setetesmatcha

Asmaraloka

Namanya Jeon Wonwoo, baru aja masuk semester akhir di salah satu universitas di daerah Bandung. Hobinya... Bingung juga kalau ditanya apa hobinya, karena dia gak punya kesukaan atau kecenderungan ngelakuin suatu rutinitas selain tidur.

Oh, ada satu rutinitas Wonwoo yang biasa dia lakuin.

Clubbing.

Jangan dipikir dia adalah orang yang suka dempet-dempetan di dance floor, bukan. Dia gak suka itu, apalagi kalau udah jadi pusat perhatian. Dia cuma suka minum aja, walaupun sebenernya toleransi alkoholnya gak terlalu tinggi.

Oh ya, ngomongin soal pusat perhatian, Wonwoo itu tipe orang yang meskipun dia gak ngelakuin apapun, there are always plenty of people who take a glance at him, and if they're brave enough, they'll approach him, and of course, it ended with him rejecting them. Itu udah sering kejadian, bukan sekali dua kali, tapi berkali-kali. Meskipun gitu, ada satu yang akhirnya bisa dibilang cukup deket sama Wonwoo. Seungyoun namanya. Mereka ketemunya bukan di Bandung, tapi di Jakarta.

“Sendirian mulu, pacaran aja sama gue.” Iya, malam ini Wonwoo ditemenin Seungyoun. Cuma hembusan nafas dan lirikan yang jadi balesan Seungyoun. Wonwoo nenggak satu sloki lagi.

“Kenapa sih, cakep?”

“Besok kuliah.” Seungyoun ketawa, dan dia juga nenggak satu sloki.

“Biasanya juga gak stres gini. Santai aja kali.”

“Skripsian, Youn.”

“Terus? Kayaknya putra mahkota ini lupa kalau dirinya pintar.” Ledek Seungyoun. Wonwoo lagi-lagi ngehembusin nafas panjang, dan kembali minum lagi.

“Tumben minum banyak, teler lu nanti.”

“Terakhiran sebelum gue teler gara-gara skripsi.” Udah satu botol yang Wonwoo abisin. Kepalanya udah mulai sakit, tapi dia terus minum.

“Gue duluan.” Pamit Seungyoun. Wonwoo ngernyetin dahi.

“Kemana?”

“Posesif banget, yang.”

“Pergi lu.” Reaksi Wonwoo bikin Seungyoung ketawa dan akhirnya cowok itu pergi duluan, ninggalin Wonwoo yang udah mulai tipsy.

Alarm ponsel Wonwoo bunyi, dan pas dia cek, dia sedikit kaget karena udah jam 9 pagi. Sejam lagi dia ada kelas. Wonwoo langsung bangun, tapi...

“Gue dimana?”

Wonwoo natap ke sekeliling. Ini bukan kamarnya.

Wonwoo langsung pergi ke luar kamar. Ini bukan apartemennya, bukan pula apartemen Seungyoun.

“Semalem ngapain sih?” Wonwoo pijit-pijit pelipisnya. Beneran gak inget apa yang terjadi semalem. Tapi tiba-tiba perutnya mual. Dia segera lari kecil buat cari kamar mandi dan langsung keluarin segala isi perutnya.

Setelahnya, Wonwoo keluar ke arah dapur. Lucu dimana harusnya Wonwoo ngerasa panik karena ada di tempat yang ia gak kenalin, tapi dia malah santai aja, karena firasat dia, dia masih ada di Bandung, kalau dia lihat dari jendela.

Dan bener aja firasat Wonwoo, saat dia mau ambil gelas, di kulkas ada sticky notes yang tulisannya, 'saya bisa jelasin nanti kalau kita ketemu lagi, but in case kamu mau pinjem baju saya, ambil aja, soalnya baju kamu kotor karena semalem kamu muntah', dan di bawahnya ada nomor hp si pemilik apartemen.

Dalam hati, Wonwoo berterima kasih tapi dia juga ngerutikin dirinya sendiri karena bisa-bisanya dia tipsy waktu lagi sendirian. Biasanya kalau Wonwoo mau minum sampai hilang kesadaran itu harus ada Seungyoun, karena cowok itu yang biasanya bawa Wonwoo ke apartemennya buat nginep.

Karena udah siang, Wonwoo segera mandi dan cek lemari yang ada di kamar orang itu. Waktu Wonwoo coba, baju-bajunya itu kebesaran semua, dan celananya juga kepanjangan. Setelah kurang lebih 5 menit, Wonwoo akhirnya nemu baju yang gak terlalu jauh ukurannya sama dia. Dia segera ganti baju dan buru-buru berangkat, karena lokasi apartemen yang cukup jauh dari kampusnya.

Butuh waktu setengah jam buat Wonwoo sampe di kampus. Dia agak telat lima menit, tapi untungnya kuliah belum dimulai. Wonwoo langsung duduk di kursi paling depan karena gak ada lagi kursi kosong.

Gak tau perasaan Wonwoo aja atau emang bener, tapi dosennya ini perhatiin Wonwoo cukup intens dari dia masuk sampai dia duduk. Tapi ujugnya Wonwoo gak ambil pusing, karena dosennya juga udah mulai kelasnya. Wonwoo mikir mungkin karena dia terlambat.

“Selamat pagi.” Sapa dosennya.

“Saya Kim Mingyu, semoga di kelas saya ini, kalian gak bosen dan feel free kalau ada yang mau ditanya tentang materi kuliah.”

Lagi, Wonwoo ngerasa dosennya ngeliat ke dia sambil senyum, cuma beberapa detik tapi setelah itu dosennya itu ngedarin pandangannya lagi ke seluruh kelas.

'Aneh.' Cuma itu pikiran Wonwoo tanpa dia tau ada apa dengan si bapak dosen.

Anniversary

Jam 9 malam, restoran Chinese food itu masih dipenuhi oleh tiga belas lelaki yang hendak berbagi cerita dan tawa. Merencanakan tema apa yang akan diusung untuk pertemuan mereka di bulan depan.

Riuh yang dicipta oleh para lelaki muda itu memenuhi restoran tersebut. Hingga pukul 11 malam, akhirnya mereka semua memutuskan untuk pulang ke tempat masing-masing.

“Seru banget kali ini pake dresscode.” Lelaki berkacamata itu berucap.

“Waktu bagian aku gak seru dong?” Lelaki yang lebih jangkung menanggapi.

“Kamu tuh suka nyimpulin sendiri.”

“Soalnya kamu kan bilang seru karena ada dresscode.”

I'm not in a good mood to debate something unnecessary.” Mingyu terkekeh. Selalu senang menjahili kekasihnya itu.

It's okay, but I wish you were still in a good mood to celebrate our day.” Wonwoo menguap —hanya berpura-pura, dan aksinya itu membuat lelaki yang lebih tinggi mengerecutkan bibirnya.

Bukan hanya Mingyu yang suka menjahili Wonwoo, keduanya sama saja, Wonwoo pun senang menggoda kekasihnya. Reaksi Mingyu tidak pernah mengecewakan dan selalu sukses membuat Wonwoo merasa gemas.

“Mau ngerayain gimana sih?” Tanya Wonwoo.

Buy a cake and some alcohol, perhaps?

“Gyu, kita tuh udah makan berpiring-piring, and we just drank some alcohol, and it was 50%.” Cengiran lebar diberikan oleh Mingyu.

You're the cutest when you're tipsy since you never stop whining.” Kekeh Mingyu.

Tangan Mingyu meraih milik Wonwoo, menggenggamnya dengan erat, mengusap punggung tangannya dengan lembut. Kala itu suhu bisa dibilang rendah. Uap akan mengepul kala berbicara ataupun sekedar meniupkan udara untuk menghangatkan kedua tangan.

Mereka mengelilingi kota, tapi nyaris tidak menemukan toko kue yang masih buka. Mingyu menghela nafasnya.

“Ini tuh udah mau jam 12 malem, Mingyu. Mana ada toko kue buka semalem ini.” Ucap Wonwoo.

“Terus kita rayainnya gimana? Masa gak ada kue?”

“Gak apa-apa, Mingyu. Besok juga bisa kok beli kue. Pulang aja yuk?” Ajak Wonwoo.

“Ya udah pulang.” Yang lebih muda menurut. Wonwoo memperhatikan kekasihnya yang terlihat murung. Dia tau jika bagi Mingyu, perayaan hari jadi mereka itu penting.

Sesampainya di rumah, Mingyu merebahkan badannya di sofa. Dihembuskannya nafas panjang berkali-kali. Melihat itu, Wonwoo menghampiri Mingyu.

“Gyu, mau ramyeon.” Rengek Wonwoo.

“Tiba-tiba?” Tanya Mingyu. Wonwoo mengangguk.

“Tadi katanya udah kenyang?”

“Mungkin karena dingin, aku jadi laper lagi.” Wonwoo melempar cengirannya yang otomatis membuat Mingyu ikut tersenyum lalu mengusak rambut pria berkacamata itu.

Wait a minute, kitten.” Tanpa perlu meminta dua kali, Mingyu segera melangkah ke dapur, mengabulkan permintaan yang terkasih.

Seraya menunggu, Wonwoo merapikan meja di ruang tengah. Memasang dua buah candle dan menuangkan bir dengan kadar alkohol rendah ke dalam gelas. Setelahnya, ia mengecek lemari pendingin dan mengeluarkan sebuah kue yang memang sudah dibelinya semenjak pagi tadi.

Sepuluh menit, akhirnya Mingyu selesai, dan betapa kagetnya si pria tinggi itu melihat meja sudah tertata. Wonwoo mengulum senyumnya melihat ekspresi Mingyu. Ada kepuasan melihat kekasihnya tertegun kaget.

“Kamu kapan siapin ini? Kok tiba-tiba ada kue? Kapan belinya?” Rentetan pertanyaan menyapa rungu Wonwoo, sementara ia hanya terkekeh.

“Aku siapin waktu kamu bikin ramyeon. Beli kuenya tadi pagi, waktu kamu belum bangun. Since I know we'll be spending our time with guys, and I a hundred percent believe we'll back home late, so yeah... Aku beli tadi aja, soalnya kamu pasti sedih kalau kita gak rayain.” Tatapan lembut diberikan Wonwoo dengan kedua sudut bibir yang enggan melepas senyum. Detik selanjutnya, Mingyu mengecup bibir Wonwoo lalu mendekapnya erat.

“Makasih, ya.” Mingyu berucap lembut.

No need, since you're always the first who initiated to celebrate our day.” Balas Wonwoo.

“Buat hari ini, biar aku yang inisiatif duluan, it seems like in our relationship, I'm too shy to express my affection, it's always you who makes the first move.” Sebuah semburat menghias pipi Wonwoo. Mingyu terkekeh, tapi kedua netranya tidak hilang fokus dari makhluk indah di hadapannya. Kedua rungunya dipasang dengan baik.

“Mungkin gak seberapa kalau dibanding sama effort kamu selama ini, jadi maaf, ya, kalau kamu kurang suka.” Mingyu tertawa geli sekaligus gemas mendengarnya. Ditangkupnya pipi si lelaki berkacamata dengan kedua tangannya dan segera ia beri kecupan bertubi-tubi pada ranum merah muda itu.

First and foremost, you don't need to apologize, kitten. I do like and enjoy putting in all of my effort as long as I can make you happy. Lagian aku seneng kalau direpotin kamu, kamu minta tolong apa aja kayaknya bakal aku lakuin selama aku mampu. And... Hey, I really appreciate this, disaat aku gak kepikiran buat pesen kuenya dari pagi, tapi kamu malah kepikiran, aku tadi udah sedih banget karena gak bisa rayain, tapi karena kamu, sedihnya langsung pergi. Makasih banyak, ya, sayang.” Kening Wonwoo dikecup Mingyu cukup lama, setelahnya kedua netra mereka bertemu pandang dan saling melempar senyum hangat.

“Yuk, dimakan dulu ramyeonnya.” Ucap Mingyu.

“Aku sedikit aja, ya, hehehe.” Mingyu mencubit hidung bangir Wonwoo lalu mengangguk setuju.

Hujan turun dengan deras. Bulir airnya mengetuk jendela lantas turun perlahan. Cuaca semakin dingin. Namun nampaknya kontradiksi dengan atmosfer dalam rumah yang berisi kedua lelaki itu. Semangkok ramyeon dengan alkohol sudah cukup memberi kehangatan. Oh, tapi kehangatan yang paling besar energinya dikirim dari senyuman yang dilempar satu sama lain, dengan obrolan kecil yang tak hentinya mengalir.

“Biar aku yang cuci.” Ucap Wonwoo.

“Gak usah, aku aja. Kamu duduk aja disini, istirahat. Aku lagi seneng.” Cengiran Mingyu menular. Wonwoo terkekeh.

Setelah Mingyu selesai mencuci piring, kue di atas meja sudah lengkap dengan lilin yang menyala.

“Ayok tiup dulu.” Mingyu segera duduk di samping Wonwoo. Keduanya segera memejamkan mata, memanjatkan sebuah asa, lalu meniupnya.

Happy anniversary.” Ucap Wonwoo hangat. Mingyu tersenyum, mengecup dahi sang kekasih selama beberapa detik, menyalurkan kasih sayangnya.

Happy anniversary, sayang.” Balas Mingyu. Keduanya lalu terkekeh kecil.

“Makasih, ya, Gu.” Mingyu yang sedang menyesap bir-nya segera memandang ke arah Wonwoo.

“Untuk?” Mingyu bertanya, bingung.

“Makasih karena gak pernah berubah.” Wonwoo meneguk segelas bir. Mingyu terkekeh, ia tau jika lelaki berkacamata di hadapannya ini sedang malu.

Thank you for the love that doesn't make me feel lonely.” Mingyu menghentikan segala aktivitasnya. Ia memfokuskan seluruh atensi kepada pemilik dunianya.

You're really such a ray of sunshine. You're allowing me to feel warm just by your presence. You make me understand what perfect love is, even in the imperfect moments of my life.” Pipi Wonwoo kembali dihias dengan gurat kemerahan.

“Oh iya, kamu jangan sedih kalau gak bisa rayain anniversary tanpa kue, one thing that matters is your presence, I don't need anything else, just you. Even if we do nothing but talk to each other, cuddle while sharing stories, or sleep all day long in each other's arms, it always feels great as long as I am doing it with you. You're more than enough, Gyu.

Karena gemas, Mingyu dengan cepat memindahkan tubuh Wonwoo ke atas pahanya, mendudukannya disana dengan jemari yang sibuk membelai pipi Wonwoo. Wajah lelaki yang berada di atas pangkuan semakin merona. Terlebih lagi kala Mingyu menempelkan rungunya di depan dada.

“Kenceng banget jantung kamu deg-degannya.” Mingyu terkekeh. Wonwoo menunduk, menyembunyikan wajahnya di balik ceruk Mingyu. Sementara pelaku yang membuat jantung berdebar itu hanya tertawa, diusapnya punggung Wonwoo yang merajuk.

“Ih, jangan dibecandain! Kamu gak tau apa aku harus ngumpulin keberanian dulu!” Protes Wonwoo. Mingyu tertawa semakin kencang.

“Emang boleh, ya, ada orang segemes ini?” Mingyu mengangkat kepala Wonwoo. Entah untuk ke berapa kalinya, ranum merah muda milik Wonwoo dihujani kecupan.

“Jangan diledekin!” Bibir Wonwoo sedikit mengerucut.

“Aduh, gemes banget. Sayang banget dah sama kamu.” Lagi, Mingyu mengecup bibir Wonwoo lagi.

“Tapi kamu tau gak sih kalau perasaan aku berubah?” Lontaran pertanyaan yang diberi Mingyu lantas membuat Wonwoo mengerutkan dahi.

I feel like my love for you gets bigger and deeper every time I see you. I'm already in the phase where I want to gatekeep you from everyone and from bad things that will hurt you.” Mingyu mendekap pinggang ramping Wonwoo semakin mendekat.

But one thing is certain, I will always love you, no matter what, even when things in your life are at their worst.” Dibelainya pipi Wonwoo. Jarak mereka semakin dekat. Deru nafas keduanya saling beradu. Degup jantung tak hentinya memompa darah, memacu adrenalin yang bergejolak.

I love you.” Bisik Wonwoo.

I love you even more.” Balas Mingyu.

Sekon selanjutnya, dua ranum mereka bertemu, saling melumat dengan lembut, berbagi rasa hangat dan pahit alkohol yang tercipta dari lilitan lidah mereka.

Suara ketukan hujan jendela kini menjadi samar bagi keduanya tergantikan dengan suara kecapan dari mulut yang saling bertukar saliva yang semakin menuntut di setiap lumatannya.

Ada dua tangan Wonwoo yang meremas bahu Mingyu saat lelaki jangkung itu menggigit kecil bibir bawahnya, lantas menghisapnya dengan cukup kuat. Kedua tangan Mingyu mendekap pinggang ramping Wonwoo agar jarak keduanya terkikis. Belum puas, Mingyu mendudukan dirinya di atas sofa dengan tubuh Wonwoo yang masih berada di pangkuannya. Dengan cekatan, Mingyu membuka kaos hitam yang digunakan Wonwoo, pun sebaliknya. Kedua baju mereka sudah tanggal, menyisakan celana saja.

Mingyu menghirup leher Wonwoo dengan sisa aroma peach yang tertinggal, vanilla, serta woody, yang menurut Mingyu aroma boozy itu selalu terkesan manis dan sensual secara bersamaan. Namun dengan catatan, hanya Wonwoo yang memberinya kesan itu semua.

Kini leher jenjang Wonwoo dipenuhi dengan jejak merah keunguan, namun rupanya Kim Mingyu ini belum selesai memberinya tanda kepemilikan. Kecupan demi kecupan ia beri hingga ke titik tersensitif dan refleks membuat Wonwoo membanting kepalanya ke belakang seraya memejamkan mata.

