shiningjaemz

Pemakaman Jeanette sudah selesai. Air mata berlomba turun saat Ghea memohon kepada peti sang Ibunda agar tidak meninggalkannya sendirian di dunia ini.

Rei, yang paham sekali rasanya kehilangan, hanya bisa memandang sedih dengan air mata yang tertahan. Ia tak pernah mengenal anak dari mendiang Jeanette, namun ia cukup kenal dengan sosok Jeanette, asisten yang selalu diandalkan oleh sang Papa, yang juga dekat dengan dirinya maupun adik-adiknya.

Rei datang bersama dengan Jeje. Sementara Bian, Abel, Raven dan juga Atha berhalangan hadir karna memiliki urusan masing-masing yang tak bisa ditinggal.

“Je kamu duluan aja, kakak mau langsung balik ke kantor.” Memang tadi Rei membawa mobil sendiri dan mengatakan kalau sepulangnya dari pemakaman, ia akan melanjutkan perjalanan ke kantor.

Selepas peninggalan Jeje, Rei melangkahkan kakinya bukan ke arah mobil miliknya, namun ke arah Januar, sang Papa, yang sedang berbicara dengan koleganya.

“Pa?” panggil Rei, Januar menoleh dan kemudian pamit kepada koleganya.

“Jeje udah balik, Kak?”

Rei mengangguk, tadi Januar memang sempat menemuinya dan berkata kalau selepas pemakaman, ia perlu bicara pada Rei, hanya Rei sendiri tanpa Jeje.

“Begini, Kak, Papa gak bisa lepas dari pikiran ini sejak kemarin Papa di IGD.” Januar menghela nafasnya, “Soal Ghea, anaknya Mbak Anet, dia udah gak punya siapa-siapa lagi disini, orang tuanya gak ada, kakek-neneknya gak ada, keluarganya juga gak ada.”

Rei mengangguk pelan sebagai respon, “Jalan satu-satunya untuk Ghea adalah panti asuhan, karena gak mungkin dia bisa tinggal sendirian di rumah. Walau hitungannya Ghea sudah mau SMA, tapi mana mungkin Papa tega ngelihat dia tinggal sendirian.”

“Jadi, maksud Papa?”

“Maksud Papa ngajak kamu ngobrol, karena mulai kemarin Papa ngerasa harus bertanggung jawab untuk hidup Ghea. Jeanette punya peran besar buat pekerjaan Papa dan Papa ngerasa, Ghea harus Papa yang bantu.”

Rei sepertinya mulai mengerti kemana arah pembicaraan ini.

“Papa mau adopsi Ghea, ya?”

Januar kembali menghela nafasnya, “Gak semudah itu, Papa gak mau langsung adopsi Ghea, Papa mau coba bawa Ghea ke rumah dulu. Adaptasi istilahnya, tapi Papa gak maksa.” Ia sedikit berdeham sebelum melanjutkan kalimatnya, “Kalau memang kamu dan yang lain gak setuju, Papa gak akan bawa Ghea ke rumah. Tapi semisal kalian setuju, Ghea bakal Papa bawa ke rumah, seenggaknya sampai ada keputusan Ghea akan sama kita terus, atau ke panti asuhan.”

“Papa gak minta jawaban kamu sekarang,” ucap Januar sambil tersenyum ke arah Rei yang wajahnya jelas menyiratkan kebingungan dan bimbang atas penjelasan sang Papa. “Papa juga gak maksa, Kak.” Lanjutnya sambil menepuk pelan pundak Rei.

“Iya, Pa.” Hanya itu yang bisa Rei sampaikan, karna sejujurnya, ia benar-benar bingung sekarang.

Januar tersenyum, “Yaudah, kamu mau balik ke kantor? Udah terlalu lama, nanti klien kamu lama nunggunya.”

“Oh iya, yaudah aku pamit ya, Pa.”

“Hati-hati, Kak.”

Rei kemudian melangkahkan kakinya meninggalkan Januar, namun entah mengapa kepalanya ingin sekali menoleh ke arah halaman rumah Jeanette.

Pemandangan pertama yang Rei lihat adalah sosok Ghea, yang sedari tadi dibahas oleh Januar, sedang duduk di halaman rumahnya sambil memeluk figura yang menampilkan Jeanette dengan senyum manisnya.

Pandangan mata Ghea tercetak jelas di kepala Rei,

Hancur…

Dan Rei paham sekali dengan perasaan itu.

Perasaan kehilangan, perasaan takut karna tak punya siapa-siapa lagi untuk bersandar.

Rei paham sekali.

Perasaan Rei berkecamuk.

Ia harus berbicara dengan adik-adiknya.

Ghea melangkah dengan cepat menuju ke arah sosok laki-laki yang sedang duduk di salah satu kursi di depan ruang IGD.

“Om! Kok ke rumah sakit? Bundaku mana, Om? Kenapa aku malah diajak ke rumah sakit?”

Ghea langsung meraih lengan Januar, berbicara sambil menggerakan lengan Januar, berusaha meminta jawaban, mengapa dirinya malah dibawa ke rumah sakit. Selama di perjalanan tadi, Abi tak menjawab pertanyaan perihal ‘Mereka akan kemana?’ yang ditanyakan oleh Ghea.

Januar meraih telapak tangan Ghea, menggenggamnya dan mengelusnya pelan, “Ghea, Om minta maaf sekali, ya, karena gak menjawab pertanyaan-pertanyaan yang Ghea kasih sedari tadi.”

“Bunda ada di dalam sana, Ghea mau ketemu Bunda?” tanya Januar, Ghea mengangguk dengan cepat.

Perasaan Ghea tak enak, kakinya melangkah mengikuti Januar yang memimpin jalan masuk ke dalam IGD. Sesampainya di dalam, salah satu tirai yang berada di ujung ruangan dibuka, terlihat satu ranjang yang kini sudah ditutupi oleh kain putih.

“Om… Itu bukan Bunda aku, kan?” tanya Ghea pada Januar, Januar hanya mengusap pelan punggung Ghea.

