Sftyme


Akbar Pratama yang kerap di panggil Tama atau Uweng adalah sahabat masa kecilnya Galih Dirga. Mulai dari dalam kandungan hingga tumbuh dewasa seperti sekarang.

Orang tua mereka juga sangat akrab. bisa di bilang sudah berteman sedari sekolah menengah atas hingga kini yang tak kunjung pupus karena aman dan damai seperti petuah rukun tetangga.

Rumah mereka hanya berjarak beberapa langkah saja. Maka dari itu Tama sudah sedari tadi berdiri di depan pagar rumah Dirga untuk menunggu seseorang. ia enggan untuk berkunjung masuk di kediaman Dirga dan memilih menunggu di luar.

Matahari sore pukul tiga amat menyengat tetapi tak membuat kulit terbakar. Duduk bersandar di pagar rumah Dirga, hanya itu yang bisa ia lakukan sekarang. Entah semenjak kapan nyalinya untuk masuk ke kediaman itu seperti biasa seperti maling tanpa salam membuatnya berpikir keras.

“Gue nih kenapa? Ga kaya biasa sumpah! Biasanya juga main nyosor lanjut ke kamar. Ini kenapa kagak berani dah? Aneh! Ada yang salah! NIH ORANG JUGA KAMPRET LAMA AMAT DANDANNYA!!!” Ucap suara hati seorang Tama.

Tak lama, decitan pagar besi rumah Dirga berbunyi. Bau maskulin menyengat menguar masuk indra penciuman Tama yang duduk di bawah kaki seseorang yang baru keluar dari rumah tersebut.

Tama menyungging ujung bibirnya sambil merundukan kepalanya, karena ia tahu siapa yang baru saja keluar dari rumah Dirga ini. Ya, orang itu adalah babehnya Dirga.

“Beh~” Sapanya.

“Tong, lu ngapain duduk di mari? Masuk apa bisa!?” tegur orang tua tersebut.

“Dirganya suruh aye duduk di luar ya udah di mari aja”

“Astagfirullah tu anak! Mau kemane sih kalian?”

“Ke toko koko wen beh”

“Ngapain?”

“Kepo amat babeh ah! Hahahaha, babeh sendiri mau kemana?”

Pembicaraan mereka kita hentikan disini karena babeh mau pergi sholat ashar ke masjid dekat komplek keburu telat karena Tama kalau sudah bercengkrama lupa waktu.

Dan!

Yang di tunggu-tunggu tama sedari tadi hingga ia bisa berjemur mengeluarkan peluh dan juga bau keringat duduk di pagar rumah Dirga akhirnya pun keluar.

Seorang gadis cantik, yang tak tinggi semampai namun juga berpipi chubby berkulit putih mirip kakaknya itu menyuguhi Tama dengan senyumnya yang manis. Tama juga ikut membalas senyuman itu hingga hampir terbuai dalam senyum bak sekolam larutan gula cair.

“Bang! Bang! Bangke!! Malah senyum-senyum, jadi kagak nih?” Teriak Salsa sambil memukul lengan untuk menyadarkan Tama.

“Eh! Hahaha senyum lu manis banget neng makanya gue jadi terpana”

“Halah bisa ae lo bambang, pake apa nih kesananya?” Salsa memotong topik tak jelas dengan kilat

“Jalan kaki”

“Yang bener aje lo bang, panas nih”

Mari kita simak kesalnya seorang tama~

“Nih cium bau ketek gue! Panasan mana gue nungguin lo disini ampe gue ada niatan mau kerumah mandi lagi tadi”

“Yaha hahahaha salah siapa yang suruh duduk di luar?”

“Abang lo noh!”

Salsa terkekeh kecil sambil menutup mulutnya, sesekali kelepasan ia memukul pundak Tama saking lucunya ia memikirkannya menunggu di luar.

“Ngetawain gue enak, ntar pulang malem gue yang ga enak nih bisa-bisa di gebuk abang lo”

“Ya udah ayo jalan, tapi serius ini mah bang, pake apaan nih?”

“Gue gendong dah mari!” tawarnya sambil membelakangi Salsa

“Ih abang!”

“Ya kan tadi udah aye bilang jalan kaki! Cantik-cantik kok budek! Aw! Aw! Anjir tangan lo cimit, sekali cubit sakit anjir!”

“Ya makanya ayo cepetan ah!”

Setelah pertengkaran sengit tadi—–(tutttttttt)

Setalah pertikaian kecil tadi, mereka mulau menapakan kaki berjalan di beberapa komplek. Bercanda gurau agar mengurangi rasa lelah dan sesekali Salsa meminta di belanjakan air di warung.

Setelah melewati polis tidur dan juga bertarung melawan anjing galak, Akhirnya sampai juga di sebuah toko barang antik dan gudang penyimpanan milik kokoh wen, teman masa kecil Tama dan Dirga di sekolah dasar hingga sekarang.

Memasuki bangunan tampak lapuk nan kokoh itu, Salsa menyapa pemilik tokoh kemudian menanyakan sesuatu berupa barang yang disimpan oleh kedua bujang lapuk yang selalu menempel padanya kepada Kokoh Wen yang sedang membersihkan Jam tua dengan kemoceng berbulu coklat.

“Koh! Koh Wen!”

“Eh! ada salsa, sama Dirga tah?”

“Bukan koh, sama bang uweng”

“Mana weng?” tanya koh wen

Salsa menunjuk Tama yang sedang melihat-lihat di gudang sebelah pada dinding kaca yang terpasang di toko itu sebagai dinding pembatas kedua bangunan. Koh Wen kemudian menedahkan tangannya seperti gesture meminta dan menatap Tama dengan tatapan sinis andalannya.

“Hehe besok ya! Janji gue”

“Lu gitu mulu njir, bisa bangkrut dah nih toko. Mana ini toko punya baba gue!” Pekik pria berketurunan china sepantarannya itu sambil berjalan ke suatu ruangan.

”– sampah yang lo simpen sini kan?” tanyanya kembali.

“Yoi! Yang itu, btw bukan sampah anjir! Itu pusaka”

“Pusaka apaan? dahal bisa di bikin lagi masa” tutur Salsa yang sama kesalnya dengan Kokoh Wen dan tentu saja Tama hanya terkekeh geli dengan pikirannya yang melebih-lebihkan untuk menyimpan barang tersebut di toko ini dengan spesial.

Satu kotak sepatu yang lusuh dan ujungnya sudah menjadi cemilan rayap di atas lemari tinggi tua ruangan itu, diturunkan perlahan oleh Wen Junhui, kemudian sambutan tangan dari Tama yang menaruh kotak tersebut di atas meja tengah ruangan itu.

Di atas kotak bertuliskan Huruf U dan D dari tinta spidol berwarna biru. Dan tentunya lagi Salsa lagi-lagi mencibir Tama.

“Kenapa ga U dan I aja bang weng? kan biar jadi Upin dan Ipin ngehehehe”

“Skedepussshhhtt! Ck! Bacut! Diem lo! Gue lagi ritual nih”

Salsa kesal karena candaanya yang di tolak mentah oleh Tama. Koh Wen tentu saja hanya menggelengkan kepalanya pusing sambil berucap di dalam hati—

“Weng-weng lo ga abangnya yang di cengin adiknya lo lahap juga ckckckck”

Tama membuka kotak sepatu tersebut dan mengabaikan sekelilingnya, ritual yang di maksud berupa membaca bismillah dan juga tarian pulu-pulu yang tak masuk akal.

Salsa dan Koh Wen kembali mengerinyit ujung alis mereka. Hingga akhirnya Koh Wen memanggi Salsa untuk keluar dan tidak mengganggu Tama.

“Jiakhhh ahayyy dah lama ga ketemu, apa kabar? Asik ini dia! Gue bawa lo sekarang ya biar bisa di pake lagi, ga di simpen di mari lagi lo hahaha”

Tama keluar, duduk bersamaan dengan Koh Wen dan Juga Salsa yang asik bertukar cerita sambil memangku kotak tersebut.

“Udah?” tanya Salsa

“Udah, yok pulang”

“Ga mau minum teh dulu?” tawar Koh Wen tak niat

“Ga usah anjir, orang udah mau pulang lo malah nawar! Telat!”

