Entah keberapa kali kedua kelopak mata tertutup kemudian kembali mempersaksikan sepasang iris merah jambu dengan tatapan gelisah, sesekali bergulir ‘tuk menatap objek lain─apapun yang terdapat dalam ruang di mana raganya terbaring lantaran emosi negatif lambat laun menguasai diri. Salah satu lengan bergerak guna menutupi pandangan disusul hela napas begitu dalam seolah berupaya mengusir tiap berbagai pemikiran tak enak dalam benak. Kiara mengetahui bila berkelaluan memberi izin kepada kegelapan mengambil alih kesadaran kelak mengakibatkan sesuatu nan tak enak. Namun tetap saja pada akhirnya ia berpulang ke titik sama layaknya benda langit merotasi mentari, tiada pilihan lain selain patuh akan hukum alam.

Satu kenangan yang belum lama terjadi terlintas dalam pikiran kala Tuhan menjadikan ia sebagai wanita paling bahagia di dunia, saling berhadapan dengan lelaki pilihan hati serta terikat oleh sebuah janji suci ‘tuk tetap bersama baik suka, duka, sakit, sehat, kaya maupun miskin hingga ajal menjemput. Semestinya tak perlu memikirkan bila diri jauh dari kata pantas menjadi pendamping sosok hebat seperti Zhongli, semestinya mampu membuka lalu menjalani lembar kehidupan baru bersama belahan jiwa kendati tak mengetahui takdir seperti apa telah menunggu mereka di akhir hayat. Sayang, Kiara masihlah manusia biasa, tak dipungkiri pula suatu saat mencapai batas. Terhanyut oleh emosi nan tak terbendung lagi bukan perihal janggal.

Kini atensi menatap kosong langit ruang, pikiran tak karuan melayang ke sembarang arah. Beberapa sekon kemudian suara isak tangis samar keluar dari bibir disusul lintas cairan tak kasatmata turut menghiasi paras. Pertahanan yang dijaga telah hancur berkeping-keping. Menangis dalam diam memang menyakitkan, apa daya bila tak ada nan mampu dilaku selain meluapkan emosi dengan cara seperti ini?

Lantaran tenggelam oleh emosi, Kiara tak menyadari presensi insan lain. Entah sejak kapan sosok tersebut berdiri di sana, terlalu lelah ‘tuk sekadar berpikir. Kala sepasang iris merah jambu yang berkaca-kaca milik ia bertemu pandang dengan sepasang iris ambar sang suami, bibir seakan terasa kelu. Mengingat satu tekad terpendam agar tak menangis lagi di hadapan Zhongli, bagaimana cara menjelaskan semuanya?

“Kiara,” Panggilan yang terdengar oleh rungu membuat perasaan takut kian menyelimuti diri. Tidak, tidak, tidak─tentu saja ia tak ingin pujaan hati marah apalagi kecewa. Senyum lembut terpoles apik pada paras Zhongli sebelum kembali melanjutkan kalimat tertahan, “pikiranmu kalut lagi? Sebentar, aku akan mengambilkan segelas air putih untukmu.” Tanpa menunggu sahut, lelaki tersebut telah meninggalkan ruang sementara Kiara hanya memandang diam pundak kekar nan perlahan menghilang dari pandang lantaran tak mampu mengucap sepatah kata.

Andai saja aku tidak selemah ini... Andai saja aku cukup untuk Zhongli. Apakah dia bahagia bersamaku? Apakah aku layak mendapatkan seseorang seperti dia? Aku takut... Aku takut pernikahan ini tidak bertahan lama... Dan aku takut... suatu hari, dia pergi meninggalkanku.

Sekoyong-koyong tubuh berganti posisi ‘tuk terduduk di atas empuk ranjang pun isak tangis kembali pecah, derai air mata tak hentinya mengalir membasahi pipi. Bibirnya gemetar hebat bila ditelisik dengan teliti, begitupula jemari kedua tangan yang saling mengepal satu sama lain. Emosi nan tak terbendung lagi kian meledak, tiap satu pemikiran negatif terlintas dalam benak seolah menabur air lemon pada luka baru.