Tangis Ghea pecah, pantas saja tadi Januar yang mengangkat teleponnya, pantas saja pertanyaan tentang Bunda-nya tak kunjung di jawab oleh Januar maupun Abi.

Bunda sudah tidak ada, dan sekarang Ghea harus apa?

Ghea berlari ke arah sang Bunda, memeluk kain putih di atas ranjang rumah sakit itu, “Bunda, bohong ya? Bunda? Bunda jangan becandain Gey…”

Baik Januar maupun Abi, keduanya meneteskan air mata, tak tahan dengan pemandangan di depannya.

“Bunda? Katanya mau bawain seafood… Kok jadi gini, Bunda?”

“Bunda… Nanti Ghea sama siapa kalo Bunda ninggalin Gey? Gey dirumah sama siapa? Gey sekolah sama siapa? Gey makan sama siapa, Bunda?” serunya lagi, sambil memeluk erat tubuh kaku yang mulai hari ini, tak akan bisa memeluknya lagi.

Tubuh yang tak akan bisa memeluknya lagi saat dirinya akan pergi sekolah, tangan yang tak akan menggenggam jemarinya lagi saat pergi berdua.

Bunda bukan hanya sekedar orang tua bagi Ghea, Bunda adalah sahabat, teman cerita, dan segalanya bagi Ghea.

Lantas, jika Bunda pergi, Ghea bagaimana?

***

“Pak, saya sudah urus segala keperluan Jeanette di rumah duka. Saya juga dapat info dari tetangganya, Pak. Jeanette memang gak ada keluarganya, dari kecil sampai sekarang dia tinggal di rumah ini. Kedua orang tuanya sudah meninggal, saudara dari orang tuanya juga gak ada pak, dari ibu, ayah Jeanette, dan juga Jeanette sendiri semuanya anak tunggal,” jelas Abi setelah ia kembali ke kediaman Jeanette, mempertanyakan orang sekitar perihal kehidupan Jeanette.

Januar mengangguk pelan, Jeanette memang terlalu tertutup mengenai keluarganya. Januar hanya mengetahui kisah tentang suami Jeanette yang meninggal saat umur Ghea masih dua bulan. Januar tidak mengetahui tentang fakta-fakta lain.

Setelah mendengar informasi tersebut, yang ada di pikiran Januar hanya satu,

Bagaimana nasib Ghea setelah ini?

Januar menoleh ke arah ruang IGD, melihat Ghea yang masih setia berbicara kepada mendiang Bunda-nya disana. Gadis itu terlalu hancur dan Januar paham, paham sekali dengan perasaan itu.

“Tetangganya itu yang biasa bantu Jeanette sama Ghea, yang biasa antar jemput Ghea sekolah kalo Jeanette kerja, yang biasa bantu urus Ghea juga.” Abi menambahkan informasi yang ia dapatkan, sebab Januar memang menyuruhnya untuk mencari informasi perihal Jeanette.

“Kira-kira, mereka bisa urus Ghea, gak? Yang saya pikiran sedari tadi cuma Ghea, mulai malam ini, mau gak mau dia harus tidur sendirian di rumahnya.”

Abi menggeleng pelan, “Tadi saya udah bahas juga sama pak Agus, katanya kalau untuk bantu urus Ghea yang tinggal dirumah, mereka masih bisa, Pak. Tapi untuk hal lainnya mereka gak bisa.”

Ah, Januar paham.

“Jalan satu-satunya kalau Ghea tidak bisa tinggal sendiri dan gak ada keluarga yang bisa mengurus Ghea, mau gak mau harus ke panti asuhan, Pak.”

Pikiran Januar berkecamuk, Ghea… Bagaimana kamu setelah ini?

Januar, masih dengan jas-nya yang melekat di tubuh, sampai terlebih dahulu di restoran sebelum anak-anaknya.

Sebelumnya, Rei memang menghubunginya dan mengatakan kalau mereka akan sedikit terlambat karena kemacetan Jakarta yang tak ada hentinya.

Setelah menghabiskan waktu sekitar tiga puluh menit menunggu sendirian ditemani dengan secangkir kopi, Januar mendengar kehebohan dari pintu mauk restoran, tentu saja, siapa lagi kalau bukan anak-anaknya?

“Kenapa berisik banget? Baru juga sampe disini,” tegur Januar, sementara biang kributan, yakni Abel dan Raven hanya merespon dengan saling mendorong.

Setelah memesan dan bercengkrama beberapa saat, makanan mereka pun datang.

Namun belum sempat Januar memakan makanannya, ponselnya lebih dulu berbunyi menandakan pesan masuk. Januar membaca pesan itu dengan pelan sebelum akhirnya beriri dari kursi yang ia duduki.

I need to go, kalian habiskan makanan kalian terus pulang ya. I’ll explain later.” Januar kemudian beranjak dari meja restoran, meninggalkan anak-anaknya dalam raut kebingungan.


Kaki Januar melangkah dengan cepat, suara sepatunya yang beradu dengan lantai terdengar dengan jelas walau disekitarnya ramai sekali orang.

Tujuan Januar hanya satu, ruang IGD di salah satu rumah sakit ternama.

Ponsel berdering di restoran tadi merupakan sebuah pesan dari salah satu karyawan di kantornya, mengabarkan kalau Jeanette, asistennya, terlibat dalam kecelakaan yang terjadi di tol.

Langkah Januar terhenti kala melihat sosok yang ia cari sedari sampai tadi, “Abi? Gimana keadaan Anet?”

Abi yang sedang bersandar di sebelah pintu IGD, kembali berdiri tegap di hadapan Januar, ia menggeleng pelan, “Gak tertolong, Pak. Anet kehantam setir dia sendiri, pendarahannya terlalu banyak.”

Hati Januar teriris, Anet adalah sosok asisten yang sudah ia anggap seperti keluarganya sendiri. Anet sudah bekerja dengan Januar selama tiga tahun belakangan ini.

Ponsel Abi berdering, ia pamit untuk pergi dari hadapan Januar. Januar masih terdiam di depan pintu IGD, tak menyangka kalau kata kehilangan akan menghampiri, lagi dan lagi, pada orang terdekatnya.

