Pertama?
Kalian mungkin mengenalnya dari kisah yang pertama.
Namun, di kisah kedua ini, aku akan membawa kalian untuk mengenalnya lebih dalam.
Dia… Samudera Jevano Bagaskara.
Kamu mungkin tahu kisahnya, namun tidak dari sisinya.
Kalian mungkin mengenalnya dari kisah yang pertama.
Namun, di kisah kedua ini, aku akan membawa kalian untuk mengenalnya lebih dalam.
Dia… Samudera Jevano Bagaskara.
Kamu mungkin tahu kisahnya, namun tidak dari sisinya.
Kalian mungkin mengenalnya dari kisah yang pertama.
Namun, di kisah kedua ini, aku akan membawa kalian untuk mengenalnya lebih dalam.
Dia… Samudera Jevano Bagaskara.
Kamu mungkin tahu kisahnya, namun tidak dari sisinya.
“Pa, tadi Papa dari kantor langsung kesini?”
Gabri tahu isi hati Ghazy yang gelisah saat ditatap oleh sang Papa, sebenarnya bukan tatapan mengintimidasi, tapi siapa sih yang gak risih kalo ditatap kayak gitu sama orang yang baru dikenal?
“Iya tadi Papa dari kantor langsung kesini, sekalian jemput kamu,” lalu Papa menoleh ke arah Ghazy, “dan jenguk Ghazy.”
“Padahal Ghazy gapapa loh om kalo gak dijenguk, ngerepotin om aja…”
Papa terkekeh, “Nggak merepotkan kok, Zy”
“Btw, Bunda lo tadi kemana ya, Zy?”
Ghazy membuka ponselnya, membaca pesan yang tadi dikirimkan oleh sang Bunda, “Pulang ke rumah, soalnya mau ambil barang-barang. Terus tadi katanya ada temennya ke rumah, jadi belum kesini deh.”
Gabri mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu mereka yang ada di ruangan itu mulai mengobrol satu sama lain. Sampai akhirnya, tepat pukul 8 malam Papa berpamitan untuk pulang.
“Ghazy gak apa-apa sendiri? Gabri tinggal aja disini atau gak?”
Ghazy tersenyum, “Gapapa om, Bunda juga udah di jalan. Itu Gabri juga udah ngantuk kayaknya.”
“Boong banget!” sangkal Gabri, membuat Ghazy kembali terkekeh.
Bagas tersenyum ke arah Ghazy, “Yaudah kalo gitu om pulang dulu ya, kamu tungguin Bunda kamu aja, jangan kemana-mana.”
“Siap om!” kata Ghazy sambil mengacungkan jempol.
Tiba-tiba saja Papa maju dan mendekat ke arah Ghazy, lalu ia menepuk pelan kepala Ghazy, “Cepet sembuh ya, Ghazy.”
Hangat.
“Terimakasih ya, Om.”
“Kenapasih kamu tiba-tiba puk puk kepala Ghazy gitu, Pa?”
Papa menoleh ke arah Gabri yang kini sudah menyilangkan tangannya, lalu tangan Papa naik ke puncak kepala Gabri, “Loh, cemburu, ya?”
Gabri mendecak, “I’m not.”
“Yes, you are.”
“Ya Papa, tiba-tiba banget tuh gitu, bilang aja cepet sembuh.”
“Kamu kelihatan lucu kalau lagi cemburu gini, kayak belum gede, and i like it.”
“Pa????”
Papa hanya terkekeh pelan, “I dont know, he looks familiar.”
Gabri menaikkan alisnya, “Mungkin Papa kenal Ghazy? Atau Papa-nya? Atau Bunda-nya?”
Papa mengendikkan bahu, “Mungkin.”
Tanpa Gabri tahu kalau sebenarnya semuanya lebih dari itu.
Bagas melangkahkan kakinya menyusuri lorong rumah sakit, tak dipungkiri kalau jantungnya berdegup dengan kencang.
Takut atau lebih tepatnya gugup atas apa yang terjadi setelah ini.
Kecurigaan-kecurigaannya menjadi-jadi setelah ia mengetahui kalau anaknya, Gabri, kini mempunyai teman yang sangat amat familiar di mata Bagas.
Bagas mengeluarkan ponsel di sakunya, bermaksud untuk menghubungi Gabri dan bertanya tentang ruangan yang akan ditujunya. Namun belum sempat ia menghubungi Gabri, namanya lebih dulu dipanggil oleh seseorang dari arah belakang.
“Bagas!”
Bagas menoleh, “Wiryo?”
Wiryo, yang memanggilnya tadi melangkah mendekat, “You’re really here?”
“Iya lah, kamu kan liat sendiri, Wir.”
Wiryo terkekeh, “Kalah sama Gabri,”
Bagas menaikkan alisnya, “For what?”
Wirya hanya mengendikkan bahunya. “VVIP 301.” Lalu ia menepuk pelan pundak Bagas, “Good luck.” dan beranjak dari sana.
Setelah bertemu Wiryo bukannya membuat hatinya lebih tenang, jantung Bagas malah semakin berdetak tidak karuan.
Kakinya berhenti di depan salah satu pintu di bangsal VVIP ini, kakinya mendadak kaku, tamgannya juga mendadak kaku untuk sekedar mengetuk pintu di hadapannya.
Namun, bagaimanapun juga ia harus memberanikan diri.
TOK TOK
Satu menit berlalu, namun belum ada juga respon dari dalam ruangan, “Apa ini ruangan kosong?” batinnya.
TOK TOK
Bagas mengetuk pintu sekali lagi, “Mungkin salah, ya?”