Aku sangat mencintaimu, Zhongli. Sangat mencintaimu sampai aku takut kehilanganmu. Andai kamu tahu semua itu... Aku ingin selalu berada di sisimu.

Zhongli yang baru kembali dari dapur lekas meletakkan gelas berisi air putih dalam genggam di atas nakas kala melihat kondisi Kiara nan begitu rapuh, tak mampu memungkiri bila kecemasan dalam benak dipersaksikan jelas oleh sorot mata. “Kiara,” Lelaki tersebut memanggil kemudian merangkak naik ke atas ranjang sebelum menangkup kedua pipi Kiara guna mempertemukan pandang. “lihat aku. Aku masih di sini dan tidak akan pergi kemanapun.” Penuturan Zhongli dibalas isak tangis, maka satu kecup lembut berlabuh di dahi Kiara dengan harap membuat sosok tersayang lebih tenang.

Kedua kelopak mata tertutup milik Kiara kini kembali terbuka guna memperlihatkan sepasang iris merah muda berlinang air mata. Apa yang pertama kali dilihat adalah senyum lembut terpoles apik pada para rupawan sosok suami. Terkadang terselip perasaan tak mengerti atas takdir Tuhan dalam benak, bertanya-tanya mengapa sosok sempurna seperti Zhongli menerima ia ‘tuk menjadi pendamping hidup?

Salah satu tangan Zhongli perlahan dijauhkan dari pipi wanitanya sebelum menjangkau segelas air putih di atas nakas lalu memberikan wadah dalam jawat kepada sosok tersayang. Seraya terisak Kiara menerima apa yang diberi lalu menegak air ‘tuk membasahi tenggorokan. Semampu mungkin pula ia berupaya menenangkan pikiran agar lebih mudah kala menjelaskan alasan dibalik kondisi tak dikehendak ini.

“Sudah lebih tenang?” Pertanyaan Zhongli dibalas dengan angguk pelan. Hela napas lembut turut mengiringi kegiatan nan dilaku, wadah kosong dalam jawat telah diletakkan kembali di atas nakas. Sepasang iris ambar kini semata tertuju menatap pujaan hati, kuasa melingkari pinggang ramping milik Kiara serta menariknya dalam dekap hangat. “Pikiran seperti apa yang membuat kau seperti ini? Ceritakan kepadaku, aku akan mendengarkan semuanya tanpa terkecuali.” Maka dibuka topik pembicaraan inti kendati telah menelaah apa gerangan yang mengakibatkan jiwa wanitanya terguncang, lantaran seiring berjalannya waktu perlahan ia mulai mengerti tabiat sosok tersebut.

Kiara meremas kemeja gelap milik Zhongli guna menyalurkan perasaan takut dalam benak. Tenangkan dirimu, semuanya pasti akan baik-baik saja. Ayo, tenang. Usai mengumpulkan serpihan-serpihan keberanian yang sebelumnya entah kemana, lantun sahut lekas mengudara. “... M-maafkan aku, Zhongli. Aku hanya takut... Takut kehilanganmu. Aku hanya merasa tak sebanding dengan dirimu.” Intonasi vokal dari wanitanya terdengar gemetar. Tentu Zhongli menyadari itu, dan apa yang harus dilakukan yaitu membuat kenyamanan kembali hadir menghampiri Kiara.

Elus penuh kasih sayang berlabuh pada helai pirang milik Kiara sementara salah satu kuasa senantiasa mendekap erat sosok yang lebih ramping, sorot mata pun senyum teduh turut menghiasi rupa elok Zhongli. “Dengar, Kiara. Tiap insan layak memiliki kebahagiaan, tak peduli bila mereka dilumuri dosa. Sebab memang tiada kata ‘sempurna’. Aku pun begitu, tak luput dari dosa masa lalu,” sungguh, rasanya sulit sekali ‘tuk membuka luka lama ribuan tahun silam. Kendati demikian, Zhongli hanya ingin menyadarkan belahan jiwanya atas karunia dari Tuhan nan telah diberi sekecil apapun. “Secuil contoh dariku, aku pernah kehilangan orang-orang tersayang. Jujur, semua itu berat. Melihat mereka satu persatu pergi, namun kenangan tentang mereka tak pernah menghilang.”

