Gak berselang lama, Bu Gayes datang dan mereka segera masuk ke ruangan sidang. Berkali-kali Mingyu ngehela nafasnya, sementara Wonwoo santai banget.

“Kok Pak Mingyu yang tegang?” Tanya Bu Gayes dan bikin Wonwoo ketawa kecil.

“Gak tau juga, Bu. Padahal udah biasa nemenin anak saya sidang sekarang.” Jawab Mingyu.

“Pasti lulus kok, Wonwoo.” Kata Bu Gayes.

Setengah jam selanjutnya, kedua dosen penguji Wonwoo datang, dan sidangnya dimulai sampai satu jam berlalu, Wonwoo selesai dan dinyatakan lulus dengan predikat cumlaude.

Saat Wonwoo keluar, Joshua dan Jeonghan langsung meluk Wonwoo erat dan ucapin selamat.

“Keren banget! Beneran kurang dari sejam.” Katanya Joshua.

“Siapa dulu dosen pembimbingnya.” Saut Mingyu.

“Pak, mending fotoin kita.” Jeonghan langsung kasih ponselnya ke Mingyu, dan mereka segera foto dengan buket makanan yang besar dan hadiah lainnya.

“Fotoin saya juga sama Wonwoo.” Pinta Mingyu yang gak tau kenapa bikin Wonwoo deg-degan sendiri, padahal selama tadi sidang dia biasa aja. Kalau diinget lagi, mereka berdua emang belum pernah foto berdua karena selalu terlalu asik ngobrol dan abisin waktu berdua. Tapi walaupun gitu, sebenernya keduanya suka diem-diem saling fotoin.

“Lagi lagi...” Suruh Joshua.

“Ih, gandengan kek!” Gak ada yang berani marahin dosen dan Wonwoo selain Jeonghan.

Sementara yang disuruh cuma saling tatap-tatapan karena ngerasa canggung dan itu bikin Jeonghan mutar bola matanya malas.

“Gini loh pacaran tuh.” Jeonghan ambil tangan Wonwoo dan dia kaitin ke lengan Mingyu, lagi-lagi mereka berdua cuma saling tatap sambil senyum malu, dan Joshua langsung ambil fotonya karena menurut dia gemes.

“Lucu! Kalian bagusan candid deh, soalnya kalau sadar kamera malah canggung.” Komentar Joshua.

Setelah beberapa kali foto, akhirnya mereka selesai. Wonwoo diminta tolong sama Mingyu buat nungguin dia karena Mingyu mau ajakin Wonwoo ke suatu tempat, tapi Mingyu ada sidang lagi sampai sekitar jam 12-an. Sementara Jeonghan dan Joshua pulang duluan.

Selama nunggu, Wonwoo ngerasa campur aduk. Seneng karena udah selesai dan dia punya Mingyu dan temen-temen yang datang buat rayain, tapi di sisi lain, dia iri lihat orang diselamatin sama orang tuanya. Bahkan Wonwoo aja gak bilang kalau dia hari ini sidang. Wonwoo segera alihin perhatiannya biar dia gak mikirin hal itu lagi.

“Wonwoo, udah selesai.” Mingyu udah ada di lobi setelah selesai nemenin mahasiswanya sidang.

“Gugup gak?” Tanya Wonwoo sambil ketawa.

“Gugup, tapi bukan karena nemenin mahasiswa Mas sidang.” Jawab Mingyu.

“Terus kenapa, Mas?” Tanya Wonwoo bingung. Mingyu cuma senyum aja.

“Ya udah, yuk.” Ajak Mingyu tanpa jawab pertanyaan Wonwoo.

“Mau kemana, Mas?” Tanya Wonwoo waktu keduanya udah sampai di mobil.

“Mau rayain kamu.” Jawab Mingyu sambil senyum dan ngusap kepalanya Wonwoo. Mingyu segera jalanin mobilnya. Selama di jalan, Mingyu keliatan excited dan bikin Wonwoo yang liatnya ikutan seneng dan gemes.

“Loh Mas, kok toko ibu tutup?” Tanya Wonwoo waktu sampai di tokonya. Mingyu gak jawab, dan dia cuma senyum sambil genggam tangan Wonwoo dan bawa Wonwoo masuk ke dalem.

CONGRATULATIONS!

Ratusan konfeti, suara meriah terompet, kue-kue super lucu, ibu yang bawa tart yang udah dipasang lilin, Ican, Joshua, Jeonghan, dan Seungcheol yang pake topi ulang tahun, semuanya ada disana buat rayain Wonwoo.

Sementara itu, Wonwoo bener-bener mematung karena terlalu kaget. Waktu Joshua pasangin topi ulang tahunnya juga Wonwoo cuma diem aja sambil natap Joshua bingung.

“Kalian... Ngapain?” Tanya Wonwoo.

“Ngerayain lu yang udah sidang dong, apalagi?” Jawab Jeonghan.

“Oh... Makasih...” Balasan Wonwoo itu malah bikin yang lain ketawa.

“Itu ditiup dulu lilinnya, kasian bude udah pegangin lama.” Kata Joshua dan Wonwoo segera tiup lilinnya diikutin sama suara tepuk tangan dan ucapan selamat.

“Makan makan!” Teriak Ican semangat.

Wonwoo duduk di kursi tengah dan semuanya langsung makan-makan sambil ngobrol. Jujur aja, Wonwoo ngerasa agak aneh, dia rasanya mau... Nangis? Tapi dia terlalu malu buat nunjukin itu. Akhirnya dia cuma senyum sambil makan-makan aja dan jawab kalau ada yang nanya gimana sidangnya.

Mingyu perhatiin Wonwoo yang dari tadi senyum terus, dia juga ikutan seneng dan bangga sama Wonwoo.

“Wisudanya kapan, nak?” Tanya ibu.

“Masih belum tau, bu.” Jawab Wonwoo.

“Dua bulan lagi baru ada jadwal wisuda, tapi buat tanggal pastinya belum ada.” Mingyu ikut nimpalin.

“Gue harus kelarin bulan ini biar bisa ikut wisuda bareng Wonwoo.” Katanya Joshua.

“Mau nyusul Mas Seokmin?” Tanya ibu Mingyu sambil ketawa.

“Iya dong, bude. Aku kangen Mas soalnya.” Jawab Joshua.

“Tinggal nyusul dong Mas Mingyu sama Kak Wonwoo.” Celetuk Ican dan bikin yang diomongin salah tingkah.

“Semuanya aja nyusul Shua, gue kapan?” Protes Jeonghan.

“Beresin dulu skripsinya.” Bales Seungcheol yang ada di sebelahnya.

“Oke, aku siap ngebut.”

Mereka semua ketawa-ketawa. Toko roti itu kerasa hangat buat semuanya, terutama buat Wonwoo. Dia baru tau rasanya dirayain ternyata semenyenangkan ini.

“Orang tua lu suruh kesini aja, Won.” Kata Jeonghan. Wonwoo berhenti makan, begitu juga Mingyu yang langsung natap Wonwoo.

“Gak usah, gak apa-apa.” Bales Wonwoo sambil senyum. “Lagian kan ada ibu juga.” Wonwoo pegang tangannya ibu dan ibu langsung kecup punggung tangan Wonwoo.

“Gue rasa bentar lagi ada yang nyusul gue beneran.” Katanya Joshua.

“Kayaknya malah keduluan, Kak. Mas Mingyu bukan yang suka tunangan-tunangan, dia lebih suka langsung nikah katanya.” Jawaban Ican itu bikin Mingyu gelagapan, apalagi ketika kedua matanya ketemu sama mata Wonwoo.

“Nggak... Itu... Apa... Gimana pasangan Mas aja...”

“Ibu udah mau punya menantu?” Tanya Wonwoo dan bikin semuanya nengok ke arah Wonwoo kaget.

“Ibu gak akan maksa kalian, kapan aja boleh, yang penting kalian berdua nyaman ngejalaninnya.” Jawab ibu.

“Ya udah nikah aja, Mas.” Mingyu keselek ludahnya sendiri denger Wonwoo ngomong gitu. Bahkan yang lain pun kaget dengernya karena Wonwoo yang gengsian itu pergi.

“Wow... Kak, tadi Wonwoo waktu sidang gak di bombardir dosen penguji kan?” Tanya Joshua.

“Nggak...” Mingyu jawab tapi fokusnya masih ke Wonwoo yang lagi ketawa kecil ngeliatin ekspresi Mingyu.

“Tuh Mas, keburu diambil orang nanti.” Katanya Ican sambil makan kue.

“Diambil gue.” Celetuk Seungcheol dan bikin Mingyu juga Jeonghan langsung noleh, sementara Wonwoo, Seungcheol, sama Joshua ketawa.

“Sidang lagi nanti kita.” Kekeh Mingyu.

“Sidang apa?” Tanya Wonwoo.

“Rahasia.” Jawab Seungcheol dan ketawa bareng Mingyu.

Dan mereka semua kembali ngobrol banyak hal sampai gak kerasa kalau waktu udah nunjukin jam 4 sore. Udah 4 jam mereka semua ngobrol-ngobrol. Sampe akhirnya Joshua, Jeonghan, Seungcheol pamit pulang, dan disusul Wonwoo dan Mingyu yang pulang malemnya.

Pada pagi hari dalam kamar hotel dengan pemandangan lanskap kapas putih yang menggantung di birunya langit, menutup sebagian kaki gunung, netra Wonwoo terbuka sebab ia merasa dingin meski sudah menggelung selimut dan pelukan sua—

Tunggu, dimana suaminya? Meski jiwanya belum tekumpul sepenuhnya, raganya bergerak, membawa diri yang hanya tertutup fabrik putih kebesaran milik suaminya. Pantas ia merasa dingin, baju Mingyu itu hanya mampu menutup vitalnya, jika ia mengangkat sedikit saja tangannya, sudah cukup untuk hilangkan fokus sang suami.

