souljaehyunn

Hi

'

Bodoh. Dari sekian banyak tempat di kampus, kenapa rooftop yang Zemira tuju? Padahal disana tak ada tempat untuk bersembunyi. Hanya atap luas yang memang sengaja dibiarkan seperti itu. Rooftop yang hanya dijadikan tempat untuk menghilangkan penat juga sesak akan tugas-tugas kuliah. Sialnya lagi, ia hanya seorang diri disana. Mahasiswa yang biasa bergerombol di tempat ini pun tak ada.

“Shit shit shit shit!!!!” Gadis itu mengumpat.

Dengan menggigiti kuku jarinya, Zemira berjalan mondar-mandir dengan gugupnya. Yakin, jika sesaat lagi Taeyong akan muncul dari balik pintu.

Benar saja.

“Ze?!” Taeyong berjalan kearahnya dengan mata berkilat tajam. “Lo kenapa sih?! Ayo balik sama gue.”

Zemira memundurkan dirinya saat Taeyong memangkas jarak diantara keduanya. Lelaki itu memijat pelipisnya. Menundukkan kepala untuk sekedar memejamkan mata.

“Iya, sorry.” Imbuhnya.

“Lo bikin gue takut tau gak.”

Gadis itu berusaha menyembunyikan rasa takutnya dari seseorang yang sekarang ada dihadapannya.

Saat berada menuju ke kampus tadi pagi, banyak pertanyaan yang akhirnya di jawab oleh lelaki yang masih menyandang status sebagai kekasihnya itu. Tentang Mark, ia mengakui bila temannya masih hidup. Tentang kehidupannya di UK pun ia mengaku pernah menghilang diri. Taeyong tak menjelaskan secara gamblang penyebab pasti ia dan juga ketiga temannya menghilang.

“We are going to die.... there is someone in here with us....” Kalimat dari Taeyong setelah mereka sampai di kampus lah yang membuat Zemira terkejut dan takut hingga saat ini. Entah sadar atau tidak ia mengatakannya. Yang jelas, Zemira tak bisa mengalihkan pikirannya.

'

“Maaf karna nyembunyiin ini dari kamu. Maaf udah nyembunyiin semua. Tapi ada alasannya, Ze. Ayo balik sama aku ya?” Jelas Taeyong dengan sedikit memohon.

Zemira mengangguk. Pasrah. Hanya itu yang bisa ia lakukan. Dengan dirinya yang berharap Renjun sudah berada di depan kampus untuk menjemputnya.

Mereka berdua berjalan menuruni anak tangga. Keringat dingin mulai bercucuran saat mata Zemira yang jeli melihat ada beberapa kelopak bunga mawar di saku belakang Taeyong. Anehnya kelopak itu seperti membentuk bekas gigitan.

'

“Kak Ze!” Seru Renjun berlarian di lorong kampus. “Gue kira kemana, di chat kagak bales? Gue telfon juga loh.”

“O-oh hp nya lagi di tas. Hai Jen!”

Renjun tak sendiri, ia ditemani Jeno. Sesaat, Taeyong menatap Jeno dengan tatapan tak suka. Namun kemudian senyumnya merekah.

“Renjun tumben banget lo gak ngechat gue?” Sapa Taeyong.

“Hehe.” Renjun hanya menggaruk kepalanya. “Ya udah kak Ze yuk balik!”

“Balik sama gu—”

Tangan Taeyong ditepis oleh Renjun saat ia akan meraih pergelangan sang kakak.

“Kak Taeyong maaf ya, mau sekalian ke Gramed hehe.” Ujar Renjun sembari menarik Zemira pergi dari sana.

Zemira juga Renjun sudah lebih dulu berjalan memunggungi Taeyong yang masih berdiri disana. Lantas Jeno berjalan menyusul mereka berdua.

“It's safe to come out now, sweetie.”

Jeno menoleh ketika mendengar suara lirih dari Taeyong.

Perempuan itu, muncul dari balik tubuh Taeyong. Masih memakai dress yang sama. Berwarna hitam, dengan banyak bunga mawar disana. Kedua bola matanya hitam pekat, kulit pucat, dengan bibir merah segar.

“Jenoooo!! Ayo!!” Teriak Renjun memekik telinga.

Pandangan Taeyong teralih, melambaikan tangan kearah mereka berdua. Lantas Jeno pergi dari sana.

Ritual of Evil

'

Jaehyun tak bisa menyembunyikan kegelisahannya saat melihat teman dekat satu kosnya itu mengusung banyak bunga mawar ke dalam kamarnya. Untuk memperindah ruangan, katanya. Alih-alih menolak, lelaki itu lebih memilih meninggalkan ruang kamar dan pergi keluar.

Berdiri bersandar pagar, dengan sebatang rokok menyala diantara ruas jarinya, Jaehyun menunggu ibu kos datang. Keganjilan mulai sering ia dapati, membuatnya merasa tidak nyaman lagi berada disana. Bila hanya bertengkar dengan Taeyong, ia masih bisa memaklumi dan tak pernah mempermasalahkan. Tapi bagaimana jika ia dihadapkan terus menerus dengan kengerian dari Taeyong, juga hal-hal ganjil lainnya? Bisa saja ia bertahan, namun Jaehyun tak ingin mengambil resiko.

“Ey! Jen!” Sapa Jaehyun dengan melambaikan tangan.

Tak sengaja Jeno dan Jaehyun bertemu. Jeno yang masih memakai seragam, dengan membawa tas kresek di kedua tangannya pun membalas sapaan Jaehyun.

“Kak Jaehyun?” Jeno berhenti tepat di hadapannya. “Di luar aja kak? Jarang-jarang gue ketemu lo disini. Hehe.” Ujarnya canggung.

Jaehyun menggaruk tengkuk kepala sembari menghisap rokoknya. “Iya ya? Haha.” Hisapan terakhir, lantas ia buang putungnya. “Temen gue rada aneh. Gak rada sih emang aneh dari lahir orangnya.”

“Sama nunggu ibu kos sih, gue mau pindah.” Imbuhnya.

“Pindah? Udah gak nyaman?”

Mengangguk. “Iya itu lo tau.”

Jeno melihat sekeliling rumah berlantai dua itu. Sebenarnya, dua sosok perempuan lebih dulu menghadang Jeno, sebelum ia bertemu Jaehyun. Mereka memberi isyarat bahwa sosok lain baru saja mendatangi hunian mereka. Dua perempuan yang Jeno temui di jalan, sudah berdiri tepat dibawah jendela kamar Jaehyun dengan menunjuk keatas. Lantas dirinya menemukan sosok perempuan yang pernah ia temui sebelumnya di kamar Zemira.

Menyadari bahwa langit semakin petang, ia putuskan untuk menawarkan bantuan kepada Jaehyun.

“Kak, gue bantu berkemas dah yuk?”

“Kagak! Kagak usah dah, gue bisa sendiri. Orang ini lagi nunggu ibu kos kesini sekalian pamit.” Bantah Jaehyun.

Beberapa saat kemudian, Taeyong berjalan keluar dari dalam rumah. Hoodie hitam, juga topi hitam menutupi kepalanya.

“Jae, gue keluar bentar.” Berjalan melewati mereka berdua dengan tatapan seadanya.

“Mau kemana lo?” Pertanyaan dari Jaehyun tak digubris. Taeyong tetap berjalan memunggungi mereka.

“Nah itu tuh temen gue yang aneh.” Beranjak dari sandarannya, Jaehyun membalikkan tubuhnya. “Udah ya Jen, gue ma—”

“Kak! Gue bantu.”

Jeno menahan bahu Jaehyun. Ia berharap tawarannya disetujui.

“Haha lo ngeyel banget kenapa dah? Ya udah ayo.”

Masuk ke dalam rumah, melewati beberapa ruangan, tidak ada hal aneh. Seperti rumah pada umumnya yang dihuni beberapa makhluk yang tak bisa dilihat oleh mata. Berpindah ke lantai dua, entah hanya perasaannya saja, atau memang suasananya tak lain dari biasanya. Baru kali ini, Jeno merasa sekujur tubuhnya merinding.

“Jangan kaget sama kamar gue, ini semua berkat keanehan temen gue.”

Jeno terhenyak saat Jaehyun membuka pintu kamarnya.

“Anjing Taeyong! Nyari gara-gara lu! Aw—!” Jaehyun meringis kesakitan saat ia memungut satu tangkai bunga mawar yang ada di lantai.

Bunga mawar bertebar dimana-mana. Mawar merah, juga mawar hitam. Durinya menancap di telapak tangan Jaehyun. Entah setajam apa duri itu bisa melukai tangannya hingga mengeluarkan cairan merah.

“Ini mawar apa anjing tajem bener?!” Mengumpat lagi.

“Kak kak udah jangan diambil lagi!” Titah Jeno dengan nada tinggi.

“Ya terus ini gue yang bakal kena sama ibu kos. Sumpah temen gue ngadi-ngadi bener.”

Jaehyun mengambil sapu, mengumpulkan bunga mawar itu jadi satu. Lantas membuangnya di tempat sampah. Disisi lain, Jeno mencari sosok yang ia lihat dari bawah tadi.

“Aneh. Kemana?” batin Jeno, yang kemudian ia dekati jendela kamar Jaehyun.

Petang. Dari atas sana ia melihat Taeyong berjalan melewati pagar dengan membawa bungkusan.

“Kak Jae, temen lo balik.”

