Tidak dijelaskan kamar asrama siapa. Yang Jeongguk? Yang Kim? Jeongguk hanya mengikuti insting untuk berlari dari kelas kampus, tanpa jeda atau toleh kanan-kiri, lurus terus hingga menaiki tangga ke lantai lima asrama.
— être dans la lune
Tidak dijelaskan kamar asrama siapa. Yang Jeongguk? Yang Kim? Jeongguk hanya mengikuti insting untuk berlari dari kelas kampus, tanpa jeda atau toleh kanan-kiri, lurus terus hingga menaiki tangga ke lantai lima asrama.
Taehyung tengah menyumpah-serapah soulmate-nya di sambungan telepon kala empu nama Jeon Jeongguk tiba di lantai lima asrama. Dipapah Jaehyun, baunya seperti alkohol, buah-buahan, dan asap kendaraan. Taehyung menyambar kenop dan siap membanting pintu dengan segala gejolak emosi, saat mata dua pasangan itu bertemu.
Mata besar itu menatapnya kagum. Di pertemuan pertama mereka, Taehyung tidak suka tatapan itu. terlalu polos, terlalu merayu. Rasanya seolah laki-laki di hadapannya ini terlalu polos dan naif. Apalagi saat mereka berjabat tangan, di bawah tekanan orangtua Jeon dan Kim yang bersekutu, laki-laki itu tersenyum seperti anak kelinci.
Tuhan. Aku menikahi anak kecil? Memang tidak ada untungnya menurut pada keluarga untuk menikah sekarang.
Sayangnya, protes dan kritik yang Taehyung lancarkan untuk membatalkan pernikahan selama satu bulan penuh itu tidak bisa mengubaj realitas. Dia menikah, dia akan hidup bersama anak kelinci dengan mata terlalu besar dan senyuman paling manis, dan Taehyung harus mengucap selamat tinggal pada deretan tipe ideal di benaknya.
Bayangan mengenai laki-laki lebih tinggi, lebih kekar, lebih berpengalaman di ranjang kini sebatas angan yang Taehyung telan susah payah.
Jeon Jeongguk, suami barunya, menggenggam tangan Taehyung seperti menyentuh batu suci kiriman galaksi tetangga. Matanya yang sudah berbinar semakin terang-benderang saja. Taehyung sampai tidak tega untuk menolak, apalagi saat Jeongguk berinisiatif mengecupnya untuk memulai episode baru kehidupan.
Episode baru yang Taehyung beri titel: kehidupan pernikahanku dengan anak kelinci.
Di malam pertama mereka, Taehyung tidak mood sama sekali dan menggeleng pada pasangannya.
“Aku banyak pikiran, Jeongguk. Kita tidur saja malam ini, ya?”
Jeongguk, yang baru kembali dari shower dengan baju mandi fluffy, tidak bisa menyembunyikan kekecewaannya. Cukup lama dia terdiam, binar di mata kehilangan cahaya seperti bintang jatuh, tapi mengangguk.
Taehyung berguling ke arah yang berlawanan, tidak ingin menghadap wajah yang membuat ekspektasinya berantakan.
[|]
Jeongguk punya kesabaran yang luar biasa.
Taehyung menunda malam pertama mereka sampai minggu selanjutnya. Tidak ingin banyak bicara, tidak ingin kelepasan curhat, Taehyung lebih memilih sibuk di ruang kerja mengetik artikel demi artikel permintaan klien. Sementara Jeongguk bolak-balik rumah (mereka) – kantor seperti robot.
“Taehyung?” Jeongguk memanggilnya pertama kali setelah enam hari hanya main 'siapa yang diam lebih lama, dia yang menang'. “Apa aku melakukan kesalahan yang gak kamu suka?”
Taehyung tersedak sarapan, menelan potongan daging susah payah dengan bantuan segelas air mineral. “Gak, Jeongguk,” Taehyung mengecek jam di ponselnya. “Jangan dipikirkan. Mendingan Jeongguk berangkat saja sebelum telat. Oke?”
Jeongguk bekerja di perusahaan keluarga, jabatan eksekutif yang Taehyung tidak ingin ambil pusing. Jeongguk kelihatan gagah dengan kemeja dan jas setiap pagi, tapi Taehyung tidak bisa mengakuinya karena setiap dia membayangkan meraba dada bidang itu, mata besar dan gigi kelinci imut itu merusak nilai-nilai seksi dalam imajinya.
[|]
Kira-kira di hari kesembilan, Taehyung memilih bermain sendiri karena dia tidak tahan. Tulisannya jadi ilogis dan membosankan, emosinya cepat naik turun, tanda kalau kebutuhan seksualnya perlu segera ditangani.
Setelah Jeongguk berangkat dengan mercedez hitam, Taehyung merapikan dapur dan lari ke bagian paling rahasia di kamar (mereka): lemari pakaian Taehyung yang menyimpan banyak sekali potongan pakaian, sepatu sampai cermin setinggi langit-langit.
Taehyung membuka bagian terlarang dan mengeluarkan mainan-mainan plastik, menarik keluar lingerie hitam yang membuatnya bisa menikmati permainan ditemani kaca. Taehyung suka melihat dirinya bermain, dia percaya diri dan bisa puas mendengar desahannya sendiri.
Taehyung membayangkan lengan berurat laki-laki yang melepaskan lingerie-nya dengan paksa. Membayangkan tangan besar meraba seluruh jengkal tubuhnya dan menghindari bokong karena bokong adalah daerah yang paling sensitif baginya, membayangkan mulut panas dan gigi kelinci meraup puting dadanya dan mengisap sekuat tenaga sampai sesuatu keluarㅡ
Taehyung terlonjak. Dildo di lubangnya terasa nikmat tapi membosankan sekaligus. Di kaca, Taehyung menatap wajahnya sendiri yang berlinang air mata dan keringat.
Air mata itu bukan cuma turun karena dia membayangkan laki-laki yang bukan suaminya. Air mata itu turun karena bayangan terakhirnya sebelum dia klimaks adalah gigi kelinci yang menggigiti putingnya seperti wortel.
[|]
Taehyung akhirnya menyerah. Dia harus melakukan seks. Dia tidak bisa melanjutkan hari-hari tanpa penis betulan merangsang bagian paling intim dalam tubuhnya. Dia tidak bisa terus-terusan hidup dalam pernikahan dingin yang membuat koleksi mainannya seperti onggokan sampah.
Mulai desperate, Taehyung merencanakan makan malam klise dengan rating dewasa seperti potongan porno ketinggalan zaman.
Jeongguk pulang lima belas menit lebih awal dan dia kelihatan sangat tertekan sampai-sampai alis hitamnya terus mengerut. Bahkan saat dia duduk di meja makan, dia hanya diam memandangi sendok dengan ekspresi rumit.
“Makan dulu, Jeongguk,” Taehyung membuka pembicaraan, menuang air di gelas di samping piring sang suami. “Pusing ya?”
Jeongguk menghela nafas keras. “Iya,” dia menatap balik Taehyung dengan wajah berantakan dan potongan rambut yang mulai panjang. “Kerjaan Tae gimana hari ini?”
Kerjaanku cuma meditasi karena hampir gila tidak melakukan seks sama kamu.
“Lancar,” Taehyung tersenyum manis. Kepalanya sedikit turun untuk berbisik di telinga suaminya, “Jeongguk besok libur?”
Jeongguk berhenti nengunyah. “Ya. Hari Sabtu.”