Bahkan belum sempat Wonwoo mengangkat tangannya, fokus Mingyu sekarang teralihkan melihat pemandangan lucu; Wonwoo yang mengucek matanya dan merengek pelan dengan suara parau.

Jemarinya bergerak cepat untuk mematikan audio dan kamera zoom meeting. Wonwoo berjalan ke arah Mingyu dan segera mendudukkan dirinya di atas paha kokoh itu. Wajahnya tenggelam di ceruk Mingyu yang sudah wangi itu. Sementara Mingyu terkekeh merasakan geli karena hidung Wonwoo menggesek kulit lehernya.

“Kok aku bangun Mas udah gak ada?” Rengek Wonwoo dengan suara yang teredam.

Si suami kembali terkekeh, jemarinya mengusap lembut punggung Wonwoo, dibubuhinya kecupan ringan di bahu Wonwoo yang sedikit terekspos.

“Mas ada kelas dulu, sayang. Cuma ini aja kok.”

But still, this is our honeymoon phase, your whole attention should be on me.” Wonwoo merajuk.

“Iya, ini aja, ya, sayang. Abis ini selesai kok, cuma 3 sks.” Mingyu kecup daun telinga Wonwoo.

“Lama.” Wonwoo segera turun dari pangkuan Mingyu, meninggalkan suaminya itu dalam perasaan bersalah dan takut jika Wonwoo akan marah, tetapi Mingyu tetap kembali menghidupkan audio dan kameranya karena harus mengajar dan menjelaskan materi.

Namun kekhawatiran Mingyu itu tidak berguna karena Wonwoo yang penuh intensi menggoda Mingyu dengan berkeliaran di sekitar dapur yang berhadapan langsung dengan ruang tengah, tempat Mingyu mengadakan zoom meeting, lalu dengan sengaja mengangkat tangannya untuk menggapai pisang di atas kitchen set yang sebenarnya tidak terlalu tinggi dan memamerkan bongkahan mulusnya yang menjadi distraksi untuk Mingyu.

Si dosen muda lantas mencoba fokus kembali untuk mengajar, menjelaskan setiap materi dengan tenang meskipun sesak sudah merundungnya di bawah sana.

Namun ini Jeon Wonwoo, si nomor satu pengalih perhatian. Didudukannya bokong pada sofa beludru dimana jaraknya lebih dekat dengan si dosen yang sedang menjelaskan materi. Ekor mata Mingyu bisa tangkap segala gerak gerik Wonwoo, dimulai dari duduk, membuka pisang...

Shit, he knows exactly what his kitten will do after that to push him to the edge.

Dugaan Mingyu benar, dijulurkannya lidah, menjilat pisang dari bawah hingga atas, lantas memasukan seluruhnya pisangnya ke dalam mulut kecil itu.

Dikunyah? Jawabannya tentu tidak, Wonwoo kembali mengeluarkannya, dan kembali memasukannya, begitu seterusnya dengan kedua netra yang tertutup dan selangkangan yang terpajang dengan bebas.

Mati-matian Mingyu mencoba tetap fokus, meski sebenarnya matanya sangat ingin menelanjangi aktivitas Wonwoo tanpa harus mencuri pandang dari ekor mata. Kaki Mingyu bergerak tidak nyaman sebab ada sebuah gundukan mengganjal di bawah sana.

Sementara Wonwoo masih asik menjadikan pisangnya itu sebagai objek untuk mengambil atensi Mingyu. Tidak sampai disana, pinggulnya mulai bergerak, mencipta gesekan antara penisnya dengan sofa. Bisik rendah dapat ditangkap rungu Mingyu dan membuat kedua netranya langsung menatap Wonwoo.

Sungguh pemandangan yang membuat Mingyu meneguk ludah; Wonwoo dengan saliva yang berceceran di sekitar bibirnya sedang menggesekkan penisnya yang sudah tidak bisa lagi bersembunyi dibalik fabrik satu-satunya yang ia gunakan.

Tapi keputusan Mingyu adalah hal yang salah, niat hati untuk menegur Wonwoo, namun adrenalinnya justru dibawa naik oleh lelakinya itu. Sorot mata sayu seakan meminta Mingyu untuk menerkamnya sekarang juga, pipi yang bersemu, dan bibir yang terbuka.

Nafas yang memburu, nafsu yang sudah hampir mencapai limit dan celana yang semakin sesak membuat Mingyu terlihat tidak nyaman mengajar. Secara refleks, ia membuka kakinya dan tentu saja pergerakan itu ditangkap oleh kedua mata rubah Wonwoo.

Sekitar jam satu kurang, Wonwoo udah sampai di kampus. Dia segera jalan ke arah kantin yang disana ternyata udah Jeonghan dan Joshua.

“Kok kelas lu udah kelar?” Tanya Wonwoo sambil cek jam tangannya.

“Biasalah, Pak Adrio.” Kekeh Joshua.

“Kalian udah pesen makan?” Tanya Wonwoo.

“Belum, kan nungguin lu.” Jawab Jeonghan.

“Oh.” Bales Wonwoo.

“Ih, gitu doang? Bales kek 'kalian so sweet banget sih', masa oh doang?” Protes Jeonghan sementara Joshua malah ketawa dan Wonwoo cuma naikin bahunya gak peduli.

“Mau pesen apa? Gue pesenin.” Kata Wonwoo lagi.

“Bayarin sekalian.” Canda Jeonghan.

“Iya.” Jawaban Wonwoo bikin Jeonghan kaget.

“Serius?” Tanya Jeonghan lagi.

“Ya kalau mau, gue bayarin.”

“Asik, gue mau pesen yamin dong.” Kata Jeonghan sambil nyengir lebar.

“Shua mau apa?” Tanya Wonwoo.

“Gue pempek lenggang dong.” Jawab Joshua.

“Minum?”

“Sama minum juga?” Tanya Jeonghan (lagi).

“Iya, sekalian.”

“Mau lemon tea aja sih gue.” Jawab Jeonghan.

“Gue juga deh.”

Dan Wonwoo segera melengos buat pesenin makanan mereka, Wonwoo sendiri cuma pesen es krim aja karena dia udah makan nasi goreng katsunya Mingyu. Setelah pesen dan bayar, Wonwoo balik lagi ke meja mereka.

“Pindah kursi aja, yuk?” Ajak Joshua. Wonwoo bingung kenapa tiba-tiba pindah.

“Kenapa? Lagian penuh, gak ada kursi lagi.” Bales Wonwoo, dan ternyata ada orang yang lagi ngomongin dia di meja belakangnya, orangnya ngebelakangin Wonwoo, gitu juga temen-temennya, jadi gak ada yang sadar kalau Wonwoo ada disana juga.

'Pak Mingyu sama Wonwoo beneran?' Wonwoo bisa denger.

'Iya, gue liat jelas banget mereka pegangan tangan, pulang bareng juga deh.'

'Gue denger juga sih dari temen-temennya Joshua yang diundang, Pak Mingyu sama Wonwoo emang lengket banget kemaren.'

'Wonwoonya kali, ya, yang deketin duluan?'

Denger ucapan itu, Jeonghan kesel sendiri, gitu juga Joshua, sementara Wonwoonya santai aja.

“Biarin aja, Han.” Katanya Wonwoo santai.

“Lu gak kesel apa?” Bales Jeonghan.

“Biasa aja.” Kata Wonwoo sambil makan es krimnya yang duluan datang.

'Apa Wonwoo deketin Pak Mingyu biar skripsinya cepet? Perasaan gak pinter-pinter amat, gue pernah sekelas sama dia pas ngulang.' Wonwoo ketawa kecil dengernya.

'Gue gak nyangka Pak Mingyu bisa disogok gitu.'

Denger itu, rahang Wonwoo mengeras. Dia berhenti makan es krimnya dan segera samperin ketiga perempuan yang lagi gosipin dia dan Mingyu. Jeonghan dan Joshua saling tatap kaget.

“Lanjutin aja, mau denger sejauh apa gosip tentang gue yang gue sendiri gak tau.” Wonwoo natap ketiganya yang seketika diem dan saling sikut-sikutan.

Sambil nunggu, Wonwoo buka ponselnya dan ngotak-ngatik sedikit terus liatin ke mereka bertiga.

“Gak terlalu pinter, kak, makanya IPK gue cuma 3,97.” Bales Wonwoo.

“Oh iya, bebas sih kak kalau mau gosipin gue, gak peduli juga, tapi gak usah sok tau ngomong Pak Mingyu gampang disogok atau gak tau deh fitnah apalagi yang bakal keluar dari mulut lu itu.” Wonwoo ngomong dengan keadaan tenang, dia juga gak mau orang-orang denger percakapan mereka apalagi sampai jadi pusat perhatian, Wonwoo gak mau.

“Tadinya gue gak mau bahas, tapi sekalian aja. Gue emang sering bimbingan sama Pak Mingyu, tapi gue juga sering ngerjain skripsi langsung depan Bu Gayes kalau disuruh revisi, apa perlu gue liatin email gue sama Bu Gayes sama Pak Mingyu sekalian?” Lagi-lagi ketiga orang itu cuma diem aja.

“Oh iya, kalau lu mau gue bantu skripsinya boleh sih, kak. Mungkin gak cepet banget, sekitar 2 sampe 4 mingguan bisa, soalnya gue gak pinter-pinter amat.” Bales Wonwoo lagi, dan setelah itu dia balik lagi ke kursinya dengan Jeonghan dan Joshua yang senyum lebar.

“Mau pindah duduk?” Tanya Joshua.

“Ngapain pindah? Mereka aja yang pindah kalau punya malu.” Jawab Wonwoo.

“WON? GUE NGEFANS?” Kata Jeonghan excited. Wonwoo cuma ketawa kecil aja.

“Gara-gara mereka nih es krim gue meleleh.” Wonwoo cemberut.