“Ya udah biarin aja.”

“Gue sembunyi dimana?” Tanya Jeno yang hanya dibalas kernyitan dahi dari Jaehyun.

“Santai aja lagi? Lo kayak lagi ke gap selingkuh aja.”

Mendengar suara langkah kaki yang menggema di luar ruang kamar, Jeno mulai sedikit panik. Sejujurnya, ia merasa takut. Jeno duduk mendekat di sebelah Jaehyun yang sedang mengemasi barangnya.

“Kak, gue agaknya merinding disini.” Bisik Jeno.

Kaget. Bukan Jaehyun saja yang merasa sekujur tubuhnya merinding, tapi Jeno juga. Ia hentikan aktifitas mengemasi barangnya, lantas pikirannya kembali pada hari-hari dimana ia selalu bermimpi buruk, bertemu dengan sosok lain yang selalu ada di langit-langit kamarnya, melihat makhluk lain keluar dari cermin kamarnya, juga suara bisikan aneh menyerupai mantra.

“Gue, perlu sembunyi?” Tanya Jeno lagi dengan suara berbisik.

Knop pintu kamar bergerak. Pintu itu tak terbuka, karena empunya sengaja mengunci pintu dari dalam. Lantas suara ketukan menyusul.

“Jae? Bukain. Tumben dikunci?” Itu suara Taeyong dari balik pintu.

“Kak?”

Jaehyun yang sempat mematung langsung menarik Jeno untuk mengarahkannya ke belakang ranjangnya. Terdapat space yang cukup untuk Jeno bersembunyi disana. Jaehyun memastikan agar Jeno benar-benar tidak terlihat dari jauh maupun dekat. Setelah dirasa cukup, Jaehyun membuka pintu kamar.

“Lo lagi ngapain? Dikunci segala.” Tukas Taeyong sembari masuk dan menutup pintu, juga menguncinya kembali. “Gue bantu.”

Bungkusan yang Taeyong bawa tadi adalah dupa. Lelaki itu sengaja membawa dupa ke kamar Jaehyun, membakarnya, lantas meletakkannya di depan cermin.

image

“Ini apalagi anjir?! Yong lo mau ngapain sih?!” Tanya Jaehyun sedikit bergetar saat melihat temannya itu memungut bunga-bunga mawar yang sudah ia buang. Anehnya, tak sedikitpun bunga itu menggores tangannya.

“Jae, lo punya cutter?” Tanya Taeyong dengan seringai di wajahnya.

“Gak.” Jawab Jaehyun singkat.

“Its okay.”

Demi Tuhan, saat Jeno mengintip dari balik ranjang, ia melihat sosok perempuan itu lagi. Tampak berbeda, rambutnya memutih, dengan ruas jari mengeluarkan api namun tak membakar dirinya sendiri. Bibirnya merah mengeluarkan darah akibat gigitannya sendiri diserai seringai tajam.

image

Dengan rasa takut, Jaehyun masih saja mengemas barangnya, melanjutkan aktifitasnya lagi.

Bibir Taeyong bergerak, entah apa yang ia ucapkan. Tak bersuara. Membawa tangkaian bunga mawar di genggamannya, lantas melumpuhkan Jaehyun. Taeyong usapkan tangannya di bagian belakang kepala Jaehyun.

“Y-yong..” suara Jaehyun tercekik.

Lelaki itu menjatuhkan dirinya di atas lantai. Duduk dengan menahan lehernya sendiri. Seperti ada tangan yang mencekiknya, Jaehyun terus berusaha melepaskan itu. Ia tak bisa melihat, tapi Jeno dengan jelasnya melihat bahwa sosok perempuan itulah yang mencekik leher Jaehyun.

Jeno tak bisa berbuat apa-apa saat tangan Jaehyun dipaksa menggenggam beberapa tangkai bunga mawar, hingga telapak tangannya mengucur deras cairan merah. Cairan itu pun keluar dari mulutnya, akibat tusukan tak terlihat dari sosok lain. Bau dupa, juga darah segar memenuhi ruang kamar Jaehyun.

“Jae, who's the next?” Tanya Taeyong di depan Jaehyun yang semakin melemah. “Coba tebak?”

“L-lo si-si-apa?” Jaehyun melontarkan pertanyaan saat ia melihat perubahan warna mata Taeyong menjadi agak kemerahan.

Jeno mengintip lagi. Menyaksikan bagaimana seringai muncul dari wajah Taeyong. Menyaksikan bagaimana sosok itu tengah menusuk leher Jaehyun dengan kuku tajam miliknya. Menyaksikan bagaimana tangan Taeyong melayangkan benda tajam ke tubuh Jaehyun. Belum sempat benda itu tertancap, Taeyong menghentikan aksinya saat mendengar suara yang ia kenal dari bawah sana.

Zemira, juga Renjun menghentikannya. Jeno bisa bernafas sedikit lega, ketika Taeyong buru-buru pergi dari sana. Jaehyun sudah terkapar di atas cairan merah miliknya. Dengan tergesa-gesa pula, Jeno menghampiri Jaehyun. Pintu kamar itu lebih dulu ia kunci. Lantas menolong Jaehyun sebisanya. Mereka berdua sama-sama bergetar dan takut. Jaehyun sudah hampir kehilangan seluruh nafasnya. Jeno melihat ponsel Jaehyun berdering, tanda panggilan masuk dari Zemira. Tak berani mengangkatnya, Jeno hanya memberi isyarat menyalakan lampu kamar, lalu mematikannya kembali, dan semoga entah Zemira atau Renjun melihatnya.

Kebingungan, memikirkan bagaimana cara ia bisa membawa Jaehyun keluar dari kamar sebelum terlambat. Matanya tertuju pada tumpukan kain tak terpakai di keranjang bajunya. Ia rangkai hingga kain itu memanjang. Berfikir untuk keluar dari jendela kamar. Persetan dengan apa yang akan terjadi, setidaknya Jeno sudah berusaha keluar dari tempat ini. Di tengah ia merangkai, Jaehyun sudah lebih dulu tak sadarkan diri. Suara Zemira dan Renjun semakin terdengar jelas. Tampaknya mereka belum bertemu dengan Taeyong. Jeno berharap lagi, mereka segera mengalihkan Taeyong bagaimana pun caranya. Benar saja, tak lama suara Taeyong terdengar.

“Jadi gitu kak.” Jeno mengakhiri cerita panjangnya.

Zemira, juga Renjun saling tatap tak percaya. Setelah mendengar cerita dari Jeno rasanya Renjun ingin muntah.

“Terus lo akhirnya lewat mana?” Tanya Renjun.

“Jendela lah.”

“Gimana caranya atuh?”

“Ya bisa, gue gendong kak Jaehyun terus merosot turun. Kayak.. lo pasti pernah deh ngerasain sendiri kalo lagi nekat pasti apa aja bisa lo lakuin asal yakin.” Jelas Jeno.

Kepala Zemira berdenyut sakit. Antara percaya dan tidak. Untuk apa kekasihnya melakukan itu? Merasa lemah dan bersalah, Zemira meloloskan beberapa tetesan air matanya.

“Ah. Gue jadi inget Jaehyun..” sembari mengusap pipinya.

“I think, itu salah satu ritual kak. Selepas itu kak Jaehyun sembunyi nya di rumah gue, i mean, rumah gue yang lain.”

“Terserah kak Ze mau percaya atau enggak, coba deh kak Ze chat cowok lo dulu. Tanyain tentang siapa tadi?”

“Mark.” Jawab Zemira singkat.

“Iya itu tanyain coba dia jawab apa.”

“Ih kak Ze, putus aja sama kak Taeyong atuh lah kita balik ke bunda sama ayah udah sekolah gue pindah lagi aja. Lo juga kuliahnya pindah deh.” Rengek Renjun.

“Ish diem deh!” Zemira mencubit pipi Renjun. “Makan diabisin!”

Tak punya waktu lama, Jeno berpamitan setelah menceritakan kejadian hari itu.

Awannya mendung, sebentar lagi hujan. Langit mulai petang dan gelap, membuat pikiran kacau tak karuan. Membaca balasan dari Taeyong yang setelahnya langsung offline membuat Zemira semakin overthinking dan merubah cara pandangnya.

85% Zemira berada dipihak Jeno,

sisanya ia berada dipihak yang lain,

bukan Taeyong.

Welcome

'

During the day, i dont believe in ghosts. At night i'm a little more open-minded

image

“Lo sih Jae! Kan udah gue bilang rada cepet dikit keburu sore!” Protes Zemira.

Sendiri, Zemira menunggu Jaehyun yang entah kenapa bisa sangat lama untuk sampai di makam. Ini yang ia takutkan, matahari yang ingin segera bersembunyi di balik malam. Jaehyun datang dengan wajah tak berdosa. Masih sempat untuk sekedar memamerkan dimplesnya, padahal Zemira sudah sangat kesal menunggunya.

“Takut ya?” Goda Jaehyun.

“Apa? Apa yang gue takutin?”

Jaehyun menggeleng.

Mereka berdua berjalan dengan langkah kaki yang sama. Tempat peristirahatan terakhir Mark, harus ditempuh setidaknya 15 menit dari tempat parkir. Cukup jauh karena harus melewati pepohonan pinus dan pohon-pohon besar lainnya. Tampak seperti hutan, namun tak bisa dibilang hutan karena lokasinya khusus untuk tempat pemakaman.