Pintu IGD di hadapannya terbuka, seorang suster datang mendekat, “Bapak salah satu kerabat dari pasien wanita korban kecelakaan?” Januar mengangguk pelan, “Bapak maaf, ini ponsel milik pasien, ada di kantong blazer pasien dan gak berhenti bunyi, bisa tolong di ambil, ya, Pak.”

Setelahnya Januar menatap ponsel yang ada si genggamannya, ponsel itu sedikit retak di ujung, entah sekuat apa benturan yang Anet alami sampai ponsel di dalam blazer pun turut menjadi korban.

Tak berapa lama, ponsel Anet kembali berbunyi, layarnya yang menyala menampilkan foto Anet dengan seorang anak perempuan, anak-nya Anet.

Anet merupakan seorang single mother, ia memiliki seorang anak dari pernikahannya.

Januar kembali menatap tulisan di layar ponsel itu,

Gey❤️ is calling…

Anaknya… menelepon…

Lantas, Januar harus apa selain mengangkat panggilan itu?

Halo? Bundaaaa, bunda dimana? Gey udah di rumah tadi dijemput sama Pak Agus! Bunda jadi beli seafood gak? Gey udah ngiler bangettttt!” ucap seseorang yang bernama Gey dari seberang telepon.

Januar mati-matian menahan air matanya. Bagaimana caranya ia mengatakan apa yang terjadi pada Anet kepada anaknya?

“Halo? Ini Ghea bukan, ya?”

Loh… iya bener! Ini siapa ya? Kok bukan Bunda?” tanya gadis yang bernama Ghea itu.

“Ghea, ini om Januar, Ghea inget?”

Oh inget! Om bos nya Bunda! Kok om yang angkat telepon? Bundaku kemana, Om?

Bundaku kemana, Om?

Bagaimana Januar menjawabnya?

“Ghea boleh sebutin nomernya, gak? Om mau chat Ghea sekarang.” Januar kembali tidak menjawab pertanyaan Ghea.

Setelah Ghea menyebutkan nomornya, Januar segera menyelesaikan telepon, bersamaan dengan Abi yang kembali dari luar.

“Bi, kamu jemput anaknya Anet,” perintah Januar pada Abi.

“Saya gak tau rumahnya, Pak.”

“Saya sudah chat Ghea, dia sudah kasih lokasinya. Kamu nanti jangan bilang apa-apa dulu ke Ghea soal kondisi Anet. Biar saya yang jelaskan.”

Januar, masih dengan jas-nya yang melekat di tubuh, sampai terlebih dahulu di restoran sebelum anak-anaknya.

Sebelumnya, Rei memang menghubunginya dan mengatakan kalau mereka akan sedikit terlambat karena kemacetan Jakarta yang tak ada hentinya.

Setelah menghabiskan waktu sekitar tiga puluh menit menunggu sendirian ditemani dengan secangkir kopi, Januar mendengar kehebohan dari pintu mauk restoran, tentu saja, siapa lagi kalau bukan anak-anaknya?

“Kenapa berisik banget? Baru juga sampe disini,” tegur Januar, sementara biang kributan, yakni Abel dan Raven hanya merespon dengan saling mendorong.

Setelah memesan dan bercengkrama beberapa saat, makanan mereka pun datang.

Namun belum sempat Januar memakan makanannya, ponselnya lebih dulu berbunyi menandakan pesan masuk. Januar membaca pesan itu dengan pelan sebelum akhirnya beriri dari kursi yang ia duduki.

I need to go, kalian habiskan makanan kalian terus pulang ya. I’ll explain later.” Januar kemudian beranjak dari meja restoran, meninggalkan anak-anaknya dalam raut kebingungan.


Kaki Januar melangkah dengan cepat, suara sepatunya yang beradu dengan lantai terdengar dengan jelas walau disekitarnya ramai sekali orang.

Tujuan Januar hanya satu, ruang IGD di salah satu rumah sakit ternama.

Ponsel berdering di restoran tadi merupakan sebuah pesan dari salah satu karyawan di kantornya, mengabarkan kalau Jeanette, asistennya, terlibat dalam kecelakaan yang terjadi di tol.

Langkah Januar terhenti kala melihat sosok yang ia cari sedari sampai tadi, “Abi? Gimana keadaan Anet?”

Abi yang sedang bersandar di sebelah pintu IGD, kembali berdiri tegap di hadapan Januar, ia menggeleng pelan, “Gak tertolong, Pak. Anet kehantam setir dia sendiri, pendarahannya terlalu banyak.”

Hati Januar teriris, Anet adalah sosok asisten yang sudah ia anggap seperti keluarganya sendiri. Anet sudah bekerja dengan Januar selama tiga tahun belakangan ini.

Ponsel Abi berdering, ia pamit untuk pergi dari hadapan Januar. Januar masih terdiam di depan pintu IGD, tak menyangka kalau kata kehilangan akan menghampiri, lagi dan lagi, pada orang terdekatnya.

Pintu IGD di hadapannya terbuka, seorang suster datang mendekat, “Bapak salah satu kerabat dari pasien wanita korban kecelakaan?” Januar mengangguk pelan, “Bapak maaf, ini ponsel milik pasien, ada di kantong blazer pasien dan gak berhenti bunyi, bisa tolong di ambil, ya, Pak.”

Setelahnya Januar menatap ponsel yang ada si genggamannya, ponsel itu sedikit retak di ujung, entah sekuat apa benturan yang Anet alami sampai ponsel di dalam blazer pun turut menjadi korban.

Tak berapa lama, ponsel Anet kembali berbunyi, layarnya yang menyala menampilkan foto Anet dengan seorang anak perempuan, anak-nya Anet.

Anet merupakan seorang single mother, ia memiliki seorang anak dari pernikahannya.

Januar kembali menatap tulisan di layar ponsel itu,

Gey❤️ is calling…

Anaknya… menelepon…

Lantas, Januar harus apa selain mengangkat panggilan itu?

Halo? Bundaaaa, bunda dimana? Gey udah di rumah tadi dijemput sama Pak Agus! Bunda jadi beli seafood gak? Gey udah ngiler bangettttt!” ucap seseorang yang bernama Gey dari seberang telepon.