“Sekedar menawarkan, basa-basi lah istilahnya. Btw aman?” tanya Koh Wen sekali lagi.

“Aman, cuman agak lusuh aja kotaknya. Mana di cemilin rayap lagi! Lo ga kasih kapur barus ya?”

“Heh! Lo numpang, mana gratis lagi. Minta lebih anjir ngelunjak!”

Ruangan itu seketika penuh oleh tawa Tama dan Salsa. Mereka pun izin untuk pulang, dan tak lupa berterima kasih banyak kepada Koh Wen sudah menyimpan kotak(pusaka) tersebut selama 25 tahun.

“Sama Salsa kan? Jan lupa undangannya!”

“Iya aman, balik dulu ya!”

“Hmmm hati-hati”

Salsa dan Tama pulang menuju wilayah komplek rumah mereka kembali dan masih dengan berjalan kaki seperti awal mereka pergi. Salsa yang meminta bayarannya kepada Tama dengan tergesa di jalan karena mereka lewat di cafe dengan menu andalan ayam gepreknya. Rengekan nan imut andalan Salsa berhasil membuai Tama membelikannya ayam geprek tersebut dengan tujuan—

“Haus juga jalan, yok lah makan kita”

“Kagak nyambung anjir! Tapi ya udah lah”

Menyantap makanan dengan lahap dan Tama yang menyeruput es kopinya dengan penuh dahaga tak lupa menyelingi sunyi mereka dengan dialog yang membingungkan.

—-Batas hanya dialog aja—-

🐰: “Bang, lo beneran mau nikah nih?”

🐯: “Ragu lo ceritanya nih?”

“Iya ragu, ragu lo ga bisa jaga ntar”

“Astagfirullah, seragu itu lo?”

“Lo tau kan banyak makannya, mageran, galak, tapi imut kalau marah hahaha”

“Gue toyor pala lo!”

“Kenyataan ya wleee!!! -tapi ya bang, kok bisa sih?”

“Itu karena ini”

“Kan ini babeh yang buat, kenapa jadi lebay gini dah?”

“Karena kita udah janji, lo mau gue ceritain kagak?”

“Mau! Mau!!”

“Jadi gini —”

—-udah habis dialognya, balik narasi kuy!—-

Salsa dan Tama sudah berada sampai di kediaman Dirga dan Salsa. Tama berpamitan pulang untuk bebersih kemudian berjanji akan menuju kerumahnya nanti malam bersama dengan kedua orang tuanya.

“Ok, bang! Gue tungguin ya! Dandan yang cakep! Di pake itu batik yang di siapin gue! Udah di anter sama bang Dirga kok tadi.”

“Oh~ oke, lo juga. Dandan yang cantik biar orang terpana sama calon gue”

“Ahayy bisa aja lo!”

“Gue balik dulu ya sa!”

“Iya dadah calon suami!”

“Iya dah”

Di sore yang cerah, Soonyoung kembali menampilkan lekuk indah tariannya. Masih dengan Sandaenori misteriusnya, Soonyoung mengepakan kain putih berjuntai dari kostum yang ia pakai.

Suara musik yang berdentuman mulai banyak mendatangkan para penonton, didalam topengnya Soonyoung merasa bangga ia kembali membuat dirinya jadi pusat perhatian bukan sebagai seorang pewaris tahta namun karena ia adalah seorang penari Sandaenori.

Tiga menit berlangsungnya tarian tersebut, suara derap langkah dengan amat kuat dari puluhan kaki terdengar dari luar pekarangan rumah sanggar. Soonyoung percaya suara itu adalah suara dari prajurit istana.

Soonyoung masih menarikan tariannya seperti tidak terjadi apa-apa. Ia berhasil berhenti karena dari salah satu prajurit istana tepat berada di depannya sekarang.

“Ah! Ya ampun jantung ku!”

“Kwon Soonyoung, Gojong dari Dinasti Joseon. Aku diperintahkan oleh Yang Mulia untuk mengawalmu pulang ke istana” ucapnya sambil membungkuk hormat.

Semua penonton terkejut, bisikan-bisikan terus terlempar dari mulut ke muluk dengan curiga dan tak percaya. Soonyoung masih bersikeras untuk menutup identitasnya didalam Talchum miliknya.

“Sial! Kenapa Mingyu harus pergi keluar kota hari ini!”

“Silahkan yang mulia, mari ikut dengan saya”

“Tunggu!” henti seseorang bertubuh mungil menggunakan hanbok biru tua yang sedang berdesakan di keremunan orang.

“Tunggu dulu, tunggu dulu ya!! Kamu bilang siapa tadi?” hentinya lagi dan membawa Soonyoung berada di belakangnya.

“Ah! Tuan Lee Jihoon. Maaf kan saya, saya hanya melakukan perintah tuan Choi”

“Kamu memangnya sudah memastikan bahwa dia adalah Gojong? Apa kau punya bukti? Setau ku Gojong sudah berada di istana sekarang”

“Benarkah?”

“Aku baru saja pulang dari istana, kalau kau tak percaya pergi lah dan lihat didalam ruangannya”

“Baiklah, kalau begitu maafkan kami sudah menggangu penampilan anda. Kami permisi”

Tidak banyak basa-basi, tidak perlu ada pertumpahan darah, tidak perlu memastikan sesuatu dengan secara paksa. tipuan tuan muda Lee Jihoon selalu damai, maka dari itu ia di utus sebagai pembela kebenaran di negeri ini tanpa mereka tau besar mulutnya Jihoon.

“Hahaha mohon maaf aku tidak sopan, tapi sebaiknya hentikan pertunjukannya saja dulu bisa?” berbisik kepada Soonyoung sambil berjinjit memegang kuat lengannya.

Soonyoung mengangguk dan membiarkan para penonton pulang kerumahnya masing-masing. Soonyoung juga sudah memerintahkan pemusik untuk memasukan alat musik mereka ke dalam rumah sanggar.

“Sudah, jadi apa sekarang?” ucap Soonyoung.

Melihat keadaan situasi menoleh kiri dan kanan, Jihoon menarik Soonyoung dan pergi dengan menunggangi kuda putihnya di luar dan membawa Soonyoung menuju sungai dekat dengan penginapan miliknya.

“Ya! Kwon Soonyoung!”

“Hmm” hanya berdehem kemudian menyilangkan lengannya tanpa membuka topengnya.

Jihoon memutar manik hitamnya melas dan membuka Talchum Soonyoung sembarangan dan membuangnya asal. Ia menarik tengkuk, kemudian menjumpai belah bibirnya dan bibir tebal Soonyoung secara tiba-tiba. Soonyoung hanya terbelalak terkejut dengan aksi si kecil didepannya.

Semakin dalam, semakin manis, semakin bergairah, Soonyoung akhirnya menyambut kembali bibir tipis Jihoon dengan desapan kecil. Jihoon melepaskan pagutan mereka dan memukul dada Soonyoung dengan sangat kuat hingga ia kesakitan.

“Aakh!! Ya! Kenapa? Aww!”

“Kau tidak bilang kalau kau adalah teman ku kemarin! Aku kesal asal kau tau!”

“Hahaha aku tidak sadar waktu itu, maafkan aku” Soonyoung menarik tangannya untuk masuk dalam dekapan, tapi Jihoon menolak dan menjauhinya.

“Lee Jihoon! Ya! Kau mau kemana?”

“Kerumah!” pekiknya berlalu, Soonyoung pun mengikutinya sambil memunguti Talchum yang tergeletak di tanah dengan meninggalkan serpihannya disana.

“Ini tempat tinggalmu?” tanya Soonyoung sambil melihat sekeliling rumahnya.

“Bukan, ini rumah dinas ku.”

“Lalu bagaimana keadaan ayah?”

“Ayah siapa? Ayah mu atau ayah ku?”

Soonyoung merasa gemas dan mengikis jarak pandangannya begitu dekat dengan Jihoon.

“Menurutmu?” tanyanya sambil berseringai.

“Kau tanya ayah atau aku?”