Taehyung mengangguk puas. Jeongguk menatapnya lebih intens. Taehyung merasa bulu kuduknya berdiri, mata polos itu tidak lagi terlihat polos...
“Aku mau mencoba sesuatu malam ini,” Taehyung mundur. Pandangan Jeongguk tidak sekalipun lepas. Tangan Taehyung menjalar ke balik tubuh dan melepaskan apron putih, perlahan-lahan menanggalkan kain putih yang menutupi tubuhnya.
Tubuhnya yang hanya mengenakan crop top tipis hitam dengan boyshort merah. Crop top itu didesain dengan potongan mengekspos punggung yang dihias tali-temali cantik, dan boyshort itu mempertontonkan kaki jenjang dan bulatan pantat yang selalu Taehyung jaga kekenyalannya.
Taehyung sengaja berbalik, berjalan ke arah lemari pendingin dan membungkuk untuk memilih semangkuk buah-buahan. Lama dia berpura-pura memilih buah apa yang hendak diambil, sesekali menggoyangkan pinggulnya untuk memastikan pantatnya menjadi tontonan paling eksotis, sebelum dia menegakkan tubuh kembali.
Taehyung memotong semangka, menyisihkan biji-bijinya untuk Jeongguk yang kini tak bersuara sedikitpun. Bunyi sendok yang absen membuat Taehyung sedikit cemas, dia akan benar-benar menaiki pria itu kalau tampilannya ini tidak membuat darahnya berdesir!
“Jeongㅡ”
“Taeㅡ”
Taehyung menjilat bibir bawahnya. Mereka angkat suara dan berhenti di waktu yang sama. Meletakkan potongan semangka yang dipotong tipis-tipis, Taehyung berbalik untuk kembali ke meja makan dan menyajikannya pada sang suami.
Melihat reaksi Jeongguk yang hanya mampu memaku pandangan tanpa mampu menyendok suapan baru, Taehyung tahu dia terlihat lebih lezat dari hidangan di atas meja. Perawatan ekstra dia terapkan sejak pagi, melapisi lulur di mandi pagi sampai body butter cokelat yang membuat Taehyung ingin menjilati kulitnya sendiri. Tambah lagi, potongan pakaian yang mencetak lekuk tubuhnya memiliki daya tarik.
Pikiran Jeongguk pasti sudah kotor. Penuh imajiseksi yang Taehyung harap segera dia lakukan, supaya Taehyung bisa berhenti melihatnya sebagai anak kelinci dengan sinar mata polos.
“Taehyung,” Jeongguk memanggilnya lagi saat yang mereka lakukan hanya beradu netra dalam diam seperti berusaha masuk ke pikiran satu sama lain dan menebak pikiran siapa yang lebih eksplisit. “Kamu sudah makan?”
Taehyung, masih berdiri di samping Jeongguk yang duduk, mengangguk dengan senyuman paling lebar. “Yap.”
“Kenapa gak tunggu aku pulang?”
“Biar aku bisa lakuin ini,” Taehyung menundukkan tubuhnya, membuat wajahnya sejajar dengan Jeongguk, menyentuh ujung piring yang masih belum bersih. “Biar bisa masak, bisa lihat Jeongguk makan... bisa suapin Jeongguk.”
“Suap—?”
Taehyung menyentuh bahu Jeongguk, merasakan bahan kemeja yang melekat dari pagi hingga sekarang, membayangkan Jeongguk bertemu kolega dan bawahannya, meeting, seharian sibuk tanpa henti sampai kemeja itu lecek dan dua kancing teratas dibuka—sementara Taehyung harumnya manis, bersih sampai ke kuku-kuku jari, dan mengenakan pakaian baru berpotongan menggoda, memperlihatkan terlalu banyak kulit karamel yang mendamba sentuhan.
Taehyung mengangkat satu kaki dan menempatkan diri di pangkuan pria itu. Tangan Jeongguk refleks menjaga tubuhnya untuk duduk seimbang, berkontak dengan pinggangnya yang terekspos. Taehyung merasakan kejut nikmat begitu tangan besar itu mendarat di atas kulitnya.
Selama ini dia melihat Jeongguk seperti anak kelinci yang tidak punya telapak tangan sebesar, sekasar, dan sepanas ini.
Butuh beberapa langkah untuk mencapai Jeongguk. Laki-laki itu mengenakan kaos polos putih dan celana pendek, rambut gelap masih sedikit basah di ujung helai, berdiri di depan pintu dengan gaya waspada. Taehyung menatapnya, hanya kepala menyembul dari celah pintu yang terbuka.
“Aman,” kata Jeongguk. Satu-satunya suara di lantai lima. Sembilan pagi dan orang-orang masih tidur atau sudah di kelas. “Sini, Taehyung.”
Taehyung perlahan melebarkan daun pintu, mengencangkan dua lengan jaket yang terikat di pinggangnya sebagai penutup dari rok lipit biru yang dia kenakan. Wajahnya merah membara saat dia mengambil beberapa langkah untuk sampai ke soulmate-nya, malu menjadi saat mata Jeongguk tidak bisa lepas dari tubuh bagian bawahnya.
“Hup,” Jeongguk menangkapnya seolah Taehyung melompat ke pelukannya. Lengan laki-laki itu melingkari bahunya, dengan lembut menuntun Taehyung masuk ke kamarnya yang seperti kapal pecah. Taehyung merapatkan tubuhnya pada Jeongguk begitu pintu tertutup, terkunci, dan hanya ada detak jantung mereka yang bersahutan di dada. “Lo—cantik banget. Serius.”
Taehyung bisa merasakan getaran perasaan Jeongguk. Berbeda dengan perasaannya, seolah ada dua sensor yang bisa mendeteksi, dan kini getarannya berupa antisipasi berapi-api. Perasaan itu menular. Taehyung ikut deg-degan, bukan hanya karena malu dan gugup.
“M-makasih. Lo baru mandi?” suara Taehyung kecil. Jeongguk masih belum memberi jarak dari tubuh mereka yang berdiri bersebelahan seperti dinding dan bingkai foto.
“Gue belum mandi. Baru sikat gigi sama cuci muka juga. Ini juga karena lo mau ke sini.”
“Jadi kalo gue gak ke sini lo bakal bau dan kotor?”
“Iya, lah. Kelas libur ini ngapain mandi.”
Taehyung memandang terlalu lama dalam diam. Tapi Jeongguk sama sekali tidak menyela. Seolah membiarkan Taehyung membereskan pikiran dan mengambil waktu sebanyak-banyaknya.
Seolah Jeongguk ingin Taehyung nyaman. Di dekatnya. Tanpa ada embel-embel charging atau soulmate. Mengenakan rok biru yang senada dengan hoodie kebesaran di badan.
“Jeongguk, gue gak aneh?”
“Udah dibilangin. Gak aneh,” Jeongguk mendengus. Satu tangannya meraih bahu Taehyung dan membuat tubuh mereka berhadapan. “Gue ngomong kedengeran?”
“Iya...”
“Jelas?”
“Jelas.”
“Lo cantik. Lo manis. Foto lo tadi hampir bikin gue mimisan.”
Taehyung menunduk. “... malu gue ih.”
Jeongguk ikut menunduk, lebih menunduk, sampai wajahnya mendongak untuk menatap Taehyung dan pipi merah jambu. “Itu pujian, Taehyung. Sumpah,”
Jeongguk meraih pergelangan tangannya, perlahan, lembut, memberi kesempatan untuk Taehyung menolak. “Coba tunjukin ke gue roknya?”