Di jalan, Zemira sempat berfikir untuk memberikan banyak pertanyaan kepada Jaehyun. Namun setelah ia melirik rekan disebelahnya, wajah itu tampak murung entah karena apa. Maka ia terpaksa mengurungkan segala pertanyaannya.

“Jae lu tuh kenapa udah gak ngampus?”

“Terminal?”

“Cuti?”

Berapa banyak pertanyaan Zemira tidak ada satu pun yang dijawab.

“Ze—”

“Loh? Ngapa berhenti?” Zemira membalikkan tubuhnya karena Jaehyun berhenti seketika.

Berdiri di depan nisan dengan nama 'Jaehyun Sandika' terukir disana. Siapa yang tidak terkejut saat menyadari nama lengkapnya terpampang jelas di batu nisan. Zemira melotot kaget dengan membungkam mulutnya, menahan nafasnya beberapa detik. Karena Demi Tuhan jantungnya bisa saja meronta-ronta jika ia tak lebih dulu menenangkan dirinya.

“J-Ja-e.. i-tu na-ma l-lo?”

Jaehyun tak menjawab. Ia hanya langsung meraih tangan Zemira untuk mengisi ruas jarinya yang kosong. Lelaki itu menarik Zemira untuk mengurungkan niatnya pergi ke makam Mark.

“J-Jae!! Ih ngapa-in balik sih?! Kan belu—”

“Setelah liat itu lo masih mau kesana?” Itu bukan pertanyaan, tapi sedikit bentakan dari Jaehyun yang tiba-tiba tampak cemas. “Masih mau nerusin jalan ke makamnya Mark? Lo yakin? Bentar lagi jam 5, Ze. Ini udah gelap!”

“Ya kan tujuan kesini emang ke makamnya Mark?! Nama Jaehyun Sandika di dunia ini gak cuma lo doang yang punya!”

Zemira melepas paksa tangan Jaehyun hingga lawannya terhentak. Ia berniat untuk kembali berjalan dan tetap pergi kesana meski tanpa Jaehyun.

“Apa sih yang lo cari?” Pertanyaan Jaehyun mampu membuat gadis itu berhenti berjalan. “Lo mau mastiin Mark udah meninggal/enggak kan?”

Tidak ada jawaban. Zemira masih memunggungi Jaehyun.

“Jawab gue, Ze.”

“Kalo iya kenapa?” Suara Zemira lirih, masih terdengar meski ia tak membalikkan diri. “Tinggalin gue sendiri kalo lo gak mau nemenin gue.”

'

Kabut mulai turun. Menutupi pandangan Zemira dan Jaehyun. Ya, Jaehyun memutuskan untuk menemaninya. Siapa yang tega membiarkan seorang gadis sendirian pergi ke makam? Meski langit hampir gelap, dan meninggalkan bias cahaya mentari, mereka berdua tengah sampai di tujuan.

Zemira menatap lekat-lekat batu nisan itu. Diatas gundukan itu terdapat banyak taburan bunga mawar dan kenanga yang membuatnya indah. Sepertinya ada seseorang sebelum mereka yang telah berkunjung kesini.

Daun-daun saling bergesekan, menimbulkan suara gemerisik lembut yang terdengar indera pendengaran. Hembusan angin sedikit kencang, membuat kedua telapak tangan Zemira menggosok lengannya yang terbuka.

“Udah, Ze?” Tanya Jaehyun. “Gelap.” Imbuhnya lagi sembari mengeluarkan ponsel untuk menyalakan flash.

“Jae, lo tau sesuatu kan?” Zemira masih sibuk menghangatkan dirinya. Lantas ia berjongkok di samping nisan.

“Boleh gak Jae? Lo kasih tau gue?”

Bukan tanpa alasan Zemira tiba-tiba berjongkok. Gadis itu merasa ada orang lain yang tengah memperhatikan mereka berdua. Ia berjongkok, lantas diam-diam mencuri pandang pada sosok yang berdiri di belakang pohon pinus, agak jauh dari mereka. Tepat di belakang Jaehyun.

“Suddenly? Emang percaya kalo gue cerita apa yang gue tau? Lo aja gak percaya kalo tae—”

“Shut up Jae.” Zemira memelankan suaranya, mengisyaratkan lawannya untuk diam, dengan menempelkan telunjuk di bibirnya.

Gerak gerik bola mata Zemira, semoga Jaehyun membacanya.

Tak jelas siapa dan sosok apa yang berdiri disana. Ia terus memperhatikan mereka berdua. Tangan Zemira meraih pergelangan Jaehyun. Bergetar hebat. Pertama kali dalam hidupnya, ia merasakan bagaimana rasanya di awasi oleh sosok yang tak pernah ia percayai.

“Ze? Ayo balik!”

Jaehyun menarik tangan Zemira agar ia bangun dan beranjak dari sana. Namun, sesuatu yang lebih menakutkan terjadi. Satu langkah mereka bergerak, sosok itu semakin mendekat satu langkah pula. Zemira melihatnya. Itu dirinya. Tidak, lebih tepatnya, sosok itu adalah bayangan dari Zemira. Dengan rambut panjang terurai, juga cermin berada di dalam genggamnya.

“J-jae.. No.. kita gak bisa balik.” Suaranya mulai bergetar. Sudut matanya pun membasah.

“Gak bisa balik gimana? Ze? Percaya sama gue.”

“Jaehyun di belakang l-lo.. a-ada gue.” Bisik Zemira.

“Ze, ayo kita balik.” Tegas Jaehyun yang dengan cepat membalikkan tubuhnya.

Lantas bayangan itu dengan cepat memangkas jarak diantara mereka. Secepat Jaehyun membalikkan tubuhnya, secepat itu pula sosok bayangan Zemira menancapkan cermin mawar yang ia pegang di perpotongan leher Jaehyun.

“JAEEEEE!!!!!”

'

-18.00 WIB- Jaehyun terbunuh, tepat dihadapan Zemira.

Dark Clouds

'

im afraid to opening my eyes, aku tau kau ada di langit-langit, menungguku untuk melihatmu. I won't look.. i won't look..

Gemuruh petir saling menyaut di luar sana. Langit mendung berubah menjadi sedikit gelap. Rintikan hujan yang turun beraturan berubah menjadi hujan lebat disertai angin kencang.

Zemira duduk sendiri di sebuah kedai kopi siang ini. Ia sedang menunggu seseorang datang. Cukup lama, bahkan sangat lama ia menunggu. Lelah. Ia hampir saja tertidur di mejanya. Kopi yang Zemira pesan dua jam yang lalu menyisakan satu tegukan saja.

Gadis itu duduk di dekat jendela. Kepalanya ia topang saking lelahnya. Pandangannya tak beranjak dari jalanan kota yang ramai, meski tengah di guyur hujan lebat. Ia goreskan tangannya di kaca, membentuk sebuah tulisan disana.

Taeyong.

Nama yang Zemira tulis di kaca berembun itu. Sambil memikirkan beberapa hal yang dirasa berubah. Taeyong, kekasihnya itu sudah jarang menghubunginya. Bahkan terakhir ia berpamitan pergi ke luar kota untuk sementara waktu. Liburan, alibinya. Anehnya lagi, Taeyong meninggalkan satu botol kecil berisi cairan merah kehitaman yang entah apa. Dan juga, sering kali Zemira menemui kekasihnya tengah asyik berbicara sendiri. Segalanya memicu rasa khawatir.

Kling!

Seseorang baru saja masuk ke kedai kopi. Zemira menegakkan badannya, berharap itu adalah orang yang dari tadi ia tunggu kehadirannya. Namun ia malah dibuat kaget dengan sosok yang sudah berdiri dihadapannya.

“Ze?”

“Kok kaget gitu sih kamu?”

“O-oh. Tae-yong kok ada disini?!”

Bingung. Zemira bingung bagaimana harus menanggapi. Apakah ia harus bahagia karena akhirnya bisa bertemu dengan kekasihnya? Atau apakah ia harus merasa takut karena ia tengah menunggu seseorang tanpa sepengetahuan Taeyong.

“Pacarnya kesini bukannya seneng ih kamu.” Taeyong mendudukkan dirinya di kursi kosong depan Zemira. “Udah lama disini?”

“Ha?” Zemira mengernyitkan dahinya. “Yong tapi ak—”

“Maaf ya nunggu lama.”

Sebentar. Bukan Taeyong yang sedang Zemira tunggu. Entah mengapa suasana mendadak membuat tubuh Zemira menggigil kedinginan. Padahal sudah ia pastikan sendiri bahwa dirinya sudah sembuh, benar-benar sembuh.

“Kamu mau kemana?” Tanya Taeyong saat Zemira mulai beranjak dari tempat duduknya.

“A-aku mau ke to-i-let sebentar.” Pamit Zemira dengan nada terbata.

'

Di toilet, Zemira melihat pantulan bayangannya di kaca. Wajahnya sangat pucat meski ia sudah memoles bibirnya berkali-kali. Kepalanya mulai berdenyut sakit. Sambil memijat pelipisnya, ia jongkok dengan bersandar pada dinding toilet.

“Kenapa bisa Taeyong tau gue disini?”

“Kan gue gak ada chat sama dia?”

“Masa—”

Gadis itu sibuk bergumam, tak sadar bila ponselnya bergetar sejak tadi. Ia rogoh ponsel di tas kecilnya. Layarnya menyala, 3 panggilan tak terjawab. Tak lama Zemira mendapat panggilan masuk dari orang yang sama.

