setetesmatcha

Perpustakaan

Tepat pukul 2 siang, kelas selesai. Dirapikannya pulpen dan binder yang berserak di atas kursi. Seperti biasa, Wonwoo lebih suka menunggu seluruh teman kelasnya keluar, hingga tersisa dia seorang, baru ia akan keluar. Diliriknya ponsel yang bergetar karena notifikasi. Beruntung ia hanya sendiri, jadi tidak perlu takut ada yang melihat isi notifikasinya yang mana berasal dari dosen sekaligus kekasihnya itu. Sudut bibirnya naik, jarinya dengan cepat membalas pesan Mingyu lalu dengan terburu-buru, Wonwoo memasuki elevator yang kosong.

Ruang meeting perpustakaan disana masih kosong. Wonwoo segera masuk dan menyimpan tasnya. Tidak ditemukan tanda Mingyu selain jejak parfumnya yang masih tertinggal dalam ruangan beserta tas.

“Loh udah datang.” Wonwoo berbalik dan disana ada dosennya dengan secangkir kopi.

“Mau.” Wonwoo mengambil kopinya dan menyesapnya. Sementara sang pemilik kopi hanya terkekeh.

“Diambilin gak mau.”

“Kan nanti yang lain pada nanya, 'Wonwoo ngopi bareng sama Pak Mingyu?', males nanti diomongin satu jurusan lagi.” Kekehan keluar lagi dari bibir Mingyu.

“Lagian kenapa sih orang-orang suka banget gosip? Apalagi kalau masalah kamu kayaknya gercep banget.”

“Gosip apa sih, sayang?” Wonwoo melotot, dia takut ada yang mendengar.

“Kan kedap suara.”

“Ya, tapi tetep aja! Gimana kalau ada yang tiba-tiba masuk?” Wonwoo cemberut kesal.

Mingyu menyimpan kopinya di meja, dan dengan cepat menyudutkan Wonwoo ke pintu sambil mengusap bibirnya.

“Mas, serius di perpustakaan?” Bisik Wonwoo.

Hanya senyuman yang menjadi balasan Wonwoo. Dalam jarak sedekat ini, keduanya bisa saling menghirup aroma khas yang menguar dari masing-masing tubuh. Aroma buah persik manis dan memabukan dari Wonwoo, bercampur dengan aroma woody yang maskulin dan kalem dari Mingyu.

Keduanya terdiam cukup lama. Kedua netra mereka bersibobrok, enggan melepas. Subjek di depan mereka lebih menarik dibandingkan apapun yang ada di ruangan itu. Deru nafas mereka yang teratur mulai sedikit memburu. Bibir yang awalnya terkatup kini sedikit terbuka. Pandangan yang awalnya berfokus pada manik masing-masing kini turun menyusuri ranum yang sudah menjadi candu bagi keduanya.

Tangan Mingyu terulur, mengusap pipi Wonwoo dengan ibu jarinya, lalu menyapu bibir merah muda Wonwoo yang selalu terasa manis. Ditariknya pinggang ramping Wonwoo. Dinginnya AC dalam ruangan terkalahkan dengan tensi yang cukup panas meskipun bibir keduanya tidak mengucap sepatah katapun. Mereka berbicara lewat tatapan.

They know they desire each other.

Please.” Bisik Wonwoo. Senyum tipis terukir di bibir Mingyu.

Dan sekon selanjutnya, ada Mingyu dan Wonwoo yang saling memagut, menyalurkan hasrat mereka. Lumatan demi lumatan mereka lakukan hingga menciptakan suara kecipak yang cukup kencang. Gigi taring Mingyu menggigit ujung bibir Wonwoo hingga mulut lelaki itu terbuka. Lidah mereka saling bertaut, memilin satu sama lain hingga mencipta benang tipis saat mereka melepasnya.

Keduanya kembali saling menatap dengan mata sayu. Mingyu menggendong Wonwoo tak sabaran. Ia kembali melumat bibir lelaki manisnya dengan kaki yang berjalan mundur hingga ia duduk di atas meja perpustakaan dengan Wonwoo yang duduk di atas pahanya.

Tangan kekar Mingyu mendekap tubuh Wonwoo semakin erat, melingkar di pinggang rampingnya lantas mengusapnya dengan pelan namun penuh sensualitas.

Tok tok tok

Refleks, keduanya melepas pagutan. Wonwoo segera turun dari paha Mingyu, membersihkan sisa saliva yang berceceran di sekitar mulu dan dagu. Kemudian ia segera membuka laptopnya dan memakai earphone. Sementara Mingyu dengan tenang membuka laptop dan membenarkan kacamatanya.

“Masuk.” Ucap Mingyu.

“Udah mulai, Pak?” Tanya salah satu mahasiswa disana. Ada Joshua juga yang baru datang. Mingyu tersenyum sambil menggelengkan kepalanya.

“Belum, masih ada 5 menit lagi. Kayaknya lagi pada makan, ya?”

“Iya, Pak. Pak Mingyu udah makan? Mau saya beliin makanan dulu gak, Pak?” Mendengarnya, Mingyu hanya tersenyum dan kembali menggeleng. Sementara sosok kekasihnya hanya memutar bola matanya malas, Wonwoo sudah terbiasa mendengar ucapan-ucapan genit dan rayuan menyapa rungunya saat para mahasiswa bertemu Mingyu. Joshua melirik Wonwoo dan mengulum bibirnya menahan tawa. Iya, hanya Joshua satu-satunya orang di kampus yang mengetahui hubungan mereka.

“Gak usah, tadi saya udah makan buah.” Jawaban Mingyu membuat Wonwoo heran, pasalnya kekasihnya itu hanya meminun kopi, tidak ada buah sama sekali disana.

“Buah apa, Pak?”

Peach.” Wonwoo yang tadinya diam langsung tersedak lalu terbatuk cukup kencang dan segera izin keluar untuk membeli minum.

“Abis mesum, ya, lu berdua?” Tanya Joshua yang ternyata menyusul Wonwoo.

“Abis ciuman. Lu gak liat bibir gue bengkak?” Ujar Wonwoo.

“Tahan kenapa sih?”

Adrenaline rush.” Jawaban Wonwoo membuat Joshua menatap Wonwoo tak percaya, sementara Wonwoo terkekeh.

“Gak tau tuh, dosen lu ada-ada aja. But that sounds challenging and hot, right?” Kekeh Wonwoo.

Gosh, why should I know about your relationship and all of your dirty TMI.” Wonwoo tertawa mendengarnya.

“Kenapa?”

“Mau juga.” Tawa Wonwoo semakin kencang.

“Udahlah yuk, balik lagi. Udah mulai pasti, gue gak mau terakhir, pasti kalian mesum lagi.” Joshua berjalan terlebih dahulu, diikuti Wonwoo yang tertawa.

“Wonwoo, mau duluan?” Tanya seseorang.

“Gak apa-apa, gue masih ada yang kurang. Duluan aja.” Balas Wonwoo.

Bohong, padahal Wonwoo ingin menundanya hingga urutan terakhir, berniat untuk melanjutkan kegiatannya tadi dengan si dosen.

Wonwoo memperhatikan Mingyu yang menurutnya sangat menawan dengan kemeja fit body-nya dan bagian lengan yang digulung lengkap dengan kacamatanya terutama saat ia sedang menjelaskan kepada mahasiswanya. It's very hot of him.

“Landasan teorinya ditambah, ya. Kan IMC ada banyak, jabarin aja, tapi fokusin di promosi, soalnya— Ehm...” Mingyu berdehem saat merasakan kaki Wonwoo di bawah sana menggerayangi pahanya. Mingyu melirik ke arah Wonwoo, sementara kekasihnya itu sedang berpura-pura melihat layar laptopnya.

“Soalnya advertising bagian dari— Ehm... Promosi.” Mingyu mengatur nafasnya yang semakin berat saat merasakan kaki Wonwoo semakin naik hingga menyentuh selangkangannya. Dosen muda itu meneguk salivanya sendiri. Joshua yang menyadari ada sesuatu yang aneh dari kedua temannya itu hanya menggelengkan kepalanya.

“Wonwoo, ayok giliran kamu.” Wonwoo sedikit tersentak kaget saat namanya dipanggil.

File kamu gak bisa dibuka di laptop saya. Coba saya liat dari laptop kamu aja.” Wonwoo menatap Mingyu cukup lama, kemudian ia pindah duduk, yang semula saling besebrangan, kini saling bersebelahan.

“Variabel Y-nya jadinya Purchase Intention, ya?”

“I—ya...” Wonwoo menatap Mingyu sebal karena pahanya diremas.

“Coba saya mau liat dari bab satu kamu, soalnya kamu paling siap buat sempro, jadi saya mau make sure semuanya.” Wonwoo tau jika itu hanya akal-akalan Kim Mingyu saja, karena sebenarnya bab 1 hingga bab 3 miliknya sudah selesai dan sudah direvisi oleh Mingyu sendiri semenjak beberapa hari yang lalu.

“Kayaknya kurang definisinya, coba kamu cari lagi.”

“Definisi ap—a... Ehm?” Wonwoo dengan susah payah menahan lenguhannya saat jemari Mingyu diam-diam menelusup kaos oversized-nya dan mengusap perutnya dengan sensual.

Word of mouth-nya, terus sekalian kasih screenshot dari cuitannya, ya.”

“Sekarang, Pak?”

“Iya dong, Wonwoo. Biar sekalian saya liatin.” Mingyu tersenyum lembut, berbeda dengan gerakan tangannya di bawah sana.

Jarak mereka sangat dekat, apalagi saat Mingyu mencondongkan tubuhnya ke arah Wonwoo dengan sengaja. Wonwoo dengan sabar mencari penelitian terdahulu sembari menggigit bibirnya sendiri, menahan agar tidak ada suara aneh yang keluar dari bibirnya. Netra Mingyu ikut menatap layar laptop Wonwoo, sementara tangannya yang tersembunyi sedang asik mengusap paha Wonwoo lalu meremasnya.

“Ehm.” Wonwoo berdehem saat Mingyu meremas bokongnya dengan cukup kuat lalu mengusapnya.

“Pak, coba dicek.” Mingyu melirik Wonwoo lalu satu tangannya sibuk menggulirkan kursor, sementara tangan lainnya masih asik mengusap paha Wonwoo. Namun kali ini Wonwoo juga mengikutinya. Wonwoo dengan wajah datarnya menatap layar sementara tangan satunya mengusap gundukan milik Mingyu dan sukses membuat Mingyu berjengit.

“Sud—ah bagus, Wonwoo. Besok kamu bi—sa daftar sempro.” Ucap Mingyu terbata karena Wonwoo asik meremas gundukannya.

“Terimakasih, Pak.” Wonwoo tersenyum lalu kembali ke kursinya semula, bersebrangan dengan Mingyu.

Dua jam berlalu, akhirnya bimbingan selesai. Hanya tersisa Wonwo, Mingyu, dan Joshua.

“Kalian tuh bisa gak sih gak bikin orang pengen?” Wonwoo dan Mingyu tertawa renyah mendengarnya.

“Joshua, saya boleh minta tolong? Tolong pulang.” Joshua membelakakan matanya mendengar permintaan Mingyu.

“Gak mau, mau disini.”

Then, enjoy watching us, and you'll get hard down there, baby.” Kekeh Wonwoo.

You both really want to do this here? For real?” Mingyu dan Wonwoo saling menatap lalu kembali menatap Joshua dan mengangguk.

You both are crazy.” Joshua mengambil tasnya lantas melangkahkan kakinya keluar ruangan tersebut. Mingyu mengunci pintunya, ia melirik arloji yang dia pakai. “15 menit lagi waktunya.” Ujar Mingyu, dan tanpa aba-aba ia kembali memangku Wonwoo dan duduk di atas meja.

Bibir mereka kembali bertaut, rasa mint yang berasal dari permen yang berada dalam mulut Wonwoo menyebar. Dengan lihai, Wonwoo mengopernya ke dalam mulut Mingyu. Mingyu mengulum permennya bersamaan dengan lidah Wonwoo. Kini permen itu bergantian berpindah dari satu mulut ke mulut lainnya hingga permen tersebut terkikis habis.

Mingyu meremas bokong Wonwoo membuat lelakinya itu melenguh ditengah cumbuan mereka. Mingyu melepas pagutan bibir mereka, lalu memasukan satu jarinya ke dalam mulut Wonwoo. Lelaki yang lebih muda dengan senang hati memasukkannya, menjilatnya hingga basah.

“Pinter.”

Entah mengapa, ucapan itu malah membuat libido Wonwoo semakin naik. Mingyu menelusupkan tangannya ke dalam celana Wonwoo. Jemarinya bergerak dengan lihai mencari liang kenikmatan Wonwoo.

“Pak— Hhh.” Lenguh Wonwoo saat ujung jemari Mingyu memasukinya. Mingyu menatap Wonwoo dingin, ia menekan rahang Wonwoo lalu berkata dengan rendah.

“Bapak?” Ucap Mingyu dengan satu alisnya yang terangkat.

“M—mas... Maaf.” Mingyu tersenyum puas.

“Sekarang aja, ya?”

Yes, please. I want you to fill me.” Wonwoo menatap Mingyu dengan sayu, ia sudah dikuasai nafsunya.

Let me fill you till our legs are shaking.” Bisik Mingyu rendah tepat di sebelah rungu Wonwoo.

Dengan cepat Mingyu melepas celana milik Wonwoo dan miliknya. Mingyu membalikan tubuh Wonwoo hingga membelakanginya. Dengan tergesa, ia mengambil lubrikan yang berada di tasnya dan mengoleskannya.

Mingyu mengocok penisnya dengan cepat, setelah kejantanannya itu mengeras, ia segera mengarahkannya ke lubang Wonwoo, menggesekkan kepalanya dengan lubang, lalu melesakkan setengah.

“A—ah...” Lenguh Wonwoo. Cengkramannya pada meja semakin erat. Detik selanjutnya, Mingyu menghentak seluruh penisnya dengan kuat hingga terbenam dalam anal Wonwoo.

“Mas Gyu— You're so big.” Wonwoo memejamkan matanya merasakan liangnya yang terasa sangat sesak namun nikmat.

Mingyu mencengkram pinggang Wonwoo dengan kuat, dan ia mulai menggerakkan pinggulnya dengan tempo sedang karena batangnya yang diremas kuat oleh dinding anal Wonwoo. Erangan demi erangan keluar dari bibir keduanya. Cengkraman semakin kuat kala Mingyu menggenjotnya semakin cepat dan dalam, mencipta suara nyaring yang berasal dari kulit mereka.

FUCK— You're so tight.” Mingyu melempar kepalanya ke belakang dengan netra yang terpejam menikmati setiap pijatan yang diberikan lubang Wonwoo pada penisnya.

“Mas Gyu— Kamu jago banget, Mas.” Mendengarnya, Mingyu menghentak dengan sangat kuat hingga tubuh Wonwoo bergetar dan membuat jeritan kenikmatan yang memenuhi ruangan tersebut.

Peluh membasahi pelipis Mingyu, tanpa henti ia menumbuk lubang anal Wonwoo, membuat lelaki di bawahnya itu menggeliat nikmat. Penisnya terasa semakin membengkak di dalan sana, urat-uratnya semakin menegang menggesek dinding anal Wonwoo.

“Ada orang?” Mingyu dan Wonwoo refleks menghentikan kegiatan mereka. Pintunya kembali diketuk. Wonwoo meremas bajunya, takut jika kegiatannya tertangkap basah oleh orang lain. Di tengah rasa khawatirnya, Mingyu malah dengan keras menyentak penisnya hingga membuat tubuh Wonwoo terdorong dan bergetar.

“M—mas, ada o—orang, ahh. T—takut ketauan, Mas. Hhh...” Wonwoo berucap dengan susah payah karena Mingyu yang tidak hentinya menggenjot lubangnya semakin kasar.

“Mereka gak bisa denger, sayang. Biarin aja, waktu kita cuma sedikit. Ahh—” Cengkraman Mingyu pada pinggang Wonwoo makin kuat. Ia menjambak rambut Wonwoo hingga kepalanya sedikit menoleh.