Baru saja kaki Bagas akan beranjak dari sana, namun tiba-tiba pintu di depannya terbuka, “Gab kan udah dibilang masuk aja! Ngapain segala ket– eh?”
Berdiri seorang anak laki-laki yang menggunakan kacamata serta mendorong tiang infusnya di pintu. Wajah anak laki-laki itu terlihat sedikit pucat, namun tak menutupi kalau anak laki-laki di hadapannya ini, sangat tampan. Dengan sebuah tanda lahir di bawah matanya, setitik tanda lahir.
“Maaf, Om, tadi kirain temen aku, mau cari siapa ya, Om?”
Bagas hanya diam, menatapi anak laki-laki di depannya ini tanpa suara, masih mencerna atas apa yang ia lihat.
“Om… Temen Bunda? Atau dokter disini?” tanya anak itu lagi. Lalu ia mengibaskan tangannya ke depan wajah Bagas, “Om?”
“PA!”
Bukan hanya Bagas yang tersadar dari lamunannya, namun seruan dari belakang punggung Bagas juga mengejutkan anak laki-laki yang ada di pintu, “Gabri kira Papa nyasar tau!”
Gabri mendekat ke arah Bagas, “Pa, ini Ghazy, temennya Gabri.” lalu ia menoleh ke arah Bagas, “Pa?”
‘Eh– iya?
“Papa nih, malah ngelamun.” Gabri mendecak, “Ini temenku, Ghazy, Ghazy Langit.”
Kini giliran Bagas yang menoleh ke arah Gabri, “Ghazy Langit?”
“Iya Om, nama aku Ghazy Langit, salam kenal, ya, Om!” ucap Ghazy memperkenalkan dirinya dengan sebuah senyuman yang membuat matanya membentuk bulan sabit.
Bagas rasanya sudah gila.
Bagas melangkahkan kakinya menyusuri lorong rumah sakit, tak dipungkiri kalau jantungnya berdegup dengan kencang.
Takut atau lebih tepatnya gugup atas apa yang terjadi setelah ini.
Kecurigaan-kecurigaannya menjadi-jadi setelah ia mengetahui kalau anaknya, Gabri, kini mempunyai teman yang sangat amat familiar di mata Bagas.
Bagas mengeluarkan ponsel di sakunya, bermaksud untuk menghubungi Gabri dan bertanya tentang ruangan yang akan ditujunya. Namun belum sempat ia menghubungi Gabri, namanya lebih dulu dipanggil oleh seseorang dari arah belakang.
“Bagas!”
Bagas menoleh, “Wiryo?”
Wiryo, yang memanggilnya tadi melangkah mendekat, “You’re really here?”
“Iya lah, kamu kan liat sendiri, Wir.”
Wiryo terkekeh, “Kalah sama Gabri,”
Bagas menaikkan alisnya, “For what?”
Wirya hanya mengendikkan bahunya. “VVIP 301.” Lalu ia menepuk pelan pundak Bagas, “Good luck.” dan beranjak dari sana.
Setelah bertemu Wiryo bukannya membuat hatinya lebih tenang, jantung Bagas malah semakin berdetak tidak karuan.
Kakinya berhenti di depan salah satu pintu di bangsal VVIP ini, kakinya mendadak kaku, tamgannya juga mendadak kaku untuk sekedar mengetuk pintu di hadapannya.
Namun, bagaimanapun juga ia harus memberanikan diri.
TOK TOK
Satu menit berlalu, namun belum ada juga respon dari dalam ruangan, “Apa ini ruangan kosong?” batinnya.
TOK TOK
Bagas mengetuk pintu sekali lagi, “Mungkin salah, ya?”
Baru saja kaki Bagas akan beranjak dari sana, namun tiba-tiba pintu di depannya terbuka, “Gab kan udah dibilang masuk aja! Ngapain segala ket– eh?”
Berdiri seorang anak laki-laki yang menggunakan kacamata serta mendorong tiang infusnya di pintu. Wajah anak laki-laki itu terlihat sedikit pucat, namun tak menutupi kalau anak laki-laki di hadapannya ini, sangat tampan. Dengan sebuah tanda lahir di bawah matanya, setitik tanda lahir.
“Maaf, Om, tadi kirain temen aku, mau cari siapa ya, Om?”
Bagas hanya diam, menatapi anak laki-laki di depannya ini tanpa suara, masih mencerna atas apa yang ia lihat.
“Om… Temen Bunda? Atau dokter disini?” tanya anak itu lagi. Lalu ia mengibaskan tangannya ke depan wajah Bagas, “Om?”
“PA!”
Bukan hanya Bagas yang tersadar dari lamunannya, namun seruan dari belakang punggung Bagas juga mengejutkan anak laki-laki yang ada di pintu, “Gabri kira Papa nyasar tau!”
Gabri mendekat ke arah Bagas, “Pa, ini Ghazy, temennya Gabri.” lalu ia menoleh ke arah Bagas, “Pa?”
‘Eh– iya?
“Papa nih, malah ngelamun.” Gabri mendecak, “Ini temenku, Ghazy, Ghazy Langit.”
Kini giliran Bagas yang menoleh ke arah Gabri, “Ghazy Langit?”
“Iya Om, nama aku Ghazy Langit, salam kenal, ya, Om!” ucap Ghazy memperkenalkan dirinya dengan sebuah senyuman yang membuat matanya membentuk bulan sabit.
Bagas rasanya sudah gila.
2 years later.
“Jen! Gue dateng! Hehe.” teriak Jevano saat sudah sampai di sebuah makam yang bertuliskan nama kembarannya, Satria Jendral Bagaskara.