Januar mati-matian menahan air matanya. Bagaimana caranya ia mengatakan apa yang terjadi pada anak dari mendiang Anet?

“Halo? Ini Ghea bukan, ya?”

Loh… iya bener! Ini siapa ya? Kok bukan Bunda?” tanya gadis yang bernama Ghea itu.

“Ghea, ini om Januar, Ghea inget?”

Oh inget! Om bos nya Bunda! Kok om yang angkat telepon? Bundaku kemana, Om?

Bundaku kemana, Om?

Bagaimana Januar menjawabnya?

“Ghea boleh sebutin nomernya, gak? Om mau chat Ghea sekarang.” Januar kembali tidak menjawab pertanyaan Ghea.

Setelah Ghea menyebutkan nomornya, Januar segera menyelesaikan telepon, bersamaan dengan Abi yang kembali dari luar.

“Bi, kamu jemput anaknya Anet,” perintah Januar pada Abi.

“Saya gak tau rumahnya, Pak.”

“Saya sudah chat Ghea, dia sudah kasih lokasinya. Kamu nanti jangan bilang apa-apa dulu ke Ghea soal kondisi Anet. Biar saya yang jelaskan.”

Januar, masih dengan jas-nya yang melekat di tubuh, sampai terlebih dahulu di restoran sebelum anak-anaknya.

Sebelumnya, Rei memang menghubunginya dan mengatakan kalau mereka akan sedikit terlambat karena kemacetan Jakarta yang tak ada hentinya.

Setelah menghabiskan waktu sekitar tiga puluh menit menunggu sendirian ditemani dengan secangkir kopi, Januar mendengar kehebohan dari pintu mauk restoran, tentu saja, siapa lagi kalau bukan anak-anaknya?

“Kenapa berisik banget? Baru juga sampe disini,” tegur Januar, sementara biang kributan, yakni Abel dan Raven hanya merespon dengan saling mendorong.

Setelah memesan dan bercengkrama beberapa saat, makanan mereka pun datang.

Namun belum sempat Januar memakan makanannya, ponselnya lebih dulu berbunyi menandakan pesan masuk. Januar membaca pesan itu dengan pelan sebelum akhirnya beriri dari kursi yang ia duduki.

I need to go, kalian habiskan makanan kalian terus pulang ya. I’ll explain later.” Januar kemudian beranjak dari meja restoran, meninggalkan anak-anaknya dalam raut kebingungan.


Kaki Januar melangkah dengan cepat, suara sepatunya yang beradu dengan lantai terdengar dengan jelas walau disekitarnya ramai sekali orang.

Tujuan Januar hanya satu, ruang IGD di salah satu rumah sakit ternama.

Ponsel berdering di restoran tadi merupakan sebuah pesan dari salah satu karyawan di kantornya, mengabarkan kalau Jeanette, asistennya, terlibat dalam kecelakaan yang terjadi di tol.

Langkah Januar terhenti kala melihat sosok yang ia cari sedari sampai tadi, “Abi? Gimana keadaan Anet?”

Abi yang sedang bersandar di sebelah pintu IGD, kembali berdiri tegap di hadapan Januar, ia menggeleng pelan, “Gak tertolong, Pak. Anet kehantam setir dia sendiri, pendarahannya terlalu banyak.”

Hati Januar teriris, Anet adalah sosok asisten yang sudah ia anggap seperti keluarganya sendiri. Anet sudah bekerja dengan Januar selama tiga tahun belakangan ini.

Ponsel Abi berdering, ia pamit untuk pergi dari hadapan Januar. Januar masih terdiam di depan pintu IGD, tak menyangka kalau kata kehilangan akan menghampiri, lagi dan lagi, pada orang terdekatnya.

Pintu IGD di hadapannya terbuka, seorang suster datang mendekat, “Bapak salah satu kerabat dari pasien wanita korban kecelakaan?” Januar mengangguk pelan, “Bapak maaf, ini ponsel milik pasien, ada di kantong blazer pasien dan gak berhenti bunyi, bisa tolong di ambil, ya, Pak.”

Setelahnya Januar menatap ponsel yang ada si genggamannya, ponsel itu sedikit retak di ujung, entah sekuat apa benturan yang Anet alami sampai ponsel di dalam blazer pun turut menjadi korban.

Tak berapa lama, ponsel Anet kembali berbunyi, layarnya yang menyala menampilkan foto Anet dengan seorang anak perempuan, anak-nya Anet.

Anet merupakan seorang single mother, ia memiliki seorang anak dari pernikahannya.

Januar kembali menatap tulisan di layar ponsel itu, “Gey❤️ is calling…

Anaknya… menelepon…

Lantas, Januar harus apa selain mengangkat panggilan itu?

Halo? Bundaaaa, bunda dimana? Gey udah di rumah tadi dijemput sama Pak Agus! Bunda jadi beli seafood gak? Gey udah ngiler bangettttt!” ucap seseorang yang bernama Gey dari seberang telepon.

Januar mati-matian menahan air matanya. Bagaimana caranya ia mengatakan apa yang terjadi pada anak dari mendiang Anet?

“Halo? Ini Ghea bukan, ya?”

Loh… iya bener! Ini siapa ya? Kok bukan Bunda?” tanya gadis yang bernama Ghea itu.

“Ghea, ini om Januar, Ghea inget?”

Oh inget! Om bos nya Bunda! Kok om yang angkat telepon? Bundaku kemana, Om?

Bundaku kemana, Om?

Bagaimana Januar menjawabnya?

“Ghea boleh sebutin nomernya, gak? Om mau chat Ghea sekarang.” Januar kembali tidak menjawab pertanyaan Ghea.

Setelah Ghea menyebutkan nomornya, Januar segera menyelesaikan telepon, bersamaan dengan Abi yang kembali dari luar.

“Bi, kamu jemput anaknya Anet,” perintah Januar pada Abi.

“Saya gak tau rumahnya, Pak.”