“Bergerak, sayang.” Mingyu dengan kencang menampar pantat Wonwoo hingga meninggalkan jejak merah.

“Jangan buang-buang waktu.” Bisik Mingyu.

Wonwoo menuruti perintah Mingyu, ia memutar pinggulnya, bergerak berlawanan arah dengan penis Mingyu. Bibirnya tak berhenti mengeluarkan racauan penuh nikmat. Penisnya juga sudah basah karena cairan precum yang keluar sedari tadi.

“M—mas, I wanna cum.” Racau Wonwoo.

Tangan Mingyu dengan cepat menarik pinggang ramping Wonwoo menjadi duduk di membelakanginya. Dengan posisi ini, Wonwoo dapat merasakan jika penis Mingyu memasuki liangnya semakin dalam membuat tubuhnya membusur menikmatinya.

Mingyu membantu Wonwoo mengocok kejantanannya yang sudah berdiri dengan sempurna, membuatnya pening saking nikmatnya. Penisnya berkedut saat Mingyu meremasnya dan menekan pinggulnya sangat dalam, hingga Wonwoo mengeluarkan putihnya, membasahi tangan Mingyu dan lantai perpustakaan.

Wonwoo yang merasa lemas menyandarkan punggungnya ke dada bidang Mingyu yang masih sibuk mencari puncaknya. Mingyu membiarkan Wonwoo bersandar, sementara ia terus menekan penisnya memasuki titik terdalam anal Wonwoo.

Move your hips.” Titah Mingyu dengan rendah. Wonwoo menurutinya, ia memutar pinggulnya, bergerak maju mundur. Mingyu mengerang hingga seluruh urat lehernya menonjol. Mendengar erangan Mingyu, Wonwoo semakin liar menggerakan pinggulnya, bisa ia rasakan penis Mingyu yang berkedut hebat, membuat liangnya semakin penuh dan sempit.

Mingyu mencengkram pinggang Wonwoo dengan kuat, kemudian ia mengangkatnya sedikit dan detik berikutnya dihentaknya dengan kuat lubang kenikmatan Wonwoo hingga lagi-lagi membuat lelaki yang lebih muda itu menjerit nikmat. Mingyu mengeluarkan cairan putihnya.

“Ahh!” Erang Mingyu, menikmati cairannya yang menyembur di dalam lubang Wonwoo hingga sedikit merembes melewati selangkangan Wonwoo.

Ia kembali menarik pinggang Wonwoo agar ia kembali bersandar di dadanya.

Mingyu mengecup pelipis Wonwoo. Nafas mereka memburu. Wonwoo memejamkan matanya, sungguh 15 menit yang sangat menyenangkan dan menegangkan. Wonwoo mendongakan kepalanya, Mingyu tersenyum kemudian mengecup bibir Wonwoo berkali-kali.

“Mas, I never told you before, but you're really hot when you curse in the middle of our activity, and it arouses me so much.” Mingyu terkekeh dan kembali mengecup bibir ranum Wonwoo.

“Kok bisa gitu?” Tanya Mingyu.

Perhaps because you never curse. You only curse when we are having sex.” Balas Wonwoo.

“Pak? Pak Mingyu? Maaf udah selesai sesi, ada yang mau pakai ruangannya.” Wonwoo berjengit. Ia segera melepas penis Mingyu dan mencari celananya yang tadi dilempar sembarang.

Mingyu juga memasang celananya kembali, lalu mengambil tisu dan membersihkan sisa-sisa cairan cinta mereka yang berceceran di lantai dan sedikit di meja. Mingyu terkekeh melihat Wonwoo yang panik. Selama ia mengenal Wonwoo, ia belum pernah melihat kekasihnya itu panik. Mingyu membantu membenahi barang Wonwoo. Memasukan laptopnya ke dalan tas, memakaikan kacamatanya dan merapikan rambut Wonwoo yang berantakan. Terakhir, Wonwoo menyemprotkan parfumnya ke ruangan itu karena ada aroma khas air mani yang mengisi ruangannya meskipun tidak terlalu kentara.

Setelah keduanya terlihat rapi, mereka berdua segera keluar, dan disana ada penjaga perpus. Mingyu tersenyum ramah, sementara Wonwoo hanya meliriknya.

“Maaf pak, tadi saya ketiduran nungguin mahasiswa saya yang ini ngerjain revisinya.” Ucap Mingyu ramah.

“Gak apa-apa, Pak.”

“Ya udah, makasih, Pak. Saya pulang dulu.” Mingyu berpamitan dan berjalan ke arah parkiran dimana Wonwoo sudah menunggu di dalam mobilnya.

“Gak nanya apa-apa kan?” Tanya Wonwoo. Mingyu tersenyum lalu mencuri kecup dari bibir Wonwoo.

“Bapak! Masih lingkungan kampus!”

Mingyu malah menghujani Wonwoo dengan ciuman dan membuat lelaki bermata rubah itu memukul bahunya.

I love you.” Ucap Mingyu dan menciun bibir Wonwoo cukup lama. Rona merah tak dapat disembunyikan dari wajah Wonwoo.

“Aku juga.” Mingyu tertawa dan akhirnya mereka pulang ke apartemen Wonwoo.

Pas banget bedug maghrib, gue sama Binar sampe di kontrakan. Biasalah harus wajib jajan dulu kalau sama dedek mantan satu ini sekalian beli makan malem sih. Gue izin sholat dulu sama Binar, kalau dia lagi gak sholat, agak lega juga sih soalnya sekarang susah kalau mau pinjem mukena harus ke siapa coba.

Selesai sholat, gue ke ruang tamu, ternyata udah ada Dino, Bang Jeonghan, sama Bang Shua di depan lagi ngobrol sama Binar sekalian nyomot-nyomot makanan, bener-bener dah ye makanan mantan gue juga diembat. Tapi emang Kejora beli banyak sih katanya sekalian buat anak kontrakan.

“Kalian mau pada rapat, ya?” Tanya Bang Shua.

“Yoi, Bang. Mahasiswa kura-kura nih.” Jawab gue.

“Padahal baru kali ini lu rapat-rapat.” Bales Bang Jeonghan sambil makan tahu krispi.

“A Dokyeom belum pernah ikut kepanitiaan apa-apa gitu sebelum ini?” Tanya Binar kaget, soalnya dia lumayan sering ikut-ikutan kepanitiaan.

“Hehehe, males tau, Nar. Males bayar danusan, ini aja ikut soalnya gak ada danus terus sekalian juga sih mumpung kegiatannya sesuai sama jurusan aa.” Jawab gue. Gue mulai buka makan gue, gue beli ayam serundeng, sementara Binar beli nasgor, katanya pengen makan pake sendok aja.

“Gue cuma bisa geleng-geleng, gue baru setahun kuliah udah ikut berapa ya?” Kata Dino.

“Lu mah emang hobi kepanitiaan.” Celetuk Bang Jeonghan.

“Tapi gue selama kuliah juga gak pernah ikut kepanitiaan sih, males rapat, mending gue tidur di kosan.” Lanjut Bang Jeonghan.

“Iya kan, Bang? Capek anjir ketemu orang mulu.” Timpal gue.

“Gue sih bukan kepanitiaan tapi organisasi gitu, ikut BEM sih gue dulu.” Kali ini Bang Shua ikutan.

“Emang beda tenaganya extrovert sama introvert.” Kata gue.

“Bener sih. Lu pada mah extrovert sih, jadinya ketemu orang nambah energi. Lah gue, udah jompo, introvert lagi, mending sare wae lah.” Bales Bang Jeonghan.

“Bener, Bang.” Gue setuju sama Bang Jeonghan sebagai anak introvert.

“Si Mingyu tuh yang belasan kali dia ikut kepanitiaan, tiap hari aja pulang malem kan dia.” Gue ngelirik Binar pas Bang Jeonghan ngomongin Mingyu. Dia sempet diem sebentar tapi langsung ketawa aja, takut jadi canggung kayaknya kalau dia diem doang.

“Dulu tuh susah kumpul barengan tuh ya gara-gara Mingyu. Dikit-dikit rapat, sampe hari Minggu juga tetep rapat.” Bang Shua ikutan.

“Tapi emang seru ikutan kepanitiaan gitu sih. Aku juga awalnya gak tertarik tapi Maura ngajak terus, ternyata emang seru.” Binar ikutan nimbrung.

“Iya tuh anak aktif banget. Lebih aktif dari gue, soalnya gue sibuk kepanitiaan doang, dia mah sambil sibuk nyari job juga.” Bales Dino yang emang temen sekelasnya.

“Samlikum, gue bawa maka—”

Tebak coba siapa? Iya bener si Mingyu sambil nenteng makanan, katanya sih dia abis dapet job terus yang punyanya owner resto gitu lah.

Sebenernya yang mau gue bahas tuh karena atmosfer kontrakan yang tiba-tiba dingin euy. Semuanya pada diem. Gue bisa liat Bang Jeonghan, Bang Shua, sama Dino lirik-lirikan. Mingyu juga malah diem aja sambil liatin Binar, gitu juga Binar.

“BUKA DONG, GUE MASIH LAPER.” Kata gue nyoba cairin suasana.

“Mau dong, Bang! Kebeneran gue belum makan nih.” Dino ikutan nyaut.

“Lu dapet job tiap hari kek, biar makan gratis.” Bang Jeonghan ikutan sambil buka makanannya.

“Hai, kak.” Sapa Binar. Si bagong ini malah diem aja.

“Jawab kalau disapa tuh, gimana sih kakak idaman satu kampus.” Ledek gue sambil makan pizza yang dibawa Mingyu.

“Hai, Ra.” Bales Mingyu canggung. Binar cuma senyum aja.

“Makan aja, Nar.” Suruh gue.

“Iya, makan aja, gak apa-apa.” Bales Mingyu.

“Makasih, kak. Aku udah kenyang kok.” Bohong dah pasti, gue tau Binar mah gak gampang kenyang.

“Gue mandi dulu, ya. Makan aja.” Katanya Mingyu dan dia langsung pergi ke kamar. Halah halah, padahal dia tuh kalau baru balik sambil bawa makanan pasti bakal milih makan dulu, mandinya nanti tuh kalau udah kenyang. Setelah Mingyu pergi, kita semua malah diem. Tiba-tiba aja ngerasa canggung.

“Berangkat abis isya aja kali, ya?” Tanya Dino akhirnya mecah keheningan.

“Iya, sekalian isya aja.” Jawab Binar.

“Binar nanti pulang dianter Dikey?” Tanya Bang Jeonghan.

“Iya, Kak. Aku pulangnya sama A Dokyeom.”

“Kenapa gak nginep aja?” Tanya Bang Shua. Binar cuma cengengesan aja.

“Gak dibolehin sama bunda, Kak.” Jawab Binar.

“Key, bawa balik lu, jangan dibawa keluyuran dulu.” Kata Bang Jeonghan, emang kagak kompor kagak idup kayaknya ntu orang.

“Kagak lah, gue harus membuat kesan baik di depan calon mertua.” Bales gue.

“Nar, mending cari yang lain sebelum telinganya pengang kalau sama si Dikey.” Bang Shua juga sama aja.

“Dia suka nyanyi sealbum kalau galau.” Ini Bang Jeonghan. Pasrah dah gue kalau Bang Jeonghan ama Bang Shua bersatu.

“Emang iya, A?” Tanya Binar.

“Emang pas sama lu gak gitu, Ra?” Tanya Dino.

“Gak tau atuh, emang A Dokyeom pernah galau gara-gara aku? Soalnya da gak pernah berantem selama pacaran.” Tanya Binar.

“Heeh, pas sama kamu mah gak pernah galau da, galau pas putus doang.” Jawab gue.

“Cari pacar yang kayak Binar makanya jangan yang bikin ngebatin.” Kata Bang Jeonghan, gue cuma ketawa aja, agak nyelekit dikit.

Kita ngobrol-ngobrol sampe akhirnya adzan isya berkumandang. Gue sama Dino sholat dulu abis gitu kita berangkat. Untungnya jalanan gak macet sih jadinya gue sampenya cepet.

“Banyak yang ikutan?” Tanya Binar setelah turun dari motor

“Banyak, Nar. 100 orang mah ada.” Binar keliatan kaget.

“Banyak banget.”

“Paling yang datang cuma 40-an doang.” Jawab Dino lagi. Kita bertiga jalan sampe ke saung, udah lumayan banyak sih yang datang, rata-rata sambil pada makan.

“Pengen jajan ih.” Katanya Binar.

“Katanya tadi kenyang.” Ledek gue.

“Males ah tadi mah.” Gue ketawa sambil ngeledek.

“Mau ke kantek?” Tanya gue.

“Emang masih ada yang buka?”

“Kantek mah buka sampe jam 8 da.” Jawab gue.

“Boleh! Pengen jajan buat ngemil sambil nunggu.” Pas gue sama Binar mau pergi, Dino minta ikut, pas gue liat ke arah kanan, ternyata ada Naya baru datang.

“Ayok.” Ajak gue. Gue tau kalau Dino masih belum bisa sepenuhnya move on dari Naya walaupun dia kemaren bilang udah ikhlas.

“Gue harus apa, ya?” Tanya Dino setelah kita udah beli jajanan.

“Kenapa, Din?” Tanya Binar.

“Itu Kak Naya.” Bales Dino. Binar ngelirik gue sekilas, mungkin dia ngerasa kasian juga.

“Sebenernya bersikap biasa aja, Din.” Jawab Binar.

“Biasanya tuh makin kamu ngehindar, malah makin kepikiran, tapi ya udah jangan terlalu intens komunikasinya, sekedarnya aja.” Lanjut Binar.

“Lu ada rencana mau ngobrol sama Naya?” Tanya gue.

“Gak tau.” Jawab Dino.

“Nah itu, coba deh kamu ngobrol sama Kak Naya, mungkin bisa ikhlas kalau pisahnya juga baik-baik.” Dino ngehembusin nafasnya.

“Maaf sebelumnya, tapi kamu sama Kak Naya belum sempet ngobrol kan?” Dino ngangguk.

“Kayaknya emang harus diselesaiin baik-baik deh, Din. Mungkin kalau kalian udah saling komunikasi secara baik, bisa lebih ikhlas juga.”

“Betul kata cewek gue.” Ikut-ikutan aja gue mah.

“Betal betul aja lu.” Kata Dino.

“Soalnya emang satu pendapat, satu hati sama Binar. Satu tujuan juga, tujuan menuju KUA.” Binar mah ketawa aja dengernya dementara Dino malah natap gue jijik.

“Dah lah yuk, Kak Artha udah suruh kumpul.

“Anjir takut, buru dah buru.” Asli, itu yang namanya Artha alias wakil pelaksana tuh amit-amit banget galaknya.

“Emang kenapa, A?” Tanya Binar sambil jalan-jalan buru-buru.

“Kata Aa mah ya, lebih galak sari Bu Lina, guru Bahasa Inggris pas SMA itu ning.” Binar langsung ngerutin dahinya.

“Galak banget atuh?!” Pekiknya kaget.

“Lebay banget Bang Dikey mah, Kak Artha baik kok asal kitanya waras.”

“Maksud lu gue kagak waras?”

“Gak perlu dijawab gak sih? Semua orang tau.” Nyebelin banget emang tuh bungsu kontrakan.

“Hai, Kak.” Sapa Dino. Artha senyum. Lah bisa senyum ternyata.

“Kamu... Baru?” Artha natap Binar.

“Iya, kak. Aku baru banget ikutan hari ini jadi volunteer. Mohon bantuannya, kak.” Kata Binar ramah.

“Oke oke, kalau ada apa-apa bilang ke aku aja, oke? Kamu jurusan apa?” Tanya Artha. Lah kok baik sih? Ke gue kayaknya waktu itu galak.

“Komunikasi, kak! Kakak jurusan apa?” Tanya Binar antusias. Artha kayaknya seneng sama Binar, dia senyum terus. Ya siapa sih yang gak seneng sama mantan gue ini selain si Mingyu? Orang bodoh doang. Iya emang si Mingyu bolot.

