Dark Clouds
'
im afraid to opening my eyes, aku tau kau ada di langit-langit, menungguku untuk melihatmu. I won't look.. i won't look..
—
Gemuruh petir saling menyaut di luar sana. Langit mendung berubah menjadi sedikit gelap. Rintikan hujan yang turun beraturan berubah menjadi hujan lebat disertai angin kencang.
Zemira duduk sendiri di sebuah kedai kopi siang ini. Ia sedang menunggu seseorang datang. Cukup lama, bahkan sangat lama ia menunggu. Lelah. Ia hampir saja tertidur di mejanya. Kopi yang Zemira pesan dua jam yang lalu menyisakan satu tegukan saja.
Gadis itu duduk di dekat jendela. Kepalanya ia topang saking lelahnya. Pandangannya tak beranjak dari jalanan kota yang ramai, meski tengah di guyur hujan lebat. Ia goreskan tangannya di kaca, membentuk sebuah tulisan disana.
Taeyong.
Nama yang Zemira tulis di kaca berembun itu. Sambil memikirkan beberapa hal yang dirasa berubah. Taeyong, kekasihnya itu sudah jarang menghubunginya. Bahkan terakhir ia berpamitan pergi ke luar kota untuk sementara waktu. Liburan, alibinya. Anehnya lagi, Taeyong meninggalkan satu botol kecil berisi cairan merah kehitaman yang entah apa. Dan juga, sering kali Zemira menemui kekasihnya tengah asyik berbicara sendiri. Segalanya memicu rasa khawatir.
Kling!
Seseorang baru saja masuk ke kedai kopi. Zemira menegakkan badannya, berharap itu adalah orang yang dari tadi ia tunggu kehadirannya. Namun ia malah dibuat kaget dengan sosok yang sudah berdiri dihadapannya.
“Ze?”
“Kok kaget gitu sih kamu?”
“O-oh. Tae-yong kok ada disini?!”
Bingung. Zemira bingung bagaimana harus menanggapi. Apakah ia harus bahagia karena akhirnya bisa bertemu dengan kekasihnya? Atau apakah ia harus merasa takut karena ia tengah menunggu seseorang tanpa sepengetahuan Taeyong.
“Pacarnya kesini bukannya seneng ih kamu.” Taeyong mendudukkan dirinya di kursi kosong depan Zemira. “Udah lama disini?”
“Ha?” Zemira mengernyitkan dahinya. “Yong tapi ak—”
“Maaf ya nunggu lama.”
Sebentar. Bukan Taeyong yang sedang Zemira tunggu. Entah mengapa suasana mendadak membuat tubuh Zemira menggigil kedinginan. Padahal sudah ia pastikan sendiri bahwa dirinya sudah sembuh, benar-benar sembuh.
“Kamu mau kemana?” Tanya Taeyong saat Zemira mulai beranjak dari tempat duduknya.
“A-aku mau ke to-i-let sebentar.” Pamit Zemira dengan nada terbata.
'
Di toilet, Zemira melihat pantulan bayangannya di kaca. Wajahnya sangat pucat meski ia sudah memoles bibirnya berkali-kali. Kepalanya mulai berdenyut sakit. Sambil memijat pelipisnya, ia jongkok dengan bersandar pada dinding toilet.
“Kenapa bisa Taeyong tau gue disini?”
“Kan gue gak ada chat sama dia?”
“Masa—”
Gadis itu sibuk bergumam, tak sadar bila ponselnya bergetar sejak tadi. Ia rogoh ponsel di tas kecilnya. Layarnya menyala, 3 panggilan tak terjawab. Tak lama Zemira mendapat panggilan masuk dari orang yang sama.
“Ze, aku di depan rumah. Kamu dimana? Tumben rumahnya dikunci?”
Kedua mata Zemira melotot kaget. Ia cek berulang kali layar ponselnya. Nama Taeyong ada disana.
“Ze? Zemira???? Renjun juga gak ada di rumah ya? Emang kamu udah sembuh? Bisa-bisanya keluar rumah?”
“Yong...” Suara Zemira lemas.
“Kamu dimana?”
“Halo? Ze??”
“Zemira??!”
Tutttt....
Zemira memutus sambungan secara sepihak. Siang menjelang sore, harus ia lewati dengan perasaan takut tak karuan. Keringatnya mulai mengucur deras. Gadis itu masih terduduk lemas di toilet. Entah berapa lama lagi ia sanggup berdiri dan berlari keluar. Baru saja ia menerima telpon dari kekasihnya. Lantas siapa yang datang dan sedang duduk di depan sana?
tok tok tok...
