Sftyme


only this handful of self is full of too much fear, anxiety, and anxiety about something that is not necessarily going to happen in the future.


Setelah wonwoo temannya mention account usernya di Twitter, Jihoon pun langsung menuju ruangan yang di sampaikan oleh Wonwoo. entah apa yang membuat kakinya melangkah menuju ruangan BEM padahal ia bukan anggota yang bersangkut pautan dengan organisasi itu.

Dengan berasalan 'menemui Wonwoo' kini Jihoon yang sudah masuk ke ruangan tersebut ditarik Soonyoung untuk duduk di sampingnya. hanya duduk, belum ada yang bercengkrama dari dua orang tersebut setelah Wonwoo menyelesaikan rapat mengenai band mereka.

Soonyoung yang di samping Jihoon sibuk memainkan boneka harimau kecil ditangannya. bukan bermaksud mengabaikan Jihoon namun kecanggungan sedang menyelimutinya hanya untuk bertemu pandang.

“yok maksi Ji, abis ini kita langsung pulang sambil ngerjain tugas” ucap Wonwoo mengajak Jihoon untuk beranjak dari ruangan ini.

“Jihoon makan siangnya bareng gue won, lo sama anak-anak aja. btw ntar kerkomnya dimana? biar gue anterin Jihoon” suara Soonyoung menggubris Wonwoo dan menuntun Jihoon agar tak beranjak dari duduknya.

“ah! gitu? oke deh. ga jadi kerkomnya. gue titip Jihoon ya nyong! jan sampe lecet anak gue!”

“hahaha siap!”

“ish apaan sih lo! gue ikut aja” tegak Jihoon yang dengan cepat di tahan Wonwoo kesal.

“Heh! dimari lo! awas beranjak gue potong kaki lo ye!”

Setelah ancaman dari sepemilik suara berlalu, keheningan kembali mengisi ruangan yang meninggalkan dua pemuda tanggung ini. belum ada jua sepatah dua patah kata yang terucap dan mengharuskan Jihoon untuk melangkah selangkah dari Soonyoung.

“Jadi makan siang apa nggak sih? gue laper. kalau ga mau gue pergi sendiri aja susul Wonwoo.”

“Tunggu Ji! jangan pergi dulu. abang goputnya ntar lagi sampai tunggu aja disini”

'semenjak kapan nih orang mesen goput?' tanya Jihoon dalam hati.

Tak menunggu lama datang lah kurir yang mengantar pesanan makan siang mereka, Soonyoung pun membayar semua pesanan itu dan melarang Jihoon untuk protes.

“soon, kebanyakan lo bayarnya! biarin gue bayar setengah aja bisa ga sih? jan batu!!!”

“ga usah, gue juga ikutan makan jadi gapapa sesekali gue traktir. yuk makan”

Jihoon merasa sungkan hendak memakan makanan yang di pesan oleh Soonyoung, tapi jika di pikirkan lagi ia akan rugi setengah hidupnya jika tak desert 'BlackForest cake' kesukaannya.

Ia juga terheran dari siapa Soonyoung tahu desert kesukaannya dikala ia dilanda kegalauan. iya benar, Jihoon yang gelisah semenjak satu benda kesayangannya hilang sehingga membuat impas kegaluannya kepada Wonwoo karena temperamen tak terkontrol itu.

Karena dirasa Soonyoung mengetahui apa yang akan ia lakukan jika suasana hatinya tak membaik, maka dari itu Jihoon mengambil sepotongnya saja mengingat hal tak ikut membayar tadi.

“Ji, makan nasi dulu dong! jangan makan desertnya dulu. gue tau lo belum sarapan tadi pagi kan? ayo makan naspadnya dulu keburu dingin nih”

tegur Soonyoung membuat Jihoon pun tertegun, bagaimana ia tahu bahwa ia belum sarapan. memang di Indonesia siapa yang belum makan nasi akan dinyatakan belum makan apapun, mau tak mau Jihoon memakan nasi padang yang sudah di siapkan oleh Soonyoung langsung hingga ia bisa langsung menyantapnya. dirasa sudah merepotkan Soonyoung, Jihoon berpikir setidaknya ia harus lebih baik lagi pada Soonyoung untuk menjawab omong kosongnya.

masih tak banyak perbincangan setelah acara makan siang bersama mereka berdua, Soonyoung yang hendak berdiri membersihkan agenda makan mereka tadi terhentikan oleh tangan Jihoon yang menggenggam tangannya.

“Iya Jihoon, kenapa?” tanya Soonyoung dan tak digubris oleh Jihoon sebab ia terkejut merasakan kasarnya tangan Soonyoung.

Menariknya agar duduk kembali dan membuka lebar telapak tangannya untuk memastikan kembali sekasar apa tangan Soonyoung saat ini.

“J-jii...”

“Diam! jawab gue, lo abis kerja apaan sampai tangan lo kasar terus banyak luka gini? mana plasternya compang lagi! Jawab soon!”

Soonyoung hanya mencoba menelan ludahnya agar masuk ke tenggorokan yang ia yakini sekarang sangat susah untuk dilakukan sekarang. mata Jihoon yang mengintimidasi membuatnya ragu untuk menjawab. karena kesal dengan jawaban Soonyoung yang tak kunjung keluar, Jihoon pun menekan kuat luka dalam di telapak tangan Soonyoung.

“AAAA SAKIT JII SAKIT AMPUN AAAAAA AISSSSSss sakit Ji”

“Ya makanya jawab”

“Gue kerja jadi tukang dan segala macam pekerjaan gue coba biar dapet uang jajan, itung-itung biar nanti abis kuliah gue tau apa pekerjaan yang pantas buat gue apa lagi dapat pengalaman juga kan”

“Salah, jawaban lo salah”

“kok salah?”

“Jujur sama gue soon, jajan lo habis karena goputin gue pasta dua minggu yang lalu kan?”

“g-ga siapa yang bilang? sembarangan. udah ya Ji, ga usah di pikirin. toh ini buat gue juga dan ga ngerepotin siapa pun. ini juga kemauan gue”

“ya tetap aja tau! ini kenapa? kenapa sampai gini amat lukanya parah mana dalam lagi!!!”

merasa ada kejanggalan, Soonyoung akhirnya pahan situasi ini. tanpa sadar tawanya pecah dan membuat seseorang yang tengah mengatur nafas didepannya bingung.

“bentar deh bentar hahahahhaa. so, lo khawatir sama gue?”

mendengar pertanyaan Soonyoung, Jihoon pun sadar akan kekhawatirannya. dengan cepat ia melepaskan telapak tangan besar Soonyoung dari tangannya dan melempar arah pandang berlawanan agar Soonyoung tak bisa melihat semburat warna merah di kedua pipi gembilnya itu.

Soonyoung tertawa bebas dan mencoba merayu Jihoon agar melihat kearahnya kembali, namun gagal. Soonyoung dengan pikiran seribu akal itu pun mencoba jalan lain agar Jihoon memandangnya. meneteskan air kobokan di lukanya yang masih basah agar perih dan mendapatkan atensi Jihoon dengan cepat. memang aksi bodoh namun mendapatkan hasil yang ia mau. karena teriakan perih dari Soonyoung, Jihoon akhirnya membalikan badannya dan memeriksa luka yang dirasakan oleh Soonyoung.

“AAAA SAKIT JI SAKIT SUMPAH PERIH BANGET!”

“YA LO BODOH SIH NGAPAIN AIR KOBOKAN DI MAININ!”

“LO KENAPA BUKA PLASTERNYA HUHU”

“GUE RENCANANYA MAU TUKAR ANJIR MAU DI OBATIN LAGI MANA ALKOHOLNYA GA LO PAKE YA PERIH KAN JADINYA!!”