Mingyu menjilatnya dengan ujung lidah, kemudian menekannya, dan menghisapnya kuat, mencipta sebuah lantunan indah yang selalu membuat nafsunya meningkat.

“Kuenya sini.” Titah Mingyu. Wonwoo tau apa yang akan dilakukan lelakinya itu. Tangannya segera mengambil tart yang ada di atas meja, beruntung mejanya dekat, sehingga ia tidak perlu turun dari pangkuan Mingyu.

Seems like you want me to put this cream on top your nipple?

You know exactly what I want, Kim Mingyu.” Mingyu terkekeh lantas mengulum bibir Wonwoo lagi, sementara jemarinya sibuk mencolek krim yang berada di atas kue dan melumurinya di atas puting Wonwoo.

Lenguhan lolos dari bibir Wonwoo di tengah aktivitas lumat-melumat mereka. Mingyu melepas tautan bibir mereka lalu tanpa menunggu lagi, ia melahap puting Wonwoo yang sudah penuh dengan krim.

Mingyu menjilati sekitar dada Wonwoo hingga akhirnya lidahnya itu bertemu dengan titik sensitif Wonwoo. Menjilatinya memutar, menekan-nekannya dengan ujung lidah, lalu menghisapnya dengan kuat dan mengulumnya di dalam mulut.

Wonwoo meremas bahu Mingyu dengan kuat, melampiaskan kenikmatannya yang membuat libidonya semakin naik. Ia selalu mengakui jika kekasihnya itu sangat lihai dalam 'permainan' yang sering mereka lakukan. Lagipula terlalu sulit menolaknya.

Mingyu itu terlalu sulit untuk dikalahkan. Ketika lelaki jangkung itu sudah mulai menyentuh, maka saat itu juga Wonwoo terhipnotis dengan segala sentuhannya. Bagaimana dia mendekap pinggangnya, mengusapnya dengan lembut, lalu menghembuskan nafasnya di tengkuk, dan mengecupnya. Ingat, hanya mengecup. Namun entah mengapa, Wonwoo selalu merasa terangsang, dan menginginkan hal lebih, tapi ia selalu memintanya. Dan disitulah Mingyu dengan segala kepekaan —dan nafsunya— beraksi.

And again, he's too good to resist.

Seperti saat ini, entah bagaimana tangannya sudah masuk ke dalam celana Wonwoo, dan tidak lama, ia segera menurunkannya. Mingyu tidak menyentuh batang Wonwoo yang sudah menegang, ia hanya membelai paha mulus Wonwoo dengan ujung jarinya, membiarkannya menari-nari dengan perlahan, sementara Wonwoo di atasnya tak berhenti melenguh. Sesekali Mingyu memainkan jemarinya di selangkangan Wonwoo kemudian melewati kemaluan Wonwoo yang sudah berteriak ingin dikeluarkan dari rumahnya. Mingyu tersenyum mendengar Wonwoo yang tak henti merintih nikmat.

Is it good, kitten?

Too good.” Erang Wonwoo dengan netra yang terpejam.

It's good, but it's better if you stop teasing me and fill me instead.” Kekehan kecil keluar dari bibir Mingyu.

Beg for me first.

I want yours inside me, please.” Rupanya Wonwoo sudah tidak sabar. Mingyu tersenyum puas lalu ia segera menanggalkan celananya.

“Pake pelumas dulu, ya, takutnya kamu sakit.”

“Iya, cepetan.” Rengek Wonwoo dan membuat Mingyu gemas.

Kedua tangan Mingyu segera memegang kedua paha Wonwoo kemudian berjalan ke arah kamar mereka. Dengan tergesa, Mingyu mencari gel pelumasnya dan mengoleskannya.

“Aku mau sambil duduk.” Mingyu terkekeh lalu mengangguk setuju. Ia segera mencari posisi agar keduanya nyaman. Setelahnya, Wonwoo mengocok kepunyaan Mingyu, sesekali memijatnya lalu mengocok ya lagi hingga berdiri tegak dan mengeras.

“Aku masukin, ya.” Mingyu mengangguk dan Wonwoo segera memasukkannya ke dalam lubang miliknya.

“Ahh...” Keduanya mengerang bersamaan saat seluruh kepunyaan Mingyu berhasil masuk dengan sempurna.

Wonwoo segera menggerakkan pinggulnya maju mundur lalu memutar hingga ia bisa merasakan ujung batang Mingyu mengenai titik terdalamnya. Erangan demi erangan saling bersahutan memenuhi kamar mereka. Netra keduanya terpejam menikmati permainan mereka.

You're so tight.” Erang Mingyu.

And yours has always amazed me.

Mingyu mencengkram pinggang Wonwoo kuat hingga urat-urat lengannya menonjol. Kemudian dengan penuh tenaga ia menggerakkan pinggulnya sampai kepunyaannya itu terasa diremas dengan kuat oleh lubang Wonwoo.

“Mingyu...” Kepala Wonwoo mengadah, terlalu nikmat merasakan lubangnya penuh. Sementara Mingyu semakin kuat menggerakkan pinggulnya, dan Wonwoo mempercepat gerakannya. Ia memutar pinggulnya lalu terus bergerak maju mundur sampai batang miliknya berkedut. Mingyu membantu Wonwoo menggerakkan pinggulnya agar kekasihnya itu tidak terlalu lelah.

“Aku... Aku mau keluar.” Suara berat Wonwoo terdengar semakin berat lagi. Ia tak hentinya bergerak dan mengeluarkan cairannya di atas perut Mingyu.

“Mau gantian, sayang?” Tanya Mingyu dengan lembut. Wonwoo mengangguk lemas.

Sekon selanjutnya, ada Mingyu yang kini posisinya sudah berada di atas. Mingyu mengaitkan kaki Wonwoo pada pinggangnya lalu ia mendorong pinggulnya dan segera menggenjot Wonwoo dengan kuat hingga seluruh urat lehernya menonjol karena tak hentinya ia mengerang nikmat. Wonwoo meremat sprei kasurnya. Dalam satu kali hentakan, Mingyu membuat tubuh Wonwoo bergetar dan akhirnya ia menyemburkan cairannya di dalam sana.

Mingyu menunduk, merapikan anak rambut Wonwoo yang menutupi keningnya. Bibirnya kembali bertemu, hanya sekilas. Keduanya saling bertukar pandang, dan terciptalah sebuah senyum dari bibir mereka. Mingyu meraih kedua tangan Wonwoo, mempertemukan jari-jari mereka lalu menggenggamnya dengan erat.

I swear to God, you're the prettiest creature I've ever seen.” Bisik Mingyu hingga membuat rona merah pada pipi Wonwoo.

Are you saying it because you're still horny?” Wonwoo berusaha untuk tetap tenang meskipun desir jantungnya tak bisa berbohong.

No, you never cease to be attractive to me, at all times and under any circumstances.” Wonwoo tidak bisa menyembunyikan senyumnya.

“Walaupun aku baru bangun tidur? Honestly it's the worst.

“Bahkan saat kamu baru bangun tidur, and it's the cutest.” Balas Mingyu.

Probably you could burn my cheeks, mister.” Mingyu terkekeh dan ia mengecup bibir Wonwoo berkali-kali.

“Boleh aku bergerak, sayang?” Tanya Mingyu lembut.

Yes, please.

I'll do it slowly this time.” Wonwoo mengangguk.

Dan ada Mingyu yang mulai bergerak secara perlahan dengan kedua tangan mereka yang saling mengait dan menggenggam. Untuk saat ini, baik Mingyu, pun juga Wonwoo sangat menikmati permainan mereka dengan segala kalimat manis yang tak hentinya keluar dari ranum keduanya.

⚠️⚠️⚠️

CW // harsh word

Hari itu keadaan kontrakan gak ribut-ribut amat. Setelah Mingyu pulang semalem juga tetep masih sepi aja (gak ada baku hantam), dia juga lebih sering ngabisin waktunya di kamar atau di balkon atas sama anak-anak semester tujuh lainnya, jarang banget turun ke bawah kecuali kalau makan, itupun dia masih ngehindarin Seungcheol.

Keadaan kontrakan makin sepi lagi karena Jeonghan yang lagi ke Solo, tapi hari ini pulang itupun ke Padalarang bukan ke Braga. Jadinya gak ada yang jailin anak kontrakan. Joshua juga jadi males pulang karena gak ada Jeonghan.

Jun lebih banyak diem setelah pulang dari Cirebon kemaren. Dia makannya dikit terus, dan anak kontrakan juga pada notis. Seungcheol juga pernah nanya Jun kenapa, tapi ya seperti biasa, jawabannya 'gak apa-apa'.

Wonwoo sama Woozi jangan ditanya lagi. Mereka beneran kayak zombie. Jarang banget ngomong, keliatan banget lagi banyak pikirannya. Sama juga kayak Hao yang stres mikirin tunangan sama cara baikan sama Dino.

Dokyeom diem-diem kadang masih suka nangis dan ngelamun di balkon juga atau di kamarnya. Pastinya masih sakit gara-gara Rea, dan Vernon juga masih belum berani pulang, dia masih kepikiran Rayn yang balik ke US.

Seungkwan makin sensitif. Dia kalau diajak ngobrol ogah-ogahan, terus cuma jawab singkat abis itu pergi ke kamarnya lagi. Gak mau kuliah, katanya takut.

Malemnya, Jeonghan pulang ke kontrakan, setelah dia nyoba buat tenangin pikirannya abis berantem sama nyokapnya tadi sore. Dia balik ke kontrakan, pengen langsung tidur niatnya.

Joshua juga pulang dengan keadaannya yang berantakan. Pikirannya kacau setelah pertemuannya sama Om-nya tadi. Dia masih mikirin apa dia harus ketemu bokap tirinya buat minta tolong. Tapi dia gak mau. Dia benci banget.

Vernon kebetulan balik juga buat ambil bajunya. Dia gak ngasih tau siapapun karena takut ketemu anak kontrakan, tapi dia lebih takut lagi kalau harus ketemu Dikey.

Dino juga diem-diem balik ke kontrakan soalnya ada bukunya dia yang ketinggalan. Tapi waktu dia mau masuk kamarnya, dia papasan sama Seungkwan.

“Balik lu?” Tanya Seungkwan.

“Gak sih, ngambil buku doang.” Jawab Dino.

“Oh iya, Maura nanyain lu. Katanya dia mau minta maaf, tapi lu gak bales chatnya dia.” Seungkwan yang tadinya mau masuk kamar lagi, langsung diem.

“Gara-gara dia gue jadi gini.” Dino ngerutin dahi.

“Kok jadi gara-gara Maura sih?”

“Kalau dia gak ngajakin gue waktu itu, mana mungkin gue sekacau sekarang?”

“Lah, itu mah salah lu kali. Lu kan punya opsi buat nolak, kenapa juga harus lu iyain? Mana nyalahin orang lagi.” Nada Dino makin meninggi.

“Lu kalau gak tau apa-apa diem deh.” Seungkwan juga naikin nadanya.

“Gue tau, ya, anjing. Lu sendiri yang iyain tapi lu sendiri juga yang nyalahin Maura. Gue juga tau si Maura udah mau ngajak orang lain tapi lu ngeiyain ajakan dia buat jadi MC.” Bentak Dino.

“Dia sendiri yang mohon-mohon ke gue, ya, bangsat!”

“Ya emang kenapa gak lu tolak aja? Lu kalau lagi kacau gini bisa gak sih gak usah bawa-bawa orang lain. Bocah banget tau gak sih? Akuin aja kesalahan lu!”

“Maksud lu gue nyontek?” Seungkwan udah mulai maju, Dino juga gak takut. Dia ikutan maju.

“BERANTEM AJA SEMUANYA, ANJING! BERANTEM LU BERDUA!”

Belum sempet mereka berantem, keduanya langsung nengok ke arah Hoshi yang baru datang. Mukanya keliatan merah. Iya, dia baru putus sama Aul.

“BERANTEM SEKARANG JUGA, ANJING!” Teriakan Hoshi itu bikin anak kontrakan lain keluar kamarnya, tapi Dino sama Seungkwan malah balik ke kamar mereka juga.

Hoshi ngehembusin nafas kasar. Dia langsung masukin semua anak kontrakan ke grup WhatsApp dan langsung chat biar semuanya pada keluar kamar.

Anak-anak kontrakan yang malem itu lagi dalam mood yang jelek juga jadi ikutan emosi. Segala umpatan keluar di grup mereka.

“KELUAR, ANJING!” Teriak Hoshi lagi.

Seungcheol yang pertama keluar. Dia nyoba buat nenangin Hoshi dulu. Satu persatu anak kontrakan lain juga keluar. Ekspresi mereka keliatan marah.

Biasanya mereka kalau keluar kamar itu saling lempar candaan, dan berbagi tawa, atau ngeledek satu sama lain, tapi tetep ujungnya selalu diakhirin sama tawa.

Tapi gak buat malam ini.

Gak ada satu senti pun senyum dari bibir mereka. Mereka saling natap tajam dan dingin satu sama lain.

Mereka semua kumpul di ruang tengah. Atmosfer disana bikin sesak. Suasananya bener-bener gak enak. Kepala mereka semua sekarang lagi panas. Dada mereka bergemuruh, ada banyak rasa marah, kesel, sedih yang mereka pendem selama ini.

“Mana? Berantem buruan lu pada.” Hoshi ngomong menggebu-gebu.

“Kenapa gak lu aja?” Jeonghan yang nimpalin. Wajah Jeonghan yang biasanya sering nampilin senyum usil, sekarang keliatan banget emosinya.

“Ya gue gak ada masalah sama lu semua.” Hoshi makin tinggi suaranya.

“Ya udah terus buat apa lu teriak-teriak, marah-marah gini kalau lu gak punya masalah?” Giliran Mingyu yang ngomong.

“BIAR SEMUANYA KELAR, ANJING.” Wajah Hoshi udah merah padam, dia teriak sampe urat-urat di lehernya menonjol.

“Ya udah sih bisa kelarin sendiri, lu diem aja kalau gak punya masalah.” Hoshi keliatan banget emosinya setelah denger ucapan Mingyu tadi.

“Mana buktinya? KELAR GAK MASALAH LU, BANGSAT? NGGAK KAN?” Mingyu juga ikutan makin emosi. Dia udah siap mau bangun, tapi ditahan sama Dikey yang ada di sampingnya.

“YA LU GAK NGERASAIN, ANJING! LU KALAU GAK TAU RASANYA DIEM!” Mingyu bales teriak.

“Iya sih, diem aja kalau gak tau rasanya. Dikira gampang kali ngurus masalah hati.” Bales Dino.

“ANJING LU, DIN.” Teriak Hoshi.

“Bisa gak sih lu pada gak teriak-teriak? Emang dengan lu pada begini masalah bakal kelar? Kagak, malah makin panas. Mikir coba, udah pada gede.” Giliran Woozi yang ngomong.

“Bener kata Uji, omonginnya jangan sambil marah-marah, yang lain yang tadinya dingin, jadi ikut panas juga.” Joshua nambahin.

“Ya udah gini deh, malem ini kita ceritain semua masalah, siapa tau bisa saling bantu.” Seungcheol ikut nengahin.

“Siapa yang mau duluan?” Tanya Seungcheol. Mereka semua pada diem.

“Kenapa gak lu duluan?” Mingyu natap Seungcheol sinis. Selama beberapa detik mereka berdua tatap-tatapan. Seungcheol ngehembusin nafas panjang. Baru dia mau buka suara, tapi udah keduluan Jeonghan yang emang udah kesel banget sama suasana kontrakan.

“Lagian ngapain sih lu masih permasalahin? Kinan juga udah maafin Seungcheol. Lu sebenernya marah karena gak terima Kinan hampir dilecehin atau lu marah karena emang cemburu aja?” Sekarang malah Jeonghan dan Mingyu yang panas.

“Han, udah. Gue juga salah.” Kata Seungcheol.

“Gue minta maaf, Gyu. Gue minta maaf banget karena waktu itu gue mabok dan hampir cium Kinan. Gue janji gak akan gitu lagi. Demi Allah.” Mingyu ngedengus kasar dan malingin wajahnya.

“Dimaafin gak? Jangan cuma dengus aja tapi abis ini berantem lagi.” Kata Hoshi.

“Bacot, anjing. Lu gak ada urusan sama gue.” Bales Mingyu kesel.

“Gak apa-apa kalau lu masih kesel sama gue, wajar banget. Gue juga mungkin bakal sama marahnya kayak lu kalau cewek yang gue suka digituin. Tapi tolong inget, ya, kalau lu butuh bantuan gue, gue bakalan selalu siap buat lu. Buat yang lain juga.” Seungcheol natap seluruh anak kontrakan yang ogah buat buka suara.

“Ya udah, masalah gue sama Mingyu udah kelar. Siapa lagi?”

Semuanya diem. Natap ke sembarang arah karena gak mau ngomong. Mereka semua beneran masih emosi.

“Lu dong, dari tadi teriak-teriak, nyuruh orang kelarin masalah, tapi lu sendiri cuma diem doang. Bangsat banget.” Dino natap Hoshi.

“Lu nyindir gue?” Nada suaranya Hoshi yang biasanya ceria, sekarang berubah 180 derajat. Sekarang suaranya jadi lebih deep dan tajem.

“Ya kan lu yang ribut dari tadi, padahal masalah lu juga bukan, tapi sok mau ikut campur.” Dino ketawa sarkas. Hoshi udah ngepalin tangannya.

“Kelarin aja dah masalah lu sama si Hao. Aneh banget marah ke si Hao, padahal punya hak juga gak.” Omongan Hoshi bikin emosinya Dino naik. Bahkan dia sampe bangun dan narik kerahnya Hoshi. Hoshi juga udah siap mau berantem, tapi anak kontrakan lain langsung refleks narik keduanya. Seungcheol dan Joshua narik Hoshi biar balik duduk lagi, sementara Dino ditarik Dikey sama Wonwoo.

