Narasi 1
Akbar Pratama yang kerap di panggil Tama atau Uweng adalah sahabat masa kecilnya Galih Dirga. Mulai dari dalam kandungan hingga tumbuh dewasa seperti sekarang.
Orang tua mereka juga sangat akrab. bisa di bilang sudah berteman sedari sekolah menengah atas hingga kini yang tak kunjung pupus karena aman dan damai seperti petuah rukun tetangga.
Rumah mereka hanya berjarak beberapa langkah saja. Maka dari itu Tama sudah sedari tadi berdiri di depan pagar rumah Dirga untuk menunggu seseorang. ia enggan untuk berkunjung masuk di kediaman Dirga dan memilih menunggu di luar.
Matahari sore pukul tiga amat menyengat tetapi tak membuat kulit terbakar. Duduk bersandar di pagar rumah Dirga, hanya itu yang bisa ia lakukan sekarang. Entah semenjak kapan nyalinya untuk masuk ke kediaman itu seperti biasa seperti maling tanpa salam membuatnya berpikir keras.
“Gue nih kenapa? Ga kaya biasa sumpah! Biasanya juga main nyosor lanjut ke kamar. Ini kenapa kagak berani dah? Aneh! Ada yang salah! NIH ORANG JUGA KAMPRET LAMA AMAT DANDANNYA!!!” Ucap suara hati seorang Tama.
Tak lama, decitan pagar besi rumah Dirga berbunyi. Bau maskulin menyengat menguar masuk indra penciuman Tama yang duduk di bawah kaki seseorang yang baru keluar dari rumah tersebut.
Tama menyungging ujung bibirnya sambil merundukan kepalanya, karena ia tahu siapa yang baru saja keluar dari rumah Dirga ini. Ya, orang itu adalah babehnya Dirga.
“Beh~” Sapanya.
“Tong, lu ngapain duduk di mari? Masuk apa bisa!?” tegur orang tua tersebut.
“Dirganya suruh aye duduk di luar ya udah di mari aja”
“Astagfirullah tu anak! Mau kemane sih kalian?”
“Ke toko koko wen beh”
“Ngapain?”
“Kepo amat babeh ah! Hahahaha, babeh sendiri mau kemana?”
Pembicaraan mereka kita hentikan disini karena babeh mau pergi sholat ashar ke masjid dekat komplek keburu telat karena Tama kalau sudah bercengkrama lupa waktu.
Dan!
Yang di tunggu-tunggu tama sedari tadi hingga ia bisa berjemur mengeluarkan peluh dan juga bau keringat duduk di pagar rumah Dirga akhirnya pun keluar.
Seorang gadis cantik, yang tak tinggi semampai namun juga berpipi chubby berkulit putih mirip kakaknya itu menyuguhi Tama dengan senyumnya yang manis. Tama juga ikut membalas senyuman itu hingga hampir terbuai dalam senyum bak sekolam larutan gula cair.
“Bang! Bang! Bangke!! Malah senyum-senyum, jadi kagak nih?” Teriak Salsa sambil memukul lengan untuk menyadarkan Tama.
“Eh! Hahaha senyum lu manis banget neng makanya gue jadi terpana”
“Halah bisa ae lo bambang, pake apa nih kesananya?” Salsa memotong topik tak jelas dengan kilat
“Jalan kaki”
“Yang bener aje lo bang, panas nih”
Mari kita simak kesalnya seorang tama~
“Nih cium bau ketek gue! Panasan mana gue nungguin lo disini ampe gue ada niatan mau kerumah mandi lagi tadi”
“Yaha hahahaha salah siapa yang suruh duduk di luar?”
“Abang lo noh!”
Salsa terkekeh kecil sambil menutup mulutnya, sesekali kelepasan ia memukul pundak Tama saking lucunya ia memikirkannya menunggu di luar.
“Ngetawain gue enak, ntar pulang malem gue yang ga enak nih bisa-bisa di gebuk abang lo”
“Ya udah ayo jalan, tapi serius ini mah bang, pake apaan nih?”
“Gue gendong dah mari!” tawarnya sambil membelakangi Salsa
“Ih abang!”
“Ya kan tadi udah aye bilang jalan kaki! Cantik-cantik kok budek! Aw! Aw! Anjir tangan lo cimit, sekali cubit sakit anjir!”
“Ya makanya ayo cepetan ah!”
Setelah pertengkaran sengit tadi—–(tutttttttt)
Setalah pertikaian kecil tadi, mereka mulau menapakan kaki berjalan di beberapa komplek. Bercanda gurau agar mengurangi rasa lelah dan sesekali Salsa meminta di belanjakan air di warung.
Setelah melewati polis tidur dan juga bertarung melawan anjing galak, Akhirnya sampai juga di sebuah toko barang antik dan gudang penyimpanan milik kokoh wen, teman masa kecil Tama dan Dirga di sekolah dasar hingga sekarang.
Memasuki bangunan tampak lapuk nan kokoh itu, Salsa menyapa pemilik tokoh kemudian menanyakan sesuatu berupa barang yang disimpan oleh kedua bujang lapuk yang selalu menempel padanya kepada Kokoh Wen yang sedang membersihkan Jam tua dengan kemoceng berbulu coklat.
“Koh! Koh Wen!”
“Eh! ada salsa, sama Dirga tah?”
“Bukan koh, sama bang uweng”
“Mana weng?” tanya koh wen
Salsa menunjuk Tama yang sedang melihat-lihat di gudang sebelah pada dinding kaca yang terpasang di toko itu sebagai dinding pembatas kedua bangunan. Koh Wen kemudian menedahkan tangannya seperti gesture meminta dan menatap Tama dengan tatapan sinis andalannya.