“Seni rupa murni!” Jawab Artha gak kalah antusias.

“Lah kenal si Bule?” Tanya gue. Padahal belum tentu juga, dikira mahasiswa Seni Rupa cuma ada 10 biji.

“Bule?” Tanya Artha bingung.

“Pernon maksud gue.”

“Vernon?”

“Iya elah, Vernon. Maap dah lidah sunda.” Kata gue sambil nyengir.

“Kenal, kayaknya sejurusan kenal dia sih.” Bales Artha.

“Yuk mulai, yuk.” Kata Rico, ketuanya.

Akhirnya rapat dimulai. Gue sesekali ngelirik Binar yang wajahnya makin lucu kalau lagi serius. Bibirnya sedikit ngerucut, dahinya ngerut, tapi lama-lama matanya keliatan berat. Gue ketawa kecil, dia ngantuk. Gue liat jam ternyata udah hampir jam 10 malem. Ini anak emang dari dulu tidurnya awal terus, wajar jam segini ngantuk.

“Ada yang mau ditanyain?” Tanya Rico.

“Gak ada, Bang.” Jawab yang lain serentak.

Rapat selesai jam 10 lewat. Binar ngucek matanya yang udah merah. Gue ketawa liatnya, gemes banget elah. Pengen gue hap ini orang.

“A, aku ngantuk.”

“Ngantuk banget? Tahan sampe rumah bisa gak? Soalnya naik motor euy, takut kalau kamu ngejengkang.” Binar nguap sambil garuk-garuk kepalanya.

“Jauh ih, keburu tidur di jalan. Aku naik gocar aja atuh.”

“Gak gak, ngeri atuh kalau gocar mah. Ke kontrakan gak mau? Kan deket kalau kontrakan mah, 10 menit juga sampe.”

“Ya udah atuh, bilang dulu ke Bunda tapi.”

“Iya, Aa aja yang bilang.” Gue ngerogoh hp gue, nyari kontak nyokapnya Binar terus langsung telpon.

“Assalamualaikum, bunda.”

Iya, kenapa Kyeom?

“Ini Dokyeom izin bawa Binar ke kontrakan aja buat nginep boleh gak? Kasian ini Binar ngantuk banget, Dokyeom bawanya motor soalnya, bun. Kalau naik gocar mah takut kalau udah malem, mana sendirian.” Gue segera jelasin ke Bunda.

Gak apa-apa di kontrakan kamu? Tidurnya dimana?

“Tidur di kamar Dokyeom kok, Bun. Nanti Dokyeom nebeng di kamar yang lain.” Jawab gue. Bunda diem dulu, wajar sih, soalnya Binar kan cewek, dan kontrakan gue cowok semua, wajar aja kalau seorang ibu was-was.

Ya udah atuh kalau gitu, nitip, ya, Kyeom.

“Sip, Bunda. Amanlah Binar di tangan Aa Dokyeom mah.” Canda gue.

“Hayuk, Nar. Si bunda ngebolehin.” Ajak gue. Binar cuma ngangguk aja.

“Eh itu gak takut Binar jatuh? Melek dulu, Nar.” Katanya Dino pas kita sampe parkiran.

“Ada tali gak?” Tanya gue.

“Buat apaan?” Dino balik nanya.

“Mau ditaliin ini Binar biar gak ngejedag.” Dino malah ketawa.

“Serius anjir.”

“Bentar, kayaknya gue ada bekas survey.” Dino buka jok motornya dan bener aja anjir ada tali jemuran.

“Naik dulu, Nar.” Gue suruh Binar naik, dia nurut aja.

“Anjir serius mau pake ini?” Tanya Dino kaget.

“Beneran, anying. Taliin, Din.” Walaupun bingung, si Dino tetep nurut. Dia mulai pasangin talinya dari Binar terus ditaliin di pinggang gue. Paham gak kalian? Pokoknya gitu aja dah.

“Udah kenceng, ya? Ya udah yuk ah, takut keburu pules nih Binar.”

Kita bertiga akhirnya balik, gue agak ngebut. Kasian Binar, helm-nya dari tadi kejedug sama helm gue. Matanya udah merem. Gue sesekali ngelirik lewat spion.

Alhamdulillah, kurang dari 10 menit kita udah sampe. Gue minta Dino bukain talinya dulu.

“Sini, Nar. Biar Aa gendong aja.” Dan lagi-lagi Binar nurut. Dia naik ke punggung gue, matanya keliatan merah banget dan kedipannya makin berat.

Pas gue naik, pas banget si Kiming keluar kamar. Dia keliatan kaget pas liat gur bawa Binar.

“Bukain pintunya, Ming.” Suruh gue. Dia gak jawab apa-apa tapi dia langsung buka pintunya tanpa ngomong apapun. Gue masuk ke kamar gue dan baringin Binar yang udah pules. Padahal dari garasi doang, tapi udah pules aja. Gue selimutin Binar, abis gitu gue keluar pelan-pelan sambil tutup pintunya. Gue jalan ke tetangga, alias kamarnya si Mingyu.

“Gue nebeng disini, ye.” Mingyu cuma ngelirik gue terus ngangguk, terus dia balik lagi fokus sama laptopnya.

“Skripsi?” Tanya gue, dia cuma ngangguk.

“Udah bab berapa dah? Ngebut banget gue kata.”

“Tiga.” Jawab dia.

“ANJIR?”

“Suara lu kecilin anjir.” Kata Mingyu. Padahal gue biasa berisik? Anak kontrakan juga belum pada tidur.

“Cepet banget buset. Daftar sempro kapan?”

“Lusa kali.” Bales Mingyu. Dia terus ngetik kenceng, sampe suara keyboard-nya berisik.

“Ngapa sih lu? Santai anjir ngetiknya, itu kasian keyboard lu. Dia cuma ngelirik terus ngehembusin nafas panjang, abis itu dia tutup laptopnya.

“Lah kok udahan?” Tanya gue.

“Gak fokus ada lu.” Jawab dia terus tiduran sambil main hp.

“Geser dong, ngantuk.”

“Ogah, kasur segede gini, lu minta tidur bareng.” Bales Mingyu ketus.

“Elah biasanya juga gue tidur sekasur ama lu.”

“Ribet lu.” Mingyu balikin badannya sambil main hp. Gue tidur di sebelahnya, beneran gak lama, gue langsung dibawa ke alam mimpi.

Wonwoo keluar dari kelas dengan susah payah. Sebelumnya emang Joshua udah nanya juga kenapa wajah dia keliatan pucet, tapi dia cuma bilang belum sarapan aja.

“Sakit banget?” Tanya dosennya itu ketika Wonwoo udah di dalam kamar mandi. Wonwoo gak jawab, dia cuma ngangguk aja sambil pegangin perutnya.

“Ini—” Belum sempat Mingyu kasih makanannya, Wonwoo langsung lari ke bilik kamar mandi dan muntahin isi perutnya yang cuma keluar cairan bening yang cukup banyak.

“Nanti gak usah bimbingan aja.” Katanya Mingyu yang keliatan khawatir banget, dengan sigap dia juga bukain minum buat Wonwoo.

“Gak enak, Pak. Minggu lalu saya gak bimbingan juga.” Jawab Wonwoo lemes. Keluar keringat dari pelipis Wonwoo. Dia keliatan semakin pucet setelah muntah.

“Saya aja yang bilang, lagian bab 1 kamu juga kan udah selesai revisi, kamu juga udah kerjain.” Wonwoo tetap gelengin kepalanya.

“Gak apa-apa, Pak. Saya mau setor muka dulu aja ke Bu Gayes.” Jawaban Wonwoo bikin Mingyu ngehembusin nafasnya.

“Ya udah, ini kamu makan aja di kelas sekalian sama obatnya. Kamu keluar duluan.” Suruh Mingyu. Wonwoo cuma ngangguk dan segera jalan keluar kamar mandi menuju kelas.

“Loh abis jajan? Tadi katanya ke kamar mandi?” Tany Joshua. Wonwoo senyum tipis.

“Iya, tadi perut gue bunyi, ya udah gue beli makan dulu ke bawah. Sorry.” Joshua cuma senyum.

No need. Makan dulu, Won. Lu pucet banget tuh, atau nanti abis kelas mau makan bareng?” Tanya Joshua.

“Gak usah, makasih. Gue abis kelas mau bimbingan.”

“Sama Bu Gayes?” Wonwoo anggukin kepalanya, sambil buka roti yang tadi dibeliin dosennya itu. Gak lama, Mingyu juga masuk, pandangannya langsung tertuju ke arah Wonwoo, tapi cuma sekilas, mastiin kalau Wonwoo makan.

“Karena materinya udah selesai, kalian boleh pulang aja.” Semua mahasiswa langsung mekik bahagia, kecuali Wonwoo. Dia sendiri yang bingung dan langsung natap dosennya itu. Dosennya cuma ngelirik Wonwoo sambil senyum terus lirik mahasiswa lainnya sambil geleng-geleng karena lucu.

“Bimbingan jam berapa?” Tanya Joshua.

“Jam 1.” Joshua lirik jam tangannya.

“Masih jam 12, ayok kita makan dulu.” Ajak Joshua. Wonwoo yang sebenernya males makan akhirnya ngeiyain karena gak enak.

“Tunggu yang lain keluar aja, males desek-desekan.” Kata Wonwoo. Sampai akhirnya di kelas cuma tersisa bertig, Wonwoo, Mingyu, dan Joshua.

“Pak Mingyu kita kapan bimbingan lagi?” Tanya Joshua. Wonwoo cuma ngelirik aja.

“Kayak biasa aja, hari Kamis.” Jawab Mingyu.

“Saya udah selesai bab satu loh, Pak.” Mingyu senyum lebar liat Joshua yang juga senyum bangga. Sementara Wonwoo cuma diem aja sambil minum susunya.

“Bagus dong kalau gitu, jadinya cepet.” Bales Mingyu.

“Bapak langsung pulang?”

“Nggak, Joshua. Ini kan saya nanti ada bimbingan juga.” Joshua ngelirik Wonwok.

“Oh, yang sama Bu Gayes, ya? Sama Wonwoo juga dong?” Keduanya saling lempar tatap.

“Iya, ada Wonwoo juga.”

“Bapak udah makan?”

“Belum.”

“Ya udah makan sama kita aja, Pak.”

'UHUK'

Wonwoo refleks batuk cukup kenceng, Joshua panik, dia langsung usap-usap punggung Wonwoo, sementara Mingyu diem-diem senyum kecil.

“Boleh.”

Wonwoo sedikit membelo, dia udah janji makan sama Joshua, gak bisa batalin gitu aja karena dia juga bilang gak ada kegiatan apapun selain nunggu bimbingan.

Dan disinilah mereka, kantin fakultas yang penuh mahasiswa. Ada beberapa orang yang ngelirik ke arah mereka bertiga, antara aneh liat dosen dan mahasiswa makan bareng atau karena dua mahasiswa populer ditambah dosen muda idaman satu jurusan kumpul di satu meja.

“Aduh jadi banyak yang liatin.” Katanya Joshua, sesekali dia senyum ke temennya.

“Karena kalian populer, ya?” Tanya Mingyu.

“Gak lah, Pak. Ini mah karena kita satu meja sama bapak.” Mingyu ketawa.

“Bapak belum pernah makan sama mahasiswa, ya?” Tanya Joshua lagi.

“Belum pernah, ini pertama kali, mana sama yang terkenal.” Canda Mingyu.

“Kalau Wonwoo emang terkenal, Pak.” Wonwoo yang lagi diem langsung nengok.

“Gak ngerasa.” Jawab Wonwoo dan bikin Joshua ketawa.

“Kan emang orang terkenal gak tau kalau dirinya terkenal.”

“Kalian berdua sama aja, itu aja dari tadi banyak yang nyapa.” Bales Mingyu.

Pesanan mereka akhirnya datang, mereka makan sambil ngobrol-ngobrol. Lebih tepatnya Mingyu sama Joshua, sementara Wonwoo lebih banyak diem karena nahan sakit perutnya, dia juga sebenernya gak mood buat makan, semakin banyak dia makan, malah semakin mual.

“Gak usah diabisin.” Katanya Mingyu. Wonwoo angkat kepalanya dan natap Mingyu.

“Ya, Pak?”

“Mual kan kamu? Gak usah dipaksain, Wonwoo.” Lanjut Mingyu.

“Won, sakit banget? Izin bimbingan aja gak bisa? Lu pucet banget, Won. Biar gue anterin pulang deh sekalian.” Wonwoo gelengin kepala.

“Minggu kemaren gue gak bimbingan juga, gak enak sama Bu Gayes.” Jawab Wonwoo.

“Gak bimbingan kenapa?” Tanya Joshua. Wonwoo ngulum bibir bawahnya, dia bingung harus jawab apa.

“Ada ibunya.” Jawab Mingyu cepet, dan refleks bikin Wonwoo natap Mingyu lama sambil ngerutin dahinya.

“Ahh... Tapi lu kuat gitu nahan sakitnya? Lu keliatan kesakitan banget dari kelas tadi.” Wonwoo senyum tipis.

“Kuat kok. Makasih.” Jawab Wonwoo.

Sekitar jam 12:45, Joshua pamit buat pulang duluan, sementara Mingyu dan Wonwoo pergi ke perpustakaan.

“Pulangnya saya anter.” Wonwoo membelo terus gelengin kepalanya.

“Saya bawa mobil.” Jawab Wonwoo pelan, takut ada yang denger percakapan mereka.

“Bisa disimpen di kampus dulu, Wonwoo. Besok ada kuliah?”

“Ada.”

“Ya udah saya jemput.” Mata rubahnya makin membelo dam kali ini gelengannya lebih kuat.

“Bisa kok, apartemen saya deket dari kampus.” Mingyu natap Wonwoo lama dan dia ngehembusin nafas.

“Kamu gastritis, ya?” Tanya Mingyu lagi. Wonwoo diem.

“Kayaknya iya.” Jawab Wonwoo pelan.

“Kemaren—”

“Nanti aja, masih di kampus, Pak.” Wonwoo akhirnya ngelangkah keluar lift duluan, diikutin Mingyu.

Bu Gayes udah ada disana saat mereka sampe, sementara mahasiswanya baru ada 3 orang aja.

“Permisi, Bu.” Kata Wonwoo sambil senyum yang dipaksain.

“Kamu Wonwoo, ya?” Tanya Bu Gayes.

“Iya, Bu. Saya Wonwoo.” Jawab Wonwoo.

“Bu, maaf boleh izin gak Wonwoo yang pertama bimbingan, soalnya lagi sakit.” Omongan dosen muda itu bikin semua mata fokus ke Wonwoo yang lagi usap perutnya. Badannya sedikit menggigil, keringetnya makin banyak, nafasnya juga kedengeran lebih berat.

“Kamu masih sakit? Ya udah pulang aja, kasian kamu itu keliatan parah banget. Padahal bisa izin loh.” Wonwoo natap Bu Gayes sambik gelengin kepalanya pelan.

“Minggu lalu saya gak bimbingan juga, Bu. Jadi gak enak.”

“Ya Tuhan, gak apa-apa. Lagian punya kamu udah bagus kok, saya udah dikasih sama Pak Mingyu, tinggal kamu tambah sedikit aja bisa lanjut bab 2.” Bu Gayes natap Wonwoo khawatir.

“Ya udah kamu pulang aja, istirahat, ya. Semoga cepet sembuh.”

“Makasih banyak, bu.” Waktu Wonwoo coba buat berdiri, tubuhnya agak sempoyongan, untungnya ada Mingyu disana yang langsung nahan.

“Pak Mingyu, anterin aja itu mahasiswanya, kayaknya parah itu.” Kata Bu Gayes khawatir.

“Baik, bu. Saya izin anterin dulu.”

Wonwoo gak bisa nolak, karena dia juga udah terlalu lemes. Matanya kerasa kunang-kunang. Perutnya makin mual dan perih. Mingyu bawa Wonwoo pakai mobilnya.

“Ke rumah sakit aja, ya?” Tanya Mingyu. Wonwoo cuma ngangguk.

