Mas
'
Terima kasih telah menyertakan aku ke dalam semesta kecilmu.
—
Dejun menahan pintu mobil dan menunggu Kyra masuk ke dalam mobil. Merendahkan tubuhnya, lalu memasukkan kakinya perlahan. Dejun menahan kepalanya dengan lembut, melindunginya supaya tidak terbentur bagian atap mobil. Kyra menoleh ke arah Dejun dan tersenyum.
Yogyakarta, sebuah kota istimewa yang akan menjadi destinasi berlibur keluarga kecil ini. Vania yang sedang duduk di kursi belakang supir sangat excited. Pasalnya hari ini bertepatan dengan hari ulang tahunnya. Dan juga anniversary pernikahan ke-8.
“Ayah!! Vania gak mau bobo sampe nanti. Nanti kalo Vania hampir ketiduran, bangunin ya, Ayah.” Pinta sang putri.
Dejun tersenyum melihat senyum Vania dari kaca mobil.
“Kenapa gak mau tidur? Vania sama bunda tidur aja. Kan capek perjalanannya jauh.”
Bukan tanpa sebab mereka memilih mengendarai mobil sendiri untuk berlibur kali ini. Itulah pinta putri semata wayangnya. Vania ingin menikmati perjalanan panjangnya. Ingin melihat bagaimana kota-kota yang akan ia lewati nanti. Ingin merasakan bagaimana serunya bepergian jauh menggunakan mobil, bersama orang tuanya.
“Kan udah Vania bilang, mau lihat pemandangannya, Ayah!”
Kyra menggeleng dan terkekeh mendengar jawaban putrinya yang tampak kesal itu.
'
Memasuki jalan tol yang tak begitu ramai kendaraan, membuat pemandangan di kanan dan kiri jalan tampak indah. Dejun memelankan laju mobilnya, melirik sang putri yang tertidur setelah bercerita banyak hal. Tentang dirinya di sekolah, tentang dirinya yang ingin setiap hari pergi berlibur dengan ayah dan bundanya, dan tentang betapa inginnya ia memiliki adik.
“Tadi udah pamit mama sama papa?” Tanya Dejun tiba-tiba.
Kyra menggeleng. “Enggak perlu, mas. Lagian kita cuma liburan.”
Dejun menghela nafas. “Sungchan? Adik kamu?”
“Kan udah? Tadi Vania yang nanyain kenapa omnya gak dateng buat ngucapin ulang tahun ke dia.” Jawab Kyra tanpa melihat Dejun. “Lagian dia lagi sibuk keluar sama Anya, mas.”
Mata Kyra terasa panas. Menoleh ke arah Dejun, ia tersenyum. Mencoba tersenyum.
“Aku belum ngucapin.”
“Apa?”
“Happy Anniversary, mas Dejun. You're the special gift from heavens. In another life, aku bakal tetep minta sama Tuhan buat ketemu kamu. I love you, today and forever.”
Kini mata Dejun yang terasa panas. Bulir air matanya sudah tampak di kelopak. Ia meraih pucuk kepala Kyra, meski pandangannya mencoba fokus ke arah jalanan.
“No, you're the real special gift from heavens, Kyra. Menghabiskan waktu seumur hidup with a wife like you, i feel so blessed. Terima kasih sudah mau bertahan even aku nyebelin. Aku juga mau minta sama Tuhan buat ketemu kamu. Di surga. Hehe.”
Siang itu terasa biru dan sendu.
“Kyra, bangunin Vania gih.” Titah Dejun mengalihkan topik pembicaraan agar air matanya tak jadi jatuh. “Nanti kalo gak dibangunin marahnya ke aku.”
Kyra mengiyakan, lantas membangunkan Vania. Gadis kecil itu terbangun sambil mengejap-ngejapkan mata perlahan.
“Uwah!!! Gunungnya kelihatan!!” Mata Vania seketika terbelalak melihat view dari dalam mobil.
“Ayah pernah naik gunung gak?”
“Bunda pernah kesana gak?”