Api masih membakar pipinya. Taehyung tidak bisa menunduk lagi, ke manapun matanya bergerak, ada wajah Jeongguk dan tatapannya di sana. “Kalau lo malu banget, ya udah, gak apa-apa. Jangan maksain.”
Taehyung buru-buru menggeleng. “Gue—gue ke sini karena mau nunjukkin roknya ke lo, Jeongguk.”
Rasa puas milik Jeongguk membanjiri Taehyung seketika. Taehyung menarik nafas, berkedip cepat. Puas yang mengalir itu mengusir rasa malu sedikit demi sedikit.
“Oke, gue tungguin. Kapanpun lo siap, Taehyung.”
Taehyung menelan ludah. Tangannya melepaskan diri dari genggaman Jeongguk dan beralih menarik salah satu lengan jaket yang menjadi simpul sederhana. Jaket itu merosot perlahan. Taehyung menggumpalkan jaket hingga bentuknya seperti bola dan memeluknya.
Rok itu menampilkan diri. Biru gelap, mirip rok anak sekolahan tapi dengan potongan kelewat seksi. Kaki Taehyung terekspos—seperti karamel, tanpa cela hingga mata kaki. Mengenakan rok membuat Taehyung merasa lebih cantik, dan bahannya terasa nyaman saat jatuh menyentuh kulit. Dia suka mematut diri di depan cermin dalam balutan rok saat Jimin pulang kampung atau sibuk dengan unit kemahasiswaannya.
“Taehyung.”
Laki-laki itu tersentak, memeluk jaketnya kencang. “Ya?” Jeongguk tidak lagi berdiri di depannya, dia berlutut dengan satu kaki dan tangan terkulai lemas seperti jeli. “Lo kenapa—kok lemes gitu?”
“Habisnya lo soft banget sih, cantik, manis, cuddly gini. Gak kasihan sama gue?” Taehyung menjilat bibir bawahnya ragu. Jeongguk benar-benar mengirimkan perasaan lesu, letih, lunglai pada Taehyung, tapi matanya penuh binar dan lidahnya seperti mau keluar—
“Jeongguk, lo ayan?!”
“Ay—apaan, enggak, anjir... ini tuh karena lo terlalu manis, Kim Taehyung!”
Taehyung hendak ikut berjongkok, menyamakan pandangan mereka, tapi tangan laki-laki itu memberi tanda berhenti. “Lo berdiri aja... gue di bawah gini. Gue mau memandangi kaki lo sampai mati.”
Pipi Taehyung kembali merah padam. “Jeong—“
“Kalau lo bilang masih malu atau sejenisnya, gak gue terima. Lo pantas mendapatkan jutaan pujian.”
“Enggak, gue mau bilang,” Taehyung menarik nafas dalam-dalam. “Lo boleh pegang... tadi lo nge-chat pengen pegang gue, kan?”
“Anjir? Makasih, Taehyung.”
Dua tangan Jeongguk yang besar dan lebih hangat langsung menapaki pahanya. Taehyung terkejut, tidak terbiasa dengan kontak fisik langsung, menahan lidahnya untuk tidak meluncurkan protes saat telapak itu meraba pahanya tanpa kata.
Jeongguk punya tangan yang besar. Jari-jarinya tidak lentik, seolah ruas tulangnya lebih pendek dan lebih lebar. Kala mereka baku hantam semasa SMA, pukulan Jeongguk selalu pasti, akurat, meninggalkan kesan menyakitkan yang sulit dilupakan.
Jeongguk saat tawuran dikenal paling banyak menjatuhkan lawan. Pukulannya tidak pernah main-main, sekalinya dia menancapkan tatap dan mengarahkan tinju, damage-nya akan seratus persen tanpa pernah kurang. Taehyung pernah menyaksikan Jeongguk menghajar ketua geng SMA tetangga dan hari itulah Taehyung benar-benar mual melihat darah yang mengalir keluar dalam perkelahian remaja.
Jendral jejadian dan jagoan tawuran, titelnya. Tapi, kenapa saat Jeongguk memukulnya, Taehyung tidak pernah benar-benar harus dibawa ke UKS? Kenapa saat Taehyung melayangkan bogem dan membuat hidungnya berdarah, Jeongguk tidak pernah balik menyerangnya sekuat yang dia lakukan di medan tawuran?
Taehyung memusatkan perhatiannya kembali pada realitas. Pada tangan yang masih meraba-raba dalam kagum seolah pahanya semacam trofi emas hasil memenangkan olimpiade tingkat dunia. Dorongan untuk menampar tangan-tangan itu supaya menjauh dari pahanya begitu kuat, tapi Taehyung ingin niat awalnya berjalan sesuai rencana...
Perasaan Jeongguk menggebu-gebu di benak Taehyung, seperti kembang api, euforik seperti menyentuh soulprint pertama kali. Tangannya tidak pernah diam, mengelus, mengusap, mencubit-cubit kecil dan membuat pipi Taehyung semakin merona.
“Cantik.”
Taehyung tidak tahu sudah berapa kali adjektiva itu keluar dari mulut Jeongguk yang semakin dekat dengan jarak di antara dua pahanya.
“S-sekali aja ngomongnya, gue juga denger,” Taehyung menelan ludah saat jari Jeongguk menyentuh tepian roknya. Meninggalkan jejak panas yang membuatnya ingin berjongkok dan berguling jadi bola, sebulat gumpalan jaket yang dia cakar di pelukannya.
“Gak bisa cuma sekali, lah, apresiasi harus dilakukan kayak bernafas,” mendadak Jeongguk mencium pahanya pelan. Tenggorokan Taehyung tercekat. “Taehyung? Lo oke?”
Sirene merah menyala dan berisik di kepala Taehyung. Dia tidak bisa membiarkan perasaan amatir ini membuat Jeongguk berhenti menciumi pahanya—Taehyung bisa gila kalau bibir itu meninggalkan jejak lebih banyak! Taehyung pusing dengan sensasi baru ini. “A-ak—gue oke, gue oke.”
Jeongguk mendongak menatapnya. Matanya terlalu hitam untuk pagi secerah ini, terlalu menghipnotis. Taehyung meleleh. “Lo suka gak?”
Jeongguk melingkarkan dua lengannya ke belakang lutut Taehyung yang bergetar, memeluk kakinya, membuat Taehyung harus melangkah maju. Selangkangannya terlalu dekat dengan wajah tampan berantakan itu. Tangannya yang kasar mengusap belakang lututnya, naik ke paha, dan memainkan tepian rok biru yang terasa terlalu pendek.
Taehyung membuka mulut susah payah. Jeongguk tidak terlihat seperti berandal tolol yang ingin dia pukul. Seperti ada sisi baru yang selama ini Taehyung sangkal. “S-suka.”
Jeongguk mencium pahanya. Kali ini lama sampai bunyi kecupan terdengar. “Taehyung, gue selalu bayangin secantik apa lo kalau nurut begini sama gue.”