“Kau? Bukannya aku sudah tau kabarmu bagaimana? Lihat kau sangat sehat, bahkan pipi gembil ini seperti tteok hahahaha” tawanya sambil menunjuk pipi Jihoon.

“Ya! Kwon Soonyoung! Kemari kau!!”

Jihoon mengambil sebilah rotan dan mengejar Soonyoung yang berlarian di rumah Luas milik Jihoon. Soonyoung memiliki ide lain dan membawanya masuk ke dalam sebuah ruangan yang terbuka. Saat masuk, ia menghentikan langkah sehingga si kecil dibelakangnya menabrak punggung bidang Soonyoung.

“Aw! Soonyoung! Kau ingin berhenti hati-hati aku kan jadi..... Soon”

“Jihoon, kau?”

Jihoon dengan cepat menggantikan bilah rotan di tangannya dengan sebilah pedang. Soonyoung yang merasa terancam mengangkat tangannya dan melangkah mundur hingga masuk keruangan tersebut.

“Soonyoung, maafkan aku. Aku bukan orang yang kau kenal seperti dulu”

ZIIINGGG!!!”

Hunusan pedang sudah Jihoon lakukan dan membuat hanbok yang Soonyoung pakai hanya tersisa satu lapis, ia tak menghunus Soonyoung hingga menyentuh kulitnya.

Ia hanya menggunakan pedang untuk membuka helaian pakaian Soonyoung untuk bermain dengannya malam itu.

“Jihoon.. Kau nakal sekali!”

Suara kekehan lucu dari Jihoon menguar didalam ruangan itu, Soonyoung terus menggelitikinya hingga ia meminta ampun.

Pemainan yang mereka lakukan hanya melakukan beberapa mainan tradisional yang mereka mainkan dulu bersama. Jihoon masih menyimpannya baik didalam ruangan tersebut, mereka bersenda gurau hingga matahari muncul kembali.

Terlelap berbantalkan lengan Soonyoung membuat Jihoon merasa nyaman, Soonyoung yang baru saja bangun enggan untuk membangunkan tidur lelap Jihoon. Ia membiarkan si kecil disebelahnya tidur dan melanjutkan kembali bunga mimpinya.


Salah besar Jihoon mengiyakan tawaran Soonyoung untuk membantunya yang sudah menahan masa maturbasinya dalam kurun waktu satu minggu ini. Ia terlihat sangat kesakitan karena selalu menahan agar bagian bawahnya tidak terangsang setiap kali ia melihat Soonyoung.

Setelah kejadian minggu lalu, dimana Soonyoung memberi sentuhan, kecupan dan menghisap bagian lehernya hingga meninggalkan bekas kemerahan disana, membuat Jihoon semakin menginginkan lebih apa yang sudah Soonyoung perbuat kepadanya. Namun rasa malu dan kegelisahan yang melanda membuat Jihoon menahan dirinya untuk menyelesaikan masturbasinya setelah Soonyoung berhasil merangsang bagian sensitif Jihoon.

“Ji kalo ga kuat pegang aja kuat bahu gue! Gigit, cakar atau apa lah yang penting lo ga ketahan lagi!” ucap Soonyoung yang kini sudah memainkan gerakan maju mundur kepunyaan Jihoon.

“Ahh! Soonhhh hahhh hufff.... Sakkkkittttt ihhhhhhhaaaaa!!”

“Gapapa Ji lo bisa yuk bisa!!”

Dengan duduk di pangku menyamping pada paha Soonyoung dengan lengan yang mengalung menggeluti lehernya, Mencampakan celana pendeknya acak agar Soonyoung puas memanjakan miliknya, Jihoon masih dengan keegoisannya yang ditutupinya kemarin akhirnya terlepas sudah.

“Soonhhh~ ahh! M-mau main berduahhh ga? Kayanya gini doang gue ga bisa keluar akhhngggg!!!”

Satu kalimat yang membuat Soonyoung terperanjat keluar dari mulut seorang Lee Jihoon yang katanya baru pertama kali melakukan hal seperti ini Dan akhirnya Ia memilih untuk mempertanyakan kepada Jihoon sekali lagi.

“Serius Ji? Gue takut lo hamil?”

“Hahhh? Soon? Serius gue bisa hamil?? Sssss ahhh~”

“Ya tuhan Ji, jangan desis gitu plis! Setau gue sih iya tapi kalo lo mau coba aja dulu”

Jihoon yang awalnya ragu kini mengangguk kepalanya mantap di bawah ceruk leher Soonyoung. Dengan pelan Soonyoung membaringkan Jihoon perlahan di tempat tidur seperti menidurkan bayi yang lucu. Sungguh melihat Jihoon dengan mata sayu yang di bawah kukungannya ini sangat menggoda tatap Soonyoung, namun sayangnya Jihoon tidak bisa melihat tubuhnya.

“Soonyoung? Kok berenti?” ucap Jihoon yang tak merasakan adanya lagi gerakan naik turun di bawah sana.

“Ji, sebelum di mulai. Gue punya satu syarat buat lo”

“Apa lagi kali ini?”

“Lo punya dasi ga?”

“Tuh! Buat apaan?” Jihoon menunjuk lemari pakaiannya dengan memajukan bibir kedepan.

“Gue minta maaf sebelumnya Ji. Sebenarnya gue ga mau punya gue di liat sama orang lain, maaf ya Ji. Gue ga bisa, gue punya trauma”

Jihoon mengiyakan syarat tersebut karena miliknya sudah menari ria kesana kemari meminta untuk di manjakan.

“Yaudah ambil aja disana, tutup mata gue pake dasi kan? Cepet ya Soon gue ga kuat”

Soonyoung beranjak dari sana dan mengambil dasi milik Jihoon dan menutup matanya yang sedari tadi sudah mengatup merintis kesakitan. setelah menutup matanya rapat, Soonyoung mengecup dahi Jihoon yang berkeringat sebentar.

“Maaf ya Ji, oke deh gue mulai. Gue naikin kaki lo ya biar kebuka selangkangan lo” katanya dan Jihoon masih mengiyakannya.

“Soon? Udah mulai?”

Soonyoung tak menggubris karena ia masih sibuk mencari lotion atau pengaman di lemari Jihoon.

“Ji, lo ga punya lotion atau kondom gitu? Gue takut beneran sumpah, takut banget lo hamil kalo ga pake pengaman”

“Soonyoung! Jan ngadi ih gue cowok tulen!”

“Ya ampun Ji tau, kan gue udah liat punya lo. Tapi cari aman aja!”

“Ih! Anjir! cepetan dah kebanyakan gaya gue udah kesakitan pen mati nih!!”

“Lotionnya dimana Ji?”

“Ada disituu ahh!!! Sssss bangsat sakit!”

Perang mulut terhenti setelah Soonyoung menemukan sebotol lotion di atas meja samping cermin. Dengan segera Soonyoung membuka celananya dan mengeluarkan kejantanannya. Membaluri lotion tersebut ke seluruh bagian miliknya agar Jihoon tidak merasa kesakitan mengingat ini pertama kali baginya.

Soonyoung juga membaluri jarinya dengan Lotion secara merata, kemudian ia meminta Izin kepada Jihoon yang sudah mengeram kesakitan.

“Ji, tahan ya! Ini bakal sakit cuman seebentar doang. Kalau udah di biasain nanti ga sakit lagi kok”

Jihoon hanya diam. tanpa berpikir panjang, Soonyoung mulai memasukan satu jarinya di lubang anal milik Jihoon.

“Akhhh ssss sakit soon!”

Rintihan Jihoon membuat pergerakan keluar masuk jarinya melambat, membiarkan Jihoon membiasakan jari Soonyoung yang terlahap oleh lubang sempitnya. Soonyoung kemudian memasukan kembali perlahan dengan dua jarinya, membuat gerakan gunting untuk memperluas lubang Jihoon.

“Aaihhh Soon hahh!! Soonnnnhghhh!”

Soonyoung tau alarm itu. Jihoon meminta afeksi dari sakit yang telah Soonyoung perbuat. Maka dengan pelan Soonyoung mendaratkan dua belah bibir kenyalnya di bibir tipis Jihoon. Yang kecil merasa tamak hingga menciumi Soonyoung dengan rakus seperti bibir Soonyoung adalah kepunyaannya.