“Ze, aku di depan rumah. Kamu dimana? Tumben rumahnya dikunci?”

Kedua mata Zemira melotot kaget. Ia cek berulang kali layar ponselnya. Nama Taeyong ada disana.

“Ze? Zemira???? Renjun juga gak ada di rumah ya? Emang kamu udah sembuh? Bisa-bisanya keluar rumah?”

“Yong...” Suara Zemira lemas.

“Kamu dimana?”

“Halo? Ze??”

“Zemira??!”

Tutttt....

Zemira memutus sambungan secara sepihak. Siang menjelang sore, harus ia lewati dengan perasaan takut tak karuan. Keringatnya mulai mengucur deras. Gadis itu masih terduduk lemas di toilet. Entah berapa lama lagi ia sanggup berdiri dan berlari keluar. Baru saja ia menerima telpon dari kekasihnya. Lantas siapa yang datang dan sedang duduk di depan sana?

tok tok tok...

Seseorang mengetuk pintu toilet pelan. Zemira berdiam membungkam mulutnya sendiri. Tubuhnya bergetar hebat saat seorang lelaki memanggil namanya samar.

“Ze..”

Masih mengetuk pintu.

Rasa takut semakin menyelimuti Zemira. Padahal ia bukanlah gadis yang penakut. Tapi jika dihadapkan kejadian seperti ini, dan ia alami sendiri, ia tak memiliki keberanian lagi. Kedua lutut sudah berada di dekapannya. Lantas ia benamkan wajahnya ketika knop pintunya mulai bergerak.

Ngikkk

Pintu kayu berbunyi saat seseorang berhasil membukanya.

“Zemira..”

Zemira mendongak saat ia mengenali bias suaranya.

“Jae!!”

Pucuk mata Zemira membasah, ia mulai menangis seperti anak kecil saat tau seseorang yang ditunggu sejak tadi akhirnya menampakkan diri.

“Ze? Eh lo kenapa sih?” Dengan bertumpu pada lututnya, Jaehyun mengelus dan menyisir rambut Zemira. “Udah cup cup ngapain nangis?” Menenangkan.

“Gue takutttt....”

“Takut? Lo takut kenapa? Udah ayo keluar gak lucu berduaan di toilet.”

Jaehyun berdiri, namun Zemira menahan pergelangan tangannya.

“Diluar.. ada—”

“Ada siapa?”

“Ada Taeyong?”

Seperti tau apa yang telah gadis itu alami, Jaehyun tak menjawab sembari membantu Zemira berdiri. Lalu mengajaknya keluar.

Taeyong tidak ada disana. Dan lagi, suasana kedai kopi pun berubah cukup ramai, tak seperti pertama ia datang. Sungguh perubahan yang bisa dirasakan oleh Zemira.

'

“Ze, kalo itu bukan Taeyong gimana?”

Baru saja Zemira merasa tenang, ia sudah disuguhkan dengan pertanyaan yang menurutnya sangat tidak masuk akal. Tak ingin menjawab, gadis itu hanya melengos ke arah jalanan.

“Kalo gue bilang yang nyakitin gue—”

“Siapa? Taeyong?”

Jaehyun mengangguk. Kedua bola mata Zemira menelusuri tiap sudut wajah Jaehyun yang lukanya mulai kering. Lantas berpindah pada telapak tangan kirinya yang dibalut oleh perban.

“Gue udah gak satu kos sama Taeyong sekarang.”

“Lo mungkin gak percaya sama apa yang gue ceritain. Tapi Ze, semenjak Taeyong pulang dari UK, suasana kos gue pun udah gak sama kayak dulu. Lo gak tau seberapa seringnya Taeyong ngebakar dupa, ngelakuin hal aneh tiap malem, nyalain lilin terus naruh lilin itu di depan kaca kamar gue. I think he's lost his sanity, but the truth..”

“The more you realize that it's not him, the closer you get to being hurt by him.”

“Gue tebak lo pasti udah nga—”

“Jae, just stop it.” Sela Zemira. “Stop it!” Kini dengan nada sedikit membentak.

“Gue gak tau masalah yang lo hadepin sebenernya apa, but can you not make up a story like this? Semua yang lo ceritain beneran gak masuk akal. Ngapain coba Taeyong sampe kay—”

“Waktu itu gue tau lo nyamperin Taeyong ke kos. Bau apa yang lo cium?” Kini Jaehyun yang menyela. Mendadak Zemira dipaksa untuk mengingat.

“Dupa right? Ada bau anyir? Do you smell blood?”

“Taeyong ngebunuh gue. I mean hampir.”

“JAEHYUN PLEASE STOP IT!”

Beberapa orang di kedai kopi menoleh kearah mereka berdua saat Zemira dengan kerasnya membentak Jaehyun.

“Lo perlu bukti? Gue tau lo. Lo gak bakal percaya kalo gak ada bukti right? Lo pasti butuh bukti.” Jaehyun melepas perban yang menyelimuti telapak tangannya.

Kurang lebih 20 jahitan ada disana. Luka yang masih basah, dengan bercak darah kering berada di sekitar lukanya.

“Taeyong did this. Dia ngelukain gue, Ze. Ngelukain gue pake cermin mawar yang dia bawa sore itu.”

“Lo tau? Ada sesuatu di tiap sudut langit-langit kamar gue. Samar, tapi gue tau, gue lagi diawasi. At night, gue gak mau ngebuka mata sama sekali karna gue tau mereka disana. I won't look.”

“Tiap gue gak sengaja kebangun malem-malem, there's a hand out of the mirror. Awalnya gue kira itu cuma mimpi. But, no. Taeyong ada disana juga.”

“Sekarang, tiap gue ngelihat kaca, gue sering parno sendiri.”

image

Penjelasan Jaehyun yang panjang lebar itu sama sekali tidak bisa diterima oleh Zemira. Disisi lain, pun ia merasakan hal yang sama. Keanehan memang mulai muncul saat Taeyong kembali dari UK. Dan keanehan lainnya baru saja ia alami beberapa puluh menit yang lalu.

“Jae, gue kesini cuma mau ketemu lo, mastiin lo baik-baik aja. Dengerin cerita lo yang sekiranya masuk akal dan berharap bisa ngasih lo solusi terbaik. But, you give me that shit? Bukan gue gak percaya, tapi buat apa Taeyong ngelakuin hal konyol kayak gini?”

Kekhawatiran bahkan ketakutan tertangkap jelas di wajah Zemira, ia tidak bisa menyembunyikan itu.

“Ze, sorry, tapi memang ini kenyataannya.”

Jaehyun lega melihat Zemira masih baik-baik saja. Pucuk kepala gadis didepannya itu ia usap pelan, lantas ia ucapkan lagi salam perpisahan.

“Maaf gue gak bisa lama-lama, gue lega ngelihat lo dalam keadaan baik, Ze. Dan gue harap seterusnya pun lo tetep baik-baik aja.”

Zemira menahan Jaehyun saat lelaki itu beranjak pergi. Ia yang masih duduk, menarik pergelangan tangan Jaehyun.

“Jae..”

“Can i- hug you?” Dengan mendongakkan kepalanya, tangan Zemira turun menggenggam telapak tangan Jaehyun.

Jaehyun mengangguk, disertai dua dimples yang timbul karena senyumnya merekah.

“Come here.” Genggamannya ia tarik pelan, menghantarkan tubuh mungil kedalam dekapannya. Dengan lembut ia sisir surai hitam milik Zemira.

“Jae, gue gak bisa sepenuhnya percaya sama lo. Biar gue buktiin sen—”

“Gak!” Jaehyun melepasnya kasar. Kini kedua tangannya mengerat di bahu Zemira. “Lo gak perlu ngebuktiin sendiri, dan jangan! Gue mohon, tetep jaga diri lo, sedikit pun jangan sampe lo terluka. Lakuin ini buat gue.”

Kepalanya menggeleng cepat, “ah engga, lakuin ini buat adek lo, Renjun. Jangan coba buat ngebuktiin apapun. Then don't believe what i told you today. Okay? Gak usah percaya sama gue kalo gitu. Anggep aja semua yang lo denger hari ini, cuma karangan gue doang.”

“Jae.. gimana mungkin gue—”

“Ze, kita gak tau berurusan dengan apa dan siapa, semua masih abu, right? Tetep jaga diri lo aja. Kunci pintu rumah kalo lo sama Renjun lagi keluar. Kunci juga kalo lo sama Renjun udah ada di dalem rumah. Jangan biarin rumah lo kebuka lagi.”

Jaehyun merapikan poni Zemira yang berantakan, lantas memamerkan dimplenya lagi. “Gue balik ya, lo.. langsung pulang.”

“Jae..” Zemira memanggilnya lagi saat Jaehyun membalikkan badan dan beranjak pergi. “Lo sekarang tinggal dimana?”

“Rahasia. Gue balik ya, daahh..” Ia lambaikan tangannya.

Hujan masih saja mengguyur kota. Membuat penghuni rumah betah berada di dalam. Sudah satu jam berselang listriknya padam. Hanya mengandalkan satu lilin, kakak beradik ini berdiam diri di kamar Zemira.

“Kak, kalo masih belum nyala, gue tidur disini aja ya?” Pinta Renjun yang hanya dibalas anggukan.

“Kak.”

“Hm?”