Seseorang mengetuk pintu toilet pelan. Zemira berdiam membungkam mulutnya sendiri. Tubuhnya bergetar hebat saat seorang lelaki memanggil namanya samar.
“Ze..”
Masih mengetuk pintu.
Rasa takut semakin menyelimuti Zemira. Padahal ia bukanlah gadis yang penakut. Tapi jika dihadapkan kejadian seperti ini, dan ia alami sendiri, ia tak memiliki keberanian lagi. Kedua lutut sudah berada di dekapannya. Lantas ia benamkan wajahnya ketika knop pintunya mulai bergerak.
Ngikkk
Pintu kayu berbunyi saat seseorang berhasil membukanya.
“Zemira..”
Zemira mendongak saat ia mengenali bias suaranya.
“Jae!!”
Pucuk mata Zemira membasah, ia mulai menangis seperti anak kecil saat tau seseorang yang ditunggu sejak tadi akhirnya menampakkan diri.
“Ze? Eh lo kenapa sih?” Dengan bertumpu pada lututnya, Jaehyun mengelus dan menyisir rambut Zemira. “Udah cup cup ngapain nangis?” Menenangkan.
“Gue takutttt....”
“Takut? Lo takut kenapa? Udah ayo keluar gak lucu berduaan di toilet.”
Jaehyun berdiri, namun Zemira menahan pergelangan tangannya.
“Diluar.. ada—”
“Ada siapa?”
“Ada Taeyong?”
Seperti tau apa yang telah gadis itu alami, Jaehyun tak menjawab sembari membantu Zemira berdiri. Lalu mengajaknya keluar.
Taeyong tidak ada disana. Dan lagi, suasana kedai kopi pun berubah cukup ramai, tak seperti pertama ia datang. Sungguh perubahan yang bisa dirasakan oleh Zemira.
'
“Ze, kalo itu bukan Taeyong gimana?”
Baru saja Zemira merasa tenang, ia sudah disuguhkan dengan pertanyaan yang menurutnya sangat tidak masuk akal. Tak ingin menjawab, gadis itu hanya melengos ke arah jalanan.
“Kalo gue bilang yang nyakitin gue—”
“Siapa? Taeyong?”
Jaehyun mengangguk. Kedua bola mata Zemira menelusuri tiap sudut wajah Jaehyun yang lukanya mulai kering. Lantas berpindah pada telapak tangan kirinya yang dibalut oleh perban.
“Gue udah gak satu kos sama Taeyong sekarang.”
“Lo mungkin gak percaya sama apa yang gue ceritain. Tapi Ze, semenjak Taeyong pulang dari UK, suasana kos gue pun udah gak sama kayak dulu. Lo gak tau seberapa seringnya Taeyong ngebakar dupa, ngelakuin hal aneh tiap malem, nyalain lilin terus naruh lilin itu di depan kaca kamar gue. I think he's lost his sanity, but the truth..”
“The more you realize that it's not him, the closer you get to being hurt by him.”
“Gue tebak lo pasti udah nga—”
“Jae, just stop it.” Sela Zemira. “Stop it!” Kini dengan nada sedikit membentak.
“Gue gak tau masalah yang lo hadepin sebenernya apa, but can you not make up a story like this? Semua yang lo ceritain beneran gak masuk akal. Ngapain coba Taeyong sampe kay—”
“Waktu itu gue tau lo nyamperin Taeyong ke kos. Bau apa yang lo cium?” Kini Jaehyun yang menyela. Mendadak Zemira dipaksa untuk mengingat.
“Dupa right? Ada bau anyir? Do you smell blood?”
“Taeyong ngebunuh gue. I mean hampir.”
“JAEHYUN PLEASE STOP IT!”
Beberapa orang di kedai kopi menoleh kearah mereka berdua saat Zemira dengan kerasnya membentak Jaehyun.
“Lo perlu bukti? Gue tau lo. Lo gak bakal percaya kalo gak ada bukti right? Lo pasti butuh bukti.” Jaehyun melepas perban yang menyelimuti telapak tangannya.
Kurang lebih 20 jahitan ada disana. Luka yang masih basah, dengan bercak darah kering berada di sekitar lukanya.
“Taeyong did this. Dia ngelukain gue, Ze. Ngelukain gue pake cermin mawar yang dia bawa sore itu.”
