shiningnatt

451km . . .

451km; jarak yang memisahkan Natt dan Danen saat ini.

Bisa dibilang bahwa ini adalah jarak terjauh mereka dari satu sama lain sejak keduanya saling mengenal semasa SMA. Tapi ajaibnya, pertemanan mereka sepertinya semakin erat setiap harinya.

Kebiasaan mereka untuk jalan-jalan impulsif digantikan dengan saling bertukar jepretan tempat yang mereka kunjungi masing-masing. Kebiasaan Danen merusuh di rumah Natt digantikan dengan banyak malam yang mereka habiskan sambil bertukar cerita di video call.

Atau kebiasaan Danen membelikan Natt rokok digantikan oleh banyak panggilan driver ojol yang tiba-tiba membawakan makanan lengkap dengan sebungkus rokok di depan kosan Natt. Juga ajakan-ajakan impulsif Natt untuk hunting foto digantikan oleh beberapa kali sesi virtual photoshoot bersama Danen melalui Zoom Meeting.

Ajaibnya, keduanya berhasil menemukan cara untuk tetap melakukan kebiasaan-kebiasaan mereka.

Dan sepertinya, sebentar lagi keduanya akan kembali dipertemukan. Dipertemukan tanpa jarak 451km diantara mereka.

About Natt and Danen . . .

“Nen, kenapa deh lo sekarang kalo manggil gua Cil?” tanya Natt waktu keduanya mulai duduk di bangku kelas 11.

Anggep aja panggilan sayang” jawab Danen sambil sibuk mengunyah es cendol yang dia beli didepan rumah Natt.

“Anjir aneh banget? Lagian dari mana coba lo main Cal Cil Cal Cil aja?”

“Kan nama lo Ashiela, kalo dipanggil jadi Shiel, terus gua persingkat aja jadi Cil”

Natt yang mendengar alasan Danen hanya bisa tertawa dan disambut pula oleh tawaan Danen sebagai balasan.

“Ya udah, kalo gitu gua panggil lo Danyet. Soalnya kadang kelakuan lo kayak monyet”

Keduanya kembali tertawa sebelum kembali fokus pada es cendol di tangan mereka masing-masing.

Dan sejak saat itu, keduanya kerap menyapa satu sama lain dengan panggilan tersebut; Cil dan Danyet.

***

Tidak ada yang terlalu spesial dari hubungan Natt dan Danen.

Mereka hanyalah dua remaja yang mengisi masa putih abu-abu satu sama lain.

Jika ditanya, kapan mereka mulai jadi sedekat sekarang, keduanya hanya akan menjawab dengan mengangkat bahu atau gelengan kepala; karena kedekatan mereka terjadi begitu saja tanpa tau pasti apa penyebabnya.

Bisa jadi karena mereka sama-sama mengikuti ekstrakulikuler band di SMA? Atau mungkin karena keduanya sama-sama berdarah Sunda? Atau karena keduanya memiliki hobi fotografi yang sama? Bisa juga karena keduanya sama-sama memiliki banyak waktu luang dan bisa diajak nongkrong setiap saat?

Namun yang pasti, Natt dan Danen hanyalah dua remaja yang terikat hubungan persahabatan.

Persahabatan mereka diisi oleh banyak jalan-jalan impulsif, apalagi saat Danen sudah diizinkan oleh orang tuanya untuk pergi mengendarai mobil sendiri. Persahabatan mereka juga diisi oleh banyak kunjungan Danen kerumah Natt untuk sekedar merokok bersama sambil berkeluh kesah tentang banyak hal. Tidak jarang juga persahabatan mereka diisi oleh kegiatan makan bersama dengan orang tua satu sama lain, karena memang mereka sedekat itu.

Walau tidak jarang orang-orang disekitar mereka mempertanyakan apa sebenarnya hubungan mereka, baik Natt maupun Danen akan menjawab “lah kita mah best friend, ya gak?”.

Jadi, yup, keduanya hanyalah sepasang sahabat yang saling mengisi waktu luang satu sama lain. Tidak lebih, dan tidak kurang.

Setidaknya, untuk saat ini.

About Natt and Danen . . . “Nen, kenapa deh lo sekarang kalo manggil gua Cil?” tanya Natt waktu keduanya mulai duduk di bangku kelas 11.

Anggep aja panggilan sayang” jawab Danen sambil sibuk mengunyah es cendol yang dia beli didepan rumah Natt.

“Anjir aneh banget? Lagian dari mana coba lo main Cal Cil Cal Cil aja?”

“Kan nama lo Ashiela, kalo dipanggil jadi Shiel, terus gua persingkat aja jadi Cil”

Natt yang mendengar alasan Danen hanya bisa tertawa dan disambut pula oleh tawaan Danen sebagai balasan.

“Ya udah, kalo gitu gua panggil lo Danyet. Soalnya kadang kelakuan lo kayak monyet”

Keduanya kembali tertawa sebelum kembali fokus pada es cendol di tangan mereka masing-masing.

Dan sejak saat itu, keduanya kerap menyapa satu sama lain dengan panggilan tersebut; Cil dan Danyet.

***

Tidak ada yang terlalu spesial dari hubungan Natt dan Danen.

Mereka hanyalah dua remaja yang mengisi masa putih abu-abu satu sama lain.

Jika ditanya, kapan mereka mulai jadi sedekat sekarang, keduanya hanya akan menjawab dengan mengangkat bahu atau gelengan kepala; karena kedekatan mereka terjadi begitu saja tanpa tau pasti apa penyebabnya.

Bisa jadi karena mereka sama-sama mengikuti ekstrakulikuler band di SMA? Atau mungkin karena keduanya sama-sama berdarah Sunda? Atau karena keduanya memiliki hobi fotografi yang sama? Bisa juga karena keduanya sama-sama memiliki banyak waktu luang dan bisa diajak nongkrong setiap saat?

Namun yang pasti, Natt dan Danen hanyalah dua remaja yang terikat hubungan persahabatan.

Persahabatan mereka diisi oleh banyak jalan-jalan impulsif, apalagi saat Danen sudah diizinkan oleh orang tuanya untuk pergi mengendarai mobil sendiri. Persahabatan mereka juga diisi oleh banyak kunjungan Danen kerumah Natt untuk sekedar merokok bersama sambil berkeluh kesah tentang banyak hal. Tidak jarang juga persahabatan mereka diisi oleh kegiatan makan bersama dengan orang tua satu sama lain, karena memang mereka sedekat itu.

