.Epilogue: Bagian 2

-

Sabtu ini masih sama seperti Sabtu-Sabtu biasanya; Denala menghabiskan waktu di apartemen Jenovan karena rumahnya dimonopoli oleh pasangan lainnya, Dandi dan Sarah.

mereka duduk saling bersandar di sofa ruang tengah Jenovan sambil memutar salah satu film Marvel di televisi.

akan tetapi, Denala lebih berfokus pada genggaman Jenovan di jemarinya dibanding film aksi yang terus berputar itu.

“kenapa, Nal? ada yang salah sama tangan aku?” tanya Jenovan saat menyadari gadisnya begitu fokus melihat genggamannya.

“kamu pernah capek gak, Jen? capek sama aku?” tanya Denala yang mulai menyetarakan netranya dengan Jenovan.

“enggak, Nal. aku akuin emang susah banget, apa lagi waktu bulan-bulan pertama. tapi aku gak capek”

“makasih, Jen” ucap Denala sambil memberikan kecupan singkat di pipi kiri Jenovan.

Jenovan hanya tersenyum sembari melingkarkan tangannya di tubuh Denala, menarik gadis itu kedalam pelukannya dan mengecup puncak kepalanya.

“aku sayang kamu, Nal”

“aku juga sayang Jenovan”

setelahnya, tidak ada kata yang tertukar diantara mereka karena pikiran mereka sama-sama memutar kembali memori satu setengah tahun yang lalu.

***

(FLASH BACK; ON)

hampir tiga minggu setelah operasi berhasil, Denala akhirnya diizinkan untuk pulang kerumah.

namun, sama seperti hari sebelumnya, gadis itu hanya mengangguk tanpa menunjukkan rasa senang sedikit pun. ia seperti mayat hidup; masih menyalahkan dirinya sendiri atas kepergian Mahardika.

sesampainya dirumah, Denala langsung mengurung dirinya di kamar dan tidak membiarkan siapapun masuk kedalam. ia jarang sekali makan, dan hampir setiap malam suara tangisan terdengar dari kamarnya.

this lasted for three days straight.

dan selama tiga hari itu juga, Jenovan menginap dirumah Denala untuk menjaga gadis itu karena Dandi harus bekerja. perkara kuliah, orang tua Jenovan sudah berbicara dengan pihak kampus dan meminta keringanan absensi karena putra semata wayangnya itu harus menjaga Denala yang juga mendapatkan dispensasi.

kegiatan Jenovan setiap harinya selalu sama; membuat sarapan untuk dirinya, Dandi dan Denala, mengerjakan tugas kuliah didepan pintu kamar Denala supaya kalau sewaktu-waktu gadis itu membuka pintu Jenovan menjadi yang pertama yang dilihatnya, membuat makan siang untuk Denala yang selalu diletakkan didepan pintu kamarnya, makan malam bersama Dandi, kembali duduk didepan pintu kamar Denala sambil sesekali bercerita, kemudian tidur di kamar tamu yang berada tepat disebelah kamar Denala.

lalu akhirnya, di hari keempat setelah kepulangannya, Denala membuka pintu kamarnya dan melihat Jenovan yang duduk disitu. ia pun menghamburkan dirinya kedalam pelukan Jenovan yang langsung berdiri saat pintu kamar gadisnya terbuka.

Denala tidak mengatakkan apa-apa. ia hanya menangis di pelukan Jenovan.

Jenovan juga mengerti bahwa gadisnya sedang berduka. maka alih-alih mengucapkan rangkaian kata-kata penyemangat, Jenovan hanya mendekap gadisnya semakin erat sambil mengelus punggungnya.

“Jen..” bisik Denala disela isakkannya.

“kenapa semua orang yang deket sama gua pergi, sih? Mama sama Papa pergi karena gua, sekarang Dika juga pergi karena gua. abis ini siapa? Dandi? lo? atau siapa?” tanyanya.

“Nal, semua berjalan sesuai takdirnya. jangan tangisin sesuatu yang ada diluar kendali lo, Nal. dan enggak, gua sama Dandi gak akan kemana-mana. Manda sama Jef juga gak kemana-mana”

“gua mohon, jangan tinggalin gua juga ya, Jen?”

