souljaehyunn

Mas

'

Terima kasih telah menyertakan aku ke dalam semesta kecilmu.

Dejun menahan pintu mobil dan menunggu Kyra masuk ke dalam mobil. Merendahkan tubuhnya, lalu memasukkan kakinya perlahan. Dejun menahan kepalanya dengan lembut, melindunginya supaya tidak terbentur bagian atap mobil. Kyra menoleh ke arah Dejun dan tersenyum.

Yogyakarta, sebuah kota istimewa yang akan menjadi destinasi berlibur keluarga kecil ini. Vania yang sedang duduk di kursi belakang supir sangat excited. Pasalnya hari ini bertepatan dengan hari ulang tahunnya. Dan juga anniversary pernikahan ke-8.

“Ayah!! Vania gak mau bobo sampe nanti. Nanti kalo Vania hampir ketiduran, bangunin ya, Ayah.” Pinta sang putri.

Dejun tersenyum melihat senyum Vania dari kaca mobil.

“Kenapa gak mau tidur? Vania sama bunda tidur aja. Kan capek perjalanannya jauh.”

Bukan tanpa sebab mereka memilih mengendarai mobil sendiri untuk berlibur kali ini. Itulah pinta putri semata wayangnya. Vania ingin menikmati perjalanan panjangnya. Ingin melihat bagaimana kota-kota yang akan ia lewati nanti. Ingin merasakan bagaimana serunya bepergian jauh menggunakan mobil, bersama orang tuanya.

“Kan udah Vania bilang, mau lihat pemandangannya, Ayah!”

Kyra menggeleng dan terkekeh mendengar jawaban putrinya yang tampak kesal itu.

'

Memasuki jalan tol yang tak begitu ramai kendaraan, membuat pemandangan di kanan dan kiri jalan tampak indah. Dejun memelankan laju mobilnya, melirik sang putri yang tertidur setelah bercerita banyak hal. Tentang dirinya di sekolah, tentang dirinya yang ingin setiap hari pergi berlibur dengan ayah dan bundanya, dan tentang betapa inginnya ia memiliki adik.

“Tadi udah pamit mama sama papa?” Tanya Dejun tiba-tiba.

Kyra menggeleng. “Enggak perlu, mas. Lagian kita cuma liburan.”

Dejun menghela nafas. “Sungchan? Adik kamu?”

“Kan udah? Tadi Vania yang nanyain kenapa omnya gak dateng buat ngucapin ulang tahun ke dia.” Jawab Kyra tanpa melihat Dejun. “Lagian dia lagi sibuk keluar sama Anya, mas.”

Mata Kyra terasa panas. Menoleh ke arah Dejun, ia tersenyum. Mencoba tersenyum.

“Aku belum ngucapin.”

“Apa?”

“Happy Anniversary, mas Dejun. You're the special gift from heavens. In another life, aku bakal tetep minta sama Tuhan buat ketemu kamu. I love you, today and forever.”

Kini mata Dejun yang terasa panas. Bulir air matanya sudah tampak di kelopak. Ia meraih pucuk kepala Kyra, meski pandangannya mencoba fokus ke arah jalanan.

“No, you're the real special gift from heavens, Kyra. Menghabiskan waktu seumur hidup with a wife like you, i feel so blessed. Terima kasih sudah mau bertahan even aku nyebelin. Aku juga mau minta sama Tuhan buat ketemu kamu. Di surga. Hehe.”

Siang itu terasa biru dan sendu.

“Kyra, bangunin Vania gih.” Titah Dejun mengalihkan topik pembicaraan agar air matanya tak jadi jatuh. “Nanti kalo gak dibangunin marahnya ke aku.”

Kyra mengiyakan, lantas membangunkan Vania. Gadis kecil itu terbangun sambil mengejap-ngejapkan mata perlahan.

“Uwah!!! Gunungnya kelihatan!!” Mata Vania seketika terbelalak melihat view dari dalam mobil.

“Ayah pernah naik gunung gak?”

“Bunda pernah kesana gak?”

“Ayah!! Ayah!! Mau foto disitu.” Vania menarik lengan baju Dejun.

“Vania, jangan diganggu ayah lagi nyetir sayang.” Kyra melepas tangan Vania. “Lagian gak boleh berhenti sembarangan di tol.” Jelasnya.

“Tapi itu bagus bunda, Vania mau foto disitu. Ayahhhhh ayo ayah foto disitu.”

Vania masih saja merengek dan menarik lengan baju Dejun. Air mata sudah berada di pucuk matanya. Dejun being Dejun. Ia menuruti permintaan putrinya.

“Iya, iya sebentar, cari rest area dulu ya.”

Suara tenang Dejun pun tak di dengarkan oleh Vania. Ia terus saja merengek, dan tumpah sudah tangisannya. Vania menangis.

“Astaga Vania, nanti ya? Di depan. Sabar bentar lagi ada rest area di depan.” Kyra berusaha menenangkan. Ia menghadapkan dirinya ke kursi belakang, sembari mengusap lengan Vania.

Percuma. Umur Vania adalah umur dimana emosi seorang anak tidak bisa terkendalikan. Dimana seorang anak dikalahkan dengan amarahnya sendiri. Vania nekat membuka pintu mobil meski kendaraan itu sedang melaju.

“VANIA!!!!”

Dejun dan Kyra berteriak bersamaan. Panik bukan kepalang. Dejun mengemudikan mobilnya dengan satu tangan. Tangan yang lainnya berusaha meraih Vania yang sudah ada di pucuk kursi mobil. Pandangannya tak lagi fokus pada jalanan, melainkan pada putri kesayangannya. Seakan tak menyadari bahaya yang akan dihadapi.

Mobilnya ia hentikan paksa demi sang anak. Namun naas, saat Dejun dan Kyra berhasil meraih Vania, truk semen dari arah belakang menabrak mobil yang tengah berhenti mendadak. Mobil yang mereka tumpangi terguling.

Kyra merasakan kesadarannya lenyap. Tercerabut dengan paksa, entah oleh kekuatan apa. Sudah terbang ke mana dan sampai mana. Sakit. Tubuhnya limbung. Ia masih mendengar suara Dejun yang memanggil namanya. Matanya mengerjap. Dengan posisi terbalik, ia melihat Dejun yang berlumuran darah dan air matanya yang keluar. Sesak. Tangannya berusaha menyentuh pipi Kyra untuk mengusap air matanya.

Pun Kyra berusaha melepas seatbelt meski sekujur tubuhnya seakan mati rasa. Tapi ia sudah tak memiliki kekuatan untuk sekedar bergerak. Lantas Kyra melirik ke arah belakang, melihat Vania sudah tak sadarkan diri. Sang putri kesayangannya masih terlihat sangat cantik meski darah melapisi hampir seluruh wajahnya. Kyra menutup matanya, ia menangis dengan hebatnya meski tanpa suara. Ia berharap bahwa ini semua hanya mimpi. Ia berharap setelah matanya terbuka, ia sudah sampai pada destinasi berliburnya. Ia menghitung dalam hatinya.

“1..”

“2..”

“3..”

Yang Kyra lihat adalah Dejun yang mulai kehilangan kesadarannya. Namun masih sempat ia menyampaikan satu hal meski dengan suara terbata.

“J-jangan na-ngis.”

“I lo-ve yo-u.”

Suara Dejun terdengar lirih, seperti bisikan. Tak sanggup lagi untuk melanjutkan. Dejun tersenyum, tangan yang masih di pipi Kyra itu mulai melemah dan terjatuh dengan hilangnya kesadaran Dejun.

“Mas..”

“M-mas D-De-jun..”

Kyra mencoba bersuara, namun ia seperti tercekik. Ia tak dapat menahan lagi. Kesadarannya pun mulai melemah. Hatinya merana dan sakit. Telinganya berdengung hebat, namun masih sempat ia mendengar suara sirine ambulance mendekat.

