souljaehyunn

Ruang sempit

'

“Ya sudah tinggal pilih, anak kandung papa atau anak tiri papa?”

Kyra baru saja memutus telfon sepihak. Ya, ia tengah menanyakan tentang perkataan mas Dejun tadi sore. Gadis itu duduk hati-hati di atas kursi kayu yang hampir habis di makan rayap. Mengeluarkan senter kecil yang cahayanya menyebar memberi penerangan.

“Kyra?” Sebuah mobil silver mengilap melaju perlahan di samping Kyra. Kaca mobil diturunkan dan seraut wajah tampan menyapa.

Kyra berhenti berjalan. Ia menatap pada wajah yang menyembul dari balik jendela mobil, dengan sesekali menyeka wajahnya. Membersihkan sisa air mata di pucuk matanya.

Doy. Melajukan mobil, lalu menepikannya tak jauh di depan Kyra. Ia membuka pintu dan keluar menghampiri Kyra.

“Ngapain lo malem-malem jalan sendiri? Katanya cowok lo mau nyamperin ke rumah?”

“Gapapa mas jalan-jalan aja.”

“Ayo gue anter.”

Lelaki itu membukakan pintu mobil dan menyilakan Kyra masuk. Kyra merendahkan tubuhnya dan masuk ke mobil. Rasa segar yang diembuskan pendingin mobil mengusir rasa panas dan sesak yang sebelumnya melekat di tubuh Kyra. Selama perjalanan Kyra diam saja. Doy pun merasa kikuk untuk mencoba memulai percakapan.

Tak biasanya Kyra seperti ini.

Setelah sampai rumah, Kyra masih berdiam diri. Mereka berdua keluar dari mobil. Kyra melihat mobil hitam sudah terparkir di halaman rumahnya. Mengerti akan hal itu, Doy lantas berpamitan untuk langsung pulang.

“Kyra, kamu darimana aja? Mama keluar beli makanan buat ini tamu kamu nih.” Sapa Mama dengan suara lemah lembut menyambut kedatangan Kyra.

Seraut senyum tampak di wajah Kyra. Melihat Dejun ada disana. Bahkan ketiga temannya pun turut hadir. Berbeda dengan hari biasanya, Kyra tak mampu menyembunyikan sesuatu itu. Titik bening meliuk turun di pipi Kyra saat melihat senyum yang mengembang di wajah mas Dejunnya.

'

“Mama setuju aja, toh papamu disana juga setuju. Kalo udah saling sayang mau dipisah juga gak mungkin, iya kan?”

Kyra diam saja mendengarkan.

“Orang tua nak Dejun gak diajak juga?” Tanya Mama. “Kyra udah dikenalin belum?”

Dejun hanya tersenyum. “Nanti saya ajak Kyra bertemu mereka.”

“Ya sudah tinggal apa kata Dejun mau tunangan kapan ini? Mau cepet juga sok atuh, mama gak keberatan. Mama tinggal ke dalam ya nyiapin makan malam.”

Lima orang berada di ruang tamu sekarang. Keempatnya sama-sama mengerti bila ada yang aneh dari Kyra sejak ia datang. Mereka berempat hanya saling memandang awalnya, hingga Dejun berdiri dan meraih pergelangan tangan Kyra, membawanya keluar dari rumah agar bisa mengobrol berdua.

“Kamu kenapa?”

Yang ditanya tetap sibuk menundukkan kepalanya. Melamun.

“Kyra??”

“Lihat aku.”

Kini Dejun menangkup wajah kecil itu, membawa ke dalam pandangan lekatnya.

“Kenapa?” Tanya Dejun lagi.

Bibir Kyra bergetar, ia memandang wajah Dejun. Merasa hangatnya tangan lelaki didepannya.

Dejun mencoba menghayati setiap sudut lelah dan beban yang menghiasi wajah gadisnya.

“Belum mau cerita? Mau nangis aja?”

Kyra menganggukkan kepalanya, lalu ia tumpahkan air mata yang sedari tadi ia bendung ke dalam peluk Dejun.

Tangan Dejun mengusap lembut rambut Kyra yang terurai indah. Memberikan rasa nyaman dan menenangkan.

“Kamu mau tau aku kenapa?” Kyra mulai bersuara.

“Mhm.. kalo kamu udah mau cerita.”

Kyra melepas peluknya. Melihat bahu Dejun yang basah karena air matanya. “Gapapa, nanti kering.” Dejun tersenyum, kedua tangannya membantu menghapus jejak bening di pipi Kyra.

Kyra sempat termangu sejenak dalam pikirannya.

“Kayaknya papa salah paham sama niat kamu.”

Dejun terhenyak. “Salah paham?”

“Papa udah nikah lagi, Sungchan punya kakak baru yang seumuran sama aku. Papa bilang kalo kamu mau nikahin anak papa. Tapi anak perempuan papa ada dua sekarang, mas. Papa ngira kamu mau nikahin anak perempuan papa yang baru.”

“Kyra, aku gak tau kalo papa mu—”

“Anak papa yang baru itu namanya Anya, dan semoga bukan Anya yang kamu kenal.” Kyra menyela.

Mata Dejun membulat lemah.


Mudah saja, papa orang yang penuh kasih sayang. Beliau selalu menuruti keinginan anak-anaknya yang terpenting kebahagiaan. Tapi papa gak melulu baik, ada kalanya papa bersikap tidak adil. Papa pernah marah padaku, lantas beliau hanya memihak Sungchan dan membuat segala kebutuhannya terpenuhi, sedangkan aku harus menahan iri dengki terhadap adikku sendiri.

Suara papa ditelfon membuatku menangis karena dengan jelas papa berada di pihak anak barunya; saudara tiriku lebih tepatnya. Padahal papa tidak tau bagaimana perasaan nyataku.

Aku hanya takut, papa menyakitiku lagi dengan cara ini.

Aku tau kesalahpahaman ini sebenarnya karena papa sendiri. Karena papa sudah tak lagi menganggapku ada. Karena papa tak lagi memberiku ruang sebagai anaknya.

i miss you

'

Kyra menajamkan pandangan. Menarik nafas panjang dua kali untuk menenangkan diri. Dirinya tidak akan bisa tenang, karena beberapa saat lagi, ia akan bertemu dengan lelaki yang selama satu tahun tidak ia temui. Mas Dejun. Lelaki yang ia tunggu kedatangannya.

Gadis itu tidak sendiri, tentu saja Doy ikut mengantarnya ke Stasiun. Bagaimana ia bisa tega? Membiarkan Kyra berangkat sendiri dengan ojek online. Hemat uang, katanya. Awalnya Kyra menolak, karena apa yang telah terjadi semalam sudah cukup membuat otak dan pikirannya meluap.

Bukan perjodohan, hanya saja kedua orang tuanya saling mendukung satu sama lain jikalau Doy dan Kyra bersama. Bukan Kyra namanya kalau ia hanya berdiam diri dan terima-terima saja.

“NO NO NO. BIG NO mama! Mas Doy udah kayak abangku, gimana bisa aku sama abangku sendiri?” Katanya semalam.

Kyra menunggu cukup lama. Penumpang kelas bisnis dari Jakarta agaknya sudah berangsur keluar, tapi seseorang yang di nanti belum juga memunculkan diri.

“Alah paling php.”

“IH ENGGA YA!!” Kyra melotot melihat Doy.

“Aduh takut.. takut.. serem amat.”

Sambil menutupi wajahnya dengan kedua tangan, Doy menggodanya. Kyra memukul lengan Doy berkali-kali hingga si penerima meringis dan berusaha menghindar dari pukulan Kyra.

Tampak seorang wanita dan lelaki sedang berjalan ke arah pintu keluar. Doy memegang kedua bahu Kyra dan membalikkan tubuhnya agar berputar membelakangi dirinya.