Zhongli telah hidup bertahun-tahun lamanya, mungkin para manusia menginginkan hal tersebut. Namun kenyataan tak selalu sama dengan pengharapan. Begitu pula dengan menjalani hidup, tak mungkin semata lurus tanpa rintangan. “Aku tak sesempurna seperti apa yang kau pikirkan, tentu aku memiliki kekurangan tanpa kau sadari.” Kembali menjeda tutur sepersekian sekon seiring kedua kelopak mata perlahan tertutup kala memori-memori masa lampau terbesit dalam benak. Tidak, ia tak ingin emosi negatif ikut menguasai jiwa. Lantas sepasang iris ambar kembali diperlihatkan, sorot mata penuh keyakinan tersirat di sana, keyakinan bila lembaran baru yang tengah dijalani bersama sosok tersayang.

“Masih banyak wanita yang lebih cantik dariku... Mengapa memilihku? Aku tak mengerti.” Kiara kembali terisak pelan, tubuhnya ikut gemetar. Emosi yang sempat mereda seolah ingin meledak ‘tuk kedua kali. Tak ingin itu terjadi, Zhongli mengangkat dagu Kiara dengan tangan kanan lalu melabuh kecup lembut pada bibir wanitanya. Tiada nafsu lantaran bermaksud agar pemikiran negatif dalam benak Kiara memudar. Sepasang iris merah jambu terbelalak, sejurus kemudian kecupan itu telah berakhir. “Kau wanita pilihanku, kau memiliki keunikan sendiri yang berhasil memikatku, dan kau cantik apa adanya. Aku tak pernah memandang insan lain dari fisik, namun juga hati mereka.”

Kecup demi kecup berlabuh pada kening Kiara, lalu bergerak turun menuju pipi, hidung serta berakhir di dagu. Satu lengan kekar senantiasa melingkari pinggang istrinya sementara yang lain meraih tapak tangan kanan Kiara sebelum mengisi celah-celah kosong antara jemari. Kehangatan mulai mengalir ke tiap inci bagian tubuh, kirana lampu ruang menjadi saksi bisu atas besarnya cinta dua insan. “Andaikan kau tahu bahwa aku sangat menyayangimu, aku tak akan pernah meninggalkanmu sampai akhir hayat memisahkan kita. Kau pun akan selalu kulindungi apapun yang terjadi, Kiara. Maka dari itu, jangan biarkan ketakutan menguasai sebab kau telah menjadi tempatku berpulang. Aku bersyukur takdir Tuhan mempersatukanku dengan wanita sehebat dirimu.”

Tiap lantun kalimat yang terlepas dari bibir Zhongli layaknya sihir, menimbulkan kedamaian pun kebahagiaan pada benak. Air mata nan terbendung pada kedua sudut mata Kiara telah menghilang lantaran diseka oleh kecupan dari suami tercinta. “Zhongli...” Kiara memanggil seraya menyandarkan kepala di dada bidang sosok tercinta guna menyembunyikan rona memerah. Astaga, jantungnya mulai berdegup dengan tempo cepat. Mungkin pula mampu terdengar oleh insan di hadapan.

Kekeh lembut diberi sebagai sahut atas panggilan dari Kiara, lagi-lagi kecupan berlabuh pada puncak kepala wanitanya. “Aku serius. Tiada dusta dari tiap kalimat yang sebelumnya kuucapkan. Aku benar-benar bersyukur bertemu dengan Kiara. Mungkin bila kau bukanlah takdirku, mungkin aku akan tetap menjalani hidup seorang diri.” Senyum lembut mengiring penuturan Zhongli, atensi semata tak teralih kemanapun selain menatap sosok dalam dekapan.

Pelahan Kiara memberanikan diri ‘tuk mempertemukan pandangan dengan sang suami, “Aku tak tahu harus berkata apa lagi... Tetapi aku benar-benar mencintaimu, Zhongli. Aku pun sangat bersyukur beretemu dan jatuh hati kepadamu.” Ah, senyum yang diperlihatkan Kiara seolah membuat kupu-kupu terbang dalam perut Zhongli. Ia selalu menyukai senyuman Kiara, apalagi pesona sepasang iris merah jambu nan berhasil memikat hati ‘tuk jatuh ke jurang cinta lebih dalam lagi. Selama bersama Kiara, perlahan kebahagiaan turut menyertai. Kendati keabadian melekat pada sosoknya, Zhongli pastikan bahwa cintanya kepada Kiara pun abadi.