“Syukurlah”

“Mas Dejun, juga anakku, masih bersamaku”

Forever;

You have me. Until every last star in the galaxy dies. You have me.

“Ayah, tadi Vania habis main dari rumah om sepuluh.”

Gadis kecil berusia 7 tahun itu duduk dipangkuan sang ayah, dengan asik menceritakan kejadian yang ia lewati hari ini.

“Kata om, ayah sama bunda mau ulang tahun, Vania juga mau ulang tahun.”

Kyra yang tengah sibuk melipat baju, dan mempersiapkan barang bawaan masih setia menyimak apa yang putrinya bicarakan. Senyumnya merekah melihat hubungan ayah dan sang putri sedekat itu.

“Iya, ayah, bunda, sama Vania mau ulang tahun. Vania mau hadiah?” Tanya Dejun.

Vania mengangguk.

“Mau hadiah apa?”

Yang ditanya malah sibuk berfikir, mengingat apa saja yang ia inginkan. Kyra tau, bahwa apapun yang diminta sang putri pasti akan Dejun berikan. Apapun itu. Dejun tidak pernah menolak.

“Adik.” Jawab Vania singkat.

Dejun tersentak saat mendengar jawaban dari anaknya. Jawaban yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Lelaki itu lantas melihat ke arah Kyra. Namun Kyra mengalihkan pandangan saat kedua bola mata mereka sempat bertemu.

Dejun berdehem. “Minta ke bunda ya.” Bisiknya pada sang putri.

“Kata om sepuluh, kalo Vania punya adik, nanti Vania ada temen main ayah, jadi Vania minta adik aja. Besok ya?”

Benar saja. Tak mungkin pikiran seorang anak berumur 7 tahun bisa jauh seperti itu. Kyra yakin 100% bahwa ini semua ulah mas Ten yang sudah merasuki pikiran anaknya.

Vania turun dari pangkuan Dejun tiba-tiba. “Besok kan mau main sama ayah sama bunda. Vania harus bangun pagi kan? Vania mau tidur aja udah malem.” Lantas berlari masuk ke kamar, meninggalkan orang tuanya di ruang tengah.

Mematung. Keduanya seperkian detik mematung karna permintaan Vania.

Dejun menggaruk tengkuk kepalanya yang tidak gatal itu sembari berjalan dan duduk di samping Kyra.

“Mm.. Kyra.”

“Apa?!”

“Ih jangan galak-galak atuh.” Kedua lengannya dilingkarkan di tubuh Kyra. Memeluknya dari samping, dan menopangkan dagunya di bahu Kyra.

“Mas haduh jangan gini ah, ini gak selesai-selesai aku packingnya.” Rengek Kyra dengan menggoyangkan bahunya.

“Vania minta adik, gimana dong?”

Demi Tuhan, 8 tahun berjalan, Kyra masih saja sering merasakan ritme jantungnya melampaui batas normal. Saat seperti ini, contohnya.

“Ya.. ya terus? Beliin aja di pasar.”

Cupp..

“Sembarangan!” Satu kecupan mendarat di pipi kiri Kyra.

“MAS! Apa sih tiba-tiba?!” Protes Kyra tanpa menghadap si pelaku.

“Madep sini dong.”

“GAK.”

“Madep siniiiiiiiiii.”

“Gak ma— aaaa.. mas Dejun geli anjir!”

Tangan Dejun mulai usil menggelitiki Kyra hingga empunya menggeliat seperti cacing. Sekuat apapun Kyra berusaha melepaskan dirinya dari pelukan Dejun, tetap saja ia tak bisa melawan.

“Mass udah capek nanti aku ngompol.” Rengek Kyra yang hampir menangis. Pucuk matanya tampak basah. “Huhuhuhuhuhuhu..”

Dejun terkejut saat istrinya menangis dan mengucek kedua matanya. “Loh Kyra? What happen? Ih kok tiba-tiba nangis?”

Heran. Cukup heran karena baru saja mereka berdua bersenda gurau saling menggelitik satu sama lain dan saling mengejek, tiba-tiba saja Kyra menangis.

“Kyra? Hey? Jangan dikucek atuh matanya ini.” Dejun memegangi kedua pergelangan tangan Kyra, dan menghentikan aktivitas mengucek matanya. “Kenapa? Kenapa?”

“Aku takut hueeeee.”

“Loh takut kenapa?”

Ekspresi wajah Dejun sangat khawatir. Ia takut tak sengaja melukai istrinya, atau apapun itu ia takut.

“Takut sama perasaan terlalu bahagia ini.” Kyra manyun, air matanya telah berhenti.

“Sini cup cup.” Dejun meletakkan kepala Kyra tepat di dadanya. Lantas ia rasakan lengan Kyra yang sudah melingkar di tubuhnya. Dejun mengusap lembut kepala Kyra. “Kenapa takut sama perasaan bahagia sih? Bagus dong kalo kamu ngerasa bahagia.”

“Mas, gak tau kenapa waktu kita ketawa barusan, aku kayak pernah ngerasain hal serupa, ingatan waktu aku kecil. Tiba-tiba aja muncul. Kejadiannya persis, seorang Kyra kecil yang digelitiki oleh kedua orang tuanya. Senyum dan tawanya merekah, seakan Semesta mendukungnya. Tapi mama dan papa bertengkar lagi setelahnya. Mas, aku takut.”

Dejun dapat merasakan degup jantung Kyra. Hatinya cukup teriris mendengar cerita singkatnya.

“Apa yang kamu takutin?”

“Aku takut... kehilangan kamu, aku takut. Aku takut aku hanya diberi kesempatan satu kali untuk merasakan baha—”

“Ssttttt... aku gak akan kemana-mana. I'll try all forms of happiness for you always. Maaf ya, maaf kalo kamu jadinya keinget. Pelan-pelan Kyra, don't worry, i'm with you and i'll always be with you. Forever.”

“Forever?” Kyra mengangkat kepalanya, menatap bola lekat Dejun.

Dejun tersenyum. Memberi kecupan di kening Kyra.

“Forever..”


Be with someone; yang memotivasimu untuk melakukan lebih baik dalam hidup, karena hubungan lebih dari sekadar jatuh cinta. Ini tentang menginspirasi satu sama lain to become better versions of yourselves day in and day out.

Whisper

i can hear you

Selama hampir setengah jam, Zemira dan Renjun berdiri di depan bangunan sederhana dengan dua lantai. Kos ini tampak lebih sepi dan sunyi dari biasanya. Tak ada satu orang pun yang keluar untuk membuka pintu.

“Kak, udah sih yuk pulang, gak ada orang juga.” Rengek Renjun yang tengah duduk di kursi teras.

Tapi, Zemira menolak. Dia tidak bisa pulang begitu saja sebelum bertemu dengan kekasihnya. Setidaknya, Zemira tau bahwa Taeyong baik-baik saja.

Langit hitam pekat. Tak ada mendung, tak ada kabut. Anginnya menusuk pori-pori kulit. Membuat Renjun mengusap kasar lengan tangannya yang terbuka. Dia bangun dari kursi, melihat jendela di lantai dua, lampunya menyala lalu mati setelahnya.

“KAK!!!!” Renjun menunjuk kearah jendela.

“Ngagetin gue aja lu. Kenapa? Ada apa?”

“Diantara dua jendela itu, kamarnya kak Taeyong sebelah mana? Tadi teh lampunya nyala terus mati.” Jelas Renjun.

Lantas Zemira menunjuk jendela disebelahnya. “Yang itu.”

“Bukan yang itu?”

“Itu mah kamar Jaehyun.”

Mereka berdua saling bertukar tatap sebelum Zemira mengomel dan mengeluarkan ponselnya. Jika Jaehyun ada di kamar kosnya, kenapa dia sama sekali tidak bisa dihubungi? Kenapa dia tidak membukakan pintu rumah saat seseorang dengan kasar membunyikan bel berkali-kali.