Dan akhirnya Wonwoo dibawa ke rumah sakit yang deket ke apartemennya karena Wonwoo bilang gak mau yang terlalu jauh dari tempat tinggalnya. 20 menit, mereka sampai. Mingyu segera gendong Wonwoo ke dalam. Wonwoo udah gak sanggup buat jalan. Setelahnya Wonwoo segera dibawa ke ruang dokter buat diperiksa dan ternyata emang bener kalau Wonwoo kena gastritis karena akhir-akhir ini Wonwoo konsumsi alkohol terlalu berlebihan.

“Kamu tuh kemaren minum berapa banyak sih?” Tanya Mingyu setelah Wonwoo dipindahin ke ruang VIP karena emang itu maunya Wonwoo.

“Pak, saya gak mood buat diomelin.” Bales Wonwoo sambil pejamin matanya. Mingyu ngehembusin nafasnya lagi.

“Ya udah kamu istirahat aja, tidur, nanti makan biar gak sakit lagi.” Wonwoo cuma anggukin kepalanya.

“Saya pamit dulu.” Kali ini matanya kebuka dan langsung nengok ke arah Mingyu.

“Masih ada kelas jam 2 nanti.” Bales Mingyu.

“Hati-hati.” Kata Wonwoo pelan. Mingyu dengan tiba-tiba ngusap rambut Wonwoo lembut.

“Cepet sembuh. Saya balik lagi, mobil kamu nanti saya bilang aja ke satpam minta dijaga.” Wonwoo anggukin kepalanya, kemudian Mingyu keluar dari ruangan VIP itu.

Wonwoo sampai di Bali sekitar jam 1 siang, dan dia ternyata dijemput Seungcheol di bandara.

How's your flight?” Tanya Seungcheol.

It's not like I'm flight to US, please. This is just Jakarta-Bali.” Seungcheol terkekeh kecil dan dia perhatiin Wonwoo dari atas sampai bawah.

“Kenapa?” Tanya Wonwoo.

“Gak apa-apa, gemes aja bajunya kebesaran.” Tiba-tiba Wonwoo salah tingkah. Gak tau karena pujian Seungcheol atau karena dia keinget gimana perhatiannya bapak dosen, soalnya hoodie yang sekarang dia pake itu punya Mingyu, katanya biar Wonwoo gak kedinginan di pesawat.

“Gak bawa apa-apa?” Tanya Seungcheol.

“Gak, emang harus bawa apa?”

“Baju?”

“Nanti aja beli.” Jawab Wonwoo.

“Mau beli sekarang gak atau mau ke hotel dulu?” Wonwoo berpikir sejenak.

“Kamu bawa mobil?” Tanya Wonwoo.

“Bawa kok.”

“Ya udah cari baju dulu aja, biar nanti malem juga gak ribet cari.” Balas Wonwoo. Seungcheol ngangguk sambil senyum, dan mereka akhirnya naik mobil Seungcheol dan menuju pusat perbelanjaan buat cari baju.

Selama perjalanan, Wonwoo cuma diem, sibuk perhatiin jalan yang ramai dilalui turis. Seungcheol sesekali ngelirik ke arah Wonwoo, tapi dia gak banyak tanya karena mikir kalau Wonwoo mungkin masih capek.

Sampai sekitar 15 menitan aja, mereka sampai di pusat perbelanjaan yang cukup dekat dari bandara. Mereka berdua turun dan segera masuk buat cari pakaian sekalian Seungcheol ngajak Wonwoo makan juga. Mereka gak abisin waktu terlalu lama di mall, karena katanya Wonwoo pengen mandi dan istirahat dulu.

Keduanya masuk ke hotel bintang 5 yang lokasinya emang strategis. Wonwoo dan Seungcheol segera naik ke lantai mereka, soalnya emang Seungcheol sengaja pesen kamar yang sebelahan. Katanya sih biar gampang kalau ada sesuatu.

“Nanti kabarin kalau mau keluar lagi, ya.” Kata Seungcheol.

“Oke.” Bales Wonwoo dan keduanya masuk ke kamar masing-masing.

Wonwoo langsung lepas bajunya dan pergi ke kamar mandi buat berendam. Dia ngerasa kepalanya masih sedikit pusing, badannya juga pegel. Wonwoo berendam cukup lama, 30 menitan, sampai akhirnya dia ngerasa ngantuk, dia keluar dari bathtub dan segera bersihin badannya sebentar terus pergi tidur.

▪️ ▪️ ▪️ ▪️ ▪️

Wonwoo buka matanya, keadaan kamarnya gelap, karena emang waktu udah nunjukin jam 8 malem, dia belum nyalain lampu kamar. Dia segera bangun sambil cek hp-nya yang ada banyak notif dari Seungcheol nanyain mau makan apa. Wonwoo balas, dan gak lama ada ketukan pintu.

“Udah bangun, pangeran?” Sapa Seungcheol. Wonwoo ngucek matanya dan berhasil bikin Seungcheol gemes sendiri liatnya.

“Lagi pengen makanan western tapi gak mau junk food.” Katanya Wonwoo.

Italian, mau?”

Sounds good. Saya ganti baju dulu.” Seungcheol cuma senyum dan anggukin kepalanya.

“Oh iya, ini langsung otw gak?” Seungcheol balikin badannya lagi.

“Langsung aja deh, biar gak bolak-balik.” Jawabnya.

“Oke, saya langsung pake bajunya.” Senyuman Seungcheol makin lebar.

Wonwoo segera ganti bajunya pakai kaos sleeveless yang tadi dia beli. Gak lupa juga dia pakai kalung plus choker. Wonwoo tata dulu rambutnya, dan gak lupa pakai parfumnya. Setelah itu, dia segera keluar.

Seungcheol terpaku waktu liat Wonwoo. Dia natap cowok yang lebih muda dari kepala sampai ujung kakinya. Kulit mulus Wonwoo jadi perhatian Seungcheol. Apalagi choker yang dipakai Wonwoo bikin kepala Seungcheol tiba-tiba pening.

“Ayok?” Ajak Wonwoo.

“Sebentar.” Katanya Seungcheol. Dia masuk lagi ke dalam kamarnya, gak lama, kurang dari lima menit, dan dia kembali sambil bawa leather jacket miliknya.

“Pake ini dulu, kan mau makan.” Wonwoo ngerutin dahinya.

“Emang kenapa?” Tanya Wonwoo.

“Nanti banyak yang liat.”

“Nanti clubbing juga banyak yang liat.”

“Tapi kan remang-remang.” Wonwoo mutar bola matanya tapi dia tetep pakai jaketnya.

I absolutely believe that you're such a possessive boyfriend.” Seungcheol terkekeh.

Indeed, I am. Wanna try?” Wonwoo lagi-lagi cuma muter bola matanya dan jalan duluan menuju lift.

Wonwoo dan Seungcheol sampe di restonya sekitar 15 menitan. Mereka segera pesan makanan dan ngobrol-ngobrol sambil nungguin makanannya.

“Oh iya, hotel sama pesawat, berapa? Saya mau transfer.” Katanya Wonwoo. Seungcheol senyum sambil gelengin kepalanya.

“Gak usah, Wonwoo.”

“Berapa?” Tanya Wonwoo lagi.

“Hotelnya punya saya kok.” Netra Wonwoo membelo. “Punya keluarga saya, makanya saya disini tuh buat kontrol sekalian ada acara juga sih.” Lanjut Seungcheol.

“Tapi—”

“Udah gak apa-apa, cantik.” Wonwoo cuma diem.

“Ya udah, makasih banyak.” Jawab Wonwoo. Tanpa dia sadar, wajahnya merona gara-gara panggilan Seungcheol tadi.

“Oh iya, bisa gak kita gak pake saya-kamu? Kayak dosen-mahasiswa aja. Hahaha.” Wonwoo keselek denger ucapan Seungcheol. Dia segera ambil air putih dan neguk sampai habis. Seungcheol bingung liatnya, apa dia salah ngomong atau gimana sampai respon Wonwoo kayak gitu.

“Maaf maaf, tadi lucu aja dengernya.” Bales Wonwoo. Alesan aja. Seungcheol cuma ketawa kecil, kirain dia salah ngomong.

“Terus mau pake apa? Kayaknya kalau gue-lu juga agak aneh, since you're older than me, right?” Tanya Wonwoo.

“Aku-kamu aja boleh kok.”

“Oke. And what honorific should I use to call you?” Tanya Wonwoo lagi.

I'm half Javanese.” Jawab Seungcheol.

“Mas Seungcheol?” Laki-laki yang lebih tua mengulum senyumnya.

I never know if 'Mas Seungcheol' from someone will be this thrilling.

“Ya udah, Seungcheol aja.” Balas Wonwoo ketus.

“Hahaha, jangan dong. Mas Seungcheol, enak didenger.”

Makanan mereka datang setelah nunggu 15 menitan. Keduanya ngobrol cukup panjang soalnya Seungcheol itu tipe yang bisa cairin obrolan apa aja dan bikin lawan bicaranya bicara banyak.

“Mau sekarang?” Tanya Seungcheol. Wonwoo ngelirik jam di ponselnya.

“Boleh.”

Keduanya segera naik mobil lagi buat ke tujuan utama mereka. Clubbing.

Awalnya mereka berdua cuma diem aja. Seungcheol juga fokus sama jalanan yang cukup padat, sementara Wonwoo fokus sama ponselnya, dia lagi sibuk chat sama Seungyoun. Sampe akhirnya...

SHIT.” Wonwoo mekik kaget.

“Maaf maaf.” Katanya Wonwoo.

“Kenapa, Won?” Tanya Seungcheol.

Nothing. Ini Seungyoun bikin kesel.” Jawab Wonwoo dan Seungcheol ketawa karena percaya. Nyatanya umpatan itu keluar karena dia salah kirim pap, harusnya dia kirim ke Seungyoun malah dia kirim ke orang yang lagi-lagi jadi mimpi buruknya.

Pak Mingyu.

Wonwoo langsung hapus pesannya, tapi rasanya telat, karena Mingyu udah baca pesannya. Wonwoo mijat pelipisnya karena kesalahan bodoh yang sering dia lakuin ke Mingyu.

Tapi pesan terakhir Mingyu lebih bikin dia pusing lagi. Perutnya kerasa geli karena banyak kupu-kupu yang beterbangan. Wonwoo rasa pipinya panas cuma karena pesan Mingyu.

'It suits you perfectly.' 'The choker.'

Wonwoo segera malingin wajahnya ke luar jendela, gak tau kenapa pipinya kayak dipaksa buat ditarik ke atas.

“Kamu emang sering ke Bali atau gimana, Won?” Tanya Seungcheol, bikin lamunan Wonwoo buyar.

“Hah? Oh... Gak.” Jawab Wonwoo. “Gak juga sih, Mas. Ini kebetulan aja karena ada temen terus lagi bosen clubbing di Jakarta.” Lanjut Wonwoo. Seungcheol lagi-lagi senyum, masih gemes aja denger Wonwoo manggil dia Mas.

“Kalau kamu butuh temen buat clubbing, boleh kok hubungin Mas.” Seketika Wonwoo natap Seungcheol agak lama. Seungcheol sesekali ngelirik ke arah Wonwoo.

“Kenapa?” Tanya Seungcheol.

“Maaf kalau privasi, tapi Mas belum ada pasangan kan?” Seungcheol ketawa cukup kenceng.

“Gak dong, cantik. Kalau udah ada mana mungkin Mas clubbing.” Wonwoo anggukin kepalanya.

Just in case. Takut dikira pelakor.” Seungcheol ketawa geli.

“Kamu aja yang jadi pasangan Mas gimana?” Gak tau buat ke berapa kalinya Wonwoo mutar bola matanya.

“Udah sampe.” Kata Wonwoo dan dia segera lepas leather jacket punya Seungcheol itu, dan ngeliatin lagi kulit mulusnya. Wonwoo rapiin rambutnya sedikit, pakai softlens dan segera turun dari mobil.

Riuh manusia dan musik langsung nyambut mereka berdua, ditambah lagi asap rokok dan bau alkohol yang semerbak.

Seungcheol ternyata udah pesan meja. Kedua segera duduk dan minum. Wonwoo masih minum minuman non-alkohol. Dia gak mau mabok. Rencananya.

“Toleransi alkohol Mas tinggi, ya?” Tanya Wonwoo setelah dia liat Seungcheol yang gak berhenti minum.

“Lumayanlah, 4 botol bisa.” Wonwoo keliatan kaget, karena dia sendiri cuma bisa 1 botol.

“Kamu gak, ya?” Pertanyaan Seungcheol bikin Wonwoo pengen bohong rasanya.

“Seungyoun yang bilang.” Wonwoo senyum tipis sambil ngumpat dalam hati.

“Kalau mau mabok gak apa-apa, ada Mas.” Katanya.

“Gak deh, minum dikit aja.”

“Beneran? Soalnya toleransinya rendah, ya?” Ledek Seungcheol. Wonwoo mendelik dan dia minun satu sloki langsung.

“Hahaha, pelan-pelan dong.” Wonwoo minum lagi satu sloki lainnya.

“Mau ke dance floor gak?” Tanya Seungcheol.

“Banyak orang.” Jawab Wonwoo.

“Di pinggir aja. Yuk?” Akhirnya Wonwoo setuju sama ajakan Seungcheol.

“Disini aja.” Kata Wonwoo.

Seungcheol nurut. Mereka ada di pinggir dan mulai nari-nari kecil. Seungcheol ajakin Wonwoo buat loncat-loncat kecil sambil genggam tangannya. Wonwoo yang awalnya ragu sekarang ikutan loncat-loncat kecil sampai mereka berdua ngerasa capek dan balik ke meja mereka.

“Seru kan?” Tanya Seungcheol.

Pretty fun.” Jawab Wonwoo.

Keduanya minum lagi sampai Wonwoo gak sadar kalau itu adalah botol ke duanya. Kepalanya mulai pusing. Ngomongnya juga mulai gak jelas.

Wonwoo segera berhenti minum. Dia pijitin pelipisnya yang makin pusing. Seungcheol yang sadar natap Wonwoo khawatir.

“Pusing banget?” Tanya Seungcheol.

“Gak kok. Biasa aja.” Jawab Wonwoo bohong.

“Mau pulang?”

“Kita baru dua jam disini.”

“Ya udah, tapi kalau pusing banget, bilang, ya.” Wonwoo anggukin kepalanya.

Mereka berdua balik ngobrol-ngobrol lagi, tapi bodohnya Wonwoo tuh dia tetep aja nyesap whiskey-nya sampai dia bener-bener mabok dan ngaco.

“Mas tau gak kalau bintang yang kita liat sekarang itu sebenernya dari masa lalu?” Tanya Wonwoo diakhirin sama cegukan.

“Eh, aku udah pernah bilang itu, ya?” Seungcheol ngerutin dahinya.

“Belum pernah, Wonwoo.” Giliran Wonwoo yang ngerutin dahinya.

“Eh? Perasaan udah? Terus bilang ke siapa?” Seungcheol ketawa, soalnya menurut dia Wonwoo gemes.

“Sama Seungyoun kali. Yuk, pulang aja.” Seungcheol gendong Wonwoo di belakang, Wonwoo nurut tanpa protes apapun.

Selama perjalanan, Seungcheol cuma ketawa gemes aja dengerin racauan Wonwoo, tapi akhirnya laki-laki itu ketiduran. Beruntung Wonwoo gak muntah di mobil Seungcheol ataupun di bajunya. Sampe kamar hotel pun, Wonwoo tetep tidur. Seungcheol ambil kartu akses kamar Wonwoo dan dia segera baringin di atas kasur. Wonwoo kebangun waktu tubuhnya dibaringin.

“Siapa?” Tanya Wonwoo sambil ngucek matanya.

“Seungcheol.” Jawab laki-laki yang lagi bukain sepatunya Wonwoo itu.

“Oh.” Balesnya lagi.

“Mas balik ke kamar, ya.” Pamit Seungcheol setelah dia lepas kedua sepatu Wonwoo.