Senyum bahagia yang ia siapkan untuk menyambut mas Dejunnya berangsur padam, saat Kyra melihat wanita itu mengalungkan lengan kirinya ke bahu lelakinya. Entah sepertinya Dejun sedang membantu wanita itu berjalan.

Dejun melempar senyum manis ke arah Kyra, saat ia mengetahui gadis itu tengah berdiri menunggunya.

“Kyra? Hai.” Sapa Dejun.

Pipi Kyra yang putih mendadak memerah. Kyra tersenyum, atau mungkin tersipu malu. Ritme jantungnya sudah tidak lagi normal ketika mata mereka berdua bertemu.

“Mas gue mau teriak.” Kyra membungkam mulutnya sembari menutup rasa malunya.

Lantas Dejun melepas rindunya dengan menarik Kyra ke dalam rengkuhannya. Di depan Doy dan Anya, mereka berdua saling memeluk lembut satu sama lain. Bukan hanya perasaan bahagia, namun juga perasaan sedih karena mereka tak bisa bertemu sesering dulu. Bahkan bisa dibilang, saat hubungan mereka semakin jelas, semesta dengan teganya memberi jarak diantara keduanya.

“I miss you.” Ucap Dejun dalam peluknya.

“I miss you too, mas.”

Alexithymia.

Kyra menguap sambil meregangkan kedua tangannya. Melemaskan ototnya yang terasa kaku. Lalu, merebahkan dirinya di gazebo sembari menunggu. Kyra sejenak tertegun ketika mendengar sayup langkah kaki mendekat.

“Kyra” itu suara Dejun.

Kyra menoleh dan melihat Dejun duduk di sebelahnya. Lantas ia tersenyum dan mendudukkan dirinya.

“Udah lama? Maaf gue gak tau kalo lo jadi kesini.”

“Ah enggak mas gapapa lagian harusnya gue gak kesini.” Kyra membuang muka.

“Kan udah janji mau kesini?”

Dejun menggerakkan kepalanya mengikuti pandangan Kyra. Gadis itu mengernyit bingung.

“Mas, waktu gue gak banyak. Sungchan kasihan nunggu di parkiran. Lagian ini mas Dejun ketemu sama gue apa gak di marahi cewek lo?”

Dejun mencoba mencerna perkataan Kyra barusan. Kini ia yang tidak mengerti.

“Cewek gue? Gue ga—”

“Ish mas Dejun gak usah boong! Tadi tuh ada yang bilang kalo mas lagi ngobrol sama ceweknya, makanya gue mau balik aja.” Jelas Kyra terlihat santai.

“Lo bisa tanya ke gue, kenapa harus denger kata orang lain? Kan yang tau gue? Itu tadi lagi ngobrol sama Anya.”

Kyra hanya mengangguk anggukkan kepalanya dan ber-oh ria.

“Pacar?”

“Bukan.” Dejun menggeleng meyakinkan.

“Terus?”

“Mantan, Kyr.”

Lagi-lagi Kyra hanya ber-oh menanggapi jawaban Dejun, hingga lawan bicaranya gemas.

“Apaan ah oh ah oh.”

Kyra cengengesan. “Terus siapa pacar lo?”

“Gak ada, Kyra.”

“Kalo gue? Siapa lo, mas?”

Dejun tidak menanggapi, diam saja.

“Mas, gue suka sama lo.” Suaranya bergetar dan tersendat.

Semburat merah hangat menyapu wajah Kyra dengan cepat. Dejun sudah lama tau bahwa Kyra menyukainya. Tidak mengira Kyra akan mengatakannya sejelas ini dan sekarang.

Kyra menunduk tak berani menatap wajah Dejun setelah mengucapkan kalimat barusan.

“Makasih Kyra.” Getar pelan bersarang di suara Dejun.

“Terus?”

“Terus apa, Kyr?”

“Mas Dejun ke gue gimana?” Tuntut Kyra.

“Mungkin lebih baik gini, gue takut merusak suasana jika harus mengatakan apa yang gue rasa.”

Kyra kecewa. Matanya berkejap sendu. “Gue sempet bingung. Mas Dejun baik ke gue, terus nolongin gue, perhatian sama gue.. ternyata gue salah artiin ya, mas? Mas Ten pernah bilang ke gue kalo jangan terlalu naruh harepan, tapi ya gue tetep suka sama lo meski gak berpotensi untuk dimiliki.”

Dejun tercekat.

“Susah ya mas ngelupain orang di masa lalu?”

Dejun tidak mengerti dengan arah pembicaraan Kyra.

“Iya yaaa?” Kyra semakin menatap Dejun lekat-lekat.

Dejun mengeluh dalam hati, ia kesusahan harus memandang ke arah mana, menghindari tatapan Kyra. Mulai tak nyaman dengan suasananya seperti ini.

“Gue gak bisa ya mas ngobatin luka lo?”

Dejun menggeleng. Kyra diam menahan kecewa. Lantas tersenyum dan membuang muka. Menahan sebulir air mata yang mengembang di kelopak matanya.

Padahal, gelengan itu bukan berarti Kyra tidak bisa mengobati lukanya. Ia menggeleng karena tidak tau dan tidak ingin terkesan memberi harapan pada Kyra.

“Maaf ya, Kyra.”

Kyra menarik nafas perlahan, lalu melepaskannya. “Mas, gue mau pindah. Habis wisuda, gue ikut mama. Hari ini sidang perceraian orang tua gue. Maaf, gue bohong sama lo, tadi. Gue bakal pisah sama adek gue, juga. Dia ikut papa, gue ikut mama. Ahhhhh emang Tuhan udah ngatur semua, hari ini penuh perpisahan gak sih mas?”

Dejun mendelik kaget. Perasaan bersalah menelusup ke dalam hatinya. Semakin dilihat, lelaki itu menangkap sembap yang menggayut di mata Kyra juga sedikit sisa kilatan bening di ujung mata.

“Mas, gue balik ya? Makasih waktunya.” Kyra berdiri, mengembangkan senyumnya, melambaikan tangan ke arah Dejun, lantas meninggalkan lelaki itu begitu saja.

Dejun menatap punggung Kyra, sesuatu terasa menghimpit dada. Setengahnya menahan gertakan giginya. Tidak ingin melihat mendung sendu menghiasi wajah Kyra.

Dan, penyebab mendung itu adalah dirinya.


Teruntuk hati, jangan patah dulu, aku belum mau menyerah

Dua dunia.

`

“Sah?”

“SAHHHHH!!!”

Suara sorak dan ucapan syukur pun pecah saat sepasang kekasih ini telah dinyatakan sah menjadi pasangan suami istri.

“Kok lu nangis sih Al elah jangan nangis dong.” Ucap Haechan sesekali mengelus lengan sahabatnya. “Heh! Kalo lu nangis gini mah dikira lu ditinggal nikah ama cimeng.”

“Ya emang ditinggal nikah koplak!” Almira berusaha mengusap sisa-sisa air mata.

“Maksud aing tuh di buang terus ditinggal nikah.”

“Gitu ya?”

Haechan hanya mengangguk. Lantas Almira fokus pada sahabatnya yang sedang menunjukkan puppy eyes kepadanya. Lelaki itu benar-benar bahagia. Almira pun ikut tersenyum, disertai setetes air mata yang lolos dari matanya. Ada bagian dari hatinya yang masih saja tak rela melepas sahabatnya.

Pasangan bahagia itu turun membaur dengan tamu undangan yang lain. Wedding party mereka adakan di sebuah villa dengan taman yang luas, membaur dengan alam. Suasana alam adalah suasana yang sangat disukai Jeno, Haechan, juga Almira.

Ada rasa senang, sedih, dan haru yang campur jadi satu saat Jeno menghampiri Almira yang sedang asyik mencicipi kue-kue disana. Gadis itu menoleh menampakkan wajah bahagia. Tak disangka, Jeno datang untuk memberi pelukan yang mungkin adalah pelukan terakhirnya. Siapa tau, suatu saat ia tak lagi bisa memeluk sahabatnya itu karena telah ada hati yang ia jaga sepenuhnya.