“GA PERLU ALKOHOL KALAU LO AJA UDAH MEMABUKAN”

Opss... Soonyoung melompar ke lubang yang salah. karena kalimat tadi Jihoon meninggalkan Soonyoung setelah ia mengobati lukanya dan pulang dengan menggunakan bis kota.

“mulut gue emang ga ada gunanya, ga bisa direm apa? ah sial gagal bawa Jihoon ketempat yang dia suka”


Jihoon sudah sampai di ruangan kerja Soonyoung. sekedar informasi, Soonyoung adalah dokter umum di rumah sakit yang sedang Jihoon kunjungi untuk berobat ini. dengan teliti dan terampil Soonyoung mengobati luka dalam dan luar pada tubuh Jihoon yang putih nan indah ini.

Tak kuasa menahan rasa perih, sesekali Jihoon merintih kesakitan saat Soonyoung menaruh obat pada lukanya. memegang erat kedua pundak Soonyoung sebagai pelampiasan rasa sakitnya yang sementara itu dan sesekali meneteskan air mata yang tak sengaja keluar karena luka yang teramat perih di tubuhnya.

Soonyoung menyadari itu dan membiarkan Jihoon menyandarkan kepalanya sebentar di antara ceruk leher dan bahunya. usapan tangan Soonyoung yang lembut penuh kasih sayang terusap di punggung bidang kekasih didepannya sebagai afeksi kecil untuk Jihoon.

berjarak beberapa menit setelah ia terpaku karena bertengger dan bertelanjang dada memperlihatkan parut lukanya pada Soonyoung untuk di obati, kini giliran Soonyoung untuk berbicara. berbisik pelan pada telinga Jihoon: “ayo pulang Ji, pulang kerumah kita”

kalimat tersebut akhirnya berhasil meloloskan air mata yang tadinya tak berbendung keluar dengan sendirinya jatuh menuruni pipi. Jihoon tentu saja hanya bisa mengucapkan kata “maaf” yang berkepanjangan tiada henti. isak tangisnya membuat Soonyoung tak kuasa melihat kekasihnya yang tersedu karena hanya satu kalimat yang ia lontarkan.

memeluk dan merengkuh tubuhnya adalah salah satu cara terbaik untuk saat ini. hanya sekali anggukan, Jihoon menerima kembali tawaran Soonyoung untuk pulang ke apart yang mereka tinggali selama beberapa tahun setelah berpacaran.

status memang masih belum memastikan untuk memiliki satu sama lain, namun rintangan yang mereka hadapi sudah lebih dari pasangan yang telah mengucapkan janji suci di hadapan tuhan.

telah banyak badai yang mereka lalui ketika hendak bermuara tetapi ada saja bala yang mendatangi seiring berjalannya waktu dan kesenangan yang datang diantara mereka.

seperti saat ini, sudah 3 hari Soonyoung dan Jihoon tak seatap namun saling tegur sapa hanya sekedar menanyakan kabar. malam itu sebelum Jihoon hendak menuju apartemen kakaknya ia sudah beradu mulut kepada Soonyoung dengan hebat.

tak sepatah kata pun bisa Jihoon dapatkan untuk menjelaskan apa yang terjadi kepada Soonyoung. namun malam ini kesempatan yang Soonyoung berikan padanya harus bisa ia manfaatkan dengan baik tanpa membuat kesalahpahaman lain lagi.

“Jelasin, kenapa kamu gini Ji? aku ga bakal marah kalau kamu jujur”

'Jujur' mendengar kata itu mulut,bibir dan lidah Jihoon seketika mati rasa. tak bisa ia katakan alasannya jika Soonyoung meminta kejujuran untuk saat ini. maka jalan yang ia pilih untuk kesempatan kali ini adalah kesalahan yang sama terulang kembali.

“Aku jatuh” Jihoon berbohong.

“Jatuh dimana? luka jatuh ga mungkin separah ini sayang. kalau jatuh kamu pasti lecet karena gesekan sama aspal atau tanah. buktinya ini ga ada, ini kaya luka yang di sengaja. kamu abis dikeroyok siapa bilang sama aku! jangan ragu Ji! aku pacar kamu loh”

mendengar Soonyoung meminta dan memohon seperti ini Jihoon sudah tidak sanggup. ia hanya bisa meraih tengkuk Soonyoung untuk melampiaskan semua amarah dan kesedihan didalam dilemanya saat ini.

pilihan yang cukup susah untuk Jihoon ambil dan Jihoon katakan kepada Soonyoung. maka ia memilih untuk mengalihkan Soonyoung dengan memeluk erat kekasihnya yang berjubah putih ini.

***

Jihoon menunggu Soonyoung hingga ia selesai bertugas malam ini. untungnya Soonyoung berada di rumah sakit hanya sampai pukul 3 pagi dini hari. Jihoon yang tertidur pulas karena sakit dan penat di sekujur tubuhnya tak tega untuk Soonyoung bangunkan.

menggendong adalah cara membawanya pulang dengan tenang malam ini. biarkan kesayangannya tidur dan istirahat dengan tenang malam ini, Soonyoung juga sudah lelah mendengar isakan tangis dari bibir kecilnya.

menidurkan Jihoon dengan hati-hati, kemudian membersihkan dirinya untuk segera merebahkan diri disamping orang tersayangnya yang tengah tertidur pulas di tempat tidur mereka.

setelah selesai dalam diam Soonyoung belum bisa terlelap tidur malam ini. ia malah memainkan surai hitam kekasihnya sambil diam-diam mengoleskan salep di beberapa titik luka di wajahnya dan berujung mengecup puncak kepalanya sayang.

“Ji, kasih tau aku siapa laknat yang berani nyentuh kamu duluan sebelum aku? aku ga terima kalau kamu kaya gini sayang. aku ga rela kamu penuh luka kaya gini lagi kedepannya kalau kamu ga mau kasih tau aku siapa pelakunya. tidur lah, aku bakalan jaga kamu sampai kamu bangun besok”


“Nanti tolong daftar topik dari tim redaksi di kumpulin di dalam satu folder ya nyong, ini juga tolong di perbaiki kalau lo sempat aja— Soon? Lo gapapa?”

“Eunghh~ Won sorry, kucing gue gigit gue mulu”

“Oke deh gue lanjutin ya!”

Soonyoung mengangguk dan kembali mencoba memfokuskan dirinya pada zoom meeting pagi itu. Jihoon sang kucing putih misterius yang hadir beberapa bulan yang lalu dan kini diadopsi oleh Soonyoung sedang mengigit dan menyesap ujung daun telinga Soonyoung.

Yap! Benar, itu adalah titik sensual yang sangat sensitif pada tubuh Soonyoung. Lagi dan lagi dalam kukungan Soonyoung -Jihoon si putih ini duduk pada paha atletis Soonyoung dengan sekali hentakan memunggungi laptop dibelakangnya.

“Jihoon! Akh!”

“Soonyoung lo ngapain itu ah! Gue ga bercanda ya ini lagi meeting!”

“Aduh Won, sorry ini kucing gue bandel tapi gue usahain fokus dah serius!”

Wonwoo membiarkan Soonyoung on cam dan mengikuti rapatnya sekali lagi. Namun gerangan dan desahan Soonyoung terdengar pada earphone yang terhubung pada kedua telinga Wonwoo karena Jihoon si kucing putih nakal milik Soonyoung sedang menyesap setiap inci pangkal leher putih Soonyoung. Sudah tak tertahankan lagi, Wonwoo pun melepaskan amarahnya.

“WOI ANJIR! UDAH LAH SELESAIN DULU ITU NGAPAIN LO NYERET-NYERET GUE!”

“GUE GA SENGAJA WON! AYOK AHHH~ KITA MEETING LAGI!”

“Awas lo ye gue pantengin sekali lagi nih, coba sekarang lo yang presentasi hasil program kerja lo selama seminggu ini dah, capek gue”

Soonyoung pun setuju dan sharescreen kepada Wonwoo untuk mempresentasikan hasil progres kernjanya minggu ini.

