.Please Be Fine

-

Dandi melangkahkan kakinya dengan terburu-buru di lorong rumah sakit sambil berusaha mengingat kembali arah mana yang harus ia ambil.

ia tidak menyangka bahwa ia akan melangkahkan kakinya ke tempat ini lagi setelah dua tahun.

sesampainya di depan ruang ICU, Dandi melihat kekasihnya, Sarah, sedang berusaha menenangkan Jenovan yang tertunduk sambil menangkupkan kedua tangan diwajahnya.

“Sar, Jen” panggil Dandi pelan.

“Denala makin parah, Di. dia terlalu maksain dirinya kena dingin, padahal dia tau betul dia ga tahan sama dingin” ucap Sarah seraya berdiri dan menarik Dandi kedalam pelukannya.

“kok.. gi-gimana bisa?” ucap Dandi lirih.

ia mengalihkan pandangannya pada Jenovan yang masih tertunduk sebelum melepaskan pelukan Sarah dan mendudukkan dirinya disamping Jenovan.

“Jen, gimana ceritanya?” tanya Dandi. tidak ada amarah dalam tanyanya, dan hal ini membuat Jenovan semakin sesak.

ia menyadari bahwa hanya dirinya yang tidak mengetahui kondisi gadisnya, Denalanya.

sebelum Jenovan membuka mulutnya untuk bercerita pada Dandi, Sarah mohon izin untuk kembali masuk ke ruangan dan melihat kondisi Denala.

ia hanya mendapat anggukan dari Dandi yang sedetik setelahnya kembali memfokuskan dirinya pada Jenovan.

“t-tadi di Warpat dia baru bilang sama gua, Di. bilang kalo dia.. dia juga sayang sama gua” sahut Jenovan sedikit terbata.

“terus waktu gua peluk dia, tiba-tiba rasanya makin berat dan dia udah pingsan. gua langsung bawa dia ke mobil dan langsung kesini karena Nala pernah cerita soal Kak Sarah kerja disini” lanjutnya setelah mengangkat kepalanya dan menatap Dandi.

“Nala belum sempet cerita sama lo, Jen? kalo dia sakit?”

Jenovan hanya menggelengkan kepalanya.

“padahal niat dia ngajak lo ke puncak karena dia mau cerita sejujurnya sama lo, Jen” ucap Dandi sambil meletakkan tangannya di pundak Jenovan.

“gua ngerasa bego banget, Di. bisa-bisanya gua ga tau. bisa-bisanya gua biarin dia sakit pas dia sama gua, Di. gua gagal jagain adik lo, padahal gua janji sama lo kalo gua akan jagain dia terus. gua ga becus jagain Denala, Di. gua ga pantes buat dia”

Dandi dengan segera menarik paksa tubuh Jenovan agar berhadapan dengannya.

hal yang ditakutkan Dandi benar terjadi, Jenovan menyalahkan dirinya atas ketidaktahuannya. Dandi tidak ingin membiarkan rasa bersalah yang bukan sepantasnya ada di diri Jenovan bersarang lebih lama.

“bukan salah lo, Jen. emang Denala yang pintar nyembunyiin semuanya. emang Denala yang selama ini keliatannya baik-baik aja. bukan salah lo, karena lo emang belum tau”

“dari kapan, Di? dari kapan Nala kena pneumothorax?” tanya Jenovan dengan kedua mata yang mulai berair.

“dua tahun lalu, waktu kecelakaan. Denala udah cerita kan soal kecelakaan itu?”

Jenovan menganggukkan kepalanya pelan.

“dia satu-satunya yang selamat karena dia ada di kursi belakang. tapi dia selamat, bukan berarti kejadian itu gak ninggalin bekas, Jen. Denala sempet koma 2 hari dan dia di diagnosis kena pneumothorax karena tekanan di dadanya waktu kecelakaan. semenjak saat itu, Denala mulai jadi gak tahan sama dingin, sering keringat dingin juga” jelas Dandi.