“LU GAK TAU RASANYA, ANJING.” Teriak Dino.

“LU GAK TAU KAN GIMANA RASANYA DIBOHONGIN? DIKASIH HARAPAN TINGGI TAPI AKHIRNYA DIJATUHIN? DAN YANG NGELAKUIN TEMEN SENDIRI. GAK TAU KAN LU?” Emosi Dino makin meledak-ledak. Hao yang denger itu cuma bisa diem. Dia tau dia salah.

“Yang ngelakuin temen sendiri? Lu bilang gitu seakan cuma si Hao yang salah. Naya? Gak lu salahin juga? Lu gini karena cemburu atau karena dibohongin? Sama aja kayak si Mingyu.” Mingyu yang tadinya udah sedikit tenang, malah kesulut lagi denger ucapan Hoshi.

“Kenapa gue lagi, anjing? Gue udah selesai, ya, bangsat.” Timpal Mingyu.

“HALAH SAMA AJA LU BERDUA.” Bales Hoshi.

“Eh, anjing. Lu ngeselin banget. Lu yang pengen damai, tapi lu juga yang bikin makin keruh.” Woozi yang dari tadi diem, lama-lama kesel karena omongan Hoshi.

“Bener kata Uji. Lu nyebelin banget, Chi. Lu kenapa sih?” Wonwoo ikutan ngomong.

“APAAN SIH KOK JADI GUE!”

“LU NGESELIN, BANGSAT!” Dino lagi-lagi teriak.

“Asli, Bang. Lu kalau mau damai, gak usah marah-marah gini. Gue tau lu kesel, lu marah, dan itu bukan cuma lu doang, satu kontrakan juga ngerasain hal yang sama. Lu bilang lu gak ada masalah, ya udah lu diem, lu yang jadi air disaat yang lain jadi api, lu jadi penengah aja kalau gak punya masalah.” Hao ikut angkat suara.

“LU PADA GAK TAU KAN RASANYA DIRENDAHIN DI DEPAN CEWEK SENDIRI? GAK TAU KAN GIMANA MALUNYA? GUE PUTUS, ANJING. PUAS LU SEMUA?”

Anak kontrakan pada diem. Kaget juga waktu denger. Apalagi Hoshi sama Aul itu baru semingguan pacaran dan tiba-tiba udah putus.

“Terus karena lu putus, lu jadi lampiasin marah lu ke kita pake alesan pengen anak kontrakan damai?” Seungkwan natap Hoshi dingin sambil ngelipet kedua tangannya depan dada.

“ANJING.”

“Kwan, udah.” Katanya Jun.

“Gak bisa. Dari tadi dia teriak-teriak, marah-marah ke yang lain padahal cuma buat salurin emosi dia aja karena abis putus. Lucu lu.”

“Seungkwan.” Tegur Seungcheol.

“Urus aja deh urusan lu di kampus sebelum di drop—”

“HOSHI!” Seungcheol yang dari tadi nyoba buat sabar akhirnya teriak juga.

“Omongan lu udah keterlaluan!” Bentak Seungcheol.

Hening sesaat, tapi tiba-tiba ada suara isakan. Semua mata tertuju ke Seungkwan. Iya, dia yang nangis. Omongan Hoshi tadi bener-bener bikin dia sakit hati dan overthinking banget. Hoshi juga jadinya ngerasa gak enak. Suasana kontrakan tiba-tiba dingin dan sunyi. Selain isakan Seungkwan dan suara jarum detik, mereka semua bungkam. Hao dan Wonwoo yang ada di sebelah Seungkwan nyoba buat nenangin dia.

“Gue... Gue beneran takut di drop out.” Seungkwan ngomong ditengah tangisnya. Seungcheol ngelirik Hoshi yang sekarang nundukin kepalanya.

“Nanti coba gue tanya-tanya ke Kak Kinan, siapa tau bisa bantu.” Katanya Mingyu.

“Susah, Bang. Percuma. Gak akan ada jalan kelu—”

“Bisa.” Semua mata langsung terfokus ke Joshua.

“Gue yang bantuin.” Lanjut Joshua.

Mereka semua diem aja sambil ngeliatin Joshua. Gak yakin juga gimana caranya Joshua buat bantuin Seungkwan.

“Gimana? Kak Kinan aja yang notabenenya dosen, gue gak yakin dia bisa bantu, Bang. Lawan gue itu kaprodi.” Tanya Seungkwan, isakannya makin kenceng.

Joshua ngehembusin nafasnya panjang. “Suaminya nyokap gue rektor kampus lu.” Dan seketika mereka mata mereka semua membelo, kaget banget denger omongan Joshua.

“Shua? Lu... Yakin?” Tanya Jeonghan yang di sampingnya, karena cuma dia dan Seungcheol yang tau gimana bencinya Joshua ke orang tuanya sendiri.

“Yakin.” Jawab Shua.

“Lu gak apa-apa?” Giliran Seungcheol yang nanya, anak kontrakan lain cuma merhatiin mereka bertiga. Sebenernya yang lain juga tau kalau abang tertua ketiga mereka itu hubungannya gak baik sama orang tuanya, tapi mereka gak tau secara detail cerita kenapa Shua bisa benci.

“Gak apa-apa.” Shua jawab sambil senyum kecil, tapi Seungcheol sama Jeonghan keliatan khawatir.

“Serius, mungkin emang udah waktunya gue ketemu.” Bales Shua.

“Kalau mau ditemenin bilang, gue bisa cuti.” Shua cuma senyum aja denger omongan Jeonghan.

“Gue juga bisa cuti buat nemenin lu.” Giliran Seungcheol yang nawarin.

“Tenang aja, Han, Cheol, gue bisa sendiri. Makasih udah nawarin.” Bales Joshua.

“Tenang aja, ya, Kwan. Nanti Senin gue ke kampus lu, tapi lu ikut, nanti biar lu yang jelasin ke... Suami nyokap gue.” Seungkwan cuma diem aja, tapi matanya masih berair.

“Beneran gak apa-apa, Bang?”

“Iya, beneran.” Jawab Shua.

“Makasih banyak, ya, Bang. Makasih banget.” Seungkwan nangis lagi. Shua senyum terus pindah duduk ke sebelahnya. Dia usap-usap punggungnya Seungkwan biar tenang.

Selama sepuluh menitan nungguin Seungkwan nangis, akhirnya keadaan kontrakan hening lagi. Mereka semua diem, emosi juga udah mulai reda. Kedengeran suara nafas panjang dari Dino.

“Din.” Dino diem aja, gak nengok, karena dia tau setelah ini dia yang bakal disuruh ngomong.

“Dino.” Seungcheol manggil lagi, dan kali ini Dino nengok.

“Hao.” Yang dipanggil cuma ngehembusin nafas.

“Oke, karena udah kumpul gini, jadi sekalian aja gue omongin sekarang.” Katanya Hao. Seungcheol cuma ngangguk, sementara orang yang diajak ngomong cuma nundukin kepala aja liatin karpet.

“Din, gue minta maaf, maaf banget karena gue gak kasih notif apapun tentang gue sama Naya. Emang gue salah, salah banget. Tadinya gue sama Naya yakin kalau kita berdua bakalan bisa gagalin rencana perjodohan itu, soalnya dulu juga kan udah ada beberapa yang gagal, tapi ternyata orang tua gue sama Naya lebih kuat bondingnya. Mereka udah omongin semua tentang perusahaan sampe visi misi ke depannya yang bikin mereka makin yakin dan mantap buat jodohin kita meskipun kita nentang keras.” Semuanya dengerin baik-baik. Dino masih males natap ke arah Hao.

“Gue beneran minta maaf, Din. Harusnya gue emang bilang ke lu. Maaf gue terlalu pengecut karena takut lu bakal marah besar sama gue, tapi nyatanya lu lebih marah karena gue bohongin. Gue bener-bener minta maaf, Din. Kalau lu mau mukul gue, bikin gue sakit, sumpah gue terima. Gue tau gue salah banget sama lu.” Dino ngehembusin nafasnya panjang.

“Dengan gue bikin lu babak belur juga gak bisa bikin gue sama Kak Naya jadian, Bang.” Dino cuma ketawa pahit.

“Gue...” Helaan nafas kedenger. “Gue udah ikhlas, Bang. Gue udah maafin lu. Gue juga sadar kalau gue sama Kak Naya sampe kapanpun gak akan pernah bisa barengan. Walaupun emang kejauhan mikir buat hubungan yang serius, tapi ya lebih baik dari sekarang gue lepasin perasaan gue buat Kak Naya sebelum makin jatuh.” Dokyeom yang ada di sebelah Dino, nepuk punggungnya pelan.

“Keren lu, Din. Bisa-bisanya lu lebih dewasa dari gue.” Hibur Dokyeom.

“Makasih, Din. Makasih banget udah maafin gue.” Dino cuma ngangguk aja sambil senyun tipis.

“Wonu, Uji. Kalian gimana?” Tanya Seungcheol. Keduanya nengok terus ngehembusin nafas.

“Audrey lagi sakit, kalau kalian mau tau kabarnya.” Mingyu yang nyaut, semua orang langsung kaget dengernya, karena mereka bener-bener gak tau kabar Audrey setelah kejadian di klub malem itu.

“Sakit apa?” Tanya Wonwoo.

“Gue gak bisa bilang, karena bukan hak gue buat ngasih tau kalian.” Jawab Mingyu.

“Terus sekarang dia dimana? Terakhir Teh Odri bilang gak mau pulang kan?” Tanya Dokyeom.

“Dirawat, Gyu? Dia kalau dijenguk mau gak?” Hoshi ikutan nanya.

“Ada di apartemen gue buat sementara, mumpung masih sisa sebulan.” Jawab Mingyu. Wonwoo langsung noleh denger jawaban Mingyu, dan akhirnya ngehembusin nafas kasar.

“Ada yang jagain, Gyu?” Tanya Joshua.

“Gak ada. Dia bukan yang sakit parah sampe harus dijagain sih, tenang aja.” Jawab Mingyu.

“Syukur deh kalau gitu, semoga cepet sembuh.” Katanya Seungcheol.

Lagi. Hening buat beberapa saat, ngebiarin ruangan diisi sama suara jarum jam.

“Ji.” Woozi nengok. Dia makin hari makin pendiem. Sesekali Woozi juga pergi buat sekedar nanya keadaan Helen ke Bu Tria. Kadang kedengeran juga suara Woozi nangis dan nyalahin diri sendiri.

“Helen gimana?” Tanya Seungcheol.

“Balik lagi ke tahap awal. Dia jadi takut lagi ke laki-laki, bahkan ke bokapnya, dia gak mau ditinggalin berdua cuma sama bokapnya. Dia juga takut buat ke luar rumah, jadinya dokter Anne yang ke rumahnya.” Jawaban Woozi bikin yang lain speechless, mereka ngerasa sedih juga dengernya, karena mau gimanapun juga, Helen itu udah dianggap sebagai temen deket mereka. Gimana Helen yang awalnya takut sama mereka, pelan-pelan mulai bisa ikutan ngumpul, udah berani juga ngasih kue secara langsung tanpa harus gemeteran, dan sekarang mereka harus kembali lagi ngehadapin Helen yang entah kapan bakal berani ketemu mereka lagi, bakal ikut main sama mereka lagi.

“Gue... Gue sakit banget liat Helen kayak gini lagi.” Tangisnya Woozi pecah.

Woozi yang biasanya enggan buat nunjukin emosinya. Woozi yang biasanya gak suka terang-terangan ngasih afeksi.

Sekarang lemah, cuma bisa nangis mikirin Helen. Anak kontrakan bahkan sedikit kaget liat Woozi nangis. Mereka sama sekali belum pernah liat dia nangis.

“Gue gak berguna banget, gak bisa jagain Helen.” Yang lain natap Woozi iba. Mereka bener-bener ikutan sedih banget, bahkan Seungkwan yang udah selesai nangis pun jadi ikut nangis lagi dengerin Woozi. Dokyeom juga diem-diem ngehapus air matanya.

“Doain aja semoga Helen bisa cepet sembuh.” Woozi cuma diem aja. Gak pernah sekalipun dia gak doain Helen.

“Dan buat lu, Ji. Jangan pernah lu mikir lagi kalau ini semua salah lu. Kalau lu mikir gitu, nanti lu ikutan sedih, hawanya jadi negatif, lu gak bisa gitu. Lu harus bisa positif terus, buat Helen, buat diri lu sendiri. Lu harus kuat, Ji.” Dino nepuk pundaknya Woozi setelah denger ucapan Seungcheol.

Untuk ke sekian kalinya, kontrakan hening. Woozi udah mulai tenang setelah sepuluh menitan nangis.

Sorry.” Katanya Woozi.

“Gak apa-apa, Ji. Lu mau nangis semaleman juga tetep kita temenin.” Kata Jun, yang lain ikutan ngangguk.

“Makasih.” Jawab Woozi singkat.

“Balik lagi dah gengsiannya.” Hoshi nyoba buat cairin suasana, yang lain ketawa aja, termasuk Woozi.

“Janji, ya, Ji. Jangan nyalahin diri lagi.” Giliran Jeonghan yang ngomong. Woozi cuma anggukin kepala aja.

“Yang lain dah, jangan gue terus.” Saut Woozi.

“Siapa nih yang belum?” Tanya Seungcheol. Setelah nanya gitu, Seungcheol malah nengok ke Jeonghan. Jeonghan yang udah kepalang saling tatapan sama Seungcheol langsung ngehembusin nafas kasar.

“Gue abis berantem sama nyokap gue.” Sekarang semua mata dan telinga fokus ke Jeonghan.

“Gue beneran tadi tuh capek banget, baru balik dari Solo, badan serasa remuk, sampe rumah tetep disuruh-suruh.” Jeonghan ngejeda omongannya, dadanya masih sakit kalau keinget lagi.

“Sebenernya gue gak masalah disuruh-suruh ibu, tapi... Udahlah anjing, gue kayak anak tiri, dibedain terus. Gue cuma capek. Capek jadi anak tengah. Gue sampe kapan sih harus ngehormatin abang, tapi masih harus ngalah juga sama adek gue. Gue gak mau perhitungan, tapi dari dulu yang kerja keras tuh... Ah, udahlah. Intinya gue kecewa banget sama nyokap gue.” Gantian, giliran Joshua yang ngusapin punggung Jeonghan. Dia tau banget kalau sahabatnya itu jarang marah yang meluap-luap. Kalau sampe Jeonghan marah besar, berarti dia udah capek mendam semua uneg-ungenya.

“Minggu depan gue ke rumah lu.” Kata Seungcheol. Jeonghan natap bingung.

“Ngapain anjir?”

“Udahlah bolehin aja. Lu mau ikut atau kagak terserah, tapi gue mau ketemu nyokap lu. Silaturahmi.”

“Gue ikut.” Katanya Joshua.

“Mau ngapain sih lu berdua?” Tanya Jeonghan penasaran.

Seungcheol sama Joshua gak jawab. Mereka cuma saling lirik abis itu ngalihin pandangan ke yang lain. Seungcheol lagi absenin dalam hati, siapa aja yang belum cerita dan selesaiin masalah. Biar semuanya selesai malam ini.

“Chi, lu kenapa putus?” Tanya Seungcheol.

“Anjing! Jadi keinget lagi gue.” Bales Hoshi.

“Tadi gue sama Aul jalan bareng terus ketemu sama temen kantornya Aul. Dia nanya-nanya gue kerjanya apa, pas tau gue masih kuliah, dia ngerendahin gue katanya kalau jalan siapa yang bayarin.” Anak kontrakan yang denger ceritanya langsung ngerutin dahi, ikutan kesel.

“Bangsatnya, gue cuma diem aja karena semua yang dia omongin bener. Gue belum kerja, gue belum bisa jajanin Aul pake uang sendiri, gue payah.” Lanjut Hoshi.

Hoshi yang biasanya di matanya penuh kilatan percaya diri, sekarang redup. Dia bener-bener ngerasa insecure.

“Terus lu putusin gara-gara apa, Chi?” Tanya Joshua.

“Gue ngerasa gak pantes buat Aul. Dia udah di atas, udah punya kehidupan yang lebih baik. Dia gak pantes sama gue.” Jawab Hoshi.

“Gue boleh bales marahin lu gak sih?” Tanya Mingyu.

“Gyu—” Baru aja Seungcheol mau ngelarang Mingyu, Hoshi langsung jawab.

“Boleh.”

“Pertama, lu egois banget, anjing. Disini Teh Aul gak salah sama sekali, yang salah itu cowok banci yang ngerendahin lu, sama lu sendiri yang egois dan mutusin Teh Aul sepihak.” Yang lain cuma diem denger omongan Mingyu, termasuk Hoshi.

“Teh Aul juga udah pernah bilang kan kalau dia gak peduli lu mau masih kuliah kek, mau kerja apaan kek, dia gak peduli. Dia tuh sayang sama lu, tapi lu malah sia-siain? Goblok banget, anjing. Orang yang salah, Teh Aul yang jadi korban. Mikir gak sih lu sebelum mutusin?” Hoshi tetep diem dengerin omelan Mingyu.

“Semoga Teh Aul dapet yang lebih baik deh, yang gak egois.” Setelah denger gitu, Hoshi langsung natap Mingyu.

“Kok lu gitu?”

“Abisnya kesel, anjing. Kasian gue sama Teh Aul. Dikira lu aja apa yang sakit, Teh Aul juga sama kali.” Lanjut Mingyu.

“Bener sih, Chi. Lu terlalu egois buat mutusin Aul disaat lu sakit hatinya sama omongan orang lain yang mana ada di luar kontrol Aul. Gue tanya, Aul emang gak berhentiin dia ngomong?” Tanya Jun.

“Suruh orangnya berhenti sih, diusir juga.”