“Kaaakkkkk!!” Renjun berjingkat, melingkarkan tangannya di lengan Zemira.

“Gusti!!! Apalagi sih dek?”

“Lo denger gak?” Renjun sengaja memejamkan matanya, dengan masih memeluk satu lengan kakaknya. “Kak sumpah ayo pulang aja, ini gue udah merinding sekujur tubuh.”

“Kak... kak serius gue denger ada yang minta tolong. Di telinga gue kak. Ada yang ngebisikin gue.”

Zemira berdecak dan berusaha melepas tangan Renjun meski hasilnya nihil. Membuang nafas kasar setelahnya.

“Injun astaga please lepasin dulu deh ini. Ah lo! Tau gitu gue kesini sendiri aja!” Agaknya Zemira menyesal.

Tak ada satu chat pun yang masuk. Baik dari Taeyong, maupun Jaehyun, tak ada balasan dari mereka meski sudah mencoba menghubungi berkali-kali.

Gadis itu mengeluarkan cermin pemberian Taeyong yang selalu dibawa kemana saja, lalu memantulkan cahaya lampu ke arah jendela kamar kekasihnya. Memberi tanda bahwa ada seseorang sedang menunggunya di bawah. Nihil. Itu tidak berhasil. Kemudian diarahkannya cermin itu ke arah jendela kamar Jaehyun. Belum sampai pantulan cahaya terpantul ke kaca jendelanya, suara khas Jaehyun seketika terdengar di telinga Zemira. Membuatnya menjatuhkan cermin yang ada di genggaman tangan.

Ze, tolong gue.

Renjun yang masih memeluk lengan Zemira terhenyak kaget saat cermin itu jatuh.

“Kak?”

“L-lo tadi bi-lang denger su-ara a-apa?” Tanya Zemira dengan terbata-bata.

“Kak.. ih kenapa?” Rengek Renjun.

“Denger suara apa gue tanya?!”

“Ada yang minta tolong.”

Zemira menatap adiknya, ia merasakan tangan Renjun yang bergetar karena ketakutan. Lantas ia gandeng tangan adiknya dan berjalan menuju pintu utama.

“K-kak Ze mau ngapa—”

Brak!

Suara pintu terbanting. Entah Zemira memakai kekuatan apa sampai dia bisa membuka paksa pintu bangunan itu.

“Taeyong? Jaehyun? Ini gue, Zemira. Sorry gue maksain diri buat masuk.”

Lampu di dalam rumah ini sangat redup. Zemira tak ingat kapan terakhir ia mengunjungi rumah ini, karena semuanya cukup berbeda dan tampak asing baginya.

Mereka berdua naik ke lantai dua. Hanya ada dua kamar saling berhadapan. Kamar Taeyong, dan kamar Jaehyun. Berjalan mendekat, dan mencium aroma sesuatu yang aneh.

“Jun, tutup hidung lo.” Titah Zemira. Dan dengan cepat dilaksanakan oleh adiknya.

Semakin mendekati kedua kamar itu, aromanya semakin pekat. Dupa, dan bau anyir, entah darimana asalnya. Jika dibilang takut, saat ini Zemira sangat amat takut hingga ingin pingsan rasanya. Sejak kapan dua orang yang dia kenal memberi aroma dupa di ruang kamar mereka?

Setelah berada di depan pintu kamar, baru ia rasakan bahwa aroma dupa dan anyir berasal dari kamar Jaehyun.

“J-jae? Lo ada di dalem?” Bisik Zemira sesekali mengetuk pintunya pelan.

Tak ada jawaban.

Perasaan campur aduk, dengan jantungnya yang berdegup cukup kencang, membuat tubuhnya bergetar. Dengan berani, Zemira meraih knop pintu kamar Jaehyun.

“ZE!”

“AAAAAAAA!!!” Zemira berjingkat kaget. Ia terkejut setengah mati, karena tangannya di tepis oleh seseorang.

“AAAAAAAAA KAK ZE APA KAKKKKK???” Renjun yang masih berteriak dan hampir menangis, menyembunyikan wajahnya di bahu Zemira.

“Taeyong lo ngagetin!”

Mendengar itu, Renjun mengangkat wajahnya lantas menghela nafas lega.

“Ngapain disini?” Tanya Taeyong.

“Nyariin lo anj—” hampir saja Zemira mengumpat.

“Kak Taeyong sumpah kos lo nyeremin kak!”

“Sini.”

Taeyong menggandeng Zemira dan Renjun untuk masuk ke dalam kamarnya.

“Udah malem, kalian berdua tidur disini aja. Besok subuh aku anter.”

Tanpa basa-basi, Zemira meledakkan amarahnya. “Kemana aja sih?! Seharian kemana aja? Gak bisa dihubungin! Terus gak ketemu juga di kampus! Kamu kemana? Nyamperin di kos juga gak di buka-bukain pintunya, tau-tau ada di dalem!”

“Iya maaf.” Jawab Taeyong singkat.

“Nih kaca nya.”

Taeyong memberikan cermin Zemira yang terjatuh dibawah tadi. Gadis itu hanya mengernyitkan alisnya, kemudian ia berpikir. Ia merasa bahwa menjatuhkan cerminnya di bawah, jika Taeyong sedari tadi berada di kamar, bagaimana ia bisa mengambil barang yang ada di bawah? Kenapa bisa? Kenapa juga ada bau dupa dan anyir di kamar Jaehyun? Kenapa bisa?

Belum sempat Zemira bertanya, matanya sudah tak bisa menahan rasa kantuk yang datang tiba-tiba. Sebelum ia akhirnya terpejam, suara itu datang lagi.

Zemira tolongin gue.

Ze

Blood dripped from my fingertips as i stepped away

'

'

'

She follows me home

'

Malam; adalah hal yang sangat dibenci Renjun. Bagaimana malam tampak sangat gelap meski banyak penyinaran untuk membuatnya terang, tetap saja, malam tetap gelap baginya.

Duduk di teras dengan giginya yang sibuk menggigit kuku jarinya. Perasaan was-was dan takut menyelimuti. Jantungnya masih saja berdegup kencang melampaui ritme normal.

Sejak Jeno menyadari ada sesuatu yang mengganjal, lelaki itu langsung mengakhiri video call dan langsung pergi ke rumah Renjun, meski sedang turun hujan. Lagi pula, jarak rumah mereka tak terlalu jauh.

“Please please Jeno cepet kesini please.” Suara Renjun mulai bergetar takut. Matanya pun mulai dibasahi oleh air mata. Mungkin beberapa saat lagi ia akan menangis jika Jeno tak kunjung datang.

Dua sepeda gunung baru saja memasuki pelataran rumah Renjun. Jeno dan Jaemin, yang langsung memarkirkan di sembarang tempat.

“Jun!! Weh lu gapapa?” Tanya Jaemin yang masih memakai jas hujan. Sengaja belum dilepas karena ia harus berteduh dulu setidaknya untuk melepas jas hujannya.

Renjun bernafas lega saat mereka datang. Lantas mereka bertiga berjalan memasuki rumah. Menunggu ketiga temannya yang lain datang.

“Aneh banget lagian, kayak orang baru.” Ujar Jeno santai. “Kak Ze lagi kemana sih? Tumben lo gak diajak?”

“Keluar sama kak Taeyong.” Renjun mendengus kesal. “Gak tau, katanya kipin ligi jilin birdii simi tiying.”

Jaemin tertawa. Masih sempat-sempatnya Renjun meledek kakaknya disela dia ketakutan.

“Padahal rumah lo rame.” Celetuk Jeno.

“Heh si borokokok! Gue nyuruh lo kesini buat nemenin gue! Bukan malah nakutin!”

“Haha iya iya. Ya udah cemilannya dong?” Jeno tertawa hingga matanya menyipit.