“Gue beliin!” Kata Jeonghan semangat.

“Hahaha, gak usah gak apa-apa.” Jawab Wonwoo. “Kalian makan kali, udah dingin tuh.” Lanjutnya, dan mereka makan sambil ngobrol-ngobrol.

Sekitar jam lima sore, akhirnya Wonwoo selesai kelas. Dia segera jalan ke parkiran karena katanya Mingyu udah selesai dari sepuluh menit yang lalu.

“Capek gak?” Tanya Mingyu setelah Wonwoo masuk, tangannya terulur buat ngusap rambut Wonwoo.

“Gak kok, Mas.” Jawab Wonwoo sambil senyum juga.

“Mau cari makan dulu?”

“Boleh, Mas.”

“Kamu mau makan apa?”

“Gak tau, nanti aja pas liat disana, siapa tau ada yang bikin aku penasaran.”

“Jadi gimana Mas nih?”

“Iya, Mas sayang.” Jawab Wonwoo sambil senyum. Mingyu natap Wonwoo tanpa ngedip.

“Kenapa, Mas?” Tanya Wonwoo yang bingung. Mingyu senyum lebar dan segera kecup bibir Wonwoo secepat kilat.

“Mas! Masih di kampus!” Protes Wonwoo.

“Gelap kok.” Mingyu nyengir. “Lagian kamu gemes banget.” Mingyu ngusap pipi Wonwoo dan bikin Wonwoo senyum.

Keduanya segera pergi dari lingkungan kampus dan pergi buat cari makan, tapi di tengah jalan, ibunya Mingyu telpon dan minta tolong buat beliin beberapa bahan keperluan di tokonya.

“Ibu kenapa, Mas?” Tanya Wonwoo.

“Minta tolong beliin bahan buat di toko, gak apa-apa?” Mingyu balik tanya.

“Gak apa-apa kok, Mas.” Jawab Wonwoo.

Akhirnya Mingyu ajak Wonwoo ke Nanakam Fresh Market, biar mereka bisa belanja, sekaligus dibikinin makanannya.

“Aku baru tau ada yang kayak gini di Bandung.” Kata Wonwoo sambil liat sekitarnya. Mingyu ketawa.

“Makanya keluar, jangan ngedekem terus di kamar, sekalinya keluar malah dugem.” Ledek Mingyu. Wonwoo ngedelik denger ledekan Mingyu.

“Mas.” Panggil Wonwoo.

“Dalem?” Jawab Mingyu lembut.

“Mas.” Wonwoo ulang lagi.

“Dalem, sayang?” Mingyu jawab makin lembut lagi. Wonwoo senyum lebar.

“Kok pipinya merah?” Mingyu ngebelai pipi Wonwoo.

You're my natural blush.” Jawab Wonwoo sambil senyum, dan Mingyu ikut senyum. Dia segera ngeraih tangan Wonwoo dan dia genggam erat selama mereka belanja.

Sejam berlalu, akhirnya mereka selesai belanja dan makan, mereka segera ke rumah Mingyu buat kasih bahan toko ibunya Mingyu.

“Eh, sama anak gantengnya ibu.” Wonwoo langsung menghambur ke pelukan ibunya Mingyu.

“Kangen ibu.” Rengek Wonwoo.

“Ibu juga kangen kamu, nak. Udah lama gak kesini.” Wonwoo cuma senyum, gitu juga Mingyu.

“Eh, Wonwoo.” Wonwoo noleh ke sumber suara yang terdengar ceria itu.

“Kak Dokyeom, hai.” Sapa Wonwoo agak kaku karena mereka belum banyak ngobrol.

“Mau ketemu Joshua?” Tanya Mingyu.

“Iya lah, sebelum berangkat, abisin dulu bucin sama tunangan tersayang.” Jawab Dokyeom.

“Emang Kak Dokyeom kapan berangkat?” Tanya Wonwoo basa-basi.

“Lusa, Won. Jagain tunangan cakep gue, ya.” Wonwoo cuma senyum kecil nanggepin Dokyeom.

“Ngaco, Wonwoo sama gue terus.” Protes Mingyu.

“Udah gue-gue, ya, mas-mas jowo ini.” Ejek ibunya Mingyu dan bikin Wonwoo ketawa.

“Biar gaul dong, budhe.” Kekeh Dokyeom.

Setelah berbincang beberapa saat, akhirnya Mingyu dan Wonwoo kembali pamit untuk segera pergi.

“Mas anterin Wonwoo dulu kan?” Tanya sang ibu.

“Iya dong, bu. Harus dipastiin Wonwoonya selamat sampe tujuan.” Jawab Mingyu.

“Wonwoo pulang dulu, ya, bu. Nanti ketemu lagi!” Pamit Wonwoo.

Keduanya segera masuk mobil dan pergi setelah berpamitan. Wonwoo selalu ngerasa seneng setiap abis ketemu ibunya Mingyu, dia selalu ngerasa hangat ada di antara keluarganya Mingyu.

“Aku tadi nahan ketawa banget waktu ibu ngomelin Mas karena baju Mas kekecilan.” Mingyu ikut ketawa denger ucapan Wonwoo.

“Tapi kalau diliat, emang ngepas banget sih, Mas.” Wonwoo perhatiin Mingyu yang berujung salah tingkah sendiri.

“Iya, ya? Abisnya kalau Mas pake baju bekas dari tunangan Joshua tuh gak bisa, udah kecampur bau macem-macem.” Bales Mingyu.

“Kamu masih marah gara-gara bajunya dipake Mas?” Seketika Wonwoo keinget *bubble chat” Jeonghan tadi siang.

“Udah gak marah, tapi jangan pake baju aku lagi, ngomel kan ibu juga.”

“Iya, maaf ya bajunya Mas pake.” Mingyu ngerasa bersalah. Liat ekspresinya Mingyu, Wonwoo malah senyum lebar.

“Mas, kamu tuh... Kenapa sih segemes ini?” Wonwoo perhatiin Mingyu dan bikin dosennya itu salah tingkah.

“Gak ah, kamu kali.” Bales Mingyu.

“Kamu gemes banget, Mas.”

“Ya udah iya, Mas gemes.” Wonwoo ketawa kecil karena Mingyunya selalu ngalah.

Gak lama, mereka sampai di apartemen Mingyu dan langsung ambil beberapa baju, ada baju tidur, baju kerja juga.

“Apartemen Mas ternyata serapi ini, biasanya aku gak sadar.” Kata Wonwoo sambil perhatiin sekitar.

“Soalnya biasanya lagi tipsy, ya, kalau kesini?” Kekeh Mingyu.

“Sebel.” Mingyu ketawa karena Wonwoo cemberut.

“Yuk, udah semua nih.”

“Yuk.”

Keduanya langsung ke apartemen Wonwoo yang makan waktu kurang lebih 20 menitan dari apartemen Mingyu.

“Mas mau mandi duluan?” Tanya Wonwoo.

“Gak apa-apa?”

“Gak apa-apa kok, Mas kan seharian di luar.”

“Ya udah Mas duluan, ya. Kalau mau bareng juga boleh.” Pipi Wonwoo langsung merah setelah denger ucapan Mingyu itu.

Sejam berlalu, keduanya selesai mandi, terus mereka ngemil di ruang tengah sambil nonton. Iya, keduanya sama-sama hobi nonton, jadi emang cocok tinggal bareng.

Jam 10 malem, mereka mutusin buat pindah aja ke kamar karena bingung mau nonton apalagi. Setelah sikat gigi, Wonwoo duduk di samping Mingyu yang lagi mainin hp-nya. Mingyu langsung simpen hp dan angkat tubuh Wonwoo biar duduk di atas pangkuannya.

Seems like you love this position.” Wonwoo senyum sambil rapiin rambutnya Mingyu.

Because I love to stare at your pretty face.” Mingyu nyuri kecupan di bibir Wonwoo, tapi Wonwoo narik tengkuk Mingyu dan ngelumat bibir tebal itu dengan lembut. Tangan Wonwoo ngelingkar di leher Mingyu, sementara tangan Mingyu ngedekap pinggang Wonwoo erat.

Ciuman mereka lembut, tanpa saling menuntut. Keduanya saling nyalurin rasa hangat dan sayang dari bibir mereka. Wonwoo yang pertama ngelepas tautan bibir mereka. Badannya masih condong ke arah Mingyu, jarak wajah mereka cuma beberapa senti aja. Keduanya saling senyum dan akhirnya Mingyu ngecup seluruh wajah Wonwoo.

“Sayang banget Mas sama kamu.” Mingyu meluk Wonwoo erat.

“Sama.” Bales Wonwoo. Mingyu ngelepas pelukannya.

“Sama apa?” Tanya Mingyu.

“Sayang juga.” Jawab Wonwoo.

“Siapa yang sayang?”

“Aku.”

“Ke siapa?”

“Mas.”

“Bilangnya yang bener.” Wonwoo terkekeh dan kecup bibir Mingyu.

“Aku sayang Mas Mingyu.” Mingyu senyum lebar dan peluk Wonwoo lagi.

Wonwoo sembunyiin wajahnya dibalik bahu Mingyu. Sebenernya dari setelah makan siang tadi, Wonwoo kepikiran, gimana kalau Mingyu denger gosip yang kayak tadi dia denger. Mingyu itu terlalu baik, dia gak mau Mingyu denger hal-hal jelek. Wonwoo mau Mingyunya bahagia aja.

“Wonwoo.” Panggil Mingyu sambil ngusap-ngusap punggung Wonwoo.

“Kenapa, Mas?” Tanya Wonwoo yang juga masih betah ciumin aroma Mingyu.

“Kamu abis selesai kuliah mau ngapain?” Tanya Mingyu lagi.

“Gak tau, Mas. Mau coba cari kerja mungkin walaupun gak tau harus kemana.” Mingyu terkekeh denger ucapan Wonwoo.