Mata Taehyung melebar. “Gue—“ belum sempat dia merespons, Jeongguk menyingkap roknya ke atas, menampilkan kulit karamel lebih banyak. Pegangan Taehyung pada pahanya mengeras, membuat Taehyung bercicit. “Jeongguk—“
“Gue bersyukur. Bersyukur soulmate gue itu lo, Kim Taehyung,” kecupan. “Kim Taehyung,” hati Taehyung meledak dan cair sekaligus. “Kim Taehyung,” Jeongguk menjulurkan lidahnya dan menjilat permukaan kulit paha itu seperti orang kelaparan. Nama Taehyung mengudara lagi dan pemiliknya hanya bisa memandangi kepala hitam itu bergerak-gerak memuja kakinya. “Gue boleh intip yang di balik rok?”
Taehyung terkesiap saat wajah itu mendongak lagi, di antara kedua kakinya, yang entah bagaimana masih bisa berdiri. Jeongguk mencuri nafasnya dengan tatapan intim itu, matanya yang lurus, fokus, tidak berkedip.
“Boleh...”
Pukulan puas dan birahi menonjok Taehyung. Penuh semangat, Jeongguk, yang masih berada di posisi berlutut satu kaki, menyelipkan satu lututnya yang masih tertekuk dan menyingkap rok lipit itu. Kulit yang semakin banyak terekspos membuat Jeongguk berdengung senang, dan tangannya ikut naik bersama kecupan-kecupan yang merangkak menuju area intim Taehyung.
Taehyung bergetar. Pelukannya pada gumpalan jaket terasa sia-sia karena tidak bisa menyalurkan keinginannya untuk mempertahankan kewarasan.
“Kenyal begini kulit lo... kok bisa lembut gini.”
Jeongguk mengangkat rok itu sepenuhnya. Memperlihatkan celana dalam putih dengan renda yang membungkus kejantanannya elok. Jeongguk mengecup kain katun lembut itu, membuat Taehyung berjinjit dan memekik tertahan. Kontak tak langsung antara bibir dan kejantanannya yang responsif itu membuat Taehyung ingin mencakar sesuatu yang lebih keras daripada jaket ini.
“Lo lembut banget, Taehyung.”
Tangan Jeongguk mencengkram pipi bokong Taehyung, meremasnya perlahan. Taehyung tidak sengaja melepaskan suara terlarang dan remasan itu semakin kuat. Taehyung hampir jatuh ke depan kalau saja tidak ada wajah Jeongguk yang menciumi celana dalamnya.
“Jeongguk, ih,” Taehyung ingin menangis, ingin lebih, ingin lari pulang ke kamar dan berteriak ke bantal, ingin Jeongguk melepaskan pakaian dan melakukan hal-hal di luar nalar. Jeongguk mencubit pantatnya, menepuk-nepuknya seperti menabuh gendang, dan baru berhenti saat Taehyung membanting jaket ke lantai dan meremas rambut Jeongguk keras-keras. “Jangan mainin pantat gue!”
Jeongguk meninggalkan celana dalamnya untuk mendongak menatap Taehyung iseng. “Jangan apaan, gue bisa ngerasain lo keenakan sama tangan gue, Taehyung.”
Taehyung semakin malu melihat bercak basah di celana dalam akibat perlakuan binal Jeongguk. “Lo—Jeongguk, gue manusia, bukan makanan.”
“Lo mau balik badan gak? Gue bakal tunjukkin kalau lo itu makanan.”
“Maksudnya?”
“Sini, gue tunjukkin. Kalau lo gak mau, gue bakal berhenti. Gue bisa ngerasain apa yang lo rasain... jadi?” Jeongguk menunggu sampai Taehyung mengangguk kecil. “Oke, Taehyung gue yang cantik, balik badan.”
Taehyung berkedip saat Jeongguk membiarkannya balik badan. Dia berhadapan dengan dinding kamar Jeongguk yang polos tanpa ada hiasan atau jadwal matakuliah, berbeda dengan kamar Taehyung yang penuh catatan tugas harian dan tips-tips belajar.
Mata Taehyung merayap ke ventilasi saat kepala Jeongguk masuk ke dalam roknya, membuat Taehyung dikejutkan dengan rambut yang menggelitik dan tangan yang mendadak menurunkan celana dalam putihnya.
Belum selesai Jeongguk mengejutkannya, Taehyung dibuat terperanjat saat jemari Jeongguk hinggap di belahan pantatnya, membuka jalur untuk bagian yang bahkan belum pernah Taehyung sentuh, dan menjilat.
“AHH JEONGGUK BANGSAT!”
“Ow! Ow! Sakit, Taehyung, narik rambutnya—oi, gue bisa botak!”
Taehyung belum pulih dari syok, malu dan nafsunya saat dia berbalik dan menampar kepala Jeongguk. “Kamu—kam—lo—maksud lo apa?!”
“Taehyung, ya Tuhan, itu bagian dari seks—“
“Bohong! Masa—lidah lo—ke p-p-“
“Pantat.”
“Ssssst!”
“Pantat.”
“Jeongguk!”
“Serius, Taehyung. Aktivitas itu namanya menjilat pantat pasangan. Lo belum pernah nonton porno yang tags-nya rimming atau ass-eating?”
“Ass—HAH?”
“Haduh, harusnya gue vanilla aja ya sama lo. Gaya missionary... maaf, maaf, ini salah gue.”
Taehyung mengatupkan mulutnya. Jeongguk masih berlutut di lantai, kini mengacak rambutnya dan perasaan bersalah menguar jelas dari soulprint mereka yang terhubung. Taehyung masih merasakan sensasi basah nan panas saat lidah Jeongguk menyentuh bagian yang bahkan tidak pernah dia sentuh (paling dilihat saja untuk Taehyung cek bagaimana bentuknya, murni keingintahuan yang polos). Aneh, itu yang pasti, tapi Taehyung tidak benci.
“Taehyung, lo pernah coli?”
“Pernah, lah!”
“Oh, tapi gak pernah eksplorasi pantat lo?”
“Gak pernah... dih, kenapa gue harus ngomongin ini sama lo?!”
“Ya biar gue tahu harus mulai dari mana ngajarin lo... lo polos banget, sih. Garang, ambis, pinter mukul sama nendang, tapi ternyata—ampun, Taehyung. Gue kagum sebenernya sama kemurnian lo. Sumpah.”
Taehyung menurunkan kepalan tinjunya. Melipat lengan di depan dada.
“Gue minta maaf ya karena bikin lo kaget? Lainkali gue bakal hati-hati dan gak kebawa nafsu kaya tadi,” Jeongguk duduk sila di atas karpet kamarnya, lalu menepuk ruang di antara lipatan kakinya untuk Taehyung duduki. “Pangku sini.”
Taehyung menghela nafas. Bibirnya mengerucut. Jeongguk mengalirkan perasaan bersalah, hangat, dan jujur. Taehyung menurut, duduk di pangkuannya asal-asalan dan membiarkan Jeongguk membetulkan letak tubuhnya supaya Taehyung bisa nyaman. Rok birunya terangkat sedemikian rupa sampai pahanya tidak lagi punya tempat sembunyi. Jeongguk memainkan celana dalamnya, tapi dia lakukan dengan sangat hati-hati dan lembut.
“Gue beruntung banget punya lo, Taehyung.”
Taehyung mendengus, sekalipun pipinya merona senang. “Beruntung karena gue pakai rok?”
“Karena lo berani pakai rok. Karena lo cantik. Karena lo galak. Karena lo beruang kutu. Karena lo punya soulprint yang terhubung sama gue.”
“Paha gue gak disebutin?”
“Paha nomor dua. Nomor satunya pantat lo. Tau gak, buah yang warna pink itu terus bentuknya kayak pantat? Buah itu sama pantat lo, masih menang pantat lo.”