“Disini aja, Mas. Mas wangi.” Seungcheol sedikit kaget dengernya tapi juga seneng. Dia duduk di pinggir kasur Wonwoo.

“Mas pake apa sih? Wangi banget.” Wonwoo condongin tubuhnya ke arah Seungcheol. Dia endusin leher Seungcheol dan bikin laki-laki yang lebih tua itu meremang.

“Mas pake parfum apa?” Tanya Wonwoo dari jarak kurang dari 5 cm.

“Kamu juga wangi.” Balas Seungcheol.

“Mas, bibirnya pake apa?” Sekarang Wonwoo fokus ke ranum Seungcheol yang semerah cherry, bahkan dia mulai tekan-tekan bibirnya Seungcheol.

“Mau, Mas.” Katanya Wonwoo.

“Mau apa, Wonwoo?” Tanya Seungcheol yang sebenarnya paham arah pembicaraan Wonwoo.

“Bibirnya Mas.”

Detik berikutnya, Wonwoo ngehapus jarak antara mereka berdua. Seungcheol senyum, dia narik pinggang ramping Wonwoo dan usapin lembut. Mereka saling lumat satu sama lain. Wonwoo tanpa sadar naik ke atas paha Seungcheol, dia kalungin tangannya ke leher Seungcheol dan bikin kegiatan mereka semakin panas.

Wonwoo gigit bibir Seungcheol cukup kuat, sampai laki-laki yang lebih tua itu ngeringis. Tapi ringisannya berubah jadi lenguhan waktu Wonwoo berhasil nelusupin lidahnya ke dalam mulut Seungcheol, dan mereka bertukar saliva. Saling lumat dan hisap. Cukup lama, akhirnya Wonwoo lepasin karena dia bilang dia ngantuk. Seungcheol sedikit pusing karena dia sebenernya masih pengen rasain bibir merah muda Wonwoo.

“Mas pergi kalau gitu, ya?”

“Disini!”

“Tidur sama kamu?”

“Iya, aku mau dipeluk, Mas.” Racau Wonwoo sambil rentangin tangannya. Seungcheol akhirnya iyain dan mereka berdua tidur sambil pelukan.

Dan disinilah Wonwoo, di tengah kerumunan orang-orang yang asik berdansa. Iya, emang biasanya Wonwoo anti banget masuk ke dance floor, tapi malem ini, dia gak peduli.

And yes, he's turning into a wild bitch tonight. Dance with every guy there and flirt with them. It's so not him.

Sampai akhirnya Wonwoo putusin buat kembali ke mejanya dan minum alkoholnya sampai kepalanya kerasa pusing. Wonwoo mijat-mijat kepalanya. Mukanya udah sedikit merah, kesadarannya cuma 60% saat ini.

Wonwoo natap kosong. Pikirannya masih inget tentang kejadian tadi pagi waktu dia pulang ke rumah orang tuanya. Sebenernya gak tau itu rumah atau tempat singgah, karena gak pernah ada penghuninya. Baik orang tua ataupun Wonwoo lebih milih tinggal di luar rumah.

Wonwoo ngacak rambutnya waktu keinget, dan kembali minum lagi. Kali ini langsung dari botolnya dan dia abisin. Kepalanya sekarang kerasa muter, dan dia kembali ke dance floor dalam keadaan 100% mabok.

Wonwoo udah bodo amat sama apa yang lagi dia lakuin sekarang. Sampai ada seseorang yang narik pinggang dia sambil terus nari bareng sama Wonwoo dalam keadaan nempel. Bener-bener nempel ke tubuh belakang Wonwoo. Laki-laki yang udah sepenuhnya di bawah kontrol alkohol itu balikin badannya. Dia gak kenal sama cowok itu. Tapi gak tau kenapa Wonwoo tiba-tiba aja cium bibir si cowok itu. Meskipun cowok gak dikenal itu kaget awalnya, tapi akhirnya dia nikmatin juga.

Sampai ada satu tangan narik Wonwoo sampai ciuman mereka kelepas.

Wonwoo natap orang itu, tapi percuma dia gak tau sama sekali siapa orang yang narik dia. Kepalanya udah terlalu pusing, ditambah dia gak bawa kacamata.

“Kamu kenal dia?” Tanya orang itu ke Wonwoo. Wonwoo nengok ke arah cowok yang diciumnya tadi dan dia gelengin kepala. Cowok itu cuma ngedengus dan bawa Wonwoo ke luar dari sana.

“Mau kemana?” Tanya Wonwoo, tapi dia gak dapet jawaban.

“Gak mau pulang!” Katanya lagi sambil berontak.

“Lepasin ih!” Wonwoo coba buat ngelepas cengkraman tangan cowok itu tapi gak bisa, terlalu kuat buat dia yang kondisinya udah bener-bener dikontrol alkohol.

“Kamu bawa mobil?” Tanyanya.

“Gak bawa!” Jawab Wonwoo ketus.

“Ya udah naik mobil saya.”

“Ih! Gak mau! Lagian lu siapa sih?”

“Mingyu.” Jawabnya. Wonwoo ngehela nafasnya.

“Mingyu? Dosen?” Tanya Wonwoo lagi.

“Iya.”

“Bapak lagi, bapak lagi. Gak bisa apa bapak biarin hidup saya tenang?” Racau Wonwoo.

Mingyu ngacuhin omongan Wonwoo. Dia fokus pasangin seatbelt.

“Bapak diem dulu.” Wonwoo nahan tengkuknya Mingyu.

“Kenapa, Wonwoo?”

“Ganteng, baru sadar.” Mingyu yang tadinya serius, sekarang malah ketawa kecil dan dia kembali duduk lagi karena tadi badannya masih condong ke Wonwoo.

“Mau kemana?” Tanya Wonwoo.

“Kamu bisa sebutin alamat apartemen kamu?”

Wonwoo diem terus gelengin kepalanya. Mingyu lagi-lagi ketawa kecil.

“Apartemen saya lagi?” Tanya Mingyu.

“Iya.” Jawab Wonwoo.

Akhirnya Mingyu langsung tancap gas menuju apartemennya. Dengan sabar, Mingyu dengerin segala ocehan Wonwoo di mobil. Seperti biasa, laki-laki satu itu pasti ngeracau tentang astronomi atau hal random lainnya kalau lagi mabok.

Butuh waktu 30 menit buat sampe di apartemen Mingyu. Dosen muda itu langsung turun dan gendong Wonwoo ke kamarnya. Mingyu baringin tubuhnya Wonwoo di atas kasurnya, tapi belum juga 1 menit, Wonwoo udah ngerengek lagi.

“Ganti baju, lengket.” Rengek Wonwoo.

“Nanti kalau kamu udah sadar, kamu malu lagi sama saya.” Bales Mingyu.

“Gak akan, cepet mana bajunya.” Protes Wonwoo. Mingyu ngehembusin nafasnya panjang tapi ujungnya tetep ambilin sweatshirt dan celana tidurnya.

“Bisa pake sendiri.” Wonwoo tarik bajunya dan dia lepas baju di depan Mingyu.

“Mana sih?” Wonwoo memaki sendiri karena dia gak bisa nemuin bagian lengannya. Lagi-lagi Mingyu ngehembusin nafasnya dan bantuin Wonwoo buat pakai bajunya. Setelah itu, Mingyu mau pergi, tapi Wonwoo tahan tangannya.

“Gak mau sendiri.”

Mingyu diam dengernya. Mata Wonwoo udah bener-bener sayu, wajahnya merah, dan kalau dari jarak kurang dari satu meter, bakal kecium bau alkohol.

“Tidur disini.” Pinta Wonwoo lagi.

“Tapi—”

“Cepet!” Suruh Wonwoo sambil nepuk space kosong di sebelahnya. Mingyu diem aja karena bingung. Kalau dia tidur di sebelah Wonwoo, nanti pagi pasti mahasiswanya itu bakal kaget, dan ujungnya malah makin awkward sama dia.

“Ya udah kalau gak mau. Emang gue ditakdirin sendirian. Gak ada yang mau ngurus gue.” Mingyu ngerutin dahinya. Dia bisa liat kalau Wonwoo ngomong sambil pejamin matanya.

“Orang tua gue aja gak peduli apalagi bapak yang cuma dosen.” Racaunya lagi.

“Kenapa gue gak diambil aja sih sama Tuhan? Kenapa juga gue masih harus hidup? Biar bisa disiksa batinnya?” Mingyu duduk di sebelah Wonwoo. Dia gak tau maksud dari ucapan Wonwoo.

“Capek banget, pak. Tau gak, pak? Hidup saya kayak sinetron.” Lanjut Wonwoo yang sekarang ngomong terbata-bata. Matanya natap Mingyu sayu.

“Tapi kalau sinetron tuh biasanya pemeran utamanya selalu bahagia di akhir. Setelah konflik pasti bisa selesai. Nah itu bedanya sama hidup saya, pak.” Wonwoo ketawa pahit. Tatapan yang tadinya sayu, sekarang berubah sendu.

“Bedanya hidup saya gak ada akhir yang bahagia. Konfliknya datang terus, sampai saya gak tau harus apa lagi.” Mingyu dengerin Wonwoo dengan perhatian penuh.

It's suffocating. I can't even breathe properly every time I go home. And it's getting worse when I meet my parents.

“Wonwoo?” Mingyu kaget ketika air mata Wonwoo terjun bebas basahin pipinya.

“Pak.” Panggil Wonwoo.

“Iya? Kenapa? Kamu butuh apa?” Tanya Mingyu nyoba setenang mungkin.

“Butuh ditemenin.” Jawab Wonwoo. Mingyu diem sebentar tapi akhirnya dia anggukin kepala.

“Iya, Wonwoo. Saya temenin kamu tidur.” Wonwoo senyum tipis.

Itu pertama kalinya Mingyu liat Wonwoo senyum. Selama ini dia cuma liat ekspresi datar Wonwoo aja.

“Ayok tidur, Wonwoo. Kepala kamu pusing kan?” Wonwoo anggukin kepalanya.

Mingyu narik selimut dan dia kaget banget ketika Wonwoo tiba-tiba peluk dia sambil pejamin matanya.

“Pak, kalau nanti saya sadar, gak usah diingetin saya ngapain aja. Pasti saya malu.” Mingyu senyum kecil dengernya.

“Iya, Wonwoo.” Dan Wonwoo senyum lagi. Perlahan, kesadarannya mulai hilang dan akhirnya Wonwoo tidur pulas di pelukannya Mingyu.

▪️◾◼️◾▪️◾◼️◾▪️

Jam 10 pagi, Wonwoo bangun. Kepalanya pusing banget sisa semalem. Dia ngucek matanya sampai dia sadar kalau dia gak ada di apartemennya. Wonwoo langsung bangun sambil liatin sekelilingnya.

Shit.” Wonwoo tau betul dia ada dimana, walaupun dia baru sekali kesini, tapi dia masih inget kalau tempat dimana dia bangun itu adalah apartemen dosennya.

Wonwoo langsung ngecek bajunya, dan ternyata lagi-lagi dia pakai baju dosennya itu. Wonwoo mukul-mukul kepalanya sendiri dan ngedengus. Dia segera ganti bajunya lagi dan ambil hp-nya yang ternyata ada banyak chat dan panggilan masuk dari Seungcheol yang isinya ngasih tau alamat hotel dan tiket pesawat. Wonwoo kaget karena dia gak minta dipesenin tiket pesawat, tapi ada hal lain yang bikin dia makin kaget lagi. Flight-nya jam 11, artinya dia cuma punya waktu sejam.

“Udah bangun ternyata. Ayok sarapan dulu.” Wonwoo sedikit tersentak pas denger suara Mingyu.

“Saya mau langsung pergi aja, ada janji.” Jawab Wonwoo.

“Seungcheol?” Wonwoo ngerutin dahinya.

“Maaf maaf, saya gak maksud buat ikut campur, tapi dari semalem dia telponin kamu terus, jadinya saya silent karena takut kamu ganggu, dan namanya keliatan.” Wonwoo cuma diem.

“Kamu gak akan mandi sama sarapan? Itu saya udah bikinin nasi goreng. Perut kamu pasti gak enak kan?” Tanya Mingyu. Setelah diomongin gitu, Wonwoo baru sadar kalau perut dia emang kerasa sakit.

“Yuk makan dulu.”

“Saya takut ketinggalan pesawat.” Mingyu natap Wonwoo.

“Pesawat?”

“Mau ke Bali.” Mingyu masih natap Wonwoo cukup lama.

“Ya udah makan di mobil, biar saya anter ke bandara.” Wonwoo kayaknya masih pusing, sampai dia cuma bisa diem aja.

“Kenapa? Mau mandi dulu?” Tanya Mingyu.

“Eh?”

“Mau mandi dulu, Wonwoo?” Ulang Mingyu.

“Keburu gak kalau mandi?” Mingyu ngelirik ke arah jam.

“Kalau 5 menit keburu.” Wonwoo cuma ngangguk.

“Jadi? Mau mandi dulu?”

“Hah? Gak tau.” Mingyu deketin Wonwoo.

“Kamu masih mabok?” Tanyanya.

“Nggak!” Jawab Wonwoo yang gak tau kenapa malah salting.

“Ya udah kamu mau mandi atau nggak?” Tanya Mingyu lagi.

“Iya.” Wonwoo buru-buru pergi dari hadapan Mingyu dan segera mandi dengan cepat. Sementara Mingyu siapin handuk sama baju gantinya Wonwoo yang sebenernya baju dia.

“Wonwoo, ini handuknya saya simpen di kasur, ya.” Kata Mingyu.

Lima menit berlalu, Wonwoo belum juga keluar, akhirnya Mingyu inisiatif buat ketuk pintu kamar mandinya, tapi baru juga mau diketuk, Wonwoo mau keluar tanpa baju karena baju dan handuknya ada di atas kasur.

“Eh, maaf!” Mingyu segera keluar dari kamarnya sendiri. Wonwoo sendiri juga kaget tadi dan refleks banting pintu kamar mandinya.

10 menit, akhirnya Wonwoo udah ganti baju, tapi dia tetep pake bajunya sendiri, karena katanya gak mau repotin Mingyu.

“Yuk.” Ajak Mingyu kikuk. Wonwoo juga keliatan salah tingkah. Masih canggung gara-gara kejadian tadi.

Keduanya segera naik mobil, gak lupa bawa nasi goreng yang udah dibikin Mingyu tadi di kotak bekal.

“Sambil makan, Won.” Suruh Mingyu.

“Bapak udah makan?”

“Udah kok tadi waktu kamu masih tidur.” Wonwoo cuma ngangguk dan dia segera makan. Dia cukup terkejut karena rasanya ternyata enak.

“Enak?” Tanya Mingyu.

“Bapak bisa masak?” Wonwoo balik nanya. Mingyu senyum, tepat lagi lampu merah, dia natap Wonwoo dan anggukin kepalanya.

“Sedikit.” Jawab Mingyu.

“Enak, dibanding nasi goreng cafe enakan ini.” Jawaban Wonwoo bikin senyum Mingyu makin merekah.

“Pak, lampu ijo.” Mingyu yang gak sadar kalau dia perhatiin Wonwoo makan segera tancap gas sebelum klakson di belakang sana semakin sahut-sahutan.

Kurang lebih 30 menit mereka sampai di bandara. Wonwoo segera cek lagi tiketnya dan nunggu pesawat.

“Makasih, Pak.” Kata Wonwoo.

“Sama-sama, Wonwoo.” Balas Mingyu. Keduanya diem. Wonwoo natap Mingyu heran, pun dengan Mingyu.

“Kenapa?” Tanya dosen muda itu.

“Kenapa bapak masih disini?” Lagi-lagi Wonwoo gak jawab, malah dia balik bertanya lagi.

“Nungguin pesawat kamu datang kan?”

“Eh, gak usah. Bapak emang gak sibuk?”

“Saya gak ada jadwal hari ini.” Wonwoo cuma diem dan anggukin kepalanya.

“Apa saya ke Bali juga?” Wonwoo langsung nengok.

“Ngapain?”

“Kamu ngapain?” Giliran Mingyu yang balik tanya ke Wonwoo.