“Kamu ada kepikiran buat nyusul Shua gak?” Wonwoo ngelepas pelukannya dan natap Mingyu sambil ngerutin dahinya.

“Mas... Serius?” Tanya Wonwoo. Mingyu senyum sambil belai pipinya Wonwoo.

“Kalau kamu mau, ya, serius. Kalau belum mau juga gak apa-apa kok, sayang. Kita masih punya banyak waktu.” Jawab Mingyu.

“Mas udah yakin?”

“Yakin kalau sama kamu.” Jawaban Mingyu itu bikin jantung Wonwoo berdegup.

“Tapi Mas paham kok kalau kamu emang masih belum mau, soalnya kamu masih muda, masih banyak yang mau kamu capai, masih banyak yang mungkin pengen kamu eksplor. Jadi Mas gak akan maksa juga, dan gak akan ngeburu-buru juga.” Kata Mingyu lembut.

The thing that I want to achieve is to find someone who makes me feel loved, and I already found it. I already found a man who makes me feel loved and brings me so much joy. I already found you, Mas.” Jawab Wonwoo.

And I guess I can explore the whole universe as long as I'm with you.” Dan sekarang gantian, Mingyu yang jantungnya berdegup kencang karena kalimatnya Wonwoo.

“Wonwoo, Mas beneran gak ngira kalau kamu bakal mau, Mas kira kamu bakal nolak Mas, dan Mas udah siapin diri kalau emang kamu nolak Mas.” Katanya Mingyu. Wonwoo ketawa.

“Kayaknya kejadian kemaren udah cukup bikin aku trauma takut Mas pergi. Ada benernya aku berterima kasih ke Jeonghan sama Shua.” Keduanya ketawa-ketawa.

“Beresin dulu skripsinya, ya?” Wonwoo anggukin kepalanya.

“Mas, aku mau nanya.” Katanya Wonwoo.

“Kenapa, sayang?”

“Kalau misalnya Mas gak jadi dosen pembimbing aku lagi bisa gak sih?” Tanya Wonwoo hati-hati.

“Loh kenapa? Gak bisa, sayang. Kecuali semester baru, aturannya gitu.” Jawab Mingyu yang sebenernya udah Wonwoo tau.

I see.” Cicit Wonwoo.

“Kenapa? Kamu gak nyaman, ya, kalau bimbingan sama Mas?”

“Nggak kok, Mas. Aku nanya aja.” Jawab Wonwoo.

“Beneran?” Tanya Mingyu.

“Bener, Mas sayang.” Jawab Wonwoo dan bikin Mingyu senyum sambil nganggukin kepala.

“Tidur, yuk? Besok Mas kan ngajar, aku juga kelasnya pagi.” Kata Wonwoo.

“Yuk.”

Keduanya segera rebahin badan mereka. Lengan Mingyu jadi bantalnya Wonwoo. Tangan lainnya dipake Mingyu buat ngusapin punggung Wonwoo. Sementara Wonwoo ngusel di dada bidangnya Mingyu.

Have a sweet dream. I love you.” Mingyu ngecup puncak kepala Wonwoo.

Have a Wonwoo dream, Mas. I love you.” Kekeh Wonwoo dan keduanya segera terlelap.

Sekitar jam sepuluh malam, acara selesai. Sebelum pulang, Wonwoo bertemu Joshua terlebih dahulu, mengucapkan selamat karena semenjak awal datang tadi belum sempat.

“Wonyuuu! Makasih, ya, udah datang. Udah jadi sahabat sejati banget.” Kekeh Joshua yang senyumnya gak luntur, dan untuk pertama kalinya, Wonwoo meluk Joshua pertama, bahkan Joshuanya sendiri sampai kaget.

“Makasih juga.” Wonwoo berucap tulus.

“Jangan bikin gue nangis lagi!” Joshua melepas pelukannya dan Wonwoo terkekeh.

“Nanti kirim norek lu aja. Maaf gak sempet beli hadiah.”

“Gak apa-apa kali, soalnya kan kemarenan lu lagi kalut takut gue tunangan sama masnya lu.” Ledek Joshua dan wajah Wonwoo berubah seketika menjadi datar.

“Kak, anterin Wonwoonya, ya.”

“Ya iya dong, masa gak dianter, takut ilang.” Ucapan Mingyu itu juga mengundang tatapan tajam dari Wonwoo, namun dosen muda itu hanya tertawa kecil.

“Ya udah, yuk.” Ajak Mingyu.

“Pamit ke ibu dulu.” Wonwoo pegang ujung lengan kemeja yang Mingyu pakai.

“Oh iya, lupa.”

Mingyu dan Wonwoo berkeliling mencari sosok ibu Mingyu yang ternyata sedang mengobrol dengan orang tua Seokmin, Joshua, dan Jeonghan.

“Bu, Mas mau anterin Wonwoo, ya. Ibu sama Ican kan?” Pamit Mingyu.

“Iya, Mas. Ibu pulang sama adekmu kok.” Jawab sang ibu.

“Ini calonnya Mingyu?” Tanya ibunya Jeonghan. Wonwoo terlihat kaget saat mendengarnya, tapi lebih kaget lagi karena jawaban Mingyu.

“Iya, tante.” Jawab Mingyu dengan senyum lebarnya.

“Siapa namanya? Wonwoo?” Tanya ibu Joshua.

“Iya, tante.” Jawab Wonwoo.

“Oh, Joshua sering ceritain kamu, katanya kamu suka bantuin dia skripsian. Makasih banyak, ya.” Ibu Joshua nepuk-nepuk bahu Wonwoo sementara itu Wonwoo senyum.

“Kalau gitu, Wonwoo pamit pulang dulu, ya, bu, Can, pamit, ya. Om, tante.” Pamit Wonwoo ke semua keluarga yang ada disana.

“Hati-hati, ya. Makasih udah mau datang.” Wonwoo dan Mingyu senyum, keduanya segera pergi ke parkiran.

“Nginep gak tuh?” Tanya Jeonghan yang juga ada di parkiran. Mingyu dan Wonwoo saling pandang.

“Cuma nganter aja kok.” Jawab Mingyu.

“Nginep lah, baru baikan masa langsung ditinggal, ya, kan, Nyu?” Giliran Joshua yang ikut meledek.

“Iya.” Mingyu menoleh saat mendengar jawaban Wonwoo.

OH MY GOD! Wonwoo sekarang lebih ekspresif! Berhasil kan rencana gue biar bikin Wonwoo lebih bucin.” Ujar Jeonghan dengan bangganya.

“Udah ah, pulang dulu.” Mingyu segera membukakan pintu mobil untuk Wonwoo sebelum teman-temannya itu meledek semakin jauh.

“Udah?” Tanya Mingyu.

“Udah, Pak.” Jawab Wonwoo dan Mingyu mengerutkan dahinya.

Karena Mingyu tak kunjung menyalakan mesin mobilnya, Wonwoo menoleh heran.

“Kenapa?” Tanya Wonwoo bingung.

“Kok panggil 'pak' lagi?” Mendengar itu, Wonwoo tertawa cukup kencang hingga hidungnya mengerut. Mingyu memperhatikannya, merasa gemas sekaligus senang melihat Wonwoo bisa seceria ini.

“Ayok pulang, Mas Mingyu.” Senyum lelaki yang lebih tua merekah, dan ia segera menyalakan mobilnya kemudian melaju menuju apartemen Wonwoo.

Selama di jalan, keduanya tidak banyak berbincang, tapi terkadang ada lirikan-lirikan singkat yang mereka lakukan. Tak jarang lirikan mereka saling bersibobrok dan keduanya akan tertawa kecil. Rasanya hangat, baik Wonwoo, pun Mingyu rindu momen ini. Momen dimana hanya ada mereka berdua dengan debaran penuh kasih sayang.

“Sebentar.” Mingyu turun dari mobilnya saat mereka sudah sampai dan membukakan pintu untuk Wonwoo.

“Makasih, Mas.” Ucap Wonwoo yang disambut dengan uluran tangan Mingyu.

“Kata ibu disuruh anterin dan pastiin anak barunya ini selamat sampai tujuan.” Kekeh Mingyu, dan Wonwoo ikut terkekeh serta ia sambut uluran tangan itu.

Keduanya segera masuk dan menaiki lift tanpa melepas genggaman tangan mereka. Sesampainya di depan pintu apartemen Wonwoo, keduanya sedikit canggung, Wonwoo diam, Mingyupun diam.

“Udah sampe.” Ucap Mingyu.

“Iya.” Jawab Wonwoo. Keduanya hanya berdiam diri, bahkan Wonwoo belum membuka pintu apartemennya. Sampai akhirnya ponsel Wonwoo berdering.

“Joshua.” Ujar Wonwoo dan segera mengangkatnya, tapi yang muncul adalah Jeonghan.

“Won, bisa kasih hp lu ke Kak Mingyu gak?” Tanya Jeonghan. Tanpa menjawab dan dengan bingung, Wonwoo memberikan ponselnya pada Mingyu yang sama bingungnya.

“Wonwoo denger kan?” Tanya Jeonghan. Mingyu menatap Wonwoo dan dia mengangguk.

“Kak, nginep aja, Wonwoo pasti gengsi nawarin duluan padahal dia pengen kakak nginep pasti, tadi aja dia bilang kan masa baru baikan udah ditinggal.” Seketika wajah Wonwoo merona saat mendengar ucapan Jeonghan yang benar itu.

“Kasihin ke Wonwoo.” Suruh Jeonghan dan Mingyu menurutinya.

“Won, udah gue kasih tau isi hati lu ke Kak Mingyu. Sesekali lu kek yang ngajak duluan! Soalnya kata Kak Seokmin, pasti Kak Mingyu juga malu buat minta nginep.” Giliran Mingyu yang salah tingkah.