“Jen, it’s been two years, and i’m getting better!” Lalu ia memegang telinganya, “Gue udah sangat beradaptasi dengan hearing-aid ini. Walaupun masih suka ngerasa gak nyaman, but that’s okay.”
“Lo apa kabar disana? Everything’s great? Lo bisa main musik gak disana?“
Jevano mengelus pelan nama milik Jendral, lalu ia menatap sekelilingnya. Lama sekali? Atau bahkan hampir tidak pernah ia datang ke makam milik Jendral.
Apa alasannya?
Rasa bersalah. Rasa bersalah yang muncul itu tak bisa membuat Jevano hidup normal seperti sediakala.
Rasa bersalah yang terus menghantui itu membuat Jevano semakin menutup dirinya dari dunia luar.
Rasa bersalah itu juga yang hampir saja menghancuri diri Jevano.
Jevano pernah berada di fase merasa tidak pantas untuk hidup karna dirinyalah penyebab Jendral pergi dari dunia ini.
Jevano juga pernah berada di fase menyakiti diri sendiri karna menurutnya itu semua tak sebanding dengan apa yang di alami Jendral.
Alasan itulah yang membuat Jevano tak pernah mau lagi datang ke makam Jendral. Ia terlalu malu. Terlalu malu dengan dirinya sendiri.
Beberapa saat setelah pemakaman Jendral, dirinya mulai dipakaikan hearing-aid, karna dokter sudah memvonis dirinya kehilangan pendengaran akibat benturan yang keras.
Jika apa yang di alami dirinya bisa diatasi dengan alat, lantas untuk Jendral, bagaimana?
Tidak adil kan?
Berkali-kali Mama, Papa, serta teman-temannya membujuk dirinya untuk kembali bangkit dan terus mengatakan kalau ini bukan salahnya.
Isi hati manusia siapa yang tahu? Jevano tak bisa dengan cepat menerima ini semua.
Semuanya terlalu tiba-tiba, tanpa aba-aba, tanpa peringatan.
Jika separuhnya sudah pergi, apakah separuh lagi masih bisa tetap berdiri tegak? Menurut Jevano, tidak.
Jendral juga meninggalkannya tanpa pesan, tanpa menyisakan apapun untuk dirinya. Bahkan untuk sekedar datang ke mimpi saja, Jendral tidak pernah. Hal inilah yang pada akhirnya menimbulkan asumsi di kepala Jevano, kalau Jendral memang betul marah pada dirinya.
Ribuan kali bahkan jutaan kali Jevano meminta Jendral untuk datang, mengucapkan sepatah kata atau hanya memeluk tubuhnya, namun sayangnya tak ada yang terjadi.
Lantas apa yang membuat Jevano pada akhirnya datang dan berani sedekat ini dengan makam bertuliskan nama Jendral?
Jawabannya, karena mimpi beberapa waktu lalu.
Malam yang panjang untuk Jevano. Malam itu ia menangis dan mengutuki dirinya sendiri di kamar. Malam itu ia kembali bertanya-tanya kenapa harus Jendral yang pergi? Malam itu ia juga bertanya kenapa bukan dia saja yang pergi?
Sampai akhirnya ia tertidur pulas di lantai kamarnya yang dingin.
Dalam tidurnya, Jevano bermimpi sedang berada di taman bunga yang cantik sekali. Sangat cantik sampai mencuri atensi Jevano dan tak menyadari ada sosok laki-laki yang duduk di salah satu kursi taman.
Sampai suara yang telah lama tak ia dengar itu memanggil dirinya,
“Jev?”
Jevano yang awalnya masih kagum dengan bunga-bunga disekitarnya pun membalikkan badan, dan menemukan sosok Jendral yang sedang tersenyum ke arahnya.
Jevano pun akhirnya berlari dengan kencang ke arah Jendral, ia menabrak tubuh Jendral, memeluknya dengan erat. Ia sangat rindu dengan wangi tubuh kembarannya ini. Ia sangat rindu dengan kehangatan pelukan kembarannya ini.
“Lo kemana aja? Lo kenapa gak pernah muncul? Kenapa gak pernah datang?”
Jendral tersenyum, “Maaf ya lama… Maaf ya baru bisa sekarang.”
Jevano mengangguk, “Gue kangen banget sama lo. Kangen banget.”
“Gue juga, Jev. Gue kangen banget sama lo. Lo gimana sekarang?”
Pertanyaan itu kembali membuat Jevano ingin menangis, “Jen, maaf ya.. Maaf ya? Maaf.”
“Kenapa minta maaf?” tanya Jendral.
“Maaf udah maksa pergi hari itu, maaf udah egois, maaf udah bikin lo pergi jauh kayak gini. Maaf, maaf, maaf.”
Jendral menggeleng pelan sambil menatap kedua bola mata Jevano, “No. Jangan minta maaf.”
“Maaf…”
“Jev—“
“Kalo aja hari itu gue gak maksa, kalo aja hari itu gue biarin lo nongkrong, atau kalo aja hari itu gue nurut sama lo, gak akan kayak gini kan Jen?” seru Jevano.
Jevano kemudian memukul dadanya, “Salah gue! Gue yang salah Jen, maaf, maafin gue!”
Jendral dengan cepat memeluk tubuh kembarannya itu, Jevano menangis di dalam pelukan Jendral.
Jendral mengelus pelan pundak Jevano, elusan yang membuat Jevano menjadi tenang, juga merasakan hangatnya sampai ke dalam hati.
Jendral membisikkan sesuatu ke telinga Jevano, “It’s not your fault.”