“Ih, mesum...”
“Gue aslinya gak mesum, Taehyung, tapi lo tuh badannya bikin gue... masa’ gue diem aja kayak tai ayam nunggu diinjek kalau liat lo? Pakai rok lagi. Jadi makin cantik.”
Taehyung menampar dada laki-laki itu. Dia bersembunyi, tidak ingin Jeongguk tahu bagaimana jantungnya berdebar dan senyuman merekah di bibir merah muda—tapi sia-sia karena ada soulprint yang mengekspos perasaan mereka pada satu sama lain. “Pinter ngomongnya ya lo.”
Jeongguk tertawa, mencuri kecupan di puncak hidung Taehyung, lalu menghindar dengan ahli saat Taehyung melayangkan tinju. “Lo ngatain gue pinter? Serius?”
“Bodoh maksud gue, bodoh kayak pithecanthropus.”
Taehyung sudah siap sejak pukul empat pagi. Jimin tidak pulang ke asrama, bilangnya punya kesibukan sampai dua hari ke depan. Berkaca di cermin, pipinya terlalu merah dan matanya terlalu berkilau ditimpa lampu kamar—seolah dia benar-benar senang hari ini.
Terlalu senang? Benar. Taehyung merapatkan syal putih yang senada dengan hoodie ukuran raksasa yang menenggelamkan tubuh sampai pangkal paha, lalu malu-malu tersenyum pada cermin yang berdiri tanpa komentar. Jeon Jeongguk bukan laki-laki dengan adjektiva sempurna, tapi untuk pertama kalinya, Taehyung dibuat sesenang ini tanpa kecuali.
Jeongguk punya hak untuk melarangnya pulang kampung sebagai soulmate—tapi laki-laki itu malah melakukan yang sebaliknya. Bahkan menawarkan diri untuk jadi sopir ke Geochang yang berarti dia akan kelelahan luar biasa karena Taehyung tidak bisa mengemudi.
Mendadak ponselnya bergetar dari atas tas yang sudah siap dibawa. Taehyung mengecek notifikasi dan rasa malu merambat di wajahnya secepat kilat. Nama Jeongguk tertera di sana berikut dengan godaan:
‘Seneng banget ya? Kerasa loh sampai sini.’ ‘Masih jam 4.15 sih tapi boleh gak gue ke kamar buat cium pipi lo?’
Taehyung mengetik balasan dengan jari yang ikut gugup. Muka masih semerah delima segar dan bibir mengerucut, Taehyung mengirim balasan.
‘kalo udah siap mending langsung berangkat, guk.’
Taehyung baru saja hendak memasukkan ponselnya ke dalam tas saat benda elektronik itu bergetar lagi.
‘Tau aja kalo kita mulai sesi make-out sekarang, berangkatnya jadi ngaret sampai jam 6.’
Taehyung mendengus. “Jeongguk mesum,” gerutunya, lalu memasukkan ponsel ke tas.
Saat dia bertemu tatap dengan dirinya sendiri di pantulan cermin, Taehyung mendapati senyuman tulus terekah di sana seperti bulan sabit di langit merah jambu.
]|[
Jeongguk keluar mengenakan jaket kulit hitam dan jeans. Segala yang dia kenakan hitam—kecuali jam tangan keperakan dan tindikan di telinga yang seringkali jadi objek yang masuk ke mulut Taehyung selain kancing kemejanya. Jeongguk berjalan ke arah parkiran yang terletak di barat asrama, dan berhenti saat matanya mendarat pada sosok berbalut busana putih di bawah lampu jalan.
Jeongguk berlari tergopoh-gopoh ke arah motor yang ditemani sosok itu, mendengarnya berteriak dari kejauhan, “Ngapain lari-lari?!”
Jeongguk membuang nafas kasar saat dia menyentuh kemudi motor dan bertatapan dengan Kim Taehyung yang kelihatan hangat dan selembut kapas dengan jaket dan syal putih. “Keburu malaikatnya kembali ke langit.”
Jeongguk mendengus puas melihat semburat kemerahan mewarnai pipi Taehyung. Jeongguk masih tersenyum bahkan saat dia mengenakan sarung tangan fingerless dan menyerahkan helm pada Taehyung yang tidak berani menatapnya. Soulprint-nya mengungkapkan ada bingung dan gugup yang perlahan Taehyung kirim pada Jeongguk.
“Kenapa, Taehyung?”
Laki-laki manis itu mendongak dan menggeleng.
“Kenapa, sih, gugup mulu kalau lagi berduaan sama gue?” Jeongguk mengenakan helm hitamnya dan mengangkat kaca supaya suaranya terdengar jelas. “Gue cium, nih, kalau lo masih gugup-gugupan gitu.”
Taehyung melihat sekeliling panik. “Mulutnya jaga, di depan umum!”
Jeongguk mengambil tas yang Taehyung jinjing. Tidak terlalu besar, tidak terlalu berat. “Tasnya gue peluk, ya. Lumayan ngangetin di jalan.”
Motor Jeongguk berderu, lampu sorot menyala. Tidak ada siapapun di parkiran, langit masih gelap tanpa awan, udara masih dingin dan akan semakin beku kalau Taehyung tidak merapat di jok belakang dan menempelkan tubuhnya ke punggung Jeongguk (hehe). “Yok, Tae, naik.”
Taehyung memegang bahunya untuk naik. Setelah memastikan Taehyung nyaman di joknya, Jeongguk memutar tubuh dan meminta tangan Taehyung. “Mau salim dulu ke malaikat biar selamat sampai tujuan.”
Taehyung memukul bahunya. Terlalu pelan, rasanya seperti dielus. Taehyung merona lagi dan Jeongguk jadi suka warna merah muda. Taehyung memberikan tangannya. Jeongguk melepaskan sarung tangan yang kembaran dengan miliknya itu (Jeongguk punya tiga pasang yang seringkali dipinjam Jaehyun dan Yugyeom). Setelah punggung tangan Taehyung terlihat, dia daratkan kecupan dengan hati-hati. Sedikit canggung dengan posisi mereka di atas motor, tapi Jeongguk bisa merasakan perasaan Taehyung yang membuat jantungnya ikut berdebar juga.
Memasangkan kembali sarung tangan, Jeongguk membalik tubuh lagi dan menarik tangan itu untuk melingkar di pinggangnya. “Pelukan terus sampai rumah gue ya? Biar Taehyung gak masuk angin. Abis itu kita makan bubur buatan Ibu gue di rumah.”
Jeongguk mengecek kaca spion untuk memastikan Taehyung sudah mengenakan helm dan memeluknya nyaman.
“Guk, rumah lo di mana?”
“Sebenernya ada banyak... tapi biar searah ke Geochang, jadi rumah yang di Cheongju aja. Ibu gue juga kebetulan ada di sana dari minggu kemarin.”
Motor meluncur keluar parkiran. Jeongguk menunjukkan STNK-nya pada sekuriti yang baru bangun, mengerjap-ngerjap pada lengan Taehyung yang melingkari Jeongguk.
“Subuh gini pacaran,” komentar si sekuriti sambil menguap.
“Mau saya antar ketemu Ibu saya, Pak, doain ya,” Jeongguk nyengir-nyengir, lalu berteriak kaget saat Taehyung meraih kaca helmetnya dan membantingnya menutup. “Taehyung, kalau kaca gue rusak gue jilat lo sampai basah.”