Soonyoung yang kewalahan menyeimbangkan pergerakan Jihoon akhirnya melepaskan sebentar untuk meraup rakus oksigen yang habis. Soonyoung kembali di pekerjaan awalnya, kini lubang Jihoon sudah siap untuk kejantanannya singgahi.

Dengan memasukan miliknya pelan, Soonyoung memastikan keamanan Jihoon sebagai prioritasnya untuk bermain. Ia tidak ingin Jihoon tersakiti olehnya, menanyakan kepada empu tubuh untuk memastikan apakah ia aman atau tidak.

“Ji? Jihoon? Aman? Sakit ga?”

“Soonyoung~ sakittt hikss sakittt”

Soonyoung mengangkat tubuh Jihoon dan membawanya pada pangkuannya kembali. Dipeluk, di ciumnya erat tubuh Jihoon hingga tak terasa milik Soonyoung sudah masuk pada lubang kenikmatan Jihoon dengan cara damai.

“Akhh!!! Hihhhhhiksss sakit Soon! Sakit hiks! Sakiittt akhhhh ahhhhhh!!”

Soonyoung tau betapa sakitnya itu. Ia kemudian kembali membanjiri kecupannya pada wajah hingga dasi yang basah menutupi matanya. Mengusap keringat Jihoon yang mengalir dan punggung bidangnya berbalut kaos ukuran oversize yang masih ia kenakan. Soonyoung kembali meminta izin lagi kepada Jihoon untuk memulai permainan, jika Jihoon sudah merasa bersedia dan membiasakan milik Soonyoung yang menyatu dengan tubuhnya.

“Ji, mulai ya?”

Hanya mengangguk dan menarik Soonyoung masuk dalam pelukannya, Soonyoung akhirnya memulai kegiatan mereka. Mengangkat paha Jihoon pelan secara naik turun dengan pelan, berusaha mencari titik mikmat Jihoon hingga kecepatannya semakin lama semakin cepat.

“Akh! Disitu soonhhh! Ahh!! Lagi soon lagiihhhh ngghhhhh~”

Sesuai permintaan, Soonyoung mencepatkan temponya dan semakin membuat suasana ruangan menjadi panas. Suara kecipak yang di hasilkan dari bertemunya antar kulit berhasil masuk ke telinga masing-masing sehingga membuat mereka berdua makin bergairah.

“Soonhhh~ ngghhh sooonahhh!!!”

Soonyoung terus melakukan kegiatannya hingga Jihoon meracaui namanya beberapa kali. Jihoon yang merasa perih di bagian lubangnya penasaran sebesar apakah milik Soonyoung hingga membuat rasa sakit yang luar biasa namun nikmat saat bergerak.

“Soonyounghhhh gue mau buka mata boleh kahhhngghh?”

“Maafin gue Ji, tapi lo bisa buka mata lo di lain waktu”

“Akhh!! Soonyoung!! Anjing jangan cepet! Cepet!! Anjir akhhhh nggghhhh gue pen keluar!!!! Bangsat!!! NNGHHHHH AHHHH!!!”

Soonyoung si panic attack kehilangan kesadarannya karena trigger dari Jihoon. Tanpa sadar ia sudah menggempur lubang Jihoon dengan kecepatan abnormal dan berhasil membuat Jihoon melakukan pelepasan pertama selama seumur hidupnya.


Malam ini permainan pana kedua mereka kembali di mulai setelah kejadian yang sungguh tak bersengajaan itu. Kejadian tersebut terjadi karena rasa saling tolong menolong yang berkaitan dengan prosedur profitable yang mereka buat.

Kini, malam ini, di sini, dikamar Soonyoung, di dalam, di dalam rumah Soonyoung yang sudah tak berpenghuni dan meninggalkan mereka berdua saja. Setelah 5 menit kepergian Seungcheol yang mengantar Jeonghan pulang, Soonyoung dan Jihoon sudah berkeadaan dengan naked sekujur tubuh yang sudah mengucurkan banyak keringat pada kulit mereka.

Soonyoung yang saat ini sedang memanjakan Jihoon sama seperti waktu pertama kali menutup matanya dengan dasi agar tak bisa melihat tubuhnya secsra keseluruhan.

Di tengah permainan ranjang yang panas, tangan yang menahan pergelangan mungil Jihoon, erangan dan gumaman manis dari mulut Jihoon seakan menghentikan kegiatan tersebut.

“Soonyoung, boleh sekarang?”

Soonyoung yang sudah ingin mencapai klimaknya menghentikan pemainannya dibawah sana. Dengan ragu Soonyoung menjangkau dasi yang masih menutup mata Jihoon dengan tangan yang gemetar. Saat hampir saja hendak sampai menjangkau dasi tersebut Jihoon menghentikan pergerakannya sebentar.

“Kalau ga mau jangan dulu, aku ga maksa kok”

“Ga sayang, aku pengen kamu bisa lihat aku dengan keadaan seperti ini. Mungkin karena niat dan kepercayaan aku sama kamu udah kekumpul penuh, jadi aku bisa buat kamu mandang aku sama kaya aku mandang kamu dengan keadaan yang seperti ini. So, aku buka penutup matanya ya”

Jihoon mengangguk ragu dan akhirnya matanya bisa menjelajah memandangi sosok Soonyoung yang Full Naked dengan garis lekuk tubuh kotak di bagian perutnya hasil dari kerja keras olahraga dan diet yang ia ajarkan. Jihoon bangga karena sudah berhasil memberikan hasil yang bagus kepada anak murid dan juga calon suaminya ini.

Jihoon menarik tengkuk Soonyoung yang kini hanya menggaruk lengannya yang tak gatal untuk menutupi sedikit bagian yang terekspos karena malu. Membawanya pada ciuman manis yang diartikan Jihoon sebagai apresiasi Kerja keras Soonyoung selama ini. Baik membentuk fisik, mental dan perilakunya, Jihoon enggan memutuskan pagutan ini dan berniat membuat Soonyoung dimabuk akan cumbuannya.

Benang saliva antara ujung mulut keduanya saling terhubung, bersamaan menghirup oksigen yang mereka tampung. Soonyoung kembali menuntaskan untuk memanjakan kejantanan mereka berdua hingga mencapai klimaksnya.

Dua bungkus pengaman sudah penuh dan di bungkus dengan baik untuk di buang pada tempat sampah. Soonyoung mendaratkan tubuhnya di atas Jihoon setelah lelah melakukan beberapa kali hentakan. Jihoon yang akhirnya puas dengan apa yang Soonyoung manjakan padanya berhasil membuat senyumnya tak luntur setelag apa yang sudah ia perbuat kepada Soonyoung hingga ia menjadi lebih terbuka kepadanya.

“Bagus Soonyoung, kerja bagus sayang. Apa yang udah kamu jalanin selama ini sama aku hasilnya ga main-main ya?” ucapnya sambil membelai lembut surai lepek Soonyoung.

“eungghh sayang, aku capek ga denger. Ulang dong” Soonyoung tetap lah Soonyoung yang jahil, ia malah mempererat pelukannya pada pinggang ramping Jihoon. Sesekali ia mencium perut kotak Si mungil dengan gemas.

“Ih! Apaan sih ga jadi, Soonyoung! Aku mau pulang!”

“Ga! Ga! Gaboleh ih! Jangan gitu, maaf maaf aku denger kok tadi. Btw makasih ya sayang walaupun telat tetapi makasih bangett aku sayang kamu”

Jihoon tertawa kegelian setelah melihat tingkah Soonyoung yang manja kepadanya. Menarik lengan Soonyoung agar sejajar dengan tubuhnya namun Soonyoung malah mendaratkan kepalanya di atas dada bidang Jihoon.

Soonyoung yang setengah hilang kewarasan itu malah melunjak menyesap nipple pink Jihoon yang mengeras.

“Eh! Eh! Kok nyusu sih? Ahhh! Nghhh soonhh geli ih!!”

Menulikan pendengarannya adalah jalan ninja Soonyoung, ia semakin mengeratkan pelukannya pada tubuh mungil Jihoon. Soonyoung memainkan lidah nya disana seakan enggan menghentikan permainan malam ini.