“i promise, Nal. you have my words”

dan malam itu, Denala meminta Jenovan untuk menemaninya tidur. ia masih merasa takut akan ditinggalkan, maka dari itu ia meminta Jenovan untuk memeluknya selama ia tidur supaya setidaknya, ia bisa meyakinkan dirinya sendiri kalau Jenovan ada disampingnya. kalau Jenovannya nyata.

***

Jenovan pun akhirnya memutuskan untuk pindah kerumah Denala selama gadisnya menjalani masa pemulihan. hal ini disambut baik oleh Dandi yang merasa bersyukur atas bantuan dan kesediaan Jenovan untuk membantunya menjaga sang adik.

kedua orang tua Jenovan juga menyetujui hal ini karena mereka tau betapa putranya menyayangi Denala. tidak jarang, kedua orang tua Jenovan mengirimkan makanan atau barang-barang lainnya yang sekiranya diperlukan oleh mereka bertiga.

selama masa pemulihan itu juga, Denala seringkali terbangun sambil menangis di malam hari. ia kembali dihantui mimpi buruk, hanya saja kali ini Mahardika yang ada di mimpinya.

satu bulan..

dua bulan...

empat bulan lamanya Denala sering terbangun dan empat bulan itu juga selalu ada Jenovan yang memeluk gadisnya tiap kali ia menangis.

sampai akhirnya, di satu malam, Denala terbangun dari mimpinya dan menangis. tangisannya berbeda; ia tidak menjerit atau memanggil nama Mahardika, ia tidak juga terengah seperti habis lari puluhan kilometer.

malam itu, Denala menangis dalam diam tetapi Jenovan tetap bangun dari tidurnya dan menariknya kedalam pelukan.

“Jen.. gua mimpiin Dika lagi” ucap Denala pelan.

“tapi tadi Dika beda banget. dia kayak sehat-sehat aja, dia baik-baik aja. dia senyum ke gua, Jen” lanjutnya.

Jenovan dengan setia mendengarkan cerita Denala sambil terus mengusap rambut gadisnya yang semakin panjang.

“dia bilang sama gua kalo dia pergi itu bukan salah gua. dia bilang dia sedih liat gua begini terus.. dia gak mau gua sedih-sedih lagi karena sama aja kayak gua sia-siain kepergian dia”

Denala menghela nafas sebelum melanjutkan, “Dika pengen gua bahagia lagi, Jen” lanjutnya sambil menatap kedua netra Jenovan.

“Jen, bantu gua untuk bahagia lagi. mau kan?” tanya Denala penuh harap.

Jenovan mengeratkan pelukannya dan mengecup kening gadisnya, “mau, Nal. ayo bahagia lagi” jawabnya.

Denala pun perlahan kembali tertidur dipelukan Jenovan. sedangkan laki-laki itu terus menatap langit-langit kamar Denala.

'thank you, Mark. gua bakal jagain Denala. gua janji sama lo, gua akan bantu Denala buat bangkit dan bikin dia bahagia lagi', batinnya sebelum ikut tertidur.

(FLASH BACK; OFF)

***

janji Jenovan malam itu lagi-lagi berhasil ia buktikan. ia terus berada disamping Denala dan berusaha membantu gadisnya untuk kembali bahagia.

dan disinilah mereka sekarang; saling mendekap satu sama lain, saling berbagi tawa, bahkan Denala sudah bisa datang ke makam Mahardika tanpa menangis dan justru berbagi cerita yang diiringi candaan.

perjalanan mereka memang tidak mudah. namun, mereka berhasil membuktikan bahwa perasaan mereka akan satu sama lain masih jauh lebih kuat dibanding tantangan-tantangan yang mereka hadapi.

memikirkan hal itu, Jenovan mengecup lagi puncak kepala Denala dan mendapat sebuah senyuman sebagai balasan.

“Jen, ke pantai yuk?” ajak Denala tiba-tiba.

“sekarang banget?”

“iya!! pengen liat sunset hehehe”

Jenovan mengecup singkat bibir Denala sebelum bangkit dari sofa dan mengulurkan tangannya pada Denala, “yuk!”