“Hehe besok ya! Janji gue”
“Lu gitu mulu njir, bisa bangkrut dah nih toko. Mana ini toko punya baba gue!” Pekik pria berketurunan china sepantarannya itu sambil berjalan ke suatu ruangan.
”– sampah yang lo simpen sini kan?” tanyanya kembali.
“Yoi! Yang itu, btw bukan sampah anjir! Itu pusaka”
“Pusaka apaan? dahal bisa di bikin lagi masa” tutur Salsa yang sama kesalnya dengan Kokoh Wen dan tentu saja Tama hanya terkekeh geli dengan pikirannya yang melebih-lebihkan untuk menyimpan barang tersebut di toko ini dengan spesial.
Satu kotak sepatu yang lusuh dan ujungnya sudah menjadi cemilan rayap di atas lemari tinggi tua ruangan itu, diturunkan perlahan oleh Wen Junhui, kemudian sambutan tangan dari Tama yang menaruh kotak tersebut di atas meja tengah ruangan itu.
Di atas kotak bertuliskan Huruf U dan D dari tinta spidol berwarna biru. Dan tentunya lagi Salsa lagi-lagi mencibir Tama.
“Kenapa ga U dan I aja bang weng? kan biar jadi Upin dan Ipin ngehehehe”
“Skedepussshhhtt! Ck! Bacut! Diem lo! Gue lagi ritual nih”
Salsa kesal karena candaanya yang di tolak mentah oleh Tama. Koh Wen tentu saja hanya menggelengkan kepalanya pusing sambil berucap di dalam hati—
“Weng-weng lo ga abangnya yang di cengin adiknya lo lahap juga ckckckck”
Tama membuka kotak sepatu tersebut dan mengabaikan sekelilingnya, ritual yang di maksud berupa membaca bismillah dan juga tarian pulu-pulu yang tak masuk akal.
Salsa dan Koh Wen kembali mengerinyit ujung alis mereka. Hingga akhirnya Koh Wen memanggi Salsa untuk keluar dan tidak mengganggu Tama.
“Jiakhhh ahayyy dah lama ga ketemu, apa kabar? Asik ini dia! Gue bawa lo sekarang ya biar bisa di pake lagi, ga di simpen di mari lagi lo hahaha”
Tama keluar, duduk bersamaan dengan Koh Wen dan Juga Salsa yang asik bertukar cerita sambil memangku kotak tersebut.
“Udah?” tanya Salsa
“Udah, yok pulang”
“Ga mau minum teh dulu?” tawar Koh Wen tak niat
“Ga usah anjir, orang udah mau pulang lo malah nawar! Telat!”
“Sekedar menawarkan, basa-basi lah istilahnya. Btw aman?” tanya Koh Wen sekali lagi.
“Aman, cuman agak lusuh aja kotaknya. Mana di cemilin rayap lagi! Lo ga kasih kapur barus ya?”
“Heh! Lo numpang, mana gratis lagi. Minta lebih anjir ngelunjak!”
Ruangan itu seketika penuh oleh tawa Tama dan Salsa. Mereka pun izin untuk pulang, dan tak lupa berterima kasih banyak kepada Koh Wen sudah menyimpan kotak(pusaka) tersebut selama 25 tahun.
“Sama Salsa kan? Jan lupa undangannya!”
“Iya aman, balik dulu ya!”
“Hmmm hati-hati”
Salsa dan Tama pulang menuju wilayah komplek rumah mereka kembali dan masih dengan berjalan kaki seperti awal mereka pergi. Salsa yang meminta bayarannya kepada Tama dengan tergesa di jalan karena mereka lewat di cafe dengan menu andalan ayam gepreknya. Rengekan nan imut andalan Salsa berhasil membuai Tama membelikannya ayam geprek tersebut dengan tujuan—
“Haus juga jalan, yok lah makan kita”
“Kagak nyambung anjir! Tapi ya udah lah”
Menyantap makanan dengan lahap dan Tama yang menyeruput es kopinya dengan penuh dahaga tak lupa menyelingi sunyi mereka dengan dialog yang membingungkan.
—-Batas hanya dialog aja—-
🐰: “Bang, lo beneran mau nikah nih?”
🐯: “Ragu lo ceritanya nih?”
“Iya ragu, ragu lo ga bisa jaga ntar”
“Astagfirullah, seragu itu lo?”
“Lo tau kan banyak makannya, mageran, galak, tapi imut kalau marah hahaha”
“Gue toyor pala lo!”
“Kenyataan ya wleee!!! -tapi ya bang, kok bisa sih?”
“Itu karena ini”
“Kan ini babeh yang buat, kenapa jadi lebay gini dah?”
“Karena kita udah janji, lo mau gue ceritain kagak?”
“Mau! Mau!!”
“Jadi gini —”
—-udah habis dialognya, balik narasi kuy!—-
Salsa dan Tama sudah berada sampai di kediaman Dirga dan Salsa. Tama berpamitan pulang untuk bebersih kemudian berjanji akan menuju kerumahnya nanti malam bersama dengan kedua orang tuanya.
“Ok, bang! Gue tungguin ya! Dandan yang cakep! Di pake itu batik yang di siapin gue! Udah di anter sama bang Dirga kok tadi.”
“Oh~ oke, lo juga. Dandan yang cantik biar orang terpana sama calon gue”
“Ahayy bisa aja lo!”
“Gue balik dulu ya sa!”
“Iya dadah calon suami!”
“Iya dah”