“Aku izin mau nen sampe pagi ya sayang! Met bobo sayang muaahhh”

“Soonyoungngheehhhh nakhaallsss yaahhaaahhhh!”

Hanya bisa pasrah, Jihoon menidurkan bayi besarnya dengan membiarkan ia menyusu pada dada bidangnya hingga pagi menyapa.

Akhirnya Jihoon bisa membawa Soonyoung berevolusi dan bergerak mengikuti keinginannya sendiri tanpa ragu kepada orang lain termasuk dirinya sendiri.

“Makasih Soonyoung, udah mau percaya sama gue. Kedepannya serahin semua ke gue kalo lo ragi, ingat! gue sayang sama lo Soonyoung. Always, forever and ever.”

-prolog-


Harum semerbak bunga Sakura yang berjatuhan bersamaan pula dengan angin sayup, menerpa helaian surai panjang Si penari Sandaenori yang menggerak indahkan tubuhnya dengan memakai Talchum Yayu untu menutupi wajah misteriusnya.

Hanbok hitam dengan jahitan sulam emas di tiap bordiran yang ia kenakan berkepak ria kesana-kemari mengikuti gerak tubuh ramping pemiliknya. Gaduh bunyi alat musik tradisional khas Dinasti Joseon mengiringi tariannya sehingga membuat suasana menjadi bergairah.

Semua penonton bersorak sorai melihat pertunjukan yang ia gelar di halaman luas rumah sanggar tarinya pada sore hari yang cerah. Perkumpulan masa yang meramaikan pertunjukan itu membuat seorang penyamar teralihkan dari misi awalnya dan ikut melihat pertunjukan bersama.

Tanpa ragu, ia menapakkan kakinya berjalan menuju arah keramaian itu. Dilihatnya seseorang dengan pola tubuh yang indah saat melakukan setiap gerakan tariannya.

Tarian Sandaenori yang di bawakan oleh sang penari kali ini menceritakan tentang para kaum bangsawan yang menentang norma kekeluargaan. Tampak dari raut pahatan topeng yang dikenaka sang penari, banyak kesedihan dan kebimbangan tergambarkan disana. Setiap gerakannya juga meng-ilustrasikan gambaran banyaknya pertikaian yang terjadi pada suatu keluarga.

Dan gambaran itu sama persis dengan apa yang terlintas di pikiran Pria yang baru saja bergabung melihat pertunjukan ini. Ia merasa banyak kesamaan dalam aksi yang digerakan oleh sang penari. Apa lagi Hanbok hitam yang dipakai penari ini disiang hari sangat mencolok, sehingga tak heran membuat banyaknya masa berdatangan mengepung dirinya karena aksi gambaran tadi.

Tuan muda Lee terkesima dengan si penari yang terampil membawakan tarian ini. Ia ingin sekali tahu siapa pria di balik topeng Talchum Yayu yang memiliki tarian yang indah itu sehingga membuatnya mengingat kembali kisah lama seseorang yang ia kenal.

Pertunjukan selesai, pria bermarga Lee itu tak kunjung beranjak dari tempatnya, walaupun semua penonton sudah bubar untuk kembali melakukan aktifitas masing-masing.

Penari Sandaenori itu seketika merasa sedang di perhatikan dari jarak yang cukup jauh, dengan segera ia berjalan menuju pria yang lebih mungil darinya untuk sekedar bertegur sapa.

Saat langkah kaki penari misterius itu sudah berjarak sekitar dua meter antara keduanya, pria lengkap bernama Lee Jihoon dengan segera menghentikan langkah si penari tersebut.

“Berhenti!”

“Hah! Eh?”

Pria itu hampir saja mencuri satu langkah kedepan, tetapi berhasil ia hentikan dengan menyeimbangkan tapak kakinya perlahan dan menyentuh tanah bak kapuk yang tertiup angin sedang.

“Kau-”

“I-iyaa?”

“Kau Kwon Soonyoung bukan?” tanya pria berhanbok merah muda itu kepada pria bertopeng misterius di depannya.

Mati kutu dan tak bisa berkutik, anak panah dari busur yang sudah dilepaskan sehingga menancap tepat pada sasarannya membuat si penari itu terperanjat.

Tanpa berpikir lama, ia pun membalikan badannya dan berlari menuju rumah sanggar tempat ia berlatih menjauhi sang pria mungil ini.

“Hei! Tunggu dulu!”

Aksi kaburnya sia-sia, ia malah meninggalkan tanda pengenalnya di tanah begitu saja. dan Jackpot! Lee Jihoon berhasil menebak nama seseorang tersebut dengan benar.

Iya, penari bertopeng tadi adalah Kwon Soonyoung, Gojong yang kabur dari istana dan buronan si Saganwon Lee Jihoon ini.

SANDAENORI -begin 🎋


Penjelasan: •Talchum Yayu (topeng sendratari lapangan) •Hanbok (Pakaian tradisional khas Korea) •Dinasti Joseon (Nama kerajaan korea pada tahun 1392-1398) •Gojong (Putra Mahkota) •Saganwon (menteri sensor pemberi tindakan dan juga kebijakan atau disebut sebagai polisi dimasa sekarang)


“Kenapa sih gue ga bisa bahagia sekali aja dalam hidup gue? Kenapa nu kenapa?”

“Ji udah jan nangisin orang brengsek kaya gitu, dia emang ga pantes buat lo.”

“Lo sih ngadi pake profitable – profitable apaan dah ga paham gue hikss”

Wonwoo mencoba meredakan tangisan Jihoon yang tak kunjung berhenti karena Soonyoung ingin membatalkan pernikahan ini.

Tak lama bel apartemen Jihoon berbunyi, Wonwoo membuka pintu dan menampakan Seokmin di balik sana.

“Seokmin kan ya? Mari masuk”

Wonwoo mempersilahkan pria jakung itu masuk dan membututinya dari belakang. Seokmin yang melihat Jihoon tengah bersimpuh di bawah sofa sambil menangis menghampirinya pelan dan membantu Jihoon mengusap air matanya yang sedari tadi mengalir di pipinya.

“Udah ji, jangan nangis. Mungkin lo belum paham sama apa yang Soonyoung bilang.”

“Emang lo tau apa yang Soonyoung bilang ke gue?”

Seokmin mengangguk dan membenarkan posisinya yang tadi berlutut menjadi duduk disebelah Jihoon.

“Sini mas, duduk. Capek kalo berdiri terus” tawar Seokmin yang memandang heran pria disebelah Jihoon itu.

“Jadi gini, tadi kan gue jalan-jalan di jembatan sungai deket tol sini. Ga sengaja ketemu kak Jeonghan sama Soonyoung lagi tamasya di trotoar. Gue kira mereka sengaja duduk disana kaya gembel taunya Soonyoung pingsan.”

“Pingsan? Kenapa?”

“Nah itu ji yang pen gue bilang sama lo. Dia pingsan karena kambuh lagi. Dia ketrigger dan takut sama apa yang kedepannya bakalan terjadi sama kalian berdua setelah nikah. Dia sempet bilang sama gue sih tadi siang di agensi kalau malam ini pen ada pertemuan keluarga lo sama dia masalah tunangan kan ya? Tapi dia kaya ragu gitu bilang “gue bisa ga ya nikahin Jihoon” gue reflek nampar dong hehe. Aw! Ji sakit!”

“Dasar posesif tadi katanya ga suka”

Sungging Wonwoo yang melihat Jihoon yang mencubit Seokmin.

“Lo kenapa nampar dia ih!?”

“Ya kan gue disuruh sama dia, dari awal gue kenal juga gue udah di kasih jobdesk begitu. Ya udah sih jadi kebiasaan. Nanti dulu lo protesnya, kan ini gue mau kasih tau inti ceritanya nih. Jadi ji, dia tuh masih ragu bisa ga ya nanti dia jadi suami yang baik buat lo, terus bisa ga dia nerima cinta lo, dia bisa ga ya hidup biasa kayak dulu lagi tanpa meragukan orang lain. Di pikiran dia itu semua tentang ketakutan yang kita aja ga bakalan tau kejadian kedepannya gimana. So karena gue habis dari rumah sakit nganterin dia sama kak Jeonghan, gue diminta dia kesini buat kasih tau lo soal dia.”