“Ambil aja di dapur.”

Jeno beranjak kearah dapur, sesekali ia menoleh ke kanan dan ke kiri, seperti menyapa semua penghuni yang ada disana. Saat ia melewati kamar Zemira yang pintunya sengaja tak ditutup, ada seorang wanita duduk menghadap jendela, dengan cermin digenggamannya.

Wanita itu tampak sangat cantik dari belakang. Memakai dress bak tuan putri. Dress hitam dengan corak mawar. Dengan beraninya, Jeno mendekati kamar Zemira. Namun semakin Jeno mendekat, semakin melangkah menjauh pula wanita itu. Jeno menghentikan langkahnya, ia mencoba mundur selangkah demi selangkah. Dan apa yang terjadi? Wanita itu pun mengikuti langkah Jeno. Kembali di titik awal Jeno berdiri, sosok itu pun kembali di titik awal ia duduk.

Hanya helaan nafas yang Jeno keluarkan. Lantas ia berniat beranjak dari sana, namun pada saat bersamaan ia membalikkan tubuhnya, sosok wanita itu sudah berdiri tepat dihadapannya.

“AAAAAAAAAAAAA!”

Jeno berteriak. Namun tak ada satu orang pun yang mendengar.


Hutan pinus. Cukup cantik di malam hari, karena banyak lampu kuning sengaja dipasang sebagai penerang. Cahaya nya yang remang memberi kesan hangat.

“Taeyong, demi Allah besok-besok aku gak mau diajak kesini malem-malem.” Zemira melingkarkan lengannya di tangan Taeyong.

“Kenapa sih? Kan rame juga.”

Itu tidak benar. Menurut mata Zemira, tempat ini tergolong sepi dan tidak banyak pengunjung di malam hari. Hanya ada beberapa orang yang tengah bersantai duduk di bawah pepohonan pinus.

Taeyong mengajak Zemira ke sebuah cafe kecil yang hanya menyediakan kopi dan minuman hangat. Mereka berdua menyeduh kopi sembari bertukar cerita satu sama lain.

“Oh iya, waktu kamu pulang, kok aku gak ngeliat Mark, Lucas, sama Winwin ya? Apa mereka beda pesawat?” Tanya Zemira mendadak ingat. “Tapi di kampus juga gak keliha—”

“Mereka nerusin kuliah disana.” Ujar Taeyong memotong.

“Tiba-tiba?”

“Mhm..”

Zemira hanya mengangguk-angguk dengan memperhatikan wajah kekasihnya. Kedua matanya menyipit, berusaha fokus pada sesuatu di dekat mata Taeyong.

“I-ini.. sejak kapan kamu—”

Taeyong menepis tangan Zemira yang hampir menyentuh wajahnya. Gadis itu terkejut.

“Habis kebentur.”

Scars yang ada di dekat mata Taeyong membuat Zemira khawatir. Karena menurutnya itu luka yang cukup dalam.

“Kok bisa? Udah diobatin kan? Ini bekas lupa apa? Gimana bisa kebentur? Kebentur apa?” Rentetan pertanyaan dari Zemira tak ada satu pun yang terjawab.

Mendengar itu, Taeyong seketika memeluk Zemira.

“I miss you so badly.” Bisik Taeyong.

Zemira tersenyum.

“Ze, gimana cerminnya? Cantik? Kamu suka?”

“Mhmm.. cantik. Suka!”

“Hey rose.”

Zemira kebingungan. “M-maksudnya teh naon?”

“Cerminnya aku kasih nama Rose, kalo kamu ngaca, coba sambil di sapa.” Sembari merapikan rambut Zemira yang tertiup angin. “You're going to be prettier.”

“Ngaco banget? You're flirting with me?”

'

Sampai di rumah, Zemira langsung masuk ke kamar dan merebahkan dirinya. Di luar cukup berantakan, tak enak dilihat. Enam bocah laki-laki tertidur di sembarang tempat ruang tengah. Siapa lagi kalau bukan Renjun dan teman-temannya.

Zemira menghela nafas. Suasana hatinya cukup senang. Ia meraih cermin pemberian Taeyong. Cukup lama ia bercermin sambil merekahkan senyumnya.

“Hey rose!” Sapanya.

she heard and saw

“Hey rose! Hehehe.” Sapanya lagi.

Jendela kamarnya terbuka, tertiup angin. Lantas Zemira beranjak dari kasur dengan cepat menutupnya. Dan kembali merebahkan dirinya sembari berkaca lagi.

“Hey rose!” Tersenyum senang. “Ih udah ah gue gila lama-lama nurutin Taeyong.”

i'm here, i'm under your bed

i'll take care of you tonight

Don't let me down

'

Semesta, tolong berpihaklah padaku. Aku tak menuntut agar segala menjadi seperti apa yang aku mau. Aku hanya ingin dibantu agar aku bisa meyakinkan diriku bahwa segala doaku selama ini akan terwujud. Jika tidak akan pernah terwujud, bantu aku agar bisa meyakinkan diriku bahwa berbagai hal baik dan kebahagiaan yang akan menggantikannya sedang menantiku.

Terasa berbeda. Suasana hangat yang setiap hari dirasakan Kyra mulai surut. Tak seperti biasanya, melihat sepasang suami istri sedang saling diam tak bertegur sapa satu sama lain.

“Kamu lupa lagi kan?!” Itu bukan nada bertanya, tapi sedikit membentak. “Lupa terus, lupa terus?! Mas, aku benci sama orang yang pelupa!”

“Gak usah buat-buat janji yang kamu sendiri gak bisa nepatin!”

Entah apa yang membuat Kyra mengatakan itu dua hari yang lalu. Yang membuat keduanya tak saling tegur sapa. Membuat suasana hangat dan nyaman yang mereka pertahankan hancur.

Mengingat dua hari yang lalu adalah hari ulang tahun putri semata wayangnya, wajar saja bila Kyra sampai emosi karena Dejun melupakan janjinya. Janji di tahun ketiga kelahiran Vania, ia akan merayakannya bersama keluarga Kyra di Malang.

Disisi lain, pun, tak bisa menyalahkan Dejun karena ingatannya mulai tak karuan. Ia menolak untuk mendapatkan pengobatan yang serius. Dejun hanya mengandalkan obat dan vitamin yang selalu ia minum selama tiga tahun belakangan ini. Ia percaya dengan statement Dokter yang mengatakan bahwa penyakit ini akan sembuh sendiri seiring berjalannya waktu. Namun tetap saja, jika kondisi semakin buruk, seharusnya mendapatkan pengobatan khusus.

Tapi menurut Dejun, ia tak ingin waktunya terbuang sia-sia. Ia tak ingin waktu berharga untuk keluarganya terbuang sia-sia. Ia hanya ingin tetap bersama istri, dan juga putri semata wayangnya.

'

“Aku besok sama Vania mau ke Malang.” Celetuk Kyra tiba-tiba.

Dejun yang sedang bermain dengan Vania di sofa, menoleh kaget.

“Kok mendadak? Aku belum ijin buat gak ma—”

“Aku sendiri. Sama Vania.” Tegas Kyra.

Lantas memutar tubuhnya dan berjalan masuk ke kamar. Tak tahan lagi dengan situasi ini, Dejun beranjak dari sofa, lalu menarik pergelangan tangan Kyra. Kini keduanya berdiri berhadapan tepat di depan pintu kamar mereka, dengan mata Kyra yang mulai dipenuhi air mata.

“M-mau berapa la-ma?” Tanya Dejun dengan suara terbata.

“Selama—”

“KYR?!”

Suara bentakan dari Dejun membuat Vania yang sedang asyik bermain terhentak kaget. Gadis kecil itu tengah melihat kedua orang tuanya sedang beradu, semoga ia masih belum paham tentang perselisihan dan perdebatan yang kini terjadi.