Refreshing aja.” Jawab Wonwoo.

“Karena pusing skripsi?” Mingyu coba buat becanda.

“Skripsi gak bikin pusing menurut saya.”

“Dosennya bikin pusing gak?” Wonwoo natap Mingyu jengkel, tapi Mingyu tetep senyum.

“Ya.” Balesnya singkat.

“Kenapa emangnya?” Wajah Wonwoo makin jengkel dan sukses bikin Mingyu ketawa. Wonwoo diem, dia lagi mikir kenapa Mingyu tiba-tiba sikapnya gini, biasanya dosennya itu kaku.

“Pak, saya ngomong apa sih semalem? Gak ngelakuin hal aneh kan?” Mingyu angkat kedua alisnya, terus dia senyum.

“Hal aneh contohnya?” Kekeh Mingyu. Wonwoo ngedecam sebal. “Cium wajah saya semuka itu aneh gak?” Mata Wonwoo membelo dengernya.

“Serius?” Tanya Wonwoo. Mingyu ketawa lagi.

“Gak, Wonwoo. Gak ada yang aneh selain kamu minta ditemenin tidur.” Mahasiswa semester akhir itu cuma mijit pelipisnya karena malu, sementara dosennya cuma senyum sambil ngusak rambutnya.

“Tuh udah dipanggil, Wonwoo.”

Laki-laki yang lebih muda cuma ngangguk karena masih salah tingkah setelah tau kalau dia minta ditemenin tidur dosennya sendiri.

Safe flight.” Mingyu senyum dan sekali lagi dia ngusap kepala Wonwoo.

“Iya.” Dan Wonwoo segera naik pesawatnya.

⚠️⚠️⚠️

TW // Panic attack, mention about self harm

Gue beneran bingung banget setelah baca chat Bu Tria, gue harus datang atau nggak. Sebenernya gue emang udah sering banget datang ke rumah Bu Tria, mungkin seminggu 3 kali mah ada, tapi gak ketemu Helen, cuma sekedar samperin Bu Tria aja, kadang liat Helen kalau dia lagi tidur aja. Itu diliatin Bu Tria ya, bukan gue nyelonong masuk kamarnya, gak berani.

Gue mau ajakin Aul, gak enak, dia baru aja putus sama si Ochi. Mau ajak si Audrey, gue gak yakin kalau dia juga lagi baik-baik aja. Gue akhirnya bengong dulu karena bingung harus apa. Sebenernya gue gak bingung apakah gue boleh samperin Helen atau gak, tapi gue lebih ke takut aja sih. Perasaan bersalah tuh masih ngehantuin gue asal kalian tau. Gue takut kalau pas Helen ngeliat gue, dia malah benci ke gue dan gak mau ketemu gue lagi. Gue takut banget.

“Bengong aje, bujang. Ngapa sih?” Tanya Jun yang baru aja kelar mandi.

“Menurut lu...” Jun ngambil sprite di kulkas dan duduk di sebelah gue.

“Kenapa?” Tanyanya.

“Gak jadi.”

“Eh, dosa lu kalau kagak jadi ngomong. Dosanya 30 hari ibadah lu gak diterima.”

“Lu Islam mana sih?” Tanya gue sewot.

“Islam KTP.” Jawabnya sambil ketawa, kagak tau lucunya sebelah mana.

Gue diem lagi, Jun juga diem aja sambil minum sprite-nya. Cukup lama kita berdua diem-dieman. Kayaknya Jun juga nungguin gue ngomong.

“Helen?” Tanya Jun. Gue ngehembusin nafas panjang terus ngangguk.

“Bu Tria suruh gue nyamperin Helen, tapi gue terlalu takut. Gue takut Helen takut ngeliat gue.” Jawab gue.

“Ji, lu kan psikolog, lu pasti tau kalau respon itu hal yang wajar buat Helen.” Gue diem lagi. Bener kata Jun, gue tau sebenernya itu hal yang normal.

“Tapi gue gak mau ngeliat Helen ketakutan karena gue, Jun.”

“Ji, makanya dicoba dulu, bener kata Bu Tria. Kan pelan-pelan juga, Ji. Helen juga lama-lama bisa nerima lu lagi pasti, gue yakin. Coba dulu, ya?” Gue masih sedikit ragu, tapi akhirnya gue ngangguk.

“Ya udah mandi sono, gak mungkin kan lu mau ketemu Helen malah bau.” Canda Jun.

“Enak aja, gue gak mandi juga kagak bau, ya, anjir.” Gue langsung melengos, tapi sebelumnya gue minum dulu sprite punya Jun terus langsung ambil anduk dan mandi.

15 menit, akhirnya gue kelar. Gue diem dulu sebentar. Kayaknya gue kebanyakan ngelamun sih sampe Bu Tria chat gue lagi nanyain gue jadi ke rumahnya atau nggak.

Gue segera pake baju dan pergi ke rumahnya Bu Tria. Gak tau kenapa, gue deg-degan setelah sampe depan pintunya. Ada perasaan ragu yang nyelimutin gue waktu mau ngetuk pintu.

Belum sempet gue ngetuk, pintunya kebuka duluan.

“U—uji.”

Jantung gue mencelos ketika liat Eyen di hadapan gue. Udah lama banget gue gak tatap-tatapan secara langsung gini.

“Eyen.” Bales gue pelan.

Gue liat dia ngeremas bajunya kuat. Dia keliatan gugup dan... Takut.

Gue seketika lemes waktu matanya Eyen tiba-tiba ngeluarin air mata sambil natap gue. Ya Allah, gue beneran gak sanggup liat Eyen kayak gini.

“Eyen, maaf...” Cuma itu yang keluar dari bibir gue.

“I—ibu...” Eyen nepukin dadanya. Dia keliatan sesak banget.

“Eyen!” Waktu gue mau samperin dia, Eyen malah teriak sambil gelengin kepalanya. Bu Tria langsung samperin Eyen yang sekarang udah nangis deras.

Gue cuma bisa mematung disana sambil liatin Eyen yang semakin kenceng nangisnya. Bu Tria segera bawa Eyen ke kamarnya. Gue diem aja, natap kosong ke depan gue.

Sekitar 10 menitan, Bu Tria keluar kamar Eyen dan nemuin gue yang masih berdiri di tempat yang sama.

“Nak Uji, maaf, ya.” Katanya Bu Tria yang keliatan penuh penyesalan.

“Masih belum bisa, ya, bu?” Tanya gue lemes.

“Kayaknya belum, nak.” Jawab Bu Tria. Gue nunduk lesu. Sedih banget rasanya.

“Tapi tadi sebenernya Helen gak terlalu lama kambuhnya. Biasanya butuh waktu setengah jam buat dia tenang lagi.” Gue segera natap Bu Tria.

“Setelah kejadian itu, Helen biasanya nangis lama banget, terus tiba-tiba sesak nafas sampai harus minum obat.”

“Tidurnya gimana, bu?” Tanya gue.

“Kalau tidur masih harus dibantu obat, nak.” Jawab Bu Tria.

“Maaf, bu.” Bu Tria langsung gelengin kepala, paham banget kenapa gue minta maaf karena semenjak kejadian itu, gue selalu datang sambil nanyain Helen sekalian minta maaf.

“Nak, ibu kan udah bilang berkali-kali, ini bukan salah kamu. Jangan minta maaf terus ah, ibu gak suka.” Gue diem aja dengernya. Karena masih kepikiran Eyen.

“Nak Uji, udah jangan dipikirin, ya? Tolong didoain aja biar Helennya cepet sembuh.” Bu Tria nepuk bahu gue.

Disini gue malu sekaligus ngerasa gak enak banget sama Bu Tria. Seharusnya gue yang nguatin beliau, gue yang harusnya ngasih afirmasi positif, karena mau gimanapun juga, pasti orang tuanya yang ngerasa paling sedih.

“Maaf, ya, ibu suruh kamu kesini, jadinya kamu harus liat Helen kayak tadi.” Ucapan Bu Tria makin bikin gue sakit hati. Gimana bisa Bu Tria malah minta maaf ke gue? Walaupun emang gue sempet ragu buat datang, tapi akhirnya gue datang juga kan, karena emang gue yang pengen, bukan karena Bu Tria nyuruh gue.

“Gak apa-apa kok, Bu. Saya juga datang atas kemauan sendiri kok.” Jawab gue.

“Makasih, ya, A Uji. Makasih banyak udah sering jengukin Helen.

“Sama-sama, bu.” Bales gue.

Gak lama, ada Dokter Anne dateng. Dia gak kaget ngeliat gue ada di rumah Bu Tria, soalnya udah tau juga kalau gue sering kesini dan nanyain soal terapinya Eyen.

“Lagi tidur Helennya. Sini dok, duduk dulu.” Kata Bu Tria dan setelahnya izin buat ambil minum.

“Tadi Helen teriak waktu liat saya.” Kata gue. Dokter Anne keliatan prihatin banget sama gue. Dia nepuk pundak gue.

“Pelan-pelan, ya, Ji.” Katanya. Gue cuma ngangguk.

“Tapi dia gak pernah self harm kayak dulu lagi kan?” Tanya gue.

“Alhamdulillah, gak pernah kok, Ji. Gak seburuk itu untungnya. Tapi waktu sehari abis kejadian, iya, dia gitu.”

“Kok dokter gak bilang ke saya?” Gue beneran baru tau. Dokter Anne keliatan agak gelagapan.

“Ibu yang minta biar Dokter Anne gak bilang ke A Uji.” Bu Tria yang jawab sambil bawa minum.

“Kamu pasti nyalahin diri sendiri terus kalau dibilang. A Uji juga pasti makin sedih kalau tau.” Lanjut Bu Tria halus.

“Tapi tenang aja, ya, A Uji, sekarang udah gak kayak gitu kok.” Gue beneran pusing banget dengernya.

“Udah ya, A Uji, Helen beneran udah jauh lebih baik kok. A Uji jangan terlalu dipikirin, ya.” Gue cuma ngehembusin nafas panjang, dan ngangguk aja.

“Bu, maaf ya, saya pamit pulang dulu.”

“A Uji makasih, ya, udah sering jengukin Helen.” Gue senyum.

“Sama-sama, Bu. Saya cuma pengen Eyen tau aja masih ada yang peduli sama dia.” Bu Tria sama Dokter Anne liat-liatan terus senyum kecil.

“Helen maksudnya.” Anjir bisa-bisanya gue keceplosan bilang Eyen di depan Bu Tria.

“Ya udah saya pamit dulu, bu, dok. Assalamualaikum.” Gue pamit sebelum gue makin malu.

“Waalaikumsalam.”

⚠️⚠️⚠️

TW // Family issue, cheating, mention mental health issue

Jam 1 siang, anak kontrakan pada ngumpul di Rumah Makan Padang yang ada di ujung komplek. Gak semua sih yang ada, tapi ya lumayan lah ada gue, Dikey, Ochi, Bang Shua, Bang Jeonghan, sama Bang Cheol terus Jun yang baru aja datang.

Uni sama uda malah sampe anak-anaknya tuh sampe hafal sama kita semua saking seringnya beli. Tapi gue rasa mereka lebih inget kita bukan sebagai pelanggan loyal tapi 13 mahasiswa yang berisik dan gak serius. Gimana nggak, sekarang aja si Ochi ama si Dikey lagi sibuk ngobrol sama anaknya si uni yang kelas 5 SD itu pake Bahasa Minang. Untung aja nih kita gak pernah diusir sama yang punya.

“Cuci tangan yang bersih, Won, kan mau ngapel. Udah pake Gatsby wangi-wangi eh taunya tangannya bau lengkuas.” Emang mulutnya si Ochi harus dilakban.

“Dimana sih apartemen si Kiming? Gue belum pernah kesana.” Kata Bang Cheol.

“Deket elah, daerah Cihampelas.” Jawab si Dikey.

“Berapa dah anjir perbulan dia bayar?” Tanya Ochi.

“1,5 katanya sih, tapi asli gede anjir. Emang ntu anak pinter nego, awalnya 2 juta perbulan.”

“Anjir kaya juga si Mingyu.” Timpal si Ochi.

“Itu dia bayarnya juga hasil dari fotografer, full job kan dia bulan kemaren.” Jawab si Dikey lagi.

“Gih berangkat, Won.” Suruh Bang Jeonghan.

“Lah si Wonu mau kesana?” Tanya Bang Cheol.

“Makanya baca grup, abah.” Ledek Bang Jeonghan.

“Tumben lu kagak gengsi.” Kata Jun.

“Takut diambil si Kiming gak sih hahay.” Celetuk si Ochi. Ingetin gue buat beli lakban item nanti balik.

“Dah ah gue berangkat.” Gue segera pergi dengan ledekan-ledekan setan di belakang sana.

Padahal Indonesia gak kena heat wave tapi tetep aja panas banget. Akhir-akhir ini Bandung suhunya sampe 30 derajat. Ini aja selama di jalan gue kepanasan padahal biasanya gak sepanas ini.

Sekitar 20 menitan, gue sampe di apartemen Mingyu. Gue diem beberapa saat, agak ragu mau pencet bel. Bingung juga gue mau ngapain jenguk Audrey. Lagi diem mikir, tiba-tiba pintunya kebuka dari dalem. Gak tau kenapa gue cuma bisa mematung liat cewek di hadapan gue sekarang.

“Masuk kali, gue gak akan apa-apain lu.” Katanya.

Gue akhirnya masuk dan duduk di sofa ruang tengahnya. Gak tau kenapa gue ngerasa gugup gak jelas.

“Air putih aja, ya, gak ada apa-apa selain alkohol.” Gue nengok ke arah Audrey.

“Gak mood diomelin.” Padahal gue juga gak ada niat buat ngomel.

“Gak ada makanan, gofood aja kalau mau.” Katanya lagi.

“Baru makan.” Jawab gue.

“Oh.” Bales dia.

Dan kita berdua diem. Gue bisa liat Audrey yang agak kusut. Audrey emang bukan tipe cewek yang rapi banget, tapi ini tuh beda. Paham gak sih? Dia keliatan redup? Iya, kayaknya itu kata yang tepat buat deskripsiin keadaan dia sekarang.

“Gue bukan sakit fisik yang keliatan, bukan.” Audrey mecah keheningan.

“Mental gue yang sakit.” Lanjut dia lagi.

“Kenapa?” Tanya gue.

“Oh, lu tertarik sama cerita gue?” Bukanya jawab, Audrey malah balik nanya.

“Maksud lu?” Gue ngerutin dahi.

“Selama ini kan lu gak peduli. Lu selalu ngedorong gue ngejauh dari lu. Gak mau denger cerita gue, apa sebab gue sampe mabok kayak kemaren, lu gak pernah peduli. Lu cuma tau gue mabok dan lu marah-marah gak jelas, gue cewek rusak yang doyan clubbing yang bisa aja ngerusak temen-temen lu yang lain. Iya kan?” Audrey natap gue datar, intonasi bicaranya juga datar. Ekspresinya gak bisa ditebak, apakah dia marah, kesel, atau apa, gue gak tau. Tapi yang jelas, gue selama ini jahat sama Audrey.

“Maaf, Drey.” Akhirnya keluar juga kata itu.

“Gak apa-apa, emang bener semua pikiran lu. Gue emang gak bener, gue rusak.” Lanjutnya.

“Gue, keluarga gue, semuanya rusak, kalau lu mau tau.”

“Sekarang lu tertarik sama cerita gue? Gak apa-apa kalau lu gak tertarik, lu bisa balik, gue mau tidur lagi.” Gue diem sebentar dan anggukin kepala.

“Gue mau denger cerita lu, Audrey.”

Gue sama Audrey saling tatap cukup lama. Dia narik nafas panjang beberapa kali.

“Hidup gue tuh kayak sinetron asal lu tau. Bokap nyokap gue orang terpandang, punya segalanya, harta, tahta, jabatan, semuanya mereka punya, cuma satu yang mereka gak punya. Cinta.” Audrey natap kosong ke depan.