“Anjing, tolol banget lu, sumpah. Berarti dia tuh ngerhargain lu sebagai pacarnya. Dia gak suka ada orang yang ngomongin jelek soal lu, tapi kelakuan lu yang jelek, tolol.” Segala umpatan keluar dari bibirnya Mingyu.

“Udah, Gyu.” Katanya Seungcheol.

“Bodo amat anjir. Gue kesel, kasian Teh Aul.”

“Chi, lu udah janji gak akan insecure lagi. Sejujurnya gue paham gimana rasanya gak percaya diri, tapi lu salah karena putusin Aul karena omongan orang lain.” Seungcheol lagi yang ngomong.

“Nanti temuin Aul, omongin semuanya kalau lu gak mau dia diambil orang lain. Minta maaf sama dia.” Hoshi cuma diem.

“Jangan diem aja lu.” Kata Mingyu.

“Iya, nanti gue ketemu Aul, minta maaf juga.” Jawab Hoshi.

Abis kelar cerita Hoshi, Seungcheol langsung perhatiin lagi anak-anak kontrakan.

“Le?” Mata Seungcheol gak sengaja tabrakan sama Vernon. Dia cuma diem aja. Dikey nengok ke arah Vernon.

“Kenapa gak pernah balik?” Semua orang udah tau alesan Vernon gak pernah balik.

“Vernon?” Yang dipanggil cuma ngeremas tangannya, tanda dia lagi gugup. Akhirnya Dikey samperin Vernon, dan duduk di sebelahnya.

Dikey nepuk-nepuk bahu Vernon, sementara Vernon tetep diem aja.

“Le, demi Allah dah gue gak pernah marah sama lu. Sedikitpun gak ada rasa marah sama lu, Le. Semua yang terjadi sama Rea itu bukan salah lu, semua orang juga tau itu, Le.” Vernon masih tetep nunduk. Perasaan dia justru makin campur aduk. Abangnya itu bener-bener baik banget, dia makin kepikiran gimana caranya buat nyusul Rayn dan suruh dia balik, tapi Vernon udah yakin banget kalau dia harus bikin Rayn nikahin Rea karena Dikey lebih pantes dapet yang lebih ngehargain perasaannya.

“Bang, maaf.” Akhirnya Vernon buka mulut.

“Jangan minta maaf anjir, gue jadi sedih.” Katanya Dikey.

“Bang, gue beneran minta maaf atas nama Rayn.” Dikey senyum tapi matanya berair.

“Kok lu yang nangis sih, Key?” Ledek Mingyu.

“Akhirnya si Bule mau ngomong lagi sama gue.” Katanya Dikey sambil ngusap air matanya.

“Bang, gue tau gue gak tau malu banget kalau ngomong gini, tapi tolong bahagia, Bang. Please, dapetin cewek yang lebih ngehargain lu, lu pantes buat nemuin kebahagiaan lu sendiri.” Dikey malah makin nangis, terus meluk Vernon. Vernon yang biasanya gak suka skinship, kali ini diem aja, malah dia nepuk-nepuk punggung Dikey sambil minta maaf berkali-kali.

“Bang, bahagia ya. Kalau lu gak bahagia, gue bakal ngerasa bersalah seumur hidup.” Ucapan Vernon itu malah bikin Dikey nangis makin kenceng. Seungkwan juga jadi ikut nangis dengernya.

“Kenapa jadi pada nangis anjir?” Tanya Jeonghan.

“Gini terus kek, jangan berantem lagi, apalagi teriak-teriak kayak tadi, gue takut.” Katanya Dikey sambil sesenggukan. Vernon cuna ketawa kecil sambil terus nepukin punggung Dikey. Diem-diem, anak kontrakan lain juga berair matanya. Mereka juga terharu karena akhirnya semua orang bisa terbuka dan obrolin masalahnya.

“Maaf, ya, gue tadi teriak-teriak.” Katanya Hoshi sambil garuk tengkuknya.

“Gue juga minta maaf karena ikut emosi.” Mingyu ikutan nimpalin.

“Gue juga minta maaf bawa hawa negatif.” Dino ikutan.

“Ma—maaf, ya. G—gue juga nyebelin banget.” Kata Seungkwan yang juga sesenggukan kayak Dikey. Joshua yang ada di sebelahnya terkekeh, gemes liat Seungkwan, terus ngusap belakang kepalanya.

“Pokoknya setelah ini semoga kita gak akan berantem-berantem lagi, ya. Tolong kalau ada sesuatu masalah, ceritain. Gak perlu ke semua orang, cerita ke satu orang juga gak apa-apa. Kalian juga kalau mau curhat ke gue juga gak apa-apa banget, gue bakal selalu dengerin cerita kalian.” Katanya Seungcheol.

“Lu juga, Bang.” Timpal Mingyu.

“Lu kalau ada masalah, ngomong. Jangan melenceng.” Lanjut Mingyu.

“Iya, Gyu. Sorry, ya.”

“Minta maaf mulu, bosen.” Canda Mingyu.

“Ya udah sekarang giliran Jun, semuanya udah cerita.”

“Gue gak kenapa-napa, Bang. Cuma emang suka kepikiran ibu aja.” Jawabnya.

“Ibu udah sembuh total?” Tanya Seungkwan.

“Belum sih, tapi alhamdulillah udah berkurang sakitnya kata ibu.” Yang lain ikut ngucap syukur.

“Jay gimana kabarnya?” Tanya Wonwoo. Jun diem sebentar.

“Baik kok, gue omelin kalau dia keluar, nanti ibu sendiri.” Bales Jun.

“Beneran kan gak ada masalah apapun lagi?” Tanya Seungcheol mastiin.

“Beneran, Bang.” Jawab Jun.

“Lu makan yang banyak, gue liat-liat lu makan sedikit terus.” Katanya Hao.

“Hari ini udah makan? Pucet banget wajah lu.” Jun senyum tipis, jujur kepalanya pusing banget, dia belum makan seharian.

“Gak apa-apa kok gue.” Jawab Jun.

“Syukur kalau semuanya gak apa-apa.” Bales Seungcheol.

Hening lagi. Semuanya udah tenang. Gak ada lagi rasa marah. Mereka udah ngerasa lebih baik lagi.

Sorry, tapi gue boleh tidur duluan gak?” Tanya Jun.

“Eh iya, tidur aja, istirahat semuanya udah malem juga. Makasih banyak, ya, kalian udah mau terbuka satu sama lain.”

Ketika mereka udah berdiri mau bubar, Mingyu samperin Seungcheol dan dia langsung meluk abangnya itu.

Sorry, Bang.” Seungcheol balas meluk erat. Matanya berkaca-kaca. Dia beneran udah takut banget kalau Mingyu gak mau maafin dia, tapi akhirnya adeknya itu bisa maafin kesalahan dia dan bisa balik lagi jadi Mingyu adek bongsornya, adek yang paling sering dia ajak berantem.

“Makasih, Gyu. Makasih banget udah maafin gue, udah mau balik lagi ke kontrakan, makasih banyak.” Suaranya Seungcheol bergetar. Dia gak bisa nahan air matanya saking terharunya.

“Gue juga pengen dipeluk.” Rengek Dokyeom sambil pasang wajah sedihnya.

Mingyu sama Seungcheol lepas pelukan terus ketawa dan akhirnya meluk Dokyeom. Ujungnya mereka semua pelukan. Senyuman mereka udah balik. Mereka semua akhirnya bisa rasain lagi gimana rasanya kumpul bertiga belas tanpa ada ketegangan di antara mereka. Ketika mereka lepas pelukan, tiba-tiba...

BRUK

Jun jatuh. Refleks, mereka semua langsung jongkok. Wonwoo nepuk-nepuk pipi Jun pelan. Jun gak pingsan, dia masih sadar, tapi keliatan lemes banget, mukanya pucet, terus menggigil.

“Lu kenapa anjir?” Tanya Wonwoo panik, yang lain juga gak kalah panik.

“Bawa ke kamarnya dulu, gue telpon temen gue.” Woozi langsung ambil HP-nya dan nelpon salah satu temen dokternya yang kebetulan kerja di rumah sakit yang sama. Untungnya temen Woozi lagi gak ada pasien, dan bisa langsung datang ke kontrakan.

Kurang dari 20 menit, temennya Woozi datang dan langsung dibawa ke kamarnya Jun yang udah dibaringin di atas kasur. Mukanya bener-bener pucet, terus lemes banget juga. Wonwoo sama Hoshi yang tadi bopong Jun juga bilang kalau Jun enteng banget.

“Ini temennya kurang gizi karena makanan yang masuk cuma sedikit.” Kata temennya Woozi.

Setelah mereka konsultasi tentang keadaan Jun akhirnya temen Woozi pulang, rencananya mereka mau bawa Jun ke klinik deket kontrakan. Akhirnya Hao bawa mobil buat anterin Jun, ditemenin sama Dikey, Seungcheol, yang lain nunggu di kontrakan.

Sesampainya di klinik, mereka langsung ke resepsionis dan bawa Jun ke ruangan biar segera direbahin lagi. Dokternya bilang hal yang sama kayak temennya Woozi, Jun itu malnutrisi.

Setelah selesai diperiksa, akhirnya dokternya keluar. Jun nengok ke arah temen-temennya.

“Maaf, ya, ngerepotin.” Katanya lemes.

“Lu kenapa sih bisa sampe kayak gini, Jun? Gue tau lu kepikiran nyokap lu, tapi lu juga gak bisa kayak gini, nyokap lu juga kalau tau pasti ikut sedih dan kepikiran.” Katanya Seungcheol. Tiba-tiba Jun nangis, dia langsung lap air matanya.

“Lu ada masalah lain, ya, Bang?” Tanya Hao. Jun diem aja.

“Bener kan? Kenapa? Ceritain biar kita bisa bantu.” Jun gelengin kepalanya.

“Gue gak mau repotin kalian, kalian udah punya masalah masing-masing.” Balesan Jun malah bikin Seungcheol ngerutin dahi.

“Siapa yang bilang? Gak ada yang ngerasa direpotin. Gue kan tadi bilang, seenggaknya lu cerita aja dulu.” Seungcheol.

“Asal lu tau aja, Teh Embun kemarenan chat gue, nanyain lu kenapa akhir-akhir ini kayak lesu banget, terus kalau makan juga dikit-dikit.”

“Jangan kasih tau Embun gue ke klinik.”

“Gak janji. Kalau lu cerita, kita tutup mulut, Bang.” Giliran Dokyeom yang nimpalin. Jun ngehembusin nafasnya. Kepalanya pusing banget.

“Oke gue cerita, tapi gue minta tolong satu lagi, kalau setelah gue cerita, jangan kasih tau Embun masalah gue.”

“Janji.” Timpal Seungcheol.

“Gue lagi kepikiran masalah keuangan. Uang tabungan gue bener-bener dipake buat operasi ibu kemaren, emang masih ada sisa, tapi tadi tuh Jay chat gue katanya dia harus bayar uang semesteran, dan gue bener-bener bingung sekarang.” Air mata Jun keluar lagi. Sebenernya dia malu buat cerita, tapi dia juga capek harus mendem semuanya sendirian, terus dia takut anak kontrakan bilang ke Embun soal kondisi dia yang lagi sakit, dia gak mau Embun khawatir.

“Gue bingung banget, uang gue beneran sisa buat hidup sebulan aja. Kemaren seharusnya gue interview sama perusahaan baru, tapi gue gak bisa datang karena harus langsung ke Cirebon, gak mungkin gue gak nengok ibu yang lagi koma.” Jun ngusap air matanya. Dia beneran stres banget.

“Gue mau ngojol lagi, tapi tangan gue masih gini, gak bisa digerakin. Gue juga udah coba daftar kesana kesini, tapi belum ada panggilan. Makanya gue hemat-hematin makan, karena gue gak tau kapan gue dapet kerja, dan sampe kapan gue bisa bertahan. Gue masih punya ibu sama adek yang harus dinafkahin. Belum lagi biaya obat-obatan ibu.” Suaranya Jun bergetar. Sekuat apapun dia nahan tangisnya, air matanya tetep lolos basahin pipinya. Dia kepikiran banget sama ibu dan adeknya.

“Udah dikirim buat biaya semesteran adek lu?” Tanya Hao.

“Udah tadi sore.” Jawab Jun.

“Lu kalau butuh apapun, bilang. Gue bantuin.” Kata Hao lagi.

“Iya, gue juga siap kok bantuin. Gue pantau makan lu tiap hari, gue beliin vitamin sekalian.” Tambah Seungcheol.

“Gue kalau mau makan mending ikut gue ke Buah Batu, makan di rumah gue.” Katanya Dikey.

“Anjir jauh banget, keburu kenyang di lampu merah Buah Batu.” Celetuk Seungcheol.

“Gue beliin aja mendingan dah.” Bales Hao.

“Nah ini, gue tuh kalau bilang ke kalian, pasti kalian tuh bakal beliin gue ini itu, gue gak mau.”

“Ya udah gak dibeliin, lu bisa balikin duitnya kapan aja lu mau, kita ikhlas beneran bantuin lu.” Seungcheol.

“Iya, kalau lu gak enak karena dikasih ini itu, lu bisa ganti suatu hari nanti, yang penting lu sehat dulu. Kalau sehat kan enak, lu bisa cari kerja, bisa ngojol lagi sambil nunggu-nunggu panggilan. Kalau lu sakit gini, lu gak bisa apa-apa selain baringan doang. Sehat, ya?” Omongan Hao itu bikin Jun nangis lagi.

“Maaf gue ngerepotin kalian, dan makasih banyak banget kalian selalu ada buat gue mau gue lagi susah ataupun seneng, makasih banyak.”

“Udah atuh ih, gue nangis mulu nih.” Dokyeom ternyata ikutan nangis (lagi). Hao, Seungcheol malah ngetawain dia, Jun juga ikut ketawa sambil ngusap air matanya.

“Pokoknya lu semua harus bahagia, ya. Gue gak mau lu pada sedih-sedihan lagi, berantem lagi, apalagi sampe sakit gini, kagak mau.” Jun, Hao, sama Dokyeom ngangguk denger ucapan Seungcheol.

Gak lama, HP-nya Dokyeom bunyi, ternyata Seungkwan video call, pas diangkat, matanya sembab banget, idungnya merah, katanya dia khawatir sama Jun makanya nangis kejer.

Malam ini jadi malam yang panjang buat seluruh anak kontrakan, dan pastinya gak akan mereka lupain sampe kapanpun. Mereka diem-diem berharap dari kejadian malam ini, pertemanan mereka bakal terjalin terus sampai mereka tua. Dan sari malam ini juga tau, kalau semarah apapun mereka, sebenernya mereka peduli satu sama lain dan bakal coba semaksimal mungkin buat saling bantu kalau mereka mampu.

Keadaan kontrakan gak membaik tapi gak memburuk juga. Bingung dah gue. Iya sih si Mingyu udah balik, tapi kalau Mingyu sama Bang Cheol satu ruangan tetep aja kerasa hawanya panas, terus ujungnya si Mingyu bakal naik lagi ke kamarnya. Dino masih belum balik. Seungkwan masih diem. Jun juga akhir-akhir ini lebih diem. Gitu juga sama si Uji Wonu. Oh iya, Bang Shua juga agak pendiem dari biasanya. Nambah sepi lagi karena Bang Jeonghan lagi gak di kontrakan. Dia ke Solo buat kerjaan. Coba lu pada kasih tau, ini situasinya udah membaik apa nggak?

“Jun, itu Putri Keraton Kiara Condong memanggil.” Gue liat ke arah hp Jun yang geter, tapi anaknya diem-diem aja, ngelamun.

Gue balik lagi ke kamar buat ambil tas gue yang isinya laptop, biasalah skripsian sambil bucin.

Sebelum gue berangkat, gue sempet nanya dulu buat mastiin kalau si Jun baik-baik aja. Soalnya meresahkan banget. Paham gak sih? Orang yang biasanya aktif banget, bacot, gak mau diem, tiba-tiba gak bersemangat, ngelamun mulu. Aneh kan? Ada dua kemungkinan. Antara orang itu ada masalah, atau kemungkinan satunya yang agak ekstrim, dia kesurupan. Amit-amit dah anjir kalau kesurupan, gak ada yang bisa rukiah.

Akhirnya gue berangkat sekitar jam 3, katanya Aul pulang cepet. Akhirnya gue jemput ke kosannya.

Gak lama, cewek cakep punya gue itu keluar, gue langsung lambaiin tangan. Sumringah banget dah ah, makin cakep aja jadinya, gue yang repot, jadi makin sayang.

“Ochiiii!” Seperti biasa, Aul langsung ngunyel pipi gue tiap kali ketemu. Ikhlas gue mah ikhlas selama sama Aul.

“Sumringah bener anak gadis.” Aul cuma nyengir sambil masang helm, terus dia segera duduk.

Agenda hari ini ke kafe daerah Dago Pakar sih. Sumpah ya Bandung gak jelas, panas banget tapi dingin. Gimana tuh? Hujannya kadang-kadang, itu juga becanda alias cuma bentar abis itu berhenti.

Cuma 20 menit, gue sama Aul sampe. Kita berdua pesen makanan, gue gak langsung buka laptop, masih pegel soalnya. Ngobrol dulu lah sama ayang.

“Banyak kerjaan hari ini?”

“Banyak, Chi. Aku baru selesai ngerjain satu job, nambah lagi dua. Mau pecah rasanya.” Gue senyam senyum. Seneng aja denger Aul pake aku-kamu. Ya emang sih udah dari awal pacaran, tapi tetep gemes.

“Kasian amat cewek aku. Kamu kalau butuh bantuan, bilang aja. InsyaAllah aku bantuin kalau bisa, hehe.” Aul ketawa terus ngunyel pipi gue lagi. Bener-bener dah, pipi gue udah kayak adonan cakue.

“Eh, Vanka.” Gue nengok waktu ada cowok nyapa Aul. Seorang aja sih.