“KENAPA SIH?! Ini hari ketiga kamu diemin aku. Kamu dingin sama aku. Kenapa?!” Nada Dejun menuntut. “Terus apa maksud kamu mau berdua sama Vania ke Malang?”

“Mas, jangan kayak gini di depan Vania.” Kyra menutup sebagian wajahnya. Lalu berbalik, berniat masuk ke dalam kamar, namun Dejun mencegahnya lagi.

“Bilang sama aku. Kamu kenapa?”

Kyra membiarkan beberapa tetesan air mata jatuh. “Mas, ada Van—”

Dejun menghampiri Vania yang tengah duduk melihat mereka berdua. Lalu ia gendong putrinya, dan kembali berdiri di depan Kyra yang sedang menangis.

“Bunda kalo nangis jelek ya, nak? Tuh ingusnya bunda sampe keluar, hiiii.”

“Hiiii, bun-da.” Vania menyembunyikan wajahnya di perpotongan leher Dejun, dan tertawa.

“Ayah lagi marahin bunda, karena bundanya nangis keluar ingus, jelek ya nak? Kalo bunda nangis, jelek gak?” Tanya Dejun.

“Jelek.”

“Kalo bunda gak nangis, cantik gak?”

“Cantik.”

“Kalo gitu, kalo bunda nangis lagi dimarahin aja ya? Biar bundanya cantik terus.”

“Iya yah!”

Kyra buru-buru menyeka wajahnya, sembari mendengar Dejun dan Vania meledeknya.

“Vania mau gak kalo ayah sakit?”

Keduanya mendadak terdiam. Dejun pun hanya menatap Kyra kaget.

“Vania jawab bunda. Mau kalo ayah sakit?” Tanya Kyra dengan suaranya yang bergetar. Kelopaknya mulai penuh lagi dengan air mata.

“Enggak mau.” Jawab Vania singkat. Ekspresi wajah gadis kecil itu berubah, dan lalu menatap seseorang yang sedang menggendongnya. “Ayah sakit?” Tanya seorang anak berumur 3 tahun.

Entah kenapa mendadak Vania pun menangis. Membuka kedua lengannya menghadap sang bunda, tanda untuk Kyra agar menggendongnya. Cukup kencang Vania menangis. Seperti mengerti perasaan Kyra, ia memeluk Kyra dengan eratnya, membelakangi sang ayah.

“See?”

Dejun hanya menelan ludah melihat Vania menangis.

“Maaf kalo dua hari yang lalu aku bentak kamu, mas. Aku gak bermaksud. Aku cuma—”

“Aku capek. Aku capek nyuruh kamu, bujuk kamu buat dapet pengobatan yang lebih. Aku capek.”

“Aku gak benci kamu jadi pelupa, aku gak benci kamu pelupa, mas, enggak. Aku cuma benci kalo pelupa mu itu karena sesuatu yang seharusnya bisa diobati.”

“Aku benci kamu karena kamu gak mau berusaha buat sembuh. Kalo cuma ngandelin obat dan vitamin, tapi kondisimu makin buruk, itu gak akan ngebantu.”

“Apa bedanya? Apa bedanya kamu sama aku? Aku sama Vania ninggalin kamu sendiri disini, sama kamu yang bakal beda dunia sama aku dan ninggalin Vania kalo kondisimu makin memburuk dan berakibat fatal.”

“Apa bedanya mas?”

Jelas Kyra sesekali mengusap beberapa air mata yang tengah keluar, dan dengan menenangkan Vania yang masih saja menangis.

Bibir Dejun bergetar saat akan menjawab pertanyaan Kyra. Tangisnya dapat ia tahan, sebelum Kyra melontarkan lagi beberapa kalimat.

“Mas, kamu dan Vania, is the most beautiful gift from God. Aku bersyukur karena kalian berdua aku bisa hidup dalam kehangatan yang gak pernah aku dapetin sebelumnya. Mas, aku masih mau ngerasain ini, aku masih mau ngerasain hari yang luar biasa panjang. Sama kamu, sama Vania. Aku ngerasa Semesta udah mulai berbaik hati kepadaku. Aku mulai merasa bahwa Semesta mulai menggantikan segala doa yang belum atau tidak terwujud.”

“So, don't let me down.”

“Tepati janjimu untuk gak ngebiarin aku, dan Vania sendiri. Untuk menjadi keluarga lengkap buat Vania.”

Air mata yang dari tadi Dejun tahan, akhirnya turun beraturan, dengan berakhirnya kalimat Kyra, Dejun menabrakkan tubuhnya memeluk Kyra dan putrinya. Lalu membisikkan kalimat penenang yang selama ini Kyra harapkan.

“Aku mau hidup buat kamu sama Vania.”

“Iya, aku mau sembuh.”

“No one leaves each other, okey?”

image

The Black Country

“Pegang aja uang ini, buat ganti rugi waktu gue selama satu semester di sana.” Ujar Taeyong setengah memohon agar Renjun mau menerimanya.

Dengan senang hati, adik dari kekasihnya itu menerimanya disertai ucapan terima kasih. Renjun sudah menganggap Taeyong sebagai kakaknya sendiri. Bagaimana tidak? Ia selalu siap sedia jika dimintai pertolongan oleh Renjun ataupun Zemira.

Kabar bahwa Taeyong akan pergi ke Inggris untuk mengambil beasiswanya, sempat membuat Renjun marah, bahkan mogok untuk bertemu dengan kekasih kakak kandungnya itu. Tapi bukan Taeyong namanya jika ia tak bisa meluluhkan hati Renjun.

“Jaga diri baik-baik ya?” Pinta Taeyong pada Zemira yang hanya dijawab dengan wajah sedih dan anggukan.

“Jangan cemberut gini dong? Kan cuma satu semester.” Imbuhnya.

“Iya iya, kamu juga jaga diri baik-baik.”

“Adeknya jangan di takut-takutin mulu.” Pintanya lagi.

“Sumpah kak, gue gak bisa apa ikut kak Taeyong? Udah bayangin seharian gak ada lo tuh gimana.” Protes Renjun.

Tawa Taeyong merekah. “Ya udah ayo ikut gue, biar kakakmu sendirian dirumah. Mau?”

Renjun tampak berfikir sembari melihat kakaknya memelaskan wajahnya. “Gak deh kak. Even kak Ze nyebelin, tapi gue gak tega ninggalin dia kalo mukanya kaya— Aw!”

Zemira seketika melingkarkan lengannya pada leher Renjun, membuatnya berhenti berbicara.

“Nah tuh temen-temen kamu udah dateng, cepet check in gih keburu ketinggalan pesawat.”

Zemira benar. Mark, Lucas, dan Winwin sudah melambai-lambaikan tangannya tak sabar dari pintu masuk. Merekalah yang akan berangkat bersama Taeyong.

“I'll see you at this place.” Kalimat Taeyong menyesakkan.

Buru-buru ia menghampiri ketiga temannya. Tepat di depan pintu utama, ia kembali membalikkan badannya dan membuka mulutnya tanpa suara. Tangannya pun ia gerak-gerakkan sebagai pendukung kalimat yang ia ucapkan.

Zemira paham dengan ucapan Taeyong yang tak bersuara itu.

“Jangan kebanyakan ngaca, kamu selalu cantik.”

Agaknya ia melihat kekasihnya yang selalu mengangkat ponsel hanya untuk merapikan beberapa rambut yang jatuh.

Setelah mengungkapkan kalimat itu, senyum kepergian Taeyong merekah. Tangis Zemira sudah di pelupuk mata, tapi berusaha ia tahan. Ia masih bertahan di posisinya dalam waktu yang cukup lama. Entah mengapa ia menjadi sangat takut. Bermacam-macam perasaan bercampur aduk jadi satu.

i dont know what im more afraid of; to see you again or to never see you again

image

Pain;

you're gonna be happy – said life but first, i'll make you strong

“Kyra! Ngelamun terus!”