“Hah maksudnya, Dek?” malah si sekuriti yang bereaksi. Jeongguk menerima STNK-nya kembali dan meminta Taehyung memasukkannya ke tas.
“Tae, masukkin STNK-nya ke saku depan aja,” kemudian dia tersenyum diplomatis pada si pak sekuriti. “Gak, Pak, bukan ke Bapak. Hehe. Duluan ya, Pak!”
Saat motor lepas ke jalanan raya, Taehyung memukul helmnya keras sampai telinga Jeongguk berdenging. Jeongguk tertawa-tawa, mengemudikan motor seperti kebutan liar dan berbahagia saat Taehyung memeluknya semakin erat (disertai sumpah serapah). Jeongguk memperlambat laju motor saat Taehyung mulai ketakutan betulan.
“Gak usah takut, lah, pas SMP gue pernah menang balapan liar di bundaran Changryeong.”
“Tetep ngeri, goblok. Barusan lo cium tangan ke gue biar selamat sampai tujuan, tapi sekarang lo malah kebut-kebutan gini? Gak sayang nyawa amat lo!”
“Ya ampun, iya, iya. Lo khawatir ya? Maaf, maaf. Nih, bakal 20 kilometer perjam ya?”
“Gak selambat itu juga!”
“Lambat kan enak jadi sampainya lama... lo meluk gue gini lagi. Lo selamanya aja di motor sama gue, ya?”
“Gak mau!”
“Bohong... gue bisa ngerasain lo seneng, tauk.”
“Lo—lo tuh—“
“Eits, Taehyung sayang mau ngomong apa?”
“UDAH FOKUS KE JALAN AJA!!!”
“Dada lo nempel ke gue gini mana ada yang bisa fokus?”
“Jeongguk ih, serius. Iya gue seneng, puas lo?? Tapi lo bercandanya suka keterusan...”
“Habisnya lo gemes banget... sekarang aja pengen melipir dulu terus gue ciumin tangan lo.”
Gedung kampus telah hilang ditelan jarak. Jeongguk mengemudikan motor melintasi rangkaian mall yang masih sepi dan gerai-gerai pinggir jalan yang belum buka. Udara dingin menusuk, tapi dua orang di atas motor Hyosung GV-235 hitam itu cuma sibuk dengan bicara pada satu sama lain untuk membiarkan beku terselip di antara mereka.
“Taehyung,” Jeongguk bersuara di antara sunyi pertama setelah empat puluh menit mereka habiskan mengobrol dan debat soal preferensi hal-hal trivial. Pertama kalinya Jeongguk menemukan orang yang bisa dia ajak ngobrol tanpa henti selain geng 97an, pertama kalinya Jeongguk bisa nyaman jadi dirinya sendiri dan menerima omelan Taehyung kalau obrolan mendadak jadi sesi flirting menjurus 18+. “Lo udah mulai lapar?”
“Belum, sih. Kenapa emang?”
“Kalau lo laper kita bisa sarapan dulu. Daerah sini banyak tenda makanan sampai pertigaan selanjutnya.”
“Kan mau makan di rumah lo?”
“Oke.”
“Lo lapar, ya, Jeongguk?”
“Lapar sekali apalagi pada sentuhan Kim Taehyung si galak tapi daritadi ngirim senang-senang-senang ke soulprint gue.”
“Heh.”
“Seneng gue juga, Taehyung. Gak apa-apa, jujur aja ke gue.”
“...”
“Udah gak bisa nyembunyiin apa-apa dari lo, Taehyung.”
“... Ya sama, gue juga gak bisa bohong. Lo tau semuanya yang gue rasain.”
“Sebenarnya gue kira lo bakal nge-block gue sesekali, tapi, sampai sekarang lo gak lakuin itu.”
“Ya habis...” jari Taehyung di perut Jeongguk mengepal. Jeongguk menurunkan satu tangan dari kemudi dan memeluk tangan itu dengan jemarinya. “... gue pengen percaya ke lo. Gue kan udah bilang?” jeda. “Lo soulmate gue, bukan musuh atau hama wereng lagi.”
Jeongguk menelan ludah. Matanya berkaca-kaca. “Tae—“
“Ya Allah, lo bahagia banget dengernya ya?” Taehyung tertawa. Jeongguk mendengarnya seperti bunyi lonceng pernikahan dan janji suci dan segala yang bersinar di dunia. “Jeongguk?”
Jeongguk mengangguk. Matanya masih pada jalan lurus yang diterangi lampu jalanan. Rasanya sepi kalau dia sendirian—dan rasanya hangat kalau dia melirik tautan tangan Taehyung yang memeluknya dari jok penumpang.
“Gue soulmate lo,” suara Taehyung lebih lembut. Hebatnya, deru mesin dan angin yang berisik bahkan kalah oleh suara indah itu. “Nanti kalau ketemu sama Ibu lo, bantuin gue, ya. Gue gak mau malu-maluin lo.”
Nyawa Jeongguk (hampir) melayang.
“Tae, mau berangkat sekarang ke Geochang?”
Taehyung seperti gumpalan bulu domba. Atau pilinan awan di langit cerah yang terlihat seperti permen kapas putih. Atau gabungan antara keduanya, ditambah sirup manis dan potongan bolu ceri yang bergoyang saat disentuh. Laki-laki itu tidak banyak bicara, tidak mengomel seperti biasa ketika Jeongguk menuntut sesi raba-raba atau sekadar ciuman telak yang berujung adegan dewasa.
Jeongguk tidak protes. Dia hanya masih belum terbiasa. Taehyungnya yang seringkali marah dulu baru terima, kini jadi penurut dan penuh inisiatif dalam waktu singkat.
Hanya ada satu hal yang Jeongguk pikirkan.
“Hei,” Jeongguk menepuk kepala yang bersandar padanya. Kafe dan bar Desember di jalan Jungang selalu ramai oleh anak muda, tapi kali ini suasananya benar-benar mendukung untuk bengong dan bermanja-manja dengan Taehyung. “Kemarin ada ngobrol apa sama Ibu?”
Taehyung mendongak. Dagunya memanjat bahu Jeongguk. Jeongguk terserang visual sekali lagi setelah ribuan kali mengaku mau mati saja kalau Taehyung pasang wajah imut begitu. “Gak ngobrol apa-apa, kok.”
“Bohong,” Jeongguk menyentil dahinya pelan. Lengannya yang berada di belakang kepala Taehyung, turun dan melingkari tubuh soulmate-nya. Jari-jari Jeongguk merayap di atas tangan yang lebih mungil. “Gak mungkin ada perubahan tiba-tiba kayak begini kalau kamu gak kena nasihat dari Ibuku.”
Taehyung mendengus. Lengkungan bulan sabit merekah di bibir ranum, membuat Jeongguk tergoda untuk mencuri ciuman. “Rahasia aku sama Ibu, ya? Guk gak boleh tahu.”
Jeongguk menyerah pada keinginannya. Tidak mencium di bibir, tapi mengecup kelopak mata yang dihiasi bulu mata lentik. Taehyung masih memejamkan mata saat ciuman singkat itu usai, dan Jeongguk kembali diserang perasaan yang membuat jantungnya berdebar semakin cepat. “Kenapa gak boleh tahu?”
“Nanti aku maluuuu.”
“Kim Taehyung, kalau mendadak gemas gini aku gak tahan.”
“Emangnya aku gak gemas?”