“Eh, Adit. Sama siapa?” Aul nyapa balik.

“Sendirian aja. Ini... Temen kamu?” Cowok yang katanya Adit itu ngelirik gue.

“Oh iya, kenalin ini pacar gue. Namanya Hoshi. Chi, ini temen aku di kantor, namanya Adit.” Gue senyum kikuk sambil jabat tangan dia.

“Udah pesen makanan?” Tanya Adit.

“Udah udah.” Jawab Aul.

Gue diem aja. Tolong ya, gue ini introvert. Lu pada plis jangan mentang-mentang gue reog, disangka extrovert. Kagak begitu konsepnya. Gue beneran susah banget buat deket sama orang baru, cenderung bakalan diem aja. Ngomong kalau ditanya.

Anjirlah gue kesel sama ini orang, udah sepuluh menit dia duduk disini sampe makanan gue datang, bahkan sampe abis, dia masih duduk disini. Gedeg banget gue.

“Oh iya, lu kerja dimana?” Gue keselek pas dia nanya gue. Soalnya dari tadi ini orang ngajak ngobrol si Aul mulu. Gue rasa ini manusia demen sama cewek gue.

“Masih kuliah.” Jawab gue singkat.

“Kuliah?” Dia keliatan kaget gitu. Gue cuma ngangguk.

“Lu sukanya yang brondong, Van?” Oh, manggilnya Vanka bukan Aul. Aul keliatan bingung mau jawabnya.

“Seumuran.” Jawab gue.

“Ah... Belum lulus?” Gue nelen ludah gue.

“Iya.” Bales gue lagi.

“Sorry nih, tapi emang lu gak malu cewek lu udah kerja, tapi lu belum?”

“Terus kalau lagi jalan gini, Vanka yang bayarin atau lu? Oh, atau split bill? Berarti uangnya masih dari orang tua?”

Anjing. Gue kesel banget dengernya, tapi gue gak bisa ngelawan karena ya emang semua yang dia omongin bener.

“Mendingan sama gue gak sih, Van?” Si bangsat, dia ngomong gitu depan gue dan bisa-bisanya dia ngomong sambil ketawa.

“Becanda becanda. Gue gak niat ngerebut pacar orang kok.” Ini manusia apa setan sih.

“Adit, mendingan pergi deh.” Aul keliatan gelisah banget.

“Eh, kenapa emangnya, Van? Ganggu kalian ngedate, ya? Maaf maaf.” Aul natap gue. Keliatan banget kalau dia ngerasa bersalah.

Akhirnya kita diem-dieman. Gue langsung buka laptop gue. Ngerjain skripsi gue biar gue cepet lulus lah anjing. Tapi bangsatnya, mau segimana pun gue berusaha buat fokus tetep gak bisa. Otak sama hati gue beneran panas banget.

“Aku mau pulang aja, udah gak fokus ngerjainnya.” Kata gue. Aul noleh. Dia dari tadi nunduk sambil mainin hp.

“Kamu masih mau disini? Boleh kalau masih mau disini.” Gue masukin laptop gue.

“Aku... Aku juga pulang aja.” Bales Aul.

Gue langsung nyelonong gitu aja keluar dari cafenya. Pasang helm dan ngasih ke Aul. Dia diem aja, kayaknya takut juga sama gue. Selama jalan kita diem aja. Kayaknya ini ngedate gue paling sebentar sama Aul. Kurang dari sejam.

Sesampenya di kosan Aul, dia langsung turun, terus ngasih helmnya. Dia gak langsung masuk, diem dulu. Gue juga diem aja gak langsung balik. Ada banyak hal di kepala gue yang gak tau harus gue omongin apa nggak.

“Chi, maafin temen aku tadi.”

“Kenapa kamu yang minta maaf? Kamu kan gak salah.” Gue udah berusaha sebaik mungkin tapi kayaknya tetep kedengeran ketus.

“Tapi tetep aja gak enak sama kamu.” Suaranya menciut. Matanya Aul berkaca-kaca.

“Lagian bener kan kata temen kamu. Aku belum lulus, kalau kita jalan juga split bills terus soalnya aku belum berpenghasilan, uang aku masih dari orang tua.” Nada gue sedikit meninggi.

“Maaf, gak maksud bentak kamu.” Aul cuma ngangguk aja.

“Jangan dipiki—”

“Kita putus aja.”

Aul langsung natap gue. Matanya ngebelalak. Dia gelengin kepalanya. Air matanya kali ini turun, lama-lama makin deras.

“Gak mau, Chi. Ochi, please. Aku gak mau putus. Aku sayang sama kamu, Chi.” Isakannya Aul makin kenceng.

“Maaf, Ul. Mungkin si Adit lebih cocok, dia udah mapan, punya uang sendiri. Aku cuma mahasiswa telat lulus yang belum punya uang sendiri. Sekali lagi aku minta maaf. Aku pulang dulu.”

“Ochi, please. Ochi!”

Gue ngebut, gak mau denger Aul nangis. Bangsat, gue ikutan nangis selama di jalan. Gue sayang banget sama Aul. Tapi kasian dia punya cowok kayak gue. Mungkin dia sebenernya malu juga punya gue.

“BANGSAT!”

Bodo amat orang-orang bada ngeliatin gue. Gue gak peduli. Sakit hati gue, anjing. Apalagi waktu tadi denger Aul nangis, gue beneran gak tega.

Gue ngelilingin Bandung tanpa tujuan. Sampe akhirnya gue capek sendiri dan milih buat balik ke kontrakan. Pas gue masuk, gue liat ada Dino. Sedikit kaget karena dia akhirnya balik. Tapi disana juga ada Seungkwan. Mereka berdua teriak-teriak gak tau gara-gara apaan.

Dan hari ini, gue nobatkan sebagai terburuk gue selama hidup.

Gue ngehembusin nafas panjang baca chatnya Jay. Bingung banget gue harus gimana. Tabungan gue tinggal sedikit, gue sampe sekarang belum dapet kerjaan lagi, sementara mau ngojol lagi tangan gue masih belum bisa digerakin. Gue beneran frustasi banget. Tabungan gue sisa lima juta doang, bayar semesteran Jay itu tiga juta. Gue harus bertahan sama duit dua juta, tapi sampe kapan? Gue gak tau kapan gue bakal dapet kerja lagi, mending kalau sebulan ini langsung dapet. Kalau nggak?

Ya Allah, kenapa cobaannya gini amat?

Gue bengong aja, tatapan gue kosong. Gue bingung harus apa. Kadang gue iri sama yang lain, anak kontrakan lain bukan generasi sandwich kayak gue yang harus biayain keluarganya. Mereka semua mampu, kayanya mereka juga gak perlu mikirin abis kuliah harus langsung kerja atau nggak, soalnya keluarga mereka pun udah berkecukupan. Sementara gue, gue harus mikir buat manage uang. Buat gue sendiri, ibu, sama kuliahnya Jay. Gue kadang mau makan enak aja mikir juga, ibu sama Jay di rumah makan enak juga gak, ya? Itu semua bikin gue ngurungin niat buat hidup hedon. Emang sih setelah sama Embun gue cukup sering jalan-jalan, gue pengen nyicipin gimana rasanya bahagia di dunia dengan duit gue sendiri tanpa harus mikirin ibu atau Jay. Lagi-lagi gue gak bisa. Setiap gue pergi sama Embun, gue biasanya pilih yang paling murah, gitu juga kalau lagi jalan sama anak kontrakan.

Lagi-lagi karena gue harus inget ibu sama Jay di rumah.

Bukannya gue gak ikhlas ngasih ke ibu sama Jay. Gue ikhlas kok, ikhlas banget kalau buat dua orang yang paling gue sayang itu. Tapi emang ada kalanya gue pengen tau gimana ngeabisin uang buat diri gue sendiri tanpa harus mikirin orang lain.

“Jun, itu Putri Keraton Kiara Condong memanggil.” Gue langsung kesadar dari lamunan gue waktu Ochi nyuruh gue angkat telpon.

Kurang dari lima menit, gue tutup lagi telponnya. Seperti biasa, Embun ngajak jalan, tapi dengan berat hati gue tolak. Gue bener-bener gak bisa sampe gue dapet kerjaan baru. Gue harus nabung buat biaya hidup gue sendiri.

“Ngapa lu bengong mulu?” Tanya Ochi.

“Hah? Gak apa-apa. Mau kemana lu? Rapi amat.”

“Hehehe, mau apel lah sama ibu editor.” Gue cuma senyum aja. Gitu contohnya, bisa ngapel kapan aja, gak perlu mikirin uang.

“Hati-hati, Chi.”

“Lu beneran gak apa-apa? Loyo banget lu. Tangan lu sakit?” Gue ketawa, gak mau keliatan sama Ochi.

“Serem banget anjir lu perhatian begini.”

“Serius, anying. Lu kenapa?”

“Gue sehat anjir. Tangan gue aja yang kagak sehat.” Jawab gue.

“Sakit gak? Obatnya masih ada?”

“Ada elah. Udah sono lu berangkat aja, nanti ditungguin ibu editor.”

“Kalau ada apa-apa, telpon gue aja, ya, bre. Gue berangkat dulu.”

Gue cuma ngangguk dan Ochi keluar kontrakan setelah mastiin gue baik-baik aja. Gue sandarin punggung gue ke sofa, ngeliatin tangan gue yang masih harus disangga. Rasanya beneran gue pengen nangis. Nangisin keadaan gue sekarang. Cobaannya bertubi-tubi banget.

Pertama, ibu ditabrak lari sampai koma. Kedua, kesempatan gue buat kerja angus. Ketiga, uang tabungan gue bener-bener sisa sedikit dan ini pun harus gue kasih Jay buat bayar semesteran. Keempat, kenapa disaat kayak gini, tangan gue malah gak berfungsi? Seenggaknya gue bisa balik ngojol dulu buat sementara buat nyari-nyari uang dan kerjaan lain.

“Bang, kenapa?” Gue langsung nengok ke arah Dikey yang mukanya keliatan khawatir.

“Hah? Gak apa-apa, Key.”

“Kok nangis?”

“Hah?” Gue pegang pipi gue, ternyata emang basah. Otak gue mikir cepet. “Abis nguap, anjir.” Bales gue sambil usap air mata.

“Serius?” Tanya Dikey lagi.

“Serius elah. Lu gak kuliah?” Gue ngalihin pembicaraan.

“Ini baru mau berangkat, Bang.” Gue cuma ber-oh ria aja tanpa suara. Abis gitu gue masuk ke kamar.

“Beneran gak apa-apa, Bang?” Sebelum gue bener-bener masuk, Dikey nanya lagi.

“Beneran anjir, gue ngantuk.”

“Kalau ada apa-apa, kasih tau, ye.” Gue ketawa kecil.

“Iye iye. Dah, berangkat lu sono.” Gue langsung masuk kamar dan rebahan di kasur sambil natap langit-langit kamar. Jujur, stres banget mikirin gimana caranya dapet kerjaan dengan cepat. Gimana kalau gue gak bisa dapet dalam waktu sebulan? Gue harus ngapain? Gimana kalau gue gak bisa kirim uang ke ibu bulan depan? Jajannya Jay gimana? Otak gue cuma mikirin hal itu aja.

Uang, uang, uang.

Ya Allah tolong banget bantuin. Gue ngerasa putus asa. Gak tau harus ngapain. Gue cuma bisa berdoa biar rezeki gue lancar terus tangan gue ini juga cepet sembuh. Gue bisa aja minta tolong ke Arfan buat bayar atau seenggaknya cicil dulu utangnya, tapi masalahnya si Arfan juga buat nyokapnya yang sakit, gue gak tega. Gue tau rasanya liat nyokap sakit. Kemaren aja gue kalang kabut waktu nyokap koma. Jangankan koma, ibu demam aja gue sibuk telponin Jay terus, minta kabarin kondisi ibu. Makanya gue gak tega buat minta utangnya dibayar dulu.

Waktu adzan ashar, gue langsung sholat. Setelahnya, gue ngerasa laper, tapi gue mikir dulu beli makan atau nggak. Gue belum makan seharian sih jujur, karena ya itu tadi, gue gak tau bisa bertahan sama uang gue sekarang ini sampe berapa lama. Akhirnya gue masuk kamar lagi, tidur aja buat ditahan sampe maghrib. Perut gue udah bunyi terus, tapi gue ngeganjelnya pake air putih. Kepala gue udah agak pusing, abis isya sih rencananya gue mau tidur lagi, tapi ternyata gak bisa.

Kontrakan gak baik-baik aja.

Jam lima sore, gue langsung beres-beres meja dan siap-siap buat samperin Jingga ke tempat kerjanya. Gue langsung jalanin mobil, agak cepet, soalnya gue juga laper.

Sekitar jam setengah enam, gue udah sampe di kafenya Jingga. Gue masuk dan nemuin pacar gue itu yang lagi cukup sibuk karena pelanggan yang juga lumayan penuh. Gue segera antri ke kasir bagian Jingga. Dari jauh gue udah senyam senyum liatin dia.

“Pesanannya segera diantar, ya, kak.” Gue ketawa kecil waktu Jingga bilang gitu.

“Titip pesen sekalian buat yang namanya Jingga, kerjanya semangat, ditungguin sama pacarnya.” Jingga ikutan ketawa dan gue segera duduk di salah satu meja yang kosong.

Kafenya lumayan rame. Gue bisa liat pacar gue agak sibuk, jadinya gue main hp dulu, sesekali gue ngelirik ke arah Jingga. Gue liatin notif, gak ada notif grup sama sekali. Gue ngehela nafas.

Gue rasa keadaan kontrakan bakal cepet membaik, soalnya Mingyu semalem pulang, dan kata Dikey sih dia bakalan balik beneran soalnya bajunya udah dibawa sebagian dari apartemen. Gue cukup lega pas denger hal itu, tinggal nunggu Dino sama Vernon balik.

Biasanya gue chat sama Jeonghan kalau gabut, dia juga sama. Tapi udah dari sejam yang lalu dia gak bales lagi, katanya sih dia balik ke Padalarang. Jujur, gue agak khawatir, soalnya Jeonghan gak pernah seneng setiap balik ke rumahnya. Jeonghan jarang cerita ke yang lain tentang ini, tapi dia biasanya cerita ke gue atau Seungcheol. Terutama ke gue sih, karena kita sama-sama punya pengalaman gak ngenakin sama orang tua.

“Pesanannya, Mas.” Gue langsung nengok dan senyum lebar waktu liat Jingga anterin makanan gue.

“Udah makan, dek?” Tanya gue.

“Ini aku mau makan juga kok, break dulu hehehe, abis ini tapi aku kerja lagi, gak apa-apa?” Tanya Jingga.

“Gak apa-apa, sayang.” Bales gue sambil usapin kepalanya.

“Bentar, ya, kak.” Jingga pergi ke dapur dulu, ambil makanannya, gak lama dia balik.

“Selamat makan, Kak Shua.” Katanya sambil senyum.

“Selamat makan, dek.”

Gue sama Jingga makan sambil ngobrol kayak biasa, tapi lebih banyak dengerin Jingga cerita. Gue lagi gak mood buat cerita apapun, karena gak ada juga yang harus gue ceritain. Mood gue juga lagi gak bagus-bagus amat.

“Aku balik kerja lagi, ya, kak. Kakak kalau mau pulang, pulang aja, gak apa-apa kok. Takut kemaleman kalau nungguin aku.” Katanya Jingga. Gue cuma senyum sambil gelengin kepala.

“Gak apa-apa, sepi juga kontrakan. Lagian nanti kamu pulang malem, masa sendirian.”

“Ya udah kalau gitu, aku kerja lagi, ya, kak.” Gue ngangguk dan Jingga balik kerja lagi.

Gue bengong aja. Gak tau deh akhir-akhir ini gue sering diem aja, di kantor juga lebih banyak diemnya, kadang gak fokus juga kalau kerja. Gue ngehembusin nafas panjang, mijit pangkal idung gue.

“Joshua?” Tubuh gue tiba-tiba kaku denger suara om gue.

“Sendiri aja?” Gue diem. Kepala gue jadi pening.

“Om ngikutin saya lagi?” Tanya gue setenang mungkin.

“Eh, nggak kok. Kebetulan emang mampir aja, soalnya deket dari kantor om.” Jawabnya. Gue cuma ngangguk.

Gue pengen banget pulang buat saat ini karena mood gue tiba-tiba hancur, tapi gue gak bisa ninggalin Jingga karena dia pasti pulangnya malem.

“Kamu baru pulang kerja?”

“Iya.”

“Sendirian?”

“Iya.”

“Tadi om liat kamu makan sama cewek, pacar kamu?”

Gue natap om gue. Pikiran gue udah jelek, takut dia ngancem lewat Jingga.

“Eh, gak akan diapa-apain kok, cuma nanya aja.”

“Iya.”

“Udah besar, ya. Pasti mom kamu minta dikenalin kalau tau.”

“Jangan dikasih tau.”

“Iya iya. Udah kerja juga pacar kamu?”

“Nggak. Masih kuliah.”

“Dimana?”

“Pledis.”

Om gue keliatan kaget sama jawaban gue. Gue cuma mikir kapan dia pergi dari hadapan gue. Gue beneran muak banget liatnya.

“Loh, suami mom kamu rektor disana.” Gue sedikit membelo, karena jujur gue kaget banget. Gue gak tau sama sekali tentang kehidupan nyokap gue, dan gak mau tau juga.

“Ketemunya gimana? Kok bisa sampe pacaran?” Om gue nanya baik-baik.

“Temen kontrakan saya banyak mahasiswa sana.” Jawab gue.

“Ah, gitu. Kalau ada apa-apa bisa tuh ngomong langsung ke suami mom kamu.”

Dan seketika gue keinget...

Seungkwan...