“Gue disini jadi temennya Soonyoung minta dan mohon banget ke lo, plis jangan pikir negatif tentang sifat Soonyoung yang terkadang buat semua orang bingung. Lo pasti bisa perlahan mulai terbiasa sama dia ji. Gue tau lo orangnya kuat dan bisa kapan aja buat Soonyoung betah sama lo, buktinya dia udah berani sampe tahap ngelamar lo kemaren padahal kalian ga pacaran samsek.”

“Bener kata Seokmin Ji. Lo dengan cepatnya ambil kesimpulan sendiri sedangkan lo ga tau dia ngelakuin itu karena apa. Emang sih orang kaya Soonyoung yang susah ditebak gitu kudu ada perantaranya biar bisa paham”

Jihoon yang sedari tadi hanya mendengarkan cerita panjang Seokmin dan Wonwoo tertampar kenyataan. Benar adanya selama ini ia terus menyimpulkan segala hal dengan cepat padahal belum tentu hal itu tertuju padanya.

Jihoon menyesal dan meminta Seokmin kembali mengantarnya untuk menemui Soonyoung.


“Jadi bagaimana nak Jihoon apakah sudah siap untuk dinikahi oleh anak bungsu kami Kwon Soonyoung?” tanya kepala keluarga Kwon kepada Jihoon yang duduk diantara kedua orang tuanya.

Dengan sekali anggukan dan suaranya yang santai mengucapkan “siap” dan di respon baik oleh semua anggota keluarga yang datang pada sesi lamaran resmi ini. Namun ada seseorang yang sedang gundah gulana membuat Jihoon tak bisa fokus sepanjang acara. Bintang utama acara ini, Kwon Soonyoung sedari tadi merenung dan tak berkutik hingga acara selesai.

“Udah sampai” ucapnya kepada Jihoon saat mobilnya sudah berada di depan gedung apartemen Jihoon.

“Makasih soon, gue masuk dulu ya”

Belum sempat keluar, tanggannya di tahan oleh Soonyoung. Ia mendekap tubuh mungil Jihoon dengan erat, mengusap pelan punggungnya seperti tak ada hari esok. Yang di peluk tertegun heran oleh sikap Soonyoung dan menjauhkan badan si besar dengan pelan.

“Kenapa soon? Lo keknya dari tadi murung. Mau cerita?” tawarnya.

Soonyoung masih menunduk dan enggan menatap matanya, Jihoon membingkaikan tangannya pada wajah Soonyoung dan menariknya agar sejajar dengan wajahnya.

“Kenapa? Tanyanya sekali lagi”

“Ji...”

Jihoon masih menunggunya.

“Kita ga jadi nikah aja gimana?”

Bingkaian tangannya yang terulur terlepas dari wajah Soonyoung. Ia kaget apa yang barusan Soonyoung katakan kepadanya.

“S-soon..kenapa?”

“Gue belum siap”

“Kalo belum siap kenapa ga bilang tadi?”

Soonyoung terdiam dan menarik tubuh Jihoon sekali lagi dalam dekapannya namun di tepis oleh Jihoon dan ia berlalu meninggalkan Soonyoung disana sendirian.

Pria di dalam mobil itu menghempaskan kepalanya kebelakang di kursi pengemudinya. Memijat keningnya dengan kesal san memutar mobil dan berhenti di sebuah sungai.

Manaiki pagar jembatan gantung di atas sungai, meratapi nasibnya dengan amat santai. Air mata di ujung pelukuknya membendung dan Aksi percobaan bunuh diri akan segera ia lakukan.

“YA TUHAN!!! KENAPA GUE GINI!! KENAPA SOONYOUNG BODOH!! KENAPAA!!! HIKS Seharusnya gue ga begini sama Jihoon. Mending gue mati aja deh sial!!”

“SOONYOUNG!”

BRAKK

Ucap seseorang yang menariknya hingga mereka saling bertindihan. Ya, itu Jeonghan yang tak sengaja jalan dan menemui Soonyoung yang nekat dengan bodohnya hendak bunuh diri.

“Lo gila ya? Ngapain disana tadi!!!”

“Kak...hikss”

Jeonghan pun menarik Soonyoung kedalam pelukannya yang bertujuan untuk menenagi Soonyoung. Pemandangan itu Justru diabaikan oleh pengguna jalan namun tak dengan satu orang yang berhasil melihat momen brengsek seorang Kwon Soonyoung yang sudah memiliki tunagan itu


Sebuah pameran yang biasa di sebut Exhibition fotografer terbuka tahun ini dan Kim Mingyu menggelar pameran hasil tangkapan kameranya di sana.

Dengan tema berjudul monokrom, foto yang hanya menampakan seekor kupu-kupu yang sedang hinggap pada sekuntum bunga mawar segar berwarna hitam putih dipajangkan pada pergelaran ini.

Mingyu sangat terkesima dengan hasil fotonya, banyak dari pengunjung yang melihat hasil karyanya yang memiliki makna yang mendalam namun mengandung unsur negatif didalamnya.

Monokrom itu diartikan Mingyu dengan seorang parasit akan menghinggap pada manisnya kehidupan seseorang hingga seseorang yang dihinggap itu akan mati seperti bunga mawar yang selalu di ambil sari patinya oleh kupu-kupu jenis beracun yang ada di foto mingyu.

Salah satu pengunjung menyangkal karya mingyu dan menganggapnya seorang psikopat. Jelas dia yang mendengar kabar burung dari tempat itu segera mencari pengunjung yang sudah meremehkan karyanya dan seseorang tersebut tak lain adalah sahabat perempuannya sendiri.

“Ya, Nabi.. Bisa ikut dengan ku”

Tanpa menunggu jawaban dari wanita yang memiliki nama dalam artian kupu-kupu itu ia tarik tangannya dan membawa ia keluar dari sana.

Di sebuah gudang sempit yang gelap di ujung belakang gedung pameran, mereka berdua bercengkrama tentang apa yang sudah di katakan Nabi tadi hingga terkesan memburukan karya Mingyu.

“Maksud lo apa ngeremehin karya gue? Lo kalo ga suka jangan komen. Mulut lo ga bener”

“Tapi bener kan artinya begitu? Lo pikir gue ga tau isi akhh!!!!!!”

Tangan besarnya melayang belum sempat mengenai kulit wanita didepannya, dengan segera ia mendudukan wanita itu pada bangku kosong di belakangnya dan mengingat tangan kaki dan tubuhnya di bangku tersebut.

Dengan tatapan penuh kebencian mingyu tak sengaja mempererat tali pada tubuh sahabatnya itu dengan kuat hingga ia memekik kesakitan.

“Lo! Kenapa sih? Lo kenapa bisa ngomong giti pake mulut lo yang busuk? KENAPAA!!!!”

“KARENA LO GA PANTES BUAT DI PUJI!!–”

PAAAKKK!!!!!

”-AKHH!!! HIKSSS MINGYU! hentikan gyu sebelum lo di tahan”

Dengan kesal ia memegang dagu wanita itu dengan kuat hingga Nabi meronta-ronta karena kesakitan.

“Heh! Dengerin ya! Lo ga berhak ngatur gue! Lo bukan orang yang pantas buat ngelahirin keturunan gue”

“Akhh!!! Kim mingyu! Lo mau ngapain?”

BUAAK!N BUAKK! BUAAKK!

Berapa kali hentakan kuat dari lempengan besi dipukul pada perut wanita itu. Si Nabi hanya menangis dan menjerit kesakitan karena kandungannya yang sudah menginjak bulan ke lima terkena pukulan keras dari sekop yang Mingyu gunakan untuk memukul perutnya.

“MINGYU! LO GILA ANJIR! LO GILA DASAR PSIKOPA GILA!! LO MANFAATIN GUE LAYAKNYA PARASIT DIFOTO YANG LO PAMERIN DAN BUAT GUE JADI NGANDUNG KETURUNAN SETAN KAYA LO!! MENDING LO MPHHHH!!!!”