“tapi dianya emang batu. dia selalu sembunyi-sembunyi kalo mau minum obat. dia juga gak berenti ngerokok karena dia gak mau dilihat lemah sama orang lain”

“selama ini kenapa dia gak cerita sama gua, Di?” tanya Jenovan frustrasi.

“dia cuma takut, kalo nanti lo tau keadaan dia gimana, lo bakal ninggalin dia karena dia penyakitan”

suara Jenovan tercekat. rasanya seperti ada batu besar di tenggorokannya yang semakin mengering.

tanpa ia sadari, air matanya mulai mengalir. hatinya sakit. semua fakta yang diceritakan oleh Dandi membuat ia mempertanyakan dirinya sendiri, apakah selama ini dia belum cukup membuktikan pada Denala kalau ia tidak akan meninggalkan gadisnya itu hanya karena gadisnya sakit?

kalau ia tau sejak awal, ia tidak akan sungkan menemani Denala kontrol, atau mengingatkan gadisnya untuk meminum obatnya, atau sekedar meyakinkan Denala bahwa ia tidak menjadi lemah karena penyakit itu.

justru, bagi Jenovan, Denala adalah sosok yang sangat kuat karena ia mampu bertahan sejauh ini tanpa menunjukkan sedikit pun bahwa ia sakit.

Dandi pun menarik Jenovan kedalam pelukan sambil menepuk pundaknya pelan.

“berdoa aja, Jen. gua yakin adik gua kuat, dia ga bakal kenapa-kenapa. dia bakal bangun, dia bakal ketawa-ketawa lagi nanti sama kita sambil bakar LA Ice” ucap Dandi padanya.

ucapan itu tidak hanya untuk menenangkan Jenovan, tetapi juga sebuah permohonan tersirat dari Dandi untuk adiknya.

ia sudah kehilangan kedua orang tuanya. ia tidak mau harus kehilangan adiknya juga karena Denala adalah satu-satunya yang ia miliki saat ini.

***

suara langkah kaki yang tergesa-gesa menyapa indera pendengaran Jenovan.

ia yang sedari tadi kembali menundukkan kepala, perlahan mengangkatnya dan melihat Mahardika, Jefri serta Amanda mendekat.

“Di, gimana Nala?” tanya Mark.

“masih belum sadar. belum ada kabar juga dari Sarah, udah 20 menit” sahut Dandi.

rasa sesak yang familiar kembali dirasakan oleh Jenovan. untuk kedua kalinya, ia merasa bahwa hanya dia yang tidak mengetahui kondisi gadisnya.

seolah mengetahui apa yang ada di pikiran Jenovan, Mark menepuk bahunya dua kali sebelum berkata, “jangan salahin diri lo sendiri atas sesuatu yang lo bahkan gak pernah tau”.

***

satu menit,

lima menit,

sepuluh menit telah berlalu sejak kedatangan ketiga sahabat Denala saat akhirnya Sarah keluar dari ICU dengan ekspresi yang tidak dapat diartikan.

“Sar? gimana?” tanya Dandi yang segera berdiri, disusul oleh empat orang lainnya.

“Denala harus transplantasi paru-paru, Di. kalau gak begitu, dia gak bisa bertahan”

berita itu seolah petir yang menyambar kelimanya.

kedua kaki Jenovan menyerah menopang tubuhnya sehingga ia menjatuhkan dirinya ke kursi sambil mengacak rambutnya. Manda pun berinisiatif untuk duduk disebelah Jenovan untuk berusaha menguatkan laki-laki itu.

Mark dan Jefri sudah saling merangkul, menguatkan satu sama lain. Jefri mengetahui seberapa dekat Mark dengan Denala selama ini, dan Mark juga mengetahui betapa Jefri kagum pada Denala.

sedangkan Dandi, masih berusaha sekuat tenaganya untuk tidak menangis dan setelah mengumpulkan kekuatannya, ia berkata, “lakuin apapun yang diperluin asal adik aku selamat, Sar”

***

tanpa ada yang menyadari, salah satu dari mereka mengepalkan jemarinya hingga buku-bukunya memutih.

ia bertekad untuk menyelamatkan Denala karena ia sudah berjanji kalau ia akan menjaga gadis itu.