Kyra hampir berjingkat saat Dejun menjentikkan jari di depan wajahnya. Padahal sejak tadi, Kyra hanya sendirian di balcony melamun sambil melihat pemandangan malam dari Apartmentnya. Sudah berapa puluh menit dari kepergian Sungchan, Kyra masih terdiam disana.

Benar apa kata teman-teman Kyra, akhir-akhir ini Kyra lebih sering melamun. Mereka sangat yakin, satu dari semua alasan yang membuatnya melamun seperti itu tentunya masalah kegagalannya melahirkan dua anak kembar.

“Kamu masuk gak pake salam, mas.” Celetuk Kyra.

“Aku udah salam tiga kali, Kyra. Kamu dengerin korean ballad song juga gak keras-keras amat. Ngelamunnya ini loh kebiasaan.” Dejun menyodok kecil pipi Kyra. Lalu duduk di sampingnya.

“Kok Sungchan udah pulang? Padahal aku beli snack banyak banget.”

Masih di posisi yang sama, Kyra menoleh ke arah sofa yang berjajar banyak kantong plastik berisi macam-macam snack. Mata Kyra membulat.

“M-mas? Ini teh kamu mau buka warung disini?” Tunjuk Kyra. “Too much ini mah astaghfirullah.”

“Buat amunisi gantiin kamu begadang.” Senyum Dejun merekah. Ia mengacak kecil pucuk kepala Kyra. “Hari ini aku aja yang begadang nemenin si kecil ya?”

Kyra menggeleng cepat. “Enggak mas gak boleh. Aku aja. Kamu capek, terus kamu jug—”

“Kyra, jangan jadikan begadangnya kamu sebagai cara menebus apa yang bukan salahmu. Berhenti nyalahin diri sendiri ya? It's not your fault at all, sayang.”

Setiap malam, Kyra selalu susah tidur, atau lebih tepatnya ia terbayang dengan rasa bersalah. Dua anak kembarlah, yang seharusnya lahir ke dunia. Namun semesta merubah takdir bahagianya. Semesta mengurangi porsi bahagia Kyra yang berlebihan ini. Lagi-lagi, semesta tak mengizinkan Kyra untuk mendapatkan semua kebahagiaannya. Mau tak mau, ia harus merelakan satu dari keduanya. Lalu hanya putrinya yang dapat melihat indahnya dunia. Putri yang mereka beri nama Vania, yang artinya hadiah dari Tuhan.

Melihat Vania tertidur pulas, Kyra terus mengucap semua janjinya untuk tidak membiarkan putrinya merasa sendiri. Untuk selalu memastikan putrinya mendapatkan kebahagiaan. Semua ia ucapkan meski beberapa kali sempat menyelipkan permintaan maafnya kepada sang putri.

“Mas Dejun gak tau rasanya.” Ucap Kyra lirih.

“I know more than i do. Kyra, aku sudah amat sangat berterima kasih because you gave me a beautiful princess. Aku juga mau jaga Vania, aku juga mau jadi ayah yang bisa di andalkan. Jadi, please.. biarin aku bantu kamu. Udah berapa minggu kamu kayak gini? Udah ya?”

Mata Dejun berkaca-kaca sembari memegang kedua tangan Kyra. Mereka saling tatap cukup lama, hingga akhirnya Kyra menangis dengan hebatnya. Sudah lama sejak pernikahan mereka, Kyra tak pernah menumpahkan air mata sebanyak ini. Dan terakhir Dejun melihatnya menangis adalah tangisan bahagianya, bukan air mata kesedihan seperti ini. Dejun merengkuh tubuh mungil Kyra, tak mungkin ia ikut menangis di saat seperti ini. Ia harus menguatkan, bukan malah ikut dalam lautan kesedihan.

“You've done your best, Kyra. I'm grateful to have you.”

“Mas kamu kenapa?” Tanya Kyra dengan suara terbata-bata. “Apa yang kamu sembunyiin dari aku?”

Dejun tersenyum mendengarnya. Pertanyaan yang akhirnya ia dengar dari Kyra. Berniat mengakhiri sesi pelukan, Kyra malah makin mengeratkan. Dengan air mata yang seperti tak ada habisnya.

“Kyra.. lepasin dulu ya.”

“Gak mau! Gini aja.”

“Ini kamu mau nyaingin Vania apa nangisnya gak selesai-selesai?” Goda Dejun yang padahal air matanya sendiri tengah membasahi pipinya. “Dilepas dulu, aku mau ngomong sambil lihat kamu.”

“Aku jelek mas, jelek banget ini mah karna nangis kebangetan.”

Dejun menghela nafas beberapa kali sebelum akhirnya ia memberitahu sesuatu.

“Maaf Kyra, aku belum siap. Aku belum siap kalau akhirnya kamu ngerubah cara pandangmu terhadapku. Aku janji bakal kasih tau. Tapi nanti. That's not something bad.”

Justru Kyra merasa bodoh dan keras kepala kali ini. Ia mengendurkan lengannya lalu berjalan masuk ke kamar.

Kembali dengan sebuah buku kuning dengan judul 'Let me remember' tulisan latin yang rapi. Menjatuhkan benda itu di pangkuan Dejun, dengan Kyra yang berusaha mengusap seluruh air matanya yang jatuh.

“Kamu nulis semua ini buat apa mas? That's not something bad kata kamu? Not as bad as what? Sampe kamu nulis semua yang kamu lalui tiap hari. Sampe kamu nulis semua jadwal penting or something like that.”

“It's impossible if this isn't something bad kalo kamu nulis semua ini, mas Dejun! Bahkan kamu nulis semua tentangku yang pernah aku ceritain ke kamu. Buat apa?” Imbuh Kyra.

“Biar aku inget, Kyra.” Jawab Dejun lemah tanpa menghadap lawan bicaranya. Ia masih tertunduk melihat buku yang selama ini ia cari. Yang tiba-tiba hilang dan berfikir bahwa benda ini tertinggal saat mereka berlibur ke Switzerland. “Ensefalitis. I often suddenly lose my memory, makanya aku nulis semua ini. Aku baca setiap hari.”

“So i can keep you in mind, Kyra.”

Mata Dejun memerah saat menengadahkan kepalanya untuk menatap Kyra yang dari tadi berdiri menunggu jawaban.


Dear Semesta, its been a long time. Banyak hal yang mengganjal kepalaku. Why is life testing me so hard lately? Tidak cukupkah keluarga yang berantakan? Tidak cukupkah aku kehilangan satu dari kedua buah hatiku? Lantas sekarang apa? Ensefalitis? Haha hey Semesta, are you kidding me? Ya. Ini mengubah cara pandangku, bukan terhadap Dejun, tapi terhadap diriku sendiri. That i'm not destined to feel happy, that's who i'm.

Pain;

you're gonna be happy – said life but first, i'll make you strong

“Kyra! Ngelamun terus!”

Kyra hampir berjingkat saat Dejun menjentikkan jadi di depan wajahnya. Padahal sejak tadi, Kyra hanya sendirian di balcony melamun sambil melihat pemandangan malam dari Apartmentnya. Sudah berapa puluh menit dari kepergian Sungchan, Kyra masih terdiam disana.

Benar apa kata teman-teman Kyra, akhir-akhir ini Kyra lebih sering melamun. Mereka sangat yakin, satu dari semua alasan yang membuatnya melamun seperti itu tentunya masalah kegagalannya melahirkan dua anak kembar.

“Kamu masuk gak pake salam, mas.” Celetuk Kyra.

“Aku udah salam tiga kali, Kyra. Kamu dengerin korean ballad song juga gak keras-keras amat. Ngelamunnya ini loh kebiasaan.” Dejun menyodok kecil pipi Kyra. Lalu duduk di sampingnya.