“Ngapain lo nangis?!” Almira mendengar suara isak Jeno dalam peluknya. “Ey! Sahabat gue udah sold out! Bahagia terus ya Jeno?” Satu tangannya menepuk-nepuk pelan punggung Jeno.

“Jen udah anjir dilihatin tamu noh.”

Almira melepas pelukan. Melihat Jeno yang sibuk mengucek matanya. Almira senyum lagi. Ia membantu Jeno mengusap jejak basah di pipi. Dan entah kenapa, hal yang baru saja dilakukannya itu, membuatnya lebih lega.

“Sana temuin tamu yang lain.” Titah Almira yang disetujui oleh Jeno.

Sebuah pesan masuk menggetarkan ponselnya. Pesan dari Nana berhasil mengacaukan pikirannya lagi. Jemarinya seperti bingung, bahkan setelah ia berhasil mengetik satu kalimat panjang, dia menghapusnya lagi. Begitu berulang kali.

“Almira!”

“Lucas? Dari mana aja lo? Gue cariin.”

“Apaan orang lo gak nyariin gue.” Goda Lucas yang hanya dibalas decakan oleh Almira. “Udah belum, Al?”

Gadis itu bingung.

“BELUM!” Jawab Almira tegas.

“I-iya santai aja.”

“Gue gak mau ketemu Nana.”

“Katanya mau ngobrol?”

“Ya tetep aja gak mau. Gue takut.”

`

Pada akhirnya, mau tak mau, Almira menghampiri Nana yang tengah menunggu di taman belakang, dekat kolam renang. Dengan Lucas yang berjalan bersamanya, ia datang.

Nana berdiri disana, bersama dua saudaranya yang telah lama tak bertemu dengan Almira.

“Na, please jangan ngebahas apa-apa dulu.”

Pelukan hangat dari Na Jaemin menyambutnya.

“Lagian siapa yang mau ngebahas apa-apa?” Jaemin tersenyum. “So beautiful.”

Yang dipuji malah salah tingkah.

“Long time no see ya, Al?” Sapa Doyoung.

“Iya. How are you? Baik-baik aja lah pasti?” Tanya Almira mengarah pada Doyoung dan Taeyong.

Mereka berdua mengangguk. Lantas duduk di atas alas yang telah mereka gelar sejak tadi. Di susul oleh Jaemin, Almira, dan Lucas.

Jaemin lebih sering tersenyum. Bukan senyum yang biasanya. Tapi senyum yang beda. Ia mengeluarkan ponsel dalam sakunya. Mengambil foto Almira yang sedang cantik-cantiknya. Wajah gadis itu yang menatap langit, terkadang sadar menghadap ponsel Jaemin, Almira yang senyum ceria saat berbicara dengan saudara-saudaranya.

Terlihat sangat indah. Jaemin telah berhasil membuat foto-fotonya bernyawa. Akan mampu membuat objeknya merasakan memorinya.

“Maafin aku ya, Almira.” Dengan suara berat Jaemin mengucap kata maaf, lagi. Sebuah kalimat yang penuh dengan rasa bersalah. Bibirnya bahlan bergetar menahan rasa takut.

Melihat Nana-nya berwajah kusut, Almira menghembuskan nafas. Lantas ia tersenyum, “Na? Emang kamu salah apa? Gak ada apa-apa minta maaf. Aneh kamu.”

“Boleh aku bahas sekarang?”

Kali ini, sungguh, raut wajah Jaemin sangat membuat Almira khawatir, dan ingin menangis saja rasanya. Entah, rasa sesak lebih dulu menyelimuti dirinya. Ia hanya menatap Jaemin dan saudaranya bergantian.

Almira mengangguk.

“I like you. A lot. More than i've liked any—”

“Na, don't do this.”

Entah mengapa saat Jaemin akan melanjutkan kalimat itu, dada Almira semakin sesak. Kalimat indah yang dulu ia dengar, kenapa begitu menyesakkan kini?

“I've fallen pretty damn hard fo—”

“NANA!” Almira meninggikan suaranya. “Na, apa yang mau dibahas?”

“Al, aku pernah bilang sama kamu kan? Kalo spesies mutan kayak aku diciptain only to love one person in life. Kamu masih inget?”

Bagaimana Almira bisa lupa tentang itu? Semua tentang Na Jaemin bahkan terekam jelas di hati dan ingatannya. Almira mengangguk sembari menahan air mata yang berusaha menjebol kelopak matanya.

“Kamu mau nangis? Nangis aja Al, jangan ditahan.” Jaemin meraih pucuk kepala Almira. Tentu saja titik-titik air itu berlomba keluar dari mata indahnya.

Almira tetap diam dan menyimak segala yang dikatakan Nana-nya. Dengan pipi yang mulai membasah.

“Kamu juga tau kan tentang memoriku yang sempat hilang, masa lalu yang kamu lihat di mimpi. Dan Davina.”

Demi Tuhan tangis Almira semakin pecah hanya dengan mendengar satu nama saja.

Jangan katakan apapun tentang Davina, Na. Aku mohon. Jangan.

“She's my first love, Al.”

“Dan aku?”

Gadis itu akhirnya mengeluarkan suara juga. Meski sesaat ia ragu.

“You're Almira. Susah mengatakan ini, but you're just a human who is thirsty for love.”

Almira mengernyitkan dahinya. Tak percaya dengan apa yang ia dengar. Sesak. Sudah terlalu sesak di dalam sana. Ingin sekali ia pergi dari sana, karena terlalu menyakitkan segala sesuatu yang masuk kedalam telinganya.

Kemungkinan terburuk nih, kalo Jaemin ketemu lo cuma mau kasih tau sesuatu yang dia sembunyiin, apa yang bakal lo lakuin?

Lepasin Jaemin.

Suara kedua sahabatnya memenuhi pikirannya kini.

“Setelah masa laluku kembali, i have feeling for Davina. Semuanya kembali seperti sebelumnya. Aku, Davina, dan Madripoor. Aku menghilang selama itu bukan tanpa alasan.”

Almira menutup mata ditengah tangisnya.

“Karena aku kembali bersama Davina.”

Tubuhnya terhenyak. Sepertinya ia tak sanggup mendengar apapun dari Jaemin. Almira bahkan tak mampu menahan tubuhnya. Lucas dengan cekatan menahan gadis itu, menyandarkan Almira. Tubuh mungil itu ia tahan dengan punggungnya.

“Senderan aja, Al.” Ucap Lucas.

Almira menurut saja.

“T-terus aku? H-hubungan ki-ta?” Suara Almira bergetar.

“Aku kembali hanya untuk kasih tau ini, juga nebus rasa sedih kamu selama 5 tahun.”

“Gak ada lagi efek sentuhan itu setelah semua masa laluku kembali. Aku gak ngerasain apa-apa waktu nyentuh kamu.”

“Dan juga dunia kita beda, Al. Sampai kapan pun, kita gak akan pernah bisa sama-sama.”

“Na, kenapa baru bilang sekarang?”

“Karena aku tau jawabanmu. Aku selalu tau. Dan aku memang tau. Kalo aku bilang dari awal, aku gak yakin kamu sekarang masih ada atau enggak di dunia.”

Almira mengangguk mengerti.

“Sampai kapan pun ya, Na?”

“Apa kamu tau? You really mean to me. Not because you're my first love. No. Karena kamu, adalah orang yang setiap hari menanyakan kabarku, menanyakan bagaimana aku menghabiskan hariku, menghiburku, memberi dukungan, tidak menghakimiku. Kamu. Satu orang. Yang hanya membayangkan kamu aja aku ngerasa bahagia.”

Kini giliran Almira mengutarakan apa yang dirasa. Dan Jaemin menyimak dengan mata yang berkaca-kaca.