“Ayah!! Ayah!! Mau foto disitu.” Vania menarik lengan baju Dejun.
“Vania, jangan diganggu ayah lagi nyetir sayang.” Kyra melepas tangan Vania. “Lagian gak boleh berhenti sembarangan di tol.” Jelasnya.
“Tapi itu bagus bunda, Vania mau foto disitu. Ayahhhhh ayo ayah foto disitu.”
Vania masih saja merengek dan menarik lengan baju Dejun. Air mata sudah berada di pucuk matanya. Dejun being Dejun. Ia menuruti permintaan putrinya.
“Iya, iya sebentar, cari rest area dulu ya.”
Suara tenang Dejun pun tak di dengarkan oleh Vania. Ia terus saja merengek, dan tumpah sudah tangisannya. Vania menangis.
“Astaga Vania, nanti ya? Di depan. Sabar bentar lagi ada rest area di depan.” Kyra berusaha menenangkan. Ia menghadapkan dirinya ke kursi belakang, sembari mengusap lengan Vania.
Percuma. Umur Vania adalah umur dimana emosi seorang anak tidak bisa terkendalikan. Dimana seorang anak dikalahkan dengan amarahnya sendiri. Vania nekat membuka pintu mobil meski kendaraan itu sedang melaju.
“VANIA!!!!”
Dejun dan Kyra berteriak bersamaan. Panik bukan kepalang. Dejun mengemudikan mobilnya dengan satu tangan. Tangan yang lainnya berusaha meraih Vania yang sudah ada di pucuk kursi mobil. Pandangannya tak lagi fokus pada jalanan, melainkan pada putri kesayangannya. Seakan tak menyadari bahaya yang akan dihadapi.
Mobilnya ia hentikan paksa demi sang anak. Namun naas, saat Dejun dan Kyra berhasil meraih Vania, truk semen dari arah belakang menabrak mobil yang tengah berhenti mendadak. Mobil yang mereka tumpangi terguling.
Kyra merasakan kesadarannya lenyap. Tercerabut dengan paksa, entah oleh kekuatan apa. Sudah terbang ke mana dan sampai mana. Sakit. Tubuhnya limbung. Ia masih mendengar suara Dejun yang memanggil namanya. Matanya mengerjap. Dengan posisi terbalik, ia melihat Dejun yang berlumuran darah dan air matanya yang keluar. Sesak. Tangannya berusaha menyentuh pipi Kyra untuk mengusap air matanya.
Pun Kyra berusaha melepas seatbelt meski sekujur tubuhnya seakan mati rasa. Tapi ia sudah tak memiliki kekuatan untuk sekedar bergerak. Lantas Kyra melirik ke arah belakang, melihat Vania sudah tak sadarkan diri. Sang putri kesayangannya masih terlihat sangat cantik meski darah melapisi hampir seluruh wajahnya. Kyra menutup matanya, ia menangis dengan hebatnya meski tanpa suara. Ia berharap bahwa ini semua hanya mimpi. Ia berharap setelah matanya terbuka, ia sudah sampai pada destinasi berliburnya. Ia menghitung dalam hatinya.
“1..”
“2..”
“3..”
Yang Kyra lihat adalah Dejun yang mulai kehilangan kesadarannya. Namun masih sempat ia menyampaikan satu hal meski dengan suara terbata.
“J-jangan na-ngis.”
“I lo-ve yo-u.”
Suara Dejun terdengar lirih, seperti bisikan. Tak sanggup lagi untuk melanjutkan. Dejun tersenyum, tangan yang masih di pipi Kyra itu mulai melemah dan terjatuh dengan hilangnya kesadaran Dejun.
“Mas..”
“M-mas D-De-jun..”
Kyra mencoba bersuara, namun ia seperti tercekik. Ia tak dapat menahan lagi. Kesadarannya pun mulai melemah. Hatinya merana dan sakit. Telinganya berdengung hebat, namun masih sempat ia mendengar suara sirine ambulance mendekat.
“Syukurlah”
“Mas Dejun, juga anakku, masih bersamaku”