“Udah, ya. Gue cuma mau ngasih tau itu aja, karena gue tau kalian berdua pasti gak ada yang ngomong. Gimana sih mahasiswa sama dosen komunikasi tapi jelek komunikasinya. Udah, ya, gue juga mau berduaan sama Mas gue.” Katanya Jeonghan yang tak hentinya berbicara.

“Oh iya, jangan lupa.” Jeonghan masih melanjutkan ucapannya.

“Jangan lupa apa?” Tanya Wonwoo.

“Ciuman.” Jawab Jeonghan dan Wonwoo refleks menutup video call-nya. Keduanya langsung salah tingkah. Pipi mereka sama-sama bersemu merah.

“Boleh nginep?” Tanya Mingyu mecah keheningan.

“Boleh, Mas.” Jawab Wonwoo dan akhirnya Wonwoo buka pintu apartemen mereka dan keduanya segera masuk.

“Mas, mandi yuk?” Mingyu kaget saat mendengar ucapan Wonwoo, begitu juga Wonwoo.

“Hah?” Jawab Mingyu.

“Hah?” Wonwoo terlihat panik.

Hening selama beberapa detik, sampai akhirnya Mingyu terkekeh.

“Maksudnya, Mas mau mandi? Saya gak ngajak mandi bareng, nggak. Tadi itu salah ngomong.” Ujar Wonwoo gelagapan dan membuat Mingyu justru semakin tertawa.

“Canggung, ya?” Tanya Mingyu.

“Iya. It's been a long time.” Jawab Wonwoo.

It's been a long time.” Mingyu menyetujuinya.

“Mau minum gak, Mas?” Tanya Wonwoo.

“Boleh.” Jawab Mingyu.

“Mau apa?”

“Teh, boleh?” Wonwoo mengangguk dan segera pergi ke dapur, sementara Mingyu duduk di sofa ruang tengah.

Mingyu menatap ruangan itu lantas tersenyum mengingat beberapa keping memori yang sempat mereka bagi di ruangan dengan sofa abu-abu itu. Ternyata tidak ada yang berubah. Namun Mingyu tertawa lagi, tentu saja tidak ada yang berubah, mereka sebenarnya tidak saling bertemu hanya dalam kurun waktu kurang dari dua bulan. Tapi tetap saja terasa lama bagi Mingyu, dan kini Mingyu bersyukur, dia bisa kembali duduk di sofa abu-abu di ruang tengah apartemen ini.

“Ini Mas.” Wonwoo memberikan tehnya kepada Mingyu.

“Makasih, ya.” Mingyu segera menyesapnya.

“Sebentar, ambil cemilan dulu...” Belum sempat melangkah, Mingyu menarik pergelangan tangan Wonwoo dan mendudukkan tubuh itu di pahanya.

Seketika Wonwoo mematung. Jantungnya memompa darah lebih cepat hingga debarannya sangat kencang. Wajahnya merona sempurna.

Sementara Mingyu dengan betah menatap wajah Wonwoo yang menurutnya sangat gemas dan cantik. Ia mengulurkan tangannya untuk mengusap pipi Wonwoo.

“Kangen.” Satu ucapan dari Mingyu yang mampu membuat ratusan kupu-kupu beterbangan di perut Wonwoo.

“Kangen banget, Wonwoo.”

“Saya juga kangen, kangen banget sama Mas Mingyu.” Balas Wonwoo. Jemarinya menyusuri wajah Mingyu, lantas ia ikut mengusap pipinya. Mingyu menarik pinggang Wonwoo semakin mendekat, ia mengusapnya perlahan sambil terus menatapnya, seakan takut jika orang yang ia sayangi itu akan pergi.

Keduanya terdiam dengan netra yang enggan memutus kontak. Sudah lama mereka tidak merasakan debaran kencang yang menyenangkan seperti saat ini. Masih ada senyum malu di antara mereka, namun mereka menikmatinya, menikmati momen kebersamaan mereka.

Mingyu mengusap-ngusap pinggang ramping Wonwoo, sementara Wonwoo tak hentinya membelai pipi Mingyu dengan lembut. Sampai akhirnya Mingyu memutus kontak mata mereka dan pandangannya beralih ke bibir merah muda Wonwoo, dan yang ditatap pun menyadari kemana arah kedua netra itu memandang, sampai akhirnya Mingyu kembali menatap netra Wonwoo dan Wonwoo menganggukkan kepalanya, memberi izin.

Kedua bibir mereka saling bertemu. Satu tangan Mingyu menarik tengkuk Wonwoo, sementara tangan lainnya masih mengusap pinggang Wonwoo dan semakin mendekapnya hingga jarak terkikis.

Netra mereka terpejam, bibir mereka saling melumat dengan lembut. Pagutan demi pagutan menjalarkan sengatan yang membuat jantung mereka berdebar dengan perasaan yang hangat.

Wonwoo meremas bahu Mingyu kala ia merasakan gigi taring Mingyu menggigit bibirnya dan membuatnya refleks membuka mulut. Keduanya saling melilitkan lidah, saling bertukar saliva, saling menyalurkam afeksi.

Cumbuan yang awalnya terasa hangat dan penuh rasa sayang, perlahan berubah menjadi lebih panas dan menuntut kala tangan Mingyu menyentuh kulit punggung Wonwoo dan turun untuk mengusap kulit pinggangnya yang terasa sensual bagi Wonwoo. Suara kecapan dari bibir mereka mengisi ruangan itu dan terasa semakin intens.

Mingyu menghisap bibir Wonwoo dengan kuat, menjilat bibirnya yang terasa manis sebab meminum orange juice di acara Joshua tadi. Wonwoo tak mau kalah, ia terus mengulum bibir tebal Mingyu, mencumbunya dengan penuh hasrat hingga keduanya kehabisan nafas.

Mereka saling menatap dengan mata yang sayu, Mingyu mengusap ujung bibir Wonwoo yang terdapat saliva mereka yang sudah bercampur.

Wonwoo menyisir rambut Mingyu dengan jemarinya hingga membuat rambut yang tadinya rapi teroles pomade itu kini menjadi sedikit berantakan.

Do you know that you're hotter when your hair looks messy?” Ujar Wonwoo setengah berbisik sambil memainkan rambut Mingyu.

“Udah berani, ya?” Mingyu mengusap bibir Wonwoo lantas mengusap rahangnya dan turun hingga leher Wonwoo.

I'm wondering how the taste of this peachy-scented neck.” Mingyu sedikit mencekik leher jenjang Wonwoo dan Wonwoo hanya terdiam menikmatinya.

Sweeter than you thought, sir.” Balas Wonwoo dengan senyum tipisnya.

Lantas Mingyu mengendus aroma leher Wonwoo yang masih sama, aroma persik yang memabukkan. Wonwoo memejamkan matanya, merasakan lehernya dikecup, dihisap dan dijilat oleh Mingyu. Justru ia dengan sengaja menjenjangkan lehernya agar Mingyu lebih leluasa melakukan aktivitasnya.

Tangan Wonwoo meremas rambut Mingyu, melampiaskan rasa nikmatnya. Sementara tangan Mingyu mencengkram pinggang Wonwoo dan menariknya lagi, lantas merayap menuju punggung Wonwoo dan membelai punggung mulus itu dengan ujung jarinya yang sukses membuat tubuh Wonwoo menggelinjang.

Setelah puas dengan leher Wonwoo, Mingyu mengecup tulang selangka Wonwoo yang sedikit terekspos itu.

“Cantik, kamu cantik.” Ucapan Mingyu itu sukses membuat wajah Wonwoo bersemu. Keduanya tersenyum lantas kembali mempertemukan bibir mereka, saling memagut dengan penuh nafsu.

Sampai lagi-lagi, suara ponsel membuyarkan semuanya. Mingyu berdecak sebal karena ia kira Jeonghan atau Joshua lagi yang menghubunginya, namun ketika melihat nama kontaknya, baik Mingyu dan juga Wonwoo sedikit tersedak. Dengan cepat Wonwoo turun dari pangkuan Mingyu dan membereskan pakaiannya, begitupun dengan Mingyu yang langsung merapikan rambutnya yang berantakan, padahal itu hanya telpon biasa.

“Iya, bu?” Mingyu berusaha berbicara setenang mungkin saat mengangkat telpon ibunya.

“Udah sampai kok dari tadi, Mas lupa ngabarin soalnya hp Mas mati, ini numpang ngecas di apartemen Wonwoo.” Alasannya.

“Hujan?” Baik Wonwoo dan juga Mingyu segera menengok ke arah jendela yang sedikit terbuka. Ternyata memang hujan lebat dan keduanya tidak menyadari sebab terhanyut dengan suasana.

“Gak denger soalnya Mas tadi ketiduran.” Dalam hatinya, Mingyu terus meminta maaf karena banyaknya kebohongan yang ia katakan.

“Nanti Mas pulang kalau agak redaan, Mas masih agak ngantuk.”

Setelah mengucapkan kalimat tadi, Mingyu menoleh ke arah Wonwoo dan entah untuk alasan apa Wonwoo merasa gugup.

“Ibu mau ngomong.” Ujar Mingyu sambil memberikan ponselnya. Wonwoo mengambilnya dengan ragu, takut jika ia terdengar mencurigakan.

“Halo, bu?” Wonwoo sembari melirik ke arah Mingyu.

“Oh iya, gak apa-apa kok kalau Mas Mingyunya masih disini, kasian juga tadi ngantuk Mas Mingyunya, terus hujan juga di luar, jarak apartemen ke parkirannya agak jauh, soalnya Mas Mingyu gak parkir di basement.” Ucap Wonwoo lagi.

“Gak ngerepotin kok, bu. Justru tadi Wonwoo yang repotin Mas Mingyu sampai dianter pulang pergi.” Lanjutnya.

“Iya, bu. Salam buat Ican, ya, bu. Ibu istirahat, ya, soalnya pasti capek bikin kue banyak, tapi Wonwoo suka kue yang tadi di acaranya Shua!” Wonwoo tersenyum saat mengatakannya, begitu juga Mingyu.