Jevano mendongakkan kepalanya, menatap ke arah Jendral, “Jen?”
”It’s not your fault.”
Sekali lagi, Jevano menatap dalam mata Jendral, meminta validasi atas ucapan Jendral,
”It’s not your fault.” Jendral kembali memeluk Jevano dan mengelus pelan punggungnya,
“It’s never your fault.”
“Took you two years, ya, Jen?” ucap Jevano sambil tersenyum tipis.
“Ternyata gue gak butuh apapun selain kalimat yang keluar langsung dari mulut lo. Ternyata cuma pelukan, elusan di punggung sama bisikan itu yang bisa bikin gue berhenti berfikiran buruk dan berani datang kesini.”
Ternyata memang cuma hal itu yang Jevano butuhkan, sebuah validasi dari Jendral. Ia tak butuh konsultasi sana sini untuk hal ini, hanya dengan sebuah kalimat dari Jendral, dirinya mulai bisa berpikir jernih dan kembali datang ke makam kembarannya.
Proses yang panjang itu pun selesai dengan sebuah ucapan,
It’s not your fault; dari Jendral.
Kalimat yang Jevano butuhkan. Bukan orang lain tapi Jendral yang mengatakannya sendiri.
“Oh by the way, sekarang gue udah kuliah, di UI! Arsitektur, hehe.”
Jevano terkekeh, “Seru tapi puyeng dikit, lo kalo liat gue belajar pasti misuh terus deh. Apaan nih Jev? Apaan sih? Itu apaan? Pasti gitu.” katanya sambil memperagakan kebiasaan Jendral.
“Oh iya gue juga sekarang mulai main musik biar kayak lo, gue udah bisa main piano dan kadang ngisi di cafe? resto? Something like that lah,”
“Gue terusin jalan lo, gapapa ya?”
Jevano mengelus pelan nama Jendral, “You look great with that suit, semoga lo pake itu terus di atas sana.”
“Untuk seterusnya, terserah lo mau datang ke mimpi gue apa enggak. Tapi gue harap lo tetap datang, karna gue perlu pelukan itu sesekali. Okay?”
Jevano mengadahkan kepalanya, “Hujan, gua balik ya?”
“Oh satu lagi, gue sekarang kemana-mana bawa mobil sendirian, ke toko buku juga sendirian.”
“Gak tau ini bisa dibanggain apa enggak, tapi sedih, soalnya biasanya kan sama lo…”
Jevano tersenyum manis, “Udahlah, gue udah ikhlas, udah gak pengen sedih-sedih lagi kayak dulu, semoga bisa ya?”
Rintik hujan mulai turun, Jevano pun sedikit panik, “Kan, kan, hujan! Udah ah gue balik dulu, nanti kesini lagi.”
“Makasih udah dateng ke mimpi, makasih udah bilang kalau ini semua bukan salah gua.”
Ia tersenyum sekali lagi, “Kakak selalu kangen dan selalu sayang sama abang. Baik-baik disana ya, bang?”
Setelahnya ia beranjak dari makam bertuliskan nama Satria Jendral Bagaskara itu.
“Bang… Ganteng banget tau pake jas gini,” ucap Jevano pada Jendral.
Pada Jendral yang sekarang terbaring kaku di dalam peti. Pada Jendral yang sekarang tersenyum dan dibaluti jas di tubuhnya.
“Bang, kakak juga pake jas. Pertama kali akhirnya kita pake jas samaan! Bagus tau. Harusnya kita foto dulu. Tapi abang malah kayak gini pake jasnya.”
Lama ia diam sampai air mata pun menetes perlahan dari matanya,
“Bang, abis ini abang gak ada lagi ya di hidup kakak?” Ia sandarkan kepalanya di peti Jendral, “Terus habis ini hidup kakak gimana, bang?”
“Abang gak ngajarin caranya survive tanpa abang…” keluhnya.
“Sedih banget tau bang, ditinggal tanpa aba-aba kayak gini…”
Jevano menghela nafasnya, “Bang, maaf ya? Maaf ya waktu itu maksa. Kalo aja waktu itu gak maksa pergi dan nunda-nunda waktu kayaknya gak bakalan gini ya, bang?”
“Kayaknya sekarang kita lagi sibuk berantem di kamar ya bang? Kakak gak perlu liat abang disini kan?”
“Maaf ya bang… Maaf banget.. Semuanya gara-gara kakak… Kakak minta maaf… Kakak minta maaf udah ambil hidup abang, kakak—“ ucapannya terhenti karna air matanya semakin deras keluar.
Jevano kesal sekali. Jevano benci sekali dengan dirinya. Jevano benci sekali dengan dirinya yang manja. Jevano benci sekali dengan dirinya yang selalu memaksa Jendral.
Jevano benci sekali, karena dirinya, Jendral harus pergi meninggalkan dia. Jevano benci.
“Abang gak apa-apa kalo benci kakak, kakak juga benci banget sama diri sendiri.”
Jevano memegang telinganya, “Gak fair kakak cuma gak bisa denger sedangkan abang pergi jauh kayak gini.”
Entah perasaan sesak yang tiap hari terkumpul atau bagaimana, tiba-tiba saja Jevano berteriak kencang, “GAK ADIL!!!!!!!! GAK SEHARUSNYA ABANG PERGI, HARUSNYA KAKAK! KAKAK YANG MAKSA ABANG PERGI HARI ITU, BUKAN ABANG! ABANG UDAH NOLAK! KENAPA ABANG YANG PERGI BUKAN KAKAK AJA?!!!”