“Lo tau? Ada sesuatu di tiap sudut langit-langit kamar gue. Samar, tapi gue tau, gue lagi diawasi. At night, gue gak mau ngebuka mata sama sekali karna gue tau mereka disana. I won't look.”
“Tiap gue gak sengaja kebangun malem-malem, there's a hand out of the mirror. Awalnya gue kira itu cuma mimpi. But, no. Taeyong ada disana juga.”
“Sekarang, tiap gue ngelihat kaca, gue sering parno sendiri.”

Penjelasan Jaehyun yang panjang lebar itu sama sekali tidak bisa diterima oleh Zemira. Disisi lain, pun ia merasakan hal yang sama. Keanehan memang mulai muncul saat Taeyong kembali dari UK. Dan keanehan lainnya baru saja ia alami beberapa puluh menit yang lalu.
“Jae, gue kesini cuma mau ketemu lo, mastiin lo baik-baik aja. Dengerin cerita lo yang sekiranya masuk akal dan berharap bisa ngasih lo solusi terbaik. But, you give me that shit? Bukan gue gak percaya, tapi buat apa Taeyong ngelakuin hal konyol kayak gini?”
Kekhawatiran bahkan ketakutan tertangkap jelas di wajah Zemira, ia tidak bisa menyembunyikan itu.
“Ze, sorry, tapi memang ini kenyataannya.”
Jaehyun lega melihat Zemira masih baik-baik saja. Pucuk kepala gadis didepannya itu ia usap pelan, lantas ia ucapkan lagi salam perpisahan.
“Maaf gue gak bisa lama-lama, gue lega ngelihat lo dalam keadaan baik, Ze. Dan gue harap seterusnya pun lo tetep baik-baik aja.”
Zemira menahan Jaehyun saat lelaki itu beranjak pergi. Ia yang masih duduk, menarik pergelangan tangan Jaehyun.
“Jae..”
“Can i- hug you?” Dengan mendongakkan kepalanya, tangan Zemira turun menggenggam telapak tangan Jaehyun.
Jaehyun mengangguk, disertai dua dimples yang timbul karena senyumnya merekah.
“Come here.” Genggamannya ia tarik pelan, menghantarkan tubuh mungil kedalam dekapannya. Dengan lembut ia sisir surai hitam milik Zemira.
“Jae, gue gak bisa sepenuhnya percaya sama lo. Biar gue buktiin sen—”
“Gak!” Jaehyun melepasnya kasar. Kini kedua tangannya mengerat di bahu Zemira. “Lo gak perlu ngebuktiin sendiri, dan jangan! Gue mohon, tetep jaga diri lo, sedikit pun jangan sampe lo terluka. Lakuin ini buat gue.”
Kepalanya menggeleng cepat, “ah engga, lakuin ini buat adek lo, Renjun. Jangan coba buat ngebuktiin apapun. Then don't believe what i told you today. Okay? Gak usah percaya sama gue kalo gitu. Anggep aja semua yang lo denger hari ini, cuma karangan gue doang.”
“Jae.. gimana mungkin gue—”
“Ze, kita gak tau berurusan dengan apa dan siapa, semua masih abu, right? Tetep jaga diri lo aja. Kunci pintu rumah kalo lo sama Renjun lagi keluar. Kunci juga kalo lo sama Renjun udah ada di dalem rumah. Jangan biarin rumah lo kebuka lagi.”
Jaehyun merapikan poni Zemira yang berantakan, lantas memamerkan dimplenya lagi. “Gue balik ya, lo.. langsung pulang.”
“Jae..” Zemira memanggilnya lagi saat Jaehyun membalikkan badan dan beranjak pergi. “Lo sekarang tinggal dimana?”
“Rahasia. Gue balik ya, daahh..” Ia lambaikan tangannya.
—
Hujan masih saja mengguyur kota. Membuat penghuni rumah betah berada di dalam. Sudah satu jam berselang listriknya padam. Hanya mengandalkan satu lilin, kakak beradik ini berdiam diri di kamar Zemira.
“Kak, kalo masih belum nyala, gue tidur disini aja ya?” Pinta Renjun yang hanya dibalas anggukan.
“Kak.”
“Hm?”
“Tadi siang kak Taeyong kesini.”
“Iya dia bilang, tapi lo gak dirumah kan?”
Renjun diam.
“Injun?” Zemira yang tengah duduk di pinggir jendela menoleh kearah adiknya yang sedang sibuk bermain ponsel di atas kasur. “Lo dirumah gak?”
“Gue dirumah, sama Jeno.”
“Kenapa gak lo suruh masuk?”