“DIAM ATAU BUNUH LO SAMA ANAK GUE YANG DI DALAM RAHIM GA BERGUNA LO ITU?”

Penuh dengan ketakutan dan seluruh tubuhnya gemetar hebat, nabi sudah menahan sakit selama tiga jam didalam gudang itu dengan darah yang keluar dari jalur lahir bayi dan luka lebam pada tubuhnya. Ia ditinggalkan disana oleh Mingyu yang memiliki jiwa psikopat itu.

Tak lama seseorang masuk saat nabi tertunduk lemas dengan bercucuran keringat dan darah yang mengalir pada tubuhnya.

“Hoi!”

BUAKK!! PAAKK!!

“BANGUN!”

Nabi mengangkat kepalanya dan Mingyu mendekatkan wajahnya sambil mengusap percikan dan noda darah dipipinya. Mingyu mengikis jarak antara mereka dan sepertinya hendak mencium bibir Nabi namun berhasil dielakan.

Kembali di buat kesal sekian kalinya, Mingyu menyunggingkan senyum nya dan mengambil pisau lipat yang ada di sakunya. Kemudian ia menancapkan pisau tersebut dan menariknya kedepan hingga Si wanita di depannya ini memekik setengah mati.

Masih dengan senyum dan tatapan intimidasinya Mingyu menarik rambut Nabi dan menekan pisau yang ada di tangan kirinya lebih dalam pada paha wanita itu.

“Masih mau ngelak? Lo udah gue bayar masih lo bilang gue parasit dan ga mau kasih apa yang gue mau? Nabi? Sayangnya gue mau pengen lo yang ga berguna ini ga ada lagi di depan gue”

“AKHHHHHAHAAAAAAAAAAAA!!!”

Dengan sekali tancapan pada leher wanita itu, Mingyu masukan tetesan darah nabi kedalam wadah kecil dan pergi ke tempat pameran dimana foto dan masih banyak pengunjung yang berada disana.

Berjalan masuk dengan penampilan yang kacau dan tawanya yang mengerikan, semua orang yang melihatnya ketakutan dan memberinya jalan kemana ia akan pergi.

Mingyu menerobos plang pembatas jarak dengan pamerannya, lalu ia pecahkan kaca figura fotonya dengan satu kali pukulan kencang. Mencelupkan jarinya pada wadah kecil yang berisikan darah Nabi tadi dan menggoreskan darah tersebut pada karyanya yang berjudul monokrom hitam putih tadi.

Seolah memberikan warna merah alami pada hasil jepretannya, Mingyu meminum darah tersebut dan menghempaskan sisanya kelantai. Semua orang panik ketakutan, berteriak histeris lari menuju pintu keluar eksibisi itu.

Dalam kemarahannya Mingyu berhasil menetralkan dirinya dan pergi ke kamar mandi untuk memperbaiki penampilannya. setelah berkemas rapi ia pergi dari pameran layak tak pernah terjadi apa-apa.


Melukis butuh ketenangan saat melakukannya, belum lagi dengan objek yang hendak ditulis. Seorang seniman asal cina bernama Minghao mencari seseorang yang lewat di perbatasan hutan pada saat senja hari untuk ia jadikan objek gambarnya. Namun ia tak kunjung menemui seseorang tersebut.

Dengan berkecil hati ia berjalan menuruni hutan itu dan melihat sunset di ujung danau sambil berjalan kaki menuju rumahnya. Ia pikir mungkin hari ini belum saatnya ia untuk melukis.

Satu sedan hitam berhenti di sampingnya dan memberinya tumpangan, dengan senang hati Minghao menerima tumpangan tersebut.

Saat perjalanan mereka berbincang tentang kanvas yang ia jinjing sedari tadi dan membahas tentang karya seni lukis yang mungkin pria bertubuh kekar ini juga seorang yang gemar lukisan juga pikir minghao.

Pria itu meminta minghao untuk melukisnya setelah ia mendengar cerita bahwa hari ini ia akan melukis seseorang yang lewat dan ia menyetujuinya.

Mereka menepikan mobil dan mencari pemandangan yang mengarah pada danau yang membiaskan langit jingga sore itu.

Dengan antusias, minghao langsung mengatur pose pria itu sebagus mungkin. namun pria itu ingin satu benda masuk bersama lukisannya, yaitu senjata tajam berjenis pelatuk yang akan ia ajak berpose seperti menggaruk kepalanya yang tak gatal dengan benda tersebut.

Minghao terheran akan permintaan pria itu dan segera mungkin ia melukis pria asing didepan dengan hikmat.

“Wahh sunset di danau juga ga kalah bagus dengan sunset laut, aku ingin memandang pemandangan ini sebelum aku mati” ucap pria itu.

“Iya aku juga ingin”

Minghao yang mendengar menggubris dengan jawaban yang sama dengan si pria agar tidak dilandar kehampaan antara mereka berdua.

“Benarkah, tanya pria itu”

Ia hanya mengangguk dan satu permintan terakhir dari pria itu sampaikan sebelum ia meminta maaf atas tujuan yang tak pasti.

“Maaf jika aku mengganggu jalan pulangmu dan menarik mu untuk melukis ku disini”

“Ahh, tidak apa apa tuan santai saja lagi pula saya senang dan apa lagi saya bisa melihat matahari terbenam setelah sekian lama.”

“Ah begitu baik lah, nanti kalau sudah selesai katakan pada ku”

Minghao mengangguk kembali dan segera mungkin ia selesaikan lukisan nya. Tak lama ia sudah selesai dengan mahakaryanya yang menjadikan orang asing sebagai objek lukisan. di tambah lagi dengan pemandangan yang cantik didepannya.

“Nah sudah jadi”

“Sudah?”

“Iya sudah nih”

“Nanti dulu, mari duduk disini bersama ku” ucap pria itu sambil menepuk bangku kosong disebelahnya dengan pelatuk ditangan.

Dengan entengnya ia berjalan dan duduk di sebelah pria itu sambil meninggalkan kanvas lukisannya yang sudah jadi.

“Kau hebat, kau orang yang penuh bakat semoga tuhan menyayangimu”

“Hahaha kalau tuhan menyayangi saya mungkin saya ga lahir”

“Kamu sayang tuhan?” tanya pria itu acak sambil mengelus surai minghao dengan pelatuknya.

“Sayang, tapi aku ingin egois dan pulang kesisinya”

“Kalu begitu mau ku tolong”

Ucap pria tersebut membuat Minghao berdiri tegak karena kaget.

“H-hah? Ga jangan dulu. S-saya masih mau berkarya di dunia hehe”

Sambil berjalan mundur ke belakang minghao menabrak kanvanya dan membuat lukisannya sobek.

“Ahh!!! Sayang sekali robek padahal aku ingin membelinya”

“Tak apa nanti saya buat lagi”

“Tapi saya mau sekarang”

“Baik lah sekarang saya lukis kembali”

Dengan tangannya yang gemetar minghao mengambil kuas dan kanvas baru di mobil pria itu. Belum beberapa langkah kepalanya sudah di tembak dengan pelatuk si pria yang sedari tadi sudah ia tarik. Dengan begitu bersimbuhan lah darah kepala pemuda itu di atas lukisannya.

Pria itu mengangkat tubuh minghao ke dalam mobil dan membiarkan ia terbaring lemah di kursi penumpang. Lukisan yang tadi ia buat ditinggalkan begitu saja di tepi danau tempat mereka singgaj tadi.

Minghao masih berkutik dan membuka pelan matanya yang telihat kabur. Dengan suaranya yang parau ia bertanya kepada pria tadi.

“Kau ingin bawa aku kemana?~”

Dengan sigap pria itu menjawab tanpa dosa.

“Kita akan ke pasar sayang, kita akan dapat uang setelah menjual organ tubuhmu yang masih utuh”

Sayang lah pria bodoh itu tak dapat menjual organ minghao yang sudah tak berfungsi karena dalam perjalanan yang panjang, pelukis muda itu kebahisan banyak darah hingga menghembuskab nafas terakhirnya di dalam mobil penculik tadi.