Orang-orang mulai mendekat, Mama dan Papa juga mendekat dan mendekap tubuhnya yang memberontak. Nathan, Hares dan Rendy yang ada di sebrang sana hanya bisa diam tak bersuara.
Sementara Jevano masih menangis di pelukan Mama, terus menyumpahi dirinya karna ini semua salah dirinya.
Dan apapun tak bisa merubah fakta itu.
Jevano mengerjapkan matanya beberapa kali, bau obat-obatan menusuk hidungnya. Matanya menatap ke arah langit-langit berwarna putih.
Jevano ingin bangkit namun rasanya berat sekali.
Telinganya juga pengang sekali, hanya suara dengungan yang ia dengar.
“Ma? Pa? Jen?”
Lalu kemudian dari posisinya, ia bisa melihat Mama dan Papa yang menghampirinya di sisi kanan.
“Ma?”
Jevano tahu, Jevano tahu Mama berbicara padanya, tapi kenapa semuanya seperti tak ada suara?
“Pa?”
Mama dan Papa terus berusaha berbicara namun tak ada satupun yang bisa Jevano dengar.
Jevano memegang telinganya, “Mama, Papa, Kakak gak bisa denger, gak bisa denger Mama Papa.”
“Kakak gak tau kalian ngomong apa…” kata Jevano lagi.
Mama dan Papa saling bertatapan, lalu Papa terlihat beranjak dari sana, sementara Mama mengelus pelan wajah Jevano. Jevano melihat sekitarnya, dimana Jendral?
“Ma, Jendral mana? Abang mana?”
Jevano memutar ingatannya, sebelum ia bangun disini dan sebelum kupingnya terasa pengang, apa yang terjadi?
Lalu otaknya menampilkan sebuah gambaran, ia ingat, ia ingat kalau ia dan Jendral berada di dalam mobil. Sebelum akhirnya Jendral menunduk dan mobil itu menabrak mobil dari arah berlawanan.
Jendral melindunginya, memeluk tubuhnya, namun sekarang, dimana Jendral?
“Ma, Abang?”
Percuma, perkataan Mama tak dapat didengar oleh Jevano. Lantas, apa yang harus Jevano lakukan sekarang?
“Mama, mau Jendral. Kakak mau abang, ma..” pinta Jevano, ekspresi Mama yang menjadi sendu membuat Jevano merasa curiga.
“Ma? Abang kenapa? Mama kenapa sedih? Ma jawab kakak!” teriaknya, lalu kemudian sang Papa datang memasuki ruangan bersama seorang dokter dan juga perawat.
Dokter itu melambaikan tangannya ke depan wajah Jevano, Jevano menoleh ke arah dokter tersebut.
Setelahnya dokter tersebut menuliskan sesuatu di sebuah kertas, “Sakit gak?”
“Pengang, gak denger apa-apa,” kata Jevano.
Dokter kemudian mengatakan sesuatu kepada Mama dan Papa, tak lama kemudian sang dokter dan perawat keluar dari ruangan itu.
“Pa, mau Abang! Atau aku cari sendiri?” ancam Jevano sambil berusaha menurunkan tubuhnya.
Mama menahan dirinya, lalu kemudian Papa pergi keluar dan kembali membawa sebuah kursi roda. Papa mengajaknya untuk turun dari kasur.
Jevano dibawa mengelilingi rumah sakit dengan kursi roda, perasaannya mulai tak enak. Namun ada secercah harapan kalau Jendral hanya beda ruangan saja dengan dirinya.
Dan benar saja, ia dan Jendral berada di beda ruangan.
Dirinya di kamar inap sementara Jendral berada di ruang ICU.
Mama dan Papa membawa Jevano masuk ke dalam ruang ICU yang hari itu tak ada orang di dalamnya selain Jendral.
Jendral yang terbaring dengan perban di kepala, lecet di wajah serta banyak selang di tubuhnya.
Papa keluar dari ruangan dan kembali dengan membawa secarik kertas serta pena, Papa menuliskan sesuatu disana.
“Abang udah 2 hari disini, cedera di kepalanya berat sekali karna posisi dia kemaren sangat riskan. Abang drop terus, jadi kakak tolong doain abang ya? Biar abang cepat bangun.”
Pecah tangis yang sudah Jevano tahan mati-matian saat masuk ke ruangan ini.
Sebuah situasi yang tak pernah terpikirkan oleh Jevano. Sebuah situasi yang tak pernah ada di benak Jevano.
“Abang bangun dong, temenin kakak, jangan kayak gini, ya, bang? Abang bisa bangun kan? Kakak nungguin…”
Tangis Mama dan Papa pun tak dapat ditahan. Karna pada dasarnya, Papa tidak menuliskan semuanya pada Jevano.
Dokter berkata kalau kemungkinan Jendral untuk bangun sangat kecil, hanya 10%, sekarang mereka hanya berharap pada keajaiban.
Papa dan Mama boleh putus asa saat mendengar vonis itu, tapi tidak dengan Jevano. Setidaknya harus ada satu orang lagi yang berharap untuk kesembuhan Jendral walau itu sangat kecil.
10 menit mereka berdiam diri di dalam ruang ICU tanpa penghuni itu, saat Mama dan Papa mengisyaratkan untuk keluar dari ICU.
Saat itu juga Jendral bereaksi.
Tubuhnya mengejang tiba-tiba. Membuat Mama dan Papa kalang kabut bukan main. Dokter dan perawat segera mendekat dan mempersilahkan semua untuk keluar. Jevano awalnya menolak, namun Mama dan Papa acuh tak acuh dengan permintaannya.