“Oke, ibu. Lusa deh Wonwoo mampir lagi ke toko ibu! Dadah, ibu. Selamat istirahat.”

Setelah sambungan telpon ditutup, Wonwoo mengembalikan ponsel Mingyu dengan senyumnya. Mingyu yang gemas segera mendaratkan kecupan di pipi Wonwoo.

“Seneng?” Tanya Mingyu dan Wonwoo mengangguk senang.

“Gemes banget, ya Tuhan.” Wonwoo terkekeh saat Mingyu mengecup seluruh wajahnya.

“Mas... Jadi nginep?” Tanya Wonwoo.

“Maunya gimana?” Mingyu sengaja membalikkan pertanyaannya karena ia ingin mendengar Wonwoo memintanya sendiri.

“Maunya Mas nginep.” Jawaban Wonwoo menciptakan senyum lebar di bibir Mingyu, lantas diusapnya puncak kepala Wonwoo.

“Iya, nginep.” Ujar Mingyu lembut.

“Boleh numpang mandi?” Tanya Mingyu.

“Boleh, di kamar mandi saya aja, air di kamar mandi belakang gak nyala.” Jawab Wonwoo.

“Sebentar, saya ambil anduk dulu. Mas mandi aja, nanti saya kasih.” Mingyu mengangguk dan segera memasuki kamar mandi yang ada di dalam kamar Wonwoo.

Sementara Wonwoo mencari handuk dan baju yang sekiranya akan cukup untuk Mingyu. Beruntung Wonwoo memiliki cukup banyak baju oversized, setidaknya tidak terlalu kecil di badan Mingyu.

Setelahnya, Wonwoo mengetuk pintu kamar mandinya dan sedikit berteriak dari luar untuk memberi tahu Mingyu.

“Mas, anduk sama bajunya disimpen di kasur, ya!” Ucap Wonwoo.

Belum sempat Wonwoo pergi, pintu kamar mandi terbuka dengan Mingyu yang masih menggunakan celana, namun kemejanya sudah ia lepas dan tentunya memperlihatkan lekuk tubuh atletisnya.

“Kenapa, Mas?” Wonwoo sebisa mungkin tidak melihat ke arah badan Mingyu karena itu membuat jantungnya berdegup tidak karuan dan pikirannya yang menjelajah entah kemana.

“Kamu boleh nolak.” Wonwoo mengerutkan dahinya. Sementara Mingyu terlihat menelan ludahnya karena gugup.

“Ajakan mandi tadi... Masih berlaku?”

Mendengar itu, seketika pipi Wonwoo mengeluarkan semburat merah muda, begitu juga dengan Mingyu yang sekarang gugup. Wonwoo sendiri merasa lemas dan dadanya tidak berhenti berdegup. Wonwoo menggigit bibir bawahnya kemudian satu anggukan kecil membuat Mingyu tersenyum puas dan dengan cepat menarik Wonwoo masuk ke dalam kamar mandi.

Namun keduanya malah semakin canggung saat hanya berdua di kamar mandi. Mereka bahkan tidak berani untuk saling menatap dan hanya melihat ke sembarang arah asal tidak menatap mata masing-masing.

Setelah sekian menit hanya berdiam diri, akhirnya mereka bergerak saat bathtub terisi penuh hingga busa-busanya sedikit berceceran.

Mingyu segera mematikan shower kemudian ia menatap Wonwoo. “Mau liat?” Tanya Mingyu menggoda Wonwoo, walau sebenarnya dia juga merasa canggung karena tidak biasa bertingkah seperti itu.

“Coba liat.” Mingyu sedikit kaget karena Wonwoo malah menantangnya. Namun sebenarnya Wonwoo juga gugup, karena seumur hidupnya ia tidak pernah melihat alat vital orang lain.

Mingyu mulai membuka resleting celananya secara perlahan. Wonwoo meneguk salivanya sendiri, jantungnya bergemuruh lebih hebat lagi dari pada sebelumnya.

Namun, belum sempat Mingyu melepasnya, ia malah terkekeh. “Kalau takut, gak apa-apa. Gantian aja mandinya, atau mau kamu duluan?” Tanya Mingyu.

“Bareng.” Jawab Wonwoo dan dengan langkah perlahan tapi pasti, ia mendekat ke arah Mingyu.

Jemarinya menari di atas perut atletis itu, sementara tangan lainnya memegang tangan Mingyu agar ia melepaskan celananya. Kemudian Mingyu mendekap Wonwoo hingga tubuh mereka saling menempel. Deru nafas mereka saling beradu, bahkan keduanya bisa saling merasakan detak jantung yang sedari tadi memompa lebih ekstra.

“Saya izin lepas, boleh?” Tanya Mingyu. Wonwoo mengangguk, dan detik selanjutnya, Mingyu melepas blazer dan kaos yang digunakan Wonwoo.

“Boleh?” Mingyu kembali bertanya sembari memegang celana Wonwoo.

Do it.” Mingyu tersenyum dan segera melepas celana Wonwoo.

Kini keduanya hanya terbalut celana dalam saja. Mingyu menarik Wonwoo agar masuk ke dalam bathtub. Mingyu duduk di antara busa-busa disana, diikuti oleh Wonwoo yang duduk membelakangi Mingyu. Ia terduduk di antara paha Mingyu dengan punggung yang bersandar di dada bidang sang dosen.

Keduanya menikmati air hangat yang membuat otot mereka rileks. Mingyu sedikit menarik kepala Wonwoo hingga menoleh, kemudian ia lumat bibir itu dengan lembut. Setelahnya, Mingyu mengecup rahang Wonwoo hingga ke bahu polosnya.

Believe it or not, this is my first time taking a bath with someone.” Ujar Wonwoo membuka obrolan.

“Kalau gak percaya?” Wonwoo menoleh dengan dahi yang mengerut. Mingyu terkekeh dan kembali mengecup bibir Wonwoo.

“Iya, percaya kok.” Jawab Mingyu.

“Mas emang udah pernah?” Tanya Wonwoo.

“Kalau pernah kenapa emang?” Wonwoo menatap Mingyu kemudian mendelik.

Then I'm not your first.” Balas Wonwoo sedikit ketus. Mingyu tertawa kecil.

But the truth is, you're the first.” Jawab Mingyu dengan sangat lembut.

And I wish you would be the last too.” Lanjut Mingyu.

I would.” Wonwoo tersenyum sama lembutnya dan lagi, kedua ranum mereka bertemu. Saling memagut tanpa lelah, saling melilit lidah salurkan kenikmatan.

Mingyu kembali hisap bibir Wonwoo, menjilat dan mengulumnya dengan penuh nafsu hingga Wonwoo mengeluarkan lenguhannya. Tangan Mingyu mulai menggerayangi bagian dada Wonwoo. Dengan cepat ia menemukan salah satu titik sensitif Wonwoo yang menegang.

Mingyu mengusap puting tegang itu dan lagi-lagi Wonwoo melenguh. Ia melepas tautan bibir mereka dan menatap Mingyu dengan sayu.

“Mas, please, just do.

Bisikan Wonwoo itu bagai sinyal untuk Mingyu agar tidak menahan dirinya. Mingyu kembali mengecup bahu Wonwoo, naik ke leher, hingga belakang daun telinganya. Sementara Wonwoo hanya menikmatinya dengan mata yang terpejam seraya menyandarkan punggungnya pada dada Mingyu.

Ibu jari Mingyu masih sibuk mengelus puting Wonwoo karena ia suka melihat tubuh Wonwoo melengkung akibat sentuhannya. Ibu jarinya memutar, lantas menekan-nekan puting Wonwoo yang sensitif, kemudian mencubitnya dengan cukup keras sampai desahan tak dapat terelakan dari bibir Wonwoo.

Satu tangan Mingyu lainnya mulai meraba perut Wonwoo hingga bertemu selangkangan Wonwoo. Jemarinya dengan lihai membelai paha hingga selangkangannya yang membuat Wonwoo semakin menggeliat.

“Mas...” Lenguhnya.

“Kenapa, Wonwoo?” Bisik Mingyu tepat di samping telingan Wonwoo. Ia kemudian mengecupi lagi belakang telinganya.

I'm fuckin horny.” Wonwoo sudah tidak peduli. Ia buang jauh-jauh gengsinya. Ia takluk, tak berdaya di bawah dominasi Mingyu.

Your language, Jeon.” Mingyu berkata dengan rendah namun terdengar mengintimidasi.

“Maaf, Mas.” Mingyu tersenyum puas mendengar ucapan Wonwoo.

Mingyu meraba kejantanan Wonwoo yang mengeras dan sukses membuat tubuhnya bergetar menginginkan lebih. Tangan Wonwoo meremat lengan kekar Mingyu.

Beg to me” Titah Mingyu.

“Mas Mingyu, please, please just touch me.” Rengek Wonwoo.

Mingyu menyelipkan tangannya ke dalam celana dalam yang masih Wonwoo gunakan, memberinya pijatan lembut kemudian mengocoknya perlahan. Bibirnya kembali mengecupi leher Wonwoo yang sudah ada beberapa bercak keunguan disana.

Karena menghalangi, Mingyu menurunkan celana yang dipakai Wonwoo agar lebih leluasa memberikan kenikmatan. Tangannya kembali mengocok dengan cepat hingga Wonwoo tak hentinya mendesah. Kepalanya terbanting di bahu Mingyu dengan kedua netra rubahnya yang memejam.

“Mas Mingyu, s—suka banget.” Racau Wonwoo dengan tubuh yang membusur.

Semakin kencang Wonwoo melenguh, semakin cepat juga kocokan pada penisnya. Mingyu suka mendengarnya. Lenguhan Wonwoo mampu membangkitkan birahinya. Ia juga dapat merasakan jika miliknya sudah mengeras di bawah sana.