“Pertama kali gue ngeliat bokap gue selingkuh sama sekretarisnya sendiri waktu gue lagi ke kantornya, dan itu waktu gue SMP. Di umur segitu, gue udah harus diliatin betapa bejatnya bokap gue. Disaat harusnya seorang ayah jadi cinta pertama anak gadisnya, tapi ini malah jadi laki-laki yang paling gue benci.” Gue kaget sekaget-kagetnya denger cerita Audrey. Tapi dia keliatan gak terpengaruh sama sekali. Tatapannya masih kosong, dan nada bicaranya datar.

“Dan lu tau puncak kebencian gue ke bokap gue kapan? Waktu SMA, gue liat dengan mata kepala gue sendiri, bokap gue...” Audrey nelen ludahnya dan ngehembusin nafas panjang lagi. “Sama sahabat gue.” Meskipun nada bicara dia datar, tapi gue liat kalau tangannya Audrey ngepal.

“Nyokap gue tau. Dia marah? Gak. Dia gak marah sama sekali, tapi dia juga ngelakuin hal yang sama. Dan kemaren waktu gue balik ke rumah, sebelum gue mabok berat itu, gue liat nyokap gue gak tau sama siapa lagi asik ciuman tanpa baju, dan yang bikin gue sakit hati, dia sama sekali gak ngerasa harus sembunyiin itu dari gue.” Suaranya mulai bergetar. Kali ini, selaput bening menuhin matanya, sampai akhirnya dia ngedip dan selaput itu pecah dan turun jadi bulir air mata.

“Kenapa? Kenapa dia gitu? Seenggaknya dia bisa pura-pura kaget karena ketauan anaknya sendiri. Kenapa dia gak berusaha buat sembunyiin itu, Won? Kenapa?” Dia natap gue dengan mukanya yang merah. Air mata Audrey gak berhenti ngalir. Isakan yang awalnya ditahan justru semakin kenceng.

“Kenapa dia gak pura-pura punya malu ngelakuin hal tolol gitu depan anaknya sendiri? Dia bahkan gak repot buat pindah tempat di saat gue ada disana. Dia gak berusaha buat sembunyiin suara menjijikannya dia. Dia gak berusaha... Gak berusaha buat jelasin ke gue, minta maaf ke gue. Gue anaknya, Won. Gue anak dia.”

Gue pindah posisi, gue duduk di sebelah Audrey yang sekarang nangis sejadi-jadinya. Gue ikutan sakit hati denger cerita dia apalagi denger dia nangis sehisteris ini. Disaat dia biasanya cuek dan keliatan gak peduliin sekitarnya, ternyata dia nyimpen luka yang terlalu dalam yang akan sulit atau bahkan mungkin gak akan pernah bisa sembuh. Audrey yang selama ini keliatan kokoh, hari ini runtuh semua benteng pertahanannya. Gue peluk Audrey, karena beneran gue gak sanggup denger dia nangis sepilu ini. Denyut jantung gue seketika kerasa ikutan nyeri.

Perasaan bersalah bener-bener ngerayapin setiap bagian tubuh gue saat ini. Gue beneran sebrengsek itu ternyata sama Audrey.

“Maaf, Drey. Gue minta maaf banget.” Ucap gue ketika tangisan Audrey berhenti. Sekarang tinggal sisa isakannya aja. Audrey ngelepasin pelukannya.

“Iya.” Jawabnya singkat. Dia hapus air matanya dan ekspresinya berubah lagi, kembali datar.

“Gue itu punya PTSD setelah kejadian itu. Waktu SMP lumayan parah sampai SMA, semenjak kuliah gak separah itu karena gue sendirian di apartemen, gue udah gak sesering dulu kambuhnya apalagi setelah gue ketemu anak kontrakan.” Gue diem dengerinnya.

“Soalnya gue ngerasa kalian terima gue, kalian juga ikut khawatir ketika gue kenapa-napa, you all are so genuine and pure, makanya gue pengen selalu baik sama kalian karena gue ngerasa gue harus ngebayar itu semua, perasaan nyaman yang gak bisa gue temuin di rumah, walaupun gak sebanding sama apa yang gue kasih, tapi gue selalu seneng ngeliat anak kontrakan bahagia setiap gue bawa makanan atau traktir mereka. Bahkan kalaupun itu semua cuma pura-pura, gue tetep berterima kasih karena gue ngerasa kehadiran gue diapresiasi.” Ucapan Audrey bikin gue ngerasa semakin bersalah. Audrey itu orang yang tulus, orang baik, justru disini gue lah yang jahat. Gue selalu ngedorong dia menjauh.

“Gue ngantuk. Lu mau disini atau mau balik?” Tanya Audrey. Gue langsung nengok.

“Gue belum tidur dari kemaren, ngantuk banget abis nangis.” Lanjutnya.

“Mingyu bakal kesini?” Tanya gue.

“Gak akan, dia kan udah balik kontrakan. Apartemen ini punya gue sekarang.” Gue jadi bingung. Gue belum ngeluarin semua permintaan maaf gue ke Audrey, tapi gak mungkin gue terus disini sementara dia tidur, aneh juga rasanya.

“Ya udah gue pulang aja kalau gitu.” Gue segera berdiri dan jalan menuju pintu.

“Drey.” Panggil gue sebelum keluar. Dia gak nyaut, cuma natap gue aja.

Please be happy.” Ucap gue pelan. Audrey masih diem aja sambil natap gue.

Happiness looks better on you. You're the prettiest when you smile.

“Gue pamit.” Dan gue jalan dengan cepat. Gak tau kenapa jantung gue tiba-tiba aja mompa darah lebih cepet sampe bikin gue deg-degan. Pipi gue kerasa merah. Tapi ya gue serius, gue pengen Audrey bisa bahagia, beneran bahagia bukan sebuah kebahagiaan yang dipaksain.

Wonwoo gak bisa tidur dengan tenang. Semalem dia sampai ke Bandung jam 3 pagi, kirain bakal langsung tidur karena capek, turns out, he was fully awake until 7 am. Wonwoo bener-bener kepikiran kejadian dia ketemu Pak Mingyu di Jakarta. Gak tau kenapa Wonwoo ngerasa stres banget, padahal dosennya itu biasa aja. Dan akhirnya dia ketiduran dan bangun jam 1 siang. Wonwoo langsung mandi dan berangkat.

Selama di jalan, Wonwoo mikir apa dia harus bolos bimbingan, tapi kalau gitu, sampai kapan dia bolos? Semester depan sampai dia bisa ganti dosen? Gak mungkin, Wonwoo pengen cepet lulus juga, dan lagi pasti Pak Mingyu juga sadar kalau Wonwoo lagi ngehindarin dia. Pria berkacamata itu cuma bisa hembusin nafas kasar.

“Wonwoo! Sini sini!” Wonwoo ngelirik ke arah cowok yang lagi lambai tangannya biar dia duduk di sebelahnya.

'Oh itu Joshua.' Gitu sekiranya batin Wonwoo.

“Hai.” Sapa Wonwoo basa-basi.

Beberapa orang nyapa Joshua dan kadang ngajak ngobrol. Iya, semua orang kenal Joshua. Bukan cuma temen seangkatan aja, tapi adek tingkat sampai kakak tingkat juga kenal soalnya Joshua ini ramah banget, dan positive vibes juga, jadinya orang seneng temenan sama dia.

Nah, berbanding terbalik sama Wonwoo yang terkenal karena dia dingin dan selalu sendirian. Menurut orang lain, auranya Wonwoo itu untouchable, jadinya pada gak berani ngajak dia temenan walaupun mereka sebenernya pengen.

“Oh iya, dosen pembimbing satu lu siapa sih?” Tanya Joshua ramah.

“Bu Gayes.” Jawab Wonwoo singkat.

“Perfeksionis, ya, Bu Gayes tuh. Tapi katanya yang dibimbing Bu Gayes tuh enak, minor revisi kalau abis sidang, karena emang beliau sedetail itu.” Wonwoo cuma anggukin kepalanya karena dia baru tau.

“Gue sama Pak Indra dosen satunya. Enak sih detail juga, tapi gak kuat galaknya itu loh, dia marah-marah terus padahal gak ada yang salah apapun.” Wonwoo cuma bales denga ber-oh ria aja.

“Udah dapet jurnal sama skripsinya?” Tanya Joshua lagi.

“Udah.”

“Keren! Gue susah banget cari skripsinya, baru nemu 3.”

Wonwoo bingug mau jawab apa, tapi beruntung dosennya masuk kelas, jadi obrolan mereka kepotong.

Selama matkul berlangsung, Wonwoo gak bisa fokus. Dia masih bimbang dia harus bolos atau tetap hadir. Tapi masa tiap bimbingan bolos? Wonwoo mijit pelipisnya sendiri.

“Kenapa, Won?” Ternyata Joshua sadar.

“Hah? Gak apa-apa, pusing dikit.” Jawab Wonwoo asal.

“Udah makan?”

“Belum, tadi bangun langsung berangkat.”

“Eh nanti mau makan dulu gak?”

“Gak usah, makasih. Nanti gue makan di apartemen aja.” Jawab Wonwoo.

“Beneran?”

“Iya, bener.” Jawab Wonwoo.

“Ya udah, tapi kalau makin pusing, bilang aja ya, biar gue anter pulang.”

“Gak apa-apa, gue bawa mobil kok.”

Keduanya perhatiin dosen lagi. Lebih tepatnya Joshua aja yang perhatiin, sementara Wonwoo masih aja kepikiran Pak Mingyu.

Jam 4 kurang, akhirnya matkul mereka selesai. Joshua dan Wonwoo segera pergi ke perpustakaan, ke ruangan nomor 13 yang udah dibilang Pak Mingyu.

“Selamat sore, pak.” Sapa Joshua ramah.

“Sore.” Pak Mingyu juga balas dengan ramah dan sambil senyum.

Wonwoo malingin wajahnya karena ya merasa canggung aja.

“Joshua kapan bimbingan Pak Indra?” Tanya Pak Mingyu.

“Hari Rabu, Pak, tapi saya masih belum dapet skripsinya, baru ada 3.” Jawab Joshua.

“Cari sekarang aja, santai kok kalau sama saya, yang penting kamu paham sama apa yang mau kamu teliti dan ada korelasi sama judul. Kamu pake metode apa?”

“Kualitatif, pak. Tapi sebenernya masih bingung juga, katanya lebih gampang kuantitatif, tapi saya gak paham SPSS, tapi kakak tingkat saya ada yang kualitatif, katanya narasumbernya susah dihubugin, jadinya bingung banget, pak.” Pak Mingyu ketawa denger curhatan Joshua.

“Ya udah pikirin dulu aja, kamu belum mulai juga kan bab 1, atau udah bikin?” Tanya Pak Mingyu.

“Belum sih, pak. Emang udah ada yang ngerjain bab 1?” Pak Mingyu ngelirik ke arah Wonwoo yang lagi ngelamun.

“Wonwoo udah kan?”

“Eh? Maaf, kenapa pak?”

“Kamu udah kerjain bab 1?” Pak Mingyu ngulang pertanyaannya.

“Ah... Oh... Udah, Pak, tapi belum selesai semua, masih banyak yang kurang.” Jawab Wonwoo.

“Loh udah? Cepet banget deh, Won.” Puji Joshua yang kaget sementara Wonwoo cuma senyum tipis aja.

“Ya udah bimbingannya mau Wonwoo dulu aja? Mungkin Joshua mau cari-cari skripsinya dulu?”

“Boleh, pak.” Jawab Joshua.

Wonwoo keliatan gugup banget. Apalagi waktu dia tukeran tempat duduk sama Joshua yang ada di samping Pak Mingyu.

“Saya cek dulu jurnal sama skripsinya, ya.” Wonwoo cuma ngangguk. Tenggorokan dia terasa kecekat sampai suaranya gak bisa keluar. Beberapa kali dia nelan ludahnya.

“Tegang banget, Won.” Canda Joshua sambil ketawa. Pak Mingyu ikut ngelirik ke arah Wonwoo.

“Eh apa masih pusing?” Yang tadinya ketawa, sekarang Joshua jadi khawatir.

“Kamu sakit?” Tanya Pak Mingyu dan dibales gelengan.

“G—gak.” Wonwoo gigit bibir bawahnya. Bisa-bisanya dia segugup ini.

“Tadi katanya pusing?” Tanya Joshua lagi.

“Oh... Itu maksudnya pusing sama materi tadi.” Bohong pastinya, gak mungkin dong dia jawab pusing karena Pak Mingyu.

“Oh, kirain pusing beneran.”

“Gak kok.” Balas Wonwoo lagi. Dia ngelirik Pak Mingyu dan ternyata Pak Mingyu juga lagi ngeliatin Wonwoo. Akhirnya Wonwoo langsung malingin wajahnya.

“Beneran gak apa-apa, Wonwoo?”

“Kayanya tegang itu bimbingan sama bapak.” Pak Mingyu ikutan ketawa denger ucapan Joshua.

“Santai aja, Wonwoo. Kan sering ketemu.” Bales Pak Mingyu dan bikin Wonwoo batuk.

“Eh, nih minum, Won.” Wonwoo ambil minumnya Joshua dan minum sedikit.

“Makasih. Pak, izin dulu keluar.” Wonwoo buru-buru keluar.

Wonwoo pergi ke kamar mandi, karena sebenernya dia binung mau kemana. Dia gak berhenti mengumpat dalam hatinya. Sekitar 5 menit, akhirnya dia kembali ke ruangannya.

“Dari mana, Won?” Tanya Joshua.

“Kamar mandi.” Jawab Wonwoo.

Kedua netra Wonwoo dan Pak Mingyu ketemu lagi, kali ini cukup lama, dan akhirnya Wonwoo mutus kontak mata mereka.

“Ini jurnal sama skripsi kamu udah sesuai, bab 1 kamu juga tolong masukin marketing mix, nanti bagian promotion harus detail karena kan itu yang utamanya, masukin juga data jumlah bisnis F&B, karena tadi saya baca belum ada, sementara kamu bilang jumlahnya meningkat dari tahun sebelumnya, tolong dicari dan compare dari tahun lalu ke tahun sekarang.”

“Iya, Pak.” Jawab Wonwoo.

“Sisanya udah lumayan, good job.” Pak Mingyu senyum ke arah Wonwoo, sementara Wonwoo senyum tipis dan segera natap ke arah lain.

“Udah? Cepet banget.” Ucap Joshua.

Akhirnya giliran Joshua yang bimbingan. Wonwoo bingung harus apa. Kalau main hp, rasanya gak sopan, tapi kalau diem aja, dia tuh kepengen ngelirik Pak Mingyu terus.

“Makasih banyak, Pak.” Joshua pun cuma sebentar karena dia belum sampai bab 1, baru nyerahin jurnal dan skripsi aja.

“Yang bimbingan tadi ada yang udah bab 1 juga, Pak?” Baru aja Wonwoo siap-siap buat pulang, tapi Joshua malah ajak ngobrol Pak Mingyu dulu dan terpaksa bikin dia nungguin lagi.

“Belum ada, sejauh ini baru Wonwoo aja kalau yang dosennya saya.” Balas Pak Mingyu.

“Bapak tuh baru tahun ini, ya, jadi dosen pembimbing?”

“Iya, Joshua. Soalnya tahun lalu masih dosen LB, belum bisa. Sekarang udah dosen tetap, karena pertama kali, jadinya gak langsung dosen pembimbing satu, dan gak banyak juga mabingnya.” Pak Mingyu jelasin dengan ramah banget. Dia selalu senyum ke mahasiswanya.

“Tapi jujur, lebih enak sama Pak Mingyu.” Yang dipuji ketawa.

“Kenapa emangnya?”

“Bapak tau sendiri Pak Indra gimana.” Pak Mingyu tambah ketawa lagi. Di ruangan itu, cuma Pak Mingyu dan Joshua yang nikmatin obrolan, sementara yang satunya lagi mikir kapan percakapan ini selesai.

“Eh, kok wanginya Pak Mingyu mirip Wonwoo?”

“Hah?” Jawab Wonwoo refleks. Pandangan mereka ketemu lagi. Dan Wonwoo baru sadar kalau dia pakai baju yang tempo hari dibalikin Pak Mingyu yang bikin wangi mereka sama persis.