“Untunglah aku meninggal sambil melihat sunset dengan anggota tubuh yang lengkap” mungkin beginilah ucap roh minghao saat ia melihat penculik itu menangis histeris saat tau orang yang ia culik meninggal karena sasaran tembakan yang salah.


Musikal acting biasanya di selenggarakan pada sebuah gedung teater yang kedap suara. Ruangan yang seperti itu akan membuat suara nyanyian dari sang aktor dan aktris musikal lebih terdengar merdu dan bergema.

Lee Seokmin, seorang aktor musikal yang memainkan peran pangeran arthur untuk penampilan esok hari tengah melatih vokalnya pada ruangan teater yang besar namun kosong melompong itu.

Satu lampu sorot dibiarkan menyala dan menyoroti aktor tampan itu diatas panggung sendirian.

Satu lirik ia nyanyikan dengan konotasi nada yang tinggi membuat suaranya memantul dan menggelegar kepenjuru seisi gedung teater. Ia amat puas akan hal itu dengan satu tarikan sekali lagi ia hendak mencoba dengan nada yang lebih tinggi.

Belum sempat memulai dan nafasnya yang masih ia tahan belum kunjung ia keluarkan. membuat ia tersedak tak sengaja saat mendengar gema suaranya yang belum berhenti masuk ke lorong telinganya.

Ia berusaha menepuk kedua telinganya agar sadar. Pikirnya ia sudah kelelahan dan mengakibatkan halusinasi yang tinggi di malam hari.

Seokmin hampir ingin melepaskan kembali suara nyanyiannya, saat lidahnya ingin berucap mengeluarkan lirik indah. Nampak seseorang dengan baju putih duduk di bangku penonton.

“Siapa disana?” ucapnya sambil memastikan orang berbaju putih didalam kegelapan itu.

Tangannya hanya melambai saat Seokmin menyapanya dan ia mencoba mengabaikan sosok itu, mungkin saja ia staff yang masih tinggal di sini untuk menunggunya.

Seokmin mengambil nafasnya dalam kembali namun nafasnya tersengal cekat hingga ia terbatuk. Batuknya kali ini bukan batuk pada umumnya, saat ia melapaskan bekapan telapak tangannya. terdapat bercak darah yang mengenai tangannya, kemudian ia usapkan sembarang pada bajunya yang yang berwarna gelap.

Ia berdehem sebentar sambil melihat sosok yang masih duduk di bangku penonton. Kali ini ia akan serius untuk memulai latihannya seperti awal tadi, dan saat ia hendak mengeluarkan suara indahnya sekali lagi sosok itu sudah berada di depannya.

“AHHHHH!!! KAGET TAU! EYYYY!!!!!!! S-SIAPAAA K-KAUU?!”

Sosok itu seperti gadis canti berkulit pasi dengan rambut hitam legam panjang di gerai sampai menyentuh tanah. Ia mendekatkan wajahnya kepada Seokmin yang terduduk dilantai dengan penuh ketakutan.

Ujung telunjuknya meraih dagu Seokmin dalam dekat ia mulai mengikis jarak antara mereka, dan Seokmin mendapat kecupan penuh kesuraman di sana dari sang gadis ini.

Bibirnya terasa dingin, kecut dan berhawa hitam. Seokmin di buat mati kutu oleh wanita itu barusan. Masih menatapnya penuh ketakutan Seokmin mencoba berdiri sambil menopang tubuhnya pada properti musikal yang seperti pedang menancap di batu.

Jentikan jari gadis manis itu behasil membuat Seokmin kembali terjatuh dab kembali berjarak sangat dekat dengan gadis itu.

Sepertinya gadis itu hendak memeluk Seokmin namun ia berhasil menepisnya dan membuat gadis itu terjatuh. Mata sang gadis berubah menjadi hitam legam tak bersisakan warna lain. Ia menatap Seokmin penuh amarah dan berteriak sekencang mungkin hingga melengking masuk membuat gendang telinga Seokmin pecah.

“Hah?! D-darah lagi?” ucapnya sambil melihat kedua telapak tangannya yang tadi menutup telinganya berdarah.

Seokmin berteriak histeris karena ia tak bisa mendengarkan apa-apa. Gadis tadi tertawa sambil berjalan menuju Seokmin dengan bilah pedang properti yang tertancap di batu tadi.

“Hei?! Kau k-kau mau apa? Heii!! Ja! JANGAN AAKKHHH AKKHHHHHHWHEHDHHEHJWJWERWJRJHR”

Belum sempat ia melarang gadis itu mulunya sudah tertancap pedang tumpul itu hingga menusuk tembus ke tengkuknya.

Gadis itu mencabut kembali bilah pedang dan membiarkan darah aktor yang terkenanya masuk kedalam tenggorkannya.

“Mukamu boleh saja tampan, namun suaramu lebih buruk dari suaraku. Maaf jika aku mengambil suara mu lewat kecupan pahit tadi Seokmin. Pulang lah dengan tenang bersamaku di atas sana”

Gadis itu kemudian menjambak rambutnya dan menarik Seokmin menuju ke ruang tunggu aktris dan aktor di belakang panggung.

Tak ada yang tahu kemana Seokmin di bawa oleh gadis tersebut sampai esok hari.


Boo Seungkwan adalah seorang presenter asal Jeju-ddo yang menjadi pembawa berita malam di sebuah televisi ternama di korea selatan.

Jam tayang yang di lakukan setiap pukul dua belas malam dini hari itu berlangsung dengan santai dan lancar setiap harinya.

Namun malam ini terjadi kekacauan saat Seungkwan memberitakan sebuah kecelakaan maut beruntun di daerah gangnam-ggu yang melibatkan banyak korban.

“Scene 5 Take live 1, Kecelakaan maut gangnam-ggu... Acti-AAKHHHHH!!!!!”

Sebelum sutradara mencapit clipboardnya, tiba-tiba saja kepalanya terpisah dari tubuhnya.

Semua orang yang berada di studio itu berlarian menyelamatkan diri dan keluar dari sana. Seungkwan si presenter sempat melarikan diri namun tersandung beberapa kabel yang merayap di lantai.

Ia segera berdiri namun tubuhnya tiba-tiba terpental dan menabrak helaian Green Screen yang dipakai untuk latar belakangnya saat siaran.

“Akhh!!! Ssssss aduh! Kok bisa sih? Ini kenapa lagi, aakhhh”

Satu pukulan pada kepalanya dengan keras membuatnya mengaduh sakit didalam kain berwarna hijau itu. Satu kali pukulan lagi membuatnya merasa pusing dan pukulan ke tiga mulai terasa ada yang mengalir dari kepalanya.

“HAAAAAHHHH....HAHHH.... DARAHH!!!!!!! DAARAAAHH!!!!!!”

Seungkwan mencoba keluar dari sana dan akhirnya ia mendapat celah kecil menuju keluar dari kain itu, seketika lampu studio padam dan tubuhnya kembali dipukul dengan kuat.

Kepala, lengan, kaki dan perutnya di pukul hingga Seungkwan terbatuk kehabisan nafas.

Kain yang masih menutupi tubuhnya mengerat dan membuat ia tergulung dalam kain hijau tersebut.

Nafadnya tercekat, Seungkwan mengeliat seperti kepompong didalam sana. Hanya menyisakan kaki yang tak berpalut kain tersebut, Seungkwan merasakan ada yang menggelitiki kakinya.

Itu bukan lah bulu yang lembut seperti yang ia pikirkan, melainkan helaian rambut kabel yang masih ada aliran listrik mengalir pada kabel itu.

Seungkwan mengelinjang tak jelas karena aliran listrik bersinggungan dengan tubuhnya dan benar ia tersengat listrik hingga bau terbakar mengepul di ruangan itu.

Kakinya diikat kuat dengan tali kabel tadi dan...

“PRANGGGGG!!!!!”

Seungkwan di lempar pada gedung berlantai tiga belas itu dan dibiarkan terjun bebas menyentuh tanah. Tubuhnya terburai dijalanan lengang pada dini hari.

Hasil otopsi mengatakan bahwa meninggalnya presenter muda ini adalah tindakan pembunuhan berantai yang pelakunya adalah orang yang sama dengan kasus yang di beritakan Seungkwan tadi malam.