Walau tidak jarang orang-orang disekitar mereka mempertanyakan apa sebenarnya hubungan mereka, baik Natt maupun Danen akan menjawab “lah kita mah best friend, ya gak?”.

Jadi, yup, keduanya hanyalah sepasang sahabat yang saling mengisi waktu luang satu sama lain. Tidak lebih, dan tidak kurang.

Setidaknya, untuk saat ini.

.Epilogue: Bagian 2

-

Sabtu ini masih sama seperti Sabtu-Sabtu biasanya; Denala menghabiskan waktu di apartemen Jenovan karena rumahnya dimonopoli oleh pasangan lainnya, Dandi dan Sarah.

mereka duduk saling bersandar di sofa ruang tengah Jenovan sambil memutar salah satu film Marvel di televisi.

akan tetapi, Denala lebih berfokus pada genggaman Jenovan di jemarinya dibanding film aksi yang terus berputar itu.

“kenapa, Nal? ada yang salah sama tangan aku?” tanya Jenovan saat menyadari gadisnya begitu fokus melihat genggamannya.

“kamu pernah capek gak, Jen? capek sama aku?” tanya Denala yang mulai menyetarakan netranya dengan Jenovan.

“enggak, Nal. aku akuin emang susah banget, apa lagi waktu bulan-bulan pertama. tapi aku gak capek”

“makasih, Jen” ucap Denala sambil memberikan kecupan singkat di pipi kiri Jenovan.

Jenovan hanya tersenyum sembari melingkarkan tangannya di tubuh Denala, menarik gadis itu kedalam pelukannya dan mengecup puncak kepalanya.

“aku sayang kamu, Nal”

“aku juga sayang Jenovan”

setelahnya, tidak ada kata yang tertukar diantara mereka karena pikiran mereka sama-sama memutar kembali memori satu setengah tahun yang lalu.

***

(FLASH BACK; ON)

hampir tiga minggu setelah operasi berhasil, Denala akhirnya diizinkan untuk pulang kerumah.

namun, sama seperti hari sebelumnya, gadis itu hanya mengangguk tanpa menunjukkan rasa senang sedikit pun. ia seperti mayat hidup; masih menyalahkan dirinya sendiri atas kepergian Mahardika.

sesampainya dirumah, Denala langsung mengurung dirinya di kamar dan tidak membiarkan siapapun masuk kedalam. ia jarang sekali makan, dan hampir setiap malam suara tangisan terdengar dari kamarnya.

this lasted for three days straight.

dan selama tiga hari itu juga, Jenovan menginap dirumah Denala untuk menjaga gadis itu karena Dandi harus bekerja. perkara kuliah, orang tua Jenovan sudah berbicara dengan pihak kampus dan meminta keringanan absensi karena putra semata wayangnya itu harus menjaga Denala yang juga mendapatkan dispensasi.

kegiatan Jenovan setiap harinya selalu sama; membuat sarapan untuk dirinya, Dandi dan Denala, mengerjakan tugas kuliah didepan pintu kamar Denala supaya kalau sewaktu-waktu gadis itu membuka pintu Jenovan menjadi yang pertama yang dilihatnya, membuat makan siang untuk Denala yang selalu diletakkan didepan pintu kamarnya, makan malam bersama Dandi, kembali duduk didepan pintu kamar Denala sambil sesekali bercerita, kemudian tidur di kamar tamu yang berada tepat disebelah kamar Denala.

lalu akhirnya, di hari keempat setelah kepulangannya, Denala membuka pintu kamarnya dan melihat Jenovan yang duduk disitu. ia pun menghamburkan dirinya kedalam pelukan Jenovan yang langsung berdiri saat pintu kamar gadisnya terbuka.

Denala tidak mengatakkan apa-apa. ia hanya menangis di pelukan Jenovan.

Jenovan juga mengerti bahwa gadisnya sedang berduka. maka alih-alih mengucapkan rangkaian kata-kata penyemangat, Jenovan hanya mendekap gadisnya semakin erat sambil mengelus punggungnya.

“Jen..” bisik Denala disela isakkannya.

“kenapa semua orang yang deket sama gua pergi, sih? Mama sama Papa pergi karena gua, sekarang Dika juga pergi karena gua. abis ini siapa? Dandi? lo? atau siapa?” tanyanya.

“Nal, semua berjalan sesuai takdirnya. jangan tangisin sesuatu yang ada diluar kendali lo, Nal. dan enggak, gua sama Dandi gak akan kemana-mana. Manda sama Jef juga gak kemana-mana”

“gua mohon, jangan tinggalin gua juga ya, Jen?”

“i promise, Nal. you have my words”

dan malam itu, Denala meminta Jenovan untuk menemaninya tidur. ia masih merasa takut akan ditinggalkan, maka dari itu ia meminta Jenovan untuk memeluknya selama ia tidur supaya setidaknya, ia bisa meyakinkan dirinya sendiri kalau Jenovan ada disampingnya. kalau Jenovannya nyata.

***

Jenovan pun akhirnya memutuskan untuk pindah kerumah Denala selama gadisnya menjalani masa pemulihan. hal ini disambut baik oleh Dandi yang merasa bersyukur atas bantuan dan kesediaan Jenovan untuk membantunya menjaga sang adik.

kedua orang tua Jenovan juga menyetujui hal ini karena mereka tau betapa putranya menyayangi Denala. tidak jarang, kedua orang tua Jenovan mengirimkan makanan atau barang-barang lainnya yang sekiranya diperlukan oleh mereka bertiga.

selama masa pemulihan itu juga, Denala seringkali terbangun sambil menangis di malam hari. ia kembali dihantui mimpi buruk, hanya saja kali ini Mahardika yang ada di mimpinya.

satu bulan..

dua bulan...

empat bulan lamanya Denala sering terbangun dan empat bulan itu juga selalu ada Jenovan yang memeluk gadisnya tiap kali ia menangis.

sampai akhirnya, di satu malam, Denala terbangun dari mimpinya dan menangis. tangisannya berbeda; ia tidak menjerit atau memanggil nama Mahardika, ia tidak juga terengah seperti habis lari puluhan kilometer.

malam itu, Denala menangis dalam diam tetapi Jenovan tetap bangun dari tidurnya dan menariknya kedalam pelukan.