Dia lagi butuh bantuan. Dia lagi ada di masa krisis di kampus gara-gara masalah nyontek itu, tapi dia gak bisa ngapa-ngapain karena yang ngelakuin anak kaprodi. Gue tiba-tiba aja membeku.

Gue gak mau ketemu apa lagi ngobrol sama mereka. Gak sudi.

Tapi gue butuh. Gue butuh karena gue mau bantuin Seungkwan.

Kalau gue milih diem aja, gue jahat gak? Gue bener-bener gak mau banget ketemu nyokap gue ataupun suami barunya. Gue yakin gue bakal selalu sedih setelah gue ketemu mereka. Setelah beberapa tahun gak ketemu, cuma gue yang menderita, cuma gue yang sedih, cuma gue yang terpuruk, karena mom punya keluarga baru, dad juga, dan cuma gue yang gak punya siapapun. Mereka punya anak baru, sementara gue gak punya orang tua baru. Gue bener-bener sendirian. Mereka bahagia dengan keluarga baru, gue?

Kalau boleh jujur, setiap ada anak kontrakan yang abis sidang, dan wisuda, gue selalu ngerasa sedih. Orang tua mereka datang, nangis terharu karena bangga sama anak mereka. Mereka dipeluk, dicium, orang tua mereka ngirim banyak doa buat anaknya. Sementara gue, ikut wisuda aja nggak karena gue tau, gak akan ada yang datang buat gue. Sedih banget hidup gue.

Disaat yang lain ngomongin keluarga mereka, gue cuma bisa senyum, kadang ikut ketawa. But deep down, gue iri. Iri banget, gue pengen punya keluarga yang hangat. Keluarga yang bakal selalu ngerangkul gue disaat gue sedih, dan banggain gue disaat gue ngelakuin suatu hal baik.

Keinginan gue cuma satu, punya keluarga utuh yang hangat.

Apa sesusah itu?

Emang gue punya anak kontrakan, gue punya Jingga. Tapi tetep aja gue juga butuh figur orang tua dalam hidup gue.

“Shua?” Gue tersadar dari lamunan gue.

“Maaf, om. Saya mau pulang.” Gue segera keluar dari kafenya. Nungguin Jingga dalem mobil, gue udah kasih tau dia juga kalau gue di mobil. Sekitar 10 menitan, Jingga selesai. Dia langsung masuk ke mobil gue.

“Kakak, maaf akunya lama.” Gue senyum sambil ngusap kepalanya.

“Gak apa-apa, sayang.” Bales gue.

“Kenapa kakak nunggu di mobil?” Gue cuma nengok terus senyum.

“Gak apa-apa, tadi kafenya penuh, jadi gak enak kalau kelamaan disana.” Jingga anggukin kepalanya.

Selama di jalan, gue diem aja, lebih banyak ngehembusin nafas panjang. Pikiran gue kacau banget rasanya. Dada gue kerasa ada yang ganjel sampe bikin gue ngerasa sesak.

20 menit, akhirnya sampe di kosan Jingga. Gue nengok ke dia, liatin agak lama. Jingga gak nanya apa-apa, dia juga cuma ikut liatin gue.

“Dek, kakak boleh peluk?” Izin gue. Dia gak jawab tapi langsung rentangin tangannya.

“Aku gak tau ada apa sama kakak akhir-akhir ini, tapi aku tau Kak Shua lagi gak baik-baik aja. Feel free to cry in my arms, kak.”

Dan saat itu juga gue nyembunyiin wajah gue dibalik bahu Jingga. Gue nangis sejadi-jadinya. Bahu gue bergetar. Sesak banget. Dada gue sakit. Gue ternyata belum sembuh. Gue masih sakit kalau inget nyokap gue dan keluarga gue. Gue selama ini cuma denial kalau gue gak butuh mereka. Gue beneran gak baik-baik aja.

Jingga meluk gue erat sambil usapin punggung gue. Dia gak bilang apa-apa. Sementara gue masih terisak, malah semakin keras dan susah buat berhenti. Gue saat ini gak bisa ngontrol emosi gue sendiri.

“Kakak gak mau ketemu mereka, dek. Gak mau. It's hurt.” Isak gue.

They're happy with their new family, they share warm feelings, while I'm struggling here. Try to forget them, though it's impossible.

  “Kakak benci banget sama mereka, tapi kakak lebih benci sama diri sendiri karena ternyata kakak masih sayang mereka. Kenapa kakak gak bisa benci sepenuhnya? Kenapa? Mereka udah jahatin kakak, dek.” Dada gue nyeri banget, kepala gue juga pening.

Gak tau berapa lama gue nangis, Jingga cuma diem aja, dengan sabar dia terus usapin puggung gue, sesekali dia tepuk-tepuk. Gue akhirnya berhenti, tapi gue masih gak mau lepasin pelukan Jingga. Beberapa menit kita berdua diem-dieman dalam posisi yang sama, akhirnya Jingga lepasin pelukan gue. Dia tatap gue sambil usap pipi gue. Gue senyum, Jingga juga ikutan senyum.

“Kakak jadi jelek.” Canda Jingga sambil ketawa. Dia benerin rambut gue. Gue ikutan ketawa.

“Maaf, ya, dek. Bajunya jadi basah, nanti kakak ganti.”

“Ganti yang mahal, ya. Kakak kan banyak uangnya.” Gue ketawa lagi sambil ngacak rambutnya Jingga.

“Iya, boleh.” Jawab gue.

Hening. Jingga masih sibuk rapiin rambut gue, sementara gue ngeliatin Jingga aja.

“Makasih, dek.”

“Buat apa?” Tanyanya.

Thanks for being here and listening to my non-sense blabber.” Jawab gue.

And I'm deeply sorry because you have to watch my weak side.” Lanjut gue lagi.

“Aku terima ucapan makasihnya, tapi aku gak terima ucapan maafnya.” Bales Jingga.

“Aku kan pernah bilang, gak apa-apa kok kakak mau nangis, bukan berarti lemah. Tuhan kan ciptain manusia lengkap sama emosi, nangis juga salah satu emosi, jadi kenapa harus minta maaf? Kakak gak salah apapun, jangan minta maaf lagi kalau abis nangis!” Katanya sok galak, tapi malah gemes.

Jingga genggam tangan gue, terus dia natap gue dalem. Dia diem aja selama beberapa detik, terus ibu jarinya mulai ngusap-ngusap punggung tangan gue.

“Kak Shua, mungkin aku emang gak tau perasaan kakak gimana, but your feelings are valid. Kakak ngerasa sendirian pun, aku paham maksudnya. Bukan maksud kakak gak ngehargain aku dan temen-temen kakak, aku paham kakak pasti kangen keluarga kakak juga.” Gue diem dengerinnya.

“Kalau masalah kakak mau ketemu atau nggak, itu terserah kakak. Aku dukung apapun yang bikin Kak Shua seneng. Tapi kakak janji, ya, kalau ada apapun cerita sama aku. Selama seminggu kemaren, Kak Shua keliatan banget stresnya, aku jadi sedih liat kakak.”

“Dek...”

“Kenapa, kak?”

“Tadi om-nya kakak datang, dia bilang...” Gue atur nafas dulu.

“Dia bilang kalau suaminya mama itu rektor kampus kamu.” Jingga keliatan kaget banget.

“Terus kenapa, kak?” Jingga natap gue penasaran.

“Seungkwan...”

“Ah... Iya...”

“Jahat gak sih kalau kakak pilih buat diem aja?”

“Baru minggu lalu Seungkwan cerita ke kakak gimana stresnya dia selama ini. Kakak beneran gak tega liatnya, kakak pengen banget bantuin. Tapi kenapa harus gini sih? Kenapa caranya harus gini?”

Jingga ngusapin punggung tangan gue lagi karena gue yang kembali emosi.

“Kakak gak jahat kok, gak usah mikir gitu, ya, kak. Aku bukannya gak kasian sama Seungkwan, tapi ini juga bukan tanggung jawabnya kakak.” Bales Jingga sambil senyum.

“Kak, I believe you will make a wise decision.” Katanya lagi.

Gue diem, merenung. Kenapa hidup sebecanda ini, ya Tuhan.

“Makasih banyak, ya, dek.”

“Sama-sama, kak.”

“Udah malem ternyata, kamu masuk gih. Jangan lupa bersih-bersih dulu, terus tidur jangan kemaleman.”

Well noted, Kakak Shua.” Katanya sambil nyengir.

Jingga akhirnya masuk ke dalem kosannya. Gue segera jalanin mobil gue juga, balik ke kontrakan karena gue kira kontrakan bakal hening, tapi ternyata gue salah.

Udah tiga hari gue di Solo cuma buat ngurusin kantor cabang doang gara-gara humas disana gak ada yang bisa handle. Capek anjir tiga hari doang mah. Mending kalau naik pesawat, ini mah naik kereta, pegel gue. Ya untungnya sih kereta luxury, tapi tetep aja gue yang jompo ini males kalau cuma tiga hari, lama di jalan. Mana gue balik ke Padalarang lagi. Kalau bukan karena abang, gak mau gue balik, males.

Terserah dah mau bilang gue durhaka atau apaan. Tapi gue beneran sumpek banget tiap balik ke rumah. Gak ada yang perhatiin gue juga. Mungkin gara-gara itu kali ya gue capernya sama anak kontrakan, jailin mereka, ledekin mereka sampe kesel, tujuannya cuma buat caper karena selama ini gue gak dapetin itu dari nyokap gue sendiri. Tapi lagi, kontrakan juga lagi sepi, gue gak tau harus caper ke siapa lagi.

Ternyata gue sampe stasiun Kiara Condong jam setengah tiga, berarti sampe Padalarang bisa jam tiga atau setengah empat. Gue ngehembusin nafas. Panas banget ajig. Gue pengen cepet-cepet rebahan. Mana gue gak bawa motor lagi kan. Akhirnya gue pesen ojol. Agak dilema mau mobil apa motor. Kalau mobil gue bisa tidur dulu, karena pasti lama sampe ke Padalarang. Kalau naik motor nisa cepet sampe rumah. Tapi ujungnya gue naik motor, karena takutnya abang gue udah sampe rumah.

Jam empat lewat gue sampe rumah, untungnya abang belum sampe. Gue ngucap salam, nyokap gue nengok.

“Waalaikunsalam. Anak kedua ibu akhirnya pulang.” Gue cuma senyum aja.

“Abang belum sampe?” Tanya gue.

“Belum, katanya bentar lagi.” Gue cuma anggukin kepala.

“Han tidur, ya, bu. Masih capek dari Solo.” Izin gue.

“Kok tidur? Bantuin ibu beres-beres dulu, kan abang mau pulang.”

“Wooseok kemana? Suruh bantuin dong, Han capek banget, bu.”

“Wooseok lagi di kamarnya, udah biarin aja si bungsu.” Gue gak peduli, gue ke kamarnya terus liat adek gue itu lagi mainin hp.

“Lah abang? Kapan sampe?” Tanya dia.

Gue ngehelas nafas, nahan biar gak emosi. Gue beneran lagi capek banget. Gue bisa aja meledak saat ini juga kalau gue gak kontrol.

“Bantuin ibu dulu, gue mau tidur, capek dari Solo.” Suruh gue.

“Ngapain sih emang? Dari tadi perasaan beberes mulu.” Bales Wooseok. Oke, emosi gue udah lumayan naik.

“Bantuin doang apa sih susahnya? Lagian lu juga gak ngapa-ngapain.”

“Lu juga gak ngapa-ngapain kan?”

“Jangan sampe gue ngomong kasar.” Nafas gue udah mulai memburu, beneran emosi gue diuji banget.

“Han, udah biarin aja adeknya. Segitu gak maunya kamu bantuin ibu? Ya udah ibu sendiri aja.”

Dan disaat ini, gue gak bisa lagi ngontrol emosi.

“Bu, ibu tau gak sih kalau Jeonghan sakit hati sama ibu? Gak tau kan?” Nyokap gue keliatan kaget. Bodo amat dah, gue mau keluarin perasaan gue.

“Cuma karena ibu minta tolong aja kamu sampe marah gini?” Gue beneran marah banget dengernya.

“Bu, tau gak kalau Han gak pernah ngerasain perhatian ibu? Ibu selalu bilang Han harus ngehormatin abang, terus ngalah sama Wooseok, terus Hannya kapan? Kapan waktu Han buat seneng? Setiap pulang ke rumah, ibu gak pernah tub repot-repot masakin buat Han. Han capek juga apa ibu peduli? Nggak kan?” Dada gue sesek. Emosi gue udah gak bisa ditahan.

“Kayak sekarang, Han baru pulang dari Solo, capek, bu. Capek banget, Han cuma mau tidur, mau istirahat. Tapi apa? Ibu gak bolehin Han istirahat, sementara anak ibu itu gak ngapa-ngapain, ibu biarin aja? IBU TUH PILIH KASIH. HAN JUGA BISA CAPEK.”

Akhirnya amarah gue beneran keluar. Nyokap gue kaget ngeliat gue nangis. Iya, air mata gue jatuh. Sakit hati yang selama ini gue pendem akhirnya keluar.

“Setelah bapak gak ada, yang nanggung semuanya siapa? Jeonghan, bu. Jeonghan selesai kuliah nyari kerja, biayain ibu, abang, Wooseok padahal gaji Han juga waktu itu belum seberapa. Apa ibu pernah mikir itu? Nggak kan?” Gue tau gak seharusnya gue ngungkit hal kayak gini, tapi gue udah muak banget diperlakuin gak adil sama nyokap sendiri. Sakit hati banget.

“Jeonghan tiap pulang kerja pengen banget rasain dimasakin sama ibu, tapi emang bener, gak boleh berharap banyak, karena kalau gak kesampean sakit hati. Tapi lebih sakit hati lagi waktu tau ibu selalu repot masak buat Wooseok yang bahkan dia cuma pulang main doang, terus abang kalau pulang nyari kerja dulu juga ibu selalu masakin, nemenin, diajak ngobrol. Han? Gak pernah kan? Dimasakin aja pas Han minta tolong. Terus Han jadi berhenti minta tolong masakin lagi karena udah sakit hati sama ibu.” Gue narik nafas dulu, sesenggukan karena ternyata nyeri banget kalau diomongin gini.

“Waktu abang dapet kerja, ibu syukuran, ibu masak banyak, bangga-banggain abang. Tapi waktu Han, gak gitu. Ibu cuma bilang jangan lupain ibu kalau sukses. Asal ibu tau aja, Han gak akan lupa sama ibu, tapi ibu yang selalu lupa sama Han.” Nyokap gue juga ikutan nangis. Wooseok diem, nunduk. Dan gue baru sadar ternyata abang juga udah ada. Mungkin dia juga denger segala keluhan gue.

“Anak-anak kesayangan ibu udah kumpul, Han pamit dulu,takut ngerusak acara keluarga kalian. Assalamualaikum.” Gue ngehapus air mata gue dan ngelengos gitu aja setelah nepuk bahunya abang. Ada Dynar juga.

“Han...” Abang manggil gue.

“Gue gak bisa nemenin, Bang. Maaf.” Gue segera pesen ojol, dan pergi dari rumah tanpa ada tujuan yang jelas.

Gue menghela nafas setelah liat chat Kinan. Semoga aja Mingyu mau maafin gue setelah ini. Gue udah sedih banget sama suasana kontrakan yang sepi gini. Setiap masuk kontrakan, berasa asing banget. Biasanya mereka berisik sampe kedengeran tetangga, tapi sekarang hening banget. Sampe beberapa hari yang lalu, gue ngumpul sama bapak-bapak ronda, mereka nanya tumben kontrakan sepi, biasanya rame terus. Gue cuma jawab kalau anak kontrakan lagi pada sibuk kerja sama nugas.

Gue juga kalau balik ngantor biasanya ketawa sendiri, padahal baru depan pager, tapi udah ada aja yang bikin ketawa. Contonya si Uji yang ngejar Ochi sambil bawa gitar gara-gara gangguin dia lagi tidur. Atau gak Seungkwan Dino yang debatin kalau mereka gak suka satu sama lain. Ada aja dah pokoknya. Sekarang, mau balik malah males. Kadang gue kepikiran buat gak balik aja ke kontrakan, tapi takutnya di kontrakan ada apa-apa atau butuh sesuatu terus gue gak ada, gimana? Sebenernya anak kontrakan juga udah pada gede sih, bisa ngurusin urusan masing-masing, tapi gak tau kenapa gue selalu punya pikiran kalau gue pengen selalu bantuin mereka, entah itu cuma sekedar tempat mereka ngeluh, nangis, atau apapun itu, gue siap. Gue pengen jadi abang yang reliable buat mereka.

Gak kerasa, udah waktunya pulang. Gue ngehembusin nafas berat. Gue chat anak kontrakan udah pada makan apa belum, mereka bilangnya sih belum. Akhirnya gue mutusin buat beliin makanan aja, nyuruh mereka masak nasi.

Jam 8 malem, gue sampe kontrakan. Gue ngerutin dahi, kontrakan lumayan rame. Gue buru-buru parkirin motor dan tutup gerbang. Pas gue masuk...

“Mingyu?”

Iya, beneran ada Mingyu. Dia lagi ngobrol sama anak-anak kontrakan, cuma pake kaos ketekan sama celana jersey. Jujur, gue kaget banget.

“Gyu?” Dia cuma ngelirik gue.

Seketika hening. Semua anak kontrakan pada diem waktu gue masuk.

“AKHIRNYA, GUE LAPER.” Teriak Dikey sambil ambil makanan yang gue bawa. Gue ngebiarin Dikey ambil makanannya. Kepala gue tiba-tiba pening. Masih bingung banget sama semuanya.

“Makan dah yok, laper anjir. Nasinya udah mateng kan?” Gue udah gak tau siapa yang nyautin.

“Gue ke kamar dulu.” Mingyu pamit ke anak yang lain, terus ngelewatin gue gitu aja.

“Gyu.” Dia nengok.