“Mas... I'll cuming.

Dan betul saja, sekon selanjutnya, Mingyu dapat merasakan jika tangannya dipenuhi dengan cairan lengket. Wonwoo memejamkan matanya lagi sambil bersandar, mengatur nafasnya hingga teratur.

Mingyu membelai pipi Wonwoo, yang kemudian Wonwoo membuka netranya perlahan dan mengecup bibir Mingyu. Setelah itu, Wonwoo melempar satu-satunya kain yang tersisa di badannya tadi, lantas ia membalikkan tubuhnya dan duduk di atas paha Mingyu.

Dengan sengaja, Wonwoo menggesekkan kepunyaannya dengan milik Mingyu yang masih terbalut celana dalam. Pinggulnya bergerak maju mundur agar terus bergesekkan. Mingyu mengerang rendah, ia menatap Wonwoo penuh nafsu, tangannya kembali mencengkram pinggang Wonwoo dan ia menggerakkan pinggul Wonwoo lebih cepat lagi.

Keduanya sama-sama melenguh. Jemari Wonwoo mulai menyelinap, ia gesekkan ujung kukunya dengan kepala penis Mingyu, kemudian ia remat dan perlahan ia kocok. Mingyu mendongakkan kepalanya seraya mengerang dengan urat lehernya yang menonjol jelas.

“Jeon Wonwoo.” Erang Mingyu.

Mas, I know you're hot, but you're the hottest now when you moan my name roughly with that veiny neck.” Ujar Wonwoo yang tidak melepas pandangannya dari Mingyu.

I want you.” Bisik Wonwoo lagi.

Tanpa pikir panjang, Mingyu menurunkan celananya dan melempar ke sembarang arah. Tangannya sedikit mengangkat tubuh Wonwoo, lantas ia arahkan penisnya yang tegang ke arah anal Wonwoo, dan dengan sekali hentakkan, seluruh penisnya bersarang di dalam sana.

“Ah!” Keduanya mendesah kencang.

Wonwoo sedikit meringis sebab bagian belakang sana terasa sangat sakit. Ia bahkan tidak sengaja mencakar punggung Mingyu.

“Wonwoo, sakit?” Tanya Mingyu khawatir.

“Sakit, Mas.” Jawab Wonwoo susah payah.

“Berhenti aja, ya?” Namun Wonwoo menolak dan menggelengkan kepalanya dengan kuat.

Keep going, please. Slowly.” Pinta Wonwoo.

Mingyu mulai bergerak perlahan sambil sesekali memastikan jika Wonwoo baik-baik saja. Namun, perlahan ekspresi Wonwoo berubah, dari yang mulanya terlihat menahan sakit, kini Wonwoo terlihat mulai menikmatinya.

Faster, Mas.” Pinta Wonwoo.

Mingyu mempercepat gerakannya. Menusuk lubang sempit itu dan terus menghujamnya tanpa henti. Desahan demi desahan memenuhi kamar mandi itu. Air yang semula hangat, kini sudah menjadi dingin, namun aktivitas mereka justru semakin panas dan tak dapat terbendung.

Wonwoo yang terus meracau dan Mingyu yang tak lelahnya mencari titik terdalam Wonwoo. Mingyu dapat merasakan jika penisnya diremas kuat oleh lubang Wonwoo, membuat Mingyu mendongak dengan kedua mata yang terpejam.

Wonwoo menggerakkan pinggulnya maju mundur dengan tempo yang cepat. Sesekali ia memutar dan kembali bergerak menggenjot penis Mingyu yang terasa semakin membengkak dalam analnya.

“Mas... Mas Mingyu.” Lenguh Wonwoo dengan nafas yang tersengal.

“Iya, kenapa, sayang?” Keduanya saling menatap. Ada kilatan nafsu di sorot mata mereka yang nafasnya tengah diburu.

“Aku... Aku sayang Mas.” Ujar Wonwoo dan Mingyu segera menarik tengkuk Wonwoo untuk kembali melumat bibirnya. Wonwoo mengalungkan tangannya di leher Mingyu dengan pinggul yang terus bergerak semakin liar.

“Mas juga sayang Wonwoo. Sayang banget.” Bisik Mingyu dengan jarak wajah mereka yang kurang dari satu senti, kemudian mereka kembali memagut bibir satu sama lain.

Mingyu sedikit mengangkat tubuh Wonwoo tanpa mengeluarkan kejantanannya, dan detik berikutnya ia menghentak dengan sangat kuat, hingga air yang ada di dalam bathtub bertumpahan.

Dan detik itu juga keduanya mengeluarkan putihnya bersamaan. Wonwoo langsung menyandarkan keningnya pada bahu Mingyu, dengan punggungnya yang diusap lembut. Keduanya saling mencoba meraup oksigen sebanyak mungkin. Saat Wonwoo menjauhkan kepalanya dan mata mereka bertemu, keduanya terkekeh dan segera membersihkan diri.

Mingyu yang sedang memainkan ponselnya sambil terduduk di atas kasur langsung menatap Wonwoo yang baru saja berganti baju menjadi baju tidur dengan sweater yang sedikit kebesaran dan menyembunyikan sebagian telapak tangannya membuat Wonwoo berkali-kali lebih gemas.

Wonwoo berjalan dengan pelan dan Mingyu langsung melompat dari kasur, lantas memangku Wonwoo untuk sampai ke kasur. Mingyu kembali mendudukkan Wonwoo di pahanya. Ditangkupnya pipi Wonwoo dan segera ia hujani wajah manis itu dengan kecupan bertubi-tubi.

“Sakit, ya? Maafin Mas, ya.” Ucap Mingyu dengan penuh penyesalan yang justru membuat Wonwoo semakin merasa gemas dan ia mencuri satu kecup dari bibir Mingyu.

“Kalau nyesel, besok bikinin lagi breakfast wrap yang kayak kemaren.” Kekeh Wonwoo. Mingyu tersenyum dan menganggukkan kepalanya.

“Boleh, mau apalagi, ganteng?” Tanya Mingyu.

“Maunya Mas nginep disini terus.” Jawab Wonwoo.

“Biar bisa bikinin breakfast wrap tiap hari?” Mingyu terkekeh.

“Iya, sama biar you can wrap me in your arms so I can smell your presence every time, and bonus, you can also smell your favorite peachy-scented neck.” Jawab Wonwoo. Mingyu tertawa kecil, dan tolong jangan bosan karena lagi-lagi Mingyu mengecup bibir Wonwoo entah untuk yang ke berapa kalinya.

“Makin berani, ya, sekarang?” Keduanya terkekeh.

Wonwoo menyisir rambut Mingyu yang masih lembab setelah keramas. Sementara Mingyu terus menatap Wonwoo tanpa berpaling sedetik pun. Jemari Wonwoo perlaham turun dan mengusap pipi Mingyu dengan sangat lembut, kemudian Mingyu mengamit tangan Wonwoo dan mengecupinya hingga sang pemilik tangan tersenyum hangat.

“Mas Mingyu.” Panggil Wonwoo.

“Kenapa, Wonwoo?” Jawab Mingyu.

“Maafin saya, ya, Mas.” Ujar Wonwoo.

“Kok pake saya lagi? Tadi udah pake aku loh.” Protes Mingyu, namun Wonwoo hanya terkekeh.

“Maafin aku, ya, Mas.” Ulang Wonwoo.

“Maaf kenapa, sayang?” Wonwoo tertegun sebentar, merasakan perutnya yang kembali terasa menggelitik sebab panggilan sayang dari Mingyu.

“Maaf karena aku kemaren plin plan dan berakhir nyakitin Mas, dan mungkin Mas pernah benci sama aku. I'm truly sorry, and I admit that I am wrong. I'm playing around with you while you give your whole heart to me. I'm sorry because I'm too late to realize that I cherish our time together. I'm really happy when I'm with you, you treat me really well, until I didn't realize that my heart was full of you. I'm sorry.” Wonwoo berucap dengan lirih. Mingyu mengulurkan tangannya dan membelai pipi Wonwoo.

“Wonwoo, Mas jujur aja kalau waktu itu Mas emang kecewa banget sama kamu, karena Mas beneran serius sayang sama kamu, but, trust me, I never hate you, even I have no idea why I should hate you. You're so endearing to me. It's also hurtful to see you sad.” Balas Mingyu.

“Waktu kamu nangis pas lagi bimbingan, Mas sebenernya sadar, tapi waktu itu egonya Mas yang gak mau nahan kamu dan milih buat ngedorong kamu pergi. Tapi setelah kamu keluar, bukannya ngerasa lega, Mas malah ngerasa sakit, dari situ Mas sadar kalau emang cuma kamu, Wonwoo. Only you can make my heart flutter simply because you call me 'Mas'. Only you can bring a whole forest together with a simple compliment. Only you can make me romanticize a kitten.” Kalimat terakhir itu membuat keduanya terkekeh.

“Mas, tadi kata Mas I bring a whole forest because of a simple compliment. What is it?” Tanya Wonwoo.

“Waktu itu kamu pernah panggil Mas Mingyu ganteng, pas pulang dari tokonya ibu.” Jawab Mingyu kikuk dan Wonwoo tertawa cukup kencang hingga hidungnya mengerut.

“Mas? Ya Tuhan, kamu gemes banget sih.” Wonwoo mengunyel pipi Mingyu sebab gemas sementara Mingyu hanya pasrah, namun juga ia senang.

“Mas Mingyu.” Panggil Wonwoo.

“Iya, Wonwoo?” Jawabnya.

“Mas Mingyu ganteng.” Wajah Mingyu seketika merona.

“Kenapa, Wonwoo?” Namun ia tetap menjawabnya.

“Aku sayang Mas Mingyu.” Ucap Wonwoo lembut.

“Mas juga sayang Wonwoo.” Balas Mingyu tak kalah lembut.