Renjun menggeleng. “Gue takut.”
Ungkapan dari Renjun membuat pikirannya tertuju pada Taeyong. Memikirkan hal-hal yang sudah dilakukan kekasihnya pada Jaehyun, jika itu semua benar.
Zemira mengambil botolan kecil berisi cairan merah kehitaman di meja rias, juga cermin pemberian Taeyong.
”.....ngelakuin hal aneh tiap malem, nyalain lilin terus naruh lilin itu di depan kaca kamar gue.”
“Emang kenapa kalo lilin ditaruh depan kaca?” Gumam Zemira sembari meletakkan cermin mawar itu di depan lilin yang masih menyala.

“Gak ada apa-apa kan?” Gumamnya lagi.
Zemira masih duduk di jendela, melihat hujan di luar yang tiada hentinya. Ia tak sadar bila sosok lain telah menampakkan diri di cermin. Tersenyum miring kearah Zemira.
Botol kecil yang ada di tangannya, ia hirup tanpa membuka tutupnya, lantas bau semerbak bunga mawar memenuhi ruang kamar Zemira.
“Kak!!!!” Teriak Renjun terjingkat dari kasur, lantas berlari menghampiri kakaknya di dekat jendela. Melingkarkan tangannya di lengan Zemira. “Kak kak itu siapa kak?!” Jari telunjuknya menunjuk kearah langit-langit kamar.
“Kak itu siapa? Kak!!!!”
“Mana? Apa sih jangan bikin gue kaget.”
“Kak dia ngedeket kak!!!”
Renjun merengek, menenggelamkan wajahnya pada lengan Zemira yang ia tarik-tarik agar pandangannya tertutup. Dilihat berkali-kali pun, tidak ada siapa-siapa disana. Tapi Renjun tetap keukeh menunjuk langit-langit kamarnya.
“Jun gak ada apa-apa ih, lo kenapa sih?!” Zemira berusaha melepaskan lengan tangannya yang ditarik-tarik oleh adiknya. Sakit. Renjun semakin mencengkeram lengannya.
“Injun?! Sakit anjing! Udah gak ada apa-apa, gak ada siapa-siapa juga?!”
“Jun?!”
Tak ada jawaban. Renjun terus mencengkeram lengan Zemira.
“GUSTI NU AGUNG INJUN SAKIT DEMI DEH!!!”
Zemira menghentakkan tubuh adiknya hingga dirinya terjatuh, punggungnya tertatap pucuk jendela, lengan tangannya pun membekas kuku jari Renjun.
“Jun?”
“Renjun??”
Tak ada jawaban, membuat gadis itu merasa takut, tubuhnya menggigil lagi. Zemira mendekat, tangannya meraih bahu adiknya. Matanya berubah. Kedua bola matanya penuh dengan warna hitam pekat.

“J-ju-n..”
Suara Zemira bergetar. Pelan-pelan dirinya mulai menjauhi sosok didepannya itu.
“Ze..”
“Lari..”
Suara itu datang lagi, bisikan yang entah darimana dan dari siapa. Bahkan untuk bangkit pun rasanya Zemira tak sanggup. Ia terlalu lemas. Ingin rasanya ia lari menjauh, tapi ia masih memikirkan adiknya yang saat ini tengah menatapnya tajam dengan seringai di wajahnya.
“Jun.. Ren-jun..”
Zemira masih memanggil adiknya, meski ketakutan tengah menyelimuti. Matanya melirik kearah cermin yang ada di depan lilin. Pikirannya pun menuju pada suatu kesalahan yang ia lakukan, menyebabkan hal yang tak diinginkan. Dengan cepat tangan Zemira meraih cermin itu. Tertahan. Tangan Renjun mencengkeram pergelangan Zemira. Lalu menariknya. Ia ingin merebut cermin yang saat ini ada di tangan Zemira.
“Jun!!”
“Lepasin..”
“Jun sakit..”
Air matanya jatuh. Kesakitan. Zemira tak mengerti kenapa kuku jari Renjun terasa sangat tajam. Tanpa suara sedikitpun, adiknya terus menarik pergelangan tangannya. Zemira tak menyerah, ia tak ingin kalah. Dengan perlawanan dan kekuatan yang ia kumpulkan, cerminnya terbanting ke lantai hingga kaca itu pecah.
Zemira jatuh ke lantai dan terkulai lemas. Ia mendengar samar suara Renjun sedang memanggil namanya. Perlahan kesadarannya mulai hilang.
“Kak Ze...”