“Jen.. gua mimpiin Dika lagi” ucap Denala pelan.

“tapi tadi Dika beda banget. dia kayak sehat-sehat aja, dia baik-baik aja. dia senyum ke gua, Jen” lanjutnya.

Jenovan dengan setia mendengarkan cerita Denala sambil terus mengusap rambut gadisnya yang semakin panjang.

“dia bilang sama gua kalo dia pergi itu bukan salah gua. dia bilang dia sedih liat gua begini terus.. dia gak mau gua sedih-sedih lagi karena sama aja kayak gua sia-siain kepergian dia”

Denala menghela nafas sebelum melanjutkan, “Dika pengen gua bahagia lagi, Jen” lanjutnya sambil menatap kedua netra Jenovan.

“Jen, bantu gua untuk bahagia lagi. mau kan?” tanya Denala penuh harap.

Jenovan mengeratkan pelukannya dan mengecup kening gadisnya, “mau, Nal. ayo bahagia lagi” jawabnya.

Denala pun perlahan kembali tertidur dipelukan Jenovan. sedangkan laki-laki itu terus menatap langit-langit kamar Denala.

'thank you, Mark. gua bakal jagain Denala. gua janji sama lo, gua akan bantu Denala buat bangkit dan bikin dia bahagia lagi', batinnya sebelum ikut tertidur.

(FLASH BACK; OFF)

***

janji Jenovan malam itu lagi-lagi berhasil ia buktikan. ia terus berada disamping Denala dan berusaha membantu gadisnya untuk kembali bahagia.

dan disinilah mereka sekarang; saling mendekap satu sama lain, saling berbagi tawa, bahkan Denala sudah bisa datang ke makam Mahardika tanpa menangis dan justru berbagi cerita yang diiringi candaan.

perjalanan mereka memang tidak mudah. namun, mereka berhasil membuktikan bahwa perasaan mereka akan satu sama lain masih jauh lebih kuat dibanding tantangan-tantangan yang mereka hadapi.

memikirkan hal itu, Jenovan mengecup lagi puncak kepala Denala dan mendapat sebuah senyuman sebagai balasan.

“Jen, ke pantai yuk?” ajak Denala tiba-tiba.

“sekarang banget?”

“iya!! pengen liat sunset hehehe”

Jenovan mengecup singkat bibir Denala sebelum bangkit dari sofa dan mengulurkan tangannya pada Denala, “yuk!”

.Epilogue: Bagian 1

-

satu tahun telah berlalu semenjak kepergian Mahardika.

Denala dan teman-temannya, termasuk juga Jefri yang mundur satu tahun, kini sudah sama-sama memiliki gelar dibelakang nama mereka.

waktu hari kelulusan kemarin, mereka membuat satu lingkaran kecil, saling bergandengan dan berdoa untuk Mahardika; mereka mendedikasikan kelulusan mereka untuk Mahardika yang hampir lulus pada waktu itu.

tidak banyak yang berubah dari mereka.

Jefri semakin sukses menjadi pengusaha muda dan Neo Cafe semakin ramai.

Manda masih tetap membantu Jefri sembari menunggu kabar mengenai pendaftaran asisten dosennya.

Nandara baru saja di terima di salah satu agensi periklanan.

Ican dan Rendra masih memilih untuk menikmati kebebasan mereka dan belum berniat mencari pekerjaan.

Dandi belum lama ini bertunangan dengan Sarah. rencananya, mereka akan menikah tahun depan.

terakhir, Jenovan dan Denala masih bersama.

Jenovan kini sedang menjalani masa percobaan di salah satu lembaga hukum dan Denala sedang menjalani masa magang di agensi periklanan yang sama dengan Nandara, hanya saja berbeda departemen.

semuanya yang mengenal Mahardika terus menjalani hidup mereka tanpa dihantui kesedihan atau rasa bersalah. ini mereka lakukan untuk menjalankan permintaan terakhir Mahardika yang ia tuliskan dalam suratnya; 'gua harap lo semua terus bahagia, terus jalanin hidup, dan gak nangisin gua kelamaan'.

***

sore itu, Denala dan Jenovan kembali mengunjungi makam Mahardika. ini adalah kegiatan yang rutin mereka lakukan setiap dua bulan; membawakan buket bunga baru, membersihkan makam, atau sekedar bercerita seolah Mahardika mendengar semuanya.

“hai, Dika!” sapa Denala sambil mencabuti beberapa rumput liar disekitar nisan Mahardika.

Jenovan yang berada disamping gadisnya itu turut angkat suara, “liat nih Mark temen lo, dari kemaren misuhnya belum berenti”

Denala menepuk pelan lengan Jenovan, “ih ngaduan banget!” protesnya.

“lo tau gak sih? gua nih dari keselnya gara-gara atasan ditempat magang gua. masa kerjaan dia dikasih ke gua banyak banget mentang-mentang gua anak magang? katanya biar gua belajar banyak, padahal gua yakin itu alesan doang karena dianya aja yang males” keluh Denala.

cerita-cerita lain terus berlanjut, sesekali diselingi oleh tawa keduanya.

setelah hampir 30 menit berlalu, Denala meletakkan salah satu tangannya diatas batu nisan Mahardika.

“Dik, gua gak akan pernah bosen bilang ini. makasih, ya? gua harap istirahat lo tenang disana, karena gua pun berusaha untuk terus bahagia setiap harinya”

Jenovan merangkulkan lengannya di bahu Denala sebelum berkata, “lo tenang aja, gua beneran jagain Denala kok. dan pastinya jagain lo juga yang ada di diri Denala”

keduanya pun bangkit, kemudian perlahan berjalan semakin jauh dari tempat peristirahatan terakhir Mahardika dengan saling bergandengan tangan.

namun, ada satu kalimat yang sedari tadi hanya berani diucapkan oleh Denala didalam hatinya, 'gua sayang sama lo, Mahardika'.

.One Back, One Gone

-

proses operasi sudah berjalan selama 7 jam.

namun Jenovan, Dandi, Manda, dan Jefri tidak ada yang menunjukkan tanda-tanda ingin meninggalkan rumah sakit. mereka semua dengan setia menunggu Denala selesai di depan ruang operasi.

“si Mark belum ada kabar juga?” tanya Jenovan untuk kesekian kalinya hari itu.