Sampai jam enam sore, Wonwoo masih bingung. Apa dia harus datang atau gak? Dia cuma diem di depan lemarinya, bengong tanpa lakuin apapun. Mau nangis pun dia udah gak bisa, air matanya udah kering karena seminggu kemaren dia gak berhenti nangis. Cuma ada sisa jantungnya aja yang masih berdetak nyeri tiap ketemu Joshua ataupun Mingyu.

Suara ponselnya bikin Wonwoo sadar. Dari Seungcheol dan dia segera angkat, tapi ternyata Jeonghan yang ngomong dan nanyain perlu dijemput atau nggak. Wonwoo nolak dan bilang bakal datang sendiri.

Setelah selesai telpon, Wonwoo pilih bajunya dan langsung ngaca sambil natap dirinya di cermin. Dia keliatan lesu banget, gak ada lagi sorot kebahagiaan dari matanya. Dia keliatan kayak orang yang hilang semangatnya.

Wonwoo liat lagi jam, udah setengah tujuh. Akhirnya dia sisir rambutnya dan pergi.

Dia ngerasa langkahnya berat banget. Di tengah perjalanannya keluar apartemen, dia masih dilema, harus kah dia datang atau pergi ke tempat lain?

“Udah selesai? Yuk.”

Wonwoo mematung. Matanya gak berkedip. Tangannya ngepal keras. Jantungnya bergemuruh makin cepat.

“Pak Mingyu?”

Orang yang dipanggil cuma senyum dan narik tangannya Wonwoo buat jalan ke arah parkiran dan disana ada mobil Mingyu. Wonwoo masih gak bisa mencerna semuanya. Dia masih gak ngomong apapun karena bingung.

Mingyu bukain pintu mobil buat Wonwoo dan dia segera masuk mobil juga. Mingyu pasangin seatbelt dan dia juga pasang punya dirinya sendiri. Wonwoo masih natap Mingyu sepanjang perjalanan, sementara Mingyu cuma nyetir sambil senyum.

“Bapak kenapa disini?”

“Buat jemput kamu.” Jawab Mingyu sambil senyum dan ngelirik ke arah Wonwoo.

“Terus Shua gimana?”

“Shua? Tadi masih siap-siap kalau saya liat, makanya saya jemput kamu dulu.”

“Pak, ini serius gak sih?”

“Serius apanya, Wonwoo? Tunangannya? Serius.”

Wonwoo ngerutin dahinya dan gak ngomong apapun lagi. Sampai akhirnya mereka sampai di rumahnya Joshua yang keliatan udah didekor banyak bunga dan keliatannya udah banyak orang juga yang datang karena waktu udah nunjukin jam 19.15.

Mingyu bukain pintunya Wonwoo dan Wonwoo lagi-lagi gak ngomong apapun. Dia cuma bingung sambil jalan ke dalem rumahnya Joshua, ikutin Mingyu.

“WONYUUU!” Joshua langsung lari kecil ke arah Wonwoo dan meluk temennya itu, diikutin sama Jeonghan, Seungcheol, dan... Wonwoo gak tau siapa orang satunya lagi.

“Kirain gak akan datang, soalnya chat gue di read doang!” Katanya Joshua. Wonwoo masih diem aja, sementara Jeonghan cekikikan.

“Gak tunangan sama mas dosennya kok, nggak.” Wonwoo noleh ke arah Jeonghan yang ketawa.

“Oh iya, kenalin, ini Mas Seokmin, tunangan gue, sepupunya Kak Mingyu.” Katanya Joshua dan demi apapun Wonwoo ngerasa jantungnya mencelos.

“Oh ini target kebohongan kalian?” Kata laki-laki berhidung bangir itu.

“Gue Seokmin, tunangan Joshua yang asli, bukan Mingyu.” Seokmin ngulurin tangannya dan Wonwoo bales uluran tangannya masih sambil bengong.

“Kalau menurut gue, lu berhak marah sih sama mereka, apalagi sama si Mingyu, jangan mau kalau dipacarin.” Ucapan Seokmin bikin Jeonghan ketawa, Seungcheol dan Joshua cuma nyengir, sementara Mingyu keliatan panik.

“Gue jelasin sambil duduk deh. Lu kayaknya shock berat.” Jeonghan narik tangan Wonwoo ke meja dan diikutin yang lainnya.

“Minum dulu, jangan alkohol, ya. Nanti Mas Seungcheol ikut panik, gue cemburu.” Katanya Jeonghan lagi.

“Bisa gak langsung jelasin aja?” Tanya Wonwoo yang otaknya masih memproses semua info yang baru dia terima.

“Sebenernya ini semua ide gue sih. Gue yang nyuruh Shua buat upload fotonya Kak Mingyu di twitter. Tapi gak ada salahnya juga, soalnya emang Joshua sering jalan sama Kak Mingyu, tapi sama Kak Seokmin juga.” Wonwoo dengerin Jeonghan dengan serius, sementara yang lain ngeliatin Wonwoo.

“Sebenernya, ya, gue nyuruh Joshua gitu karena cemburu dikit. Gak deh, cemburu banyak waktu Mas Seungcheol udah janji sama gue dari kapan hari buat jalan-jalan, tapi dibatalin gitu aja karena mau samperin lu yang lagi sedih. Emang sih childish dan gue harusnya kesel sama Mas Seungcheol juga, tapi malah kesel ke lu. Sorry.” Katanya Jeonghan tapi sambil nyengir.

“Tapi sumpah, tadinya mau udahin aja bohongnya kalau lu nanya Shua tunangannya sama siapa, tadinya Shua mau jawab jujur, tapi karena lu gak nanya dan malah asumsiin sendiri, jadinya ya udah nunggu aja sampe lu nanya, tapi sampe sekarang hari H tunangan, ternyata lu tetep gak nanya. Jujur gue gregetan banget, mana lu belum minta maaf kan ke Kak Mingyu?” Wonwoo natap Mingyu sementara Mingyu keliatan gelagapan.

“Han, gak apa-apa.” Bales Mingyu.

“Nah, Kak Mingyu pasti bilang gak apa-apa, tapi gue yang gemes banget, Wonwoo. Jadi ya udah ada sentilan dikit dari gue ngewakilin Kak Mingyu, sama Mas Seungcheol juga.” Jeonghan ngomong gitu sambil senyum seakan gak ada penyesalan sama sekali.

“Tapi untungnya lu udah keluarin uneg-uneg lu kemaren.” Wonwoo ngerutin dahi.

“Kemaren pas lu hangover, kan lu dibawa sama Kak Mingyu, terus gue nyusul sama Mas Seungcheol, mobil lu gue yang bawa. Paginya pas pulang, Kak Mingyu malah senyam-senyum pas ditanya Wonwoo ngomong apa aja.” Lagi-lagi Wonwoo nengok ke arah Mingyu dan yang ditatap cuma senyum kikuk.

“Mas Seungcheol bohong?” Tanya Wonwoo.

“Gak bohong juga, soalnya kan emang kita nganterin lu juga, cuma bohong bagian bikinin breakfast wrap aja, itu Kak Mingyu yang bikin dari subuh karena takut kepergok kalau dia jagain lu semaleman di apartemen.” Jawab Jeonghan.

“Maaf, ya, Wonyu. Sumpah tadinya gue gak mau ikutan, tapi Jeonghan maksa.” Giliran Joshua yang ngomong.

“Masa gak ngambek sih? Gue aja ngambek Shua post foto Mingyu terus, Won.” Seokmin ikut nimpalin.

“Tapi kalau ngambek sama si Mingyu aja, jangan sama Shua.” Lanjut Seokmin lagi sambil nyengir.

“Terus kenapa acara tunangan kalian dipercepat?” Tanya Wonwoo.

“Oh, kalau ini gara-gara gue ternyata harus ngurus masalah kampus gue di Aussie, terus karena gue udah mantap sama Shua, dan katanya Shua juga mau, ya udah kita tunangan dulu buat komitmen, nanti kalau gue udah pulang dari Aussie, nikah lah masa nggak.” Katanya Seokmin lagi.

“Pokoknya intinya kita minta maaf banget udah bohongin lu, maaf banget, ya.” Joshua keliatan banget khawatir dan takut Wonwoo marah.

“Iya.” Wonwoo cuma bales satu kata karena jujur dia masih kaget tapi juga ngerasa lega karena semuanya bohong.

“Shua, ayok mulai dulu, udah setengah 8.” Seorang wanita yang keliatan elegan yang diketahuin sebagai mamanya Joshua itu manggil dan Joshua sama Seokmin langsung jalan ke depan dan mulai acaranya.

“Ngobrol deh kalian berdua.” Jeonghan dan Seungcheol ninggalin Mingyu dan Wonwoo berdua di meja. Keduanya sama-sama diem. Mereka gak fokus sama acara.

“Kaget, ya?” Tanya Mingyu canggung.

“Iya.” Jawab Wonwoo.

“Maaf, ya.” Mingyu keliatan nyesel karena udah bohongin Wonwoo.

“Iya.” Lagi-lagi Wonwoo cuma balas iya aja dan Mingyu malah khawatir kalau Wonwoo marah banget.

“Saya beneran minta maaf, tadinya saya gak mau ikutan, tapi jujur saya juga penasaran kamu masih ada perasaan sama saya atau nggak. Saya...”

“Masih ada dan masih banyak.” Jawab Wonwoo yang sukses bikin Mingyu deg-degan.

Even my whole affection only for you, I just know it. If you guys didn't prepare this shit, perhaps I will never know if my affection is this much for you.” Jawab Wonwoo sambil natap Mingyu.

“Makasih, ya. Makasih karena udah jujur sama perasaan kamu.” Bales Mingyu sambil senyum. Tangannya segera ngeraih tangan Wonwoo dan ngegenggam erat. Wonwoo juga senyum dan balas genggam erat tangan Mingyu karena dia gak mau kehilangan buat yang kedua kalinya.