“Oke won, disini gue bakalan presentasiin apa aja yang gue kerjain selamaahhhh~ minggu iniiieungghhh~”

“Soon?”

“Maap won maap, kucing gue ahhhh~”

Jihoon yang menjahili Soonyoung hanya terkekeh geli dan masih menjahili Soonyoung dengan memberikan tanda hickey berwarna merah kebiruan di sekitar lehernya.

“Jihoon kerja sama yuk! Buat kali ini aja oke? Kamu bandel ntar aku habisin loh” tegur Soonyoung pada Jihoon yang hanya tersenyum menampilkan deretan gigi putihnya.

“SOONYOUNG!!!”

“IYA WON IYAA SABAR DIKIT AH!”

“LAMA!”

Terguran Wonwoo kembali menyadarkan Soonyoung dan kembali ia mempresentasikan hasil laporannya. Jihoon kembali menyerbu Soonyoung, kali ini sasarannya adalah seluruh wajah Soonyoung ia hujani dengan ciuman kecil dari bibi Jihoon.

“Jadi won kemarin itu di bamphh- paginya gueeungmph- trus ada kendala di server dimphhhh~”

Wonwoo sudah tak tahan lagi dengan Soonyoung segera ia memutuskan sambungan dan keluar dari meeting zoomnya bersama Soonyoung.

“Lah won! Kok dimatiin sih? Nghhhahhh~ JIHOON! Uhhhhh~ astaga Jihoon.”

Hentakan Soonyoung membuat Jihoon berhenti dan tersentak kaget. Ia ketakutan dan menundukan kepalanya.

“Jihoon, Kamu nakal ya hari ini! Aku udah bilang jangan nakal kamu masih lanjutin aja, emang kamu mau aku hukum?”

Jihoon menggeleng dan menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Soonyoung. Dengan spontan Soonyoung menarik pelan wajah Jihoon agar bertemu pandang dengannya.

“Lihat sini!”

“Soonmphh!”

Tanpa aba-aba Soonyoung melahap bibir ranum nan tipis milik Kucing manisnya itu dengan lahap, mengecupi penuh gairah bagaikan cambukan oleh Soonyoung di setiap inci wajah mungil Jihoon. Menyesap dan menjelajahi kulit putih Jihoon dengan pelan dan membuat Jihoon kepanasan. Meraba punggungnya yang mulus di dalam kaos oversize milik Soonyoung.

“Soonmphh”

Tidak di beri ampun dan tak ada kata berenti dalam permainan Soonyoung. Jihoon sangat amat memerlukan oksigen kali ini namun Soonyoung tetap menyapa isi rongga mulut kucing kecil itu.

“Ahhh~ hahhhhh hahhhhh soonhhhhh uemmpphh~”

Meraup udara dengan rakus dan mengeluarkan helaan desahaan nama Soonyoung yang kian membuat bagian bawah Jihoon mengeras. Soonyoung memang mengizinkannya menghirup pasokan udara namun bibirnya masih berkecimpung pada tiap kulit Jihoon untuk di beri hukuman.

Are you done my honney? Ini baru pemanasan jadi jangan kelelahan ya. Pagi ini aku gabakalan kasih ampun Jihoon. Kamu udah buat meeting aku sama Wonwoo ga fokus jadi ayo pindah ke kamar”

“Soonyoung! Soonyoung! Master Soonyoung! Pliss! Jihoon mohon ampun! Ga bakal nakal lagi! Ya? Ya? Ya? eunggg? Aaaaaaa!!! jangan gendong Jihoon!!! Turunin Jihoon! Master huwaa!!! Jihoon turunin Jihoon!!”

Usaha Jihoon terbilang sangat percuma karena kekuatan Soonyoung lebih besar dari Jihoon. Ia bahkan mengukung Jihoon di bahunya hanya dengan satu tangan.

“Kucing nakal!”

pak!

Satu tamparan halus di pantat sintal bergumpal Jihoon yang di daratkan oleh Soonyoung gemas pada kucing nakalnya yang satu ini.


Di meja panjang ini, Jihoon benar-benar kesal karena kehadiran dua orang yang baru saja bergabung duduk bersama dengannya. Dalam hatinya terus menerus berdoa agar Soonyoung datang dan membawanya pergi dari hadapan dua orang menyebalkan ini.

“Sudah lama tak bertemu Jihoon, apa kabar? Dan bagaimana kau bisa menghadiri acara semegah ini dirumah ku?”

'rumah ku?' tanya batin Jihoon dan tak lupa picingan matanya.

“Hahaha aku tentu saja tahu bahwa kau tertegun mendengar bahwa aku bukan lah.. rekan.kerja.rendahan.sepertimu lagi!.” bisiknya tepat pada telinga Jihoon yang mulai memerah.

Penuh penekanan pada setiap kalimat yang di ucapkannya membuat Jihoon sudah tak sanggup lagi dan menatap matanya nanar kepada Choi Seungcheol, mantannya terdahulu.

“Hahaha gue senang banget dengar kebenaran itu dari mulut busuk lo duluan Choi, lo pikir gue tertarik sama kekayaan yang lo punya dan juga Gandengan lo yang berparas manis ini? Kagak anjing! Gue ga pernah tertarik buat cari tahu info lebih dalam buat jatuhin lo. Pikiran lo yang busuk dan juga perlakuan lo selama gue kemarin ga ada gunanya.”

'Bohong!' Jihoon membatin setelah mengucapkan hal tersebut.

Tentu saja kekehan mengejek ala Seungcheol terdengar mengusik temperamen Jihoon. Sudah teramat kesal dengan dua orang ini Jihoon pun mengangkat sebuah gelas hendak menumpahkan minuman itu pada orang menyebalkan didepannya. Untungnya tangan Jihoon sigap di tangkap oleh Soonyoung di belakangnya.

“Kak...”

“Ada apa Jihoon? Ada apa ini kalau saya boleh bertanya” tanya Soonyoung pada lawan bicara Jihoon semenjak tadi.

Seungcheol yang ditanya sedang memperhatikan detail dari ujung kaki hingga ujung kepala pria yang dipanggil Jihoon dengan sebutan “kak” ini. Sebuah sunggingan terukir di wajah Seungcheol setelah ia paham dengan siapa lawan bicaranya sekarang.

“Tuan Kwon Soonyoung? Benarkah itu?”

“Benar saya Kwon Soonyoung dan saya tahu juga bahwa anda adalah tuan rumah dari pesta ini dan juga pemilik perusahaan yang akan berkolaborasi dengan perusahaan saya.”

Senyum mencemooh yang di berikan Seungcheol kepada Soonyoung membuat Jihoon semakin memanas, ia berpikir sedang apa gandengannya itu saat ini? Bukannya melerai malah ikut menertawainya bersama Seungcheol.

Jihoon bergerak mengambil sebuah gelas dan menyiram toxedo dengan jus jeruk pada gelas dari tangan Jihoon tersebut.

“Oh! Shit! Ya! Lee Jihoon! Sedang apa kau?”

“Itu balasan buat orang yang ngehargai tamunya sama sekali. Bye! Gue pergi. Persetan sama investasi antara perusahaan Mingyu sama perusahaan lo”

Jihoon menarik tangan Soonyoung untuk keluar dari kediaman Choi tersebut dan meninggalkan pesta itu sampai dimana tempat mobil Soonyoung terparkir dan tangan Jihoon yang masih menggenggam tangan Soonyoung.

“Hah! Haaaaa! Kenapa sih? Kenapa gue harus ketemu lo lagi!!” teriak Jihoon sambil berlutut menupu kening di tempurung lutut mungilnya. (Jangan lupa masih bimbingan.)