“Gak makan?”

Sumpah gue beli lauknya pas, tapi beneran gak apa-apa banget kalau Mingyu mau ambil lauk gue. Beneran gak apa-apa, gue gak makanpun gak apa-apa.

“Udah.” Jawab dia terus naik ke atas dan masuk kamarnya.

“Ayok buru makan, bang.” Ajak Ochi.

Gue akhirnya duduk sebelah Ochi. Gue diem aja, gak ambil nasi, gak ambil piring. Masih kaget liat Mingyu di kontrakan. Lebih kaget lagi waktu dia mau jawab pertanyaan gue. Meskipun masih dingin, tapi demi apapun gue seseneng itu.

“Udah, gak usah dipikirin dulu si Mingyu. Bentar lagi juga baik itu anak.” Kata Dikey sambil ngunyah.

“Dia balik, Key?” Dikey anggukin kepalanya.

“Balik beneran, Bang. Kalem. Bajunya juga udah dibawa dari apartemen.” Jawaban Dikey bener-bener bikin gue kaget plus bahagia banget.

“Sumpah, Key?”

“BUSET, biarin gue ngunyah ngapa, Bang? Laper banget nih.” Gue cuma ketawa aja.

Walaupun Mingyu masih dingin sama gue, tapi gue harap dia pelan-pelan bisa maafin gue lagi dan mau ngobrol sama gue lagi, mau nerima gue lagi sebagai abangnya.

Panik sih ada, ya, pas liat baju gue di tas kok udah gak ada. Ternyata semuanya udah gue pake dan gue lupa belum dibawa ke laundry.

Biar gue kasih tau, gue nginep di kontrakan temen gue. Tapi gue pernah sih nginep di apartemen Bang Mingyu juga selama beberapa hari. Tapi capek soalnya jauh dari kampus, sementara gue bolak balik terus karena harus kuliah, terus rapat, ya gitu deh, namanya juga budak festival.

Akhirnya gue mutusin buat nebeng di kontrakan temen gue yang emang masih ada kamar kosong soalnya pemiliknya masih di kosan lama, belum pindah.

Tolong jangan tanya gue berapa lama gue belum balik ke kontrakan. Males juga ngitungnya. Tolong jangan tanya juga seberapa sering anak kontrakan chat gue buat suruh balik. Itu lebih gak keitung. Dan tolong banget jangan tanya bakalan berapa lama gue move on dari Kak Naya, dan sebel sama Bang Hao. Gak usah ditanya.

Di hari gue tau tentang itu dari nyokapnya Bang Hao sendiri itu hari dimana gue bener-bener muak. Selama ini gue gak tau apa-apa, kenapa gak bilang aja kalau emang mereka dijodohin? Gue jadi kayak orang goblok ngarep sama Kak Naya. Ya, walaupun gue sadar juga gue sama Kak Naya gak bisa barengan, tapi seenggaknya gue gak akan ngerasa sebego ini kalau Bang Hao atau Kak Naya ngasih tau gue. Gue ngerasa gak dibohongin, dimainin tau gak sih?

Dah ah, gue gak mau inget itu lagi, anjing.

Akhirnya udah jam 7 malem, waktunya kumpul. Tapi ya biasalah, namanya juga orang Indonesia, janjian jam berapa, datang jam berapa. Sejauh ini baru ada 10 orang di saung. Anak teknik kebanyakan balik jam segitu sih, mungkin lagi pada keluar. Bang Dikey juga belum keliatan.

“Bang Rico, kapan-kapan kumpul deket fikom kek.” Gue ngomong ke ketua pelaksananya. Kebetulan fikom sama fisip tetanggaan, bisa lah ya sekalian sama Bang Dikey.

“Ya gimana ya, kasian anak teknik, soalnya mereka kan pulang malem ya, kalau harus ke fakultas depan jauh.” Bener sih.

“Bener juga.”

“Lagian fikom jarang kan yang balik malem?”

“Sekate-kate lu, kalau maba mah sering anjir, soalnya sks masih banyak, kalau udah tingkat akhir sih iya, jarang banget yang sampe malem.” Jawab gue.

“Eh, Nay.” Gue mematung. Gak mau nengok. Tapi kalau gue gak nengok, bakal keliatan banget gak sih gue ada masalah sama Kak Naya?

“Hai, kak.” Panggil gue sebisa mungkin gue senyum walaupun cuma 1 cm aja.

“Eh, Hai Din.” Kak Naya bales senyum. Tapi kenapa matanya sedih? Dah dah, kagak usah dipikirin.

“Padahal gue yang manggil duluan, tapi yang disapa Dino doang.”

“Eh... Iya. Hai, Co.” Kak Naya duduk sebelah gue.

ANJING. Napa juga duduknya sebelah gue. Elah, masih mau mainin gue kah?

Bang Rico sama yang lain ngajak ngobrol-ngobrol sambil nungguin yang lainnya datang. Kebetulan hari ini rabes, karena acaranya tinggal dua minggu lagi.

“Malem, abang kakak, izin masuk forum.” Gue langsung nengok denger suara ngeselin. Dan lebih ngeselin lagi pas liat muka Bang Dikey cengar cengir.

“Suruh push up tuh, Bang. Telat.” Bang Rico mah ketawa-ketawa aja.

Karena ada kesempatan, gue segera samperin Bang Dikey biar bisa jauh dari Kak Naya, soalnya kalau tadi gue tiba-tiba pindah, kentara banget kita berdua ada masalah. Gue sebenernya tau sih, banyak yang ngomongin gue sama Kak Naya. Tapi ya walaupun udah pada tau, gue sebisa mungkin gak mau keliatan benci atau marah sama dia.

“Kak Artha hukum nih, Kak.” Kak Artha itu wakil ketua pelaksana yang kata Bang Dikey galak. Bang Dikey refleks nyubit lengan gue sambil senyum ke Kak Artha.

“Eh, Tha. Maaf maaf nih agak telat, disuruh Dino beresin kamarnya.” Gue langsung melotot ke Bang Dikey.

“Mampus.” Bisik Bang Dikey. Tapi Kak Artha cuma senyum tipis aja.

“Gue kira udah mulai.” Kata Bang Dikey.

“Belum, anak teknik banyak yang belum keluar. Paling setengah delapan, biasalah.” Bales gue.

“Tau gitu gue makan dulu anjir.”

“Iya juga, gue juga laper.”

Akhirnya rapatnya mulai jam 19:40. Kita semua dengerin arahan dari Bang Rico dan Kak Artha, plus sama kadiv-kadiv. Malem ini, kayaknya bakal sampe larut malem dah. Soalnya serius, kalau rapat biasa kadang masih sambil becanda, sambil ketawa-ketawa. Masalahnya, gue laper banget anjir.

“Din, nih.” Gue nengok ke orang sebelah gue. Dia nyodorin roti sobek.

“Eh dari siapa nih?” Tanya gue kaget.

“Dari Kak Naya.” Gue tadinya udah seneng dikasih roti, tapi gak jadi makan pas tau siapa yang kasih.

“Makasih, gue kasih Bang Dikey aja, gue gak laper.” Bohong lah, gue laper banget.

“Bang, nyoh. Berisik lu kalau lagi laper.” Gue ngasih rotinya, dan lanjut lagi dengerin Kak Artha yang lagi ngomong.

Gue gak bisa fokus. Lu paham kan rasanya ketika ada yang liatin lu. Pasti bisa ngerasa kan? Nah ini yang lagi gue rasain sekarang. Kerasa banget ada yang lagi liatin gue. Gue tau emang Kak Naya sering liatin gue, karena gue pernah gak sengaja mergokin dia. Gue cuek aja dan nyoba fokus walaupun sebenernya gak denger apaan yang diomongin Kak Artha.

Akhirnya rabes kelar di jam 11 malem. Anjir gue lemes banget, laper banget lah gue, tangan gue sampe gemeteran.

“Bang, mau beli makan dulu gak?” Tanya gue ke Bang Dikey.

“Ayok, anjir. Gue laper banget, roti doang mah kagak bisa ngeganjel perut gue yang selebar Anyer Panarukan enih.” Gue ketawa denger celetukan Bang Dikey.

“Makan dimana?” Tanya gue.

“Gue ngidam sate padang alun-alun.”

“Et dah, mau ngejablay, ye, ke alun-alun segala.”

“Emang mulutnya kudu gue sambelin.”

“Ayok dah.” Akhirnya gue setuju. Rame juga ke alun-alun malem gini. Sekitaran Braga, Asia Afrika, alun-alun tuh makin malem makin rame. Tapi ya rame dalam tanda kutip.

“Bentar bentar, Bang Ochi nelpon.”

“Ajakin aja makan, udah lama gue gak ketemu itu maung babakan siliwangi.”

Gue nungguin Bang Dikey nelpon. Gak tau kenapa mata gue bergerak gelisah. Nyari satu sosok yang sebenernya gak tau kenapa juga gue harus nyariin dia.

“Ayok dah, Bang Ochi mau kesana juga.”

“Sip dah.”

Akhirnya gue sama Bang Dikey jalan ke parkiran, terus langsung ke alun-alun yang cuma 15 menitan doang dari kampus.

Sesampainya disana, Bang Ochi udah sampe duluan ternyata. Katanya sih dia abis jalan sama Teh Aul, terus males balik ke kontrakan gara-gara sepi katanya, tadinya mau ngajakin Bang Dikey keluar, tapi ternyata emang Bang Dikey kagak di kontrakan.

“BUSET KEMANA AJA LU, TONG?” Kata Bang Ochi heboh.

“Anjir malu-maluin lu. Jangan sokap.” Tapi Bang Ochi gak peduli malah gebug lengan gue.

“Udah dipesenin belum? Laper anjir. Gue mau ngusulin kalau rapat jam 8 aja, jam 7 malah kelaperan.” Misuh Bang Dikey.

“Setau gue yang ngurus jadwal Kak Artha sih, bang.” Canda gue.

“Oke, gue diem.” Gue ketawa ngakak.

“Dari mana lu, Bang?” Tanya gue ke Bang Ochi.

“Noh, dari Kopi Djawa ama ayang beb.” Jawabnya sambil cengar cengir.

“Pantesan cepet banget.”

“Balik ngantor Teh Aul?” Tanya Bang Dikey.

“Heem, kangen pacar gagah katanya dia.” Jawaban Bang Ochi bikin gue sama Bang Dikey ngernyit. Najis. Iya itu arti tatapannya.

Setelah ngobrol-ngobrol, akhirnya sate padang kita datang. Gue sama Bang Dikey makan lahap banget, sampe ketupatnya Bang Ochi kita comot. Lagian dia bilang kalau dia udah makan.

“Buset, udah kayak bocah kagak makan satu windu.” Kata Bang Ochi.

“Sori deh, anak kepanitiaan nih.” Bales Bang Dikey.

“Seru kagak?” Tanya Bang Ochi.

“Seru sih, gue bisa belajar dari sini soalnya ya sesuai sama jurusan gue, lumayan buat CV.” Jawab Bang Dikey.

“Kalau gue masih semester awal mah gue ikutan juga dah.” Timpal Bang Ochi.

“Kata gue kita gak akan bisa serius.” Bales gue.

“Acara lenong anjir jadinya.” Kita bertiga ketawa.

Akhirnya sate padang kita semua udah abis. Tapi kita masih mager buat balik.

“Bang, numpang dulu, ye.” Kata Bang Ochi. Si abangnya juga cuek aja, lagian lagi kosong juga. Soalnya udah hampir jam 12 malem.

“Si Mingyu kayaknya bentar lagi balik dah.” Kata Bang Dikey buka obrolan.

“Udah dimaafin tuh Bang Seungcheol?” Bales Bang Ochi.

“Masih gedeg kayaknya, tapi dianya udah keburu seneng diterima Kak Kinan.”

“HAH?” Gue sama Bang Ochi refleks teriak sampe si abangnya kaget.

“Hampura, kang.” Bang Dikey senyum kikuk ke abangnya.

“Lah beneran tuh sama Kak Kinan?” Tanya gue.

“Kagak beneran. Apa ya... Kata dia sih trial.” Bang Ochi sampe keselek teh angetnya.

TRIAL, ANYING. ITU HUBUNGAN APA YOUTUBE PREMIUM?” Nah, reaksi gue udah diwakilin Bang Ochi

“Si Kiming minta ke Kak Kinan biar Kak Kinan fokus dulu sama Mingyu selama sebulan, kalau masih gak suka, ya udah dia ikhlas katanya.”

“Gue kira bakal sama mantan lu, Bang. Kemaren kan bucin tuh.” Bales gue.

“Emang manusia buaya. Gue waktu itu hampir gelut noh gara-gara itu.”

“Lah iya?” Jujur gue gak tau, tapi Bang Ochi juga ternyata sama aja gak tau.

“Iya, abis dia gelut tuh sama Bang Seungcheol, gue juga gelut sama dia. Gak gelut sih, hampir.” Bales Bang Dikey.

“Yah, kok hampir sih, kan gue mau liat juga kalian gelut.” Celetuk Bang Ochi.

“Dilerai ama si Hao noh. Kan dia sengaja nyewa villa, bilangnya cuma berdua aja gue sama dia, taunya ngajak si Kiming. Emang orang Batam seenaknya.” Tiba-tiba aja gue jadi males. Bang Ochi sama Bang Dikey juga diem aja.

“Lu kapan mau balik juga? Sepi anjir kontrakan. Gue pengen recokin lu lagi.” Gue diem aja selama beberapa menit.

“Gue tuh jadi kayak orang goblok.” Kedua abang gue itu langsung fokus ke gue.

“Selama ini gue suka sama Kak Naya, ngarep mulu, taunya dia dijodohin. Sama abang gue sendiri lagi.” Gue narik nafas dulu. Tiba-tiba aja gue ngerasa marah lagi.

“Yang bikin gue makin marah tuh, gak ada yang bilang sama gue. Lu tau kan, Bang? Kenapa lu gak ngasih tau?” Gue natap Bang Dikey.

“Sumpah, gue baru tau itu malemnya sebelum lu tau. Demi Allah dah, Din. Yang si Hao sewa villa itu emang sengaja biar gue sama Mingyu baikan, terus dia baru cerita malem itu kalau orang yang dijodohin si Naya. Mingyu juga baru tau. Sumpah dah.” Gue ngedengus kasar.

“Gue gak tau apapun sumpah, Din. Gue juga kaget pas dikasih tau nyokapnya si Hao kemaren itu.” Gue ngehembusin nafas kasar.

“Apa sih susahnya bilang ke gue? Emang sengaja ya mereka bikin gue keliatan kayak orang goblok? Kesel banget gue, anjing.” Setelah sekian lama gue pendem, akhirnya keluar juga ini rasa kesel gue.

“Kalau misalnya nunggu waktu yang pas, kelamaan, anjing, keburu ketauan juga ujungnya.” Bang Dikey sama Bang Ochi diem aja, ngebiarin gue ngeluapin emosi.

“Lagian gue juga udah niat bakal nyerah sama Kak Naya, tapi gak gini juga caranya, anjing.” Bang Dikey sama Bang Ochi refleks membelo matanya.

“Lah kenapa?” Tanya Bang Ochi.

“Kenapa lu bilang?” Tanya gue.

“Kenapa anjir? Gue gak tau alesannya.” Bang Dikey nengok ke arah Bang Ochi terus geleng-gelengin kepalanya.

“Tuhannya beda.” Jawaban gue bikin Bang Ochi nutup mulutnya.

“ANJIR! Kok bisa gue baru sadar?” Gue ngedengus sambil ketawa.

“Emang Allah kali, ye, yang bikin rencananya? Biar gue mantap buat nyerah sama Kak Naya. Langsung di ulti sama yang punya dunia.” Bang Dikey nepuk bahu gue.

“Gue awalnya mikir yang bahagia-bahagia aja selama deket sama Kak Naya. Gue bahagia banget tiap main bareng sama dia, ngobrol sama dia aja bikin gue deg-degan, pokoknya kayaknya versi paling bahagia gue tuh waktu gue bareng Kak Naya.” Kedua abang gue itu dengerin gue dengan serius.

“Gue gak suka liat dia sedih, gak suka kalau dia nangis. Tiap liat mukanya ketekuk, gue pengen jadi yang pertama tau alesannya, pengen jadi satu-satunya orang yang ngehibur dia. Sederhananya, gue pengen jadi tempat yang dia cari, yang dia butuhin.”

“Gue selalu mikir, gue pengen bareng terus sama Kak Naya. Gue gak rela buat lepasin dia.” Gue ngehembusin nafas panjang.

“Tapi emang gue yang terlalu naif, cuma mikir yang bahagianya aja sampe gue gak sadar kalau halangan buat gue sama Kak Naya itu gak akan pernah bisa ditembus. Gak ada jalan keluarnya. Buntu.” Suara gue bergetar waktu ngomong. Berkali-kali gue hembusin nafas panjang.

“Gue sempet mikir hal paling gak masuk akal. Kak Naya mau gak pindah? Bodoh banget, hal paling tolol yang pernah gue pikirin. Siapa gue berani disandingin sama Tuhannya?” Gue ketawa pahit. Emang itu adalah pemikiran paling tolol gue sekaligus paling egois.

“Sampe akhirnya gue tau kebenaran kalau Kak Naya mau dijodohin sama Bang Hao, disitu gue mikir kalau gue sama dia gak akan pernah jadi satu. Sampe kapan pun.”

“Orang bilang kenapa hubungan beda agama susah padahal dibantuin dua Tuhan. Nggak, anjing. Bukan dibantu dua Tuhan, tapi ditentang dua Tuhan. Tuhannya gue dan Tuhannya dia.”

Gue bisa ngerasain pandangan gue mulai burem dan panas. Hidung gue tiba-tiba berair.

“Emang udah saatnya gue nyerah, ya, Bang?” Gue natap kedua abang gue. Bang Ochi sama Bang Dikey natap gue. Bang Dikey ngusap bahu gue, sementara Bang Ochi ngusap kepala gue.