“Jeno, Haechan mungkin udah puluhan kali mereka menjatuhkan keyakinanku tentang kamu, tapi aku lebih milih buat percaya sama kamu. Karena kamu, satu orang yang selalu jujur, dan bertanggung jawab sama apa yang kamu omongin.”

“Dan ya, kamu selalu bertanggung jawab, seperti apa yang kamu lakuin sekarang.”

Hati Almira terasa perih, perih ketika harus mengatakan itu semua. Kepalanya terasa semakin berat dan berkabut. Almira menangis terus. Namun, mendadak angin sore terasa dingin dan sejuk. Terasa ada tangan hangat yang mengusap air mata di pipi Almira. Ada yang merengkuh tubuh kecilnya dalam nyaman. Ada yang berbisik “Jangan nangis, ya? Jangan sedih.”

Almira menengadah. Itu hanya memori kecil yang terekam saat Jaemin melakukan itu di masa lalu.

“Mau kamu gimana, Na?”

Mata Jaemin memerah. Jika boleh, ingin ia rengkuh tubuh gadis yang ada dihadapannya. Tapi itu sungguh sudah bukan haknya lagi.

“Kita akhiri perbedaan dua dunia ini, Al.”

“Na? Gimana aku bisa tanpa kamu?”

“Relakan memorimu tentang aku. Semuanya.” Pinta Jaemin. “Bukan tanpa alasan juga aku dan ketiga kakakku ada disini, dateng ke acara ini.”

“Taeyong will take all the memories about me from everyone who knows me. Semua hadir disini kan? Sisanya biar nanti kita urus.”

“Nana? Setelah semua yang kita lalui? Gak ada sedikitpun perasaan buat aku? Are you sure, Na?” Almira meyakinkan dirinya lagi. “Sedikit, Na. Sedikit aja?”

“Al, aku gak akan jawab ini. Aku gak mau nyakitin Davina lagi.”

“Please.”

Almira memegang kedua lengan Jaemin. Mendekatkan dirinya. Menunduk lemas.

“I like you. A lot.”

Kalimat itu dilontarkan Jaemin lagi. Membuat tangis Almira semakin menjadi. Setelah lelah menunduk, ia tegakkan lagi tubuhnya. Mengusap kedua pipi yang telah basah.

“Please take all my memory now.”

“Na, you should know that all this i did because i love you. See how much i love you.”

“Setelah ini, kamu juga bakal lupa sama aku, dan semuanya. Just please, take care.”

“Nana. Panggilanku buat kamu.”

Semesta menuntutnya untuk dewasa, lantas Almira dengan tegarnya melepas semua. Taeyong tengah bersiap di belakang Jaemin, menghadap ke arah Almira. Tetes air mata tembus lagi membasahi pipi hangatnya. Jaemin menangkup wajah Almira, memangkas jarak diantaranya. Ia berikan kecupan singkat dibibir gadis itu. Lantas setelahnya, Almira hanya fokus pada kedua mata Taeyong, dengan bibir yang masih bergetar, dan air mata yang tak sudah-sudah keluar.

Hari ini telah berakhir, tak ada yang bahagia apalagi special. Terima kasih semesta, hari ini duniaku runtuh. Aku tak tau harus bagaimana selain merelakan semuanya pergi. Segala perasaan, segala bahagiaku dengan Nana. Apakah aku bisa berhenti untuk cemas lagi? Apakah tak ada satu pun kenangan yang tersisa nanti? Tidak bisakah aku hanya mengingat senyumnya saja? Aku mohon. Tidak bisakah ak—

“Memori lo, Na?” Tanya Taeyong.

“Memori tentang Almira? Gue bakal simpen sendiri.”

“Glad to see you, Almira.”


Semua kembali pada tatanan awal. Semua kembali pada apa yang diinginkan Semesta. Mutan dan manusia? Itu tidak akan pernah terjadi. Perbedaan dunia mereka saja sudah dapat mengancam salah satunya. Mustahil jika harus mempersatukan dunia mereka. Na Jaemin, kembali dengan cinta pertama dan terakhirnya. Sampai kapanpun, Semesta menginginkan seperti itu. Almira, entah bagaimana kehidupannya selanjutnya. Sosok Na Jaemin seakan tidak pernah ada di kehidupan Almira. Jeno, Haechan, doakan saja agar keduanya masih mampu menguatkan Almira dalam keadaan apapun.

`

Senang bisa bertemu, membuat kisah, dan mengenalnya hingga saat ini. Jika bukan karenanya, aku tak akan bisa sekuat ini. Patah hati kali ini adalah akhir dari perjalananku dan Nana. Semoga Semesta berbaik hati untuk mempertemukanku dengannya secara tidak sengaja, di kehidupan selanjutnya, sebagai wujud sama-sama manusia.

-Almira, January

don't cry

Tiba di Kantor Polisi.

Dengan cepat Kyra turun dari motor. Terlalu banyak ketakutan yang ia rasakan. Kyra berlari ke dalam ruangan, namun tangannya lebih dulu digapai oleh Ten.

“Kyra, keep calm down.”

“Mas...”

Raut muka sedih terpampang jelas di wajah Kyra.

“Kita masuk sama-sama. Keep calm.” Ten berusaha menenangkan.

Dilihatnya adik kesayangannya duduk menghadap ke barat dengan pakaian yang ia pakai entah punya siapa. Sungchan tidak sendiri, disana ia bersama ketiga temannya, Jeno, Haechan, dan Jaemin.

“Kak Kyra..”

“Wali nya adik-adik ini ya?” Tanya salah satu polisi yang berada disana. “Mereka berempat telah melakukan tindak kriminal—”

“Kak, demi Tuhan gue gak ngelakuin apa-apa.” Potong Sungchan.

Hati Kyra tersayat saat polisi menjelaskan kronologi kejadian. Adik kesayangannya mencoba mengroyok seorang lelaki yang tidak disebutkan namanya. Gadis itu sama sekali tidak mempercayai apa yang telah di dengar.

Satu jam berselang, mereka memperbolehkan Sungchan beserta teman-temannya untuk pulang dengan status masih dalam pengawasan.

Mata Kyra sembab dan basah, tangannya berada dalam genggaman Ten. Perasaannya sungguh tidak tenang.

“Kita pulang, jelasin semua dirumah.” Jelas Kyra.

“Gak, gue balik ke rumah Jaemin.”

“GUE BILANG PULANG CHAN!”

Mendengar suara tinggi Kyra, ketiga teman adiknya pamit untuk pulang. Mau tak mau, Sungchan pun mengikuti apa kata kakaknya.

`

“Jangan halangi gue buat bilang semuanya ke papa!”

Sebuah pernyataan yang membuat Kyra tertegun sejenak. Ada besi panas yang seperti menyayat dadanya. Mereka baru saja akan masuk ke dalam rumah, namun terdengar suara ramai di dalam.

Brak!

Suara pintu terbanting dari kamar Mama membuat Kyra dan Sungchan terdiam. Terlihat Papa berjalan meninggalkan kamar dengan membanting pintu. Ada suara Mama yang terisak di dalamnya.

Langkah Kyra terhenti saat Sungchan mengatakan sesuatu padanya.

“Gue gak ngeroyok kak. Gue habis ketemu om yang sering chat sama Mama. Gue cuma mau dia jelasin, tapi gue malah dilaporin. Kayaknya Papa udah tau.”

Diam sejenak.

“Kalo mama sama papa cerai, lo milih bareng siapa?” Lanjut Sungchan.

Gadis itu tidak menjawab. Ia hanya diam. Ia tidak akan pernah menjawab pertanyaan yang bahkan tak pernah terpikirkan oleh Kyra.

“Terserah lo.” Sungchan memberanikan diri mengikuti Papa yang telah pergi, meninggalkan kakaknya disana.