Soonyoung hanya bisa terdiam dan melihat Jihoon yang berjongkok di sebelahnya. Rasa khawatir dan juga takut akan ikut campur urusan pribadi Jihoon, namun rasa itu ditaklukan oleh rasa khawatir yang menyerang Soonyoung perlahan hingga membuatnya ikut berjongkok dihadapan Jihoon.

“Ji! Gapapa?” tanyanya sambil mengusap punggung tangan Jihoon dengan jempolnya.

“Hiks, kak.. Aku gapapa tapi aku mau minum soju”

Soonyoung tentu kaget dengan tawaran Jihoon barusan dan juga buliran air matanya yang mengalir di pipi. Melihat Jihoon yang menggemaskan seperti ini Soonyoung akhirnya mengiyakan ajakan patner kerjanya dan berhenti disebuah kios malam di tepi Sungai Han-gang sambil menyesap minuman beralkhol nan pait tersebut.

Dua, tiga dan gelas ke tujuh Jihoon sudah membuatnya tak bisa menegakan kepala dengan tegap. Soonyoung yang saat ini masih berusaha menahan Jihoon agar tidak minum lagi, namun usaha itu berhasil saat kepala Jihoon hampir saja akan menabrak meja jika bukan karena telapak tangan besar Soonyoung yang menahannya.

Soonyoung terkekeh geli melihat tingkah bawahannya yang menggemaskan ini dan berupaya membawa Jihoon kembali ke mobil untuk mengantarnya kembali ke apartemen.

Sesampainya di apartemen Jihoon, Soonyoung menolong Jihoon agar terlelap dengan nyaman di kasurnya. Menolong membukakan kaus kaki dan sepatu hingga melepaskan Jas nya dan menyelimuti badan mungil Jihoon dengan teliti.

“Haha, udah tau radar alkohol yang bisa di capai cuman 3 gelas doang kamu masih aja ngeyel mau ngabisin sebotol. Emang kamu sama Seungcheol ada masalah apa sampai kamu mau mabuk gini ji? Lucunya, kalau gitu aku pamit dulu ya”

“Kak, jangan”

Ia baru saja berdiri hendak meninggalkannya, namun pergelangan tangannya berhasil di tahan oleh Jihoon.

“Iya Ji, kenapa?”

“Kak, maafin Jihoon hari ini ya?! Hikss karena Jihoon kita gabisa berinvestasi ke Seungcheol hikss huwaaaa”

Tangisannya seketika pecah dan tangannya yang bergetar dapat Soonyoung rasakan karena ia masih memegang pergelangan tangannya.


“Jihoon udah tenang?”

ucap Soonyoung yang kini duduk di sofa ruangan tengah apartemen Jihoon sambil memandangnya dari samping penuh ke khawatiran. Tentu saja yang di tanya masih mengangguk mengepalkan tangannya agar air matanya tak kembali mengalir.

“Lihat sini Ji, jangan nunduk. Kamu ga harusnya minta maaf sama aku”

“Tapi kak... T-tapi Jihoon udah kacauin semuanya huwaaaaa”

Jihoon kembali menangis dan Soonyoung kalut tak tahu bagaimana cara menghentikan tangisannya. Ia mendekat dan menepuk kembali pelan punggung tangannya agar memberi rasa menenangkan dan aman pada Jihoon.

“Ji, kakak ga marah sama kamu. Mending kamu dengerin kakak dulu”

Akhirnya Jihoon bisa memandang Soonyoung dengan jelas walaupun masih ada genangan air di ujung pelupuk matanya.

“Tujuan kita kesana bukan karena bisnis, tapi mengikuti pesta selamatan rumah barunya Seungcheol. Ga lebih dari itu Ji. Mingyu minta kita berdua hadir karena dia ga bisa dateng, kamu tau sendiri kan dia lagi sibuk sama persiapan pernikahannya. Jadi kamu ga perlu khawatir, karena ini ga ada sama sekali berhubungan sama perusahaan.”

Bibir Jihoon yang bergetar dan telinganya yang merah karena malu membuat Soonyoung memandang Jihoon seperti anak balita yang usai diusili kakaknya. Gemas seakan Soonyoung ingin memeluk balita ini.

“Udah jangan nangis lagi ya, kamu tidur dulu disana. Aku pulang dulu, oke?” pamit Soonyoung sambil menghapus air mata Jihoon dan di gubris anggukan pelan oleh Jihoon.

Senyum simpul Soonyoung ditandai sebagai salam perpisahan mereka berdua malam ini diambang pintu.

Langkah mereka masing-masing menuju arah yang berlawanan. Jihoon ke kamarnya dan Soonyoung menuju mobilnya. Dalam arah langkah yang berlawanan ini terdapat tujuan yang yang sama. Yaitu sama-sama ragu membuka hati untuk mempersilahkan orang baru dalam hidup mereka.


“Kak Soonyoung baik banget! Tapi ga mungkin kak Soonyoung suka gue aaahhhhhh!!!!”

“Jihoon gemes banget, tapi Jihoon emang mau sama gue?”

Dari pertanyaan di atas, mereka sudah mulai melupakan apa yang terdahulu mereka janjikan pada diri sendiri. Akankah mereka bersatu atau tetap teguh pada janji itu?

“Hiks! Ini kenapa mesin fotocopynya gini? Salahnya apaan sih? Huee please baikan yok mesin gue pen balik hiks” rengek Jihoon

“Jihoon? Kenapa nangis?”

Soonyoung yang tak sengaja lewat malam itu karena lembur dan sehabis meminum kopi pun membantu Jihoon berdiri.

“Ji? Hahaha ini kenapa cemong-cemong gini?” tanya Soonyoung karena tinta hitam yang ada pipi Jihoon.

“Hiks! Kak itu loh mesin fotocopynya gimana? Rusak atau apa? Kenapa ga bisa jalan?”

“Sebentar ya Jihoon saya liat dulu”

Jihoon yang mengadu pada Soonyoung pun langsung melihat dari belakang saat Soonyoung mencoba mencari kesalahan pada mesin fotocopyan itu. Dan ternyata kesalahan pada peletakan posisi kertasnya.

“Ji, kamu kebanyakan masukin kertasnya ya?”

“Eh? Iya kak? Aku ga tau soalnya langsung masukin aja karena aku udah ngantuk”

“Hahaha lain kali jangan di ulangi ya, itu bisa ngerusakin mesinnya” Soonyoung memberi wejangan kepada Jihoon sambil mengusap pucuk kepala Jihoon gemas dan siapa sangka hal itu bisa membuat pipi Jihoon memerah.

“Iya kak iya, maafin ya. Jihoon beneran ngantuk tadi”

“Iya gapapa Jihoon. Kamu ngantuk boleh tidur dulu, deadlinenya ga harus malam ini”

“Tapi kak...”

Soonyoung mengangkat alisnya Karena Jihoon menggantungkan kalimatnya. Setelag beberapa detik akhirnya Soonyoung tahu apa yang dimaksud Jihoon. Dimanakah ia bisa merentangkan tubuhnya untuk tidur, sedangkab ruangannya tidak ada sofa.

“Ah~ aku tahu, sini deh ikut aku”

Soonyoung menarik tangan Jihoon dan memasuki ruangan Jihoon untuk sekedar mengambil laptop dan juga berkas kerjaan deadlinenya. Kemudian memasuki ruangan Soonyoung yang disana memiliki sofa besar muat untuk Jihoon tiduri mengistirahatkan tubuhnya sebentar.

“K-kak”

“Shhttt~ ga boleh nolak. Kamu kerjanya disini aja, apa lagi tinggal kita berdua di kantor jadi biar saya ada temannya walaupun kamu istirahat sebentar kita bisa diskusikan mana yang nanti saya akan tanyakan atau kamu yang akan bertanya kepada saya. Jadi Jihoon silahkan istirahat disini, anggap saja ini ruangan mu sendiri dan saya tidak ada”

“Tapi kak-”

“Tidak ada penolakan Jihoon”

Jihoon akhirnya mengalah, namun tak menjamin ia bisa tertidur saat ini. Maka ia putuskan untuk melanjutkan pekerjaannya sambil duduk leseh dilantai dengan laptop di meja depan sofa di tengah ruangan Soonyoung.