Air mata tak bisa berhenti mengalir dari matanya saat melihat dari kaca, tubuh kembarannya itu masih terus kejang tanpa henti. “Abang…” ucapnya dengan lirih.
Terlihat banyak perawat yang ikut masuk ke dalam ruang ICU, terlihat juga dokter membawa sebuah alat yang Jevano tahu betul apa fungsinya.
Jevano yang awalnya duduk di kursi roda segera bangkit dan mendekat ke arah kaca, “Enggak! Enggak boleh, kenapa alat itu harus dipake? Abang kan gak kenapa-kenapa!” teriaknya.
Papa mendekat, memeluk tubuhnya lalu mengelus pelan pundaknya.
“Enggak, stop kayak gini Pa. Abang baik-baik aja!”
Jevano memukul pelan telinganya, ia ingin mendengar sekitarnya saat ini. Jevano ingin mendengar tentang kondisi Jendral. Mengapa semuanya jadi begini?
Tiba-tiba Jendral yang mengejang pun berhenti. Dokter mundur, tirai ditutup. Tak lama kemudian pintu ICU pun terbuka lebar.
Papa mendekat ke arah dokter begitu juga dengan Mama.
Jevano memang tidak bisa mendengar apapun saat ini, tapi Jevano bisa mengetahui apa yang terjadi tatkala ekspresi Papa berubah dan Mama terjatuh dan menangis di atas lantai rumah sakit.
Pada saat itulah Jevano tahu kalau dokter membawa berita buruk tentang kembarannya. Dan pada saat itu juga, Jevano menerobos untuk masuk dan membuka tirai yang menutupi kasur Jendral.
“Kenapa alatnya gak dipasang lagi? Gimana caranya dia mau nafas nanti?!” teriak Jevano pada beberapa suster disana. Suster-suster itu pun mundur membiarkan Jevano mendekat ke arah kasur.
Jevano berdiri di sebelah kasur Jendral, “Bang, abang?”
Lalu kemudian ia menoleh ke arah suster yang ada disana, dan berjalan ke arah mereka, “Suster tolong banget, alatnya dipasang lagi. Nanti gimana dia mau nafas suster? Gimana obat-obatannya masuk kalo mau di lepas suster?”
Suster itu menjawab ucapan Jevano, namun lagi-lagi Jevano tak dapat mendengar apa maksudnya.
“Sus ayo sus, kasihan sus ini udah lama banget, dia nafasnya susah nanti. Tolong sus…” kata Jevano yang akhirnya terduduk di depan suster.
Ia tahu usahanya sia-sia, ia juga sebenarnya tahu kalau Jendral sudah pergi meninggalkannya.
Kemudian ia kembali bangkit dan mendekat ke arah Jendral, “Jen lo jahat! Jahat banget, lo kenapa ninggalin gue? Lo kenapa kayak gini Jen?”
“Jen nanti gue pergi sama siapa? Gue kemana-mana sama siap?”
Ia menenggelamkan wajahnya sambil memegang tubuh Jendral, “Nanti temennya kakak, siapa, bang?”
“Nanti yang nurutin maunya kakak, siapa, bang?”
Jevano menarik sprei kasur Jendral, “Nanti yang sama kakak, siapa bang?! Seenggaknya abang jawab dulu baru boleh pergi! Kalo kayak gini kan gak ada jawabannya, kakak mau sama siapa nanti, bang?”
Tangisnya pecah, suster-suster yang melihat kejadian itu hanya bisa diam sambil menyeka air mata.
“Kakak lagi gak bisa denger apapun, kakak takut gak bisa denger apa-apa lagi setelah ini! Nanti kalo gak bisa denger apa-apa, siapa yang mau ngertiiin kakak, bang?”
“Abang ayo bangun, kakak masih mau sama abang!”
Percuma, sekeras apapun ia meminta, sekeras apapun ia berteriak, Jendral tetap terbaring kaku disana. Tak bisa menjawab ataupun bergerak memeluk Jevano.
Tak lama kemudian Papa mendekat ke arah Jevano, memeluk tubuhnya kencang. Kencang sekali sampai rasanya sesak.
“Pa, abang, abang pa…”
“Pa… Abangnya kakak…”
“Pa… Kembaran kakak….”
“Pa dia pergi pa, nanti kakak sama siapa?”
Jevano meraung di pelukan Papa, “Kakak gak bisa sendirian, kakak gak bisa apapun kalo gak ada abang, Pa. Pa gimana ini, Pa?“
Papa menggeleng pelan, karna pada dasarnya ia juga tak tahu harus bagaimana dan harus apa.
“Pa, kalo gak ada abang, kakak sama siapa?”
cw // tw // car crash
“Lo tadi nyuruh gue buru-buru? dan sekarang belum siap kayak gini?“ kata Jendral saat sudah sampai di rumah, menemukan sosok Jevano sedang berbaring santai di ruang televisi.
“Iya sebentar, tunggu sebentar lagi, tanggung,” jawab Jevano sambil menunjuk ke arah televisi.
Jendral mendecak sebal, pasalnya ia rela meninggalkan tongkrongannya karna Jevano yang memaksa minta ditemani. Ia pikir sesampainya di rumah mereka akan segera pergi, namun ternyata tidak.
“Gue balik ke rumah Nathan aja ya?”
“Ya jangan dong, Jen!?”
“Ya makanya cepet. diluar mendung, gue gak mau bawa mobil.”
Kepala Jevano menoleh cepat ke arah Jendral, “Kok gitu? Gue gak mau naik motor, Jen.”
“Lo pergi sendiri ajalah, Jev. Jangan sama gue.”