“belum anjir. kayaknya bener dia lagi ngurusin skripsi deh, biasanya gitu soalnya. ilang gak ada kabar berhari-hari, tau-tau pas balik cuma cengar cengir” sahut Manda.

Jenovan pun menganggukkan kepalanya lagi.

sekalipun perlu diakui dirinya beberapa kali cemburu atas kedekatan Denala dengan Mark, ia terus mengingatkan dirinya bahwa kedua orang itu telah bersahabat sejak kecil. maka dari itu, mau bagaimana pun juga, Mark sudah seharusnya dikabari mengenai hal ini.

“Jen” panggil Dandi sambil menepuk pundak Jenovan.

yang dipanggil hanya menolehkan kepalanya tanpa menjawab.

“lo tidur dulu aja sebentar. lo udah dari hari pertama gak pulang, kurang tidur juga. lo mau emang nanti pas Denala sadar dia liat pacarnya kayak zombie gini?” ucap Dandi.

mendengar ucapan Dandi, Jenovan untuk pertama kalinya menunjukkan senyuman setelah hampir 3 hari.

“mana pacar anjir? belom sempet nembak gua tuh” balasnya sambil terkekeh.

Dandi juga ikut tertawa, “ah sama aja lah dimata gua. udah dengerin gua, tidur dulu sebentar. nanti gua bangunin”

Jenovan pun beranjak ke kamar rawat inap yang telah disiapkan untuk Denala begitu gadis itu selesai dari ruang operasi.

***

Jenovan terbangun karena ponselnya berdering. nama Dandi terpampang di layar ponselnya sehingga ia segera beranjak duduk dan mengangkat panggilan tersebut.

'Jen, kayaknya udah mau selesai' ucap Dandi diseberang sana.

“oke, gua kesana sekarang” balas Jenovan sebelum mengakhiri panggilan dan segera melangkahkan kakinya ke tempat ia semula berada.

***

sesampainya Jenovan disana, pintu ruang operasi terbuka. seorang dokter yang didampingi oleh Sarah keluar dari balik pintu putih itu dan keempat orang lainnya segera berdiri.

“operasinya berhasil, sekarang kondisi Denala sudah mulai stabil” ucap dokter itu sambil tersenyum hangat.

mendengar hal itu, Manda menghamburkan dirinya kedalam pelukan Jefri yang dibalas dengan senang hati. Keduanya menangis, menangis karena bahagia sahabatnya berhasil melewati 12 jam proses operasi.

Jenovan terjatuh ke lantai dengan posisi berlutut. ia pun turut terisak pelan sambil tersenyum, lagi-lagi mengucap terima kasih dalam hatinya karena Tuhan masih mendengarkan permohonannya.

kondisi Dandi juga tidak berbeda jauh. ia tersenyum lega dan mendudukan dirinya di kursi, diikuti oleh Sarah yang duduk disebelahnya setelah sang dokter kembali ke ruang operasi.

“Sarah, makasih banget. makasih kamu udah selamatin Denala” ucap Dandi sambil menggenggam erat kedua tangan Sarah.

namun lagi-lagi, Sarah menunjukkan ekspresi yang tidak dapat diartikan dengan pasti.

“kenapa, Sar? ada yang salah?” tanya Dandi begitu menyadari raut wajah kekasihnya yang sulit dipahami.

“si pendonor paru-paru nitipin sesuatu untuk kalian semua” ucap Sarah sambil mengeluarkan sebuah amplop dari saku seragamnya.

suasana haru dan bahagia itu pun seketika berubah menjadi hening dan sedikit menegangkan. semua bungkam.

mereka sudah menerka dalam kepala masing-masing mengenai apa yang akan disampaikan oleh Sarah. akan tetapi, mereka memilih diam dan menunggu Sarah untuk mengatakannya.

namun, melihat Sarah yang sedikit ragu-ragu untuk melanjutkan, Jefri memutuskan untuk angkat suara.

“pendonornya Nala.. Mahardika ya, Kak Sarah?”

satu anggukan dari Sarah sudah cukup untuk membawa Manda menangis tidak percaya di pelukan Jefri yang ikut pengeratkan pelukannya pada Manda. ia berusaha sekuat tenaga untuk tidak terisak, namun isakan itu lolos juga.

pertahanan Dandi juga ikut runtuh bersamaan dengan fakta mengejutkan itu. ia tidak menyangka bahwa Mahardika, yang sudah ia anggap sebagai adiknya sendiri itu dengan suka rela mendonorkan paru-parunya demi menyelamatkan nyawa Denala.

sedangkan Jenovan, ia tidak tau harus bereaksi seperti apa. ia pun hanya menundukkan kepalanya, berusaha semampunya untuk mencerna informasi tersebut.

dalam hatinya, ia berterimakasih pada Mark atas pengorbanannya bagi Denala. namun di sisi lain, ia juga iri pada Mark yang telah menjadi penyelamat bagi Denala.

akhirnya, Jenovan membawa dirinya untuk bangkit dan melemparkan pandangannya keluar jendela untuk melihat langit malam yang cukup cerah.

'Mark, makasih banyak, bro. gua bakal jagain Denala, gua janji sama lo. gua ga bakal biarin pengorbanan lo sia-sia. lo yang tenang ya” batinnya.

setelah itu, Jenovan melangkahkan kakinya menuju Jefri dan Amanda. ia membawa dua orang itu kedalam pelukannya, berusaha membagi kekuatan dengan mereka.

“Mark...” panggil Manda lirih.

“anjing, jahat lo Mark ninggalin kita kayak gini” ucap Jefri yang berusaha menyembunyikan betapa sedih dirinya kehilangan sesosok Mahardika.

“t-tau tuh, temen lo, Jef! jahat! masa dia berjuang sendirian buat Denala? b-berasa gak b-berguna gua jadi temen deketnya” balas Manda disela isakannya.

“Jen, abis ini lo jagain Nala yang bener ya. lo jagain Mark juga soalnya” ucap Jefri setelah ia melepaskan pelukan dan mengusap kedua matanya.

“iya. lo bisa pegang omongan gua” balas Jenovan penuh keyakinan sambil menepuk pelan pundak Jefri.

.One Back, One Gone

-

proses operasi sudah berjalan selama 7 jam.

namun Jenovan, Dandi, Manda, dan Jefri tidak ada yang menunjukkan tanda-tanda ingin meninggalkan rumah sakit. mereka semua dengan setia menunggu Denala selesai di depan ruang operasi.