Soonyoung mengiyakannya tentu saja dan membiarkan Jihoon sesuka hatinya melakukan sesuatu asal ia tetap diruangan ini. Soonyoung takut karena hanya mereka berdua yang masih berada di kantor sementara karyawan lain sudah pulang kerumah masing-masing termasuk Mingyu sang direktur. Bukan hanya sekedar takut hanya mereka berdua, tapi Soonyoung juga takut kejadian 4 bulan yang lalu akan terjadi.

25 menit berlalu setelah Jihoon duduk di sana, kini pria kecil itu sudah menidurkan kepalanya pada meja yang ia pakai. Soonyoung yang menyadari hal itu menghampiri Jihoon untuk mengenakan selimut dipundaknya.

Tak sengaja melihat wajahnya sambil bersimpuh duduk disamping Jihoon, Soonyoung menyadari satu hal lain yaitu bercak tinta yang masih belum di bersihkan sedari tadi. Soonyoung hanya terkekeh dalam diam agar tidak membangunkan Jihoon.

Mengambil tissue basah dan menghapus tinta yang ada pada wajah mungil pria didepannya. Setelah beberapa menit memfokuskan netranya pada setiap initi wajah putih susu milik Jihoon, tanpa di sadari Soonyoung secara reflek berucap hal yang seharusnya tak ia ucapkan hingga membuat Jihoon terjaga dari tidurnya.

“Will you merry me beuty?”

“Heunggg?”

Soonyoung terperanjat dan langsung berkalut berlari menuju tempat sampah untuk membuang tissue yang ia gunakan tadi. Suasana setelagnya menjadi canggung dan untunglah Jihoon hanya terjaga beberapa menit saja.

'Kak Soonyoung ngomong apaan sih barusan?'

'Soonyoung lo kenapa? Aihh!!!'


Awal yang canggung untuk saling menyapa antara kedua anak adam yang baru saja bersua. Jihoon yang hanya mencuri-curi pandang sesekali saat ia melihat ke arah gawainya membuat pria tampan didepannya semakin khawatir dalam situasi mereka sekarang.

“Mmm... Bagaimana kita lanjutkan saja tournya sambilan sarapan, Jihoon udah sarapan?”

'Dari mana ni orang tau nama gue? Penguntit ya? Astaga gue lupa ni orang kan bawahan Mingyu' kata suara hati Jihoon yang gundah dan hanya mengangguk menerima tawarannya untuk sarapan bersama.

Hanya terdengar suara derap langkah sol sepatu mereka di lantai yang masuk di pendengaran keduanya. Kini mereka menuju ke sebuah lift dan tak lama segerombolan pegawai wanita dan laki-laki menyerbu masuk bersamaan didalam lift yang sama dengan mereka

“Akh!”

“Jihoon? Gapapa?”

Terhimpit. Itu lah situasi yang menggambarkan seorang Lee Jihoon yang bertubuh mungil berdiri menumpu tangan pada ujung dinding lift.

“Maaf teman-teman sepertinya ada yang harus keluar, lift ini kepenuhan muatan bisa kah menunggu beberapa menit lagi?” ucap pria itu pada keramaian itu.

Namun tak seorangpun berpindah tempat dan akhirnya ia memutuskan untuk membawa Jihoon keluar dari sana dan menaiki anak tangga.

“Ah~ ga ada yang mau keluar ya? Kalau gitu permisi, kita naik tangga aja”

Helaan nafas dari kerumunan itu menandakan kekesalan mereka terhadap pria tersebut yang tak ingin satu ruangan bersama mereka.

Ya, mereka. Para anak adam dan hawa yang tergila-gila dengan seorang sekretaris Mingyu bernama lengkap Kwon Soonyoung di perusahaan ini.

'Heran deh, kenapa pada ngeluh sih? Kan ga muat! Maksa banget' masih dengan suara hati Jihoon yang enggan mengeluarkan suaranya.

Ponsel Soonyoung di kantong celana bahannya berdering dan meminta izin sebentar kepada Jihoon dengan tutur bahasanya yang sopan untuk mengangkat panggilan tersebut.

“Jihoon, saya izin angkat telfonnya sebentar. Saya akan kembali tak akan lama, permisi.”

Jihoon lagi-lagi hanya mengangguk dan menenglengkan kepalanya sambil melihat punggung pria itu berlalu pergi memberi jarak yang tak jauh dengannya.

'Kenapa? Deja vu? Mirip seseorang tapi ga terlalu mirip' lagi tanya suara hati Jihoon.

Tak lama Soonyoung kembali dan mengajak Jihoon menuju pantry kantor. Berbincang sedikit dan memberi tahukan informasi kecil kepada Jihoon tentang masakan pantry kantor mereka yang menyiapkan beraneka ragam hidangannya.

Jihoon terkesima dengan logat bahasa Soonyoung yang saat menerangkan segala macam hal tentang perusahaan ini.

'Kayaknya nih orang workaholic banget deh, keren. Mudahan dia jadi temen gue. Temen gue di kantor lama ga ada yang begini. Bahasannya pacar mulu apa lagi kak Jeonghan' lagi...kata suara hatinya.

“Jihoon”

“Eungg?”

“Benar ya nama mu Jihoon? Aku takut salah memanggil nama mu”

“Hahaha ga kok ga salah”

“Bagus lah. omong-omong kita belum berkenalan satu sama lain lebih pastinya.”

“Ah iya, namaku Lee Jihoon. Umur ku 25 tahun, kalau kamu?” tanya Jihoon malu-malu

“Masih muda ya? Hahaha, saya Kwon Soonyoung 27 tahun. Senang bertemu dengan mu Jihoon, mohon kerja samanya”

“Wah! Maaf kak seharusnya aku ga manggil kamu tadi!! Maaf ya kak mohon bimbingannya” ucap Jihoon sambil menundukan kepalanya beberapa kali untuk sekedar meminta maaf.

“Hahaha santai saja Jihoon, selagi Jihoon nyaman gapapa.”

“I-iya kak”

Batin Jihoon meronta karena malu yang bukan main. Tapi untungnya Soonyoung terkekeh melihat tingkah laku Jihoon yang tak terkontrol itu.

Selesainya sarapan, Soonyoung akhirnya membawa Jihoon menuju ruangannya. Jabatan yang disematkan Mingyu kepada Jihoon adalah Direksi Humas. Ia memegang manajemen perusahaan dalam pemasaran produk yang akan di launching Mingyu setiap 2x setahun.

Jihoon bekerja dibawah bimbingan Soonyoung, yang di cetuskan oleh Mingyu langsung. Karena ini adalah awal bagi Jihoon dalam hal pemasaran. Maka dari itu, Jihoon akan meyakinkan tekatnya untuk tidak mengecewakan rekan kerjanya kali ini dan tak lupa dengan kutukan pada dirinya sendiri untuk tidak lagi menaruh hati pada rekan kerjanya kali ini.

'Yok Jihoon, jangan jadi beban kak Soonyoung dan jangan naruh hati lagi. Bisa jadi kak Soonyoung sama aja sama buaya itu' lagi kata hatinya.

“Baiklah Jihoon, kamu sudah bisa mulai bekerja hari ini. Jika nanti ada yang ingin di tanyakan silahkan tekan saja tombol nomor 5 pada telepon darurat kantor itu, maka saya akan menjawabnya secepat mungkin. Saya permisi dulu, semangat!”

Soonyoung berlalu pergi meninggalkan Jihoon dengan dagu yang yang terbuka karena terkejut oleh senyuman Soonyoung yang amat tulus kepadanya.