Sebaliknya, Kyra mengetuk pintu kamar Mama. Tak ada jawaban selain suara tangis. Ia buka daun pintu perlahan-lahan.

Melihat Mama yang ia sayang, sekarang sedang terisak di sudut kamar. Mata Mama yang biasa bersinar tegas, kini justru terlihat sangat lelah. Mama yang senyum ceria dan selalu cerewet itu sekarang hanya bisa sesenggukan dengan bibir pucat.

Kyra segera memeluk Mama erat-erat. Dagunya menempel pada bahu kanan Mama. Ia bahkan bisa merasakan tubuh Mama yang bergetar dan napasnya yang tersenggal-senggal.

“Ma? Kenapa Mama? Cerita sama Kyra..”

Mama sungguh terlihat hancur. Sekian menit Mama masih tetap menangis. Kyra terus saja memeluknya, memejamkan mata dan menahan butiran air yang sejak tadi membumbung di tepi matanya.

`

Suasana rumah yang mendadak sepi, membuat Kyra semakin takut. Ia putuskan untuk pergi ke kampus meski suasana hatinya sedang kalut.

Keluar dari rumah dengan mata yang masih basah, Kyra dikejutkan dengan sosok Dejun yang baru saja turun dari motornya.

“Mas? Kok kesini?” Tanya Kyra sedikit heran. Buru-buru ia menyeka sudut matanya.

“Kamu gak bales chatku.”

“K-kamu?????” Sambil menatap Dejun penuh goda.

“Hari ini gak usah ke kampus, ayo bolos.”

Dejun menyerahkan satu helmnya, namun Kyra masih saja tak percaya dengan apa yang baru saja di dengar.

“Mau gak?” Tanya Dejun.

Kyra senyum lebar. Ia mengangguk antusias.

Maaf Kyr, gue gak mau lihat lo nangis

who knows

Sudah sangat lama bagi Almira, Jeno, dan Haechan untuk memiliki waktu bertiga seperti ini. Merebahkan diri di lantai kamar Almira yang cukup terbilang luas. Jangan bayangkan mereka bertiga tidur berjajar. Tidak. Mereka merebahkan diri mereka di sembarang sudut dengan menggenggam ponsel masing-masing.

Sedikit canggung ketika Almira melihat kedua sahabatnya itu malah berdiam diri menatap langit-langit kamarnya.

“Ieu urang diem-diem an terus gini?” Al sembari menghela nafas.

“Gue mau ngobrol takut lo nangis lagi.” Ujar Jeno.

Almira hanya berdecak dan ikut menatap langit-langit kamarnya.

“Jen..”

“Hm?”

“Aing ajakin ngomong juga atuh Al.” Haechan menyambar.

“Tar dulu gue mau ngomong sama Jeno.”

Jeno menghadap kearah Almira, namun gadis itu tetap fokus pada langit kamarnya.

Menghela nafas.

“Gue sayang sama lo, Jen. Gue harap kedepannya rumah tangga lo bakal terus baik, lo pantes bahagia. Lo gak perlu khawatirin gue lagi.” Ia menoleh ke arah Jeno. Pandangan mereka bertemu. “Gue gak sabar ngelihat lo pake baju pengantin. Gak sabar ngelihat senyum bahagia lo.”

Almira tersenyum dan tak sadar ada setitik genangan melewati pipinya.

“Gak kerasa, Jen, Chan, kita udah sejauh ini. Gak kerasa, tiba juga waktu dimana kita dituntut untuk dewasa, dimana kita udah bisa nentuin pilihan masing-masing tanpa harus bingung lagi.”

“Banyak waktu gue lewatin bareng kalian, dan itu gak sebentar. Kalo diinget, dulu waktu kecil lo berdua pernah janji sama gue buat terus sama gue, jagain gue. Kalian berdua nepatin janji kalian. I'm very grateful to both of you. Pasti susah ya temenan sama gue? Moreover, both of you have fallen in love with me, and i've dated Echan. Gila sih, tapi kalian tetep sama gue.”

Ruangan kamar Almira seketika sepi, hanya terdengar suara daun yang saling bergesekan di luar. Menyadari itu, Almira memastikan Jeno dan Haechan masih disana, mendengarkan apa yang sudah ia katakan. Kaget. Mendapati kedua sahabatnya terisak dan berusaha untuk menghapus air mata. Sontak Almira mendudukkan dirinya.

“LAH NGAPA LO BERDUA NANGIS?!”

“Lo sih, Al.” Suara Haechan bergetar.

“Gak gue gak nangis.” Jeno yang masih terisak.

Bibir Almira pun bergetar menahan air matanya. Siapa yang tidak menangis? Melihat kedua sahabatnya terisak seperti ini. Hal yang jarang terjadi, dan hampir tidak pernah terjadi.

Suasana haru tiba-tiba saja hadir ditengah mereka. Almira menarik tangan Jeno dan Haechan agar mereka berdua bangun dari rebahannya.

“Let me hug you..” Pinta Al.

Sudah seperti teletubis saja mereka bertiga berpelukan. Mereka saling berlomba membuat cap basah yang timbul karena air mata.

“Udah jangan gini anying bukan kita banget!” Seru Haechan ditengah pelukan.

“Gue ngelepas, udah gak ada yang nangis ya? Kalo masih ada yang nangis, traktir makan sebulan.” Ujar Jeno.

Almira hanya mengangguk. Sesaat mereka bertiga melepas pelukan. Saling bergantian menatap satu sama lain, dan menertawakan diri mereka. Indah. Saat ketiga manusia ini berkumpul. Sejenak, mereka lupakan segala perasaan yang pernah hadir ditengah persahabatan mereka, mereka lupakan rasa sakit dan hiruk pikuk dunia. Sejenak, mereka saling menghargai waktu berharga ini.

`

“Gimana sama Jaemin?”

“Apanya yang gimana? Gak gimana-gimana lah, Jen.”

“Gak ikutan nikah juga lo berdua?” Tanya Haechan. “Udah sama-sama ketemu kan? First love ceunah.”

Almira bingung saat akan mengatakan apa yang selama ini tengah bersarang dipikirannya.

“Gue rasa ada yang disembunyiin sama Nana.”

“Naon?”

“Gak tau lah, Chan.”

Jeno menepuk-nepuk pelan punggung Almira. Lantas menggantungkan lengannya pada bahu gadis itu.

“Jangan overthinking. Gak baik.” Jeno berusaha mengalihkan. “Gimana perasaan lo sekarang? Seneng kan akhirnya ketemu Nana lagi? Barengan sama dia?”

Almira mengangguk. “Seneng, tapi rasanya gak sama.”

“Maksud lo?” Tanya Haechan bingung.

“Lu berdua tau kan, gue nunggu berapa lama buat ketemu dia, dan gue rasa itu cuma perasaan gue pengen ketemu dia aja. I'm afraid it's not out of love or anything.”

“Gue gak paham anying, maksudnya lo udah gak ada rasa sama Jaemin? Terus ngapain lo nunggu dia selama itu anjir! Nyiksa diri lo sendiri ngapain? Ngapain juga lo sekarang pacaran sama dia?”

“Chan, gue gak tau. I'm just afraid. I love him. Too much malah, tapi ya gitu.”

Jeno dan Haechan tetap tidak bisa menangkap maksud dari sahabatnya itu.

“Nana juga pasti tau kalo gue selalu mikir ini, but he didn't discuss or try to calm me down at all. Dia bukan Nana gue lagi.”

Kini Jeno mengangguk paham. Ia mengerti maksud dari Almira. Seseorang yang berada di masa lalu, saat ia kembali, ia tak akan sama lagi. Itu yang dirasakan Almira hingga saat ini. Gadis itu pun tak mengerti apa saja yang telah terjadi di waktu 5 tahun Nana tak menemui dirinya. Jeno mulai khawatir dengan sahabatnya, lagi.