“si Mark belum ada kabar juga?” tanya Jenovan untuk kesekian kalinya hari itu.

“belum anjir. kayaknya bener dia lagi ngurusin skripsi deh, biasanya gitu soalnya. ilang gak ada kabar berhari-hari, tau-tau pas balik cuma cengar cengir” sahut Manda.

Jenovan pun menganggukkan kepalanya lagi.

sekalipun perlu diakui dirinya beberapa kali cemburu atas kedekatan Denala dengan Mark, ia terus mengingatkan dirinya bahwa kedua orang itu telah bersahabat sejak kecil. maka dari itu, mau bagaimana pun juga, Mark sudah seharusnya dikabari mengenai hal ini.

“Jen” panggil Dandi sambil menepuk pundak Jenovan.

yang dipanggil hanya menolehkan kepalanya tanpa menjawab.

“lo tidur dulu aja sebentar. lo udah dari hari pertama gak pulang, kurang tidur juga. lo mau emang nanti pas Denala sadar dia liat pacarnya kayak zombie gini?” ucap Dandi.

mendengar ucapan Dandi, Jenovan untuk pertama kalinya menunjukkan senyuman setelah hampir 3 hari.

“mana pacar anjir? belom sempet nembak gua tuh” balasnya sambil terkekeh.

Dandi juga ikut tertawa, “ah sama aja lah dimata gua. udah dengerin gua, tidur dulu sebentar. nanti gua bangunin”

Jenovan pun beranjak ke kamar rawat inap yang telah disiapkan untuk Denala begitu gadis itu selesai dari ruang operasi.

***

Jenovan terbangun karena ponselnya berdering. nama Dandi terpampang di layar ponselnya sehingga ia segera beranjak duduk dan mengangkat panggilan tersebut.

'Jen, kayaknya udah mau selesai' ucap Dandi diseberang sana.

“oke, gua kesana sekarang” balas Jenovan sebelum mengakhiri panggilan dan segera melangkahkan kakinya ke tempat ia semula berada.

***

sesampainya Jenovan disana, pintu ruang operasi terbuka. seorang dokter yang didampingi oleh Sarah keluar dari balik pintu putih itu dan keempat orang lainnya segera berdiri.

“operasinya berhasil, sekarang kondisi Denala sudah mulai stabil” ucap dokter itu sambil tersenyum hangat.

mendengar hal itu, Manda menghamburkan dirinya kedalam pelukan Jefri yang dibalas dengan senang hati. Keduanya menangis, menangis karena bahagia sahabatnya berhasil melewati 12 jam proses operasi.

Jenovan terjatuh ke lantai dengan posisi berlutut. ia pun turut terisak pelan sambil tersenyum, lagi-lagi mengucap terima kasih dalam hatinya karena Tuhan masih mendengarkan permohonannya.

kondisi Dandi juga tidak berbeda jauh. ia tersenyum lega dan mendudukan dirinya di kursi, diikuti oleh Sarah yang duduk disebelahnya setelah sang dokter kembali ke ruang operasi.

“Sarah, makasih banget. makasih kamu udah selamatin Denala” ucap Dandi sambil menggenggam erat kedua tangan Sarah.

namun lagi-lagi, Sarah menunjukkan ekspresi yang tidak dapat diartikan dengan pasti.

“kenapa, Sar? ada yang salah?” tanya Dandi begitu menyadari raut wajah kekasihnya yang sulit dipahami.

“si pendonor paru-paru nitipin sesuatu untuk kalian semua” ucap Sarah sambil mengeluarkan sebuah amplop dari saku seragamnya.

suasana haru dan bahagia itu pun seketika berubah menjadi hening dan sedikit menegangkan. semua bungkam.

mereka sudah menerka dalam kepala masing-masing mengenai apa yang akan disampaikan oleh Sarah. akan tetapi, mereka memilih diam dan menunggu Sarah untuk mengatakannya.

namun, melihat Sarah yang sedikit ragu-ragu untuk melanjutkan, Jefri memutuskan untuk angkat suara.

“pendonornya Nala.. Mahardika ya, Kak Sarah?”

satu anggukan dari Sarah sudah cukup untuk membawa Manda menangis tidak percaya di pelukan Jefri yang ikut pengeratkan pelukannya pada Manda. ia berusaha sekuat tenaga untuk tidak terisak, namun isakan itu lolos juga.

pertahanan Dandi juga ikut runtuh bersamaan dengan fakta mengejutkan itu. ia tidak menyangka bahwa Mahardika, yang sudah ia anggap sebagai adiknya sendiri itu dengan suka rela mendonorkan paru-parunya demi menyelamatkan nyawa Denala.

sedangkan Jenovan, ia tidak tau harus bereaksi seperti apa. ia pun hanya menundukkan kepalanya, berusaha semampunya untuk mencerna informasi tersebut.

dalam hatinya, ia berterimakasih pada Mark atas pengorbanannya bagi Denala. namun di sisi lain, ia juga iri pada Mark yang telah menjadi penyelamat bagi Denala.

akhirnya, Jenovan membawa dirinya untuk bangkit dan melemparkan pandangannya keluar jendela untuk melihat langit malam yang cukup cerah.

'Mark, makasih banyak, bro. gua bakal jagain Denala, gua janji sama lo. gua ga bakal biarin pengorbanan lo sia-sia. lo yang tenang ya” batinnya.

.Please Be Fine

-

Dandi melangkahkan kakinya dengan terburu-buru di lorong rumah sakit sambil berusaha mengingat kembali arah mana yang harus ia ambil.

ia tidak menyangka bahwa ia akan melangkahkan kakinya ke tempat ini lagi setelah dua tahun.

sesampainya di depan ruang ICU, Dandi melihat kekasihnya, Sarah, sedang berusaha menenangkan Jenovan yang tertunduk sambil menangkupkan kedua tangan diwajahnya.

“Sar, Jen” panggil Dandi pelan.

“Denala makin parah, Di. dia terlalu maksain dirinya kena dingin, padahal dia tau betul dia ga tahan sama dingin” ucap Sarah seraya berdiri dan menarik Dandi kedalam pelukannya.