“Kok Sungchan udah pulang? Padahal aku beli snack banyak banget.”

Masih di posisi yang sama, Kyra menoleh ke arah sofa yang berjajar banyak kantong plastik berisi macam-macam snack. Mata Kyra membulat.

“M-mas? Ini teh kamu mau buka warung disini?” Tunjuk Kyra. “Too much ini mah astaghfirullah.”

“Buat amunisi gantiin kamu begadang.” Senyum Dejun merekah. Ia mengacak kecil pucuk kepala Kyra. “Hari ini aku aja yang begadang nemenin si kecil ya?”

Kyra menggeleng cepat. “Enggak mas gak boleh. Aku aja. Kamu capek, terus kamu jug—”

“Kyra, jangan jadikan begadangnya kamu sebagai cara menebus apa yang bukan salahmu. Berhenti nyalahin diri sendiri ya? It's not your fault at all, sayang.”

Setiap malam, Kyra selalu susah tidur, atau lebih tepatnya ia terbayang dengan rasa bersalah. Dua anak kembarlah, yang seharusnya lahir ke dunia. Namun semesta merubah takdir bahagianya. Semesta mengurangi porsi bahagia Kyra yang berlebihan ini. Lagi-lagi, semesta tak mengizinkan Kyra untuk mendapatkan semua kebahagiaannya. Mau tak mau, ia harus merelakan satu dari keduanya. Lalu hanya putrinya yang dapat melihat indahnya dunia. Putri yang mereka beri nama Vania, yang artinya hadiah dari Tuhan.

Melihat Vania tertidur pulas, Kyra terus mengucap semua janjinya untuk tidak membiarkan putrinya merasa sendiri. Untuk selalu memastikan putrinya mendapatkan kebahagiaan. Semua ia ucapkan meski beberapa kali sempat menyelipkan permintaan maafnya kepada sang putri.

“Mas Dejun gak tau rasanya.” Ucap Kyra lirih.

“I know more than i do. Kyra, aku sudah amat sangat berterima kasih because you gave me a beautiful princess. Aku juga mau jaga Vania, aku juga mau jadi ayah yang bisa di andalkan. Jadi, please.. biarin aku bantu kamu. Udah berapa minggu kamu kayak gini? Udah ya?”

Mata Dejun berkaca-kaca sembari memegang kedua tangan Kyra. Mereka saling tatap cukup lama, hingga akhirnya Kyra menangis dengan hebatnya. Sudah lama sejak pernikahan mereka, Kyra tak pernah menumpahkan air mata sebanyak ini. Dan terakhir Dejun melihatnya menangis adalah tangisan bahagianya, bukan air mata kesedihan seperti ini. Dejun merengkuh tubuh mungil Kyra, tak mungkin ia ikut menangis di saat seperti ini. Ia harus menguatkan, bukan malah ikut dalam lautan kesedihan.

“You've done your best, Kyra. I'm grateful to have you.”

“Mas kamu kenapa?” Tanya Kyra dengan suara terbata-bata. “Apa yang kamu sembunyiin dari aku?”

Dejun tersenyum mendengarnya. Pertanyaan yang akhirnya ia dengar dari Kyra. Berniat mengakhiri sesi pelukan, Kyra malah makin mengeratkan. Dengan air mata yang seperti tak ada habisnya.

“Kyra.. lepasin dulu ya.”

“Gak mau! Gini aja.”

“Ini kamu mau nyaingin Vania apa nangisnya gak selesai-selesai?” Goda Dejun yang padahal air matanya sendiri tengah membasahi pipinya. “Dilepas dulu, aku mau ngomong sambil lihat kamu.”

“Aku jelek mas, jelek banget ini mah karna nangis kebangetan.”

Dejun menghela nafas beberapa kali sebelum akhirnya ia memberitahu sesuatu.

“Maaf Kyra, aku belum siap. Aku belum siap kalau akhirnya kamu ngerubah cara pandangmu terhadapku. Aku janji bakal kasih tau. Tapi nanti. That's not something bad.”

Justru Kyra merasa bodoh dan keras kepala kali ini. Ia mengendurkan lengannya lalu berjalan masuk ke kamar.

Kembali dengan sebuah buku kuning dengan judul 'Let me remember' tulisan latin yang rapi. Menjatuhkan benda itu di pangkuan Dejun, dengan Kyra yang berusaha mengusap seluruh air matanya yang jatuh.

“Kamu nulis semua ini buat apa mas? That's not something bad kata kamu? Not as bad as what? Sampe kamu nulis semua yang kamu lalui tiap hari. Sampe kamu nulis semua jadwal penting or something like that.”

“It's impossible if this isn't something bad kalo kamu nulis semua ini, mas Dejun! Bahkan kamu nulis semua tentangku yang pernah aku ceritain ke kamu. Buat apa?” Imbuh Kyra.

“Biar aku inget, Kyra.” Jawab Dejun lemah tanpa menghadap lawan bicaranya. Ia masih tertunduk melihat buku yang selama ini ia cari. Yang tiba-tiba hilang dan berfikir bahwa benda ini tertinggal saat mereka berlibur ke Switzerland. “Ensefalitis. I often suddenly lose my memory, makanya aku nulis semua ini. Aku baca setiap hari.”

“So i can keep you in mind, Kyra.”

Mata Dejun memerah saat menengadahkan kepalanya untuk menatap Kyra yang dari tadi berdiri menunggu jawaban.


Dear Semesta, its been a long time. Banyak hal yang mengganjal kepalaku. Why is life testing me so hard lately? Tidak cukupkah keluarga yang berantakan? Tidak cukupkah aku kehilangan satu dari kedua buah hatiku? Lantas sekarang apa? Ensefalitis? Haha hey Semesta, are you kidding me? Ya. Ini mengubah cara pandangku, bukan terhadap Dejun, tapi terhadap diriku sendiri. That i'm not destined to feel happy, that's who i'm.

a promise

Dejun POV

Pernikahan itu, one way ticket no turning back. Seperti satu destinasi negara ketika kita liburan, pastikan disana fun banget, banyak yang bisa di explore, pastikan pergi liburan kesana dengan orang yang asik untuk bisa explore ke banyak tempat. 100% dewasa + 100% dewasa, jangan sampai kurang dari itu, dalam artian satu sama lain harus sama-sama dewasa, supaya menikah bisa saling support, bukan untuk saling menuntut diisi jadi 100%.

Aku sangat mengenal bagaimana sifat Kyra. Ku jadikan dia sebagai cinta abadi dalam hidupku bukan tanpa alasan. Dia sangat dewasa, bahkan dewasa sebelum waktunya. Dengan sangat yakin kupertaruhkan seluruh kepercayaanku untuk menetap padanya. Dan benar saja, pernikahanku dengan Kyra menjadi salah satu lifestyle dalam mengucap syukur. Ya, aku sangat bersyukur memilikinya.

Sama sekali aku tak pernah merasa direpotkan, bahkan aku ingin merasakan bagaimana rasanya kerepotan karena istri sendiri. Aku tak akan mengeluh sekalipun aku direpotkan oleh Kyra.

Kyra adalah duniaku, sekarang.

Bohong bila aku tidak pernah bertengkar. Sering kami berdua bertengkar hanya karena hal sepele. Tapi kembali lagi, kerjasama team dari dua orang dewasa. Kalau Kyra salah, aku juga salah. Kalau Kyra benar, aku juga benar. Tidak ada di kamus mengatakan bahwa Kyra salah, aku yang benar.

Kyra selalu membuatku ingin menceritakan banyak hal kepada orang lain. Membuatku ingin pamer kepada semesta bahwa aku telah memilih orang yang tepat. Atau semesta yang telah berbaik hati memberikan seorang Kyra di hidupku?

Disisi lain aku merasa bersalah karena ada satu hal yang aku sembunyikan darinya. Karena Demi Tuhan, aku tak ingin mengubah cara pandangnya terhadapku.