“Al. Kemungkinan terburuk nih, kalo Jaemin ketemu lo cuma mau kasih tau sesuatu yang dia sembunyiin, apa yang bakal lo lakuin?”

Pertanyaan Jeno membuat Almira sangat berpikir keras, hingga dirinya memijat halus pelipisnya.

“Tapi dia gak cuma ketemu gue tuh Jen? Buktinya, Nana's dating me now.”

Lantas Almira berpikir lagi.

“Kalo keadaan nuntut gue untuk dewasa, ya gue harus—”

“Lepasin Jaemin.” Haechan memotong kalimat Almira.

“But he's not hiding something from me right?”

“Who knows.”

Jawaban dari Jeno membuat keyakinan dan kepercayaan Almira runtuh.

image

the truth

Jam beker di atas tempat tidurnya berdering, Almira yang masih mengantuk mengambi dan mematikan bunyinya. Beberapa detik kemudian, ponselnya yang berdering, gadis itu terpaksa mengangkatnya dengan setengah sadar.

“Halo?” dengan malas-malasan Almira menjawab. “Selamat pagi Almira.”

Almira membuka matanya ketika mendengar suara yang tak asing di telinganya, dilihatnya layar ponsel tertera nama si penelepon.

“Nana? Aya naon Na?” “Gue ada di depan rumah lo, Al. Masuk dulu gak gue? Lo udah siap kan?”

Mendengar jawaban itu, Almira langsung menekan tombol merah dan melempar ponselnya ke atas tempat tidur. Dengan kecepatan penuh, ia menyambar handuk dan pergi ke kamar mandi untuk bersiap. Hampir saja ia menabrak tubuh abangnya yang berdiri tak jauh darinya. Bagaimana ia bisa lupa? Bukan lupa, hanya saja ia susah tidur semalam, membuatnya sedikit terjaga.

`

Aroma musk yang lembut dan manis mendominasi mobil Jaemin. Almira menyukainya. Selama perjalanan, tak banyak yang mereka bicarakan. Raut wajah Almira berbeda dari sebelumnya. Senyumnya ceria. Ia sama sekali tidak terlihat seperti orang yang sedang patah hati.

“Semalem udah gak nangis lagi?” suara Jaemin mengayun.

Almira melipat kedua tangannya, memicingkan matanya, menoleh ke arah Jaemin. Jaemin tertawa melihat reaksi sosok manis di sampingnya. Rasanya hangat ketika melihat seorang Na Jaemin tersenyum lebar memamerkan deretan giginya. Karena bagi Almira itu adalah peristiwa yang sangat langka dan jarang ditemukan oleh siapapun. Akhir-akhir ini memang ia sering memamerkan senyumnya itu. Demi Tuhan, senyum Jaemin adalah hal yang paling disukai Almira.

Mobil dikemudikan Jaemin masuk ke daerah Lembang. Almira bisa mencium bau rindu yang menyebar mesra dari setiap sudut kotanya itu. Ia masih bisa mengenali beberapa tempat yang masih saja tampak sama. Almira membuka kaca mobil, mengeluarkan lengannya agar bisa merasakan angin yang menelusup pelan ke kulit tubuhnya. Ia menghirup udara sama seperti yang pernah dihirupnya beberapa tahun lalu. Udara yang pernah ia hirup ketika masih kecil.

“Al, mau di dalem mobil aja?” Suara lembut Jaemin memecahkan lamunan.

Almira menoleh dan melihat Jaemin keluar dari mobil. Ia tersenyum dan menunggu Almira mendekat. Jaemin mengulurkan tangan, memberi isyarat agar Almira menggenggamnya.

“Gila lu?” ujar Almira sinis. Jaemin hanya terkekeh.

Dusun Bambu, yang menjadi destinasi untuk menghabiskan waktu. Letaknya tidak begitu jauh dari pusat kota Lembang. Suasana yang segar dan eco friendly, membuat siapapun yang pergi kesana merasa nyaman dan tak ingin kembali pulang. Almira sangat menyukai suasana seperti ini, begitu pula Jaemin. Mereka berdua berjalan menyusuri sawah dengan gazebo-gazebo untuk tempat beristirahat.

“Na, beli itu yuk!” Almira menunjuk orang yang berjualan aneka mainan anak kecil khususnya. Kedua bola matanya tertuju pada bubble gun. “Ayo Na, beli ya beli ya?”

Jaemin hanya mengangguk mengiyakan.

“Al? Demi Tuhan lo kayak anak kecil yang lagi di ajak jalan sama orang tuanya.” “Ih seru tau!! Coba deh nih mau main bubble gun juga? Serius Na ini mainan favorit gue waktu masih kecil. Gue, Jeno, Haechan pernah bertengkar cuma gara-gara gelembungnya gak keluar karena sabunnya habis.”

Jaemin lagi-lagi hanya tersenyum melihat tingkah Almira. Ia terus memperhatikan seorang gadis yang tengah tersenyum lebar. Bahkan Jaemin mengabadikan momen bahagianya. Matanya tak sengaja bertemu pandang dengan Almira. Hal mengejutkan lainnya, Almira malah memekik girang dan berlari kecil ke arah Jaemin.

`

Almira tersadar. Ia tidak boleh terlalu larut dalam perasaan yang menyenangkan itu. Hatinya kembali bergetar dengan cara yang indah ketika Jaemin mengucapkan sesuatu.

“Almira, i wish i could explain how wonderful you are.” “Suddenly Na?” Almira tersenyum tanpa melihat Jaemin.

Setelah kegiatan mereka berkeliling mengitari Taman Arimbi, taman dengan aliran sungai kecil ditengahnya, kini mereka tengah beristirahat di Cafe Burangrang. Berada di sisi danau kecil. Bersantap menikmati suasana sekitar dari ketinggian.

“How i could look into your eyes and never get tired of their beauty. Bagaimana suara lo gives me butterflies. Bagaimana ngelihat lo senyum bikin gue senyum. How much you mean to me. And how much i love you, Al.” Jaemin melanjutkan perkataannya yang sempat terjeda. “You’re my first love, Almira. Itu lo yang gue maksud.”

Almira memutar bola matanya. Mengalihkan pandangan. Ia ingat, pernah suatu waktu menanyakan hal itu kepada Jaemin. Tentang seseorang yang mampu membuat seorang ‘yang bukan manusia’ jatuh cinta. Segala ingatan terputar otomatis dalam pikirannya.

“Na, gue bukan cinta pertama lo.” Mata Almira berkaca-kaca. Pasalnya, mimpi.. ah bukan. Pasalnya, kejadian Jaemin di masa lalu itu membebani pikirannya hingga saat ini.

“But the truth, i like you. A lot. More than i’ve liked anyone for a long time. Dan jujur, it kinda scares me. Gue gak mau mengacaukan segala hal yang kita miliki, apapun itu. Termasuk hubungan lo sama Mark, gue sama sekali gak berusaha buat ngehancurin. And i’ve fallen pretty damn hard for you.”

“Gue pernah nyentuh lo ya?” tanya Almira. “Na, lo perlu recovery lagi. Ayo Na, balik.”

Jaemin tersenyum. Almira bisa melihat adanya kegetiran dalam lekuk bibirnya.

“Lo sama sekali gak penah nyentuh gue, Al. I just wanted to say this before i go.”

“Nana lo ngomong apa sih? Mau pergi kemana lagi? Gak usah bikin gue overthinking deh!” Bibir Almira mulai bergetar. “Jangan bilang lo ngajak gue main karena lo mau pergi? Jahat lo!” Almira mengucek kedua matanya yang gatal.

“Al, lo gak bisa selamanya menghibur diri lo sendiri. Gak bisa selamanya nguatin hati lo. Gak bisa selamanya berjalan sendiri tanpa pegangan dan sandaran. Jangan di pendem! Haechan sama Jeno jangan dianggurin lah. Mereka kan temen lo.”