“kok.. gi-gimana bisa?” ucap Dandi lirih.

ia mengalihkan pandangannya pada Jenovan yang masih tertunduk sebelum melepaskan pelukan Sarah dan mendudukkan dirinya disamping Jenovan.

“Jen, gimana ceritanya?” tanya Dandi. tidak ada amarah dalam tanyanya, dan hal ini membuat Jenovan semakin sesak.

ia menyadari bahwa hanya dirinya yang tidak mengetahui kondisi gadisnya, Denalanya.

sebelum Jenovan membuka mulutnya untuk bercerita pada Dandi, Sarah mohon izin untuk kembali masuk ke ruangan dan melihat kondisi Denala.

ia hanya mendapat anggukan dari Dandi yang sedetik setelahnya kembali memfokuskan dirinya pada Jenovan.

“t-tadi di Warpat dia baru bilang sama gua, Di. bilang kalo dia.. dia juga sayang sama gua” sahut Jenovan sedikit terbata.

“terus waktu gua peluk dia, tiba-tiba rasanya makin berat dan dia udah pingsan. gua langsung bawa dia ke mobil dan langsung kesini karena Nala pernah cerita soal Kak Sarah kerja disini” lanjutnya setelah mengangkat kepalanya dan menatap Dandi.

“Nala belum sempet cerita sama lo, Jen? kalo dia sakit?”

Jenovan hanya menggelengkan kepalanya.

“padahal niat dia ngajak lo ke puncak karena dia mau cerita sejujurnya sama lo, Jen” ucap Dandi sambil meletakkan tangannya di pundak Jenovan.

“gua ngerasa bego banget, Di. bisa-bisanya gua ga tau. bisa-bisanya gua biarin dia sakit pas dia sama gua, Di. gua gagal jagain adik lo, padahal gua janji sama lo kalo gua akan jagain dia terus. gua ga becus jagain Denala, Di. gua ga pantes buat dia”

Dandi dengan segera menarik paksa tubuh Jenovan agar berhadapan dengannya.

hal yang ditakutkan Dandi benar terjadi, Jenovan menyalahkan dirinya atas ketidaktahuannya. Dandi tidak ingin membiarkan rasa bersalah yang bukan sepantasnya ada di diri Jenovan bersarang lebih lama.

“bukan salah lo, Jen. emang Denala yang pintar nyembunyiin semuanya. emang Denala yang selama ini keliatannya baik-baik aja. bukan salah lo, karena lo emang belum tau”

“dari kapan, Di? dari kapan Nala kena pneumothorax?” tanya Jenovan dengan kedua mata yang mulai berair.

“dua tahun lalu, waktu kecelakaan. Denala udah cerita kan soal kecelakaan itu?”

Jenovan menganggukkan kepalanya pelan.

“dia satu-satunya yang selamat karena dia ada di kursi belakang. tapi dia selamat, bukan berarti kejadian itu gak ninggalin bekas, Jen. Denala sempet koma 2 hari dan dia di diagnosis kena pneumothorax karena tekanan di dadanya waktu kecelakaan. semenjak saat itu, Denala mulai jadi gak tahan sama dingin, sering keringat dingin juga” jelas Dandi.

“tapi dianya emang batu. dia selalu sembunyi-sembunyi kalo mau minum obat. dia juga gak berenti ngerokok karena dia gak mau dilihat lemah sama orang lain”

“selama ini kenapa dia gak cerita sama gua, Di?” tanya Jenovan frustrasi.

“dia cuma takut, kalo nanti lo tau keadaan dia gimana, lo bakal ninggalin dia karena dia penyakitan”

suara Jenovan tercekat. rasanya seperti ada batu besar di tenggorokannya yang semakin mengering.

tanpa ia sadari, air matanya mulai mengalir. hatinya sakit. semua fakta yang diceritakan oleh Dandi membuat ia mempertanyakan dirinya sendiri, apakah selama ini dia belum cukup membuktikan pada Denala kalau ia tidak akan meninggalkan gadisnya itu hanya karena gadisnya sakit?

kalau ia tau sejak awal, ia tidak akan sungkan menemani Denala kontrol, atau mengingatkan gadisnya untuk meminum obatnya, atau sekedar meyakinkan Denala bahwa ia tidak menjadi lemah karena penyakit itu.

justru, bagi Jenovan, Denala adalah sosok yang sangat kuat karena ia mampu bertahan sejauh ini tanpa menunjukkan sedikit pun bahwa ia sakit.

Dandi pun menarik Jenovan kedalam pelukan sambil menepuk pundaknya pelan.

“berdoa aja, Jen. gua yakin adik gua kuat, dia ga bakal kenapa-kenapa. dia bakal bangun, dia bakal ketawa-ketawa lagi nanti sama kita sambil bakar LA Ice” ucap Dandi padanya.

ucapan itu tidak hanya untuk menenangkan Jenovan, tetapi juga sebuah permohonan tersirat dari Dandi untuk adiknya.

ia sudah kehilangan kedua orang tuanya. ia tidak mau harus kehilangan adiknya juga karena Denala adalah satu-satunya yang ia miliki saat ini.

***

suara langkah kaki yang tergesa-gesa menyapa indera pendengaran Jenovan.

ia yang sedari tadi kembali menundukkan kepala, perlahan mengangkatnya dan melihat Mahardika, Jefri serta Amanda mendekat.

“Di, gimana Nala?” tanya Mark.

“masih belum sadar. belum ada kabar juga dari Sarah, udah 20 menit” sahut Dandi.

rasa sesak yang familiar kembali dirasakan oleh Jenovan. untuk kedua kalinya, ia merasa bahwa hanya dia yang tidak mengetahui kondisi gadisnya.

seolah mengetahui apa yang ada di pikiran Jenovan, Mark menepuk bahunya dua kali sebelum berkata, “jangan salahin diri lo sendiri atas sesuatu yang lo bahkan gak pernah tau”.

***

satu menit,

lima menit,

sepuluh menit telah berlalu sejak kedatangan ketiga sahabat Denala saat akhirnya Sarah keluar dari ICU dengan ekspresi yang tidak dapat diartikan.

“Sar? gimana?” tanya Dandi yang segera berdiri, disusul oleh empat orang lainnya.