Melihat wajah Jevano yang tiba-tiba menjadi murung, Jendral pun dengan cepat meralat ucapannya, “Bercanda gue, yaudah buruan. Sekarang atau gak sama sekali.”
Perkataan Jendral membuat Jevano dengan segera bangkit dan berlari ke kamarnya, segera berganti baju, sebelum saudara kembarnya itu berubah pikiran dan benar-benar tak mau menemaninya pergi.
Baru saja keluar dari gerbang perumahan, hujan pun turun dengan derasnya. Membuat Jendral sedikit mendecak sebal,
“Kan apa gue bilang, hujan kan?”
Jevano memutar bola matanya, “Yaudah sih, kan naik mobil juga.”
“Abis di cuci nih, makanya gue males. Lagian lo mau beli apaan sih di Gramed? Gak bisa di gojekin gitu?”
Jevano menggeleng, “Enggak, buku biologi, edisi terbaru. Disuruh sama ibu Ina buat olimpiade.”
“Ibu Ina nih gak mau jadi donatur ya? Nyuruh beli buku mulu tapi gak ngasih duit.” Pundak Jendral dipukul pelan oleh Jevano.
“Ya gak gitu konsepnya! Kan ini buku rekomendasi buat belajar!”
Jendral menggelengkan kepalanya, “Ya ya terserah anak olimpiade dan urusannya lah.”
Setelahnya mereka sampai di tempat tujuan. Jendral memutuskan untuk tidak ikut turun, awalnya ada sedikit perdebatan dari Jevano. Namun Jendral tetap pada pendiriannya, karna kalau ia ikut turun, Jevano pasti akan lama sekali mengelilingi toko buku ini.
Dan benar saja, tak sampai 20 menit, Jevano sudah kembali lagi ke dalam mobil dengan membawa sebuah kantong belanja.
“Tumben cepet?” tanya Jendral begitu Jevano sudah duduk di kursinya.
“Gak seru aja gitu gak ada yang nungguin, boring!” Lalu tubuhnya menghadap ke arah Jendral, “Lo mau gak turun sekarang? Temenin gue keliling?”
Dengan cepat Jendral segera melajukan mobilnya, tidak memberi jawaban lewat kalimat namun langsung bukti di hadapan Jevano.
“Nyebelin banget setan!” seru Jevano. Sementara Jendral terkekeh pelan.
“Lo sering-sering bawa mobil deh. Nanti lama-lama lo lupa gimana caranya bawa mobil. Gimana mau pergi sendiri?” ucap Jendral secara tiba-tiba. Membuat Jevano menaikkan sebelah alisnya.
“Dih apaan sih ngomongnya? Kan ada lo. Ngapain juga gue harus sendirian, kan lo selalu nemenin gue.”
Jendral tersenyum tipis, “Gue kan cuma bilang aja. Lo harus bisa gerak sendiri, Jev. Gue gak mungkin selamanya sama lo, kan?”
Tak ada suara dari Jevano. Bahkan setelah 10 menit berlalu tetap tak ada pembicaraan. Suasana terlalu awkward bagi mereka berdua.
Beberapa saat kemudian, Jendral memberhentikan mobilnya di depan sebuah minimarket, sebelum turun ia menoleh ke arah Jevano, “Mau apa?”
“Jangan ikut turun, hujan masih deres.” Lanjutnya lagi.
“Apa aja.” jawab Jevano. Sejujurnya ia masih kesal dengan ucapan Jendral tadi.
Setelahnya Jendral turun dan tak sampai 10 menit kemudian ia kembali masuk ke mobil.
“Es krim.” kata Jendral sambil memberi es krim ke Jevano.
“Kok?” tanya Jevano bingung.
“Lo lagi ngambek, jadi kuncinya cuma ini. Dikit aja, sisanya simpen di rumah.”
“Makasih…”
Jendral mengangguk pelan, lalu segera melakukan mobilnya. Jalanan sedikit sepi dan semakin susah dilihat karena derasnya hujan.
Jevano kemudian membuka es krim yang diberikan oleh Jendral, baru mau menyendokkan es krimnya, mobil bergoyang dan sendoknya terjatuh di dekat kaki Jendral,
“Jen itu sendoknya jatoh di kaki lo.” adu Jevano.
Membuat Jendral menunduk dan melihat dimana sendok itu berada, lalu kemudian ia menunduk untuk mengambil sendok tersebut.
Layaknya hujan yang datang tanpa aba-aba.
Mobil dari arah berlawanan juga datang tanpa aba-aba.
Jendral tak menyadari kalau setirnya terlalu ke kanan saat itu. Yang membuat mobilnya keluar jalur.
“Jendral!” teriak Jevano.
Jendral mengangkat kepalanya, menyadari situasi yang akan terjadi, ia segera memindahkan kedua tangannya, menutupi tubuh Jevano, “JEVANO NUNDUK!”
Dan tabrakan itu tak dapat di hindari.
Mobil terbalik beberapa kali, di dalam sana, ada seseorang yang berusaha bertahan dan ada seseorang yang berusaha melindungi.
Semuanya terjadi begitu cepat sebelum dunia terasa gelap.
cw // tw // car crash
“Lo tadi nyuruh gue buru-buru? dan sekarang belum siap kayak gini?“ kata Jendral saat sudah sampai di rumah, menemukan sosok Jevano sedang berbaring santai di ruang televisi.
“Iya sebentar, tunggu sebentar lagi, tanggung,” jawab Jevano sambil menunjuk ke arah televisi.
Jendral mendecak sebal, pasalnya ia rela meninggalkan tongkrongannya karna Jevano yang memaksa minta ditemani. Ia pikir sesampainya di rumah mereka akan segera pergi, namun ternyata tidak.