Kedua mata mereka perlahan tertutup pun jarak yang membentang antara paras perlahan terkikis sebelum bibir bersua satu sama lain. Manis, itulah satu kata nan terlintas dalam benak Zhongli acapkali berciuman dengan Kiara seolah menginginkannya lagi dan lagi. Genggaman pada tapak tangan Kiara kian mengerat, tak berkeinginan ‘tuk melepas sosok tersayang dari jangkauan barang sejemang. Sampai kecupan terhenti, kini kening mereka bersua. Senyuman tak lenyap dari paras Zhongli ataupun Kiara.

“Malam kian larut. Usai menangis seperti sebelumnya, pasti kau kelelahan. Tidurlah.” Zhongli meregangkan dekapan pun genggaman pada wanitanya. Benar juga. Bila dipikir kembali, Kiara tak kunjung terlelap lantaran terganggu oleh emosi negatif, sedangkan Zhongli terakhir kali masih berkutat dengan lembar pekerjaan yang harus diselesaikan saat itu juga. “Bagaimana denganmu? Masih ingin terjaga? Aku tak mau tidur sendirian...” Sahut dari istri membuat ia bergeming. Apa boleh buat, Zhongli lebih mengutamakan Kiara daripada apapun.

Belum melantun sahut, Zhongli memutuskan ‘tuk menjauh sebelum mengubah posisi menjadi berbaring di empuknya ranjang kemudian ia menepuk sisi kosong yang ada di samping. “Kemarilah, aku akan tidur juga. Pekerjaan masih bisa dilanjutkan esok pagi.” Lagi-lagi, Kiara merepotkan. Mengapa berakhir seperti ini? “T-tetapi─” Kalimat itu tertahan lantaran Zhongli kembali menepuk ranjang guna mengisyaratkan agar lekas menyusul. Kendati perasaan tak enak menggerogoti, ia tetap membaringkan diri di samping suami. “Tak apa, urusan itu nanti saja. Yang terpenting, kamu terlelap.”

Terselip perasaan senang kala sosok tercinta meindahkan permintaan tersiratnya, lantas Zhongli kembali menarik Kiara dalam dekap hangat. Tangan kiri bergerak ‘tuk mengusap helai pirang sementara yang lain mengelus punggung wanitanya. Sorot mata pun senyum teduh senantiasa terpatri pada paras Zhongli, ia tak henti memberi kenyamanan kepada Kiara seiring tubuh mereka yang begitu dekat. “Kiara,” Satu nama lolos dari bibir sebagai permulaan topik pembicaraan baru, “Aku harap kau selalu ingat bahwa aku tak akan pernah meninggalkanmu apapun yang terjadi. Ingatlah bahwa kita telah dipersatukan oleh ikatan janji suci ‘tuk tetap bersama kala suka, duka, sakit, kaya maupun miskin hingga maut memisahkan. Maka aku tak akan pernah mengingkari semua itu. Kebahagiaanmu adalah kebahagiaanku, begitu pula dengan deritamu. Bila kau menderita, biarkan aku ikut menderita. Aku telah bertekad bahwa akan menjadikanmu wanita paling bahagia di dunia. Kau percaya itu?”

Kiara mendengarkan tiap penuturan yang terlontar dari bibir Zhongli, tiada satu pun kalimat terlewatkan. Bergeming ia dibuatnya, begitu pula degup jantung yang seolah terhenti lantaran berpompa dengan tempo tak lazim. Ya Tuhan. Kiara selalu merasa lemah bila Zhongli sudah seperti ini lantaran tak tahu sahut bagaimana nan harus diberi. Angguk pelan mengiringi balasan atas satu tanya ‘tuk dirinya, “Aku mempercayaimu, Zhongli. Sangat mempercayaimu, selalu.” Intonasi vokal kala menyahut terdengar penuh keyakinan, setidaknya ia pun ingin menjalani lembar kehidupan baru bersama pendamping hidup penuh kebahagiaan. Itu bukanlah keinganan egois, kan? Tiap insan berhak bahagia.