“Denala harus transplantasi paru-paru, Di. kalau gak begitu, dia gak bisa bertahan”

berita itu seolah petir yang menyambar kelimanya.

kedua kaki Jenovan menyerah menopang tubuhnya sehingga ia menjatuhkan dirinya ke kursi sambil mengacak rambutnya. Manda pun berinisiatif untuk duduk disebelah Jenovan untuk berusaha menguatkan laki-laki itu.

Mark dan Jefri sudah saling merangkul, menguatkan satu sama lain. Jefri mengetahui seberapa dekat Mark dengan Denala selama ini, dan Mark juga mengetahui betapa Jefri kagum pada Denala.

sedangkan Dandi, masih berusaha sekuat tenaganya untuk tidak menangis dan setelah mengumpulkan kekuatannya, ia berkata, “lakuin apapun yang diperluin asal adik aku selamat, Sar”

***

tanpa ada yang menyadari, salah satu dari mereka mengepalkan jemarinya hingga buku-bukunya memutih.

ia bertekad untuk menyelamatkan Denala karena ia sudah berjanji kalau ia akan menjaga gadis itu.

.Please Be Fine

Dandi melangkahkan kakinya dengan terburu-buru di lorong rumah sakit sambil berusaha mengingat kembali arah mana yang harus ia ambil.

ia tidak menyangka bahwa ia akan melangkahkan kakinya ke tempat ini lagi setelah dua tahun.

sesampainya di depan ruang ICU, Dandi melihat kekasihnya, Sarah, sedang berusaha menenangkan Jenovan yang tertunduk sambil menangkupkan kedua tangan diwajahnya.

“Sar, Jen” panggil Dandi pelan.

“Denala makin parah, Di. dia terlalu maksain dirinya kena dingin, padahal dia tau betul dia ga tahan sama dingin” ucap Sarah seraya berdiri dan menarik Dandi kedalam pelukannya.

“kok.. gi-gimana bisa?” ucap Dandi lirih.

ia mengalihkan pandangannya pada Jenovan yang masih tertunduk sebelum melepaskan pelukan Sarah dan mendudukkan dirinya disamping Jenovan.

“Jen, gimana ceritanya?” tanya Dandi. tidak ada amarah dalam tanyanya, dan hal ini membuat Jenovan semakin sesak.

ia menyadari bahwa hanya dirinya yang tidak mengetahui kondisi gadisnya, Denalanya.

sebelum Jenovan membuka mulutnya untuk bercerita pada Dandi, Sarah mohon izin untuk kembali masuk ke ruangan dan melihat kondisi Denala.

ia hanya mendapat anggukan dari Dandi yang sedetik setelahnya kembali memfokuskan dirinya pada Jenovan.

“t-tadi di Warpat dia baru bilang sama gua, Di. bilang kalo dia.. dia juga sayang sama gua” sahut Jenovan sedikit terbata.

“terus waktu gua peluk dia, tiba-tiba rasanya makin berat dan dia udah pingsan. gua langsung bawa dia ke mobil dan langsung kesini karena Nala pernah cerita soal Kak Sarah kerja disini” lanjutnya setelah mengangkat kepalanya dan menatap Dandi.

“Nala belum sempet cerita sama lo, Jen? kalo dia sakit?”

Jenovan hanya menggelengkan kepalanya.

“padahal niat dia ngajak lo ke puncak karena dia mau cerita sejujurnya sama lo, Jen” ucap Dandi sambil meletakkan tangannya di pundak Jenovan.

“gua ngerasa bego banget, Di. bisa-bisanya gua ga tau. bisa-bisanya gua biarin dia sakit pas dia sama gua, Di. gua gagal jagain adik lo, padahal gua janji sama lo kalo gua akan jagain dia terus. gua ga becus jagain Denala, Di. gua ga pantes buat dia”

Dandi dengan segera menarik paksa tubuh Jenovan agar berhadapan dengannya.

hal yang ditakutkan Dandi benar terjadi, Jenovan menyalahkan dirinya atas ketidaktahuannya. Dandi tidak ingin membiarkan rasa bersalah yang bukan sepantasnya ada di diri Jenovan bersarang lebih lama.

“bukan salah lo, Jen. emang Denala yang pintar nyembunyiin semuanya. emang Denala yang selama ini keliatannya baik-baik aja. bukan salah lo, karena lo emang belum tau”

“dari kapan, Di? dari kapan Nala kena pneumothorax?” tanya Jenovan dengan kedua mata yang mulai berair.

“dua tahun lalu, waktu kecelakaan. Denala udah cerita kan soal kecelakaan itu?”

Jenovan menganggukkan kepalanya pelan.

“dia satu-satunya yang selamat karena dia ada di kursi belakang. tapi dia selamat, bukan berarti kejadian itu gak ninggalin bekas, Jen. Denala sempet koma 2 hari dan dia di diagnosis kena pneumothorax karena tekanan di dadanya waktu kecelakaan. semenjak saat itu, Denala mulai jadi gak tahan sama dingin, sering keringat dingin juga” jelas Dandi.

“tapi dianya emang batu. dia selalu sembunyi-sembunyi kalo mau minum obat. dia juga gak berenti ngerokok karena dia gak mau dilihat lemah sama orang lain”

“selama ini kenapa dia gak cerita sama gua, Di?” tanya Jenovan frustrasi.

“dia cuma takut, kalo nanti lo tau keadaan dia gimana, lo bakal ninggalin dia karena dia penyakitan”

suara Jenovan tercekat. rasanya seperti ada batu besar di tenggorokannya yang semakin mengering.

tanpa ia sadari, air matanya mulai mengalir. hatinya sakit. semua fakta yang diceritakan oleh Dandi membuat ia mempertanyakan dirinya sendiri, apakah selama ini dia belum cukup membuktikan pada Denala kalau ia tidak akan meninggalkan gadisnya itu hanya karena gadisnya sakit?

kalau ia tau sejak awal, ia tidak akan sungkan menemani Denala kontrol, atau mengingatkan gadisnya untuk meminum obatnya, atau sekedar meyakinkan Denala bahwa ia tidak menjadi lemah karena penyakit itu.

justru, bagi Jenovan, Denala adalah sosok yang sangat kuat karena ia mampu bertahan sejauh ini tanpa menunjukkan sedikit pun bahwa ia sakit.

Dandi pun menarik Jenovan kedalam pelukan sambil menepuk pundaknya pelan.