“Gemas, tapi—argh—beda banget sama gemas versi ini???” Jeongguk mencium kelopak yang satunya lagi. “Aku belum terbiasa.”
Taehyung tertawa kecil. “Sama aku juga. Belum terbiasa lihat kamu gak ngeselin begini.”
“Iya, iya. Impas. Terus sekarang mau berangkat kapan? Masa mau pulang lagi ke rumah aku?”
“Ya sudah, bentar lagi,” Taehyung mengusap-usap bahu Jeongguk menggunakan wajahnya. Jeongguk bisa merasakan pipinya memanas, apalagi saat tangan Taehyung mendadak ikut melingkari pinggang Jeongguk. Masih dengan wajahnya menempel pada bahu Jeongguk, Taehyung merengek. “Mau charging...”
Jeongguk meledak. Dalam ruang batin dan pikirannya yang kini hancur berantakan. “A—e—d-di sini banget?”
“Biasanya juga kamu ayo di mana aja, kan?” Taehyung mulai mencari kancing. Mulutnya kini meraup kain jaket tebal Jeongguk. “Mfau Jeongguk...”
“Emang kamu masih butuh charging, ya?! Dari kemarin kan kita udah—“
Taehyung menaiki pangkuannya dalam satu gerakan yang sudah di luar kepala. Jeongguk merasa panik—bagian bawahnya mulai tegang karena wajah Taehyung mulai dirona merah muda menggoda itu dan matanya terlalu seduktif. Di sudut lain, Jeongguk tidak bisa melanjutkan ini karena tempat ini publik yang letaknya tidak jauh dari rumah! Lalu, bagaimana dengan rencana mereka untuk tiba di Geochang sebelum pukul enam sore?!
Jeongguk baru menyadari kalau kepala Taehyung sudah merosot sampai ke area dadanya. “Guk,” suaranya lirih. “Aku mau ngemut kamu di sini, di sini sama di bawah sini... habis itu baru kamu yang ngemut aku... boleh?”
Jeongguk, sang laki-laki lemah dengan hormon yang mengalahkan logika, menelan ludah sembari mengangguk pasrah. “Kita pindah dulu. Oke?”
“Kamu tuh kalau mau kirim sesuatu ke grup gak usah bawa-bawa aku, ya? Gimana nanti kalau ada kelas, aku malu dong ketemu si Jaehyun, Mingyu, Wonwoo, Yugyeom, Dokyeom... mana kamu ngirim voice note yang ada suara akunya doang, suara kamunya gak ada! Aku malu, tau!”
Jeongguk menghela nafas perlahan, supaya Taehyung gak dengar. Yah, biarpun suara berisik perjalanan dan helm menghalangi, Jeongguk tetap hati-hati. “Iya, aku minta maaf...”
“Beneran minta maafnya? Serius?”
Jeongguk meraih kaca spion dengan satu tangan. Motor berjalan lambat seperti dikemudikan anak remaja baru belajar, tapi Jeongguk tidak ingin melewatkan satupun omelan Taehyung (yang manis). Kaca spion menampakkan wajah Taehyung yang menyembul dari kaca pelindung yang diangkat ke atas, Jeongguk mengangguk-angguk. “Mau melipir dulu biar aku sumpah pocong? Aku serius banget minta maaf.”
Alih-alih mengomel lebih panjang lagi, Jeongguk merasakan pelukan Taehyung di pinggangnya mengerat. “Gak usah, jalan terus,” helm mereka bertubrukan. “Aku percaya.”
Jeongguk menjilat bibir bawahnya. Mata masih fokus ke depan. “Kamu udah ritsleting jaket kamu?”
“Udah. Dua-duanya udah rapat kusleting.”
“Kalau mual bilang langsung ke aku, ya.”
“Iyaaa,” Taehyung berdengung seperti lebah. Getarannya terasa di punggung Jeongguk. “Aku jadi ngerasa bersalah udah marahin Guk.”
“Jangan. Kan aku yang salah, bercandanya keterlaluan,” Jeongguk menyempatkan tangan kirinya untuk mengusap tangan Taehyung yang melingkar di pinggangnya. “Taehyung masih sayang sama aku?”
Jeongguk menggigit lidahnya sendiri. Sayang? Sayang di Twitter sambil bercanda sudah sering. Sayang di tengah bercinta tidak terasa setulus pertanyaan yang kini menggantung di udara berisik. Jeongguk kira pernyataan serius terlalu cepat dan masih banyak waktu untuk benar-benar—
“Masih.”
Jeongguk ngerem mendadak. Helm keduanya bertabrakan dan Taehyung berteriak kaget seakan mau dicabut nyawa. Jalanan sepi dan mereka belum masuk tol—Jeongguk menoleh ke belakang dengan pelindung kepala masih miring. “HAH?”
Taehyung membetulkan posisi helmet lalu meninju bahu laki-laki yang masih menganga. “Harusnya aku yang bilang ‘HAH’ dong! Kenapa ngerem mendadak?!”
“Soalnya Taehyung bilang? Sayang? Ke? Aku?”
Taehyung berkedip tidak percaya. “Memangnya, selama ini aku bisa tahan sama kamu karena apa lagi?”
Bola mata Jeongguk bergerak ke sana ke mari. Matanya pedih, lupa berkedip. “Bentar—kok gak romantis banget, ya? Ini pernyataan cinta pertama kita ke satu sama lain, loh?”
Giliran Taehyung yang kini menatapnya kosong sambil menganga, “HAH?”
Jeongguk melepaskan helm untuk menggaruk kepalanya. “Gimana? Apa, sih, Te?”
“Kok kamu bilang cinta... kamu cinta sama aku?”
“Ya—“ Jeongguk tidak bisa menahan senyumannya mekar. Taehyung menatapnya penuh harap sambil berusaha menunduk. Jeongguk menghela nafas dalam sanubari, kapan dia bisa tahan menghadapi manusia gemas bernama Kim Taehyung. “Ya aku cinta, lah. Aku cinta Kim Taehyung. Dulu suka aja, tapi karena kamu soulmate aku sekarang, aku bisa makin deket sama kamu tanpa harus tonjok-tonjokan lagi. Aku jadi... cinta.”
Taehyung ikut melepas helm. Matanya berkilau seperti potongan permata, bulu matanya menyapu pipi di setiap kedipannya. Tau-tau, Taehyung sudah menangkup kedua pipinya dan mendaratkan ciuman manis di bibir Jeongguk yang setengah terbuka.
Ciuman ini tidak berujung pada tarung lidah atau pikiran berkabut yang membisukan logika. Jeongguk membuka mata. Taehyung menciumnya dalam seolah segalanya tertuang. Ekspresi wajahnya tidak menikmati, alis hitamnya berkerut seolah menahan tangis.
Jeongguk duga itu ciuman patah hati. Perpisahan karena cinta tidak bisa bersatu atau sejenisnya, pokoknya sedih dan Jeongguk tidak akan menerima penolakan sekalipun dia mati dan membangkai. Jeongguk begitu terbawa arus negatif sebelum Taehyung melepaskan ciumannya lembut. Mengusap tulang pipi Jeongguk perlahan seolah takut kehilangan, dan tersenyum begitu lebar sampai-sampai matahari kalah tanding dan Taehyung menang telak.
“Aku juga cinta sama Jeongguk.”