“Na, Demi Tuhan hari ini gue bahagia karena lo. Gue beneran bisa ngelepas rasa sakit yang gue pendem. Lo jangan kayak gini deh! Gue beneran marah ya kalo mau jauhin gue!” Almira mencoba membendung air matanya. Dadanya terasa sakit. Ia memberanikan diri untuk bertanya. Di lain sisi ia takut menerima kemungkinan terburuk. “Ada yang lo lihat Na?”

Jaemin mengangguk. Jantung Almira berdetak menghancurkan ritme normal.

“A-apa yang lo lihat?” “Nanti juga bakal lo lihat, Al.” Jaemin tersenyum. Untuk pertama kalinya, Almira tidak menyukai senyum Jaemin yang seperti ini.

Hampir seharian penuh, Almira dan Jaemin menghabiskan waktu berdua. Hingga matahari lelah menyinari mereka. Sudah satu jam mereka terjebak hujan. Padahal tinggal beberapa meter lagi mereka tiba di lahan parkir.

Kembali berbincang, membahas apapun yang muncul di pikiran mereka. Berbagi canda tawa, seakan dunia milik mereka berdua. Entah angin apa yang membuat bola mata Almira menatap gazebo di sebelah sana. Melihat sepasang kekasih tengah menikmati waktu mereka juga. Almira memicingkan matanya. Hujan itu tidak lebat, sehingga ia bisa melihat jelas apa yang terjadi disana. Dan lagi, gadis itu terisak.

“Samperin Al.” Titah Jaemin.

Almira menggelengkan kepalanya.

“Lo patah lagi, samperin mereka Al!” suara Jaemin meninggi. Perempuan itu adalah penghalang kebahagiaan Almira. Perempuan itu adalah alasan Almira hampir kehilangan cinta pertamanya.

Jaemin berjalan menuju dua orang yang tengah berciuman disana. Meninggalkan Almira. Namun gadis itu pun berlari dibelakang Jaemin.

“NANA!!!!” teriak Almira.

Tangan Jaemin menarik lengan Mina kasar. Menggenggam tangan perempuan itu. Mark terkejut dengan tindakan Jaemin. Bola matanya membulat. Tangis Almira semakin pecah. Ingin sekali ia meraih tangan Jaemin, tapi ia malah menangkup wajah Mark and kissed his lips. Dalam tangisnya, gadis itu melumat bibir Mark dengan lembut. Mark mencoba melepaskan pagutan, semakin Mark berusaha, semakin Almira melumatnya dengan kasar.

Jaemin masih berada disana, menyaksikan keduanya berpagut cinta. Lantas ia menggandeng Mina dan pergi dari sana dengan langkah gusar. Sadar suara langkah kaki mereka menghilang, Almira menghentikan ciumannya. Ia menutup wajahnya dengan tangannya. Tubuhnya lemah, menangis dengan kedua lutut yang tertekuk. Menyesal karena tidak terlebih dahulu menuruti perkataan Jaemin. Almira semakin larut dalam kesedihan, tanpa memedulikan Mark yang juga sedang berlutut meminta maaf kepadanya.

“Sayang, aku minta maaf..” suara serak Mark.

Almira mengangguk tanpa sanggup bersuara. “Nana bodoh! Lo harus tanggung jawab karena bikin gue nangis gak karuan! Na, gue beneran marah sama lo, kalo lo ninggalin gue.” Gumam Almira.

Jaemin tau seberapa besar hati Almira untuk Mark. Ia sangat paham betul perasaan itu. Tadinya ia sangat ingin menghajar, memukuli Mark hingga babak belur atau bahkan mengerahkan seluruh kekuatan terdalamnya untuk membunuh Mark. Tidak. Bukan itu yang Jaemin mau. Ia hanya ingin kebahagiaan Almira kembali lagi. Ia tidak ingin Almira merasakan patah hati berulang kali. Lantas ia memilih untuk meraih tangan perempuan yang menghalangi jalan kebahagiaan gadis yang ia cintai. Dan ia paham betul, bahwa konsekuensi dari pengorbanannya, ia memang harus pergi untuk waktu yang cukup lama.

Malam ini benar-benar hancur, hati maupun pikiran. Semuanya berantakan. Bahkan bisa dibiang dititik ini bagaikan ingin cepat mengakhiri hidup. Entahlah apa yang buat gue muak, semuanya bercampur membentuk masalah yang sangat besar. Lo tau, Na? Bahkan sosok yang gue harapin bisa menenangkan garangnya malam ini, bisa nemenin gue, tapi nyatanya TIDAK. Fase ini terulang kembali. Gue harus berjuang sendirian melewati malam panjang ini dengan tangisan. Sepertinya, malam ini menangis mungkin hal yang bagus. Selamat menangis. –Almira

Tuhan emang baik

Bintang-bintang berkejap malu. Sisa awan putih tadi siang meninggalkan saput tipis di langit malam yang hitam. Cahaya kuning buram lampu berjuang sekuat tenaga menipiskan gelap malam.

Sendiri.

Dejun melihat Kyra berayun di taman pinggir jalan yang sepi. Angin mengembus, menghantar bau daun yang mengangguk-angguk lirih dan sesekali berkerisik. Kyra mengeluarkan sebuah kaca dari totebagnya. Merapikan polesan di wajah cantiknya.

“Kyra?” Sapa Dejun dalam balutan jaket denim—baru saja sampai.

Kyra menoleh.

“Mas Dejun..” Kyra tersenyum, meski di dalam hati dan pikirannya terasa sesak.

Dejun duduk di ayunan kosong itu, di samping Kyra. Banyak sekali pertanyaan yang ingin dilontarkan. Ingin sekali rasanya ia memarahi Kyra karena di malam hari ia pergi sendiri, dan diam disini.

“Mas maaf ya, gue nyuruh lo kesini.”

Dejun mengangguk. Menatap Kyra lekat-lekat.

“Habis nangis?”

Kyra menggeleng. Rambutnya yang terurai tertiup malu-malu. Dejun menyingkap rambut yang menutupi pandangan Kyra. Gadis itu diam saja, Dejun semakin dibuat bingung.

“Kyra, sorry. Gue tadi sempet tanya Lala, lo lagi dimana karena chat gue gak lo bales.”

“Iya mas gak papa, Lala bilang apa?”

Dejun tidak mencoba untuk berbasa-basi. “Katanya, lo ada masalah keluarga. Are you okay, Kyr?” Matanya masih mencari, mencoba mengais cerita.

Kyra tersenyum. Ia berayun. Suara ayunannya menggeliat teratur. Ngik, ngik, ngik. Kyra mendongak. Menatap langit malam yang ditaburi bintang-bintang.

“It's not a problem mas, it's just.. Mm.. Adek gue akhirnya tau, something that i've been keeping to myself.”

Pipinya terasa hangat. Sudut matanya kembali membasah. Kyra menghapus air matanya buru-buru.

“Kenapa disimpen sendiri?” Tanya Dejun lirih.

“Karena gue gak mau Sungchan sakit hati.”

“Tapi pada akhirnya lo ikut ngelukain dia, Kyr.”

Kyra mengangguk paham. “Gue sayang banget sama adek gue, mas. I don't wanna see him hurt. Biar gue aja yang tau hal menyakitkan itu. Sekarang dia marah sama gue. Dia gak pulang malem ini.”

“Dia cowok, Kyr. Dia punya hak untuk tau. Dia adek lo, yang nunggu lo berbagi gak hanya suka, tapi dukanya pun.” Jelas Dejun.

“At least gue sedikit lega karna lo temenin, mas.”

“Mau balik sekarang?”

Kyra menggeleng. Ia melanjutkan bermain ayunan sedikit kencang.

“Tuhan emang baik ya.” Ujar Kyra yang masih berayun. “Saat gue minta bunga mawar, gue dikasih taman yang indah, saat gue minta setetes air, dikasih lautan.”