“Saya sudah chat Ghea, dia sudah kasih lokasinya. Kamu nanti jangan bilang apa-apa dulu ke Ghea soal kondisi Anet. Biar saya yang jelaskan.”

“DEEEEEE KITA BAWAIN JAJAN DEEEEE!!!”

“Gak usah teriak-teriak, norak!“

“DEEEEEE BUKA DEEEEE!”

“BERISIK!!!” teriak Ghea pas pintunya udah kebuka, dan wajah yang pertama dia lihat tuh siapa lagi kalo bukan Abel. Musuh dia di rumah.

“Bang aku lagi badmood banget loh, kalo ngerese sekali sumpah ya abang aku minta beliin hape ke abang!!!!!”

“Kok jadi hape?” kata Abel bingung.

Abis itu semua abang-abangnya—iya semua—langsung berbondong-bondong masuk ke kamar princess-nya Ghea. Satu-satunya kamar yang beda sendiri di rumah ini.

“Abaaaaaaang, peluk!”

Bukan, bukan Abel yang Ghea maksud, tapi Bian.

Kalo soal paling deket sama siapa, jelas Ghea dekat dengan semua, apalagi sama Atha dan Jeje, udah kayak trio kwek-kwek kalo kata Papa.

Kalo sama Bian, gak tau kenapa, Ghea paling nyaman buat peluk-peluk dan ndusel-ndusel. Soalnya abangnya itu keliatan lucu aja di mata Ghea.

Dan Bian tuh abang yang paling random bagi Ghea; soalnya dia bisa aja tiba-tiba masuk ke kamar Ghea, gak ngomong apa-apa tapi langsung meluk Ghea lama banget, abis itu dia cabut keluar kamar Ghea.

Ghea sih gak masalah, soalnya abangnya wangi, terus Ghea juga suka dipeluk Bian. Yaudah deh.

“Abangnya ada tujuh, yang dipeluk cuma satu, HAHA,” sindir Abel.

“Nanti lah, aku males meluk kamu. Kamu belum mandi ya… Liat baju kamu, baju kemaren.”

“Abang udah mandi de???? Emang gak boleh pake baju bekas kemaren? Kan bukan berarti gak mandi?”

“Jorok! Kalo udah dipake itu di cuci abang! Kayak di rumah gak ada mesin cuci aja!”

Rei geleng-geleng, “Bel, bel, dede yang masih kecil aja paham, lo kok gak berubah-berubah.”

“Wooooooow kalian banyak banget bawa jajannya!” seru Ghea waktu lihat abang-abangnya nenteng kantong belanjaan isinya snack yang keliatannya sih super banyak.

“Buat Gey, supaya gak badmood!” giliran Jeje yang jawab sambil ngasih kantong belanjaannya, “Makan aja yang banyak; biar kamu happy, nanti kalo mau lagi bilang aku yaa!”

“De, ngapain ngomong kaya gitu di grup?” tanya Raven.

Ghea nunduk, posisinya masih meluk Bian, “Aku mellow aja.. Liat tadi mas Kavin bawain aku pembalut, terus Papa minta maaf karna gak nyiapin soal ini, terus kalian pada pulang ke rumah semua gara-gara aku nangis.. Aku sedih ngerepotin, tapi aku senang juga semuanya sayang sama aku…”

Mereka semua tersenyum, kalimat dari Ghea ini jujur banget, bikin hati mereka juga jadi hangat.

“Gak ada yang direpotin sama dede, semuanya tuh sayang sama dede makanya kayak gini, terus semuanya juga pertama kali buat kita, makanya kita juga excited mau bantu dede.” ungkap Rei, berusaha ngejelasin biar Ghea gak sedih terus.

Mood dede tuh berpengaruh banget kalo lagi kayak gini, jadi jangan pikir macem-macem ya, de.” Giliran Bian yang angkat suara.

“Kamu kalo mau apa-apa bilang aja, nanti pasti dibeliin kok, yang penting jangan sedih, yaaaa!” ujar Atha sambil senyum ke arah Ghea.

Setelahnya mereka semua asyik ngobrol, berusaha buat bikin Ghea happy buat malem ini,

sekali lagi bikin Ghea ngerasa happy banget dan bersyukur terlahir di keluarga ini, walaupun Ghea cewek sendiri, Ghea gak pernah ngerasa sendiri dan kesepian.

Karna Ghea tau, dalam keadaan apapun dan kapanpun, abang-abangnya dan juga papa, tetep selalu ada dan selalu disini buat Ghea happy.

Menurut Ghea,

Life is worth living, because of them.

“Princess, udah satu jam di kamar, Papa udah boleh masuk, gak?”

Klek

Suara kunci yang di putar kedengeran, bikin Januar tau kalo Ghea udah bolehin dia buat masuk.

Begitu masuk, Januar udah disuguhin sama pemandangan Ghea yang baru masuk ke dalam selimut. Keliatannya sih dia lagi nonton sambil makan cemilan.

Januar pun akhirnya ngedeket, nyender di sisi kasur Ghea, dia duduk pas di sebelah Ghea yang lagi tiduran pake selimut.

Feeling better?

Ghea ngangguk, “Udah, tadi Mas kasih jajanan, udah pake pembalutnya juga.”

“Sudah oke ya berarti?”

Ghea ngangguk sekali lagi sebagai jawaban.

“Maaf ya, de, Papa gak prepare soal yang ini. Salah satu hal yang penting di hidup dede padahal…” ucap Januar dengan lirih, sambil ngelus pelan kepala Ghea yang menyembul dibalik selimut.

“Ih, Papa jangan gitu… Kan gak ada yang expect bakal secepet ini…”

“Nanti Papa belajar lagi ya de, soal apa-apa yang bakal jadi hal pertama di hidup dede, gak akan Papa lewatin satupun.”

Jawaban Januar membuat hati Ghea menghangat, lagi, untuk kesekian kalinya. Ghea paham maksud Januar.

Mama gak ada disini buat nuntun Ghea soal apapun terkait wanita, Ghea cuma bisa belajar semua hal itu dari Mbak yang selalu setia bantuin Ghea.