“berdoa aja, Jen. gua yakin adik gua kuat, dia ga bakal kenapa-kenapa. dia bakal bangun, dia bakal ketawa-ketawa lagi nanti sama kita sambil bakar LA Ice” ucap Dandi padanya.

ucapan itu tidak hanya untuk menenangkan Jenovan, tetapi juga sebuah permohonan tersirat dari Dandi untuk adiknya.

ia sudah kehilangan kedua orang tuanya. ia tidak mau harus kehilangan adiknya juga karena Denala adalah satu-satunya yang ia miliki saat ini.

***

suara langkah kaki yang tergesa-gesa menyapa indera pendengaran Jenovan.

ia yang sedari tadi kembali menundukkan kepala, perlahan mengangkatnya dan melihat Mahardika, Jefri serta Amanda mendekat.

“Di, gimana Nala?” tanya Mark.

“masih belum sadar. belum ada kabar juga dari Sarah, udah 20 menit” sahut Dandi.

rasa sesak yang familiar kembali dirasakan oleh Jenovan. untuk kedua kalinya, ia merasa bahwa hanya dia yang tidak mengetahui kondisi gadisnya.

seolah mengetahui apa yang ada di pikiran Jenovan, Mark menepuk bahunya dua kali sebelum berkata, “jangan salahin diri lo sendiri atas sesuatu yang lo bahkan gak pernah tau”.

***

satu menit,

lima menit,

sepuluh menit telah berlalu sejak kedatangan ketiga sahabat Denala saat akhirnya Sarah keluar dari ICU dengan ekspresi yang tidak dapat diartikan.

“Sar? gimana?” tanya Dandi yang segera berdiri, disusul oleh empat orang lainnya.

“Denala harus transplantasi paru-paru, Di. kalau gak begitu, dia gak bisa bertahan”

berita itu seolah petir yang menyambar kelimanya.

kedua kaki Jenovan menyerah menopang tubuhnya sehingga ia menjatuhkan dirinya ke kursi sambil mengacak rambutnya. Manda pun berinisiatif untuk duduk disebelah Jenovan untuk berusaha menguatkan laki-laki itu.

Mark dan Jefri sudah saling merangkul, menguatkan satu sama lain. Jefri mengetahui seberapa dekat Mark dengan Denala selama ini, dan Mark juga mengetahui betapa Jefri kagum pada Denala.

sedangkan Dandi, masih berusaha sekuat tenaganya untuk tidak menangis dan setelah mengumpulkan kekuatannya, ia berkata, “lakuin apapun yang diperluin asal adik aku selamat, Sar”

***

tanpa ada yang menyadari, salah satu dari mereka mengepalkan jemarinya hingga buku-bukunya memutih.

ia bertekad untuk menyelamatkan Denala karena ia sudah berjanji kalau ia akan menjaga gadis itu.

.-Moon and Star

That night, you and Taeil are laying down together at the usual park you both went to.

The night was perfect.

The wind that greeted you, the faint smell of grass lingering around, the clear night sky, the little stars that shines so bright, and of course the moon; the brightest of them all.

“What is your biggest fear?” the man laying next to you asked.

“Being left alone in the dark. You already know, Taeil, the reason why im scared of the dark” you answered.

“Ah, yes. That childhood memory of yours” he said with a chuckle.

“What about yours?”

“Im not sure” there's a pause before he continued “But maybe im scared of being not good enough for other people”

Silence fill the air, together with the sound of the wind. You slowly turn your body, now facing Taeil.

And he looked ethereal.

Both eyes closed, the moon light reflected on his face so beautifully. He looked so calm and innocent like this, and you always love the view. This is not your first time stargazing with Taeil, but tonight, he looked more beautiful.

Maybe it was the wind. Or maybe it was the moon that shines brighter than usual. Or maybe it's just simply because of him being himself.

Slowly, you run your fingers through his hair, down to his eyes, cheek, nose, and lastly his lips. He opened his eyes and slowly tilted his head towards you.

And there, you see the whole galaxy in his eyes: deep black, yet it sparkles at the same time.

“Don't be afraid, Taeil. You're more than enough” you said as you comb his hair.

“You're born to be yourself, with every talent, every flaws, but they all makes you unique. They simply make you.... You. Don't ever think that you're not good enough, Taeil-ah” you continued as you rub his cheek. He leaned in, feeling every small touches you gave as he close his eyes.

“Of course, there will always be people who hates you or not pleased by what you did. But remember, there's also a lot of people out there who loves you, adore you, and cherish you simply for who you are. Don't you ever dare let anyone shape you into something you dont. Just, be who you are and who you are only because you can't please everyone. And that is fine”

This time, Taeil get up from the ground into a sitting position and he pulled you closer. He huged you tightly and you buried your face on his chest.

“Im older than you. I was supposed to be the one who give you life lessons, yet here we are. Under the moon, with you telling me wise things” he chuckled.

“I might be young, but I've been through a lot”

“I know”

Again, both of you let silence took place. You both stayed in that position, enjoying each other presence, treasuring every moment.

“Thank you for staying by my side” Taeil said.

“I know I lack a lot here and there, but you never leave me. Instead, you're always by my side and tell me everything is going to be fine. Thank you for always supporting me, thank you for always be there for me through my ups and downs. Thank you, Byul-ah” he continued as he pulled away and stare right into your eyes.

“And thank you for always be strong, for never giving up despite all of those hard times. Thank you for always trying to give your best. Thank you for staying by my side too” you replied as you caress his cheek.

“Thank you for coming into my life and introduce me to happiness, Taeil-ah” you continued.

Both of you smiled to each other, a very warm smile. This is the kind of smile that you love the most: pure and sincere.

Not knowing who leaned in first, your lips met his. The kiss was slow and tender, not asking for more, not demanding, just a soft kiss to show how grateful both of you are to have each other.

Everything felt so right. It's like no matter what the future may hold, but as long as you have Taeil by your side then everything would be okay.

As the moon and stars keeps on shining above both of you, you can't help but to think to yourself.

Just like the moon and stars, both you and Taeil will always be like them. Taeil giving you strength and light, and you gave him warmth and company: you both completed each other.

As he break the kiss and pulled you in for another hug, you know one thing for sure.

It doesn't matter where you are.

It doesn't matter how you feel.

It doesn't matter how deep you'd fall down and crumble.

But you'll never have to face your fear.

You'll never be left in the dark, for Taeil is your only moon; the brightest moon who brings light into your life.