“Gak bisa dipaksain, ya, Bang?” Gue ngusap ujung mata gue.

“Kalau urusannya sama Pencipta mah bisa apa sih, Din?” Gue cuma diem aja denger balesan Bang Ochi.

“Udah saatnya, ya, gue sadar diri.” Ini gue ngomong ke diri sendiri.

“Semoga bisa banyak distraksi lah, ya. Biar lu gak mikirin terus.” Kata Bang Dikey.

“Kalau mau move on harus coba dari ikhlasin dulu, ya?”

“Iya, Din.” Jawab Bang Dikey.

“Jadi ini maksud Bang Hao dulu.” Bang Dikey sama Bang Ochi ngerutin dahi.

“Gue inget Bang Hao pernah nanya gimana rasanya kalau gebetan malah deketnya sama sahabat lu sendiri. Jadi ini maksudnya.” Bang Dikey sama Bang Ochi lirik-lirikan.

“Nawaitu dah gue.” Untuk ke sekian kalinya gue narik nafas panjang.

“Nawaitu ngelepas Kak Naya.” Hahay, sakit banget cuy abis ngomong begitu.

“Semangat dah, ya, gue doain lu bisa bahagia pokoknya, Din. Sedihlah kalau liat lu lemes gini.” Kata Bang Ochi.

“Iya, lu harus semangat, noh risol mayo masih banyak yang harus dijual.” Celetukan Bang Dikey bikin kita bertiga ketawa.

Ini perjuangan gue yang sebenernya. Perjuangan buat lupain dan ngerelain. Gue gak tau butuh waktu berapa lama, tapi semoga aja sebentar. Gue gak kuat kalau kelamaan. Doain gue, ya.

Sejak gue tau Rayn yang hamilin Teh Rea, gue bener-bener malu buat nampakin diri di kontrakan, apalagi kalau ketemu Bang Dikey, gue ngerasa bersalah banget. Gue pernah bilang ke Kak Oris, setelah kedua orang tua gue dan Sofia, anak kontrakan adalah orang-orang yang gue sayang, bahkan lebih dari keluarga gue yang lain. Gue sampe gak mau kalau anak kontrakan sedih. Walaupun gue emang keliatan cuek dan gak peduli, tapi gue selalu ikutan sedih kalau anak-anak kontrakan lagi ngalamin masalah ataupun hal yang gak ngenakin.

Dan sekarang, malah gue sendiri yang nyakitin anak kontrakan. Gue bikin Bang Dikey sedih. Mungkin pada bilang bukan salahnya gue, tapi pernah gak sih kalian mikir kalau Bang Dikey liat gue bisa aja jadi inget Rayn, terus sedih lagi karena kepikiran Teh Rea. Mungkin gue gak akan ngerasa sebersalah ini kalau Bang Dikey gak sayang sama Teh Rea, tapi ini tuh Bang Dikey bucin banget, sesayang itu dia sama Teh Rea, makanya gue tau walaupun dia haha hihi mulu, bilangnya gak apa-apa, tapi Bang Dikey tuh pasti masih sedih banget.

Pernah satu hari gue balik ke kontrakan buat ambil barang gue. Gue sengaja datang malem biar gak ketemu anak kontrakan yang lain, tapi yang gue temuin malah Bang Dikey lagi merenung di balkon. Gue bisa liat dari belakang kalau bahunya bergetar. Iya, gue yakin banget kalau Bang Dikey lagi nangis. Dan tiap kali inget itu, gue bener-bener ngerasa gue gak pantes nunjukin diri lagi di kontrakan, terutama di hadapan Bang Dikey.

“Bujang, siang bolong gini ngelamun aja.” Gue nengok ke arah Kak Oris.

“Mikirin cewek lain, ya, lu?” Gue ketawa aja denger candaan Kak Oris.

“Cewek yang gue tau aja cuma lu, Sofia, nyokap gue, sama gebetan-gebetan anak kontrakan, kak.”

“Ansos sih lu.” Bales Kak Oris sambil makan es krimnya.

“Oh iya, tadi ditanyain Hao.” Gue diem. Jujur, kangen sama anak kontrakan.

“Kenapa?”

“Nanyain kabar lu lah, bujang.”

Dari semua anak kontrakan, emang cuma Bang Hao yang gak pernah nanyain kapan gue mau balik. Mungkin dia paham sama perasaan bersalah gue.

“Oh.” Kita berdua sama-sama diem. Kak Oris asik abisin es krimnya.

“Lah tuh orangnya malah kesini.” Gue nengok ke arah pintu kantin. Ada Bang Hao nyamperin.

“Si Naya mana?” Tanya Kak Oris.

“Mana gue tau, lu temennya.” Bales Bang Hao.

“Lu kan tunangannya.” Gue keselek frestea pas denger celetukan Kak Oris.

“Lu tunangan, Bang?” Tanya gue kaget.

“Nggak anjir, asbun banget cewek lu.” Sangkal Bang Hao.

“Lah kan bener mau tunangan kata si Naya.”

“Gak usah ngomongin disini dah, Ris. Banyak yang kenal anjir, nanti pada gosip.” Kata Bang Hao bete. Kak Oris malah cekikikan.

“Duh susah emang temenan sama anak beken.” Ledek Kak Oris lagi.

“Le, gue pengen sentil cewek lu boleh gak sih?” Gue cuma ketawa aja.

“Belain gue dong. Bilang, 'kalau lu mau sentil Kak Oris, lewatin dulu mayat gue', gitu.”

“Keren lu bisa tahan sama model begini, Le.” Cibir Bang Hao.

“Lu tuh nyamperin kita cuma buat roasting gue apa begimana sih?”

“Mau ketemu cowok lu lah, udah lama gak ketemu.” Jawab Bang Hao, matanya langsung natap gue.

“Baik aja, Bang.”

“Lu masih nyewa apartemen?” Tanya Bang Hao.

“Iya, Bang.” Emang gue tinggal di apartemen selama ini, karena gak mungkin kalau gue numpang di Kak Oris. Kalau sama Rayn, gue masih marah sama dia.

“Sama aja kayak si Kiming.”

“Bang Mingyu belum balik-balik?”

“Paling bentar lagi dia balik. Lagi seneng kan tuh bocah gara-gara diterima Kak Kinan.”

“Hah?

“HAH?”

Gue sama Kak Oris refleks nimpaling barengan. Bedanya gue kalem kalau Kak Oris heboh.

“KOK BISA? ANJIR GUE UDAH DEMEN BANGET LIAT MINGYU SAMA BINAR.” Heboh banget kan ini cewek gue.

“Suara lu bisa gak sih dikecilin?” Sindir Bang Hao.

“KAGAK BISA, INI VOLUME NORMAL.” Gue cuma ketawa kecil.

“Emang Kak Kinan udah gak suka sama Bang Seungcheol?”

“Itu trial doang. Aduh anjir geli dah udah kayak spotify.”

Trial gimana sih anjir?” Tanya Kak Oris.

“Cobain dulu sebulan pdkt gitu, kalau Kak Kinan suka ya jadian, kalau setelah sebulan Kak Kinan masih gak suka, ya udah dia ikhlasin.” Gue ngerutin dahi. Ada ada dah anjir kelakuannya.

“Terus Binar gimana?” Tanya Kak Oris lagi.

“Otw balikan kali sama si Dikey.”

Gue tiba-tiba keselek pas denger nama Bang Dikey disebut. Bang Hao nengok.

“Bocahnya seneng-seneng aja kok, Le. Kemaren abis nginep sama gue di apartemen si Mingyu.” Gue cuma diem aja.

“Dia sekarang kalau ada apa-apa pasti ke Binar. Di kontrakan juga dia gak pernah sedih, atau nangis.” Gue masih diem. Gue pengen banget bilang kalau gue pernah mergokin Bang Dikey nangis, tapi gue milih buat tutup mulut aja.

“Dia juga sering nanyain lu ke gue soalnya kita sefakultas kan. Katanya pengen ketemu.” Gue nundukin kepala.

“Tapi kalau lu belum siap, gak apa-apa sih, gue paham rasa bersalah lu.” Gue cuma anggukin kepala.

“Tapi si Rayn mau tanggung jawab gak?” Kak Oris ngelirik gue pas denger pertanyaan Bang Hao, karena emang dia juga gak pernah nanya-nanya tentang itu. Dia paham kalau dengan dia nanya, gue bisa kepikiran terus.

“Gimana, ya, Bang? Kalau Rayn nikahin Teh Rea, nanti gue makin malu ketemu Bang Dikey.” Akhirnya gue jujur apa yang jadi pikiran gue selama ini.

“Kenapa lu mikir gitu?” Tanya Bang Hao.

“Ya kan gue sama Rayn sepupuan, kalau Rayn nikah sama Teh Rea, nanti tiap liat gue malah keinget gimana?” Jawab gue. Bang Hao hembusin nafas.

“Menurut gue malah kebalik.” Bang Hao keliatan serius.

“Nih ya, si Dikey kenapa masih terikat sama Rea, karena Rea selalu minta tanggung jawab ke Dikey, kemaren dia baru ketemu sama Rea, masih mohon-mohon biar Dikey mau nikahin dia, dan Dikey masih aja ketemu sama Rea karena apa? Ya karena Rea masih belum ada ikatan juga sama Rayn. Kalau Rayn mau nikahin Rea, mungkin bakal lebih gampang buat Dikey ngelepas, soalnya yang dipikiran si Dikey tuh cuma satu, siapa yang mau jagain Rea sama anaknya kalau Rayn gak mau tanggung jawab.” Jawaban Bang Hao bikin gue makin dilema.

“Hah demi apaan anjrit itu ceweknya berani buat ngajak ketemu?” Kak Oris kaget banget dengernya.

“Beneran, baru aja kemaren.”

“Sinting anjir.”

“Eh boleh gak sih ngumpat sama bumil? Gue kesel banget pengen kepret bolak balik.” Bang Hao malah ketawa dengernya.

“Rayn pernah jengukin Rea gak sih?” Tanya Bang Hao lagi.

“Gak tau, Bang. Gue udah gak pernah kontakan sama dia.”

“Coba deh lu ketemu dia. Bujuk dia biar mau nikahin Rea, gue gak tega kalau Dikey yang ngerelain dirinya buat nikahin Rea.”

“Setuju, gue mau bikin petisi jauhkan Rea dari Dikey.”

“Atau kalau lu bingung, bawa dah tuh si Teh Audrey. Lancar dia mah ngomongnya.”

“Maksud lu, laki gue kagak bisa ngomong?” Canda Kak Oris.

“Laki lu kan robot berbicara.” Jawab Bang Hao.

“Bener sih, lebih aktif pou dari pada Vernon.” Bang Hao ketawa lagi denger candaan Kak Oris. Cuma gue aja yang gak bisa ketawa. Kalau keadaannya gak rumit gini, mungkin gue juga bakal ketawa.

“Dah ya, gue ada kelas. Pikirin dah omongan gue tadi. Duluan, ya.” Bang Hao akhirnya pergi dari kantin.

“Mau makan gak?” Tanya Kak Oris. Gue gelengin kepala, setelahnya natap Kak Oris.

“Kepikiran kata Hao?” Tanyanya. Dia emang paling ngerti, dan gue anggukin kepalanya.

“Mau ketemu Rayn? Mau sendiri atau mau gue temenin?” Tanya Kak Oris.

“Gue gak mau lu denger gue marah-marah, kak.” Kak Oris ngangguk.

“Mau kapan kesananya?”

“Sekarang.”

“Ya udah kalau gitu, hati-hati, ya. Kalau ada apa-apa, ya jangan sampe lah. Tapi ya kalau lu butuh telinga tuk mendengar, bahu tuk bersandar, raga tuk berlindung, ya itu mah minta aja ke Fiersa Besari.” Gue terkekeh dengernya. Emang Kak Oris bisa banget bikin gue lupa sejenak sama masalah yang ada di kepala gue.

“Gue pergi dulu, ya, kak.” Kak Oris ngangguk, dan gue segera pergi.

Selama di jalan, gue beneran mikir kalau omongan Bang Hao ada benernya. Selama Rayn gak kasih ikatan ke Teh Rea, pasti Bang Dikey yang bakal terus direpotin. Gue gak mau Bang Dikey sama Teh Rea. Bang Dikey udah terlalu banyak berkorban, udah terlalu banyak sakit sama Teh Rea. Gue gak mau Bang Dikey sedih karena harus berakhir hidup sama Teh Rea.

20 menit, gue sampe di apartemen Rayn. Gue segera naik ke lantainya dan ngetuk pintunya begitu sampai. Selama lima menit gue ngetuk, gak ada jawaban sama sekali. Gue gedor pintunya makin keras, mungkin saking kerasnya sampai tetangganya Rayn keluar.

What's happened?” Orang itu nanya gue setelah ngeliat wajah gue. Gue mau bales pake Bahasa Indonesia, takut dia malu. Ya udah gue pake inggris juga.

Do you know where the boy of this apartment is?

Are you Rayn's family?” Gue cuma ngangguk, sedikit kaget karena dia tau nama sepupu gue.

You don't know? He was already back last night. Are you didn't get any notify from him?” Gue ngerutin dahi saking kagetnya.

Back? To US?” Gue memastikan.

Yeah, he doesn't have a house in Indonesia, right?

Seketika kepala gue pusing, dada gue nyeri. Gue bener-bener pengen teriak saat ini juga. Stres banget. Harusnya dari kemaren gue samperin Rayn. Harusnya gue suruh dia tanggung jawab, bukannya malah diemin dia sampe hal ini terjadi. Gue bener-bener putus asa banget.

Di motor, gue sedikit meleng. Sampe lampu udah berubah hijau aja, gue gak maju dan berakhir dengan klakson-klakson memekakkan telinga. Gue bingung harus kemana. Harus ngadu ke siapa. Untuk pertama kalinya gue pengen nangis setelah entah berapa tahun yang lalu gue keluarin air mata. Gue beneran gak sanggup buat ketemu Bang Dikey dan anak kontrakan. Gue takut sama kemungkinan kalau mereka bakal benci sama gue. Gue takut mereka ngejauh. Gue gak tau harus apa.

“Dibilang kan kalau ada apa-apa tuh telpon gue.” Gue nengok ke belakang, dan ternyata disana ada Kak Oris.

“Iya, gue ngikutin. Gue gak ikut lu ke atas kok, gak denger apapun. Gue nunggu depan apartemennya.” Kak Oris duduk di sebelah gue.

“Nih minum dulu.” Dia sodorin air mineral tapi gue gelengin kepala.

“Rayn gak ada?” Gue nengok.

“Gak denger tenang. Gue cuma nebak karena lu sebentar banget mampirnya, dan muka lu makin kusut.” Gue ngehembusin nafas panjang.

“Kak, gue harus gimana? Gue gak berani ketemu Bang Dikey.” Kak Oris cuma ngeliatin gue aja.

“Gue setakut itu dijauhin sama anak kontrakan, Kak. Mereka kayak keluarga gue sendiri. Gue harus gimana?” Kak Oris masih diem.

“Gue marah banget sama Rayn, tapi gue lebih marah sama diri sendiri. Gue dari kemaren diem aja, gak ngelakuin apapun, buat mikir apa yang kata Bang Hao aja gue gak mampu. Gue bego banget, kak.” Nafas gue makin memburu. Kak Oris ngusap-ngusap punggung gue, dan itu malah bikin dada gue tambah sesak.

“Gue yakin mereka gak kayak apa yang lu pikirin. Gue bahkan gak pernah ngeraguin persahabatan kalian sama sekali. Menurut gue, Dikey ataupun anak kontrakan lain gak ada pikiran buat jauhin lu.” Kata Kak Oris.

“Kenapa lu bilang gitu?”

“Lu sendiri yang bilang, Dikey selalu ngechat lu kan, nanyain kabar lu, anak kontrakan yang lain juga kan? Lu selalu laporan ke gue tiap mereka chat lu. Dan gue rasa mereka semuanya tulus. Gak ada yang mikir hal jelek tentang lu. Dan gue yakin banget mereka gak akan pernah mikir kalau kejadian Rea sama Rayn ini salah lu.”

“Vernon.”

Kak Oris serius kalau udah manggil gue pake nama. Gue natap Kak Oris.

“Lu mau nyusul ke US?” Gue sedikit kaget sama pertanyaan Kak Oris.

“Kalau lu mau ikutin kata-katanya Hao, lu susul ke US, omongin semuanya, kalau bisa sama keluarganya.” Gue masih diem dengerinnya.

“Lu mau kan Dikey lepas dari bayang-bayang Rea?” Gue anggukin kepala.

“Susul, Ver. Susul ke US.”

Gue diem dan akhirnya anggukin kepala. Kak Oris senyum.

“Nah gini dong, lakik gue jangan banyak pikiran, mending pikirin gue.” Gue senyum kecil.

“Makasih, ya, kak.”

“Cium kali kalau makasih.”

Gue kecup puncak kepala Kak Oris sekilas.

“ANJRIT.” Kak Oris melotot.

“Duh gue anak gaul, tapi tetep aja kalau gue yang dicium dag dig dug serrr, padahal cuma di kepala.”

“Maunya dimana emang?”

“BALIK SEKARANG JUGA.” Gue ketawa aja.

“Sini gue aja yang bawa.” Kak Oris langsung ambil kunci motor gue dari saku celana, dan dia segera nyalain motor gue.

“Lu tadi kesini naik ojol, kak?” Tanya gue sambil naik motor. Gue nurut aja dibonceng Kak Oris.

“Iya lah, masa balik dulu ke kosan ambil motor? Soalnya tadi berangkat bareng si kucing garong.” Gue ketawa, emang Kak Oris manggil Kak Naya tuh kucing garong.

Akhirnya gue pulang dibonceng Kak Oris.