“Tadi siang kak Taeyong kesini.”

“Iya dia bilang, tapi lo gak dirumah kan?”

Renjun diam.

“Injun?” Zemira yang tengah duduk di pinggir jendela menoleh kearah adiknya yang sedang sibuk bermain ponsel di atas kasur. “Lo dirumah gak?”

“Gue dirumah, sama Jeno.”

“Kenapa gak lo suruh masuk?”

Renjun menggeleng. “Gue takut.”

Ungkapan dari Renjun membuat pikirannya tertuju pada Taeyong. Memikirkan hal-hal yang sudah dilakukan kekasihnya pada Jaehyun, jika itu semua benar.

Zemira mengambil botolan kecil berisi cairan merah kehitaman di meja rias, juga cermin pemberian Taeyong.

”.....ngelakuin hal aneh tiap malem, nyalain lilin terus naruh lilin itu di depan kaca kamar gue.”

“Emang kenapa kalo lilin ditaruh depan kaca?” Gumam Zemira sembari meletakkan cermin mawar itu di depan lilin yang masih menyala.

image

“Gak ada apa-apa kan?” Gumamnya lagi.

Zemira masih duduk di jendela, melihat hujan di luar yang tiada hentinya. Ia tak sadar bila sosok lain telah menampakkan diri di cermin. Tersenyum miring kearah Zemira.

Botol kecil yang ada di tangannya, ia hirup tanpa membuka tutupnya, lantas bau semerbak bunga mawar memenuhi ruang kamar Zemira.

“Kak!!!!” Teriak Renjun terjingkat dari kasur, lantas berlari menghampiri kakaknya di dekat jendela. Melingkarkan tangannya di lengan Zemira. “Kak kak itu siapa kak?!” Jari telunjuknya menunjuk kearah langit-langit kamar.

“Kak itu siapa? Kak!!!!”

“Mana? Apa sih jangan bikin gue kaget.”

“Kak dia ngedeket kak!!!”

Renjun merengek, menenggelamkan wajahnya pada lengan Zemira yang ia tarik-tarik agar pandangannya tertutup. Dilihat berkali-kali pun, tidak ada siapa-siapa disana. Tapi Renjun tetap keukeh menunjuk langit-langit kamarnya.

“Jun gak ada apa-apa ih, lo kenapa sih?!” Zemira berusaha melepaskan lengan tangannya yang ditarik-tarik oleh adiknya. Sakit. Renjun semakin mencengkeram lengannya.

“Injun?! Sakit anjing! Udah gak ada apa-apa, gak ada siapa-siapa juga?!”

“Jun?!”

Tak ada jawaban. Renjun terus mencengkeram lengan Zemira.

“GUSTI NU AGUNG INJUN SAKIT DEMI DEH!!!”

Zemira menghentakkan tubuh adiknya hingga dirinya terjatuh, punggungnya tertatap pucuk jendela, lengan tangannya pun membekas kuku jari Renjun.

“Jun?”

“Renjun??”

Tak ada jawaban, membuat gadis itu merasa takut, tubuhnya menggigil lagi. Zemira mendekat, tangannya meraih bahu adiknya. Matanya berubah. Kedua bola matanya penuh dengan warna hitam pekat.

image

“J-ju-n..”

Suara Zemira bergetar. Pelan-pelan dirinya mulai menjauhi sosok didepannya itu.

“Ze..”

“Lari..”

Suara itu datang lagi, bisikan yang entah darimana dan dari siapa. Bahkan untuk bangkit pun rasanya Zemira tak sanggup. Ia terlalu lemas. Ingin rasanya ia lari menjauh, tapi ia masih memikirkan adiknya yang saat ini tengah menatapnya tajam dengan seringai di wajahnya.

“Jun.. Ren-jun..”

Zemira masih memanggil adiknya, meski ketakutan tengah menyelimuti. Matanya melirik kearah cermin yang ada di depan lilin. Pikirannya pun menuju pada suatu kesalahan yang ia lakukan, menyebabkan hal yang tak diinginkan. Dengan cepat tangan Zemira meraih cermin itu. Tertahan. Tangan Renjun mencengkeram pergelangan Zemira. Lalu menariknya. Ia ingin merebut cermin yang saat ini ada di tangan Zemira.

“Jun!!”

“Lepasin..”

“Jun sakit..”

Air matanya jatuh. Kesakitan. Zemira tak mengerti kenapa kuku jari Renjun terasa sangat tajam. Tanpa suara sedikitpun, adiknya terus menarik pergelangan tangannya. Zemira tak menyerah, ia tak ingin kalah. Dengan perlawanan dan kekuatan yang ia kumpulkan, cerminnya terbanting ke lantai hingga kaca itu pecah.

Zemira jatuh ke lantai dan terkulai lemas. Ia mendengar samar suara Renjun sedang memanggil namanya. Perlahan kesadarannya mulai hilang.

“Kak Ze...”

image

You are needed

“Yong? Taeyong?”

Suara Zemira memanggil kekasihnya dari ruang kamar. Tak ada jawaban dari Taeyong, padahal ia hanya bilang pergi ke dapur menyiapkan beberapa buah untuk Zemira makan.

Gadis itu masih terbaring di tempat tidurnya. Berbalut selimut yang sengaja ia turunkan sampai lutut kaki. Karena yang dipanggil tak kunjung datang, ia putuskan untuk bangun dan menghampirinya. Meski dengan langkah yang sedikit goyah.

“Taeyong?” Zemira memanggil lagi.

Tak ada siapapun di dapur. Lantas kemana Taeyong pergi? Jam sudah menunjukkan pukul 4 sore. Zemira berniat meminta tolong Taeyong untuk menjemput sang adik. Tapi ia pun bingung kenapa dia tak ada disana.

Berjalan keluar rumah, motor Taeyong masih terparkir di halaman. Zemira celingukan.

“Taeyong kemana sih?”

Dapur, ruang tengah, ruang tamu, hingga teras rumah, Taeyong tak ada. Lantas ia putuskan untuk kembali ke kamarnya. Kepalanya mulai terasa pusing lagi. Dengan langkah menyeret, dan kepala yang sengaja ia pijit-pijit, Zemira mendengar suara Taeyong. Dari kamar tidurnya.

“Gue gak bisa.”

“Jangan...”

“Gue gak mau.”

“You're needed”

”.....”

Begitulah beberapa kalimat yang di dengar. Zemira ingin memastikan apakah benar itu Taeyong atau hanya halusinasinya saja.

Matanya mulai bergerak menjelajah ruang kamarnya, namun tak seluruhnya terlihat karena ia hanya mengintip dengan satu mata saja. Berniat untuk menampakkan sedikit wajahnya, Zemira malah dikagetkan dengan Taeyong yang tengah tertidur di lantai.

“TAEYONG!!” Buru-buru Zemira berlari menghampirinya. Tubuhnya sangat dingin saat disentuh. “Yong?! Kamu kenapa? I-ini kamu dingin banget? Taeyong? Bangun!!”

Zemira tampak panik. Ia memangku kepala Taeyong, dengan berusaha membangunkannya. Menepuk-nepuk kedua pipi putihnya. Pucat. Sangat pucat. Bahkan luka di dekat matanya kini semakin jelas dan tampak. Penasaran, tangan hangat Zemira hampir menyentuh bekas luka itu

“Ze..” panggil Taeyong lirih.

“O-oh kamu udah bangun? Kamu kenapa?” Zemira menurunkan tangannya. Tak jadi menyentuh bekas luka yang ada di dekat mata Taeyong. “Kok bisa tiduran di lantai?!”

Taeyong membangunkan dirinya.

“Aku gak papa.” Ia menuntun Zemira untuk berdiri, dan kembali beristirahat di ranjang.

Zemira mengernyitkan alisnya mendengar alasan dari Taeyong.

“Gak papa apanya?! Kamu sakit?? Kamu pucet banget, Yong. Kamu dingin. Kamu kedinginan?”

Taeyong menggeleng.

“K-kamu tadi ngomong sama sia—”

“Aku jemput Renjun ya? Kamu gak papa aku tinggal sendiri dulu? Aku bakal balik cepet kok.” Taeyong mengusap pucuk kepala Zemira. Buru-buru lelaki itu menyambar hodienya, lantas pergi dari ruang kamar.

Kebingungan. Tentu saja Zemira bingung saat tiba-tiba Taeyong pergi menjemput adiknya, Renjun. Pasalnya gadis itu pun belum memberitahunya perihal sang adik.

“Kenapa sih Taeyong? Lo aneh.” Ucap Zemira lirih. Sembari membaringkan dirinya lagi di ranjang empuk. Saat ia akan menarik selimut, ia melihat cermin pemberian Taeyong berada di lantai, tak jauh dari tempat dimana Taeyong terkapar tadi.

“Hey Rose? Kok lo ada disitu?”

Zemira turun dari tempat tidurnya lagi, mengambil cerminnya. Ia berkaca sebelum kembali mengistirahatkan dirinya. Bayangan wajah cantiknya memantul. Namun ada bayangan lain tepat dibelakangnya.

Mark

Keluar dari ruang dosen, bukannya langsung kembali ke kelas, Zemira malah mengeluarkan cermin pemberian dari Taeyong. Merapikan rambutnya yang masih rapi itu. Berjalan dengan cermin yang masih ia genggam sembari bersenandung.