“Gue balik ke rumah Nathan aja ya?”
“Ya jangan dong, Jen!?”
“Ya makanya cepet. diluar mendung, gue gak mau bawa mobil.”
Kepala Jevano menoleh cepat ke arah Jendral, “Kok gitu? Gue gak mau naik motor, Jen.”
“Lo pergi sendiri ajalah, Jev. Jangan sama gue.”
Melihat wajah Jevano yang tiba-tiba menjadi murung, Jendral pun dengan cepat meralat ucapannya, “Bercanda gue, yaudah buruan. Sekarang atau gak sama sekali.”
Perkataan Jendral membuat Jevano dengan segera bangkit dan berlari ke kamarnya, segera berganti baju, sebelum saudara kembarnya itu berubah pikiran dan benar-benar tak mau menemaninya pergi.
Baru saja keluar dari gerbang perumahan, hujan pun turun dengan derasnya. Membuat Jendral sedikit mendecak sebal,
“Kan apa gue bilang, hujan kan?”
Jevano memutar bola matanya, “Yaudah sih, kan naik mobil juga.”
“Abis di cuci nih, makanya gue males. Lagian lo mau beli apaan sih di Gramed? Gak bisa di gojekin gitu?”
Jevano menggeleng, “Enggak, buku biologi, edisi terbaru. Disuruh sama ibu Ina buat olimpiade.”
“Ibu Ina nih gak mau jadi donatur ya? Nyuruh beli buku mulu tapi gak ngasih duit.” Pundak Jendral dipukul pelan oleh Jevano.
“Ya gak gitu konsepnya! Kan ini buku rekomendasi buat belajar!”
Jendral menggelengkan kepalanya, “Ya ya terserah anak olimpiade dan urusannya lah.”
Setelahnya mereka sampai di tempat tujuan. Jendral memutuskan untuk tidak ikut turun, awalnya ada sedikit perdebatan dari Jevano. Namun Jendral tetap pada pendiriannya, karna kalau ia ikut turun, Jevano pasti akan lama sekali mengelilingi toko buku ini.
Dan benar saja, tak sampai 20 menit, Jevano sudah kembali lagi ke dalam mobil dengan membawa sebuah kantong belanja.
“Tumben cepet?” tanya Jendral begitu Jevano sudah duduk di kursinya.
“Gak seru aja gitu gak ada yang nungguin, boring!” Lalu tubuhnya menghadap ke arah Jendral, “Lo mau gak turun sekarang? Temenin gue keliling?”
Dengan cepat Jendral segera melajukan mobilnya, tidak memberi jawaban lewat kalimat namun langsung bukti di hadapan Jevano.
“Nyebelin banget setan!” seru Jevano. Sementara Jendral terkekeh pelan.
“Lo sering-sering bawa mobil deh. Nanti lama-lama lo lupa gimana caranya bawa mobil. Gimana mau pergi sendiri?” ucap Jendral secara tiba-tiba. Membuat Jevano menaikkan sebelah alisnya.
“Dih apaan sih ngomongnya? Kan ada lo. Ngapain juga gue harus sendirian, kan lo selalu nemenin gue.”
Jendral tersenyum tipis, “Gue kan cuma bilang aja. Lo harus bisa gerak sendiri, Jev. Gue gak mungkin selamanya sama lo, kan?”
Tak ada suara dari Jevano. Bahkan setelah 10 menit berlalu tetap tak ada pembicaraan. Suasana terlalu awkward bagi mereka berdua.
Beberapa saat kemudian, Jendral memberhentikan mobilnya di depan sebuah minimarket, sebelum turun ia menoleh ke arah Jevano, “Mau apa?”
“Jangan ikut turun, hujan masih deres.” Lanjutnya lagi.
“Apa aja.” jawab Jevano. Sejujurnya ia masih kesal dengan ucapan Jendral tadi.
Setelahnya Jendral turun dan tak sampai 10 menit kemudian ia kembali masuk ke mobil.
“Es krim.” kata Jendral sambil memberi es krim ke Jevano.
“Kok?” tanya Jevano bingung.
“Lo lagi ngambek, jadi kuncinya cuma ini. Dikit aja, sisanya simpen di rumah.”
“Makasih…”
Jendral mengangguk pelan, lalu segera melakukan mobilnya. Jalanan sedikit sepi dan semakin susah dilihat karena derasnya hujan.
Jevano kemudian membuka es krim yang diberikan oleh Jendral, baru mau menyendokkan es krimnya, mobil bergoyang dan sendoknya terjatuh di dekat kaki Jendral,
“Jen itu sendoknya jatoh di kaki lo.” adu Jevano.
Membuat Jendral menunduk dan melihat dimana sendok itu berada, lalu kemudian ia menunduk untuk mengambil sendok tersebut.
Layaknya hujan yang datang tanpa aba-aba.
Mobil dari arah berlawanan juga datang tanpa aba-aba.
Jendral tak menyadari kalau setirnya terlalu ke kanan saat itu. Yang membuat mobilnya keluar jalur.
“Jendral!” teriak Jevano.
Jendral mengangkat kepalanya, menyadari situasi yang akan terjadi, ia segera memindahkan kedua tangannya, menutupi tubuh Jevano, “JEVANO NUNDUK!”
Dan tabrakan itu tak dapat di hindari.
Mobil terbalik beberapa kali, di dalam sana, ada seseorang yang berusaha bertahan dan ada seseorang yang berusaha melindungi.
Semuanya terjadi begitu cepat sebelum dunia terasa gelap.