“Hahhhhhh~ sesek nafas gue! Kenapa gue disenyumin gitu!! Kak Soonyoung plis jangan apain gue! Gue ga kuat!!! Akh!!!”

Kali ini suara hati Jihoon tembus keluar berucap dari bibirnya. Mari kita ingatkan kembali Jihoon akan kutukan yang ia berikan pada dirinya sendiri.


Hari-hari terasa lebih menyenangkan bila selalu bersama seseorang yang amat kita cintai. Apalagi seseorang tersebut sudah kita anggap sebagai rumah tempat kita pulang.

Semua hal yang dilakukan mulai dari terkecil hingga hal terbesar di lakukan bersamaan dengan seseorang tersebut.

Lee Jihoon, pria berumur 25 tahun ini selalu menganggap kekasihnya sebagai tempat ia pulang dan melakukan segala macam hal bersamaan dengan seseorang yang ia anggap spesial dimatanya itu selama lebih kurang 2 tahun belakangan ini.

Seseorang tersebut juga sudah lama kenal dengan Jihoon jauh sebelum mereka memulai menjalin jalinan kasih. Tutur sapanya yang halus, senda guraunya yang menggelitik, tatapannya yang tulus, seakan membuat dunia milik berdua di mata Jihoon.

Satu hari sial menimpa Jihoon secara tiba-tiba. ia telah kehilangan arah jalan pulangnya dihari itu. Kekasih hatinya yang selama ini sudah ia yakini akan terus bersama dengannya hingga rencana mengikat janji suci mereka telah pupus sudah. Pria itu telah meninggalkan Jihoon dan berpindah ke lain hati

Jihoon tak tahu apa yang harus ia lakukan saat itu. Memaksanya untuk kembali dalam pelukannya itu adalah suatu hal yang tak mustahil akan ia lakukan.

Bibirnya saja terasa berat saat mengucapkan nama orang tersebut. karena kurangnya keberanian untuk Jihoon mengeluarkan amarahnya kepada sang mantan kekasih.

Maka ia putuskan untuk tidak kembali pulang pada arah yang sama kali ini.

Sudah berbulan-bulan ia ditinggal oleh mantan kekasihnya. namun Jihoon masih dirundung rindu dan diselimuti kegalauan juga dihatinya. berat rasanya untuk Jihoon melupakan rumah lamanya karena ia selalu bersama dengan orang tersebut dalam menikmati hidupnya semenjak 2 tahun ini.

Sungguh malangnya Jihoon, hatinya tersayat bila berpapasan dengan mantan kekasihnya yang bergandeng tangan bersama orang lain didepannya sendiri.

Dari pada hatinya terus merasa sakit setiap ia bertemu dengan seseorang itu, Jihoon memutuskan untuk resign dan tidak lagi bekerja di tempat yang sama dengan orang yang sudah munafik kepadanya.

Percikan api kemarahannya kini sudah sampai limitnya. Jihoon mengutuk dirinya untuk tidak mengencani rekan kerja lagi pada masa yang akan datang agar kejadian serupa tak terulang kembali.

Jika ia gagal, maka ia mau tak mau harus suka pada seseorang tersebut walaupun seseorang di masa depan nanti melakukan hal yang sama.


Imprecation Love 💘

——————-BEGIN——————-


30 menit berlalu setelah pesan terakhir yang di kirim Jihoon pada grup chat beranggotakan ia, Wonwoo dan Mingyu. Perasaan yang bercampur aduk membuatnya tak bisa duduk dengan tenang, ibu Soonyoung yang tak sengaja lewat di depan kamar Soonyoung pun akhirnya masuk dan menanyakan gerangan mengapa Jihoon tampak gelisah saat ini.

“Nak? Ku kenapa?”

“Eh! Mah..ehmmm anu itu-”

TING! TONG!

Bel rumah berbunyi menandakan ada tamu yang hendak memasuki kediaman tersebut.

“Biar Jihoon bukain pintunya ya mah”

Sang calon mertua hanya mengangguk dan membiarkan pemuda kecil itu menuruni tangga untuk membukakan pintu tersebut. Di balik pintu itu sama seperti dugaan Jihoon sedari tadi, ya siapa lagi kalau bukan 2 temannya Wonwoo dan Mingyu yang hendak membawanya menuju bandara.

“Nah yok brangkat!” ucap Mingyu sambil menarik pergelangan tangan Jihoon kencang. Jihoon sempat mengaduh dan jangan lupa lirikan Wonwoo yang tajam menatap posisi tangan ke kasihnya.

“Eh! Hehehe maaf maaf kebiasaan yang.”

“Makanya jangan di biasain! Ini juga kita harus minta izin dulu! Kayak nyulik aja”

Wonwoo berlalu masuk dan mencari wanita paruh baya pemilik rumah ini. Setelah bercengkrama singkat dengan ibu Soonyoung, Jihoon mendapatkan restu untuk menemui Soonyoung di Paris bersama kedua temannya itu. Wonwoo menjanjikan Jihoon akan baik-baik saja jika pergi bersama mereka menjumpai Soonyoung. Dengan begitu merekapun mulai berjalan menuju bandara internasional Soekarno-Hatta pukul 12.00pm dini hari.

Dalam perjalanan itu, Wonwoo dan Mingyu sedang asik bersenda gurau hingga menghiraukan Jihoon di kursi penumpang belakang. Ia hanya memperhatikan 2 sejoli itu bersamaan dengan kekehannya. Di pertengahan perjalanan itupun pula ada yang mengikuti mereka dari belakang.

Setelah check-in dan menyimpan koper, mereka menuju ke lantai dua untuk memasuki pesawat yang akan mereka tumpangi. di malam hari kondisi bandara di tengah pandemi tak seramai biasanya. Mereka bertiga bebas untuk berteriak maupun berlari seluasa mereka.

“Wonwoo, sini kita bisa seluncur juga hahaha mumpung lantainya licin!”

“Kekanak-kanakan banget dah lo. Tungguin!”

Wonwoo menyusul Mingyu sambil berlari dan meninggalkan Jihoon seorang diri berjalan di belakang mereka. Ia hanya bisa tertawa hangat melihat tingkah laku kasmaran kedua temannya itu sambil membawa tas berisikan perlengkapannya di pundak.

Berjalan di pinggir pagar penghalang antara lantai dua menuju lantai dasar. Sesekali ia juga melihat kebawah dan...

“AAAAAAKH!!! ASTAGAA!!!”

Jihoon yang awalnya berjalan santai kini telah bergelantungan di pagar besi itu setelah di dorong oleh seseorang dari belakang.

“WONWOO!!! GYU!!! GYU!! WONWOOO!!! TOLINGIN GUE!! AKHH!!!!! TOLONG WOI!!! GUE HAMPIR MATI MASIH AJA KETAWA-KETAWA!!! WOI!!!”

Mendengar teriakan tersebut merekapun kembali berlari menuju ke arah Jihoon dan menolong nya naik ke atas.

“JIHOON!!! JI LO KENAPA? KOK BISA?” Tanya Wonwoo sambil menggapai Jihoon untuk menolongnya naik kembali.

“WOI! SIAPA LO! ANJIR!!! BERENTI!!” Kali ini teriakan Mingyu yang mengejar seseorang dengan berpakaian serba hitam menuju kebawah.

“Ji, lo gapapa? Hei? Minum dulu yuk!”

Wonwoo membawa Jihoon untuk duduk sejenak dan memberinya sebotol air pada ransel yang ia bawa. Wonwoo kembali menanyakan kondisi Jihoon setelah ia mulai tampak lebih rileks.

“Ji... Lo gapapa?”

Jihoon hanya menggeleng dengan nafas yang belum teratur.