“Hey Rose~”

“Ahhh lagu kesukaan Taeyong itu mah. Tapi gak papa sih, suka gak lu kalo gue nyanyiin?” Ya, Zemira berbicara dengan cerminnya.

Gadis itu terus menatap bayangan wajah cantiknya di kaca, lantas mengernyitkan alis ketika sadar bahwa di belakangnya tengah terjadi keributan yang entah apa sebabnya. Zemira menoleh, melihat dari jauh sepasang suami istri yang baru saja masuk ke dalam ruang dosen. Dengan diikuti banyak mahasiswa di belakangnya.

Awalnya ia tak ingin tau apa yang terjadi, ia hanya akan mengandalkan gosip dari teman-temannya. Lantas menyimpan kembali cerminnya, dan merogoh ponsel yang ada di sakunya. Sambil berjalan keluar dari Gedung Rektorat, tak lupa ia bertanya di group chat perihal keributan yang ada disini.

“Ya kalo gue jadi bokap nyokapnya Mark juga bakal nuntut kampus.”

Begitu yang Zemira dengar dari segerombol mahasiswa yang baru saja melewati dirinya. Ia tak salah dengar. Mereka menyebut nama Mark.

“Mark? Mark temennya Taeyong teh maksudnya?” Gumamnya.

Dengan langkah kaki cepat, ia berjalan lagi menuju ruang dosen. Mahasiswa masih berkerumunan disana. Semakin ia mendekat, semakin terdengar pula teriakan histeris dari seorang Ibu.

“SAYA AKAN MENUNTUT KAMPUS INI JIKA PERLU!”

Hanya kalimat itu yang Zemira dengar. Ia masih bertanya-tanya, sama halnya para mahasiswa yang berkerumun disana. Sebelum akhirnya Ayah dari Mark mengeluarkan kalimat yang bahkan membuat Zemira mendelik kaget.

“TEGANYA KALIAN MEMBUNUH ANAK SAYA!”

Mulut Zemira menganga, menutupnya dengan kedua tangannya. Bahkan tubuhnya sangat lemas sekarang. Mark memang bukan teman dekatnya, tapi ia mengenal baik teman-teman dari kekasihnya. Terlebih, Mark adalah lelaki yang disukai Lucy; sahabatnya.

Dengan langkah gusar dan masih tak percaya dengan apa yang di dengar, Zemira mencoba bersikap tenang untuk mempersiapkan diri bagaimana nanti ia bertemu dengan ketiga temannya dan menceritakan apa yang sedang terjadi di Gedung Rektorat.

“Ze,”

Seorang lelaki berdiri di hadapannya tiba-tiba. Membuat Zemira yang tengah asyik berjalan menunduk terjingkat.

“Kenapa lo?”

Doyoung. Menghentikan langkah Zemira.

“Ze? Halo?” Doy menggerakkan tangan tepat di depan wajah Zemira, karena gadis itu setengah melamun.

“O-oh Doy? Kenapa? Eh?”

“Ya lo yang kenapa? Lo gak papa? Muka lo pucet anjir!”

Zemira kebingungan. Apakah orang yang dihadapannya ini sudah tau tentang Mark? Jika sudah, kenapa ia bisa setenang ini?

“G-gue gak pa-pa.” Jawab Ze terbata-bata. “E-eh Doy.. M-Mark—”

“Meninggal.”

Sesak. Dadanya terasa sesak mendengar kalimat itu.

“Lo udah tau?” Tanya Zemira ragu.

Doyoung mengangguk. “Gue nyari lo karena ini. Taeyong dimana? Dia pasti terpukul karena Mark yang paling deket sama dia.”

Bias suara Doy berubah. Bergetar. Ia tak mampu melanjutkan kalimatnya lagi. Doy benar, Mark adalah orang yang paling dekat dengan kekasihnya. Pikirannya sekarang tertuju pada Taeyong. Zemira memijat pelipisnya.

“Gue baru inget kalo Mark paling deket sama Taeyong.”

“Taeyong absen hari ini.”

“Lagi?” Tanya Zemira sedikit membentak.

“Dia ke kampus kok, cuma absen satu matkul doang. Ze, gue mau ketemu nyokap bokapnya Mark dulu. Kalo ketemu Taeyong, tenangin ya?” Pinta Doyoung yang langsung meninggalkan Zemira.

'

Tiap sudut kampus telah berjejak kaki Zemira. Taeyong masih tak menampakkan batang hidungnya. Lelah. Duduk di kursi taman sendirian, dengan angin sepoi-sepoi yang menelusup pori-pori kulit.

Mengeluarkan cerminnya lagi, melihat apakah dirinya seperti yang dikatakan Doyoung tadi? Ya. Wajah Zemira sangat pucat sekarang, padahal tubuhnya sudah merasa lebih baik, dirinya hanya merasa kelelahan karena mencari Taeyong kemana-mana.

Memejamkan matanya. Merasakan kesegaran udara yang tak ada habisnya.

“Ze.”

Suara bisikan lelaki jelas terdengar di telinganya, namun tak ada siapapun disana. Akhir-akhir ini, entah mengapa telinganya sangat sensitif.

Zemira mengerjapkan matanya berkali-kali. Mengucek kedua matanya untuk memastikan bola matanya dalam keadaan normal. Memandang jauh ke depan. Ia tak salah lihat. Itu Mark. Berjalan memunggungi Zemira. Kemudian ia berlari untuk mengejarnya. Mengarah pada bekas ruang Lab kosong yang sudah tak lagi difungsikan.

Sendiri. Mark sendiri. Kini berdua dengan Zemira yang sengaja mengikutinya.

“M-Mark..”

Lelaki yang dipanggil sama sekali tak menoleh.

“Mark? It's you?”

Zemira memanggilnya lagi sebelum ia sadar dengan kejadian di Gedung Rektorat, juga kabar dari Doyoung. Gadis itu menelan ludahnya. Demi Tuhan ia sangat takut ketika makhluk dihadapannya mulai membalikkan badannya.

Cairan merah keluar dari telinga kanannya, kemudian separuh wajahnya, dan lengannya.

“You're here?”

“I'm here waiting for you”

“Get out of that mirror.”

“Come with me. Stay with me here. I'm on my own. Keep me company so i'm not alone”

Dia tidak sedang berbicara pada Zemira. Melainkan itu adalah beberapa kalimat, untuk memanggil 'sosok' lain.

Lelaki itu menyeringai meski tak sepenuhnya ia berbalik. “Look, she's happy to be around you.” Tukasnya.

Feel it

Tik-tok-tik-tok

Suara jarum jam dinding di kamar Jaemin terdengar begitu nyaring.

“Jadi gitu, lo cuma perlu ngerasain.” Akhir kalimat Jeno.

Usai menyelesaikan tugas kelompok, mereka berkumpul duduk melingkar. Ghost Hunter. Ke enamnya ada disana. Duduk bersila, dengan satu lilin menyala berada di tengah-tengah mereka. Tidak. Mereka bukan sedang melakukan ritual atau hal yang menyimpang lainnya. Melainkan di kompleks Jaemin sedang terjadi pemadaman lokal, yang entah mengapa.

Berbeda dengan teman-temannya yang lain, Renjun tak bisa duduk dengan santai. Penakut. Ia lebih penakut dari kelima temannya. Renjun duduk berdempet di tengah-tengah Jeno dan Haechan. Melingkarkan tangannya ke lengan Jeno.

Gesekan ranting pohon terus saja mengagetkan Renjun. Bagaimana tidak? Suaranya seperti ada seseorang yang mengetuk jendela kamar Jaemin.

“Udah ah gak perlu dilanjutin, Demi Allah gue udah merinding dari tadi.” Protes Renjun.

“Jun, fyi nih, semakin lo takut biasanya makhluk halus makin tertarik sama lo.” Ujar Chenle dengan pucuk bibirnya terangkat.

“Gue masih terlalu merinding karena kejadian di kos kak Taeyong.”

Sejenak mereka diam memperhatikan Renjun. Mereka sudah siap menyimak cerita yang akan dibagikannya.

“Cie.. nungguin..”

Ctakkk!!

Satu sentilan dari Jeno mendarat di dahi Renjun.

“Cepet cerita gak?!” Desak Jeno.

Renjun berdecak. “Jadi, waktu itu gue ke kos kak Taeyong karena kak Ze minta. Gue mau ditinggal sendiri dirumah? Gak lah gak mau!”

“Kosnya tuh ternyata asli serem dah. Kayak gak berpenghuni. Udah nunggu lama, gue bosen akhirnye nengok ke arah lantai dua. Salah satu jendela yang katanya kamar kak Jaehyun itu lampunya nyala terus mati gitu.”

“Ini teh sumpah serem karna gue tiba-tiba denger ada orang minta tolong. Dan lebih seremnya lagi waktu masuk ke kosnya, ada bau dupa woy anjir.”

“Gue beneran merinding waktu kak Taeyong tiba-tiba muncul. Kayak, lo kemana aja sih kak dari tadi dipanggilin kagak muncul-muncul?”

Renjun tengah merasakan bulu di tangannya menegang. Cerita singkat darinya cukup bisa membuat kelima temannya bengong.

“Sorry Jun kalo gue bilang ini, tapi kayaknya emang ada yang aneh?” Tukas Jeno.

“Aduh otak gue makin malem makin 2G.” Itu Haechan yang baru saja menguap.

Ting tong

Bel rumah Jaemin berbunyi, membuat seisi kamar terjingkat kaget.