Tapi di satu sisi, Ghea juga tau kalo Papa-nya ini banyak sekali belajar tentang apapun yang seharusnya bukan tugas Papa. Bukan cuma Papa, bahkan semua abang-abangnya, dan Ghea rasa semua hal itu udah cukup buat Ghea.

Ghea terisak pelan, abis itu dia langsung ngadep ke arah Januar, meluk tubuh Januar dari samping. Januar yang kaget sama Ghea yang tiba-tiba nangis cuma bisa puk-puk-in anak gadisnya ini.

“Kenapa dede nangis…”

“Dede sedih semua orang baik sekali sama dede…”

“Kan harusnya seneng…”

Tapi ya sudah, Januar paham kok, wanita saat datang bulan memang sensitif, kan? Jadi ya sudah, tugas Januar disini cuma bisa nenangin Ghea.

“De jangan ngerasa kalau kamu ngerepotin atau beban buat yang lain ya, semuanya sayang sekali sama dede, makanya semua baik sama dede. Jangan mikir macem-macem.”

Gak ada tanggapan dari Ghea, abis itu Januar ngelepas pelan pelukan Ghea, “De, abang-abangnya pengen masuk ke kamar, mau ngasih dede banyak hadiah, boleh gak?”

Ghea ngangguk pelan, terus Januar berdiri, tapi dia elus sekali lagi kepala Ghea, “Sudah besar sekali ya, de, semoga dede bahagia terus, ya.”

Kavin tuh udah hafal banget kalo soal datang bulan. Soalnya ceweknya Kavin, Mikayla, itu bener-bener ada di another level kalo soal datang bulan.

Kavin udah selesai belanja di minimarket, beliin stok pembalut buat Ghea, juga beberapa cemilan buat adeknya itu.

Ini pertama kali buat Ghea, ini juga pertama kali buat keluarga mereka.

Punya Ghea sebagai perempuan satu-satunya di keluarga, bikin mereka mgerasa banyak hal yang harus mereka pelajari tentang wanita, karena kalo bukan mereka yang bantu Ghea, siapa lagi? Selain mbak di rumah, ya.

Begitu sampe di rumah, Kavin langsung naik ke lantai dua, terus dia berenti di depan kamar Ghea. Kavin agak ragu, soalnya dia takut Ghea gak mau ketemu dia. Tapi, yaudah, mending dia coba kan?

Setelah tiga kali ngetok pintu, Ghea pun akhirnya buka, pemandangan pertama yang Kavin liat adalah wajah Ghea dengan muka sembab.

Belum sempet Kavin ngomong apa-apa, Ghea udah lebih dulu peluk Kavin, kenceng banget. Kavin sampe bingung.

Akhirnya Kavin bawa Ghea buat duduk di atas kasur Ghea, masih dengan posisi Ghea peluk Kavin.

“Gak enak ya, perutnya?”

Ghea ngangguk pelan, “Sakit banget, Mas. Gey gak tau harus ngapain, terus Gey bawaannya pengen nangis aja, tuh, kan, huhuhu.”

Kavin terkekeh pelan sambil ngelus pelan kepala Ghea, adek bungsunya yang terpaut usia 10 tahun sama dia ini.

“Mas Kavin gak tau sakitnya segimana, tapi mas Kavin paham apa yang Gey rasain. Gak apa-apa ya sakit dikit, ini proses tandanya Gey udah gede.”

Terus Kavin langsung ngasih pembalut yang dia beli di minimarket tadi, “Ini udah Mas beliin, Mas tanya ke kak Mika. Katanya kalo baru pertama kali pakenya enakan yang ini, kalo cara pakenya tanya kak Mika atau Mbak aja, ya?”

“Mau mbak aja,” kata Ghea sambil nerima pembalut dari Kavin. Terus abis itu tiba-tiba dia nangis lagi. “Tuh, kan, aku ngerepotin Mas… Terus aku baca di grup juga semuanya pada mau pulang, padahal lagi pada sibuk.” Ghea terisak pelan, “Mas aja dari kantor kan, malah pulang nemuin aku, maaf ya, Mas, kalo dede ngerepotin…”

“Dede kok gitu ngomongnya… Mas kan udah pulang ngantor, udah gak usah pikirin hal negatif ya dede, kamu pake aja pembalutnya sekarang. Mas ke bawah aja, nanti mas bilang mbak buat ke atas. Dede kalo masih belum mood di kamar aja ya, gak usah keluar gak apa-apa.”

Ghea ngangguk lagi, terus Kavin elus lagi puncak kepala Ghea sebelum akhirnya berdiri terus mau keluar, sebelum keluar Kavin ngomong sekali lagi, “Itu jajanan buat dede, gak tau yang mana yang dede suka, tapi simpen aja ya.”

Terus dia nutup pintu, ninggalin Ghea yang nangis, lagi, sambil liatin pembalut di tangannya.

Kavin & Ghea.

Kavin tuh udah hafal banget kalo soal datang bulan. Soalnya ceweknya Kavin, Mikayla, itu bener-bener ada di another level kalo soal datang bulan.

Kavin udah selesai belanja di minimarket, beliin stok pembalut buat Ghea, juga beberapa cemilan buat adeknya itu.

Ini pertama kali buat Ghea, ini juga pertama kali buat keluarga mereka.

Punya Ghea sebagai perempuan satu-satunya di keluarga, bikin mereka mgerasa banyak hal yang harus mereka pelajari tentang wanita, karena kalo bukan mereka yang bantu Ghea, siapa lagi? Selain mbak di rumah, ya.

Begitu sampe di rumah, Kavin langsung naik ke lantai dua, terus dia berenti di depan kamar Ghea. Kavin agak ragu, soalnya dia takut Ghea gak mau ketemu dia. Tapi, yaudah, mending dia coba kan?

Setelah tiga kali ngetok pintu, Ghea pun akhirnya buka, pemandangan pertama yang Kavin liat adalah wajah Ghea dengan muka sembab.

Belum sempet Kavin ngomong apa-apa, Ghea udah lebih dulu peluk Kavin, kenceng banget. Kavin sampe bingung.