“Masa sih? Coba saya mau cium.” Wonwoo hampir aja batuk lagi, tapi untung dia bisa nahan kali ini.

“Bajunya.” Lanjut Pak Mingyu sambil senyum.

“Mungkin pewangi dari laundry-nya sama.” Bales Wonwoo.

“Maaf, sudah selesai ya, Pak? Saya mau izin pulang, kurang enak badan.” Lanjut Wonwoo lagi. Dosennya itu tau kalau Wonwoo gak bener-bener sakit.

“Boleh, Wonwoo. Udah selesai kok, mau diantar pulang?”

“Gak usah, Pak. Makasih. Saya pulang duluan.” Wonwoo segera keluar ruangannya buru-buru disusul Joshua yang manggil dari belakang.

“Wonwoo, tungguin.”

“Eh, cepet banget jalan lu.” Kata Joshua setelah bisa nyamain langkahnya.

“Lu beneran gak apa-apa? Makan dulu, yuk?” Ajak Joshua.

“Gak bisa, Joshua. Kepala gue sakit.” Bales Wonwoo.

“Tapi lu makan, ya? Biar gak makin parah.”

“Iya.”

Akhirnya Wonwoo segera masuk mobil dan tancap gas menuju apartemennya.

Wonwoo yang saat itu ngerasa butek banget mutusin buat pergi ke Jakarta, buat clubbing. Iya, emang dia lebih sering clubbing di Jakarta, karena kalau di Bandung malas. Dia pernah beberapa kali ketemu anak kampusnya yang kenal sama dia. Wonwoo? Tentu aja dia gak kenal siapapun yang dia temuin, gak jarang juga ada yang ngajak clubbing bareng yang pasti bakal ditolak. Dan iya, dia itu gak ada temen. Sebenernya banyak yang udah nyoba buat deketin Wonwoo, either as a friend or a lover, tapi Wonwoo gak pernah peduli, dia terlalu nyaman sendirian.

Sekitar jam 11 malem, Wonwoo sampai di lokasi tujuan. Dia segera masuk dan duduk di table yang udah ada Seungyoun disana. Wonwoo segera nenggak satu sloki bir dan ngehela nafas panjang.

“Kenapa sih, manis?” Tanya Seungyoun.

“Susah amat kayaknya skripsi lu sampe sestres ini?”

Wonwoo kembali nenggak birnya. Kali ini kadarnya rendah, karena Wonwoo gak niat buat mabok, soalnya besok pagi dia balik lagi ke Bandung buat kelas. Untung kelasnya jam 2 siang, jadi dia bisa tidur dulu.

“Pusing gue.” Ketus Wonwoo.

“Sini cerita sama Kokoh.” Wonwoo cuma ngedelik sementara Seungyoun ketawa geli. Seungyoun tuh gak pernah ngeliat Wonwoo kayak gini. Menurut dia, Wonwoo orang yang jauh dari kata stres karena ekspresinya yang selalu sama. Datar dan dingin. Dan dia gak pernah ngeluhin apapun.

Catatan, kecuali kalau dia udah kalah telak karena alkohol. Soalnya jadi gemes dan banyak ngomong.

“Udah sampe bab berapa sih emang? Perasaan baru juga masuk minggu lalu lu.”

“Bukan skripsinya yang bikin gue stres.” Jawab Wonwoo.

“Dosennya? Kenapa sih?”

“Gak tau, gak jelas.”

“Dosen lu killer?”

“Sebaliknya. Terlalu kalem.”

“Lah bagus dong? Gak akan kena omel.”

“Gak gitu. Pokoknya gue ada masalah sama dia.”

“Pantesan lu stres gini anjir. Gue mau nanya masalah apaan pasti kagak dijawab, jadi gue gak akan nanya.”

“Iya, diem aja.”

“Mending joget gak sih?” Ajak Seungyoun.

“Ogah.”

“Sekali-kali lah.”

“Males, Seungyoun. Desek-desekan gitu.”

“Di pinggir aja, elah. Ayok, cepet.” Seungyoun narik tangannya Wonwoo sampai cowok itu hampir jatuh. Mau gak mau, Wonwoo ikut aja. Dia mikir ya udah sekali aja dia cobain, mungkin ini juga bisa ilangin stres.

Wonwoo gak mau ke tengah, karena liat banyaknya manusia di tengah sana. Akhirnya Seungyoun ngalah, mereka cuma nari di pinggir dance floor.

“Gue gak bisa!” Teriak Wonwoo karena suaranya keredam suara musik.

“Elah, gimana aja sih bebas, gak akan ada yang liat juga.” Bales Seungyoun.

Seungyoun contohin ke Wonwoo, dan itu bikin berhasil bikin Wonwoo geli tapi dia tetap ketawa. Akhirnya Wonwoo ikut nari-nari kecil bareng Seungyoun. Lumayan lama mereka nari, sampai akhirnya Wonwoo putusin buat balik lagi ke table karena capek. Sementara Seungyoun malah semakin tengah. Ternyata saran Seungyoun cukup berhasil, pikiran Wonwoo bisa terdistraksi sementara.

Netra Wonwoo fokus ke orang-orang yang asik meliukkan badan sambil nyesap minumannya sedikit demi sedikit.

“Boleh ikut duduk?”

Wonwoo noleh, dia micingin matanya karena dia gak pakai kacamata dan keadaannya remang.

“Duduk aja.” Balas Wonwoo.

“Sendiri?” Tanya cowok itu.

“Nggak, sama temen.”

“Temen?”

Wonwoo noleh, dia bisa liat cowok itu senyum.

Satu hal yang Wonwoo bener-bener notice dari cowok ini adalah wangi. Bener-bener sewangi itu. Bahkan Wonwoo jadi penasaran sama parfum yang dipakai si cowok ini. Wanginya woody, tobacco, wangi-wangi berat dan smokey, yang semakin lama semakin wangi, apalagi kalau udah kecampur sama asap, dan ada sedikit musky yang bikin wanginya jadi sedikit lebih soft.

“Beneran temen.” Balas Wonwoo. Cowok itu ketawa kecil.

“Kenapa ketawa?”

“Lucu aja dijelasin.”

You sound judgy, sir.” Lagi-lagi cowok tadi ketawa.

“Maaf maaf, abisnya kebanyakan yang datang sama pasangan.”

I don't think so.” Balas Wonwoo.

I mean, mostly they're looking for their lover here.” Lanjut Wonwoo.

“Tau banget kayaknya?” Wonwoo mutar bola matanya. Cowok sebelahnya itu nyesap minumannya dengan bibir yang enggan ngelepas senyum, terlalu seneng godain Wonwoo.

“Temen saya juga gitu.”

“Ah, temen kamu.” Balas dia.

“Kalau ka—”

Not interested.” Wonwoo motong omongannya karena dia udah tau kalimat selanjutnya yang bakal dilontarin. Kekehan geli keluar lagi.

“Choi Seungcheol.” Wonwoo noleh ke arah pria yang baru aja kasih tau namanya itu.

“Jeon—”

Belum sempat Wonwoo kasih tau namanya, dia nemuin satu sosok gak asing yang lagi asik ngobrol sama seorang perempuan dengan tinggi semapai di bawah guyuran sinar biru di ujung sana. Dia segera pake kacamatanya buat pastiin orang disana dan bener.

Pak Mingyu.

Shit.” Umpat Wonwoo pelan. Seungcheol nengok ke arah yang sama dengan Wonwoo.

You know him?

“Eh?” Tanya Wonwoo.

“Itu temen kamu?” Wonwoo gelengin kepalanya.

“Kirain temen kamu, soalnya kamu liatin terus.”

Wonwoo segera balik badan, berharap Mingyu gak liat dia. Hatinya jadi gak tenang lagi. Tapi Wonwoo cukup yakin kalau Mingyu gak liat dia. Dia mau keluarpun susah karena Mingyu berdiri disana. Dalam hati, Wonwoo tenangin diri, yakinin dirinya kalau Mingyu gak liat dia.

So?

Wonwoo noleh lagi ke Seungcheol. Dia sampai lupa mereka abis ngobrolin apa.

Your name.

“Jeon—”

“Wonwoo?”

Detik itu juga hati Wonwoo mencelos saat kedua netra dia nangkap sosok dosennya itu dalam radius kurang dari satu meter.

Seungcheol yang gak paham dengan situasinya cuma bisa natap Wonwoo dan Mingyu bergantian.

“Katanya dia bukan temen kamu?” Tanya Seungcheol. Mingyu ngelirik Wonwoo lagi.

“Saya pamit duluan.” Dengan tergesa Wonwoo segera keluar dari sana.

Dan perjalanan dia ke Jakarta buat ngedistraksi pikirannya malah semakin nambahin beban pikiran dia.

“Gue harus pindah kampus.” Monolog Wonwoo dan segera ngelajuin mobilnya balik ke Bandung.

Malam itu Wonwoo gak bisa tidur akibat kepikiran perihal kejadian malam itu yang gak dia ingat. Udah berkali-kali Wonwoo coba buat tidur, tapi usahanya itu gak mempan. Makin dipaksa, malah makin melek. Akhirnya Wonwoo ambil laptopnya dan cari-cari jurnal lagi, sekalian iseng bikin bab satu. Ternyata efektif, atensi Wonwoo seratus persen tertuju ke laptop dan jurnalnya. Dia udah lupa tentang apa yang terjadi sama dia di malam itu.

Satu jam berlalu, Wonwoo ngecek jam di ponselnya, ternyata jam satu dini hari, pantes dia masih seger. Wonwoo akhirnya istirahat dulu, regangin badan, dan jalan ke arah dapur buat cari cemilan dan sekalian bikin teh biar ngantuk.

Setelah itu, Wonwoo cuma tiduran di sofa sambil mainin ponselnya. Dia gak sengaja liat foto club yang bikin dia malu buat tatap muka sama Pak Mingyu.

“ANJIR, GAK MUNGKIN.”

Dan Wonwoo akhirnya ingat kejadian malam itu.

▪️▪️▪️▪️▪️

Seperti biasa, club malam yang terletak di daerah Tamansari itu selalu penuh, mostly memang mahasiswa dari berbagai kampus yang ajimumpung karena jauh dari orang tua, dan pengen rasain hidup bebas, atau emang para mahasiswa fomo yang pengen dicap gaul dalam circle pertemanan mereka, atau juga cuma seseorang yang ngerasa kesepian dan gak punya temen selain alkohol.

Contoh terakhir itu emang dikhususkan buat nyindir Wonwoo. Setelah abis satu setengah botol, akhirnya dia hangover. Segala racauan keluar dari laki-laki itu, sampai seorang cowok jangkung yang kebetulan duduk di sebelahnya itu nyoba buat nyapa. Wonwoo cuma ngelirik dengan wajahnya yang udah merah banget. Tanpa sadar, si cowok ini perhatiin Wonwoo yang masih aja ngeracau segala macem. Dia nopang kepalanya sambil dengerin Wonwoo sampai senyum di bibirnya itu merekah. Menurut dia, Wonwoo yang lagi hangover dan gak berhenti bicara itu gemes.

Tau gak sih kalau bintang yang kita lihat sekarang itu sebenernya dari masa lalu?

Tapi sekarang kok gak pernah ada bintang?

Mau liat bintang.

Sekiranya itu racauan Wonwoo yang tidak berdasar. Tapi beberapa menit setelahnya, dia akan menggerutu sebal.

Besok udah masuk kuliah, skripsian.

Matkul masih ada 16 SKS.

Semoga dosennya gak rewel.

Dan lelaki itu masih setia mendengarkan Wonwoo. Hingga bartender datang, dan Wonwoo kembali meminta alkohol, namun ditolak karena Wonwoo terlihat sudah terlalu mabuk.

Gue gak mabok.Ketus Wonwoo.

Itu udah ngaco gitu ngomongnya.” Balas si bartender.

Gak asik, mau pulang aja.

Dari situ tatapan mereka ketemu. Wonwoo ngerjapin matanya dengan lambat, ciri khas orang mabok. Bibirnya ngerucut sebal, dan dia ngerengek.

Mau pulang, disini gak seru. Ayok cepet pulang!Seru Wonwoo dan bikin cowok di sebelahnya itu kaget. Pasalnya, mereka aja gak saling kenal, tapi karena Wonwoo yang semakin rewel dan keliatan cuma sendiri, akhirnya cowok itu ngalah dan mau anterin Wonwoo.

Kepalanya pusing.Rengek Wonwoo lagi.

Ya?Cowok itu keliatan bingung.

Jalannya susah ih!Kata Wonwoo ketus.

Akhirnya cowok itu gendong Wonwoo di punggungnya sampai ke mobil dia. Cowok itu langsung dudukin Wonwoo di kursi penumpang belakang biar dia tidur.

Rumahnya dima—Belum selesai satu kalimat, ucapannya langsung terhenti gara-gara Wonwoo tidur beneran. Cowok itu mikir agak lama karena dia bingung harus bawa kemana.

Sepuluh menit, akhirnya dia putusin buat balik ke apartemennya aja, biar si cowok mabok yang baru dikenalnya itu tidur disana. Dan dia segera tancap gas, sesekali ngecek keadaan Wonwoo di belakang. Jalanan cukup lancar, mungkin karena udah hampir jam dua pagi.

Sekitar 30 menit, akhirnya mereka sampai. Si cowok jangkung itu segera keluar dan lepas seatbelt Wonwoo. Tapi, saat itu juga Wonwoo bangun. Dia duduk dan ngucek-ngucek matanya.

Halo?

Dan kejadian selanjutnya, ada Wonwoo yang memuntahkan isi perutnya di dalam mobil lelaki tak dikenal itu. Lalu dengan tidak tahu malunya, Wonwoo kembali tertidur. Beruntung lelaki itu tidak marah dan menendang Wonwoo. Si cowok jangkung segera gendong Wonwoo dan bawa dia ke kamarnya.

Sesaat setelah sampai, hal pertama yang dilakuin cowok itu adalah lepas baju karena kena sedikit muntahan Wonwoo waktu dia gendong cowok mabok itu.

Lepasin.Cowok pemilik apartemen noleh. Ternyata Wonwoo yang lagi tidur di kamarnya itu ngeracau lagi.

Gerah banget, lepasin.

Dan akhirnya si cowok ini lepasin bajunya Wonwoo karena emang bajunya juga kena banyak muntahan.

Siapa?Tanya Wonwoo waktu cowok itu bukain bajunya dan dibales senyuman.

Mingyu.Jawabnya.

Oh, gak tau.Mingyu terkekeh. Jelas dia gak tau, mereka aja baru ketemu kurang dari satu jam.

Setelah baju Wonwoo dibuka, Mingyu segera pilihin baju milik dia yang agak tebel karena cuaca Bandung yang cukup dingin.

Hey, mana bajunya? Dingin tau.Mingyu ketawa kecil dan segera hampirin Wonwoo sambil sweatshirt. Mingyu dengan sabar mulai pakein ke badan Wonwoo.

Kenapa?Fokus yang tadinya tertuju ke sweatshirt, sekarang beralih ke wajah Wonwoo yang merah.

Bibirnya kenapa merah? Mau coba.Dan Mingyu terbatuk mendengar kalimat Wonwoo. Dia terlalu terkejut mendengarnya. Tapi belum sempat ia menjawab, Wonwoo sudah naik ke atas pahanya dan melumat pelan bibir Mingyu, merasakan ranum merah merekah milik Mingyu, kemudian ia menjilatnya.

Wine.Wonwoo melepasnya lalu menatap Mingyu dari jarak yang terlalu dekat. Dari jarak seintim ini, Mingyu bisa mencium aroma alkohol yang pekat dari tubuh Wonwoo. Mata Wonwoo terlihat makin berat, keliatan dari kedipannya yang semakin lambat. Mingyu senyum, dan dia ngusap punggung Wonwoo perlahan. Anak rambut Wonwoo dirapiin, dan akhirnya si lelaki yang ada di atas pangkuan itu nundukin kepalanya sampai ketiduran di ceruk Mingyu.

Good night.