“Kak Taeyong deh kayaknya.” Ujar Renjun.

“Lo jadi di jemput dia?” Tanya Jisung. “Kak Taeyong beneran?”

“Ya beneran Cung! Dikira boongan?” Renjun merapikan beberapa bukunya yang berserakan, lantas memasukkannya ke dalam tas. “Udah gue balik dulu ya?”

Lantas Jaemin mengantarkan Renjun sampai depan pintu utama. Ia sempat bertemu dengan Taeyong. Tak seperti apa yang ia bayangkan tadi setelah Renjun sedikit bercerita. Jaemin pun tidak merasakan hal yang aneh sebelum ia bersalaman dengan Taeyong.

Dingin.

Tangan Taeyong sangat dingin. Entah karena ia terlalu lama terkena angin malam, atau karena hal lain, Jaemin pun tak paham.

Mereka berdua berjalan menuju motor Taeyong yang terparkir di luar halaman. Taeyong menoleh kearah belakang. Ia menangkap Jeno yang sedang melihatnya dari jendela kamar Jaemin. Hanya untuk memastikan temannya.

Dengan tatapan tajam, Taeyong menyeringai.

'

He dealing with the same hell, just different devils

Together forever

Sebuah makam berbalut rumput rapi menghadap timur, terletak di paling pinggir sebuah tempat pemakaman. Saat matahari menyapa, maka makam itu yang pertama merasakan sapaannya. Tiga makam berdampingan, dengan masing-masing nama tertulis sederhana sebagai tanpa si empunya malam.

Dalam dingin senja, cakrawala merekah penuh kesedihan. Tiga orang berbaring di sana. Di bawah gundukan tanah. Bersama puluhan, ratusan, ribuan, tak terhitung jumlahnya kisah yang begitu berarti dan tak pernah terlupakan. Kisah dengan puing-puing hidup yang sungguh berat, keluarga yang berantakan, sebongkah kekecewaan dan keputusasaan yang hampir membunuh harapannya sendiri.

Kyra, Dejun, dan Vania. Tiga insan yang tengah di selimuti kebahagiaan. Tiga insan yang sedang hangatnya merajut kebersamaan. Yang telah berjanji untuk tak akan meninggalkan satu sama lain, benar adanya. Tidak ada satu dari mereka bertiga yang ditinggalkan. Mereka lah yang meninggalkan luka mendalam bagi orang sekitarnya.

Sungchan, teman-teman Kyra, teman-teman Dejun, bahkan keluarga Kyra berada disana. Tak berhenti menatap tiga gundukan tanah segar yang bertabur bunga mawar, bougenvile, dan rajangan daun pandan. Selimut abadi mereka.

Mata mereka sembab. Ada banyak sekali yang ingin masing-masing orang sampaikan. Rasa tak percaya dan sesal tak berujung.

Pelayat mulai berangsur meninggalkan tanah makam. Menyisakan Sungchan, dan kedua orang tua kandungnya. Mereka sangat terpukul dengan kenyataan yang datang tiba-tiba, dan pastinya tak pernah terbayang sebelumnya.

“Seperti yang lo mau kak, kita kumpul sama-sama lagi. Ada mama sama papa disini, ada gue, ada lo, mas Dejun, Vania. Ini yang lo harepin kak? Ini juga yang gue harepin, tapi gak dengan lo ninggalin gue gini.” batin Sungchan.

Sungchan bangkit. Mengusap air matanya.

“Ayo kita pulang, ma, pa, kak Kyra gak suka mama sama papa nangis!”

Orang tuanya bangkit, lantas berjalan bersamaan meninggalkan keluarga kecil itu bahagia di dunia yang berbeda.

“Kak, gue harap lo tenang disana, bahagia sama mas Dejun sama Vania. Gak ada yang perlu lo khawatirin lagi.”

'

Biarkan keluarga kecilnya bahagia meski di alam yang berbeda. Benar kata Sungchan, Kyra tak perlu lagi khawatir tentang hal-hal yang mengusik pikirannya.

Tak ada lagi pertengkaran lucu di rumah tangga Kyra dan Dejun. Tak ada lagi gelitik tawa yang menghangatkan apartment mereka. Tak ada lagi ejekan dari teman-teman mereka. Dan tak akan ada lagi Kyra, mas Dejun, juga si lucu Vania di kehidupan ini.

Ingatlah bahwa seorang pria yang benar-benar mencintaimu dan ingin kau berada dalam hidupnya selamanya, tidak akan pernah memberimu alasan untuk meragukannya. He will never take you for granted. He will always keep you above everything else. He will fight for you and not with you. He will remember your likes and dislikes and will not forget what is important to you. He knows you the way he knows his own shadow.

His own soul..

His own life..


Dengan ini, berakhirlah kisah Kyra-Dejun

Mas

'

Terima kasih telah menyertakan aku ke dalam semesta kecilmu.

Dejun menahan pintu mobil dan menunggu Kyra masuk ke dalam mobil. Merendahkan tubuhnya, lalu memasukkan kakinya perlahan. Dejun menahan kepalanya dengan lembut, melindunginya supaya tidak terbentur bagian atap mobil. Kyra menoleh ke arah Dejun dan tersenyum.

Yogyakarta, sebuah kota istimewa yang akan menjadi destinasi berlibur keluarga kecil ini. Vania yang sedang duduk di kursi belakang supir sangat excited. Pasalnya hari ini bertepatan dengan hari ulang tahunnya. Dan juga anniversary pernikahan ke-8.

“Ayah!! Vania gak mau bobo sampe nanti. Nanti kalo Vania hampir ketiduran, bangunin ya, Ayah.” Pinta sang putri.

Dejun tersenyum melihat senyum Vania dari kaca mobil.

“Kenapa gak mau tidur? Vania sama bunda tidur aja. Kan capek perjalanannya jauh.”

Bukan tanpa sebab mereka memilih mengendarai mobil sendiri untuk berlibur kali ini. Itulah pinta putri semata wayangnya. Vania ingin menikmati perjalanan panjangnya. Ingin melihat bagaimana kota-kota yang akan ia lewati nanti. Ingin merasakan bagaimana serunya bepergian jauh menggunakan mobil, bersama orang tuanya.

“Kan udah Vania bilang, mau lihat pemandangannya, Ayah!”

Kyra menggeleng dan terkekeh mendengar jawaban putrinya yang tampak kesal itu.

'

Memasuki jalan tol yang tak begitu ramai kendaraan, membuat pemandangan di kanan dan kiri jalan tampak indah. Dejun memelankan laju mobilnya, melirik sang putri yang tertidur setelah bercerita banyak hal. Tentang dirinya di sekolah, tentang dirinya yang ingin setiap hari pergi berlibur dengan ayah dan bundanya, dan tentang betapa inginnya ia memiliki adik.

“Tadi udah pamit mama sama papa?” Tanya Dejun tiba-tiba.

Kyra menggeleng. “Enggak perlu, mas. Lagian kita cuma liburan.”

Dejun menghela nafas. “Sungchan? Adik kamu?”

“Kan udah? Tadi Vania yang nanyain kenapa omnya gak dateng buat ngucapin ulang tahun ke dia.” Jawab Kyra tanpa melihat Dejun. “Lagian dia lagi sibuk keluar sama Anya, mas.”

Mata Kyra terasa panas. Menoleh ke arah Dejun, ia tersenyum. Mencoba tersenyum.

“Aku belum ngucapin.”

“Apa?”

“Happy Anniversary, mas Dejun. You're the special gift from heavens. In another life, aku bakal tetep minta sama Tuhan buat ketemu kamu. I love you, today and forever.”

Kini mata Dejun yang terasa panas. Bulir air matanya sudah tampak di kelopak. Ia meraih pucuk kepala Kyra, meski pandangannya mencoba fokus ke arah jalanan.

“No, you're the real special gift from heavens, Kyra. Menghabiskan waktu seumur hidup with a wife like you, i feel so blessed. Terima kasih sudah mau bertahan even aku nyebelin. Aku juga mau minta sama Tuhan buat ketemu kamu. Di surga. Hehe.”

Siang itu terasa biru dan sendu.

“Kyra, bangunin Vania gih.” Titah Dejun mengalihkan topik pembicaraan agar air matanya tak jadi jatuh. “Nanti kalo gak dibangunin marahnya ke aku.”

Kyra mengiyakan, lantas membangunkan Vania. Gadis kecil itu terbangun sambil mengejap-ngejapkan mata perlahan.

“Uwah!!! Gunungnya kelihatan!!” Mata Vania seketika terbelalak melihat view dari dalam mobil.

“Ayah pernah naik gunung gak?”

“Bunda pernah kesana gak?”

“Ayah!! Ayah!! Mau foto disitu.” Vania menarik lengan baju Dejun.

“Vania, jangan diganggu ayah lagi nyetir sayang.” Kyra melepas tangan Vania. “Lagian gak boleh berhenti sembarangan di tol.” Jelasnya.

“Tapi itu bagus bunda, Vania mau foto disitu. Ayahhhhh ayo ayah foto disitu.”

Vania masih saja merengek dan menarik lengan baju Dejun. Air mata sudah berada di pucuk matanya. Dejun being Dejun. Ia menuruti permintaan putrinya.

“Iya, iya sebentar, cari rest area dulu ya.”

Suara tenang Dejun pun tak di dengarkan oleh Vania. Ia terus saja merengek, dan tumpah sudah tangisannya. Vania menangis.