Akhirnya Kavin bawa Ghea buat duduk di atas kasur Ghea, masih dengan posisi Ghea peluk Kavin.

“Gak enak ya, perutnya?”

Ghea ngangguk pelan, “Sakit banget, Mas. Gey gak tau harus ngapain, terus Gey bawaannya pengen nangis aja, tuh, kan, huhuhu.”

Kavin terkekeh pelan sambil ngelus pelan kepala Ghea, adek bungsunya yang terpaut usia 10 tahun sama dia ini.

“Mas Kavin gak tau sakitnya segimana, tapi mas Kavin paham apa yang Gey rasain. Gak apa-apa ya sakit dikit, ini proses tandanya Gey udah gede.”

Terus Kavin langsung ngasih pembalut yang dia beli di minimarket tadi, “Ini udah Mas beliin, Mas tanya ke kak Mika. Katanya kalo baru pertama kali pakenya enakan yang ini, kalo cara pakenya tanya kak Mika atau Mbak aja, ya?”

“Mau mbak aja,” kata Ghea sambil nerima pembalut dari Kavin. Terus abis itu tiba-tiba dia nangis lagi. “Tuh, kan, aku ngerepotin Mas… Terus aku baca di grup juga semuanya pada mau pulang, padahal lagi pada sibuk.” Ghea terisak pelan, “Mas aja dari kantor kan, malah pulang nemuin aku, maaf ya, Mas, kalo dede ngerepotin…”

“Dede kok gitu ngomongnya… Mas kan udah pulang ngantor, udah gak usah pikirin hal negatif ya dede, kamu pake aja pembalutnya sekarang. Mas ke bawah aja, nanti mas bilang mbak buat ke atas. Dede kalo masih belum mood di kamar aja ya, gak usah keluar gak apa-apa.”

Ghea ngangguk lagi, terus Kavin elus lagi puncak kepala Ghea sebelum akhirnya berdiri terus mau keluar, sebelum keluar Kavin ngomong sekali lagi, “Itu jajanan buat dede, gak tau yang mana yang dede suka, tapi simpen aja ya.”

Terus dia nutup pintu, ninggalin Ghea yang nangis, lagi, sambil liatin pembalut di tangannya.

Sejujurnya, Ghea gak expect juga kalo kakak kelasnya ini bakal nganter pulang, pake motor…

Ghea gak tau apa yang akan abang-abangnya bilang kalo sampe mereka tau Ghea pulang pake motor.

Ghea mau nolak kakak kelasnya ini gak enak, mau izin, lebih gak enak lagi, mau pulang gak sampe depan pintu rumah? GHEA LEBIH TAKUT LAGI.

Jadi, mau gak mau, ya dia, kakak kelasnya dan motor ninja kakak kelasnya ini harus berhenti di depan pintu rumah. Karna menurut Ghea, lebih baik minta maaf daripada minta izin.

Setelah markirin motor, kakak kelasnya turun, terus ngadep ke Ghea, dan tangannya pelan-pelan naik buat lepasin helm Ghea.

Ghea yang ngerasa hawanya udah gak enak tiba-tiba noleh cepet ke arah jendela gede di rumahnya, dan bener aja, ada lima kepala menyembul di kaca itu. Pas Ghea noleh, kepalanya langsung hilang semua, malu karna ketahuan.

Muka Ghea merah, bukannya salting karna helm nya dilepasin kakak kelasnya, malah dia salting soalnya dilihatin. abang-abangnya.

Begitu kakak kelasnya pamit, Ghea langsung masuk ke dalam rumah, hal pertama yang Ghea bilang waktu sampe rumah adalah,

“AKU GAK SUKA DILIATIN KAYAK GITU!!!!!” teriak Ghea menggelegar ke seluruh rumah, sampe Mbak yang ada di belakang juga pada keluar ke arah ruang tamu. Ghea beneran gedeg banget sama abang-abangnya.

Abang-abangnya yang awalnya ngumpet akhirnya keluar, mau nyamperin Ghea, tapi Ghea nya udah kepalang kesel, jadi dia kabur dan langsung naik ke kamarnya.

“Lo sih!” seru Bian sambil dorong pelan Abel.

“Lah gue kan cuma ngajak doang di grup?”

“Terus gimana?” tanya Raven.

Ghea kalo udah ngambek, mereka berlima udah pasti bakal di sidang Papa.


Princess, kok gak turun? Mbak udah dua kali manggil kan?”

Ghea yang lagi sibuk sama iPad-nya langsung noleh ke arah pintu, ada Papa Januar berdiri disana, terus Papa langsung ngedekat dan duduk di sebelah Ghea.

“Nanti dede makan, tapi dede gamau makan sama yang lain.”

“Ngambek ya?”

Ghea menaikkan bahunya, masih kesel dia tuh.

“Udah Papa marahin tadi, gak boleh kayak gitu, udah janji abang-abangnya gak rese lagi kayak tadi.”

Ghea menghela nafasnya, “Gey malu digituin, kalo misalnya tadi yang anter Gey tau ada abang liatin gitu, gimana? Nanti dia gak mau lagi deketin Gey.”

“udah Papa marahin tadi, mau kebawah gak? Abang-abang mau minta maaf.”

“Tadi Gey teriak di bawah Papa, maaf ya Gey teriakin abang.”

Papa mengangguk, “Gak apa-apa, Gey kan kesel, biar abang tau juga Gey kesel gak di pendam, ya?”

Yang akhirnya Januar menuntun Ghea untuk turun ke bawah, ke meja makan. Bisa Ghea lihat abang-abangnya sudah duduk rapi di meja makan kecuali Kavin dan juga Rei yang pastinya masih sibuk di kantor.

“Maaf ya, de, janji gak gitu lagi.” Abel yang pertama kali buka suara waktu Ghea udah duduk di sebrangnya.

Ghea menatap malas ke arah Abel, “Kamu gitu terus abang, kamu ledek dede terus kamu minta maaf, besok kamu ledek lagi.”

“Ya gimana ya de, soalnya kamu tuh ceng— ADUH!” ucapan Abel terpotong karena kakinya ditendang cukup keras oleh Bian, maksudnya kan ini lagi minta maaf, jangan bikin perkara baru.