“Udah gapapa, ga usah ngomong dulu. Tenangin diri lo. Pasti shock banget. Maafin ya kita ninggalin lo, seharusnya kita jalan bareng tadi! Ih maafin gue ya Ji”

Jihoon kembali menggeleng kuat dan menggenggam tangan Wonwoo dengan erat.

“Ga! Hahhhhhh Ga Won! Hahhh itu bukan salah lohh....”

“Ji, jangan ngomong kalau lo masih shock! Udah minum lagi coba”

Tak lama Mingyu pun datang dengan membawa pria berhoodie hitam yang menutupi wajahnya dengan masker bersamaan dengab Seokmin(?)

“Lah kok? Lo?”

“Yang, dia dalangnya”

Mendengar ucapan Mingyu, Jihoon yang awalnya menunduk kemudian menatap 2 pria di samping Mingyu berdiri. Jihoon mulai mendekat kepada Pria berhoodie hitam itu dan menghiraukan Seokmin sementara. Saat ia membuka masker dan kupluk hoodie yang menutup kepala pria tersebut, nampak lah sosok dibaliknya. Ia adalah Jisoo, parasit dalam kehidupan Soonyoung.

“Lo? Lagi!” teriak Jihoon.

Jisoo hanya menunduk dan memandang Seokmin yang nampak amat tenang.

“Ji, maafi gue. Kayanya gue salah deh ngurungin dia tanpa tau dia pegang pelacak ini”

Mingyu menjulurkan tangannya kepada Jihoon untuk memberika sebuah benda pipih yang dipasang sinar infrared disana yang di kendalikan dengan bluetooth.

“Dan, dia. Dia dalangnya.”

Mingyu menunjuk Seokmin dan mendorongnya agar maju menuju Jihoon untuk meminta maaf.

“Seok?”

“Ji, sorry. Gue selama ini....”

“Udah lah kelamaan anjir! Intinya langsung coba! Pesawatnya udah mau landing!!!!” teriak Wonwoo bersamaan dengan pemberitahuan pesawat yang akan mereka tumpangi akan berangkat.

“Ga usah lo jelasin sekarang. Jelasin nanti di hadapan Soonyoung.”

Jihoon, Wonwoo dan Mingyu pergi meninggalkan mereka berdua disana dan bergegas masuk ke pesawat untuk terbang menemui Soonyoung. Dalam keberangkatan mereka, Jihoon terjaga hingga mereka sampai pada bandara di Perancis. Lamunan disepanjang perjalanan hanya memikirkan 'mengapa Seokmin melakukan ini kepada sahabatnya sendiri'.

Narasi 2


“Jadi gini ceritanya—”


“Assalamualaikum Pak Haji! Aa itu jadi ga ntar malem nganter hantaran? Iyaya yang di sebelah balai adat kan yak? Ho'oh! Iya ini rencananya roti buaya mau dianter sekalian kan? Iyaya ha'aa iyaya-”

“Ga, itu babeh lagi ngapain?” tanya Tama kepada Dirga yang duduk sambil mengunyah makanan ringan di tangannya.

“Gatau, tanya gih!” gubris Dirga santai, karena ia asik dengan makanan ringannya. Apa lagi film Disney Mickey Mouse dengan latar hitam putih pada televisi berantena di rumahnya.

Tama mengiyakan Dirga dan menyusul duduk pada kursi di sebelah babeh. Kemudian ia mulai ragu bertanya karena babeh belum menyelesaikan percakapannya dengan seseorang di seberang sana.

“Waalaikumsalam”

Tak lama salam terakhir diucapkan oleh babeh dan Tama siap melontarkan pertanyaannya kepada ayah dari sahabat kecilnya itu.

“Beh! Beh! Itu apaan sih?”

“Ini?”

Tunjuk babeh pada telepon genggam berkabel ditangannya dan Tama mengangguk mantap.

“Ini tuh namanya telepon. Buat ngomong sama orang jauh”

“Oh~ kalau Uweng telpon Dirga bisa ga sih beh?”

“Bisa dong, tapi Uweng harus punya telpon juga di rumah”

Ia akhirnya mengangguk mengerti dan melontarkan pertanyaan satu kali lagi.

“Terus tadi babeh ngomong apaan sama Pak Haji? Pak Haji denger ga Babeh ngomong?”

“Ya denger lah, karena Pak Haji juga punya telpon yang kesambung sama Babeh”

Tama kembali mengangguk dan menanyakan satu hal(lagi) kepada babeh.

“Satu lagi beh”

“Mau tahu semua lu, kali ini apaan tong?”

ucap babeh sambil mengelus surai hitam Tama. Tentu saja ia hanya tersenyum sumbringan akan belaian dan gurauan seorang ayah dari sahabatnya yang tengah sibuk menonton televisi hingga tak menghiraukannya sama sekali.

“Roti buaya, hantaran itu apa beh?”

“Hahahhaha itu buat orang nikahan tong, kalau lo besok nikah sama Salsa kalau udah gede pake begituan”

“Lah beh, Tama ga mau sama Salsa! Salsa masih bayi, masa mau di nikahin sama aye sih!” ucap Tama dengan nada kesal dan tinggi. Dirga? Iya sudah masuk dalam dunianya sendiri di alam mimpi.

“Haha terus lo mau sama siape? Dirga? Laki noh? Mau lo? Sama-sama ada gajahnya masa?”

“Ya kalau babeh izinin aye bakalan sama Dirga aja, boleh ga beh?”

“Tanya anaknya aja, babeh mah ga mau ikut campur”

“Babeh kok iyain sih?”

“Karena lo kayanya serius amat, masih kecil udah mau nikahan aja? Emang lo mau banget sama Dirga?”

Pertanyaan yang berat bagi Tama untuk menjawab di umur 9 tahunnya. Tetapi keyakinan di dalam hatinya mengatakan, Jika boleh kenapa tidak? Toh mereka selalu bersama sedari kecil hingga berumur 9 tahun seperti ini. Tama kembali di buat penasaran dengan pikirannya, ia pun kembali bertanya kepada babeh.

“Beh, mau nanya lagi”

“Iya tanya aja dah, selagi gua bisa jawab”

“Umur berapa sih boleh nikah?”

“Kalau babeh dulu sama enyaknya Dirga umur 27 udah nikah, mak bapak lo juga. Dan ngomong-ngomong nih.. Hahaha kita juga nikahnya barengan, jadi satu komplek ini dulu penuh dah tamu undangan. Tarupnya juga gede karena ada dua manten yang nikah di hari yang sama. Aduh tuh kan lu tong! Gue jadi nostalgia nih”

Mereka berdua sama-sama tertawa hingga suara tawa mereka menggema memenuhi ruang tamu yang mereka duduki saat ini. Dirga yang di ruang keluarga pun terbangun karena tawa mereka, ia ikut bergabung duduk menyanggahkan dagu pada paha ayahnya.

“Pada ngetawain apa sih?” tanya Dirga dengan suara seraknya.

“Ngetawain lo hahahhahahaha”

“Gue getok lo ye! Isss!”

“Hahaha udah! Ih kok ribut! Nah Tama tanyain dah anaknya nih”

Dirga yang bingung dengan situasi ini tapi ia tetap melanjutkan lelap tidurnya.

“Besok aja beh, liat noh matanya udah berat”

“Hahaha oke dah”

“Eh beh Tama boleh minta sesuatu ga beh?”

“Apa dah tuh?”


Di keesokan harinya, Tama sudah berada di kamar Dirga sambil membangunkannya dengan memukul kedua kaleng pada tangannya, sesekali ia juga menaruh satu kaleng yang tutupnya terbuka mengarah kepada indra pendengaran Dirga. Jika terdengar maka suaranya seperti teredam namun masih dapat terdengar.

kleng! kleng! kleng! kleng!

“DIRGAAAA!! BANGOON!!!!”

kleng! kleng! kleng! kleng!