Jeongguk tidak mengerti kenapa di balik deklarasi itu Taehyung seperti menahan tangis. Jeongguk meraba bibir Taehyung, sekilas teringat pada kejadian beberapa saat sebelumnya di Bar dan Kafe December, pada kegiatan yang membakar kalori dan birahi, tapi yang dia rasakan di sidik jarinya hanya—
Taehyung.
Soulmate-nya. Cinta pertamanya. Orang yang bisa menyaingi segala keanehan dan sisi absurd yang ada. Laki-laki yang masih mencintainya sekalipun Jeongguk adalah laki-laki yang jauh dari kata sempurna.
Saat Jeongguk mendekatkan wajah mereka untuk sekali lagi dan mengecup bibir Taehyung lembut, Jeongguk separuh paham kenapa Taehyung seolah memberikan segalanya padahal hanya sebuah kecupan dan kata-kata yang jadi bentuk nyata.
Ini masih permulaan, Jeon Jeongguk. Jatuh cinta pertamanya tidak akan jadi patah hati pertamanya. Sampai tua nanti, Jeongguk bersumpah, bahagianya hanya akan eksis di samping bahagia Kim Taehyung.
TAMAT.
“Kamu tuh kalau mau kirim sesuatu ke grup gak usah bawa-bawa aku, ya? Gimana nanti kalau ada kelas, aku malu dong ketemu si Jaehyun, Mingyu, Wonwoo, Yugyeom, Dokyeom... mana kamu ngirim voice note yang ada suara akunya doang, suara kamunya gak ada! Aku malu, tau!”
Jeongguk menghela nafas perlahan, supaya Taehyung gak dengar. Yah, biarpun suara berisik perjalanan dan helm menghalangi, Jeongguk tetap hati-hati. “Iya, aku minta maaf...”
“Beneran minta maafnya? Serius?”
Jeongguk meraih kaca spion dengan satu tangan. Motor berjalan lambat seperti dikemudikan anak remaja baru belajar, tapi Jeongguk tidak ingin melewatkan satupun omelan Taehyung (yang manis). Kaca spion menampakkan wajah Taehyung yang menyembul dari kaca pelindung yang diangkat ke atas, Jeongguk mengangguk-angguk. “Mau melipir dulu biar aku sumpah pocong? Aku serius banget minta maaf.”
Alih-alih mengomel lebih panjang lagi, Jeongguk merasakan pelukan Taehyung di pinggangnya mengerat. “Gak usah, jalan terus,” helm mereka bertubrukan. “Aku percaya.”
Jeongguk menjilat bibir bawahnya. Mata masih fokus ke depan. “Kamu udah ritsleting jaket kamu?”
“Udah. Dua-duanya udah rapat kusleting.”
“Kalau mual bilang langsung ke aku, ya.”
“Iyaaa,” Taehyung berdengung seperti lebah. Getarannya terasa di punggung Jeongguk. “Aku jadi ngerasa bersalah udah marahin Guk.”
“Jangan. Kan aku yang salah, bercandanya keterlaluan,” Jeongguk menyempatkan tangan kirinya untuk mengusap tangan Taehyung yang melingkar di pinggangnya. “Taehyung masih sayang sama aku?”
Jeongguk menggigit lidahnya sendiri. Sayang? Sayang di Twitter sambil bercanda sudah sering. Sayang di tengah bercinta tidak terasa setulus pertanyaan yang kini menggantung di udara berisik. Jeongguk kira pernyataan serius terlalu cepat dan masih banyak waktu untuk benar-benar—
“Masih.”
Jeongguk ngerem mendadak. Helm keduanya bertabrakan dan Taehyung berteriak kaget seakan mau dicabut nyawa. Jalanan sepi dan mereka belum masuk tol—Jeongguk menoleh ke belakang dengan pelindung kepala masih miring. “HAH?”
Taehyung membetulkan posisi helmet lalu meninju bahu laki-laki yang masih menganga. “Harusnya aku yang bilang ‘HAH’ dong! Kenapa ngerem mendadak?!”
“Soalnya Taehyung bilang? Sayang? Ke? Aku?”
Taehyung berkedip tidak percaya. “Memangnya, selama ini aku bisa tahan sama kamu karena apa lagi?”
Bola mata Jeongguk bergerak ke sana ke mari. Matanya pedih, lupa berkedip. “Bentar—kok gak romantis banget, ya? Ini pernyataan cinta pertama kita ke satu sama lain, loh?”
Giliran Taehyung yang kini menatapnya kosong sambil menganga, “HAH?”
Jeongguk melepaskan helm untuk menggaruk kepalanya. “Gimana? Apa, sih, Te?”
“Kok kamu bilang cinta... kamu cinta sama aku?”
“Ya—“ Jeongguk tidak bisa menahan senyumannya mekar. Taehyung menatapnya penuh harap sambil berusaha menunduk. Jeongguk menghela nafas dalam sanubari, kapan dia bisa tahan menghadapi manusia gemas bernama Kim Taehyung. “Ya aku cinta, lah. Aku cinta Kim Taehyung. Dulu suka aja, tapi karena kamu soulmate aku sekarang, aku bisa makin deket sama kamu tanpa harus tonjok-tonjokan lagi. Aku jadi... cinta.”
Taehyung ikut melepas helm. Matanya berkilau seperti potongan permata, bulu matanya menyapu pipi di setiap kedipannya. Tau-tau, Taehyung sudah menangkup kedua pipinya dan mendaratkan ciuman manis di bibir Jeongguk yang setengah terbuka.
Ciuman ini tidak berujung pada tarung lidah atau pikiran berkabut yang membisukan logika. Jeongguk membuka mata. Taehyung menciumnya dalam seolah segalanya tertuang. Ekspresi wajahnya tidak menikmati, alis hitamnya berkerut seolah menahan tangis.
Jeongguk duga itu ciuman patah hati. Perpisahan karena cinta tidak bisa bersatu atau sejenisnya, pokoknya sedih dan Jeongguk tidak akan menerima penolakan sekalipun dia mati dan membangkai. Jeongguk begitu terbawa arus negatif sebelum Taehyung melepaskan ciumannya lembut. Mengusap tulang pipi Jeongguk perlahan seolah takut kehilangan, dan tersenyum begitu lebar sampai-sampai matahari kalah tanding dan Taehyung menang telak.
“Aku juga cinta sama Jeongguk.”
Jeongguk tidak mengerti kenapa di balik deklarasi itu Taehyung seperti menahan tangis. Jeongguk meraba bibir Taehyung, sekilas teringat pada kejadian beberapa saat sebelumnya di Bar dan Kafe December, pada kegiatan yang membakar kalori dan birahi, tapi yang dia rasakan di sidik jarinya hanya—
Taehyung.
Soulmate-nya. Cinta pertamanya. Orang yang bisa menyaingi segala keanehan dan sisi absurd yang ada. Laki-laki yang masih mencintainya sekalipun Jeongguk adalah laki-laki yang jauh dari kata sempurna.
Saat Jeongguk mendekatkan wajah mereka untuk sekali lagi dan mengecup bibir Taehyung lembut, Jeongguk separuh paham kenapa Taehyung seolah memberikan segalanya padahal hanya sebuah kecupan dan kata-kata yang jadi bentuk nyata.
Ini masih permulaan, Jeon Jeongguk. Jatuh cinta pertamanya tidak akan jadi patah hati pertamanya. Sampai tua nanti, Jeongguk bersumpah, bahagianya hanya akan eksis di samping bahagia Kim Taehyung.
ㅡ FIN.