“Iya maaf ya de, tadi abang cuma mau lihat aja siapa yang anter dede pulang, tapi caranya salah, besok janji gak gitu lagi.” kata Bian, “Tapi kamu juga besok gak boleh balik naik motor lagi, orang gak pernah naik motor kok bisa-bisanya kamu pulang naik motor.”

Ghea menyenderkan bahunya di kursi, “Kan aku dimarahin lagi..”

“Tapi maksudnya baik kan? Kamu gak boleh naik motor.”

Ghea pada akhirnya mengalah, “Iya deh, kalo naik motor aku gak akan pulang sama dia.”

“Mas juga minta maaf, mas dihasut bang Abel.” Raven menunjuk ke arah Abel yang kemudian memberikan gestur ingin menghajar Raven.

“Mas juga minta maaf yaaa dede! Tadi ikut-ikutan aja serius.” Giliran Jeje yang meminta maaf.

Ghea kemudian mengangguk, “Yaudah semuanya udah dede maafin.”

“Aku juga minta maaf yaaa, tadi ikutan ngintip meskipun ditutupin sama Mas Raven,” kini giliran Atha yang nyengir ke arah Ghea.

“Iyaaaaa udah dede maafin semua, tapi besok-besok jangan gitu lagi ya! Jangan ngintip-ngintip gitu, dede kalo di resein juga dede bisa teriak, dia anternya sampe ke depan pintu kok!”

“Siap bossss!” teriak Abel.

Januar yang ada di ujung meja hanya bisa terkekeh melihat interaksi anak-anaknya. Karna Ghea yang awalnya datang dengan bibir yang maju 5 senti sekarang udah bisa ketawa ketiwi sama Raven di sebelahnya.


“Aku boleh masuk gak?” tanya Ghea dengan kepala yang menyembul di pintu.


Atha, sebagai pemilik kamar yang lagi duduk main games di karpet, cuma bisa ngangguk.

Ghea dengan segala bawaannya langsung masuk ke dalam kamar, dan duduk diam di sebelah Atha yang lagi main games.

Ghea tau kalo abangnya lagi main games, jangan diganggu, kalo mau ngomong, nanti. Kecuali penting banget.

“Kenapa? Kamu mau ngapain?”

“Aku mau ajak kamu maskeran hehe” kata Ghea sambil nyengir.

Atha udah paham sih, tiap malem adeknya ini pasti selalu maskerin dia, katanya biar cakepan dikit, dan keliatan diurus.

“Kamu masih ngambek ya sama aku?” tanya Ghea sambil pelan-pelan pakein skincare ke wajah Atha.

Atha yang mukanya sibuk dikerjain sama Ghea menggeleng pelan, “Gak kok, aku udah gak ngambek, serius. Tadi cuma sebel aja. Itu juga boba kamu aku ambil loh.” Atha nunjuk bekas gelas boba yang ada di atas meja sebelah kasurnya.

“Aku ambil di kulkas, tadi kamu tinggalin di meja kan pas kamu ngambek, makasih ya de.”

Ghea mengangguk, “Iya sama-sama. Aku kalo misalnya punya cowo tuh gak akan lupain kamu kaliiiiiiiii.”

“Aku gak cemburu, kalo arah kamu kesitu.”

“Boong banget, kamu sebel kan aku deket sama cowok, hayo ngakuuuuuu,” ledeknya sambil naikin dua alis.

“Iya deh, aku cemburu dikit kamu deket sama cowok, soalnya di pikiran aku kamu masih kecil, tapi kamu udah gede, udah bisa balik sama cowok. Mana kamu di grup juga bahasnya sampe ke nikah, masih jauh tauuuu!” jelas Atha.

Ghea berdecak sambil menggelengkan kepalanya, “Nggak kamu, nggak Papa, nggak semuanya, sama aja. Padahal aku loh gak ngapa-ngapain, aku juga kalo minta sesuatu pertama kali bakal ke kamu dan yang lain, mana mungkin ke cowokku! Jangan cemburu deh, kakakkkkk!”

“Tuh, kan! Kamu kayak gini nih kerasa banget gedenya!”

“Udah pokoknya tenang aja, kamu tetep 911 aku! Posisi kamu paling atasssss, setelah Papa tapi!”

Atha terkekeh pelan, “Yaudah, oke kalo gitu.”

Begitu selesai memasangkan masker ke wajah Atha, Ghea kemudian maju ke depan, meluk Atha dari samping, “Hug buat kakakku yang paling cemburuan!!!!!!!” teriaknya, yang kemudian dibalas oleh Atha.

“ABANG JUGA MAU DIPELUK DE!!”

Satu teriakan kedengeran dari arah pintu, Ghea sama Atha refleks noleh dan liat ada Abel berdiri sambil berkecak pinggang, “Mau dipeluk dede gitu!”

Ghea kemudian berdiri, berusaha menjauh dari sana, “Gak mau! Abang bau, abang belum mandi dari kemaren!”

“Abang udah mandi!”

“Belum! Aku tauuuu! AAAA AKU GAK MAU ABANG!” teriak Ghea karna Abel sudah mengejarnya mengelilingi kamar Atha, Ghea sampai kewalahan dengan naik ke atas kasur Atha untuk mencapai pintu kamar.

“Kamar gue!!!!!!!!!” teriak Atha.

Ghea sama Abel udah kejar-kejaran di lantai dua, tangan Abel udah dia rentangin karna dia mau nangkep Ghea pake pelukan. Ghea tetep gak mau karna dia tau, Abel belum mandi dari kemaren, bajunya sama kayak baju kemaren.

“ABANG AKU GAK MAU!!!!!”

“GHEA PELUK ABANG!!!!”

“ABEL KALO GHEA NANGIS GUA HAJAR LU YA!”

Itu teriakan Bian, dari ruang TV lantai satu.

Jadi… Ya begini isi rumah Arkananta tiap harinya.

Satu iseng, satu nangis, 7 iseng, satu ngambek, pusing, kan? Tapi seru, sih, Haha.