Tentu kelegaan menyertai Zhongli usai mendengar sahut yang diberi dari Kiara. Satu kecup berlabuh di puncak kepala wanitanya sebelum turun menuju kening, anggaplah sebagai kecup selamat malam. “Sekarang tidurlah, esok hari telah menanti. Semoga mimpi─” Belum sempat melanjutkan kalimat, Kiara memotong dengan menempelkan paras pada dada bidang suami tercinta lalu mengusal. “Ceritakan sesuatu untukku, apapun itu sebagai pengantar tidur...” Zhongli bergeming sejemang, tak menyangka bila Kiara akan memberi reaksi manis seperti ini. “Tentu, aku akan menceritakan salah satu kisah menarik... Beberapa tahun silam─”

Menit demi menit berlalu, wanita dalam dekapan telah terlelap kala mendengarkan ia bercerita. Mendapati pemandangan Kiara yang menutup mata membuat Zhongli tak mampu menahan senyum, tangan kanan yang berada di punggung istrinya berpindah ‘tuk menyingkirkan helai pirang nan mengganggu ropa elok milik Kiara. Kantuk pun turut dirasakan olehnya, maka perlahan sepasang iris ambar itu tertutup sebelum tenggelam di alam mimpi.

. . .

Mentari kini telah menggantikan rembulan, pun kicau burung turut menyambut datangnya pagi. Kirana yang menyinari bumi menembus gorden ruang di mana dua insan nan masih terlelap. Perlahan Zhongli membuka kedua kelopak mata disusul dengan mengerjap dua kali guna mengumpulkan keping-keping kesadaran. Tangan kanan bergerak membuat sosok dalam dekap turut bergerak. Oh, tidak. Tanpa sengaja, ia telah membangunkan Kiara.

“Zhongli, selamat pagi...” Sapa hangat meluncur dari bibir Kiara kendati sepasang iris merah jambu masih terlihat begitu sayu. “Selamat pagi, Kiara. Bagaimana tidurmu?” Zhongli membalas seraya tersenyum, kuasa melabuhkan usap lembut pada puncak kepala wanitanya. “Tidurku nyenyak... Ah, sudah pagi. Aku belum menyiapkan sarapan.” Kala mendapati istrinya sekoyong-koyong menarik diri pun bangkit dari posisi, Zhongli lekas menahan pergarakan Kiara lalu menarik sosok itu kembali ke dalam dekap hangat. “Tak apa, sarapan nanti saja. Aku masih ingin berduaan denganmu. Tetaplah di sini.”

Kiara bergeming dengan pergerakan yang tak dikehendak, tentu ia tak menolak bila memang Zhongli masih ingin bersamanya seraya menyalurkan rasa hangat. Rona memerah samar pun senyum turut menghiasi rupa eloknya. “... Iya, aku di sini.” Akhirnya, Kiara menjawab. Zhongli menempelkan dahinya pada puncak kepala pujaan hati sementara kuasa senantiasa melingkari pinggang ramping di hadapan. “Semalam dihampiri mimpi yang seperti apa? Ceritakan kepadaku.” Topik pembiacaraan telah dibuka, maka Kiara mulai menceritakan mimpi manisnya bersama Zhongli. Semua itu bagaikan mukjizat dari Tuhan. Tentu dalam benak, keduanya ingin kebahagiaan selalu menghampiri keluarga kecil mereka.

Kiara, terima kasih telah hadir di hidupku. Andaikan kau tak berada di sisiku, juga tak ditakdirkan ‘tuk menjadi tulang rusukku... Mungkin rasa kesepian serta bayang-bayang masa lampau akan selalu menghantuiku kemanapun aku pergi. Terima kasih karena telah menjadi sumber kebahagiaan dan hartaku yang paling berharga. Kau tak perlu takut lagi menjalani semuanya sendirian karena aku akan selalu ada untukmu.

Aku sangat mencintaimu, Kiara.

── SELESAI