“Dan saat gue minta malaikat.. gue dikasih lo.” Lanjut Kyra, disertai tawanya.

Dejun tertawa, matanya membulat heran. Ia benar-benar merasa gemas dengan sikap Kyra. Dejun mengiyakan saja. Ia menghentikan aktivitas Kyra. Ayunannya berhenti.

“Mas, gue tiba-tiba malu ngomong gitu.” Kyra menoleh. “Balik yuk mas.”

“Tadi gak mau?”

“Sekarang mau, sebelum gue teriak-teriak disini.”

“Ya ngapain lo teriak-teriak Kyr?”

“Gak kuat anjir liat muka lo dari deket gini.”

“Segini?” Dejun yang duduk di ayunan sebelah Kyra memajukan wajahnya, memangkas jarak diantaranya.

Dejun tersenyum. Sebaliknya, Kyra dengan spontan menahan nafas, ia menatap kedua bola mata Dejun lekat-lekat.

“Udah ayo balik.” Ujar Dejun sembari berdiri membersihkan pasir taman yang menempel.

Kyra masih mematung. Ritme jantungnya mulai tak beraturan.

“Besok-besok kalo dapet shift malem jangan lupa bawa jaket. Angin malem gak baik, Kyr.”

Dengan gentle, Dejun melepas jaket denimnya, menodongkan pada Kyra, mengisyaratkan agar gadis itu memakainya.

“Mau pake sendiri apa dipake—”

“Pake sendiri!” Kyra berdiri dan mengambil jaketnya.

Dejun kembali tersenyum. Kyra balas senyum itu dan hatinya merasa lega.

Kyra, gue harap lo gak ngerasa sendiri. Izinkan gue dengerin lo cerita, temenin lo sampe lo bisa senyum kayak gini lagi. batin Dejun.

Mas, lo baik banget. Gak cukup apa lo cakep aja jangan baikin gue? batin Kyra.

image

soothing

“Jadi mau peluk gak?”

Jaemin yang baru tiba di Apart Almira, langsung menawarkan sesuatu yang mungkin dibutuhkan oleh gadisnya. Tanpa basa basi, Jaemin membawanya ke dalam dekapan hangatnya. Menyisir pelan rambut halus milik Almira. Dengan nyaman, gadis itu menaruh dagunya di atas bahu Jaemin. Sisa air mata masih menghiasi wajah cantiknya.

“Udah jangan sedih lagi. Kan kamu masih tetep bisa ketemu Jeno, dia gak kemana-mana, Al. Dia tetep jadi sahabatmu juga.” Ujar Jaemin berusaha menenangkan.

“Tapi beda atuh, Na. Bakal banyak batasan-batasan karna dia udah nikah. Aku yakin udah gak bakal bisa kayak dulu lagi.” Protes Almira.

“Al, seiring berjalannya waktu, semua bakal berubah. Kamu sadari atau tidak.”

“Susah Na, buat ngelepas temen orok kayak Jeno sama Haechan. Aku masih gak nyangka aja.”

Jaemin melepas pelukannya, menangkup wajah cantik Almira. Mengusap sisa-sisa air matanya. Dan tersenyum hangat ke arahnya.

“Suatu saat kamu nikah juga mereka bakal sedih kayak kamu. Jeno pun. Just let it flow. Semua ada masanya.”

Almira hanya mengangguk.

Cuppp

Satu kecupan singkat mendarat di bibir Jaemin. Sang empunya tersenyum memamerkan gigi rapihnya.

“Apa?” Tanya Almira.

Jaemin tetap tersenyum, pandangannya tak beralih dari gadis cantik di depannya.

“Apa sih, Na?!”

Almira salah tingkah akan tatapan Jaemin.

“Al.”

“Hm??”

“2 menit ya?” Pinta Jaemin.

:)

not a dream

Suara tepuk tangan pengunjung menggema di ruangan itu. Meski Kyra tidak datang tepat waktu, ia tetap bisa menikmati suara indah Dejun di pertengahan lagu hingga akhir. Gadis itu masih berdiri mematung di dekat pintu. Pandangannya masih tertuju pada lelaki yang baru saja menyanyikan lagu favoritnya.

Mata mereka bertemu. Raut Dejun melunak. Sambil tersenyum lembut dan pandangan yang terlempar jauh.

Dejun melangkah menghampiri teman-temannya yang berada tak jauh dari posisi Kyra. Lantas gadis itu berjalan menyusul mereka yang tengah melambaikan tangan padanya.

“Lo baru dateng?” Tanya Emma. Kyra hanya menggeleng.

“Oh ini Kyra?” Seru Ten.

“Hehe iya, mas. Gue Kyra. Ini pasti mas Ten.” Tunjuknya. “Mas Taeyong, mas Dery.” Kyra mulai mengabsen. “Mas Dejun..” suara Kyra terdengar bergetar pelan.

“Sa ae lo kalo mau nyapa mas Dejun!” Cubit Lala pelan.

Disana, mereka mengobrol, saling bertukar cerita, bahkan saling menertawakan salah satu diantaranya. Syukurlah, mereka bisa dekat secepat ini.

Cafe itu mulai berangsur sepi. Benar saja, tak disadari jika mereka sudah cukup lama berdiam diri disana.

10.05 PM

Kyra menggigit bibir bagian bawahnya, ia tampak khawatir, pasalnya Sungchan sedari tadi tidak mengangkat telfonnya. Bingung. Karena tak mungkin ia pulang naik taxi/grab mobil sendiri.

Hendery bingung. Muka gadis yang berdiri di hadapannya itu terlihat tidak tenang. Ia tidak bisa menebak-nebak apa yang terjadi.

“Sungchan gak angkat telfon lo?” Tanya Emma memecahkan keheningan.

“Enggak.”

“Jun, motor lo kosong kan? Anterin gih.” Paham dengan situasinya, Hendery tiba-tiba saja menyuruh Dejun untuk mengantar Kyra.

Dejun berjalan mendekati Kyra. “Ya udah, ayo.”

Kyra mengalihkan pandangannya dari ponsel, terkejut. Seketika rona merah menghangat di pipi putihnya waktu melihat Dejun.

“T-tapi mas kalo ngerepotin gak perlu. Gue nunggu adek gue aja.”

“Mau sampe kapan? Keburu malem.”

Setelah berkata demikian, Dejun langsung membalikkan tubuhnya dan beranjak pergi mengambil motor kesayangannya. Berpamitan dan meninggalkan teman-temannya.

`

“Kyra.” Panggil Dejun ragu.

Kyra menoleh.

“Berapa banyak foto gue di hp lo tadi?”

Kyra diam sebentar sebelum akhirnya menjawab. “A-anu mas hehe maaf habisan mas Dejun keren!”

Rona hangat itu kembali menyebar merata di pipi dan juga hati Kyra. “Mas mau minta?” Ia hanya mampu berucap lirih.

“Boleh?”

“Ya boleh lah mas, tapi kirim di whatsapp aja hehe.”

Dejun tidak dapat menahan tawanya. Ia merogoh sakunya, memberikan ponsel pada Kyra.

“Nih.”

Kyra diam saja.

“Via whatsapp kan?”

“Mas, cubit gue kayaknya gue lagi mimpi.”

Dejun mengangguk-angguk saja. Ia tertawa sambil mencubit pipi Kyra gemas.

“Udah?”

Kyra meraih ponsel Dejun dengan cepat. Dan lantas mengembalikannya lagi seusai ia menyimpan nomor ponselnya.

“Mas makasih ya udah nganterin sampe rumah, maaf gak bisa lama-lama ngobrol, DADAHHHH!!!” Dengan kecepatan penuh, Kyra masuk ke dalam rumahnya.

“Mas hati-hati!” Keluar lagi untuk mengatakan hal ini.

Dejun berdecak heran. Ia mengikik geli.

“Iya.” Jawab Dejun, meski lawan bicaranya sudah berada di dalam sana.