“BANGUN DIRGA BANGUN!!! KEBAKARAN!!!!”

“Ribut ih! Gue masih ngantuk!” rengek Dirga sambil mendorong tubuh Tama menjauh dengan kaki kecilnya.

“Ga!! Gue di kasih babeh mainan nih! Ayo coba!”

Mendengar kata mainan, Dirga dengan cepat bangun dan melihat mainan yang di maksud. Mainan tersebut adalah 2 kaleng yang di sambung dengan tali agar dapat membuat gelombang suara dari jarak yang agak jauh sekiranya 2 meter minimalnya. Dan permainan itu di sebut “Telepon Kaleng”.


Sudah beberapa hari mereka hanya sibuk dengan mainan buatan tangan Babeh Dirga itu. Gelak Tawa, canda gurau, lontaran kata kasar hingga pahitnya tali yang putus hingga membuat Dirga menangis namun di perbaiki kembali oleh babeh karena Tama menariknya begitu kencang.

Dirga tak sadar selama beberapa hari itu Tama selalu menanyakan pertanyaan yang sama melalui telepon kaleng tersebut dan juga ada satu benda yang selalu berada di tangan Tama sewaktu mereka bermain.

Pertanyaannya tersebut tak lain adalah: “Ga, lo mau ga nikah sama gua?”

Dan pertanyaan tersebut di anggap omong kosong oleh Dirga dan di anggap serius oleh Tama. Namun perjuangan Tama tak sampai disitu. ketika mereka kelas 3 SMA, Tama masih menanyakan hal tersebut tapi bukan lewat telepon kaleng.

Dan sewaktu satu hari Dirga muak dengan pertanyaan yang sama, ia pun menjawab.

“Ga mau!”

Hanya 2 suku kata, dan itu membuat hati Tama rapuh. Ia beralih menanyakan hal yang sama kepada adik Dirga yang hanya berselisih beberapa tahun dengan mereka.

“Dek, gue kurang pantes apa jadi suaminya Dirga?”

“Bang. lo cowok abang gue cowok. Masa mau nikah sesama jenis?”

“Tapi babeh suruh nanya dulu, abang lo mau ga”

“Nah apa kata abang?”

“Ga mau”

“Terus lo gimana?”

“Mau nikah sama gue ga sa?”

Bukan berupa gubrisan dari mulut salsa yang ia dapatkan, tapi satu tamparan berhasil lolos mengenai pipi gembil Tama.

Sudah sepuluh tahun kejadian itu berakhir dan akhirnya hari ini Tama mendapatkan jawabannya. Jika bukan karena ketergesaan ibunya yang menanyakan kapan ia punya gandengan yang mana di umurnya sudah ingin menginjak kepada 3.

Kalang kabut, mencari pasangan dalam satu hari rasanya amat sulit. Tapi Dirga membantunya.

Mengingat suatu kejadian saat mereka bermain telepon kaleng pada umur 12 tahun. Dirga dan Tama secara tak sengaja membuat suatu perjanjian.

“Ga, lo yakin ga mau nikah sama gue?”

“Pertanyaan lo itu mulu njing! Ga ada yang lain? Setiap selesai main selalu itu yang lo bahas. Kenapa sih?”

“Gue mau nikah sama lo?”

“Gila!”

“Iya gue gila, gimana Ga? Mau lo gak?”

Dirga menimbang pertanyaan itu kembali dan tak sengaja mendapati suatu benda yang berada di tangan Tama. Kotak kecil, berwarna merah, berdasar beludru dan di layangkan di udara dengan rendah oleh Tama.

“Gue mau tanya, itu apaan?”

Dengan segera Tama memasukan kotak kecil itu kedalam kantong celananya dengan kalut. Namun, tak sempat hingga akhirnya kotak tersebut beralih ke tangan Dirga.

“Cincin? Cincin siapa? Kenapa ada dua? Hah? Kok!!!”

“Babeh yang kasih”

“Kenapa?”

“Ya itu tadi”

Dirga menatap Tama tak percaya. Yang ditatap hanya merunduk memilin ujung bajunya. Dirga kembali menarik telepon kaleng sisi miliknya dan berjalan menuju dalam pagar tempat ia berdiri sebelumnya. Menarik singkat bentuk memberi Tama sinyal untuk mendengarnya berbicara disana.

“Lo mau gue nikah sama lo?”

Terperanjat. Ia dengan sigap mengangguk mantap dan menatap Dirga dengan penuh binar dan kepercayaan menanti Jawabannya. Mereka memang masih berumur 12 tahun waktu itu, entah dari mana keajaiban dengan pemikiran sedewasa itu dan ingatan yang kuat di masa itu bisa melekat pada kedua anak adam ini.

“Ayok janji dulu. Tapi ada syaratnya.”

“Apaan?”

“Lo harus ajak Salsa nikah dulu, kalau dia ga mau gue bakal nikah sama lo. Terus lo harus cari dimana Salsa bakalan simpan ini telepon kaleng buat syarat lo nikah sama gue”

Tama dengan kuat mengangguk dari seberang dan berlari menuju Dirga dengan penuh bahagia. Merengkuh erat tubuh Dirga hingga sesak terasa padanya.

“Akh!! Sesek uhuk! Weng!!!”

“Eh maaf maaf hehe gue bahagia banget sumpah”

“Inget ya gue belum mau sekarang nikah sama lu. Jadi jangan tanya lagi!”

“Iyaya, tapi nanti kalau salsa lupa gimana?”

“Ya udah, kita ga jadi nikah” senyum Tama seketika luntur mendengar jawaban Dirga.

“Lah kok gitu!”

“Heh! Lu masib punya syarat lagi! Tanyain salsa mau ga nikah sama lo?”

“Lah iya ya?! Lupa gue. Ihh!! Gue mau nikah sekarang aja bisa?”

“Heh! Gembrot! Siti nurlela udah ga ada lagi sekarang! Gue ga mau”

Gelak tawa Tama dan Kesal tak sabarnya Dirga bercampur aduk pada saat itu. Hari itu juga, Dirga dan Tama membungkus telepon kaleng tersebut dalam kotak bekas sepatu sekolah Tama yang di beri kain perca sebagai alas, tak lupa pula dengan sepasang cincin pernikahan yang berukuran jari tangan orang dewasa didalamnya.

Keesokan harinya Dirga membawa Salsa untuk menyimpan kotak tersebut sesuai keinginan Salsa. Dirga sudah menceritakan semuanya kepada adik kecilnya itu tanpa mengira akankah adiknya mengerti atau tidak.


Cafe.


“Gitu ceritanya maumunah. Ngerti kagak lo?”

“Ohhhhh~~ gituuuuu~~~ baru paham gue. Soalnya tadi abang cuman bilang, lo ingat ga dimana lo simpan kotak gue yang kasih ke lo waktu kecil dulu. Dan untungnya gue inget bang! Tapi gue ga tau dah sampe sekarang itu isinya apaan ternyata ini toh isinya. Lo juga baru jelasin tadi di jalan pas mau pergi isinya apaan. Abang juga cuman bilang tunjukin sana sama tama, dia mau ambil. Gitu”

“Hahahaha oke deh kalau gitu jadi lo beneran ga mau jadi bini gue nih?”

“Ih! Kan udah di bilangin tadi di WA apaan?”

“Hahaha cuman meyakinkan aja. Cepetan dan makannya itu tulang hampir ga ada sisa, ini udah mau maghrib lagi! Gue bisa-bisa ga sempat bebenah ntar mau kerumah lo”

“Hehe iyaya, btw abang kerumah bang”

“Kenapa?”

“Kagak tau”

“Dih lo!”

“Ayok bang uweng suami ku!! Kita pulangg!!!”

“Anjing lo sa, sini gue peluk lo kenceng sampe gue denger bunyi batuk”

“Hahahaha ampun laki gue ampun!!”