“Astaga Vania, nanti ya? Di depan. Sabar bentar lagi ada rest area di depan.” Kyra berusaha menenangkan. Ia menghadapkan dirinya ke kursi belakang, sembari mengusap lengan Vania.

Percuma. Umur Vania adalah umur dimana emosi seorang anak tidak bisa terkendalikan. Dimana seorang anak dikalahkan dengan amarahnya sendiri. Vania nekat membuka pintu mobil meski kendaraan itu sedang melaju.

“VANIA!!!!”

Dejun dan Kyra berteriak bersamaan. Panik bukan kepalang. Dejun mengemudikan mobilnya dengan satu tangan. Tangan yang lainnya berusaha meraih Vania yang sudah ada di pucuk kursi mobil. Pandangannya tak lagi fokus pada jalanan, melainkan pada putri kesayangannya. Seakan tak menyadari bahaya yang akan dihadapi.

Mobilnya ia hentikan paksa demi sang anak. Namun naas, saat Dejun dan Kyra berhasil meraih Vania, truk semen dari arah belakang menabrak mobil yang tengah berhenti mendadak. Mobil yang mereka tumpangi terguling.

Kyra merasakan kesadarannya lenyap. Tercerabut dengan paksa, entah oleh kekuatan apa. Sudah terbang ke mana dan sampai mana. Sakit. Tubuhnya limbung. Ia masih mendengar suara Dejun yang memanggil namanya. Matanya mengerjap. Dengan posisi terbalik, ia melihat Dejun yang berlumuran darah dan air matanya yang keluar. Sesak. Tangannya berusaha menyentuh pipi Kyra untuk mengusap air matanya.

Pun Kyra berusaha melepas seatbelt meski sekujur tubuhnya seakan mati rasa. Tapi ia sudah tak memiliki kekuatan untuk sekedar bergerak. Lantas Kyra melirik ke arah belakang, melihat Vania sudah tak sadarkan diri. Sang putri kesayangannya masih terlihat sangat cantik meski darah melapisi hampir seluruh wajahnya. Kyra menutup matanya, ia menangis dengan hebatnya meski tanpa suara. Ia berharap bahwa ini semua hanya mimpi. Ia berharap setelah matanya terbuka, ia sudah sampai pada destinasi berliburnya. Ia menghitung dalam hatinya.

“1..”

“2..”

“3..”

Yang Kyra lihat adalah Dejun yang mulai kehilangan kesadarannya. Namun masih sempat ia menyampaikan satu hal meski dengan suara terbata.

“J-jangan na-ngis.”

“I lo-ve yo-u.”

Suara Dejun terdengar lirih, seperti bisikan. Tak sanggup lagi untuk melanjutkan. Dejun tersenyum, tangan yang masih di pipi Kyra itu mulai melemah dan terjatuh dengan hilangnya kesadaran Dejun.

“Mas..”

“M-mas D-De-jun..”

Kyra mencoba bersuara, namun ia seperti tercekik. Ia tak dapat menahan lagi. Kesadarannya pun mulai melemah. Hatinya merana dan sakit. Telinganya berdengung hebat, namun masih sempat ia mendengar suara sirine ambulance mendekat.

“Syukurlah”

“Mas Dejun, juga anakku, masih bersamaku”

Forever;

You have me. Until every last star in the galaxy dies. You have me.

“Ayah, tadi Vania habis main dari rumah om sepuluh.”

Gadis kecil berusia 7 tahun itu duduk dipangkuan sang ayah, dengan asik menceritakan kejadian yang ia lewati hari ini.

“Kata om, ayah sama bunda mau ulang tahun, Vania juga mau ulang tahun.”

Kyra yang tengah sibuk melipat baju, dan mempersiapkan barang bawaan masih setia menyimak apa yang putrinya bicarakan. Senyumnya merekah melihat hubungan ayah dan sang putri sedekat itu.

“Iya, ayah, bunda, sama Vania mau ulang tahun. Vania mau hadiah?” Tanya Dejun.

Vania mengangguk.

“Mau hadiah apa?”

Yang ditanya malah sibuk berfikir, mengingat apa saja yang ia inginkan. Kyra tau, bahwa apapun yang diminta sang putri pasti akan Dejun berikan. Apapun itu. Dejun tidak pernah menolak.

“Adik.” Jawab Vania singkat.

Dejun tersentak saat mendengar jawaban dari anaknya. Jawaban yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Lelaki itu lantas melihat ke arah Kyra. Namun Kyra mengalihkan pandangan saat kedua bola mata mereka sempat bertemu.

Dejun berdehem. “Minta ke bunda ya.” Bisiknya pada sang putri.

“Kata om sepuluh, kalo Vania punya adik, nanti Vania ada temen main ayah, jadi Vania minta adik aja. Besok ya?”

Benar saja. Tak mungkin pikiran seorang anak berumur 7 tahun bisa jauh seperti itu. Kyra yakin 100% bahwa ini semua ulah mas Ten yang sudah merasuki pikiran anaknya.

Vania turun dari pangkuan Dejun tiba-tiba. “Besok kan mau main sama ayah sama bunda. Vania harus bangun pagi kan? Vania mau tidur aja udah malem.” Lantas berlari masuk ke kamar, meninggalkan orang tuanya di ruang tengah.

Mematung. Keduanya seperkian detik mematung karna permintaan Vania.

Dejun menggaruk tengkuk kepalanya yang tidak gatal itu sembari berjalan dan duduk di samping Kyra.

“Mm.. Kyra.”

“Apa?!”

“Ih jangan galak-galak atuh.” Kedua lengannya dilingkarkan di tubuh Kyra. Memeluknya dari samping, dan menopangkan dagunya di bahu Kyra.

“Mas haduh jangan gini ah, ini gak selesai-selesai aku packingnya.” Rengek Kyra dengan menggoyangkan bahunya.

“Vania minta adik, gimana dong?”

Demi Tuhan, 8 tahun berjalan, Kyra masih saja sering merasakan ritme jantungnya melampaui batas normal. Saat seperti ini, contohnya.

“Ya.. ya terus? Beliin aja di pasar.”

Cupp..

“Sembarangan!” Satu kecupan mendarat di pipi kiri Kyra.

“MAS! Apa sih tiba-tiba?!” Protes Kyra tanpa menghadap si pelaku.

“Madep sini dong.”

“GAK.”

“Madep siniiiiiiiiii.”

“Gak ma— aaaa.. mas Dejun geli anjir!”

Tangan Dejun mulai usil menggelitiki Kyra hingga empunya menggeliat seperti cacing. Sekuat apapun Kyra berusaha melepaskan dirinya dari pelukan Dejun, tetap saja ia tak bisa melawan.

“Mass udah capek nanti aku ngompol.” Rengek Kyra yang hampir menangis. Pucuk matanya tampak basah. “Huhuhuhuhuhuhu..”

Dejun terkejut saat istrinya menangis dan mengucek kedua matanya. “Loh Kyra? What happen? Ih kok tiba-tiba nangis?”

Heran. Cukup heran karena baru saja mereka berdua bersenda gurau saling menggelitik satu sama lain dan saling mengejek, tiba-tiba saja Kyra menangis.

“Kyra? Hey? Jangan dikucek atuh matanya ini.” Dejun memegangi kedua pergelangan tangan Kyra, dan menghentikan aktivitas mengucek matanya. “Kenapa? Kenapa?”

“Aku takut hueeeee.”

“Loh takut kenapa?”

Ekspresi wajah Dejun sangat khawatir. Ia takut tak sengaja melukai istrinya, atau apapun itu ia takut.

“Takut sama perasaan terlalu bahagia ini.” Kyra manyun, air matanya telah berhenti.

“Sini cup cup.” Dejun meletakkan kepala Kyra tepat di dadanya. Lantas ia rasakan lengan Kyra yang sudah melingkar di tubuhnya. Dejun mengusap lembut kepala Kyra. “Kenapa takut sama perasaan bahagia sih? Bagus dong kalo kamu ngerasa bahagia.”

“Mas, gak tau kenapa waktu kita ketawa barusan, aku kayak pernah ngerasain hal serupa, ingatan waktu aku kecil. Tiba-tiba aja muncul. Kejadiannya persis, seorang Kyra kecil yang digelitiki oleh kedua orang tuanya. Senyum dan tawanya merekah, seakan Semesta mendukungnya. Tapi mama dan papa bertengkar lagi setelahnya. Mas, aku takut.”

Dejun dapat merasakan degup jantung Kyra. Hatinya cukup teriris mendengar cerita singkatnya.

“Apa yang kamu takutin?”

“Aku takut... kehilangan kamu, aku takut. Aku takut aku hanya diberi kesempatan satu kali untuk merasakan baha—”

“Ssttttt... aku gak akan kemana-mana. I'll try all forms of happiness for you always. Maaf ya, maaf kalo kamu jadinya keinget. Pelan-pelan Kyra, don't worry, i'm with you and i'll always be with you. Forever.”

“Forever?” Kyra mengangkat kepalanya, menatap bola lekat Dejun.

Dejun tersenyum. Memberi kecupan di kening Kyra.

“Forever..”


Be with someone; yang memotivasimu untuk melakukan lebih baik dalam hidup, karena hubungan lebih dari sekadar jatuh cinta. Ini tentang menginspirasi satu sama lain to become better versions of yourselves day in and day out.