'

Aku menyesal dan menyalahkan diriku sendiri karena memiliki daya ingat yang lemah. Aku melupakan jadwal kontrol istriku. Lagi.

Wajar saja dia marah, dia akan mengomel saat aku tiba di apartment nanti.

Tapi itu tidak terjadi.

Lebih baik aku mendengarkan omelan Kyra 24 jam dari pada aku melihatnya terbaring lemah. Kepalanya bersandar pada bantal, kedua tangannya terlipat lemah di atas dadanya.

Ada Ten, juga Emma yang duduk di sofa sembari mengunyah snack yang entah darimana.

“Saat stres atau sedang emosi, tubuh ibu hamil akan memproduksi hormon stres. Ketika jumlah hormon stres tersebut meningkat, pembuluh darah di dalam tubuh akan menyempit, membuat aliran darah dan pasokan oksigen ke janin menjadi berkurang dan membuat tumbuh kembangnya terganggu.”

Kalimat dari Dokter masih saja terngiang di kepalaku. Apa yang sedang terjadi?

“Jun, gue sama Emma balik ya? Udah malem.” Ten menepuk pundakku.

“Thanks ya!”

“Santai aja. Kalo Kyra udah sadar kabarin gue.” Ia melambaikan tangan dan hampir menutup pintu. “Gak usah salah paham, gue cuma mau pastiin dia baik-baik aja. Maksudnya sebagai temen!” Tekannya.

Aku terkekeh mendengar alasan Ten.

Kini hanya ada aku dan Kyra di ruangan ini. Aku menoleh pada jam dinding. Hampir tengah malam.

“Papa sama mama kamu udah tau belum, Kyr?” Tanyaku lirih.

Kyra belum sadar, atau memang tak ingin berbicara denganku? Aku merogoh ponsel. Kemudian menekan tombol telpon berwarna hijau setelah menekan nomor telpon Sungchan.

“Nggak usah..”

Ia bangun. Kyra ku bangun.

“Jangan telpon siapa-siapa..” pintanya lemas.

Kyra being Kyra. Tapi sepertinya aku mengerti apa yang telah terjadi. Entah sejak kapan air mataku lolos. Aku mengusapnya buru-buru sebelum Kyra melihat.

“Kamu nangis?” Tanya Kyra dan seketika tawanya merekah. “Hehe mas Dejun nangis.”

“Maaf ya, aku minta maaf karna daya ingatku udah melemah gini. Besok-besok aku gak akan lupa lagi!” Aku hampir lupa untuk meminta maaf kepadanya secara langsung.

“Iya. Jangan lupa lagi.”

Saat aku ingin mengecup keningnya, Dokter berkunjung untuk mengecek kondisinya.

“Ayo, ibunya gak boleh kebanyakan pikiran. Kasihan dua anak-anak—”

“Apa Dok? Dua anak-anak?” Jujur aku terkejut ketika mendengar pernyataan itu. Kembar?

Seperti maling yang sudah tertangkap basah, Kyra menepuk jidatnya pelan. Dokter itu hanya tertawa melihat kelakuannya.

“Suaminya masih belum tau? Padahal persalinannya sudah bulan depan loh.”

“Belum Dok, saya masih musuhan sama dia.” Kyra menunjukku.

'

“Kenapa disembunyiin sih?”

“Ayo lah Kyr cowo apa cewe?”

“Kembar kan? Kembar cowo apa cewe?”

“Kyra kasih tau aku.”

Aku menyerah. Tidak ada jawaban dari Kyra. Ia hanya tersenyum saat aku melontarkan ribuan pertanyaan. Lantas ia menggenggam tanganku. Erat.

“Mas, janji aja sama aku.”

Aku menggeser posisi dudukku agar lebih dekat untuk menggapai pucuk kepalanya.

“Janji apa?”

“Kalau bisa, tolong jangan patahkan aku.”

“Semesta seringkali mengajari hal-hal ajaib. Salah satunya, beberapa hal justru akan hilang ketika kita berusaha menggenggam.” Imbuhnya.

Aku hanya tersenyum menerima ucapan seperti itu. Aku mengerti maksud Kyra.

“Iya, aku janji.”

Senyum Kyra semakin mengembang setelahnya.


Maaf, Kyra

a whole family.

-can i?

'

“Halo anaknya ayah, lagi ngapain kamu disana?”

Itu suara Dejun. Lelaki itu sedang meletakkan kepalanya di pangkuan Kyra, dengan telinganya yang tak ingin jauh dari perut Kyra. Sentuhan lembutnya, membuat empunya tersenyum.

“Katanya nanti kegencet anaknya? Ini kamu sendiri yang gencet.”

Sontak Dejun terbangun. “Oh iya, gak boleh gini nanti anakku kegencet.”

“Haha. Mas demi deh ya, gak ada kegen- aw!”

Kyra memegangi punggungnya saat ia akan beranjak dari sofa, entah apa yang ia rasakan, keduanya tak begitu paham.

“Kyra!! Kenapa kenapa? Sakit ya? Maaf ya maaf?”

Wajah Dejun terlihat sangat panik saat Kyra meringis kesakitan.

“Masih sakit? Mau ke dokter sekarang gak? Ini kamu teh belum waktunya ngelahirin kan?”

“Mas jangan panik, kata dokternya wajar kok. Mana ada mau ngelahirin? Lama lah.” Kyra yang masih mengelus punggungnya. “Biasa terjadi ini mah kalo trimester 2, sakitnya di sendi sama otot di tulang panggul, punggung bawah.” Jelas Kyra.

Dejun tak tega melihat istrinya seperti berusaha menyembunyikan rasa sakit. Bagaimana Kyra terus berusaha untuk kuat dan menjaga baik-baik buah hati mereka. Bagaimana Kyra berusaha untuk tidak merepotkannya. Dan bagaimana Kyra berusaha untuk tidak membuat Dejun khawatir.

Lelaki itu mendekatkan wajahnya. Melayangkan kecupan cukup lama di kening Kyra. Ia merasa sangat bersyukur menjadikan Kyra sebagai ibu dari anak-anaknya. Rasa sayangnya terhadap Kyra sudah tidak diragukan lagi.

Teramat sayang.

Kyra mungkin kelelahan, pasalnya hampir seharian penuh ia menghabiskan waktu bersama kedua sahabatnya. Dejun berfikir bahwa itu lah penyebabnya.

Setelah melayangkan kecupan hangat, dengan inisiatifnya sendiri, Dejun menyiapkan air hangat untuk mengompres punggung Kyra, mungkin akan membantu meredakan rasa nyerinya.

“Kamu diem situ dulu aja, jangan banyak bergerak!!” Titah Dejun.

Kyra hanya mengangguk dengan tangannya yang tengah sibuk menggosok punggung hingga pinggulnya.

Dengan telatennya, Dejun mengompres punggung Kyra. Ia meletakkan air hangat pada botol kaca, pelan-pelan ia menggerakkannya.

Hangat. Itu yang Kyra rasakan. Bukan karena Dejun mengompresnya dengan air hangat, bukan. Tapi rasa hangat yang selalu ia dapatkan dari Dejun, membuat Kyra tiba-tiba menitikkan air mata. Rasa hangat yang tak lagi ia rasakan dari keluarganya, rasa hangat yang tak pernah ia dapatkan sebelumnya.

Nak, bunda janji, kalau kamu sudah lahir untuk melihat dunia, bunda akan berikan seluruh kasih sayang yang bunda punya. Bunda akan kasih semua seisi dunia bunda. Rasa hangat dari keluarga yang utuh. Bunda janji, bakal jaga kamu, bakal jaga ayah kamu. Nanti, kita sama-sama membuat sebuah keluarga kecil yang hangat dan bahagia, ya? batin Kyra.

Mari kita doakan yang terbaik untuk rumah tangga mereka kedepannya.